PEMANFAATAN SERANGGA SEBAGAI BIOINDIKATOR KESEHATAN HUTAN

Download 30 Okt 2003 ... kehilangan hutan seluas 60 juta ha selama rezim Orde Lama. Dengan laju kerusakan ... sehat atau tidak sehat lagi, maka perl...

0 downloads 506 Views 182KB Size
© 2003 Shahabuddin Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pascasarjana/S3 Institut Pertanian Bogor Oktober 2003

Posted 30 October, 2003

Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab) Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

PEMANFAATAN SERANGGA SEBAGAI BIOINDIKATOR KESEHATAN HUTAN *)

Oleh :

SHAHABUDDIN**) A461030051 E-mail: [email protected]

Pendahuluan Seiring dengan peningkatan populasi manusia, maka luas lahan yang dibutuhkannya pun semakin meningkat. Pembukaan lahan di dalam hutan adalah salah satu cara yang terpaksa banyak dilakukan oleh berbagai pihak untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini juga dilakukan untuk tujuan lain seperti untuk lahan perkebunan dan industri kayu dan industri lain yang mengatasnamakan pembangunan. Data Forest Watch Indonesia (2001) menyebutkan bahwa Indonesia telah kehilangan hutan seluas 60 juta ha selama rezim Orde Lama. Dengan laju kerusakan hutan 16 juta pertahun berdasarkan perhitungan linear maka hutan Indonesia diperkirakan akan habis paling lambat 2082 tetapi jika menggunakan perhitungan eksponensial maka hal itu bisa saja terjadi pada tahun 2008 (Munggoro, 2002). Konversi hutan yang dilakukan akan menghasilkan suatu struktur lanskap baru atau bahkan bisa menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat. Hal ini tidak saja menyebabkan berkurang atau hilangnya vegetasi hutan yang diketahui memiliki peran ekologis yang sangat vital bagi kemaslahatan manusia, seperti sebagai reservoar air, sebagai paru-paru dunia, sebagai habitat berbagai jenis fauna dan fungsi lainnya, tetapi *) **)

Makalah individual, sebagai salah satu tugas mata kuliah Falsafah Sains Mahasiswa Program Pascasarjana IPB, PS. ENTOMOLOGI 1

juga mengakibatkan berkurang atau hilangnya spesies hewan yang hidup dihabitat tersebut. Jika laju laju kehilangan hutan di Indonesia adalah 1,6 juta hektar pertahun dan disumsikan bahwa pada setiap pohon ada 10 jenis serangga (sebagaimana diusulkan oleh Gaston, 1994), maka dapat dibayangkan berapa spesies serangga yang ikut hilang bersamaan dengan hilangnya hutan yang menjadi habitat mereka. Untuk mengetahui bagaimana kondisi hutan pada suatu lokasi apakah masih sehat atau tidak sehat lagi, maka perlu dikembangkan “early warning system’ terhadap kondisi hutan tersebut. Beberapa studi terakhir (Davids, 2000,Talvi, 2000, Castillo dan Wagner,

2002,

McGeoch,

1998

&

2002)

menunjukkan

bahwa

serangga

memperlihatkan respons yang mengindikasikan tingkat kerusakan hutan yang menjadi habitatnya. Dengan sifat demikian maka serangga berpotensi untuk menjadi bioindikator atas kondisi ‘kesehatan hutan’.

Potensi serangga sebagai spesies indikator Serangga menyusun sekitar 64 % (950.000 spesies) dari total spesies flora dan fauna yang diperkirakan ada dibumi ini (Grombridge, 1992). Dengan jumlah spesies dan individu yang begitu besar maka serangga memegang peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Diantara peran tersebut adalah : herbivori, predasi, parasitisme, dekomposisi, penyerbukan, dan sebagainya (Speight et.al., 1999). Selain

peranan

tersebut serangga juga telah digunakan sebagai spesies indikator. Penggunaan bioindikator akhir-akhir ini dirasakan semakin penting dengan tujuan utama untuk menggambarkan adanya keterkaitan dengan kondisi faktor biotik dan abiotik lingkungan. Pentingya penentuan dan pemanfaatan serangga sebagai indikator serta pengujian hipotesis dalam menominasikan suatu spesies atau kelompok serangga

tertentu sebagai sutu bioindikator telah dibahas oleh McGeoch (1998).

Menurutnya,

bioindikator atau indikator ekologis adalah taksa atau kelompok

organsime yang sensitif terhadap dan memperlihatkan gejala terpengaruh terhadap tekanan lingkungan akibat aktifitas manusia atau akibat kerusakan sistem biotik (oleh gangguan alam-pen). Beberapa kriteria umum untuk menggunakan suatu jenis organisme, sebagai bioindikator adalah (Pearson, 1994) : 1) Secara taksonomi telah stabil dan cukup diketahui

2

2) Sejarah alamiah nya diketahui 3) Siap dan mudah disuryei dan dimanipulasi 4) Taksa yang lebih tinggi terdistribusi secara luas pada berbagai tipe habitat 5) Taksa yang lebih rendah spesialist dan sensitif terhadap perubahan habitat. 6) Pola keanekaragaman mengambarkan atau terkait dengan taksa lainnya yang berkerabat atau tidak. 7) Memiliki potensi ekonomi yang penting. Beberapa kriteria diatas dapat digunakan untuk kelompok serangga tertentu tetapi beberapa diantaranya tidak dapat dipakai khususnya bagi serangga yang ada di hutan-hutan tropis, seperti kriteria stabil dan cukup diketahui secara taksonomi, demikian juga untuk kriteria penting secara ekonomi. Terlepas dari kelemahan atas kriteria tersebut, secara umum serangga memiliki kelebihan dan kekurangan dalam studi bioindikator dan biomonitoring. Beberapa kelebihan tersebut adalah : 1) Jumlahnya yang sangat melimpah, sehingga memudahkan dalam menghitung keanekaragamnnya. 2) Sering menunjukkan aktifitas yang bermodus (univoltin, partivoltin atau bivoltin), sehingga populasinya dari tahun-ketahun bereaksi dengan cepat terhadap perubahan lingkungan 3) Umumnya bersifat lokal dan kebanyakan diantaranya cocok untuk pemantauan habitat, sehingga dapat dilakukan dapat diranking secara kuantitatif 4) Dapat dimonitor dengan metode sampling perangkap pasif, sehingga lebih ekonomis dibandingkan metode monitor secara biologis lainnya. Pentingnya penggunaan organisme bioindikator untuk mengetahui kondisi hutan ditekankan misalnya oleh Speight dan Wylie (2001) yang mengemukakan bahwa pada hutan konservasi, penting dilakukan deteksi dini terhadap setiap faktor biotik dan abiotik yang dalam jangka panjang akan mempengaruhi kesehatan dan vitalitas hutan dan

faktor-faktor

(termasuk

organisme

bioindikator-penulis)

yang

dapat

mengindikasikan tingkat kerusakan hutan.

Serangga sebagai bioindikator kerusahakan hutan dan metode pengukurannya

3

Penggunaan serangga sebagai bioindikator kondisi lingkungan atau eksosisitem yang ditempatinya telah lama dilakukan. Jenis serangga ini mulai banyak diteliti karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi kesehatan suatu ekosistem. Serangga akuatik selama ini paling banyak digunakan untuk mengetahui kondisi pencemaran air pada suatu

daerah,

diantaranya

Ephemeroptera,Diptera,

adalah

Trichoptera

beberapa dan

spesies

Plecoptera

serangga

yang

dari

ordo

kelimpahan

atau

kehadirannya mengindikasikan bahwa lingkungan tersebut telah tercemar, karena serangga ini tidak dapat hidup pada habitat yang sudah tercemar (Spellerberg, 1995). Adapun untuk serangga daratan (‘terrestrial insect’) studi sejenis telah banyak dilakukan pada berbagai kawasan hutan di berbagai negera termasuk di kawasan hutan tropis. Mengingat banyaknya jenis serangga yang ada dibumi ini, maka studi terhadap serangga bioindikator kondisi hutan lebih banyak difokuskan pada kelompok serangga tertentu. Diantara taksa yang banyak digunakan sebagai biodindikator tersebut adalah family Scarabidae (Halffer & favilla, 1993), Cicindeliadae (Pearson, 1994) dan Carabidae (Castillo and Wagner, 2002) dari ordo Coleoptera, beberapa spesies dari Ordo Hymenoptera dan Lepidoptera (Peck & Campbell, 1998 dan Samways, 1995), serta serangga dari kelompok rayap atau Isoptera (Jones and Eggleton, 2000). Alfaro dan Singh (1997) melaporkan bahwa kelimpahan invertebrata (yang didominasi oleh serangga) pada kanopi hutan umumnya lebih tinggi pada hutan-hutan yang belum rusak yang menunjukkan bahwa mereka merupakan bioindikator yang ideal terhadap kesehatan hutan. Hilszczanski (1997) menggunakan keanekaragaman kumbang (Coleoptera) dari kelompok trofik yang berbeda sebagai indikator atas efek jangka panjang aplikasi insektisida pada ekosistem hutan. Culotta (1996, dalam Alfaro & Singh, 1997) melaporkan bahwa biodiversitas yang tinggi menyebabkan ekosistem lebih resisten terhadap serangan penyakit dan penyebab kerusakan hutan lainnya yang menurunkan produktitas primer ekosistem. Sebaliknya, kehilangan biodiversitas menyebabkan tidak stabilnya ekosistem hutan. Vitalnya peran biodiversitas bagi ekosistem hutan didemonstrasikan dengan baik oleh Klein (1989) yang menguji peran kumbang pupuk (Coleoptera : Scarabinae) terhadap dekomposisi kotoran hewan pada habitat yang berbeda (hutan alami, hutan terfragmentasi dan padang rumput (bekas tebangan hutan) di Sentral Amazon. Terungkap bahwa laju penguraian kotoran hewan menurun sekitar 60 % dari hutan

4

alami ke padang rumput. Meskipun kelimpahan kumbang pupuk pada ketiga habitat tersebut tidak berbeda nyata namun terjadi penurunan sekitar 80 % jumlah spesies kumbang pupuk pada padang rumput. Hal ini menegaskan bahwa setiap spesies kumbang pupuk memegang peran fungsional yang melengkapi atau berbeda dengan peran spesies lainnya yang berarti semakin tinggi biodiversitas kumbang pupuk (dan serangga) lainnya maka kestabilan ekosistem hutan semakin mantap. Kumbang pupuk banyak digunakan dalam studi bioindikator terhadap tingkat keruskan hutan karena mereka memiliki peran ekologis yang penting dalam ekosistem hutan tropis. Kumbang ini bersama dengan serangga lainnya merupakan organisme dekomposer yang sangat penting, sehingga menentukan ketersediaan unsur hara bagi vegetasi hutan. Mereka juga terlibat dalam penyebaran biji-biji tumbuhan dan pengendalian parasite vertebrata (dengan menghilangkan sumber infeksi). Distribusi lokal dari kumbang pupuk sangat dipengaruhi oleh tingkat naungan vegetasi dan tipe tanah. Selain itu struktur fisik habitat menjadi faktor penting yang mempengaruhi komposisi dan distribusi kumbang pupuk (Davis et al. 2001). Oleh karena itu kelompok serangga ini merupakan indikator yang berguna untuk menggambarkan perbedaan struktur (bentuk arsitek, abiotik) antara habitat. Jadi berbeda dengan serangga lainnya yang menggambarkan

perbedaan floristik

(komposisi spesies, biotik) suatu habitat melalui spesialisasi herbivori (seperti pada ngnegat dan kupu-kupu). Sejumlah studi telah menggunakan kumbang pupuk sebagai indikator tingkat kerusakan lingkungan terhadap keragaman dan struktur hutan (Klein 1989, Nummelin & Hanski 1989, Davis & Sutton, 1998, Davis et al. 2001). Beberapa pertimbangan untuk menggunakan kumbang pupuk sebagai indikator kerusakan lingkungan telah diungkapkan oleh Halffler & Favila (1993). Studi tentang kumbang pupuk di Indonesia pertama kali dan mungkin satusatunya telah dilakukan oleh Hanski & Niemela (1990) di Sulawesi Utara. Meskipun demikian penelitian tersebut tidak mengungkapkan efek intensitas penggunaan lahan terhadap struktur komunitas kumbang pupuk. Studi awal oleh Shahabuddin et al. (submitted ) menunjukkan adanya pengaruh tata guna lahan terhadap keanekaragaman kumbang pupuk pada pinggiran hutan yang terletak di dataran tinggi (diatas 100 mdpl). Ditemukan adanya indikasi bahwa spesies kumbang pupuk tertentu

dari genus Onthopagus relatif toleran terhadap adanya

5

kerusakan habitat sehingga potensil diusulkan sebagai salah satu spesies indikator. Meskipun demikian hal masih perlu dilaji lebih jauh terutama dengan melakukan penelitian yang sejenis pada hutan hujan tropis di dataran rendah. Hal ini sesuai dengan Weaver (1995) bahwa untuk melihat sejauh mana potensi suatu organisme sebagai bioindikator diperlukan pengambilan sampel secara berulang pada kondisi lingkungan yang sama tetapi pada tempat dan musim yang berbeda. Pemanfaatan kumbang pupuk sebagai bioindikator kualitas habitat dan perubahan lingkungan serta metode evaluasinya, telah semakin berkembang seperti yang dilaporkan oleh Mc.Geoch et. al. (2002). Untuk mengukur efektifitas suatu organisme sebagai bioindikator dapat digunakan mereka mengusulkan menggunakan metode ‘nilai bioindikator’ (indicator value) yang disingkat dengan metode IndVal. Metode Nilai Indikator menggabungkan antara tingkat spesifisitas

suatu

spesies terhadap suatu kondisi ekologis, seperti tipe habitat, dan fidelitas atau keeratan hubungannya dengan kondisi tersebut (Dufrene & Legendre 1997).

Metode ini

mengelompokkan spesies yang ada pada suatu habitat menjadi “spesies indikator” jika spesies tersebut menempati posisi yang khas (karakteristik) pada habitat tersebut ( spesifisitas dan fidelitas tinggi). spesifisitas

juga

dapat

Spesies

berguna

yang menempati

kombinasi lain dari

sebagai indikator, misalnya spesies detektor.

(Gambar 1). Spesies yang tinggi spesifisitas dan fidelitasnya dengan suatu habitat merupakan spesies yang memiliki nilai indikator yang paling tinggi (Gambar 1). Fidelitas yang tinggi (frekuensi kehadiran) suatu spesies sepanjang lokasi sampling umunnya berhubungan dengan kelimpahan yang tinggi dari individu-individu spesies

Spesifisitas

tersebut.

Rendah

Rendah Spesies Tetap (‘rural’)

Tinggi Spesies Petualang (‘tramp’)

Indicator Spesies detektor

Sedang Tinggi

Fidelitas Sedang

Spesies rentan (‘Vulnerable’)

Indikator Spesies karakteristik

Gambar 1. Pengelompokan spesies indikator berdasarkan tingkat spesifisitas dan fidelitasnya terhadap suatu lingkungan (McGeoch et. al., 2002). 6

Kedua karakter ini (fidelitas dan spesifisitas) mempermudah metode pencuplikan dan monitoring, yang merupakan persyaratan penting untuk suatu bioindikator yang bermanfaat . Metode IndVal memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan metode pengukuran lainnya. Misalnya metode ini dihitung secara terpisah untuk tiap spesies dan tidak ada restriksi cara dalam kategorisasi habitat. Selain itu metode ini tetap mempertahankan nilai indikator yang tinggi dan signifikan jika diuji pada lokasi dan waktu yang berbeda. Hal ini penting karena kelimpahan suatu spesies (berarti juga fidelitasnya) dalam suatu kelompok dapat bervariasi sepanjang waktu baik karena perubahan

musim dan cuaca maupun karena adanya perubahan lingkungan yang

disebabkan oleh aktifitas manusia. Untuk keperluan monitoring perubahan lingkungan, spesies yang range status ekologinya luas (spesifisitasnya rendah) lebih berguna sebagai indikator terhadap arah perubahan lingkungan daripada spesies yang spesifisitasnya tinggi (terbatas pada habitat tertentu). Spesies detektor, spesies yang spesifisitasnya sedang , lebih berguna untuk memantau perubahan , karena mereka memiliki tingkat preferensi yang berbeda terhadap suatu status ekologis. Perubahan relatif dari kelimpahannya sepanjang status ekologis mengindikasikan arah perubahan lingkungan yang terjadi. Spesies-spesies ini juga lebih rentan (vulnerable) dibandingkan dengan spesies indikator, karena variasi habitat atau status ekologis menyediakan sumber daya yang cocok bagi mereka. Hasil study McGeoch et al. (2002) yang menggunakan kumbang pupuk sebagai bioindikator menunjukkan bahwa walaupun tidak

ditemukan adanya pebedaan

kelimpahan dan kekayaan spesies kumbang pupuk yang signifikan antara hutan yang masih alami dengan hutan yang sudah rusak tetapi terjadi pengelompokan yang unik dari tiap-tiap spesies indikator dengan menggunakan

metode Ind.Val. Hal ini

mengindikasikan pentingnya suatu pendekatan bioindikator untuk pemantauan ekologis

dibandingkan

dengan

hanya

menggunakan

pendekatan

indeks

keanekaragaman yang tidak mempertimbangkan identitas suatu spesies.

Penutup

7

Konversi hutan menjadi lahan pertanian dan peruntukan lainnya, tidak saja menyebabkan rusaknya vegetasi penyusun hutan tersebut, tetapi juga berpengaruh negatif terhadap serangga yang berasosiasi dengannya. Sejumlah kelompok serangga seperti kumbang (terutama kumbang pupuk), semut,

kupu-kupu dan rayap

memberikan respons yang khas terhadap tingkat kerusakan hutan sehingga memiliki potensi sebagai spesies indikator untuk mendeteksi perubahan lingkungan akibat konversi hutan oleh manusia yang sekaligus menjadi indikator kesehatan hutan. Penggunaan konsep spesies indikator memerlukan pengembangan metode pengukuran yang valid dan metode IndVal adalah salah satu metode yang memiliki keunggulan dibanding metode lainnya. Pendekatan bioindikator untuk pemantauan

ekologis

memberikan informasi yang lebih akurat dibandingkan dengan hanya menggunakan pendekatan indeks keanekaragaman yang tidak mempertimbangkan identitas suatu spesies.

PUSTAKA Alfaro, R.I., & Singh, P. 1997. Forest Health Management : A Changing Persfective. Procedings of XI Word forestry congress. Antalya, Turkey, 13 to 22 October 1997. Vol. 5. Also availiable at www.fao.org/montes/foda/wforcong/PUBLI/VI/T5F/1-2.HTM Castillo, J.V., & Wagner, M.F., 2002. Ground Beetle (Coleoptera:Carabidae) Species Assemblage as an Indicator of Forest Condition in Northern Arizona Panderosa Pine Forests. Eniromental Entomologi, 31 (2) 242 – 252 Davis, A.J., 2000. Does Reduced-Impact Logging Help Preserve Biodiversity in Tropocal Rainforests ? A Case Study from Borneo Using Dung Beetles (Coleoptera: Scarabaeoidae) as Indicators. Environmental Entomology 29 (3) : 467 – 475. Davis, A.J. & S.L. Sutton. 1989. The effects of rainforest canopy loss on arboreal dung beetles in Borneo: implications for the measurement of biodiversity in derived tropical ecosystems. Divers. Distrib. 4: 167-173. Davis, A.J., Holloway, J.D., Huijbregts, H., Krikken, J., Kirk-Spriggs, A.H. & S. Sutton. 2001. Dung beetles as indicators of change in the forests of Northern Borneo. J. Appl. Ecol. 38: 593-616. Dufrene, M & Legendre, P. 1997. Species assemblages and indicator species : the need for a flexible asymmetrical approacch. Ecological Monographs 67 : 345 – 366. Halffter, G. & M.E. Favila. 1993. The Scarabaeinae (Coleoptera): an animal group for analysing, inventorying and monitoring biodiversity in tropical rainforest and modified landscapes. Biol. Internat. 27: 15-21 Hilszczanski, Jacek. 1997. Long-term effect of insecticides used in nun moth (Lymantrya monacha L.) control treatments on beetles from different trophic 8

groups. Proceedings, XI World Forestry Congress. Antalya, Turkey. FAO Also availiable at Report. www.fao.org/montes/foda/wforcong/PUBLI/VI/T5F/1-2.HTM Jones T.J., & Eggleton. P. 2000. Sampling termite assemblages in tropical forests : testing a rapid biodiversity assesment protocol. Journal of Applied Ecology, 37, 191-203. Klein, B.C. 1989. Effects of forest fragmentation on dung and carrion beetle communities in Central Amazonia. Ecology, 70: 1715-1725. Munggoro, D.W., dan Novi, A., 2002. Tatanan Kehutanan Majemuk : Redistribusi Kekayaan Alam Nusantara. Jurnal KF Seri Kajiaj Komuniti Forestri, Seri 6 tahun V : Desember: 7 – 17. Moffat, A.S. 1996. Biodiversity is a boon to ecosystems, not species. Science 271: 1497. McGeoch, M. (1998). The selection, testing and application of terrestrial insects as bioindicators. Biological Reviews, 73, 181-201. McGeoch, M., Van Rensburg, B.J. & A. Botes. 2002. The verification and application of bioindicators: a case study of dung beetles in a savanna ecosystem. J. Appl. Ecol. 39: 661-672. Nummelin, M. & I. Hanski. 1989. Dung beetles of the Kibale Forest, Uganda: a comparison between virgin and managed forests. J. Trop. Ecol. 5: 349-352. Peck SL, McQuaid B & Campbell CL. 1998. Using ant species (Hymenoptera: Formicidae) as a biological indicator of agroecosystem condition. J. Entomol. Soci. America. 27:1102-1110. Pearson, D.L. 1994. Selecting indicator taxa for the quantitative assessment of biodiversity. Philosophical Transaction of the Royal Society of London, Series B : Biological Sciences, 345 : 75 – 79. Samways MJ. 1995. Insect Conservation Biology. Chapman & Hall, London. Pp 250251. Shahabuddin, Schulze C.H., Tscharntke, T., submitted. Changes of dung beetles communities from rainforests towards agroforestry systems and annual cultures. Speight, M.R., Hunter, M.D., Watt, A.D., 1999. Ecology of Insects, Consepts and Applications.Blackwell Science,Ltd. 169 - 179. Speight M.R., & Wylie, F.R., 2001. Insect Pests in Tropical Forestry. CABI Publishing, 234 – 235. Spellerberg, I.F. 1995. Monitoring ecological change. Cambridge University Press. Cambridge. UK, 104 – 105. Gaston, K.J.. 1994. Spatial patterns of species description – how is our knowledge of the global insect fauna growing. Biological Conservation, 67 : 37 – 40. Talvi, T., 2002. Insects as a tool in environmental monitoring in the Vidumae nature reserve, Ectonia. Source : www. Krnap.c2/krnap/aktovity/oi/workhops/presentations/talvi.html Hanski, I. & J. Niemela. 1990. Elevational distributions of dung and carrion beetles in Northern Sulawesi. Pp. 142-152 in Knight, W.J. & J.D. Holloway (eds.). Insects and the rain forests of South East Asia (Wallacea). Royal Entomological Society of London, London Weaver, J.C. 1995. Indicator species and scale of observation. Conservation Biology, 9, 939 – 942.

9