Document not found! Please try again

PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM

Download Pengukuran Udara Ambien. ➢ Pengukuran sulfur dioksida (SO2) dengan menggunakan metode Konduktivitimetri Manual. ➢ Pengukuran nitrogen oksid...

1 downloads 432 Views 580KB Size
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan bagi tumbuhan. Komponenkomponen udara tersebut meliputi nitrogen, oksigen, karbondioksida dan sulfur. Akan tetapi apabila kualitas udara ambien memburuk atau tercemar, maka tumbuhan akan menunjukkan 2 respon terhadap keberadaan pencemaran udara tersebut yaitu respon makrokopis dan respon mikrokopis. Respon tumbuhan tersebut dapat digunakan sebagai indikator dari adanya pencemaran udara. Akan tetapi tidak semua tumbuhan dapat digunakan sebagai bioindikator dari pencemaran udara. Beberapa kriteria dari tumbuhan sebagai bioindikator pencemaran udara antara lain adalah SMART (Specific, Measurable, Attributable, Relevant dan Timely). Sedangkan jenis-jenis tumbuhan bioindikator pencemaran udara antara lain adalah dari spesies Bryophyta, Lichen, dan tumbuhan tingkat tinggi. Pemantauan pencemaran udara dengan menggunakan tumbuhan sebagai bioindikatornya bergantung pada jenis skema yang digunakan, metode yang dipilih, dan jenis tumbuhan yang digunakan. Secara umum pada studi kasus menunjukkan bahwa kerusakan pada pertumbuhan tanaman akibat pengaruh lingkungan seperti konsentrasi polutan rendah dengan lama pemaparan yang relatif singkat, temperatur dan kecepatan angin yang normal, tidak menunjukkan adanya luka yang nyata (kematian dari beberapa atau semua bagian tanaman) namun hanya menunjukkan berupa penurunan pertumbuhan sebagai akibat kelainan fungsi fisiologi.

PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA Nama Mahasiswa NRP Jurusan Dosen Pembimbing

: AndikaWijaya K. : 3307 100 081 : Teknik Lingkungan : Prof. Ir. Wahyono Hadi, M.Sc, PhD

Abstrak

Kualitas udara ambien di beberapa kota di Indonesia pada umumnya menunjukkan kondisi yang semakin buruk dari tahun ke tahun. Hal itu menyebabkan banyak kerugian bagi manusia, baik dalam hal penurunan kesehatan hingga kerugian finansial. Dan untuk mencegah terjadinya pencemaran udara lebih jauh, pemerintah telah melakukan beberapa upaya yang diantaranya adalah dengan mengoperasikan jaringan pemantau kontinyu otomatis. Akan tetapi pemantau kualitas udara dengan cara ini dinilai mahal dan kurang efektif. Oleh karenanya perlu dipertimbangkan alternatif lain yang murah dan lebih sederhana namun tetap efektif serta akurat dimana salah satu di antaranya adalah dengan menggunakan tumbuhan sebagai bioindikator dalam pemantauan kualitas udara atau yang dikenal dengan biomonitoring. Metodologi penelitian dalam tugas akhir ini adalah studi literatur yang dilengkapi dengan studi kasus sebagai bentuk implementasinya. Literatur yang digunakan berasal dari sumbersumber yang terpercaya dan ilmiah serta terkait langsung dengan topik tugas akhir yaitu penggunaan tumbuhan sebagai bioindikator dalam pemantauan pencemaran udara. Sedangkan studi kasus yang dilakukan adalah pemantauan biologis terhadap polusi udara di Jalan Ahmad Yani dengan menggunakan tanaman sebagai bioindikatornya dan penelitian eksperimental dengan memaparkan polutan pencemar udara pada tanaman bioindikator yang ditempatkan di reaktor rumah tanaman. Tanaman bioindikator yang digunakan adalah tanaman bayam (Amaranthus sp) sebagai bioindikator dari SO 2 dan tanaman bunga pukul empat (Mirabilis jalapa) sebagai bioindikator dari NOx. Dalam kondisi yang normal, udara ambien menyediakan komponen-komponen udara  

Kata Kunci : Tumbuhan, bioindikator, respon pencemaran udara

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 pasal 1 ayat 14 pencemaran lingkungan yaitu masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut PP No. 41 Tahun 1999 pasal 1 ayat 1 pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, 1

masuknya zat tertentu dalam lingkungan. Salah satu cara pemantauan pencemaran udara adalah dengan menggunakan tumbuhan sebagai bioindikator. Menurut Karlianyah (1997) tumbuhan adalah bioindikator yang baik dan daun adalah bagian tumbuhan yang paling peka pencemar. Berdasarkan latar belakang penjelasan di atas penulis merasa perlu dan tertarik untuk melakukan studi literatur terkait penggunaan tumbuhan sebagai indikator dalam pemantauan pencemaran udara. Studi literatur yang dilengkapi dengan studi kasus sebagai bentuk implementasi dari studi literatur, diharapkan dapat menjadi suatu solusi dalam melaksanakan upaya pemantauan pencemaran udara.

sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Berdasarkan hasil studi Ostro (1994) dalam Farida (2004) menunjukkan bahwa pencemaran udara di Jakarta mengakibatkan munculnya 1200 kasus kematian prematur, 32 juta kasus gejala penyakit pernafasan dan 464 ribu kasus penyakit asma. Kerugian finansial akibat kasus-kasus ini diperkirakan sebesar 500 milyar rupiah. Hal ini tentu bertentangan dengan pernyataan di dalam UUD 45 yang menyangkut langsung hak atas lingkungan hidup terdapat di dalam Pasal 28 H ayat 1: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan." Oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah melakukan suatu tindakan yang ekstra untuk menangani masalah pencemaran udara ini. Untuk mencegah terjadinya pencemaran udara lebih jauh serta untuk mengevaluasi dan mengestimasi tingkat dampak pencemaran udara dan juga untuk menilai keberhasilan program pengendalian pencemaran udara maka dibutuhkanlah suatu sistem pemantauan kualitas udara ambien. Menurut BAPPENAS (2006) dan Sutardi (2008) salah satu cara pemantauan kualitas udara ambien di Indonesia adalah dengan mengoperasikan jaringan pemantau kontinyu otomatis yang dilakukan di 10 kota sejak tahun 2000 untuk memantau konsentrasi CO, debu (PM 10), SO 2 , NOx, dan O 3 . Akan tetapi dibalik itu, menurut Sutardi (2008) selain memerlukan biaya investasi, operasional, dan perawatan yang tinggi, pemantauan kualitas udara ambien dengan cara ini juga memiliki beberapa kendala lainnya antara lain adalah terbatasnya alat pemantau, minimnya dana, serta pengamatan yang hanya terfokus pada jalan raya sehingga pengambilan sampel tidak mewakili lingkungan secara keseluruhan. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan alternatif lain yang murah dan lebih sederhana namun tetap efektif serta akurat dimana salah satu di antaranya adalah dengan menggunakan bioindikator dalam pemantauan kualitas udara atau yang dikenal dengan biomonitoring. Menurut Mulgrew et al (2000) biomonitoring adalah penggunaan respon biologi secara sistematik untuk mengukur dan mengevaluasi perubahan dalam lingkungan, dengan menggunakan bioindikator. Sedangkan bioindikator adalah organisme atau respons biologis yang menunjukan  

1.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah diperoleh suatu perumusan masalah yaitu : 1. Bagaimana hubungan antara tumbuhan dengan udara 2. Bagaimana respon tumbuhan terhadap pencemaran udara 3. Bagaimana kriteria-kriteria dan jenis-jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bioindikator pencemaran udara 4. Bagaimana skema, metode dan tahaptahap yang dilakukan dalam pemantauan pencemaran udara dengan menggunakan tumbuhan sebagai bioindikator. 1.3 Tujuan Tujuan dari tugas akhir ini adalah : 1. Mengindentifikasi dan mempelajari hubungan antara tumbuhan dengan udara 2. Mengindentifikasi dan mempelajari mengenai bentuk respon tumbuhan terhadap pencemaran udara 3. Mengindentifikasi dan mempelajari kriteria dan jenis-jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bioindikator pencemaran udara 4. Mengindentifikasi dan mempelajari skema, metode serta tahap-tahap yang dilakukan dalam pemantauan pencemaran udara dengan menggunakan tumbuhan sebagai bioindikator.

2



BAB II

Dalam reaktor rumah tanaman terdapat 5 buah tanaman Bayam (Amaranthus sp) dan 5 buah tanaman Bunga Pukul Empat (Mirabilis jalapa)  Di jalur tengah trotoar pembatas Jalan Ahmad Yani terdapat 5 buah Bayam (Amaranthus sp) dan 5 buah tanaman Bunga Pukul Empat (Mirabilis jalapa).  Sebagai tanaman kontrol yaitu 5 buah tanaman Bayam (Amaranthus sp) dan 5 buah tanaman Bunga Pukul Empat (Mirabilis jalapa). Variabel-variabel yang diamati yaitu tinggi tanaman, panjang daun, jumlah daun, keliling batang, warna daun serta luka daun yang terlihat.

METODOLOGI STUDI 2.1

Umum Metodologi studi dalam tugas akhir ini adalah studi literatur yang dilengkapi dengan studi kasus sebagai bentuk implementasinya. Studi literatur ini akan dilakukan dalam rentang waktu penyusunan laporan secara keseluruhan dan akan bertindak sebagai landasan teori maupun analisa pembahasan dalam memecahkan masalah dari studi kasus yang ada. Sumber literature akan didapatkan dari berbagai textbook, jurnal-jurnal ilmiah, artikel ilmiah, laporan penelitian, website dan internet maupun dari sumber-sumber terpercaya dan ilmiah lainnya. Pada studi kasus akan dilakukan pemantauan polusi udara di Jalan Ahmad Yani dengan menggunakan tumbuhan sebagai indikatornya (bioindikator). Pemantauan dilakukan dengan metode aktif, dimana akan dilakukan penelitian dengan menempatkan tanaman tertentu yang merupakan tanaman yang sensitif terhadap pencemaran udara. Perubahanperubahan yang terjadi pada tumbuhan yang ditempatkan dapat dijadikan sebagai suatu indikasi dari adanya pencemaran udara. Selain itu dilakukan pula penelitian dalam skala laboratorium dimana digunakan tumbuhan dengan spesies yang sama seperti halnya dengan tumbuhan yang ditempatkan di Jalan Ahmad Yani. Penelitian dilakukan dengan mengkondisikan tanaman pada paparan polutan yang secara rutin diberikan di dalam suatu reaktor. Perubahan-perubahan yang terjadi pada tumbuhan akibat paparan polutan dapat dijadikan sebagai suatu indikasi dari adanya pencemaran udara. Dalam melakukan penelitian di atas akan dibutuhkan tanaman kontrol yang akan bertindak sebagai pembanding dari keadaan yang normal dengan keadaan yang terpapar polutan udara, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan. Tanaman bioindikator yang digunakan adalah tanaman bayam (Amaranthus sp) sebagai bioindikator dari SO 2 dan tanaman bunga pukul empat (Mirabilis jalapa) sebagai bioindikator dari NOx.

2.3

Kelompok Perlakuan Terdapat 3 kelompok perlakuan yang digolongkan berdasarkan lama dan tingkat pemaparan dari polutan pencemaran udara. Perincian kelompok perlakuan adalah sebagai berikut : Kelompok 1 Kelompok 2

Kelompok 3

2.4

Pengukuran Udara Ambien  Pengukuran sulfur dioksida (SO 2 ) dengan menggunakan metode Konduktivitimetri Manual  Pengukuran nitrogen oksida (NOx) dengan menggunakan metode Reaksi Griess – Saltzman 2.5

Analisa dan pembahasan Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman terkait parameter tinggi tanaman, panjang daun, jumlah daun, dan keliling batang kemudian akan diolah dengan menggunakan program Ms. Excel sehingga akan diperoleh grafik yang menggambarkan perbedaan pertumbuhan tanaman pada setiap parameter di seluruh perlakuan. Sedangkan untuk parameter luka daun dan warna daun akan di analisa secara visual deskriptif dan kemudian di akhir semuanya akan dibahas dengan menggunakan studi literatur.

2.2

Populasi dan Sampel Studi Kasus Populasi tanaman yang digunakan dalam studi kasus ini adalah 15 pot tanaman Bayam (Amaranthus sp) dan Bunga Pukul Empat (Mirabilis jalapa). Tanaman-tanaman tersebut dibagi-bagi menjadi sebagai berikut :  

: diberi pemaparan gas polutan selama 0 jam (kontrol) : diberi pemaparan gas polutan asap sepeda motor selama 7 jam (reaktor rumah tanaman) : diberi pemaparan gas polutan kendaraan-kendaraan bermotor selama 24 jam (Jalan Ahmad Yani)

3

BAB III STUDI LITERATUR A. Tumbuhan dan Terhadap Udara

NO 3 H2 Xenon NO 2 Ozon Sumber : Ryadi, 1982

Kebutuhannya

3.1 Biologi Tumbuhan Tumbuhan adalah organisme multiseluler yang berkembang dari organisme yang uniseluler serta ada deferensiasi ke arah jaringan. Tumbuhan merupakan organisme yang mampu memproduksi makanannya sendiri dengan memanfaatkan cahaya matahari dan karbon dioksida sebagai bahan utamanya yang kemudian dikenal dengan istilah fotosintesis. Tumbuhan terbagi dalam beberapa kelompok yaitu tumbuhan tidak berpembuluh dan tumbuhan berpembuluh. Perbedaan yang mendasar antara keduanya adalah ada/tidak adanya jaringan pembuluh dan ada/tidak adanya akar, batang, dan daun.

0,5 0,5 0,08 0,02 0,01-0,04

Catatan : 1 ppm adalah satu bagian perjuta, 1 ml gas dalam 1 juta ml udara

Udara yang belum tercemar selain mengandung uap air, gas-gas innert juga mengandung aerosol yaitu campuran partikelpartikel padat dan cair yang sangat halus. Aerosol berupa partikel cair atau padat yang tersuspensi di dalam gas. Ukuran partikel aerosol antara 0,001 – 100 um. Partikel-partikel yang berdiameter kurang dari 2,5 um pada umumnya dianggap halus dan partikel yang berdiameter lebih besar dari 2,5 um dianggap kasar. Pada udara, selain gas juga terdapat aerosol yang terdiri dari partikel debu, abu, garam, dan asap. Jenis aerosol yang dominan di udara yang mengakibatkan pencemaran, seperti tercantum pada Tabel 3.2. di bawah ini.

3.2 Kualitas Udara Ambien Menurut Mangkoedihardjo dan Samudro (2010) udara merupakan komponen ekosistem yang terbesar dibandingkan komponen perairan dan tanah. Menurut Kristanto (2004) udara memiliki pengertian yaitu kumpulan dari berbagai macam gas yang terdapat dalam lapisan atmosfer yang mengelilingi bumi. Komposisi udara tidak selalu kontan melainkan selalu bervariasi dari waktu ke waktu karena dipengaruhi oleh banyak faktor seperti cuaca, suhu, angin, serta aktivitas dari manusia maupun gejala alam. Komposisi normal udara kering, dimana semua uap air telah dihilangkan, berada pada kondisi yang relatif konstan. Pada Tabel 3.1 disebutkan komposisi udara kering beserta konsentrasinya yang dinyatakan dalam persen atau ppm (part per million).

Tabel 3.2 Komposisi Aerosol di Atmosfir Bumi Jenis aerosol Persentasi (%) Debu 20 Abu 10 Garam 40 Asap 5 Spora, Virus dll 25 Total 100 Sumber : Harmantyo (1989) Komposisi udara seperti Tabel 3.4 di atas merupakan udara normal dan dapat mendukung kehidupan manusia. Sedangkan udara di alam tidak pernah dijumpai dalam keadaan bersih tanpa polutan sama sekali. Hal itu terjadi akibat aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan, sehingga udara sering kali menurun kualitasnya. Perubahan ini dapat berupa sifat-sifat fisis maupun kimiawi. Perubahan kimiawi dapat berupa pengurangan maupun penambahan salah satu komponen kimia yang terkandung dalam udara. Kondisi seperti itu lazim disebut dengan pencemaran (polusi) udara. Adapun mengenai pencemaran udara akan dibahas pada bagian selanjutnya.

Tabel 3.1 Komposisi Udara Kering dan Bersih Komponen % Volume ppm Nitrogen 78,08 780.800 Oksigen 20,95 209.500 Argon 0,934 9.340 Karbondioksida 0,0314 314 Neon 0,00182 18 Helium 0,000524 5 Metana 0,0002 2 Kripton 0,000114 1  

-

4

obligatif dan fakultatif, respirasi anaerob obligatif mutlak memerlukan oksigen sedangkan anaerob fakultatif dapat berlangsung tanpa atau dengan oksigen.

3.3 Kebutuhan Tumbuhan Terhadap Komponen Udara Untuk menunjang kehidupannya, tumbuhan membutuhkan unsur-unsur esensial yang diperolehnya dari lingkungan dimana tumbuhan tersebut hidup. Selain dari air dan tanah, unsur-unsur esensial juga diperoleh dari udara. Komponen udara yang dibutuhkan oleh tumbuhan adalah nitrogen, oksigen, karbondioksida, dan sulfur. Nitrogen dan sulfur diperlukan untuk pertumbuhan dan pembentukan senyawa metabolisme, oksigen diperlukan sebagai komponen utama untuk respirasi serta merupakan produk dari proses fotosintesis tumbuhan, sedangkan karbondioksida sebagai bahan baku pembuatan makanan dalam proses fotosintesis.

3.3.3 Kebutuhan tumbuhan terhadap karbon Bagian terbesar karbon yang ada di atmosfer bumi adalah gas karbondioksida (CO 2 ). Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang sangat kecil dari seluruh gas yang ada di atmosfer (hanya sekitar 0,04% dalam basisi molar, meskipun sedang mengalami kenaikan), namun ia memiliki peran yang penting dalam menyokong kehidupan. Gas-gas lain yang mengandung karbon di atmosfer adalah metan dan kloroflorokarbon atau CFC (CFC ini merupakan gas artifisial atau buatan). Gas-gas tersebut adalah gas rumah kaca yang konsentrasinya di atmosfer telah bertambah dalam dekade terakhir ini, dan berperan dalam pemanasan global.

3.3.1 Kebutuhan tumbuhan terhadap nitrogen Nitrogen merupakan unsur kunci dalam asam amino dan asam nukleat, dan ini menjadikan nitrogen penting bagi semua kehidupan. Protein disusun dari asam-asam amino, sementara asam nukleat menjadi salah satu komponen pembentuk DNA dan RNA. Sejumlah organisme mampu melakukan fiksasi N dan N-bebas akan berasosiasi dengan tumbuhan. Senyawa N-amonium dan Nnitrat yang dimanfaatkan oleh tumbuhan akan diteruskan ke hewan dan manusia dan kembali memasuki sistem lingkungan melalui sisa-sisa jasad renik. Proses fiksasi memerlukan energi yang besar, dan enzim (nitrogenase) bekerja dan didukung oleh oksigen yang cukup. Kedua faktor ini sangat penting dalam memindahkan N-bebas dan sedikit simbiosis oleh organisme.

3.3.4 Kebutuhan tumbuhan terhadap sulfur Ada tiga sumber alami pokok unsur hara belerang (S) bagi tanah yang menyediakan belerang untuk tanaman. Ketiga sumber tersebut ialah: (1) mineral tanah, (2) gas belerang dalam atmosfir, dan (3) bahan organik. Disamping itu ada 4 aliran utama S ke atmosfir dengan urutan sebagai berikut; lepasan/produk bakteri < pembakaran bahan bakar fosil < penghembusan garam-garam laut < pelepasan gas vulkanik. Unsur ini diserap oleh tanaman hampir seluruhnya dalam bentuk ion sulfat (S0 4 2-) dan hanya sejumlah kecil sebagai gas belerang (SO 2 ) yang diserap langsung dari tanah dan atmosfir. Pada umumnya belerang dibutuhkan tanaman dalam pembentukan asam amino sistin, sistein dan metionin. Disamping itu S juga merupakan bagian dari biotin, tiamin, ko-enzim A dan glutationin. Diperkirakan 90% S dalam tanaman ditemukan dalam bentuk asam amino, yang salah satu fungsi utamanya adalah penyusun protein yaitu dalam pembentukan ikatan disulfida antara rantai-rantai peptida. Belerang merupakan bagian (konstituen) dari hasil metabolisme senyawa-senyawa kompleks. Belerang juga berfungsi sebagai aktivator, kofaktor atau regulator enzim dan berperan dalam proses fisiologi tanaman. Selain fungsi yang dikemukakan di atas, peranan S dalam pertumbuhan dan metabolisme tanaman sangat banyak dan penting, diantaranya adalah (1) merupakan bagian penting dari ferodoksin, suatu komplex Fe dan S yang terdapat dalam kloroplas

3.3.2 Kebutuhan tumbuhan terhadap oksigen Semua makhluk hidup membutuhkan oksigen untuk bernafas. Pada tumbuhan, istilah bernafas dikenal sebagai respirasi. Respirasi yaitu suatu proses pembebasan energi yang tersimpan dalam zat sumber energi melalui proses kimia dengan menggunakan oksigen. Dari respirasi akan dihasilkan energi kimia ATP untuk kegiatan kehidupan, seperti sintesis (anabolisme), gerak, pertumbuhan. Fluktuasi normal kandungan oksigen di udara tidak banyak mempengaruhi laju respirasi, karena jumlah oksigen yang dibutuhkan tumbuhan untuk berespirasi jauh lebih rendah dari oksigen yang tersedia di udara. Respirasi pada tumbuhan dapat dibedakan menjadi dua yaitu aerob dan anaerob, respirasi aerob memerlukan oksigen O 2 , sedangkan respirasi anaerob tiidak memerlukan oksigen, untuk respirasi anaerob dibedakan menjadi  

5

bentuk senyawa aslinya sementara sebagian yang lain akan bertransformasi ke bentuk lain ketika terjadi interaksi dengan sesama polutan atau dengan unsur atmosfer lainnya. Polutan-polutan yang terbentuk dari hal tersebut dinamakan dengan polutan sekunder. Sebagai contoh adalah O 3 (ozon) dan PAN (peroxyacetyl nitrate) yang terbentuk dari reaksi HC x, NO x, dan Oksigen. Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri, transportasi, perkantoran, dan perumahan. Berbagai kegiatan tersebut merupakan kontribusi terbesar dari pencemar udara yang dibuang ke udara bebas. Sumber pencemaran udara juga dapat disebabkan oleh berbagai kegiatan alam, seperti kebakaran hutan, gunung meletus, gas alam beracun, dll. Dampak dari pencemaran udara tersebut adalah menyebabkan penurunan kualitas udara, yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Secara umum penyebab pencemaran udara ada 2 macam, yakni : a.) Karena faktor internal (secara alamiah),contoh: 1. Debu yang berterbangan akibat tiupan angin. 2. Abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi berikut gas-gas vulkanik. 3. Proses pembusukan sampah organik, dll. b.) Karena faktor eksternal (karena ulah manusia), contoh : 1. hasil pembakaran bahan bakar fosil. 2. debu / serbuk dari kegiatan industri. 3. pembakaran zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara. Menurut Meetham (1981) dalam Siregar (2005) senyawa pencemar udara berdasarkan sifatnya dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : 1) Senyawa partikel yang bersifat reaktif 2) Partikel-partikel halus yang berada di atmosfer dalam jangka waktu yang lama 3) Partikel-partikel kasar yang segera jatuh ke permukaan tanah Senyawa-senyawa pencemar tersebut antara lain adalah SO 2 , SO 3 , NO, NO 2 , CO, NH 3, O3, asam hidroklorit, senyawa flour dan unsurunsur radioaktif. Bentuk utama dari partikelpartikel halus adalah kabut yang berasal dari proses pembakaran tak sempurna dari bahan bakar. Sedangkan bentuk utama partikel kasar adalah dalam bentuk senyawa organik. Senyawa SO 2 , asap dan debu dapat menjadi bahan pembentuk senyawa pencemar udara yang lain.

dan terlibat dalam reaksi oksidoreduksi dengan transfer elektron serta dalam reduksi nitrat dalam proses fotosintesis, (2) S terdapat dalam senyawasenyawa yang mudah menguap yang menyebabkan adanya rasa dan bau pada rumputrumputan dan bawang-bawangan. Belerang dikaitkan pula dengan pembentukan klorofil yang erat hubungannya dengan proses fotosintesis dan ikut serta dalam beberapa reaksi metabolisme seperti karbohidrat, lemak dan protein. Belerang juga dapat merangsang pembentukan akar dan buah serta dapat mengurangi serangan penyakit. B. Respon Tumbuhan Terhadap Pencemaran Udara 3.4 Pencemaran Udara Wardana (1995) dalam Siregar (2005) menyebutkan bahwa udara yang dihirup hewan dan manusia merupakan gas yang tidak tampak, tidak berbau, tidak berwarna maupun berasa. Walaupun demikian, udara yang benar-benar bersih sulit didapatkan terutama di daerah perkotaan yang merupakan daerah yang padat akan industri dan aktivitas lalu lintas kendaraan bermotor. Udara yang mengandung zat pencemar disebut udara tercemar. Udara tercemar ini dapat menimbulkan kerusakan pada lingkungan dan menggangu kehidupan manusia. Dengan adanya kerusakan lingkungan maka akan menyebabkan berkurangnya daya dukung alam terhadap kehidupan, yang selanjutnya akan berdampak langsung terhadap kualitas hidup manusia secara keseluruhan. Menurut Pohan (2002) pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing didalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing didalam udara dalam jumlah tertentu serta berada diudara dalam waktu yang cukup lama, akan dapat mengganggu kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. Bila keadaan itu terjadi maka di udara dikatakan telah tercemar. Roosita (2007) menyebutkan bahwa polutan pencemar udara digolongkan menjadi 2 yaitu sebagai polutan primer dan polutan sekunder. Polutan primer adalah polutan–polutan yang diemisikan langsung dari sumbernya, baik itu berasal dari sumber ilmiah maupun dari kegiatan manusia sebagai contoh yaitu debu dari letusan gunung berapi dan SOx dari asap cerobong pabrik. Di dalam udara ambien, sebagian polutan primer akan mempertahankan  

6

kekurangan kandungan air, yang kemudian akan berkembang menjadi mengering dan memutih hingga sampai berwarna gading pada kebanyakan spesies. Selain itu dijumpai pula pada beberapa species, perubahan warna daun yang terpapar polutan pencemar menjadi coklat atau merah kecoklatan. Bentuk kerusakan seperti ini disebabkan oleh penyerapan gas pencemar udara yang terpapar dengan konsentrasi yang cukup tinggi sehingga jaringan daun akan rusak dalam waktu yang relatif singkat. Perubahan warna daun menjadi kuning yang berlanjut hingga memutih dapat menandai bahwa telah terjadi kerusakan secara kronis. Kebanyakan hal ini terjadi karena rusaknya klorofil dan karotenoid akibat absorpsi sejumlah gas pencemar dalam konsentrasi subletal dalam periode waktu yang lama. Berat kering daun, penurunan tebal daun, ukuran sel, kehilangan daun dan cepatnya penuaan menandakan adanya pencemaran asap dan SO 2 . Beberapa polutan sekunder diketahui bersifat sangat merusak tanaman. Percobaan dengan cara pengasapan tanaman digunakan konsentrasi 1,0 ppm sedangkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi (3.5 ppm atau lebih) terjadi nekrosis atau kerusakan pada tenunan daun. Daun tumbuhan dikotil umumnya menunjukkan adanya bercak antara tulang-tulang daun dan pada monokotil umumnya terjadi garis nekrosis antara tulang-tulang daun paralel. Kerusakan dapat terjadi juga pada tepi dan pucuk daun. Tanda-tanda yang diakibatkan oleh Ozone, Nitrogen Oksida dan Khlorine hampir sama. Pengurangan perluasan daun kotiledon dalam tanggapannya terhadap pencemaran telah diamati untuk beberapa kasus. Luka-luka nekrotik dan penurunan produktivitas primer bersih dalam konsentrasi SO 2 yang berbeda-beda. Pada saat ini morfologi epidermis telah dipelajari sebagai indikator dalam tanggapannya terhadap bahan pencemar khususnya SO 2 . Kerusakan kutikula dan epidermis dapat digunakan untuk mengidikasikan adanya pencemaran udara. Salah satu faktor yang bisa menghambat kerusakan daun akibat pencemaran udara yaitu adanya lapisan lilin pada daun. Lapisan lilin pada daun berfungsi sebagai penahan kandungan air, mengontrol pertukaran gas, mengurangi pelepasan nutrient dan metabolit serta sebagai pelindung dari bahan pencemar yang reaktif seperti SO 2 , NO 2 , dan O 3 . Akan tetapi lilin daun dapat dirusak oleh

3.5 Respon Tumbuhan Terhadap Zat-Zat Pencemar Udara Muud (1975) dalam Siregar (2005) mengemukakan bahwa pencemar atmosfir secara merugikan merusak tumbuhan dalam beberapa cara. Kerusakan akibat pencemaran sering secara umum diklasifikasikan ke dalam akut, kronis atau tersembunyi. Menurut Kozlowski et al (1991) dalam Siregar (2005) pada umumnya pencemaran udara baik secara individual maupun kombinasi akan menyebabkan kerusakan dan perubahan fisiologi tanaman yang kemudian akan diekspresikan dalam gangguan pertumbuhan. Rinawati (1991) menyebutkan bahwa setiap pohon memiliki respon-respon yang berbeda terhadap masing-masing pencemar udara baik itu dalam bentuk gas ataupun partikel. Perbedaan tersebut tergantung dari jenis pohon dan susunan genetiknya. Dan faktor-faktor lain yang ikut berperan diantaranya adalah tingkat pertumbuhan pohon, jarak terhadap sumber pencemar, konsentrasi bahan pencemar, dan durasi paparan pencemar. Malhotra dan Khan (1984) dalam Treshow, et al. (1989) menyebutkan bahwa dari beberapa hasil penelitian pencemaran udara mengakibatkan menurunnya pertumbuhan dan tingkat produktivitas tanaman yang diikuti pula dengan beberapa gejala yang tampak (visible symptoms). Kerusakan tanaman karena pencemaran udara berawal dari tingkat biokimia (gangguan proses fotosintesis, respirasi, serta biosintesis protein dan lemak), selanjutnya tingkat ultrastruktural (disorganisasi sel membran), kemudian tingkat sel (dinding sel, mesofil, pecahnya inti sel) dan diakhiri dengan terlihatnya gejala pada jaringan daun seperti klorosis dan nekrosis. 3.5.1. Respon tumbuhan secara makrokopis 3.5.1.1 Kerusakan daun Kondisi udara yang terpolusi akan mempengaruhi lingkungan, termasuk vegetasi pada lanskap yang sengaja ditanam untuk menyerap polutan pencemar udara. Menurut Widagdo (2005) sebagian besar bahan-bahan pencemar udara mempengaruhi tanaman melalui daun. Jaringan daun terdiri dari epidermis, mesofil, dan berkas pembuluh. Mekanisme tanaman untuk bertahan dari zat pencemar udara adalah melalui pergerakan membuka dan menutup stomata dan proses detoksifikasi. Kerusakan akut, yang terjadi pada daun, pada awalnya ditandai oleh adanya penampakan  

7

abrasi angin, gesekan dan interaksi kimia dengan polutan dalam waktu yang lama. Fitter dan Hay (1998) mengemukakan bahwa daun-daun tanaman yang dihadapkan pada dosis SO 2 , NO 2 , dan O 3 yang rendah tidak menyebabkan perobekan luka yang nyata (terlihat jelas), namun menyebabkan perobekan sistem membran tilakoid dalam kloroplas. Menurut Fitter dan Hay (1998) , tanaman yang diberi polutan dengan konsentrasi tinggi umumnya menyebabkan perlukaan yang nampak karena kematian, menjadi kering, dan jaringan daun lokal memutih. Pada beberapa kasus, penyebabnya dapat diidentifikasi dari kerusakan khas yang dihasilkan, sebagai contoh :  SO 2 – klorosis di dalam urat daun  NOx – spot warna coklat atau hitam tak teratur, pada urat daun atau tepi daun  O 3 – bintik putih, kuning atau coklat ( 0,1 - 1 mm) pada permukaan daun sebelah atas, berkaitan dengan stomata  HF – ujung terbakar atau nekrosa tepi Daun tumbuhan dikotil umumnya menunjukkan adanya bercak antara tulang-tulang daun dan pada monokotil umumnya terjadi garis nekrosis antara tulang-tulang daun paralel. Kerusakan dapat terjadi juga pada tepi dan pucuk daun. Tanda-tanda yang diakibatkan oleh Ozone, Nitrogen oksida dan Khlorine hampir sama. Pengurangan perluasan daun kotiledon dalam tanggapannya terhadap pencemaran telah diamati untuk beberapa kasus. Berikut ini dapat dilihat perbedaan antara daun yang terpapar polutan dengan yang normal pada Gambar 3.6.

bibit, pengembangan kotil dan berat kering/segar dapat digunakan untuk mendeteksi bahan pencemaran yang khas. Phaseolus vulgaria tumbuh di daerah bebas asap atau dipengaruhi asap. Thiosulfat berpengaruh toksik dan menghambat perkecambahan pada kebanyakan tumbuhan. Di samping perkecambahan biji, perkecambahan tepung sari Nicotiana sylvestris juga digunakan untuk mengindikasikan pencemaran. 3.5.1.3 Perubahan morfologi Pada percobaan yang dilakukan Rushayati dan Maulana (2005) diamati bahwa terjadi penurunan pertumbuhan terkait dengan diameter batang dan tinggi tanaman pada tanaman Kenari dan Akasia ketika diberi emisi polutan udara dengan beberapa parameter yaitu 9.375 μg/m3 CO, 149,07 μg/m3 SO2, 78,87 μg/m3 NO2, dan 43,1 μg/m3 debu. Pada saat ini morfologi epidermis telah dipelajari sebagai indikator dalam tanggapannya terhadap bahan pencemar khususnya SO 2 . Kerusakan kultikula dan epidermis dapat digunakan untuk mengidikasikan adanya pencemaran udara. 3.5.2 Respon tumbuhan secara mikrokopis 3.5.2.1 Penurunan kadar klorofil Pengaruh polutan pencemar udara terhadap pigmen fotosintesis sangat besar.Sebagai contoh adalah kerusakan klorofil yang terjadi pada lichenes setelah diberi pemaparan dosis SO 2 sebesar 5 ppm dengan durasi waktu pemaparan selama 24 jam. Pada konsentrasi tinggi ini, molekul klorofil terdegradasi menjadi phaeophitin dan Mg 2 +. Pada proses ini molekul Mg 2 + dalam molekul klorofil diganti oleh dua atom hydrogen yang berakibat perubahannya karakteristik spektrum cahaya dari molekul klorofil. Oleh karena itu kandungan klorofil sering dijadikan indikator terhadap pencemaran udara (khususnya SO 2 ). Pada lichenes yang sensitif, pemaparan konsentrasi SO 2 rendah (0.001 ppm) dalam waktu yang lama akan menyebabkan hilangnya klorofil. Selain itu, dalam penelitian Karliansyah (1997) disebutkan bahwa daun tanaman Angsana dan Mahoni yang terletak di sejumlah jalan di Jakarta dapat dijadikan sebagai indikator dari polutan pencemar SO 2 dan NO 2 . Hal ini ditandai dengan hubungan antara klorofil a dan b dengan NO dan SO 2 yang berkorelasi negative (kenaikan

Sumber : http://pengeluaran tanaman. blogspot. com/ 2010/ 05/ nekrosis-dan-klorosis.html Gambar 3.1 Klorosis Pada Daun 3.5.1.2 Gangguan perkecambahan Perkecambahan biji banyak digunakan untuk memantau responnya terhadap pencemaran. Parameter-parameter pertumbuhan seperti persentase perkecambahan, daya hidup biji, tinggi  

8

SO 2 dan NO klorofil).

menumpuk di antara celah sel jaringan pagar/palisade dan atau jaringan bunga karang/spongi tissue. Menurut Mansfield (1976) tanaman yang tumbuh di lokasi yang tercemar, cenderung merangsang pengambilan gas lain ke dalam mesofil daun, pada saat proses asimilasi CO 2 berlangsung. Banyak spesies tanaman yang lebih sensitif terhadap SO 2 pada siang hari, ketika stomata terbuka dibandingkan pada malam hari kecuali pada tanaman kentang yang stomatanya tetap membuka pada malam hari. Pada penelitian Susanti (2004) didapatkan bahwa peningkatan indeks stomata terjadi pada tumbuhan yang terdapat di tempat-tempat dengan konsentrasi polutan yang cukup tinggi. Hal ini merupakan respon tumbuhan terhadap kehadiran polutan dari aktivitas transportasi sebagai upaya tumbuhan untuk mengurangi terdifusinya polutan udara ke dalam jaringan daun tumbuhan. Selain itu, pada beberapa penelitian telah diketahui bahwa daun tumbuhan di daerah yang tercemar oleh debu dari pabrik semen mempunyai kerapatan stomata dan trichomata yang tinggi, sel epidermis dan ukuran trichomata lebih kecil dibandingkan dengan bila tidak tercemar.

menyebabkan penurunan kadar

3.5.2.2 Perubahan biokimia dan fisiologi Budi (2009) mengemukakan bahwa komposisi kimia daun telah luas digunakan sebagai indikator dari perubahan kondisi lingkungan. Estimasi kemis seperti protenis, asam amino, gula terlarut, sukrose, pati, gula reduksi, vit.C, ribofalvin, thiamin dan karbohidrat digunakan untuk mengindikasikan pencemaran udara. Sedangkan aktivitas fisiologi seperti pembukaan stomata dan laju fotosintesis juga dapat digunakan sebagai indikator pencemaran. Selain itu parameter enzimatik juga digunakan untuk mengindikasikan adanya paparan beberapa bahan pencemar. Sebagai contoh adalah parokside yang merupakan indikator pencemaran udara yang sensitive bila tanda kerusakan tak terlihat. Dalam beberapa penelitian telah dilaporkan suatu tanggapan enzim yang berlainan di suatu daerah yang tercemar oleh florid, asap automobil dan SO 2 . Dengan demikian adanya aktivitas enzim tertentu pada suatu spesies tumbuhan dapatlah dihubungkan dengan jenis bahan pencemar tertentu, khususnya pencemaran udara. Parameter dengan menggunakan enzim itu antara lain dengan ribulose difosfat karboksilase, glutamatpiruvat transaminase, glutamat oksalasetat transaminase dan peroksidase untuk pencemaran SO 2 . Fitter dan Hay (1998) menyebutkan bahwa SO 2 menyebabkan kerusakan primer dengan cara penutupan (blocking) gugus sulfaidril atau pengaruh langsung terhadap pH sel dan NOx (sebagai nitrit) dan mempengaruhi sistem reduksi (redoks) di dalam kloroplast. 3.5.2.3 Kerusakan stomata Menurut Prastica (2009) stomata adalah sebuah lapisan datar yang merupakan bagian dari jaringan epidermis dengan sebagian besar sel-sel transparan yang seringkali tersedia dengan kutikula yang berlapiskan lilin.Stomata biasanya terdapat pada bagian bawah permukaan daun dan di permukaan atas daun serta juga banyak terdapat di bagian batang terutama pada tumbuhan rempah-rempah. Widagdo (2005) mengemukakan bahwa stomata sebagai pintu masuk dari polutan pencemar udara mempunyai panjang sekitar 10 μm dan lebar antara 2 –7 μm sehingga ukuran polutan yang demikian kecil, yaitu kurang dari 4 μm dan rerata 0,2 μm dapat masuk ke dalamnya serta menetap dalam jaringan daun dan  

3.5.2.4 Penurunan kandungan lemak dan gula Malholtra & Khan (1984) menyebutkan bahwa Glycerolipid mengandung sekitar 50% berat dari membran-membran tilakoid. Sulfur dioxide menyebabkan reduksi yang tinggi terhadap konsentrasi dan komposisi Glycerolipid (). Penurunan kandungan lemak akan membawa sejumlah masalah seperti penurunan sintesis senyawa lainnya, peningkatan aktivitas lipase, dan peroksidasi rantai asam lemak atau kombinasi dari semua masalah tersebut. Pemaparan sulfur dioksida juga akan menyebabkan peningkatan gula terlarut yang akan menyebabkan terhambatnya pembentukan polisakarida dalam proses pemecahan gula-gula yang ada. Hal yang paling pokok dari dampak pemaparan SO 2 adalah ketidaktepatan translokasi dan penyimpanan dari karbohidrat. Pengisian floem mungkin akan menurun yang akan menyebabkan pemyimpanan cadangan makanan di akar juga akan menurun, dimana hal tersebut akan berpengaruh serius terhadap kelangsungan hidup dan laju produksi dari tumbuhan. 3.5.2.5 Penurunan laju fiksasi CO 2 Menurut Fitter dan Hay (1998) daun yang terkena SO 2 umumnya menyebabkan turunnya 9

tertentu dan menunjukkan respon spesifik untuk efek polusi (misalnya pembentukan spekel atas permukaan coklat oleh ozon). Respon tanaman akibat peningkatan konsentrasi kontaminan udara dimodifikasi oleh faktor lingkungan lainnya dan status fisiologis tanaman itu sendiri. Tingey (1989) menekankan bahwa "tidak ada indikator yang lebih baik daripada spesies atau sistem itu sendiri". Menurut Tingey (1989) bioindikator adalah organisme atau respon biologis yang mengungkapkan adanya atau tidak adanya polutan udara dengan terjadinya gejala khas atau tanggapan terukur. Sedangkan biomonitor memberikan informasi tentang keberadaan polutan dan upaya untuk memberikan tambahan informasi tentang jumlah dan intensitas paparan. Menurut Kovacs (1992b) indikator biologis adalah organisme (atau populasi) yang keberadaan, vitalitas dan tanggapannya berubah di bawah pengaruh kondisi lingkungan. Berbagai spesies merespon pada skala yang bervariasi, dengan cara yang paling sensitif, sensitif atau kurang peka (resisten). Spesies yang tahan (resisiten) seringkali dapat dianggap sebagai indikator akumulasi. Respon tanaman terhadap polutan tergantung pada:  Faktor genetik  Tahap pertumbuhan  Kondisi lingkungan dan  Konsentrasi polutan Spesies indikator dapat digunakan untuk mendeteksi, mengenali dan memantau ada atau tidak adanya polutan. Pertimbangan dalam pemilihan bioindikator dirangkum oleh Tingey (1989) dan disajikan dalam Tabel 3.6. Selain itu syarat-syarat lainnya yang dapat digunakan dalam pemilihan tumbuhan indikator apabila dianalogikan dengan kriteria indikator menurut Susanto (2004) adalah SMART yaitu sebagai berikut :  Spesific Tumbuhan yang digunakan sebagai indikator harus jelas sehingga tidak ada kemungkinan kesalahan interpretasi  Measureable Tumbuhan indikator harus mudah diukur dan menggambarkan tanggapan terhadap pencemaran udara pada tingkatan pemaparan konsentrasi polutan pencemar yang jelas. Kejelasan pengukuran akan menunjukkan bagaimana cara mendapatkan datanya.

laju fiksasi CO 2 dengan cepat. Penelitian dengan fraksi sub selular menunjukkan bahwa paling tidak sebagian penghambatan tersebut disebabkan karena kompetisi antara ion sulfit dan bikarbonat atas tempat pengikatan CO 2 pada karboksilase RuBP dan karboksilase PEP. 3.6 Tumbuhan Indikator Pencemaran Udara 3.6.1 Kriteria tumbuhan indikator pencemaran udara Istilah bioindikator, biomonitor, bioakumulator, dan biomarker semuanya telah digunakan dalam berbagai cara untuk menggambarkan pendekatan yang berbeda dan teknik untuk mempelajari respon biologis dengan polusi udara. Secara umum bidang biomonitoring dapat dilihat baik sebagai pendekatan (bioindikator) kualitatif dan kuantitatif (biomonitor) untuk mengendalikan polusi. Berikut ini adalah pengertian dari beberapa pemantauan biologi:  Biomonitor menyimpan informasi kuantitatif tentang kesehatan suatu ekosistem. Biomonitor juga merupakan bioindikator, kecuali bahwa biomonitor mengkuantifikasi dampak atau hasil akhirnya pada organisme atau ekosistem.  Biondikator memberikan pengukuran polutan yang dapat dibandingkan dengan instrumen pengukuran. Bioindikator memberikan informasi tentang kualitas lingkungan dan kondisi sebenarnya pada organisme atau ekosistem  Bioindikasi bisa aktif, misalnya dalam penggunaan tanaman yang diketahui, atau pasif, di mana organisme sudah ada dalam ekosistem diperiksa untuk reaksi mereka.  Bioakumulator adalah organisme yang menumpuk polutan dalam jaringan mereka. Mereka mungkin kurang sensitif terhadap paparan polusi, atau memang tidak terpengaruh oleh polusi, namun tetap saja indikator yang baik bagi eksposur polutan terhadap ekosistem.  Biomarker adalah biokimia, seluler, fisiologis atau perilaku variasi dalam jaringan, cairan tubuh atau seluruh tubuh suatu organisme yang memberikan bukti paparan polutan kimia, dan mungkin (atau tidak mungkin) juga menunjukkan efek toksik. Konsep biondikator adalah sangat penting dalam pemantauan biologis. Spesies tanaman tertentu sangat sensitif terhadap polusi udara  

10



sansevieria diantaranya mampu hidup pada rentang suhu dan cahaya yang luas, sangat resisten terhadap gas udara yang berbahaya (polutan).

Attributable Tumbuhan indikator harus memiliki respon yang berbeda yang mampu memprediksi bagaimana spesies atau ekosistem akan merespon stres. Sehingga jenis polutan pencemar dapat diidentifikasi.  Relevant Tumbuhan indikator harus sesuai dengan ruang lingkup pemantauan dan dapat ggambarkan hubungan sebab-akibat antar indikator.  Timely Pengumpulan data dari tumbuhan indikator harus dilakukan secara periodik sehingga diperoleh gambaran dari kondisi lingkungan terhadap kualitas udara di daerah yang dipantau. Selain kriteria-kriteria di atas, perlu diperhatikan pula azas-azas tumbuhan sebagai indikator. Azas-azas tersebut memiliki arti bahwa tumbuhan indikator mempunyai kekhususan sehingga diperlukan adanya pedoman umum yang kemungkinan dimiliki dalam penerapan di lapangan. Pedoman umum atau azas-azas itu antara lain adalah : 1. Tumbuhan sebagai indikator kemungkinan bersifat steno atau eury. 2. Tumbuhan terdiri atas banyak spesies merupakan indikator yang lebih baik daripada kalau terdiri atas sedikit spesies. 3. Sebelum mempercayai sebagai suatu indikator harus dibuktikan dulu di tempat-tempat lain. 4. Banyaknya hubungan antara spesies, populasi dan komunitas sering memberikan petunjuk sebagai indikator yang lebih dapat dipercaya daripada spesies tunggal. Tidak semua tumbuhan merupakan bioindikator dari pencemaran udara. Beberapa tumbuhan bahkan memiliki peran dalam mereduksi pencemaran udara. Menurut Normaliani (2011) tumbuhan dapat menimbun pencemar udara berbahaya tanpa merusak tumbuhan tersebut. Tumbuhan tersebut dapat mempertahankan hidupnya meski menyerap udara tercemar yang berbahaya. Menurut Normaliani (2011) karakter umum tanaman yang mempunyai kemampuan tinggi menyerap polutan indoor maupum outdoor, secara umum serupa. Tanaman memiliki tajuk rimbun, tidak gugur daun, tanamannya tinggi. Karakter khusus tanaman yang mempunyai kemampuan tinggi mengurangi polutan partikel memiliki ciri daun, memiliki bulu halus, permukaan daun kasar, daun bersisik, tepi daun bergerigi, daun jarum, daun yang permukaannya bersifat lengket, ini efektif untuk menyerap polutan. Ciri spesifik pada tanaman  

3.6.2 Jenis-jenis tumbuhan indikator pencemaran udara Sifat-sifat tumbuhan merupakan pencerminan yang ada di dalam tumbuhan itu (hereditas), tetapi selain itu pertumbuhannya juga dipengaruhi lingkungan. Jadi fenotipe yang terjadi merupakan paduan dari hereditas dan lingkungan itu. Tumbuhan dapat hidup dengan baik di lingkungan yang menguntungkan. Suatu tumbuhan atau komunitas tumbuhan dapat berperan sebagai pengukur kondisi lingkungan tempat tumbuhnya, disebut indikator biologi atau bioindikator atau fitoindikator. Atau dengan istilah lain tumbuhan yang dapat digunakan sebagai indikator kekhasan habitat tertentu disebut tumbuhan indikator. Pengetahuan tentang tumbuhan indikator dapat membantu mencirikan sifat tanah setempat, dengan demikian dapat untuk menentukan tanaman apa atau apa yang dapat diusahakan di bagian tanah itu atau seluruh tanah di situ. Indikator tumbuhan juga digunakan untuk memperkirakan kemungkinan lahan sebagai sumber daya untuk hutan, padang rumput atau tanaman pertanian. Bahkan beberapa jenis logam dapat dideteksi dengan pertumbuhan tumbuhan tertentu di suatu areal. Banyaknya tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai indikator suatu lingkungan. Dalam suatu komunitas tumbuhan beberapa diantaranya dominan dengan jumlah yang melimpah. Tumbuhan semacam ini merupakan indikator yang penting karena mereka sudah sangat erat hubungan dengan habitatnya. Dengan demikian dapatlah dinyatakan bahwa komunitas atau setidak-tidaknya kebanyakan tumbuhan merupakan indikator yang lebih baik daripada tumbuhan yang tumbuh secara individual. Berikut ini adalah macam-macam tumbuhan indikator pencemaran udara yang dapat dilihat pada Tabel 3.7. Selain yang telah disebutkan pada Tabel 3.7 di atas, masih banyak tanaman yang dapat bertindak sebagai bioindikator. Oleh karenanya Mulgrew dan Williams (2000), membagi klasifikasi tumbuhan indikator yang mencakup semua jenis tumbuhan yang memiliki potensi sebagai biomonitor/bioindikator dari polusi udara yaitu lumut (Bryophyta), lichen, dan tumbuhan tingkat tinggi. 11

Di lokasi di mana sulfur dioksida udara melebihi 170 μg.m-3 tidak ada lumut yang dapat bertahan hidup atau kelangsungan hidup mereka hanya dapat diamati ketika permukaan kulit terbentuk oleh debu kapur, sehingga meningkatkan nilai pH di atas 7. Salah satu koloni spesies lumut yang dapat bertahan hidup di kulit pohon ini adalah Lecanora conizaeoides, yang tetap hidup bahkan ketika konsentrasi belerang dioksida sangat tinggi. Spesies lumut yang paling sensitif terhadap sulfur dioksida adalah Lobaria dan Usnea spp. Penurunan jumlah species Lichen corticolous sejalan dengan peningkatan konsentrasi sulfur dioksida. Atas dasar ini dimungkinkan untuk menilai kualitas udara dan konsentrasi sulfur dioksida. Dengan konsentrasi sulfur dioksida tinggi, spesies lumut berikut memiliki nilai yang kurang dalam indikasi yaitu Xanthoria parietina, Grimmia pulvinata, Parmelia saxatilis, P.sulcata, P. physodes. Akumulasi sulfur dapat dideteksi dalam beberapa spesies lumut yaitu Cladonia sylvatica, C. arbuscula, C. mitis, Hypogymnia physodes, Pseudovernia furfuracea, Peltigera aphthosa. Indikasi pencemaran hidrogen fluorida pada Lichen diamati dengan warna lumut yang menjadi putih keabu-abuan, ukuran koloni berkurang dan kemudian terpisah-pisah. Spesies sensitif fluorida yaitu antara lain Pseudoevernia furfuracea, Parmelia physodes, dan P.sulcata. Sedangkan spesies yang kurang sensitif adalah Parmelia acetabulum. Dengan paparan foto-oksidan, koloni lumut menjadi putih dan memadat. Menurut Sigal dan Nash (1983) dalam Kovacs (1992b) lumut yang sensitif terhadap foto-oksidan adalah sebagai berikut pada Tabel 3.8.

3.6.2.1 Lichen Menurut Richardson (1988) lichen sangat berguna dalam menunjukkan beban polusi yang terjadi dalam waktu yang lama. Komunitas lichen yang tumbuh di kulit pohon (spesies corticolous), dinding dan batuan (spesies saxicolous) menunjukkan perubahan yang signifikan dalam menanggapi polusi udara, khususnya sulfur dioksida (SO 2 ), senyawa fluoro-(F), deposisi senyawa nitrogen dan ozon (O 3 ). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Burton (1986) didapatkan bahwa penggunaan lichen dalam pemantauan polutan gas didasarkan pada pengamatan distribusi spesies yang diikuti dengan analisis kimia dan transplantasi lumut pada tingkat yang masih rendah. Perkembangan yang terbaru menunjukkan adanya peningkatan pada penggunaan respon biokimia dan fisiologis sebagai indikator polusi udara, yang dimungkinkan karena kemajuan teknologi.   Efek toksik dari pemaparan belerang dioksida dipengaruhi oleh nilai dari pH substrat dimana lichen tersebut tumbuh. Lumut terjadi pada berbagai substrat (tanah, batu, tembok rumah, kulit pohon). Untuk indikasi biologis, lumut epifit yang hidup di kulit pohon dapat digunakan sebagai indikator. Pohon-pohon yang tumbuh di tanah asam yang terbentuk dari batuan vulkanik, kulit kayunya memiliki nilai pH berkisar antara 2-4. Spesies lichen yang hidup pada kulit pohon dengan pH di bawah 7 dapat dianggap sebagai indikator biologis. Lichen yang hidup pada kulit pohon yang asam jauh lebih peka pada efek beracun dari belerang dioksida. Lichen dianggap sebagai indikator belerang dioksida yang utama. Berdasarkan hubungan antara terjadinya konsentrasi udara ambien dan belerang dioksida, batas toleransi spesies lumut tertentu adalah sebagai berikut : - pada 170 μg.m-3 SO 2  tidak terdapat Lichen yang hidup pada konsentrasi diatas ini - pada 150 μg.m-3 SO 2  Lecanora conizaeoides - pada 70 μg.m-3 SO 2  Xanthoria parietina - pada 60 μg.m-3 SO 2  Ramalina farinacea - pada 40 μg.m-3 SO 2  Anaptychia ciliaris - pada 30 μg.m-3 SO 2  Ramalina fraxinea - pada 0 μg.m-3 SO 2  Lobaria amplissima

 

3.6.2.2 Lumut (Bryophyta) Bryophyta dapat menunjukkan adanya unsur-unsur dan gradien konsentrasi pada jaringan tubuh mereka ketika berada pada kondisi lingkungan yang terpapar oleh polusi udara. Penggunaan bryophyta merupakan metode yang efektif dalam memantau polusi udara karena berbagai alasan sebagai berikut:  Jumlah spesies yang banyak dan tumbuh di berbagai habitat.  Bryophyta kecil dan mudah dalam penanganannya.  Kebanyakan dari mereka adalah selalu hijau (evergreen) dan dapat disurvei sepanjang tahun. 12









penggunaannya dalam pemantauan polusi udara gas masih kurang. Hal itu dikarenakan ketersediaan spesies lichen yang lebih besar (khususnya spesies epifit) untuk pemantauan polusi udara. Standar praktek seperti pengambilan sampel, analisis dan pemilihan spesies dalam pemantauan dengan menggunakan lumut kurang berkembang dibandingkan dengan pemantauan dengan menggunakan lichen. Berikut ini adalah Tabel 3.9 yang berisikan beberapa contoh spesies Bryophyta yang dapat bertindak sebagai indikator dari polusi udara.

Bryophyta tidak memiliki kutikula dan sistem akar serta memperoleh nutrisi dalam bentuk partikel dan larutan langsung dari deposisi atmosfer. Perbandingan sampel segar dengan spesimen herbarium memungkinkan analisis retrospektif pencemaran logam. Peningkatan pertumbuhan tahunan biasanya lebih mudah dideteksi dalam lumut daripada lichen Lumut sering diyakini lebih tepat digunakan untuk studi temporal/sementara (hal ini terutama berlaku untuk Hylocomium splendens).

3.6.2.3 Tumbuhan tingkat tinggi Bioindikator tumbuhan telah digunakan untuk menunjukkan kualitas udara dalam bidang dan daerah tertentu sehingga dapat memberikan informasi yang unik untuk kualitas udara ambien dalam wilayah tertentu tersebut. Metode yang paling umum dilakukan apabila menggunakan tumbuhan tingkat tinggi sebagai indikator dalam biomonitoring kualitas udara adalah dengan melihat adanya luka daun. Luka daun yang terlihat biasanya tidak spesifik dan dapat mengindikasikan berbagai tekanan pada tanaman. Hal ini menyebabkan peningkatan pada penggunaan efek fisiologis, struktural dan biokimia dalam studi biomonitoring. Respon ini tidak hanya terjadi sebelum cedera terlihat dan merupakan detektor awal sehingga dianggap sebagai parameter yang lebih tepat dan obyektif. Sebagai contohnya adalah seperti yang dikemukakan oleh Mangkoedihardjo dan Samudro (2010) dimana tanaman tembakau yang dapat digunakan sebagai indikator dari polutan pencemar SOx dan NOx. Apabila tanaman tembakau terpapar SOx yang melebihi baku mutu (0,01 μg m-3) maka warna daun tembakau berubah dari hijau menjadi kuning. Dan apabila terpapar NOx yang melebihi baku mutu (0,01 μg m-3), maka daun tembakau akan bernoktah cokelat. Dan apabila terpapar oleh keduanya yang melampaui baku mutu maka daun tembakau akan bewarna kuning dan coklat. Berikut ini adalah beberapa contoh spesies tumbuhan yang dapat bertindak sebagai indikator polusi udara berikut dengan luka terlihat yang ditunjukkan menurut Purdom dan Stanley (1980) dalam Hadi (1985), yang dapat dilihat pada Tabel 3.10. Selain yang telah disebutkan di Tabel 3.10 di atas, masih banyak tumbuhan tingkat tinggi lainnya yang merupakan indikator dari

Jumlah spesies bryophyta telah jauh berkurang di daerah perkotaan, dan pusat-pusat industri karena sensitifitas tanaman ini terhadap polusi udara. Sejumlah besar spesies telah punah, sementara yang lainnya yang sebelumnya umum dan luas, telah berkurang jumlahnya dan sekarang jarang ditemukan. Efek berbahaya dari SO 2 pada lichen dan bryophyta pertama kali teramati oleh adanya kerusakan parah pada klorofil dan penurunan struktur sel serta fungsi melalui plasmolisis, ketika konsentrasi belerang dioksida melebihi 5 ppm. Kehancuran kloroplas berarti penghentian asimilasi yang akhirnya akan menyebabkan kematian seluruh organisme. Ketika belerang dioksida masuk pada tanaman, akan terjadi peningkatan konsentrasi H+ bebas yang pada gilirannya akan memfasilitasi transformasi dari klorofil-a ke phaeophytin-a. Ketika belerang dioksida berubah menjadi asam sulfat dalam kondisi lembab, maka keadaan tersebut akan merusak tanaman dan dapat menentukan tingkat kerusakan klorofil. Menurut Kovacs (1992b) polusi SO 2 awalnya membuat pernapasan tanaman lebih intensif, akan tetapi setelah munculnya bintik nekrotik pada daun, perlahan intensitas tersebut akan berkurang. Gejala umum pencemaran belerang dioksida adalah terjadinya pemudaran warna tumbuhan. Pertama, daun apikal, yang lebih terbuka, dan kemudian bagianbagian basal juga bisa berubah warna. Lumut yang sepenuhnya telah berubah warna biasanya tidak dapat dipulihkan, bahkan setelah ditempatkan dalam lingkungan udara ambien yang bersih. Adams dan Preston (1992) menyebutkan bahwa bryophyta umumnya lebih mudah untuk mengidentifikasi polusi udara dikarenakan sangat rentan sama halnya dengan lichen, namun  

13

 Tumbuhan

pencemaran udara. Berikut ini adalah tumbuhantumbuhan indikator pencemaran udara yang diambil dan dirangkum dari beberapa literatur yaitu dari Treshow (1989), Kovacs (1992a), Kovacs (1992b), Wellburn (1994) dan Mulgrew et al (2000), yang dapat dilihat pada Tabel 3.11 hingga Tabel 3.30. 3.6.3

menunjukkan respon terpadu terhadap iklim polusi, sehingga memberikan informasi bahkan pada potensi campuran polutan yang kompleks, yang terjadi secara simultan atau alternatif dalam pola stokastik, bereaksi hanya untuk bagian yang efektif dari situasi polusi. Hal ini memungkinkan perkiraan yang realistis dari sebagian besar potensi risiko yang diberikan berkenaan dengan perlindungan terhadap lingkungan.  Tumbuhan bereaksi terhadap beban polusi udara ambien (sering kali dengan pola yang sangat berfluktuasi) dengan reaksi yang dapat dinilai dan diverifikasi, sedangkan pemodelan efek hanya menghasilkan tingkat kepercayaan yang rendah dikarenakan polutan terdistribusi acak dalam ruang dan waktu.  Tingkat yang berbeda dari organisasi tumbuhan, dapat digunakan untuk biomonitoring, mulai dari tumbuhan tunggal (daun atau bahkan sel tumbuhan), sekelompok tumbuhan sejenis dan ekosistem. Respon yang diperoleh di tingkat komunitas (misalnya pada komposisi yang sejenis) adalah hasil dari integrasi faktor yang berbeda selama periode panjang yang dialami oleh spesies tumbuhan kompetitif.  Beberapa polutan udara mempunyai ambient konsentrasi yang sangat rendah dan sulit untuk mengukur secara akurat dengan metode fisik dan kimia. Tumbuhan dapat menumpuk kedua polutan ke tingkat yang lebih mudah dalam menganalisanya.  Efek yang ditampilkan dalam spesies tumbuhan sensitif sebagai cedera yang terlihat (kerusakan daun atau perubahan dari keadaan sebenarnya), dan dalam spesies yang kurang sensitif (spesies yang toleran polusi) sebagai akumulasi polutan; adalah merupakan alat yang penting dalam mengenali efek polusi udara (membuat tak terlihat menjadi terlihat) dan / atau dalam mengenali pengalihan jejak polutan dalam rantai biologis. Menurut Ludwig et al (2004) ada beberapa kemungkinan tujuan ketika melakukan biomonitoring polutan udara yaitu :  Spasial distribusi polutan udara dalam rangka memetakan efek polusi dalam skala regional maupun supra-regional. Hal ini dapat dilakukan dengan biondikator dan untuk deposito dari partikulat dan polutan gas dengan bioakumulator.

Kelebihan dan kekurangan tumbuhan sebagai indikator

3.6.3.1 Kelebihan tumbuhan sebagai indikator Penggunaan tumbuhan sebagai indikator dalam pemantauan polusi udara memberikan banyak keuntungan-keuntungan dalam usaha untuk menjaga kualitas udara. Pemantauan kualitas udara suatu wilayah biasanya menggunakan pengukuran tingkat polusi udara secara fisika-kimia, dimana penggunaan metode tersebut menghasilkan hasil yang objektif dan akurat. Hal ini penting untuk mengumpulkan data kualitas udara untuk analisis standar, interrelating efek, pengurangan polusi di sumber dan pengendalian pencemaran udara secara umum. Hal ini memungkinkan untuk perumusan kebijakan dan peraturan yang diperlukan untuk melindungi manusia, hewan dan tanaman. Akan tetapi metode fisik dan kimia tidak memberikan informasi yang cukup tentang risiko yang terkait dengan eksposur (paparan). Sebaliknya, metode biologis memungkinkan penilaian langsung dari resiko eksposur. Data biologis dapat digunakan untuk memperkirakan dampak lingkungan dan dampak potensial terhadap organisme lain, termasuk manusia. Dibandingkan pemantauan secara fisik dan kimia, data biologis tidak perlu dilakukan secara terus menerus, melainkan dapat dilakukan secara periodik. Pemantauan fisika-kimia memerlukan penggunaan peralatan yang mahal dan tenaga yang terampil, serta pemeliharaan yang teratur dan tersedianya suku cadang. Hal tersebut banyak terdapat di sebagian besar negara berkembang dan dalam banyak kasus hal tersebut tidaklah efektif. Sedangkan pemantauan biologi umumnya lebih murah daripada metode lain dan dengan demikian sangat cocok untuk pemantauan jangka panjang di daerah yang luas tanpa menyediakan peralatan yang canggih dan berteknologi tinggi. Selain yang telah dibahas di atas, berikut ini adalah keuntungan-keuntungan lainnya dari pemantauan biologis menggunakan tumbuhan menurut Ludwig et al (2004) :  

14

 Distribusi temporal polutan udara (time











maupun tidak langsung untuk polutan udara sangatlah penting.

series) juga dapat digunakan untuk menilai dampak dari deposisi partikulat serta polutan gas. Sumber pemantauan jauh lebih mudah daripada pemantauan dalam skala besar dan dapat diaplikasikan lebih luas lagi ketika polutan mencapai tingkat fitotoksik. Perbedaan iklim antara lokasi pengukuran yang berbeda hampir dapat diabaikan pada skala regional. Pada tingkat ekosistem, komunitas tumbuhan adalah alat yang sangat menarik untuk mempelajari tekanan polusi udara pada komunitas tumbuhan dan ekosistem dan untuk mendeteksi dampak terhadap keanekaragaman hayati. Bioindikator tanaman juga sangat berguna untuk menarik kesadaran masyarakat terhadap masalah pencemaran udara, karena mereka dapat menunjukkan visibilitas polutan udara yang tak terlihat, terutama di lingkungan kota dan di negara-negara berkembang dimana industrialisasi dan urbanisasi semakin meningkat. Tanaman mungkin bisa berfungsi sebagai indikator kesehatan. Perbandingan kinerja biomonitoring dan terjadinya gangguan epidemiologi dalam kesehatan manusia dapat membantu mewujudkan hal tersebut, tetapi belum meyakinkan dan perlu dikembangkan lebih lanjut. Sedangkan Bioakumulator tanaman sangat berharga dalam rangka untuk mempelajari pengalihan bahan kimia dari udara ke rantai makanan sehingga tanaman dapat digunakan untuk tujuan ini. Biomonitoring menawarkan dukungan dan latar belakang yang ilmiah untuk elaborasi berdasarkan batas nilai-efek dan arahan terhadap kualitas udara

3.7 Penggunaan Tumbuhan Sebagai Indikator Dalam Pemantauan Kualitas Udara 3.7.1

Skema biomonitoring Apabila dirancang dengan baik, skema biomonitoring dapat membantu mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan karena biomonitoring akan memfokuskan pada penilaian risiko dan upaya manajemen di mana mereka dibutuhkan dan menunjukkan efektivitas tindakan pengendalian yang dilakukan secara sukarela ataupun yang mengikuti peraturan. Skema yang dirancang memiliki sejumlah karakteristik dan menggunakan validasi metodologi biomonitoring dan organisme indikator yang sesuai dengan tujuan skema. Berikut ini adalah skema-skema biomonitoring menurut Bealey et al (2008) : 1. Mengukur akumulasi unsur-unsur kimia dalam jaringan tanaman Mengukur akumulasi polutan dalam jaringan tanaman adalah metode umum yang telah digunakan untuk menilai pengaruh dari bahan pencemar. Jumlah jaringan nitrogen (N) telah diukur selama bertahun-tahun dalam semua jenis jaringan tanaman untuk menilai deposisi nitrogen atmosfer. Metode ini membutuhkan sampling lapangan dan analisis laboratorium, namun relatif murah dibandingkan dengan jenis pemantauan fisik. Setiap gradien polutan yang terdeteksi dapat berfungsi sebagai titik sumber, dan dengan demikian akan menjadi nilai untuk pemetaan dan pembagian sumber polutan. 2. Tingkat perubahan komunitas Perubahan komposisi jenis atau keanekaragaman menyediakan metode yang berguna untuk memonitor status suatu ekosistem dan dampak emisi. Dari metode ini, nilai indikator Ellenberg adalah yang terbaik dikenal. Indeks Ellenberg N terdiri dari mengalokasikan N-skor untuk masing-masing jenis tanaman, sehingga komunitas secara keseluruhan memiliki skor total berdasarkan skala mulai dari miskin nutrisi (1) dengan unsur kaya hara (10). Spesies pengeksploitasi dapat meningkat jumlahnya karena kurangnya kompetisi dari spesies yang tereliminasi, atau karena persaingan menjadi berkurang dengan ketersediaan unsur hara yang lebih besar.

3.6.3.2 Kekurangan tumbuhan sebagai indikator Meskipun teknik biomonitoring biasanya sederhana, non-kontinyu dan relatif murah secara individual, variabilitas faktor alam dan lingkungan mungkin memerlukan sejumlah besar sampel yang harus diambil untuk memenuhi presisi statistik yang dibutuhkan. Akibatnya, biomonitoring seharusnya tidak perlu dilihat sebagai pendekatan berbiaya rendah untuk penilaian kepatuhan. Selain itu, pengetahuan tentang faktor perancu potensial yang memodifikasi respon biota baik secara langsung  

15

juga untuk memantau paparan aflatoksin pada manusia. 7. Histopatologi lesi Mengukur histopatologi lesi melibatkan pengukuran dalam perubahan morfologi seluler dalam jaringan organ internal atau eksternal berikut paparan bahan kimia, misalnya perubahan/pembesaran sel, proliferasi sel darah putih, perubahan sel epitel dan sel paru-paru alveolar. Perubahan morfologi dapat merupakan sinyal peringatan dini (mirip dengan kenaikan formasi DNA) untuk penyakit yang mungkin muncul ke permukaan setelah paparan telah berakhir. Metode ini digunakan sebagai bagian dari survei perairan pesisir di Inggris. 8. Umpan lamina strip Strip ini mengukur aktivitas makan dari organisme yang hidup di dalam tanah (termasuk invertebrata dan mikroorganisme). Mereka dapat dengan cepat diukur dan murah serta dapat memberikan indikasi keseluruhan dari kesehatan suatu wilayah, meskipun mereka tidak spesifik polutan. Alasannya adalah bahwa daerah yang terganggu akan memiliki lebih sedikit organisme tanah-hunian sehingga kecepatan makan akan rendah dibandingkan dengan daerah-daerah yang tidak terganggu (yang seharusnya memiliki tingkat aktivitas makan tinggi). Dari 8 skema di atas, skema biomonitoring yang dapat digunakan dalam pemantauan pencemaran udara dengan menggunakan tumbuhan sebagai bioindikatornya yaitu dengan mengukur akumulasi unsur-unsur kimia dalam jaringan tanaman, mengamati tingkat perubahan komunitas, mengamati dampak cedera yang terlihat, serta dengan transplantasi tumbuhan.

3. Dampak cedera yang terlihat Gejala cedera terlihat dapat diamati pada tumbuhan dan hewan. Gejala tanaman umum termasuk klorosis daun (kehilangan klorofil), nekrosis (kematian jaringan) atau amputasi (gugur daun), sedangkan gejala pada mamalia termasuk lesi gigi. Dampak cedera yang terlihat mengindikasikan kemungkinan hasil yang berpotensi negatif pada jenis tumbuhan atau ekosistem. Namun, gejala yang terlihat mungkin hanya sementara, pada tahap berikutnya tanaman akan pulih. Banyak faktor biotik dan abiotik lain bisa meniru gejala luka terlihat (klorosis, nekrosis atau amputasi daun), termasuk kekeringan, panas dingin, luka terbakar matahari, kekurangan gizi atau kelebihan, bahan kimia beracun lainnya (seperti pestisida dan herbisida), dan hama serta patogen. Oleh karena itu penting untuk memiliki pengetahuan tentang polutan yang dipancarkan dan dampak yang diharapkan. 4. Transplantasi - asli dan standar Ada sejarah panjang menggunakan transplantasi standar dan asli sebagai biondikator aktif dan bioakumulator. Sebagai contoh, kultivar BelW3 sensitif dari tanaman tembakau (Nicotiana tabacum), telah digunakan selama puluhan tahun sebagai bioindikator hubungan ke tingkat ozon tanah. 5. Induksi enzim sitokrom P450 Induksi enzim sitokrom P450 adalah biomarker pemaparan, di dalam organisme tingkat tinggi (dibandingkan dengan tingkat di organisme dari referensi) menunjukkan paparan senyawa organik. Hal ini disebabkan oleh paparan terhadap bahan kimia seperti dioxin, PCB (polychlorinated biphenyls), hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH) dan insektisida organofosfat banyak termasuk (OPs), karbamat dan fungisida. 6. Kenaikan formasi DNA Bentuk DNA dipengaruhi oleh paparan polutan organik yang mengikat DNA yang akan mengakibatkan genotoxicity ke sel. DNA pada organisme yang terpapar mungkin menyebabkan perubahan genetik dalam organisme tersebut di masa depan. Sementara polutan yang bersangkutan mungkin tidak akut beracun, akan tetapi mengakibatkan efek yang tertunda. Mengukur DNA dapat memberikan peringatan dini dari adanya kemungkinan efek jangka panjang. Metode ini digunakan untuk memantau kontaminasi PAH di daerah pesisir Amerika Serikat dan  

3.7.2

Metode pemantauan biologis Pemantauan biologi terkait polutan udara dengan menggunakan bioindikator menurut Mulgrew et al (2000) dapat dilakukan dengan dua metode yaitu : 1. Metode pasif dilakukan dengan mengamati tanaman yang tumbuh secara alami di dalam area yang dipantau. 2. Metode aktif dilakukan dengan mendeteksi adanya polusi udara dengan menempatkan tanaman uji yang respon dan genotipenya telah diketahui, ke daerah penelitian. 16

dan bentuk logam berat atmosfer yang diteliti adalah penting dalam pemilihan spesies, hal ini sering menentukan apakah lichen akan mati, menunjukkan gejala atau terakumulasi tanpa membahayakan nyata. Tyler (1989) menyebutkan bahwa sensitivitas dari lichen untuk peningkatan konsentrasi logam berat dalam jaringan sangat bervariasi antara spesies, populasi dan elemen. Dari itu semua, spesies dengan kemampuan untuk bioakumulasi konsentrasi logam yang tinggi tanpa kerusakan yang jelas lebih menguntungkan dalam studi biomonitoring dengan menggunakan lichen.

Kovacs (1992b) menyatakan bahwa biomonitoring dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu: 1. Pemantauan langsung Jumlah polutan dimonitor langsung dalam organisme dengan menerapkan desain yang sedang berkembang terus menerus. Satu-satunya perbedaan antara pemantauan biologi dan kimia adalah bahwa sampel pertama diperoleh dari organisme hidup bukan dari lingkungan. Secara umum, pengukuran konsentrasi diterapkan dimana lokasi dan waktu dari dampak yang diharapkan tidak diketahui. Oleh karena itu, ukuran sampel yang besar diperlukan untuk merekam kerusakan. Juga, penyelidikan jangka panjang yang diperlukan untuk memilih spesies tanaman dan hewan yang tahan terhadap jumlah yang relatif besar bahan beracun sementara mengumpulkan mereka dalam jaringan mereka. Penelitian kontrol juga harus dilakukan untuk menetapkan konsentrasi dasar dari substansi diukur (misalnya logam berat) dalam sampel tercemar organisme. Sebagai konsentrasi diukur dari polutan dalam organisme juga dapat dipengaruhi oleh faktor fisiologis, pemantauan biologis langsung harus dilengkapi dengan analisis fisiologis. Akibatnya, pengetahuan tentang mekanisme penyerapan dan ekskresi menjadi penting. 2. Pemantauan tidak langsung Pemantauan biologis melibatkan pemeriksaan variabel biologis untuk mendeteksi perubahan lingkungan. Prinsipnya adalah bahwa setiap perubahan yang terjadi dalam lingkungan memiliki efek yang signifikan terhadap biota. Dalam pemantauan ini dibutuhkan pengetahuan tentang perubahan lingkungan dan respon dari organisme sasaran sehingga dapat memudahkan penilaian kondisi lingkungan. Jadi, organisme menunjukkan perubahan lingkungan sementara kita hanyalah menafsirkan dan memahami sinyalsinyal biologis tersebut. 3.7.3

 Pemetaan distribusi lichen Distribusi geografis spesies lumut membedakan daerah dengan derajat polusi udara yang berbeda. Berdasarkan keberadaan dan distribusi lumut kulit pohon, adalah mungkin untuk membuat kesimpulan mengenai adanya berbagai polutan udara. Sampai saat ini, peta lumut telah dikompilasi untuk hampir setiap kota besar dunia. Dalam pemetaan, umumnya, ada tiga atau lima zona yang dapat dibedakan yaitu sebagai berikut:  Lichen desert : daerah dengan konsentrasi sulfur dioksida yang tinggi di mana tidak ada lumut terlihat. Daerah ini juga disebut zona " critical total loading ". Di daerah ini, konsentrasi rata-rata tahunan atau harian SO 2 , NO 2 , dan polutan lainnya berada pada tingkatan yang tinggi.  Struggling zone : beberapa spesies lichen yang resisten masih ada, akan tetapi koloni dari spesies yang sensitif telah mengalami kerusakan. Zona ini dibedakan menjadi beberapa subzones berikut ini : - inner struggling zone = spesies yang dipelajari dapat ditemukan pada 10% dari pepohonan - intermediate struggling zone = spesies yang dipelajari dapat ditemukan pada 25% dari pepohonan - outer struggling zone = spesies yang dipelajari dapat ditemukan pada 50% dari pepohonan  Normal zone : polusi udara tidak memberikan pengaruh terhadap perkembangan lumut. Antara zona luar dan normal, sering disebut sebagai zona transisi.

Tahap-tahap pemantauan pencemaran udara dengan menggunakan tumbuhan sebagai bioindikator

3.7.3.1 Lichen sebagai indikator Burton (1986) menekankan perlunya pertimbangan dalam perbedaan morfologi dan sifat pertukaran ion antara spesies lichen yang berbeda ketika memilih spesies untuk memantau logam berat atmosfer. Selain itu Richardson (1991) juga menyebutkan bahwa penentuan sifat  

17

 Transplantasi lumut Meskipun tidak ditemukan adanya keberadaan lumut di daerah studi, pemantauan masih dapat dilakukan dengan memanfaatkan Lichen dari tempat lain ke dalam bentuk monitor aktif. Hal ini dilakukan dengan mentransplantasikannya ke daerah studi. Lichen sensitif yang hidup di kulit pohon, sering kali Parmelia (Hypogymnia) physodes, dikumpulkan dari daerah yang bersih dari emisi S. Transplantasi harus dikumpulkan dari batang pohon oak. Dengan menggunakan alat bor yang terbuat dari logam, lempengan setebal 15 mm dengan diameter 42 mm dipotong keluar dari batang. Ketika mengumpulkan lumut, perawatan khusus harus dilakukan karena masing-masing individu dalam setiap koloni tidak boleh rusak, yaitu pada permukaan lempengan koloni harus tetap sempurna dari kerusakan. Jika lempengan diambil dari batang pohon yang hidup, lubang pada batang harus ditutupi oleh lilin. Lempengan ditempatkan pada piringan paparan 29 x 12 x 2.5 cm. Dalam piring terdapat 10 lubang berdiameter 45 mm dan kedalaman 15 mm yang telah disiapkan. Piringan paparan dipasang pada tiang dengan ketinggian 150 cm, dan diarahkan ke arah cerobong emisi SO 2 di kota atau pusat-pusat industri di daerah terbuka.

percobaan transplantasi tanaman studi ditanam bersama dengan substrat tanah asli dimana tanaman itu tumbuh, kemudian ditempatkan dari daerah yang tidak tercemar (situs kontrol) ke tempat-tempat yang berpotensi tercemar. Situs favorit untuk transplantasi adalah lokasi dengan konsentrasi gas polutan yang tinggi (terutama SO 2 , HF, atau O 3 ), misalnya di dalam atau di sekitar daerah industri. Setelah waktu paparan tertentu (yang mungkin berkisar dari beberapa minggu sampai beberapa tahun) respon yang berbeda dari transplantasi diperiksa dan dibandingkan dengan tanaman kontrol. Selanjutnya, kesimpulan dapat ditarik untuk tingkat polusi dari suatu wilayah tersebut. 3.7.3.3 Tumbuhan indikator

tinggi

sebagai

-

Pemilihan lokasi Luasan area yang diteliti umumnya akan menentukan distribusi spasial dari lokasi pengambilan sampel. Kedalaman penelitian yang dilakukan juga akan menentukan kepadatan lokasi-lokasi sampling. Selain itu pemilihan lokasi juga akan tergantung pada jenis sampler. Oleh karenanya kriteria pemilihan lokasi harus konsisten di seluruh survei. Dalam survei dengan skala yang lebih besar, misalnya pada skala nasional, lokasi situs di dekat titik sumber pencemaran udara sebaiknya dihindari. Sebagai contoh, dalam sebuah studi nasional di Polandia, Dmuchowski dan Bytnerowicz (1995) memilih situs sampling setidaknya dua km jauhnya dari sumber emisi langsung dan setidaknya 300 m dari jalan raya. Sedangkan untuk lokasi pemantauan yang ruang lingkupnya lebih sempit seperti pada penelitian Solichatun (2007) dimana dilakukan dengan menempatkan tanaman dipinggir jalan dengan jarak 3 meter dari tepi jalan raya (dianggap titik 0 m), 50 m, 100m, dan 200 m dari jalan raya.

3.7.3.2 Bryophyta sebagai indikator Terdapat dua pilihan teknik dalam menggunakan bryophyta sebagai indikator yaitu dengan menggunakan spesies asli atau spesies yang di transplantasikan. Hal ini akan mempengaruhi jenis spesies yang dipilih dan teknik analisis kimia yang digunakan. Kriteria pemilihan spesies lumut yang digunakan sebagai indikator menurut Wolterbeek dan Bode (1995) meliputi ketersediaan spesies, batas toleransi lumut terhadap paparan polutan udara, karakter bioakumulasi, dan kemudahan dalam sampling. Bryophytes (bersama dengan lumut) telah lama digunakan untuk menilai kualitas lingkungan. Sama halnya dengan pemetaan pada lumut, dengan menentukan bryoflora di daerah atau dengan pemetaan keberadaan spesies Bryophytes tertentu akan dapat ditarik kesimpulan tentang kondisi lingkungan. Sebuah metode yang sering digunakan untuk mengevaluasi kualitas lingkungan adalah dengan eksperimen transplantasi. Le Blanc dan Rao (1966) dalam Kovac (1992b) disebutkan merupakan peneliti yang pertama kali menggunakan brophytes untuk tujuan ini. Dalam  

tingkat

-

Pemilihan spesies indikator Untuk kenyamanan, pemilihan spesies dapat dipisahkan menjadi dua kelompok yaitu tumbuhan herbal/rumput dan pepohonan/semaksemak. Spesies yang sensitif lebih tepat untuk digunakan sebagai bioindikator polutan udara di mana dilakukan pengukuran efek polutan udara terhadap tanaman dan responnya. Sedangkan bioindikator akumulatif cenderung lebih toleran terhadap paparan polutan udara. 18

Menurut Poykio et al (2010) jenis konifera dan pohon deciduous dapat digunakan dalam deteksi pencemaran logam berat udara. Pohon jenis konifera mengindikasikan polusi dalam periode waktu yang lama. Cincin pertumbuhannya mungkin mencerminkan variasi tahunan di konsentrasi logam di lingkungan sekitarnya. Menurut Kovács (1992a), jenis pohon berdaun lebar dianggap sensitif terhadap kontaminasi logam termasuk Betula pendula, Fraxinus excelsior, Sorbus aucuparia, Tilia cordata dan Malus domestica.

tangkai daun, yaitu daun nomor 3 sampai daun nomor 6 dari ujung ranting, karena daun tersebut adalah daun yang aktif melakukan fotosintesis. Selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Dahlan (1989) masing-masing jenis pohon diambil daun tua dan daun mudanya dari cabang yang mengarah ke jalan raya dan daun-daun tersebut terletak pada ketinggian antara 1-2 m dari permukaan tanah. Daun muda dalam penelitian ini dibatasi pada daun nomor 1-4 dari pucuk ranting, sedangkan daun tua adalah nomor 8 dan seterusnya dari pucuk ranting.

-

-

Analisis Kovács (1992a) menganjurkan bahwa dalam menganalisis indikator polusi udara diperlukan pula pemeriksaan kandungan tanah dikarenakan tanah sering mengandung konsentrasi logam yang lebih tinggi daripada bagian dari tumbuhan indikator. Selain itu replikasi adalah penting karena konsentrasi polutan dapat bervariasi bahkan dalam spesies yang sama.   Adanya variasi yang besar diantara persiapan sample adalah dalam hal prosedur pencucian. Prioritas perhatian terhadap masalah ini telah diberlakukan terhadap sampel daun pada khususnya. Analisis dengan menggunakan pencucian sebagai salah satu prosedurnya akan memberikan dan meninggalkan konsentrasi suatu unsur dalam jaringan daun. Sebagai alternatifnya, digunakan daun yang tidak melalui proses pencucian dalam analisisnya sehingga kandungan unsur di dalam daun akan mencerminkan kondisi dari permukaan daun dan konten di dalam jaringan daun.Prosedur analisis yang dilakukan mirip dengan yang diterapkan untuk lumut dan lichen, misalnya spektrometri serapan atom (AAS), analisis aktivasi neutron (AAN) dan spektrofotometer massa induktif coupled plasma (ICP-MS).

Periode sampling Untuk studi perbandingan adalah penting untuk melakukan sampling pada waktu yang sama setiap tahun sehingga dengan begitu maka variablitas akan tereduksi. Selain itu pengetahuan mengenai kehidupan dari tumbuhan indikator yang digunakan juga diperlukan untuk menentukan periode sampling. Sebagai contoh adalah komposisi kimia daun yang bervariasi dengan musim dan curah hujan. Hal tersebut penting jika dilakukan sampling pada pohon yang tumbuh tahunan dan pepohonan yang meranggas. Sebagai contoh adalah standar sampling dari akumulasi logam berat pada Populus nigra di Eropa tengah yang dilakukan pada bulan Agustus. Pada bulan tersebut adalah merupakan saat dimana daunnya akan menyerap konten logam yang tertinggi. Pada penelitian tersebut ditemukan konsentrasi Cu dan Zn yang lebih tinggi pada musim gugur dibandingkan dengan musim semi di dedaunan dari berbagai jenis pohon. Hanya spesies cemara, Ligustrum japonicum, yang memiliki proses penuaan daun selama dua tahun, menunjukkan perbedaan konsentrasi Cu dan Zn yang tidak signifikan. -

Pengumpulan sampel Sepanjang program pemantauan, pengambilan sampel haruslah dilakukan dengan standar. Bagian tanaman yang digunakan harus sama pada setiap spesies tanaman yang digunakan. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Purwanti (2008) dimana sampel daun pada tanaman Glondokan dan Mahoni diambil pada bagian yang paling dekat yaitu daun yang digunakan adalah daun nomor 3 terhitung dari ujung. Sedangkan pada penelitian Roy dkk. (2010) bagian dari tanaman yang digunakan sebagai sampel adalah daun dari tanaman yang tidak terlalu tua maupun tidak terlalu muda. Daun yang diambil berasal dari bagian pertengahan  

19

No. 1 2

Tabel 3.6 Pertimbangan dalam Pemilihan Indikator Kriteria Pemilihan Indikator mudah diidentifikasi di lapangan terdistribusikan secara luas dalam jangkauan geografis emisi yang diprediksi

mudah diukur dan menggambarkan tanggapan terhadap kondisi lingkungan dalam ekosistem mudah dalam pengambilan dan ketersediaan sampel selama berulang kali sepanjang tahun, untuk menangkap variabilitas 4 temporal memiliki respon yang berbeda yang mampu memprediksi 5 bagaimana spesies atau ekosistem akan merespon stres mengukur respon dengan akurasi yang dapat diterima dan 6 presisi didasarkan pada pengetahuan dari bahan pencemar dan 7 karakteristiknya Sumber : Tingey (1989) 3

Tabel 3.7 Tumbuhan Indikator Pencemaran Dan Sifat Karakteristiknya Tumbuhan Polutan Sifat Karakterisitik Indikator Bercak atau garis merah atau coklat pada permukaan atas daun ; untuk Salvia, Dahlia, pencemaran yang lebih berat : tepi Pinus daun mengerut, kelayuan pada bagian apical pada pinus jarum Ozon Bercak transparan pada tepi atau dekat tulang daun karena jaringan Ficus, SO 2 yang mati Xenia,Pinus Jaringan bagian apikal dan tepi HF daun rusak Gladiolus, Pinus Chrysanthemum, Kerusakan klorofil daun dan sel-sel Pitunia, Salvia, PAN permukaan bawah mati Primrose Sumber : Tingey (1989) Tabel 3.8 Lichen yang Sensitif terhadap Foto-Oksidan Cukup Paling sensitif Sensitif Toleran Toleran Brorya Hypogymnia Letharia abbreviata Cetraria merrillii enteromorpha vulpina Collema Palmeria Phsycia B.cf.fremonii nigrescens glabrata bisiana Cetraria Leptogium canadensis californicim P.elegantula P.tenella Evernia Physconia prunastri Parmelia sulcata P.subolivacea grisea Xanthoria Xanthoria Peltigera canina P.quercina polycarpa fallax Peltigera P.collina rufescens  

20

P.spuria Physcia ciliata Phsycia sciastra P.orbicularis Platismatia Polychidium glauca albociliadum Pseudocyphella ria anthraspis Usnea sp. Ramalina farinacea R.menziesii Xanthoria candelaria Tabel 3.9 Spesies Bryophyta Yang Terpengaruh Oleh Polusi Udara Epifit Epilit Spesies Peralihan Cryphaea heteromalla

Grimmia affinis

Antitrichia curtipendula

Frullania dilatata Neckera pumila Orthotrichum lyellii O. obtusifolium O. schimperi O. speciosum O striatum O. tenellum Tortula laevipila Ulota crispa var. Crispa

G. decipiens G. laevigata Orbicularis G. G. ovalis

Leucodon sciuroides

U. crispa var. Norvegica Sumber : Adams dan Preston (1992) Tabel 3.10 Spesies Tanaman Indikator Pencemar

Tanda-Tanda

Kadar (ppm)

Tumbuhan Indikator Labu

Sulfur dioksida

Putih coklat, pucat

Jewawut 0.1 - 3.0

Kapas Gandum Apel Tulip

Fluorida

nekrosis pada tepi daun

0.0001

Pinus Apricot Gladioli Tembakau

Ozon

tanda merahcoklat

0.15

Tomat Bayam Kentang

 

21

Petunia Oxidant Smog

Warna putih di bawah daun

0.2

Lettuce Oats Kacang

Lanjutan Tabel 3.10 Spesies Tanaman Indikator

Pencemar

Kadar (ppm)

Tanda-Tanda

Tumbuhan Indikator Radishes Alfalfa

Klor

Pucat, Necrosis

1.5

Timun Peaches Maple Cosmos Anggrek

Ethylene

Bunga mengering

Carnation 0.01

Azales Tomat

Kapas Sumber : Purdom dan Stanley (1980) Tabel 3.11 Tumbuhan Herbal Sensitif SO 2

 

Anagallis arvensis Aster bigelovii Avena sativa Beta vulgaris B. vulgaris var. cicla

Medicago sativa Phaseolus vulgaris Plantago lanceolata Poa annua Raphanus sativus

Brassica oleracea var gemmifera

Rheum rhaponticum

B.oleracea var. acephala Chichorium endivia Fagopyron esculentum Gossypium hirsutum Helianthus sp. Hordeum vulgare Lactuca sativa Lathyrus odoratus

Secale cereale Spinacia oleracea Triticum sp. Trifolium sp. Verbena canadensis Viola sp. Zinnia elegans Lepidium sativum

22

Tabel 3.12 Spesies Konifer Sensitif SO 2 Paling sensitif Larix occidentalis Pseudotsuga menziesii Pinus ponderosa

Kurang sensitif Picea engelmanii Pinus monticola Tsuga heterophylla

Pinus banksiana P.silvestris P.strobus

Pinus contorta Abies grandis Abies concolor

Tabel 3.13 Pohon Peneduh Jalan Sensitif SO 2 Paling sensitif Betula papyrifera

Kurang sensitif Acer glabrum Crataegus columbiana Populus trichocarpa Sorbus scopulina Alnus tenuifolia Prunus virginiana

Prunus emarginata Populus tremuloides Abies alba Picea abies Malus sp. Betula sp. Catalpa speciosa Morus microphylla Pyrus communis

Tabel 3.19 Tumbuhan Herbal Sensitif HF Anagallis arvensis

Majanthemum bifolium

Allium cepa A.porrum Begonia tuberhybrida

Narcissus poeticus Paeonia officinalis Phleum pratense Polygonatum amphibium P.odoratum Silene vulgaris Trifolium sp Trifolium incarnatum Tulipa gesneriana Zea mays

Colchicum autumnale Convallaria majalis Crocus sp. Dactylis glomerata Fresia sp Hordeum vulgare Iris sp. Lilium candidum

 

23

Tabel 3.20 Tumbuhan yang Sensitif HF Sensitif Mahonia repens

Pinus ponderosa

Acer negundo Vaccinium sp. Zea mays Pseudotsuga menziesii

Larix occidentalis Prunus persica Pinus strobus

Prunus domestica Picea pungens Tulipa gesneriana

Gladiolus sp. Vitis vinifera

Populus tremuiloides

Pinus sylvestris Pinus mugho Intermediate Vitis labrusca Citrus paradisi Digitaria sanguinalis Chenopolidium album

Aster sp. Hordeum vulgare Prunus avium Prunus virginiana Cerastium sp

Syringa vulgaris Tilia cordata Acer campestre Acer saccharinum Morus rubra

Rosa odorata Amelanchier alnifolia Sorghum vulgare Picea glauca Rhus glabra Helianthus sp.

Citrus sp. Geranium sp.

Chenopodium sp. Citrus sinensis

Juglans nigra Juglans regia

Solidago sp.

Paeonia sp.

Taxus cuspidata

Prunus armeniaca

Pinus contorta

Malus sylevestris Thuja sp. Fraxinus pennysylvania

Populus nigra L. Rubus idaeus Rhododendron sp.

Tabel 3.21 Pohon Sensitif HF Abies alba Picea abies Pinus ponderosa P.silvestris P.strobus Tabel 3.22 Tumbuhan Herbal Sensitif NO 2 Azalea sp. Amaranthus sp. Helianthus annus Lactuca sativa Nicotiana glutinosa N.rustica

 

Phaseolus vulgaris Plantago major Rhodondendron sp Spinacia oleracea var. Subito S.oleracea var.Dynamo

24

Tabel 3.23 Tumbuhan Herbal Sensitif PAN (Peroxy Acetil Nitrat) Dianthus caryophylus Glycine max. Nicotiana tabacum Petunia hybrida Phaseolus coccineus

Ph. Vulgaris Poa annua Spinacia oleracea Urtica urens

Tabel 3.24 Tanaman Pertanian Sensitif PAN (Peroxy Acetil Nitrat) Spinach

Beet

Endive

Corn

Oats Romaine lettuce Swiss chard Alfalfa

Celery Pepper Tobacco Clover

Beans Tabel 3.25 Tanaman Hias Sensitif PAN (Peroxy Acetil Nitrat) Petunia Mimulus Snapdragon Primrose

Mint Ranunculus Fuchsia Impatiens

Aster Tabel 3.26 Pohon (berkayu) Sensitif PAN (Peroxy Acetil Nitrat) Picea abies Pinus banksiana P.strobus Tabel 3.27 Tumbuhan Gulma Sensitif PAN (Peroxy Acetil Nitrat) Annual bluegrass Pigweed Chickweed Wild oat

 

Ground cherry Mustard Jimson weed Dock

25

Tabel 3.28 Indikator Sensitif O 3 dan Gejala yang Terlihat Tumbuhan indikator

Gejala yang Tampak Gosong kecoklatan dan klorosis Titik-titik putih titik-titik merah hingga hitam klorosis

Bean (Phaseolus) Cucumber ( Cucumis) Grape (Vitis) Morning glory (Ipomoea) Tumbuhan indikator

Gejala yang Tampak Bintik-bintik putih dan kematian jaringan Bintik-bintik abu-abu and klorosis Merah kecoklatan and klorosis Abu-abu hingga bintikbintik putih Bintik-bintik abu-abu and klorosis

Onion (Allium) Potato (Solanum) Soybean (Glycine) Spinach (Spinacia) Watermelon (Citrullus)

Tabel 3.29 Pohon (berkayu) Sensitif O 3 Ailanthus Ash,green Ash, white Azalea Cotoneaster Larch, European Oak, white

Pine, Jack Pine, pendorosa Pine, virginia Poplar Sycamore, American Pine, Austrian

Tabel 3.30 Tanaman Pertanian dan Gulma Sensitif O 3 Alfalfa Barley Bean Buckwheat Citrus Clover, red

 

Muskmelon Oat Onion Potato Radish Ragweed

Grape Grass,bent Grass, brome Grass, crab Grass, orchard Wheat

26

Safflower Soybean Spinach Tobacco Tomato Rye

Jalan Ahmad Yani adalah 0.90 untuk jalan di depan Polda Jatim dan 1.13 untuk jalan di dekat Bundaran Waru. Hal ini menandakan bahwa kemacetan di Jalan Ahmad Yani sudah tidak dapat di tolerir lagi. Kondisi Jalan Ahmad Yani yang selalu macet dan dipenuhi oleh kendaraan bermotor akan berakibat pula pada penurunan kualitas udara di sekitarnya. Asap kendaraan bermotor yang mengandung banyak polutan-polutan berbahaya seperti halnya SO 2 , CO, NO 2 , Pb dan lain sebagainya, akan mencemari udara ambien yang dapat merugikan kehidupan makhluk hidup terutama manusia. Berikut ini adalah konsentrasi gas-gas polutan yang didapatkan dari hasil pemantauan udara ambien yang ditunjukkan dengan Tabel 4.1 sebagai berikut : Tabel 4.1 Kualitas Udara Ambien Jalan Ahmad Yani Surabaya

BAB IV STUDI KASUS 4.1

Gambaran Umum Jalan Ahmad Yani Jalan Ahmad Yani merupakan jalan yang sudah tidak asing lagi bagi warga Kota Surabaya. Jalan Ahmad Yani sangat dikenal dengan jalanan yang selalu dilanda kemacetan baik itu pagi maupun sore, hal ini dirasakan wajar karena jalan ini merupakan penghubung utama antara Kota Surabaya dengan Sidoarjo dan Mojokerto. Jalan Ahmad Yani adalah merupakan jalan yang terletak di Surabaya Selatan, tepatnya di Kecamatan Wonocolo. Jalan Ahmad Yani terbagi menjadi 2 arah yaitu ke arah Jalan Wonokromo dan ke Bundaran Waru dengan panjang masingmasing bagian adalah sekitar 10 km. Memiliki posisi yang strategis dan vital, Jalan Ahmad Yani menjelma sebagai daerah yang padat akan berbagai macam aktivitas baik itu aktivitas pemerintahan, perekonomian, pendidikan maupun kebudayaan. Di pinggiran Jalan Ahmad Yani dapat banyak ditemui bangunan-bangunan megah milik pemerintah, swasta maupun masyrakat. Bangunan-bangunan tersebut antara lain adalah Polda Jatim, Kejaksaan Tinggi Jatim, Dinas Pertanian Jatim, City Of Tomorrow Mall, Royal Plaza, giant hypermart, Badan Usaha Logistik Jatim, Jatim Expo, Kampus IAIN Sunan Ampel, Graha Pena Jawa Pos, Universitas Bhayangkara, Rumah sakit TNI AL Dr. Ramelan, Rumah Sakit Bhayangkara, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sebagai pusat aktivitas penduduk dan sebagai jalur utama lintas kota tentu saja akan berimbas pada timbulnya kemacetan di Jalan Ahmad Yani. Setiap harinya puluhan ribu kendaraan bermotor baik itu angkutan umum, kendaraan pribadi maupun kendaraan berat menggunakan jasa dari Jalan Ahmad Yani. Hal tersebut menyebabkan kemacetan yang tertinggi di Kota Surabaya, hal ini ditunjukkan oleh analisa bangkitan lalu lintas yang dilakukan oleh Departemen Perhubungan Kota Surabaya (2009) yang kemudian akan ditetapkan nilai derajat kejenuhan/Degree of Saturation-nya (DS). Derajat kejenuhan itu sendiri adalah perbandingan antara volume kendaraan dan kapasitas jalan, atau V/C ratio. Nilai ideal yang dianjurkan untuk DS segmen jalan dalam kota adalah tidak melebihi 0.75. Namun demikian nilai DS sampai dengan 0.80 untuk segmen jalan di kota-kota besar masih dapat ditolerir, karena pertumbuhan lalu lintas di kota-kota besar relatif lebih tinggi. Nilai DS dari  

No 1

Parameter

Satuan

Baku Mutu

Hasil Studi

ppm

0.1

0,0128

2

Sulfur Dioksida Karbon Monoksida

ppm

20

15,65

3

Oksida nitrogen

ppm

0.05

0,0125

4

Debu

mg/m3

0.26

0,263

5 Suhu/Kelembaban Celcius 33,2 Sumber : BBTKL Kota Surabaya (2011) Kondisi udara ambien di Jalan Ahmad Yani juga tambah diperparah oleh banyaknya kendaraan bermotor yang tidak lulus uji emisi. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut ini : Tabel 4.2 Jumlah Kelulusan Uji Emisi Kendaraan Bermotor di Surabaya Tidak Lokasi Lulus Lulus Jumlah Terminal Purabaya 39 1 40 Terminal Tambak Oso Wilangun 7 7 14 Terminal Joyoboyo 14 3 17 Rungkut Industri 18 12 30 Jalan Ahmad Yani 153 105 258

27

Jumlah 234 129 Sumber: Dishub Kota Surabaya (2010)

359

Keterangan: Lulus (gas buang sesuai standar) Tidak Lulus (gas buang di atas ambang batas) Pada Tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa dari 153 kendaraan bermotor yang diuji emisinya terdapat 105 kendaraan bermotor yang tidak lulus uji emisi. Hal ini berarti hampir 50% jumlah kendaraan bermotor yang lewat di Jalan Ahmad Yani memiliki kadar emisi yang tidak sesuai dengan standar. Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung dari kondisi mengemudi, jenis mesin, alat pengendali emisi bahan bakar, suhu operasi dan faktor lain yang semuanya ini membuat pola emisi menjadi rumit. Jenis bahan bakar pencemar yang dikeluarkan oleh mesin denganbahan bakar bensin maupun bahan bakar solar sebenarnya sama saja, hanya berbeda proporsinya karena perbedaan cara operasi mesin. Secara visual selalu terlihat asap dari knalpot kendaraan bermotor dengan bahan bakar solar, yang umumnya tidak terlihat pada kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin. Bahan pencemar yang terutama terdapat didalam gas buang buang kendaraan bermotor adalah karbon monoksida (CO), berbagai senyawa hindrokarbon, berbagai oksida nitrogen (NOx) dan sulfur (SOx), dan partikulat debu termasuk timbel (Pb). Bahan bakar tertentu seperti hidrokarbon dan timbel organik, dilepaskan ke udara karena adanya penguapan dari sistem bahan bakar.   Lalu lintas kendaraan bermotor, juga dapat meningkatkan kadar partikular debu yang berasal dari permukaan jalan, komponen ban dan rem. Setelah berada di udara, beberapa senyawa yang terkandung dalam gas buang kendaraan bermotor dapat berubah karena terjadinya suatu reaksi, misalnya dengan sinar matahari dan uap air, atau juga antara senyawa-senyawa tersebut satu sama lain. Berikut ini adalah gambaran tentang kondisi jalan Ahmad Yani dan peta lokasi Jalan Ahmad Yani yang dapat dilihat pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2.

 

Sumber : http://erwin4rch.wordpress.com/ 2008/ 04/ 18/ alternatif-solusi-bagi-transportasi-publikdi-kota-surabaya/ Gambar 4.1 Jalan Ahmad Yani

Sumber : http://maps.google.co.id/maps?um =1&hl = id&biw = 1280&bih=580&gbv=2&q=jendral%20ahmad%2 0yani%20surabaya&ie=UTF-8&sa=N&tab=il Gambar 4.2 Peta Lokasi Jalan Ahmad Yani 4.2 Pertumbuhan tanaman bayam di lokasi dan perlakuan yang berbeda Hasil pengamatan terhadap tinggi, jumlah daun, panjang daun, dan keliling batang tanaman bayam yang dapat dilihat pada Tabel 5.9, 5.10, 5.11, 5.12 dan Gambar 5.9, 5.10, 5.11, 5.12. Dalam hal ini akan dilakukan perbandingan pertumbuhan tanaman antara tanaman kontrol, tanaman reaktor rumah tanaman dan tanaman yang diletakkan di jalur trotoar tengah Jalan Ahmad Yani. Dari gambar tersebut diketahui bahwa terdapat kecenderungan perbedaan pada pertumbuhan tanaman bayam terhadap lamanya pemaparan polutan udara dengan konsentrasi pemaparan yang berbeda-beda.

28

Tabel 5. 9 Perbandingan Tinggi Tanaman Bayam Berdasarkan Jenis Perlakuan No .

Waktu Pengamata n (Minggu Setelah Tanam)

1. 2. 3. 4. 5.

1 2 3 4 5

Rataan tinggi tanaman (cm) dari n = 5 Jenis Perlakuan Kontro Terpapa Terpapa l r 7 Jam r 24 Jam 14.3 10.6 12.32 20.72 15.2 16.16 28.46 23.3 25.6 34.04 27.98 31.86 44.22 32.72 35.2 Gambar 5.10 Grafik Perbandingan Jumlah Daun Bayam Berdasarkan Jenis Perlakuan

Rat aan  Tin ggi Tanam an (

50 40

Tabel 5.11 Perbandingan Panjang Daun Bayam Berdasarkan Jenis Perlakuan

30

Kontrol

20

Tppr 7 Jam

10

Tppr 24 Jam

Rataan Panjang Daun (cm) Waktu dari n = 5 Pengamatan No. (Minggu Jenis Perlakuan Setelah Terpapar Terpapar Kontrol Tanam) 7 Jam 24 Jam

0 0

2

4

6

1. 2. 3. 4. 5.

Waktu Pengamatan (MST)

Gambar 5.9 Grafik Perbandingan Tinggi Tanaman Bayam Berdasarkan Jenis Perlakuan

Rataan Panjang Daun (

Tabel 5.10 Perbandingan Jumlah Daun Tanaman Bayam Berdasarkan Jenis Perlakuan Rataan Jumlah Daun (helai) Waktu dari Pengamatan n=5 No. (Minggu Jenis Perlakuan Setelah Terpapar Terpapar Tanam) Kontrol 7 Jam 24 Jam 1. 1 22 21 21 2. 2 23 21 22 3. 3 25 22 22 4. 4 27 21 23 5. 5 29 22 22

 

1 2 3 4 5

11.36 12.36 13.52 14.98 16.3

10.1 11.5 12.92 13.8 14.82

18 16 14 12 10 8 6 4 2 0

10.68 12.02 13.28 14.14 15.42

Kontrol Tppr 7 Jam Tppr 24 Jam

0

2

4

6

Waktu Pengamatan (MST)

Gambar 5.11 Grafik Perbandingan Panjang Daun Bayam Berdasarkan Jenis Perlakuan

29

dengan konsentrasi paparan polutan yang relatif tetap. Dengan begitu tanaman dalam reaktor rumah tanaman akan menerima paparan polutan pencemar udara yang relatif lebih besar daripada tanaman di jalur trotoar tengah Jalan Ahmad Yani, sehingga pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan tanaman di jalan. Sedangkan tanaman kontrol tetap memiliki pertumbuhan yang tertinggi dibandingkan dua perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan tanaman kontrol tidak terpapar polutan udara sama sekali sehingga tanaman dapat tumbuh dengan normal. Analisa di atas didukung oleh pernyataan

Tabel 5.12 Perbandingan Keliling batang Bayam (cm) Berdasarkan Jenis Perlakuan

1. 2. 3. 4. 5.

1 2 3 4 5

Rataan Keliling Batang (

No .

Waktu Pengamata n (Minggu Setelah Tanam)

Rataan Keliling batang (cm) dari n=5 Jenis Perlakuan Terpapa Kontro Terpapa r 24 l r 7 Jam Jam 2.38 2.32 2.32 2.48 2.4 2.4 2.64 2.52 2.58 2.74 2.7 2.72 2.94 2.8 2.88

3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0

Tabel 5.22 Perbandingan Jumlah Daun Tanaman Bunga Pukul Empat Berdasarkan Jenis Perlakuan Rataan Jumlah Daun (helai) Waktu dari Pengamatan n=5 No. (Minggu Jenis Perlakuan Setelah Terpapar Terpapar Tanam) Kontrol 7 Jam 24 Jam 1. 1 16 16 15 2. 2 18 17 16 3. 3 20 17 16 4. 4 22 18 17 5. 5 23 19 16 yang dikemukakan oleh Fitter dan Hay (1998) bahwa tumbuhan yang terpapar gas polutan pada konsentrasi tertentu dengan jangka waktu yang relatif lebih lama akan menghasilkan reduksi pertumbuhan yang tidak optimum.

Kontrol Tppr 7 Jam Tppr 24 Jam 0

2

4

6

Waktu Pengamatan (MST)

Gambar 5.12 Grafik Perbandingan Keliling batang Bayam (cm) Berdasarkan Jenis Perlakuan Pada tabel-tabel dan gambar-gambar di atas dapat dilihat bahwa tanaman bayam yang terpapar 24 jam memiliki tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun dan keliling batang yang lebih baik daripada tanaman bayam yang terpapar 7 jam. Hal ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan konsentrasi pemaparan dan perbedaan tempat antara keduanya dimana tanaman terpapar 24 jam berada di tempat yang terbuka yaitu di jalur trotoar tengah Jalan Ahmad Yani, sedangkan tanaman terpapar 7 jam berada di dalam tempat yang tertutup yaitu di dalam reaktor rumah tanaman. Dengan lokasi yang berada di tempat terbuka maka konsentrasi gas polutan yang dipaparkan akan berfluktuasi dikarenakan banyaknya faktor yang mempengaruhinya seperti kecepatan angin, suhu udara, intensitas cahaya matahari, belum lagi keberadaan tanaman lainnya dan lain sebagainya. Sebaliknya, tanaman dalam reaktor rumah tanaman akan terpapar secara rutin  

4.3 Pertumbuhan tanaman bunga pukul empat di lokasi dan perlakuan yang berbeda Hasil pengamatan terhadap tinggi, jumlah daun, panjang daun, dan keliling batang tanaman bunga pukul empat yang dapat dilihat pada Tabel 5.21 hingga Tabel 5.24 dan Gambar 5.21, 5.22, 5.23, dan 5.24. Dalam hal ini akan dilakukan perbandingan pertumbuhan tanaman antara tanaman kontrol, tanaman reaktor dan tanaman yang ditanam di jalur trotoar tengah Jalan Ahmad Yani. Dari gambar tersebut diketahui bahwa terdapat kecenderungan perbedaan pada pertumbuhan tanaman bunga pukul empat terhadap lamanya pemaparan polutan udara dengan konsentrasi pemaparan yang berbeda–beda.

30

Tabel 5.21 Perbandingan Tinggi Tanaman Bunga Pukul Empat Berdasarkan Jenis Perlakuan Rataan tinggi tanaman (cm) Waktu dari Pengamata n=5 No n (Minggu . Jenis Perlakuan Setelah Kontro Terpapa Terpapar Tanam) l r 7 Jam 24 Jam 1. 1 17.84 16.30 15.92 2. 2 19.02 17.56 16.76 3. 3 20.80 18.56 17.90 4. 4 22.43 20.16 18.96 5. 5 24.14 22.28 22.10

Tabel 5.23 Perbandingan Panjang Daun Bunga Pukul Empat Berdasarkan Jenis Perlakuan Rataan Panjang Daun (cm) dari n Waktu =5 Pengamatan (Minggu No. Jenis Perlakuan Setelah Terpapar Terpapar Kontrol Tanam) 24 Jam 7 Jam 1. 2. 3. 4. 5.

1 2 3 4 5

9.22 10.36 11.32 12.06 13.08

8.72 9.94 10.7 11.52 12.36

8.46 9.58 10.7 11.4 12.26

25.00

14

20.00 15.00

Kontrol

10.00

Tppr 7 Jam

5.00

Tppr 24 Jam

Rataan Panjang Daun (

Rataan Tinggi Tanaman (

30.00

0.00 0

2

4

6

Waktu Pengamatan (MST)

12 10 8

Kontrol

6

Tppr 7 Jam

4

Tppr 24 Jam 

2 0 0

Gambar 5.21 Grafik Perbandingan Tinggi Tanaman Bunga Pukul Empat Berdasarkan Jenis Perlakuan

2

4

6

Waktu Pengamatan (MST)

Gambar 5.23 Grafik Perbandingan Panjang Daun Bunga Pukul Empat Berdasarkan Jenis Perlakuan Tabel 5.24 Perbandingan Keliling batang Bunga Pukul Empat (cm) Berdasarkan Jenis Perlakuan Rataan Keliling batang (cm) dari Waktu n=5 Pengamatan No. (Minggu Jenis Perlakuan Setelah Terpapar Terpapar Kontrol Tanam) 24 Jam 7 Jam 1. 2. 3. 4. 5.

Gambar 5.22 Grafik Perbandingan Jumlah Daun Bunga Pukul Empat Berdasarkan Jenis Perlakuan

 

31

1 2 3 4 5

0.56 0.6 0.7 0.76 0.82

0.52 0.6 0.64 0.72 0.76

0.56 0.62 0.66 0.76 0.8

Rataan Keliling Batang (

daripada menolak SO 2 dan O 3 . Ini berarti bahwa ketika stomata tertutup, nitrogen oksida masih mungkin masuk ke daun melalui lapisan epidermis meskipun hanyalah sebagian kecil. Ketika NO berhasil masuk pada tanaman atau daun tanaman, NO akan menyerang lipid sehingga terjadi isomerisasi karbon yaitu perubahan ikatan karbon ganda dari bentuk cis ke trans atau menyebabkan peroksidasi. Pada umumnya , paparan dalam jangka panjang sejumlah konsentrasi NO 2 yang tinggi tidak dapat menunjukkan bukti dari reaksi tersebut. Akan tetapi sebaliknya, Wellburn (1994) menyatakan bahwa NO merupakan radikal bebas (N = O) yang dapat bereaksi dengan atom logam seperti besi dan tembaga, bahkan membentuk ikatan dengan enzim. Reaksi tersebut sering terjadi dalam proses metabolisme tumbuhan, sehingga dipercaya bahwa ini adalah alasan utama mengapa Nitrogen Oksida (terutama NO) menghambat pertumbuhan tanaman. Laporan penurunan pertumbuhan yang disebabkan oleh konsentrasi Nitrogen Oksida yang rendah sangatlah bervariasi antar spesies. Beberapa rumput tidak menunjukkan efek terhadap fumigasi (0,06 ppm untuk 20 minggu) sementara yang lain memiliki penurunan lebih dari 55% dalam berat kering. Jumlah kerusakan bervariasi dengan konsentrasi dan lamanya kontak, serta dengan umur tanaman, fluks cahaya, kelembaban, suhu dan musim. Bahkan ada beberapa laporan mengenai adanya efek yang menguntungkan dari Nitrogen Oksida pada pertumbuhan tanaman tetapi ini terbatas pada beberapa spesies. Berdasarkan pembahasan di atas, didapatkan bahwa walaupun konsentrasi NOx pada pemaparan selama 7 jam dan 24 jam selama 5 minggu hanya dilakukan pada tingkatan konsentrasi yang rendah yaitu 0,053 ppm dan 0.0125 ppm, masih dimungkinkan bagi polutan gas NOx untuk memberikan efek pada tanaman bayam sebagai indikator dari NOx. Hal ini ditunjukkan dengan adanya tingkat pertumbuhan tanaman bayam pada parameter tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun dan keliling batang yang lebih kecil dibandingkan tanaman bayam pada perlakuan kontrol. Tanaman yang terpapar selama 7 jam/ hari merupakan kelompok tanaman yang paling mengalami penurunan tingkat pertumbuhan di semua parameter. Hal tersebut disinyalir terjadi karena pemaparan gas polutan yang lebih besar konsentrasinya dibandingkan dengan tanaman terpapar 24 jam maupun tanaman

1 0.8 0.6

Kontrol

0.4

Tppr 7 Jam

0.2

Tppr 24 Jam 

0 0

2

4

6

Waktu Pengamatan (MST)

Gambar 5.24 Grafik Perbandingan Keliling batang Bunga Pukul Empat (cm) Berdasarkan Jenis Perlakuan Pada tabel-tabel dan gambar-gambar di atas dapat dilihat bahwa tanaman bunga pukul empat yang terpapar 7 jam memiliki tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun dan keliling batang yang lebih baik daripada tanaman bayam yang terpapar 24 jam. Hal ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan konsentrasi pemaparan antara keduanya dimana tanaman terpapar 24 jam dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding tanaman terpapar 7 jam. Dengan begitu tanaman di Jalan Ahmad Yani akan menerima paparan yang relatif lebih besar daripada tanaman di reaktor rumah tanaman sehingga pertumbuhannya lebih lambat. Sedangkan tanaman kontrol tetap memiliki pertumbuhan yang tertinggi dibandingkan dua perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan tanaman kontrol tidak terpapar polutan udara sehingga tanaman dapat tumbuh dengan normal. Analisa di atas didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh Fitter dan Hay (1998) bahwa tumbuhan yang terpapar gas polutan pada konsentrasi tertentu dengan jangka waktu yang relatif lebih lama akan menghasilkan reduksi pertumbuhan yang tidak optimum. 4.3 Pembahasan Menurut Wellburn (1994) gas polutan seperti gas SO 2 dan O 3 masuk ke daun dengan cara yang sama seperti halnya dengan gas CO 2 . Umumnya pergerakan Nitrogen Oksida ke dalam daun mirip halnya dengan difusi SO 2 , perbedaannya adalah stomata bukanlah satusatunya jalan masuk bagi Nitrogen Oksida. Nitrogen Oksida juga dapat masuk ke dalam tanaman melalui sistem akar. Ketahanan kutikula daun dalam menolak masuknya NO lebih rendah  

32

menyatakan bahwa SO 2 pada konsentrasi tinggi atau pada tanaman sensitif menyebabkan penurunan dalam pertumbuhan tanaman dan tingkat produksi. Spesies yang sensitif berkaitan dengan penghambatan pertumbuhan sangatlah bervariasi. Maas et al., (1987) dalam Kovacs 1992b menyatakan bahwa selama 2 minggu fumigasi SO 2 pada konsentrasi 0,25 ppm menghasilkan pengurangan 20% dalam pertumbuhan Glycine max., sementara Spianacia oleracea, Phaseolus vulgaris, dan Trifolium pratense tidak menderita hambatan dalam pertumbuhan atau tingkat produksi sama sekali, dan fumigasi tidak mempengaruhi rasio sistem akar dan tunas. Menurut Crittenden & Baca (1979) dalam Treshow (1989) ada penurunan yang signifikan secara konsisten dalam berat kering tanaman yang ditanam di udara ambien bahkan ketika konsentrasi masih di bawah 200 ug/m3 (sekitar 0,076 ppm) dan tidak ada gejala cedera terlihat muncul. Meskipun hasilnya tidak selalu konsisten, Bell et al (1979) dalam Treshow (1989) menyatakan bahwa pengurangan pertumbuhan gandum telah ditunjukkan dengan mengekspos tanaman untuk konsentrasi sulfur dioksida sebesar 43 ug/ m3 (0.016ppm) untuk 173 hari atau 106 ug/ m3 (0,04 ppm) untuk 194 hari. Berdasarkan keterangan di atas, diperoleh bahwa pemaparan SO 2 akan menyebabkan penurunan terhadap tingkat pertumbuhan suatu tanaman. Pada studi kasus ini didapatkan hasil pengamatan yang sesuai dengan pernyataan Hallgreen (1978) dalam Treshow (1989) dimana terjadi penurunan tingkat pertumbuhan pada tanaman bunga pukul empat yang terpapar selama 7jam/ hari (0.006 ppm) dan 24 jam/hari (0.0128 ppm) selama 5 minggu. Penurunan tingkat pertumbuhan tersebut terjadi pada semua parameter pertumbuhan yang diamati yaitu pada tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun dan keliling batang. Penurunan tingkat pertumbuhan yang paling tinggi terjadi pada pemaparan selama 24 jam/ hari. Hal ini dikarenakan konsentrasi pemaparan SO 2 yang lebih besar daripada kedua perlakuan lainnya. Konsentrasi sulfur dioksida diketahui menyebabkan gejala yang terlihat dengan kisaran "ambang" dosis minimal dari 0,3-0,5 ppm selama lebih dari periode 1-3 jam. Sebuah studi yang dirinci berdasarkan 6500 pemeriksaan lapangan oleh Jones dan rekan-rekannya dalam Treshow (1989) menunjukkan bahwa dosis ambang untuk cedera daun spesies sensitif adalah 0,7 ppm

kontrol. Selain itu, disebabkan pula oleh kondisi reaktor rumah tanaman yang lebih tertutup di bandingkan dengan dua lokasi lainnya yang berada di ruangan terbuka. Dengan kondisi demikian maka tanaman bayam lebih berpeluang untuk terpapar langsung dibandingkan 2 perlakuan lainnya. Selain itu, dengan lokasi yang lebih tertutup maka suplai cahaya matahari sebagai sumber energi untuk melakukan proses fotosintesis lebih sedikit dibandingkan dengan lokasi yang lebih terbuka. Hal ini akan menyebabkan proses fotosintesis akan terhambat sehingga akan berdampak langsung pula terhadap pertumbuhan tanaman. Gejala sering dibagi menjadi cedera yang "tidak terlihat", dan "terlihat". Timbulnya cedera yang terlihat sangatlah langka ditemui dan dapat membingungkan karena adanya kemiripan antara kerusakan yang disebabkan oleh SO 2 dengan kerusakan yang disebabkan oleh NOx. Wellburn (1994) menyebutkan bahwa terjadinya klorosis pada daun telah dicatat pada sejumlah spesies yang sensitif terhadap konsentrasi NO 2 yang tinggi (> 0,25 ppm untuk 8 jam). Kerusakan jaringan terutama terjadi pada pucuk daun dan sepanjang tepi daun, yang biasanya kondisi yang paling parah adalah pada daun yang sudah tua. Berdasarkan keterangan di atas, didapatkan bahwa tidak adanya luka daun yang ditemui baik pada permukaan daun, pucuk daun maupun tepi daun pada perlakuan pemaparan 7 jam maupun 24 jam dikarenakan oleh konsentrasi pemaparan gas polutan yang kurang tinggi sehingga belum memenuhi batas kritis dari tanaman bayam sebagai indikator. Setelah SO 2 memasuki sel melalui stomata maka secara bertahap SO 2 akan melarut menjadi bentuk asam sulfat. Proses ini sebagian besar dipengaruhi oleh pH protoplasma dan juga oleh kapasitas buffernya. SO 2 akan berikatan dengan H+ membentuk ion HSO 3 - atau SO 4 2-. Dengan begitu SO 2 akan menyebabkan pH menurun dalam sel, dan secara tidak lansung juga memiliki dampak merusak pada fungsi normal dari sel-sel karena pada pH rendah enzim tertentu akan terhambat dan dapat menyebabkan kematian sel. Reaksi ini dipercaya merupakan salah satu penyebab terhambatnya pertumbuhan dari tanaman yang terpapar. Sulfur dioksida pada konsentrasi atmosfer yang rendah dapat merangsang pertumbuhan tanaman, meskipun dalam kondisi eksperimental, SO 2 menyebabkan sebagian tanaman rusak. Hallgren (1978) dalam Treshow (1989)  

33

panjang daun, dan keliling batang antara tanaman yang terpapar 7 jam, 24 jam, dan tanaman kontrol menjelaskan bahwa daun-daun yang dihadapkan pada dosis SO 2 dan NO 2 yang rendah tidak menyebabkan luka yang nampak walaupun mengalami perobekan sistem membran tilakoid dalam kloroplast. Akibatnya tanaman lebih cenderung menggunakan karbohidrat yang dihasilkan oleh proses fotosintesis untuk berbagai fungsi pertahanan diri terhadap lingkungan yang tidak produktif tersebut sehingga menyebabkan penurunan kecepatan tumbuhan dari potensi maksimumnya. Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, terdapat faktor lainnya yang dimungkinkan merupakan penyebab tidak munculnya gejala luka daun yang terlihat pada tumbuhan bioindikator uji. Faktor tersebut adalah tempat dimana tumbuhan bioindikator uji berasal. Telah disebutkan pada bab IV bahwa tumbuhan bioindikator uji diperoleh dari ladang pertanian kampus ITS (tanaman bayam) dan Pasar Bunga Bratang (tanaman bunga pukul empat). Kedua lokasi tersebut berada di kawasan Surabaya sehingga dimungkinkan kedua tanaman telah cukup beradaptasi terhadap udara ambien di Surabaya. Oleh karenanya kedua tanaman tersebut tahan terhadap pemaparan polutan pencemar udara sehingga tidak menunjukkan gejala luka daun yang terlihat. Secara umum hasil studi ini menunjukkan bahwa kerusakan pada pertumbuhan tanaman akibat pengaruh lingkungan seperti konsentrasi polutan rendah dengan lama pemaparan yang relatif singkat, temperatur dan kecepatan angin yang normal, tidak menunjukkan adanya luka yang nyata (kematian dari beberapa atau semua bagian tanaman) namun hanya menunjukkan berupa penurunan pertumbuhan sebagai akibat kelainan fungsi fisiologi.

selama 1 jam atau 0,1 ppm untuk 8 jam, meskipun spesies yang paling sensitif dalam kondisi tertentu mungkin cedera pada konsentrasi yang sedikit lebih rendah. Berdasarkan keterangan di atas didapatkan bahwa ketidakhadiran cedera terlihat/ luka daun pada tanaman bunga pukul empat dikarenakan konsentrasi paparan yang terlalu rendah yaitu hanya 0,006 ppm dalam 7jam/hari dan 0,0128 ppm dalam 24 jam/hari selama 5 minggu. Sitompul dan Bambang (2002) mengemukakan bahwa bervariasinya bentuk pertumbuhan maupun laju pertumbuhan relatif pada setiap bagian-bagian tanaman (tinggi, panjang daun, jumlah daun, dan keliling batang), selain dapat disebabkan oleh faktor lingkungan misalnya konsentrasi polutan, lama pemaparan, suhu udara, sinar matahari, kecepatan angin, serangan hama, dan sebagainya, juga dapat disebabkan oleh faktor genetik dari tanaman itu sendiri. Penurunan tingkat pertumbuhan seperti yang ditunjukkan pada grafik perbandingan pertumbuhan tanaman dalam beberapa perlakuan yang berbeda berdasarkan pernyataan Fitter dan Hay (1998) dapat disebabkan oleh suatu pengaruh nyata yang bersifat racun akibat dari faktor tersebut yang berlebihan dan secara aktif mempengaruhi metabolisme. Misalnya ventilasi yang tidak cukup maupun temperatur yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan struktur maupun kehancuran enzim. Terdapat kecenderungan bahwa tanaman yang terpapar gas polutan pada konsentrasi tertentu dengan jangka waktu yang relatif lebih lama akan menghasilkan reduksi pertumbuhan yang tidak optimum dibandingkan tanaman kontrol. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari Kovacs (1992a) yang menyatakan bahwa tanaman-tanaman dapat tumbuh dengan cepat apabila berada di dalam habitat yang produktif, sedangkan tempat-tempat yang tidak baik dan beracun akan menyebabkan pertumbuhan yang lebih lambat. Hal tersebut dikarenakan tanaman pada kelompok ini akan cenderung menggunakan karbohidrat yang dihasilkan dari proses fotosintesis untuk berbagai fungsi seperti pendukung, menangkal terhadap reduktor, reproduksi dan sebagainya sehingga menyebabkan pengurangan kecepatan pertumbuhan dari potensi maksimumnya. Adanya perbedaan tingkat pertumbuhan terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun,  

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Nitrogen dan sulfur diperlukan untuk pertumbuhan dan pembentukan senyawasenyawa metabolisme bagi tumbuhan, sedangkan oksigen diperlukan sebagai komponen utama untuk respirasi serta merupakan produk dari proses fotosintesis tumbuhan, dan karbondioksida diperlukan sebagai bahan baku pembuatan makanan dalam proses fotosintesis bagi tumbuhan. 34

DAFTAR PUSTAKA

2. Respon tumbuhan terhadap zat-zat pencemar udara dibagi menjadi dua yaitu respon tumbuhan secara makroskopis dan respon tumbuhan secara mikroskopis. 3. Tumbuhan bioindikator harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu beberapa diantaranya adalah SMART (Specific, Measureable, Attributable, Relevant, dan Timely). Jenisjenis tumbuhan bioindikator antara lain adalah dari spesies Bryophyta, Lichen, dan tumbuhan tingkat tinggi. 4. Skema pemantauan pencemaran udara dengan tumbuhan bioindikator dapat dilakukan dengan mengukur akumulasi unsur-unsur kimia dalam jaringan tanaman, mengamati tingkat perubahan komunitas, mengamati dampak cedera yang terlihat, serta transplantasi tumbuhan. Sedangkan metode dalam menggunakan tumbuhan sebagai indikator dalam pemantauan pencemaran udara yaitu dengan metode pasif dan metode aktif.

Adams, KJ and Preston, CD. 1992. Evidence for the effect of atmospheric pollution on bryophytes from national and local recording. In: Biological recording of changes in British wildlife. Harding, PT (ed.), ITE Symposium 26. Anonim. 2006. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Peningkatan Kualitas Udara. BAPPENAS Bealey, WJ ; Long, S. ; Spurgeon, DJ; Leith, I.; Cape,JN. 2008.Review and implementation study of biomonitoring for assessment of air quality outcomes. Bristol, Environment Agency, 170pp. (Science Report-SC030175/SR2) Budi, Dhani. 2009. Biokimia Asam Amino. Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjajaran Jatinangor Burton, MAS.1986. Biological Monitoring of Environmental Contaminants (plants). MARC Report number 32. Monitoring and Assessment Research Centre. King’s College London, University of London Dahlan, Endles N. Ontaryo, Y. Dan Umasda. 1989. Kandungan Timbal Pada Beberapa Jenis Pohon Pinggir Jalan Sudirman Bogor. Media Konservasi Vol. II (4), Desember 1989 : 45-50 Dmuchowski, W. And Bytnerowicz, A. 1995. Monitoring environmental Pollution in Poland by chemichal analysis of scots Pine ( Pinus-Sylvestris L.) needles. Endriawan, Erwin. 2009. Efektivitas Bayam Cabut (Amaranthus tricolor) Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara Akibat Emisi Kendaraan Bermotor. Jurusan Teknik Lingkungan ITN Malang Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius Farida. 2004. Pencemaran Udara dan Permasalahannya. Institut Pertanian Bogor Fitter, A.H. dan Hay, R.K.M. 1998. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gajah Mada University Press, Yogjakarta. Hadi, Wahyono. 1985. Pengetahuan Lingkungan. Jurusan Teknik Penyehatan FTSP ITS Surabaya. Harmantyo, D. 1989. Studi tentang Hujan Masam di Wilayah Jakarta dan

6.2 Saran 1. Dapat dilakukan studi kasus yang serupa dengan disertai analisis laboratorium terhadap kandungan yang ada dalam daun seperti analisa klorofil dan stomata untuk lebih mengetahui jenis kerusakan yang diakibatkan oleh perlakuan pemaparan. 2. Dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan konsentrasi yang lebih tinggi dan lama pemaparan yang lebih lama untuk lebih mengetahui jenis kerusakan nyata yang diakibatkan oleh perlakuan pemaparan. 3. Penggunaan tumbuhan - tumbuhan lainnya dapat dilakukan dalam penelitian ini sehingga dapat menambah literatur dan mengembangkan ilmu di bidang biomonitoring. 4. Diperlukan pengembangan dalam bidang ilmu rekayasa genetika dimana dimungkinkan untuk menciptakan varietas tumbuhan yang dapat menjadi indikator pencemaran udara tanpa mengalami pengaruh dari faktor-faktor lainnya. 5. Sebaiknya tumbuhan indikator yang digunakan dalam pemantauan pencemaran udara secara aktif adalah tumbuhan yang hidup dalam keadaan kondisi udara ambien yang benar-benar bersih.

 

35

Mulgrew, Angela and Peter Williams(2000). Biomonitoring of Air Quality Using Plants. [Online] WHO Collaborating Centre for Air Quality Management and Air Pollution Control Muud, J.B. 1975. Sulfur Dioxide; Respont of Plant to Air Pollution. Academic Press.London Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Udara Pohan,Nurhasmawaty. 2002. Pencemaran Udara Dan Hujan Asam. USU digital library Poykio, Risto., Hietala, J., and Nurmesniemi, Hannu. 2010. Scots pine needles as bioindicators in determining the aerial distribution pattern of sulphur emission around industrial plants. International journal of engineering and applied Science 6:7 2010 Prastica, Rossyana. 2009. Model dan Kontrol Stomata Pada Transpirasi dan Respirasi. Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto Purdom, P. Walton and Stanley H. Anderson. 1980. Environmental Science. Charles E. Merrill Publishing Company, Sydney, 1980, pp. 258-284. Purwanti, Devi S. 2008. Pengaruh Emisi Kendaraan Bermotor Terhadap Struktur Epidermis dan Stomata Daun Tanaman Pelindung di JL. Adi Sucipto Sampai Terminal Tirtonadi Surakarta. Jurusan Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta Richardson, DHS. 1988. Understanding the pollution sensitivity of lichens. Botanical Journal of the Linnean Society, 96, 31-43. Richardson, DHS. 1991. Lichens as biological indicators- recent developments. Botanical Journal of the Linnean Society, 96, 31-43 96 Rinawati., D. 1991. Pengaruh Pencemaran Udara di Jalan Pramuka Jakarta terhadap Kondisi Fisisk dan Struktur Anatomi daun dari Anakan Beberapa Jenis Pohon. Jurusan Konservasi Hutan, Fakultas kehutanan,IPB. Bogor.

Sekitarnya. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana IPB. Bogor Haryanto, E., Suhartini, T., Rahayu, E. 1995. Sawi dan Selada. Penebar Swadaya, Jakarta. Henry, C. Perkins. 1974. Air Pollution. McGrawHill Book Company, New York Hermana, Joni., Voijant, B.,Samodra, A. 2006. Penuntun Praktikum: Metoda Analisis Pencemar Lingkungan. Laboratorium Teknologi Lingkungan, Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP ITS : Surabaya Karliansyah, Nastiti Soertiningsih Wijarso .1997. Kerusakan Daun Tanaman sebagai Bioindikator Pencemaran Udara (Studi Kasus Tanaman Peneduh Jalan Angsana dan Mahoni dengan Pencemar Udara NO dan SO 2 ).
36

Roosita,

Hermien. 2007. Memprakirakan Dampak Lingkungan : Kualitas Udara. Deputi Bidang Tata Lingkungan, KLH. Roy, Hans Marlant. Astiti, Ni Putu A. dan Sudirga, Sang Ketut. 2010. Analisis Klorofil dan Karbohidrat serta Kemampuan Menyerap Logam Timbal (Pb) Pada Beberapa Tanaman Penghias dan Peneduh Jalan. Jurusan Biologi Fakultas MIPA Udayana Bali. Rushayati, Siti B. Dan Maulana, Rizky Y. 2005. Respon Pertumbuhan serta anatomi daun kenari (Canarium commune L) dan Akasia (Acacia mangium willd) terhadap emisi gas kendaraan bermotor. Media konservasi Vol.X, No 2 Desember 2005 : 71-76 Rustamsyah. Zulaika, Enny. Nurhatika, Sri. dan Gani, N.A. 1990. Biologi. Jurusan Kimia Fakultas MIPA ITS Surabaya Ryadi,Slamet. 1982. Pencemar Udara. Usaha Nasional: Surabaya Siregar, Edy B.M. 2005. Pencemaran Udara, Respon Tanaman Dan Pengaruhnya Pada Manusia. Fakultas Pertanian Program Studi Kehutanan USU Sumatera Utara Sitompul, S.M., Bambang, G. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gajah Mada University Press, Yogjakarta Solichatun, EA. 2007. Kajian klorofil dan karotenoid major L. Dan Phaseolus vulgaris L. Sebagai Bioindikator Kualitas udara. Biodiversitas Vol. 8 Halaman : 279-282 Susanti, Evi. 2004. Stomata Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara Sektor Transportasi. ITB Bandung Susanto,Roni Dwi. 2004. Pemantauan dan Evaluasi Kinerja : Tips Memilih Indikator Kerja. Direktorat Pemantauan dan Evaluasi Pendanaan Pembangunan Bappenas Sutardi, Tata (2008). Tehnik Pengukuran Udara Ambien.
Markers of Air Pollution Damage in Trees. National Research Council, National Academy Press, Washington DC. Treshow, et al. 1989. Plant Stress from Air Pollution. John Willey & Sons,Ltd. Chichester, New York Tyler, G. 1989. Uptake, retention, and toxicity of heavy metals in lichens : a brief review. Water, Air and soil Pollution, 47, 321-333. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Wallace, J.M. and P.V. Hobbs. 1977. Amospheric Science and Introductory Wardana, W.A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset. Yogyakarta Wark,Kenneth and Warner,Cecil F. 1976. Air Pollution,Its Origin and Control. Harper & Row Publishers : New York Wellburn,A. 1994. Air Pollution and Climate Change. Longman Scientific & Technical : Singapore. Widagdo, Setyo. 2005. Tanaman Elemen Lanskap Sebagai Biofilter Untuk Mereduksi Polusi Timbal (Pb) di Udara. Sekolah Pasca Sarjana/S3 IPB Bogor. Wijaya. 2006. Pengaruh Dosis Pupuk Nitrogen dan Jumlah Benih Per Lubang Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bayam. Jurnal AGRIJATI 3(1), Desember 2006 Winarti, Erni. 2002. Efek Pencemaran Udara Terhadap Pertumbuhan Sawi. Tesis S -2 Program Pasca Sarjana Program Studi Teknik Lingkungan ITS Surabaya Wolterbeek, HT, Bode, P. And Verburg, TG. 1996. Assessing the quality of biomonitoring via signal to noise ratio analysis. Science of The total Environment, 180, 2, 107-116.

37