PENGUJIAN LETHAL DOSIS (LD50)

Download Pengujian Lethal Dosis (LD50) Ekstrak Etanol Biji Buah Duku (Lansium ... dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skr...

1 downloads 629 Views 197KB Size
PENGUJIAN LETHAL DOSIS (LD50) EKSTRAK ETANOL BIJI BUAH DUKU ( Lansium domesticum Corr) PADA MENCIT (Mus musculus)

Oleh : Supriyono

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

ABSTRACT SUPRIYONO. Lethal Dose (LD50) Examination Seed of Lansium domesticum Corr Etanol Extract in Mice (Mus musculus). Under supervise of ISKANDAR and ANDRIYANTO. The aim of this research was to determine LD50 value is a basic for developing Lansium domesticum Corr as drug substance. This research used 25 mice (Mus musculus) were divided into five groups, consisting of control and four groups treated intragastrically with dose 50000 mg/kgBW, 75000 mg/kgBW, 112500 mg/kgBW, and 168750 mg/kgBW seed of Lansium domesticum Corr etanol extract. The death of mice were observed until 48 hours. Parameter of this research are value of LD50 and range of LD50. The Thomson and Weil methode was used to calculate LD50 value. The LD50 seed of Lansium domesticum Corr etanol extract is 82985.0767 mg/kgBW. Based on toxicity categories according to Lu (1995) LD50 seed of Lansium domesticum Corr etanol extract classified as a practically non toxic because the value of LD50 more than 15000 mg/kgBW. The range value of LD50 of Lansium domesticum Corr etanol extract are 67.764,1507 - 101.624,8693 mg/kgBB.

ABSTRAK SUPRIYONO. Pengujian Lethal Dosis (LD50) Ekstrak Etanol Biji Buah Duku (Lansium domesticum Corr) pada Mencit (Mus musculus) dibawah bimbingan ISKANDAR dan ANDRIYANTO. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai toksisitas lethal dosis (LD50) sebagai landasan pengembangan biji duku yang merupakan salah satu bahan berkhasiat obat. Penelitian ini menggunakan 25 ekor mencit (Mus musculus) yang dibagi menjadi lima kelompok perlakuan. Kelompok-kelompok perlakuan tersebut adalah kelompok kontrol yang dicekok aquades, kelompok perlakuan yang dicekok dengan ekstrak biji duku dengan dosis 50000, 75000, 112500, dan 168750 mg/kgBB. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah kematian mencit selama 48 jam pasca perlakuan. Parameter yang diamati adalah nilai LD50 dan kisaran LD50. Metode perhitungan nilai LD50 berdasarkan metode Thomson dan Weil. Nilai LD50 yang di peroleh sebesar 82985.0767mg/kgBB. Berdasarkan klasifikasi toksisitas menurut Lu (1995) maka ekstrak etanol biji duku (Lansium domesticum Corr) termasuk dalam kategori praktis tidak toksik karena memiliki nilai LD50 diatas 15000 mg/kgBB. Kisaran nilai LD50 ekstrak etanol biji buah duku sebesar 67.764,1507 - 101.624,8693 mg/kgBB.

Judul penelitian

: Pengujian Lethal Dosis (LD50) Ekstrak Etanol Biji Buah Duku (Lansium domesticum Corr) pada Mencit (Mus musculus)

Nama mahasiswa

: Supriyono

NIM

: B04103110

Disetujui

Pembimbing I

Pembimbing II

drh. Iskandar, MSc NIP. 130 422 701

drh. Andriyanto NIP. 132 321 391

Diketahui

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS. NIP. 131 129 090

Tanggal lulus : 14 September 2007

PENGUJIAN LETHAL DOSIS (LD50) EKSTRAK ETANOL BIJI BUAH DUKU (Lansium domesticum Corr) PADA MENCIT (Mus musculus)

SUPRIYONO

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten Jawa Tengah pada tanggal 27 April 1984 dari ayah Dirjo Suyatno dan ibu Paikem. Penulis merupakan putra kelima dari lima bersaudara. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SDN Japanan III Cawas pada tahun 1997, kemudian melanjutkan pendidikan di SLTPN III Cawas dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikan di SMUN I Cawas dan pada tahun yang sama penulis di terima sebagai mahasiswa pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa penulis aktif berorganisasi dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat persiapan Bersama (BEM TPB IPB) pada tahun 2003. Pada tahun 2004 penulis bergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan (BEM KM FKH IPB) pada tahun yang bersamaan penulis aktif di Dewan Keluarga Mushola An Nahl FKH IPB dan Himpunan Profesi Ruminansia. Pada tahun 2005 penulis menjadi Wakil Ketua BEM KM FKH IPB dan menjadi asistan Pendidikan Agama Islam (PAI). Penulis menjadi asistan mata kuliah Pengelolaan Kesehatan dan Pengembangan Ternak Tropika (PKPTT) pada tahun 2006. Penulis mendapatkan peringkat ke dua mahasiswa prestasi (Mapres) FKH IPB tahun 2007. Penulis pernah bekerja di PT. Bogor Labs pada tahun 2007 dan bimbingan belajar Bintang Pelajar pada tahun 2006.

PRAKATA Syukur alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi berjudul Pengujian Lethal Dosis (LD50) Ekstrak Etanol Biji Buah Duku (Lansium domesticum Corr) pada Mencit (Mus musculus). Sebuah karya sesungguhnya sulit dikatakan sebagai usaha satu orang, tanpa dukungan dan peran serta dari yang lainnya. Demikian juga penelitian ini tidak akan mungkin terselesaikan tanpa adanya dorongan semangat yang besar dan kritik yang membangun dari semua pihak. Pertama penulis mengucapkan syukur alhamdulillah kepada Allah, SWT atas segala limpahan karunia-Nya. Terima kasih yang terdalam penulis sampaikan kepada : 1. drh. Iskandar, MSc selaku pembimbing pertama yang dengan sabar membimbing penulis selama proses penulisan. 2. drh. Andriyanto selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasehat dalam pelaksanaan penelitian sampai penyusunan skripsi. 3. drh. Hernomoadi Huminto MVS selaku dosen pembimbing akademik atas saran dan nasehat yang telah diberikan. 4. Bapak dan ibuku yang telah berdoa dengan tulus, memberikan dorongan moral dan materi selama ini. 5. Kakak-kakakku semua (Mas Nardi, Mas Budi sekeluarga, Mas Hamzah sekeluarga, Mas Sugeng sekeluarga) atas nasehat dan bantuannya selama ini. 6. Seluruh Staf Bogor Labs dan Djarum Bhakti Pendidikan atas bantuannya. 7. Keluarga diBalio yang telah memberikan inspirasi dan semangat. 8. Seluruh rekan-rekan penelitian dan angkatan “40. Tidak ada sesuatu yang sempurna begitu juga dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan kemajuan ilmu pengetahuan. Bogor, September 2007

Supriyono

viii DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI………………………………………………….……………..………….viii DAFTAR TABEL………………………………………………………………………..ix DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………….......x PENDAHULUAN Latar Belakang.........................................................................................................1 Tujuan......................................................................................................................2 Manfaat....................................................................................................................2 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tanaman Buah Duku.............................................................................3 Kandungan Senyawa Kimia Biji Buah Duku..........................................................4 Pembuatan Ekstrak..................................................................................................5 Biologi Mencit.........................................................................................................6 Pengujian Lethal Dosis (LD50)................................................................................7 Beberapa Metode Penentuan (LD50).....................................................................10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat.................................................................................................14 Bahan dan Alat......................................................................................................14 Metode...................................................................................................................14 Parameter yang Diamati........................................................................................15 Analisa Data..........................................................................................................15 Protokol Penelitian................................................................................................16 HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Lethal Dosis (LD50).......................................................................................17 Selang Lethal Dosis (LD50)....................................................................................18 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan............................................................................................................22 Saran......................................................................................................................22 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................23

ix DAFTAR TABEL

Klasifikasi toksisitas menurut Lu (1995).............................................................................9 Protokol penelitian LD50 ekstrak etanol biji buah duku.....................................................16 Hasil pengujian LD50 ekstrak etanol biji buah duku pada mencit.....................................17

x DAFTAR GAMBAR

Grafik jumlah kematian mencit pada pengujian LD50.......................................................17 Grafik kisaran LD50 ekstrak etanol biji buah duku............................................................19

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Indonesia

merupakan

negara

yang

memiliki

keanekaragaman

hayati.

Keanekaragaman hayati tersebut berupa tanaman dan hewan. Salah satu keanekaragaman tanaman adalah Lansium domesticum Corr yang sering dikenal masyarakat sebagai tanaman buah duku. Manfaat utama buah duku adalah sebagai makanan buah segar. Kayu tanaman buah duku berwarna coklat muda, keras, dan tahan lama sehingga bermanfaat sebagai tiang rumah. Kulit buah dan bijinya dapat pula dimanfaatkan sebagai obat antidiare dan obat penurun demam (Prihathman, 2000). Pemanfaatan tanaman buah duku sebagai obat tradisional tersebut biasanya berdasarkan pada pengalaman empiris. Pengalaman empiris penduduk Kalimantan menggunakan biji buah duku sebagai penurun demam. Sediaan tersebut dibuat dengan cara menumbuk dan merebus biji buah duku dan dapat bekerja selama 24 jam. Banyak penyakit yang mempunyai gejala umum demam, sehingga obat penurun demam (antipiretik) sangat dibutuhkan. Penggunaan biji buah duku sebagai antipiretik merupakan salah satu pilihan untuk mengatasi harga obat sintetik yang mahal. Keunggulan obat yang berasal dari bahan alamiah seperti biji buah duku jika dibandingkan dengan obat sintetik adalah

mudah didegradasi di dalam tubuh.

Pengembangan biji buah duku sebagai antipiretik untuk pengembangan komersial masih sangat sedikit. Pengembangan biji buah duku harus didukung oleh penelitian. Salah satu pengujian yang dilakukan adalah pengujian toksisitas. Pengujian toksisitas salah satunya adalah Lethal Dosis (LD50). Pengujian LD50 berfungsi untuk mengetahui tingkat toksisitas bahan alami. Penentuan nilai LD50 merupakan tahap awal untuk mengetahui tingkat toksisitas biji buah duku. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai LD50 ekstrak etanol biji buah duku pada mencit sehingga dapat memberikan informasi sebagai dasar pertimbangan dalam penggunaan tanaman tersebut sebagai bahan berkhasiat obat.

2 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai Letal Dosis 50 ekstrak etanol biji buah duku pada mencit. 1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang LD50 ekstrak etanol biji buah duku pada mencit sebagai dasar pertimbangan dalam penggunaan tanaman tersebut sebagai bahan berkhasiat obat. Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan informasi khasiat lain serta nilai tambah secara ekonomis dari tanaman buah duku.

3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Tanaman Buah Duku Duku (Lansium domesticum Corr) merupakan tanaman buah yang sudah dikenal masyarakat secara luas di Indonesia. Tanaman buah duku tidak hanya berfungsi sebagai tanaman buah. Tanaman buah duku memiliki kapasitas medis untuk mencegah dan mengatasi gangguan kesehatan (Bibien 2007). Tanaman buah duku diperkirakan berasal dari Asia Tenggara bagian barat dan Semenanjung Thailand bagian barat (Prihathman 2000). Menurut Wikipedia (2007), tanaman buah duku mempunyai klasifikasi sebagai berikut : Kerajaan

: Plantae

Divisi

: Magnioliophyta

Kelas

: Magnioliopsida

Ordo

: Sapindales

Familia

: Meliaceae

Genus

: Lansium

Spesies

: Domesticum

Jenis tanaman buah duku yang banyak ditanam di Indonesia adalah duku komering, duku matesih, dan duku condet. Manfaat utama tanaman buah duku adalah sebagai makanan buah segar dan makanan olahan lainnya. Kulit buah dan biji buah duku dapat dimanfaatkan sebagai obat antidiare dan demam (Prihathman 2000). Kulit kayu tanaman duku dapat dimanfaatkan untuk menyembuhkan gigitan serangga. Menurut Bibien (2007), buah duku dapat mencegah kanker kolon dan diare. Tanaman buah duku dapat tumbuh di daerah yang curah hujannya tinggi dan merata sepanjang tahun. Tanaman buah duku secara optimal tumbuh di daerah yang bercurah hujan 1500-2500 mm/tahun. Tanaman buah duku dapat tumbuh subur pada tanah yang mengandung bahan organik, subur, dan mempunyai aerasi tanah yang baik. Buah duku biasanya dipanen dua kali pertahun dan bervariasi setiap daerah (Prihathman 2000).

4 Ketinggian tanaman buah duku dapat mencapai 20 meter dengan diameter 40 cm. Tanaman buah duku memiliki daun majemuk. Tanaman buah duku memiliki buah yang berkelompok membentuk tandan, berbentuk bulat telur, dan berwarna kuning pucat. Setiap buah duku memiliki lima ruang daging buah (Lutony 1993). Kelembaban udara yang tinggi dapat mempercepat pertumbuhan tanaman buah duku sedangkan kelembaban udara yang rendah dapat menghambat pertumbuhan. Tanaman buah duku termasuk tanaman buah musiman yang berbuah setahun sekali. Biasanya bunga bermunculan di awal musim hujan (Bibien 2007). Buah duku yang berada dalam satu tandan akan matang hampir bersamaan. Buah duku yang dipanen harus dalam kondisi kering sebab buah duku basah akan berjamur jika dikemas (Prihathman 2000). Tanaman buah duku dapat dikembangkan sebagai bahan obat tradisional (Tjay dan Raharja 2002). 2.2 Kandungan Senyawa Kimia Biji Buah Duku Berdasarkan hasil pengujian fitokimia yang dilakukan oleh Andriyanto (2006) biji buah duku mengandung senyawa terpenoid, steroid, glikosida, flavanoid, dan alkaloid. Menurut Amelia (2002), fitokimia memberikan aroma khas, rasa, dan warna tertentu tanaman dalam berintegrasi dengan lingkungan. Toksisitas tanaman berhubungan dengan metabolit sekunder yang terkandung di dalamnya (Hutapea 1999). Flavanoid merupakan pigmen tumbuhan yang banyak ditemukan dalam makanan. Flavanoid banyak ditemukan pada buah-buahan dan sayur-sayuran (Buhler dan Cristobal 2003). Flavanoid mempunyai bermacam-macam efek yaitu anti tumor, immunostimulant, antioksidan, analgesik, dan anti radang (Depadua 1999). Glikosida merupakan metabolit sekunder yang banyak terdapat di alam. Glikosida merupakan hasil hidrolisis gula. Glikosida umunya tidak toksik. Menurut Anonimous (2002), steroid dapat menghambat pertumbuhan sel kanker, mempercepat kematian sel secara apoptosis, menghambat angiogenesis, dan mencegah tertekannya kekebalan tubuh akibat sel tumor. Steroid dapat bekerja sebagai antibakteri (Robinson 1991). Fungsi terpenoid dalam tumbuhan yaitu bekerja sebagai insektisida atau berdaya racun terhadap hewan tinggi. Alkaloid merupakan bahan kompleks bernitrogen yang disintesis oleh tumbuhan. Alkaloid mempunyai rasa pahit. Beberapa

5 alkaloid dapat menyebabkan midriatik (Ijang 2007). Alkaloid dalam tumbuhan berperan sebagai penolak serangga dan senyawa antijamur (Robinson 1991). 2.3 Pembuatan Ekstrak Ekstraksi adalah pemisahan kandungan aktif dari simplisia menggunakan cairan penyari yang cocok. Simplisia adalah sediaan bahan alami yang siap digunakan untuk bahan obat dan belum mengalami perubahan proses apapun. Simplisia umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Menurut Gunawan dan Mulyani (2004), simplisia dibedakan menjadi tiga golongan yaitu simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia mineral. Kualitas simplisia dipengaruhi oleh faktor bahan baku dan proses pembuatannya. Proses pembuatan simplisia meliputi beberapa tahapan yaitu pengumpulan bahan baku, pengubahan bentuk, pengeringan, dan penyimpanan. Faktor penting dalam pengumpulan bahan baku adalah masa panen. Pengubahan bentuk simplisia bertujuan memperluas permukaan bahan baku. Semakin luas permukaan maka bahan baku semakin cepat kering (Gunawan dan Mulyani 2004). Proses pengeringan simplisia biji buah duku bertujuan untuk menurunkan kadar air dan menghilangkan aktivitas enzim yang dapat menguraikan lebih lanjut kandungan zat aktif. Simplisia yang sudah kering memudahkan dalam pengelolaan proses selanjutnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi pengeringan antara lain, waktu pengeringan, suhu pengeringan, kelembaban, luas permukaan bahan, dan ketebalan bahan yang dikeringkan. Beberapa metode ekstraksi antara lain maserasi, perkolasi, digesti, dan infusi. Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam penyari cairan. Penyari akan menembus dinding sel dan masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif sehingga zat aktif akan larut. Perbedaan konsentrasi larutan zat aktif dalam sel menyebabkan pengeluaran larutan yang paling pekat. Cairan penyari yang sering digunakan adalah air, etanol, air-etanol, dan pelarut lain (Anonimous 2007). Perkolasi adalah penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Alat yang digunakan untuk perkolasi disebut perkolator. Larutan zat aktif yang keluar disebut perkolat. Sisa penyarian disebut sisa

6 perkolasi. Perkolasi lebih baik dibandingkan cara maserasi karena aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi dengan larutan yang lebih rendah konsentrasinya. Pergantian larutan ini meningkatkan perbedaan konsentrasi. Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan air pada suhu 900 C selama 15 menit. Infus biasanya digunakan untuk menyari zat aktif yang larut dalam air dan bahan-bahan nabati (Anonimous 2007). Ekstrak biji buah duku menggunakan etanol sebagai bahan pelarut. Keuntungan menggunakan etanol sebagai pelarut dalam pembuatan ekstrak adalah lebih selektif, kapang dan jamur sulit tumbuh dalam etanol 20 % ke atas, tidak beracun sehingga absorbsi akan lebih baik. Keuntungan yang lain adalah etanol dapat bercampur dengan air dalam segala perbandingan dan panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit. Penggunaan etanol sebagai pelarut juga dapat melarutkan senyawa polar dan non polar (Anonimous 2007). 2.4 Biologi Mencit Mencit merupakan salah satu hewan percobaan yang sering digunakan dalam penelitian. Tujuan penggunaan hewan percobaan adalah untuk mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dan serta penelitian laboratorium. Hewan percobaan harus mempunyai persyaratan tertentu antara lain persyaratan genetis dan lingkungan yang memadai. Mencit termasuk hewan pengerat yang cepat berkembangbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, dan variasi genetiknya cukup besar. Mencit merupakan hewan percobaan yang efisien karena mudah dipelihara, tidak memerlukan tempat yang luas, waktu kebuntingan yang singkat, dan banyak memiliki anak perkelahiran. Mencit dan tikus putih memiliki banyak data toksikologi, sehingga mempermudah membandingkan toksisitas zat-zat kimia (Lu 1995). Sistem taksonomi mencit menurut Mangkoewidjojo dan Smith (1988) termasuk golongan. Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Subfilum

: Vertebrata

7 Kelas

: Mamalia

Ordo

: Rodentia

Genus

: Mus

Spesies

: Mus musculus

Kondisi biologis dan fisiologis mencit menurut Mangkoewidjojo dan Smith (1988) mencit mempunyai lama hidup 1-2 tahun, lama produksi ekonomis 9 bulan, lama bunting 19-21 hari, dan umur sapih 21 hari. Umur dewasa mencit 35 hari dan umur dikawinkan 8 minggu. Berat dewasa mencit rata-rata 18-35 g dan berat lahir 0,5-1.0 g. Suhu rektal mencit 35-390C, pernapasan 140-180 kali/menit, dan denyut jantung 600-650 kali. Penelitian dalam bidang toksikologi dan farmakologi memerlukan serangkaian percobaan untuk mengetahui tingkat toksisitas dan keamanan obat untuk manusia. Penggunaan berbagai tingkat dosis obat terhadap hewan percobaan dilakukan untuk mendapatkan dosis terbesar yang tidak memberikan efek merugikan atau dosis yang sangat besar yang dapat menimbulkan efek toksik yang jelas (Darmansjah 1995). Respon berbagai hewan percobaan terhadap uji toksistas dapat berbeda. Kepekan terhadap zat toksik antara individu sejenis maupun berbeda jenis dapat bervariasi. 2.5 Pengujian Lethal Dosis (LD50) Toksisitas suatu bahan dapat didefinisikan sebagai kapasitas bahan untuk menciderai suatu organisme hidup. Timbulnya keracunan dapat disebabkan oleh dosis atau pemberian yang salah. Interaksi racun dan sel tubuh dapat bersifat reversible atau irreversible (Imono 2001). Menurut Siswandono dan Bambang (1995) obat merupakan zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup suatu organisme. Setiap obat pada dasarnya adalah racun. Keracunan dapat terjadi karena dosis dan cara pemberian yang salah (Siswandono dan Bambang 1995). Uji toksisitas meliputi berbagai pengujian yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek umum suatu senyawa pada hewan percobaan. Pengujian toksisitas meliputi pengujian toksisitas akut, subkronik, dan kronik. Pengujian toksisitas khusus meliputi uji potensiasi, uji kekarsinogenikan, uji kemutagenikan, uji keteratogenikan, uji reproduksi, kulit dan mata, serta perilaku.

8 Pengujian LD50 dilakukan untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam waktu yang singkat setelah pemejanan dengan takaran tertentu. Pada pengujian toksisitas akut LD50 akan didapatkan gejala ketoksikan yang dapat menyebabkan kematian hewan percobaan. Gejala ketoksikan yang timbul berbeda dalam tingkat kesakitan pada hewan (Connel dan Miller 1995) . Menurut Environmental Protection Agency (EPA 2002), LD50 digunakan untuk mengetahui kematian 50% hewan percobaan dalam 24-96 jam. Pengaruh LD50 secara umum diukur menggunakan dosis bertingkat. Dosis bertingkat terdiri dari kelompok kontrol dan beberapa tingkat dosis yang berbeda. Toksisitas akut dilakukan untuk mengetahui respon hewan percobaan terhadap dosis yang diberikan. Penghitungan LD50 didasarkan pada jumlah kematian hewan percobaan. Pengamatan hewan percobaan dilakukan selama 24 jam. Pada kasus tertentu sampai 7-24 hari (Donatus 1998). Kisaran tingkat dosis yang digunakan yaitu dosis terendah yang hampir tidak mematikan seluruh hewan percobaan dan dosis tertinggi yang dapat menyebabkan kematian seluruh atau hampir seluruh hewan percobaan. Setiap hewan percobaan akan memberikan reaksi yang berbeda pada dosis tertentu. Perbedaan reaksi akibat pemberian suatu zat diakibatkan oleh perbedaan tingkat kepekaan setiap hewan (Guyton dan Hall 2002). Kisaran nilai LD50 diperlukan untuk mengetahui tingkat toksisitas suatu zat. Semakin besar kisaran LD50 semakin besar pula kisaran toksisitasnya. Suatu toksikan akan mengalami proses librasi yaitu penghancuran sediaan di saluran pencernaan. Toksikan kemudian akan diabsorbsi oleh darah dan limfe serta didistribusikan ke seluruh tubuh. Toksikan akan mengalami proses toksikodinamik didalam sel. Toksikodinamik adalah proses reaksi antara toksikan dan reseptor. Biotransformasi terjadi setelah terjadinya reaksi toksikan dengan reseptor. Biotransformasi akan menghasilkan zat baru. Zat baru yang dihasilkan dapat bersifat lebih toksik atau kurang toksik dari sebelumnya. Zat baru yang kurang toksik dari sebelumnya mengakibatkan terjadinya detoksikasi sedangkan zat baru yang lebih toksik dapat menimbulkan gangguan fungsi sel (Mutschler 1991).

9 Letal Dosis (LD50) dapat dihubungkan dengan Efektif Dosis (ED50) yaitu dosis yang secara terapeutik efektif terhadap 50% dari sekelompok hewan percobaan. Hubungan tersebut dapat berupa perbandingan antara LD50 dengan ED50 yang disebut Indeks Terapeutik (IT). Makin besar indeks terapeutik suatu obat makin aman obat tersebut (Mutschler 1991). Selanjutnya klasifikasi toksisitas menurut Lu (1995) dapat disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi toksisitas menurut Lu (1995). Kategori

Dosis

Supertoksik

5 mg/kgBB atau kurang

Amat sangat toksik

5-50 mg/kgBB

Sangat toksik

50-500 mg/kgBB

Toksik sedang

0.5-5 g/kgBB

Toksik ringan

5-15 g/kgBB

Praktis tidak toksik

> 15 g/kgBB

Menurut Balls et al (1991) faktor-faktor yang berpengaruh pada LD50 sangat bervariasi antara jenis satu dengan jenis yang lain dan antara individu satu dengan individu yang lain dalam satu jenis. Faktor-faktor tersebuat dapat diuraikan sebagai berikut. a. Spesies, Strain, dan Keragaman Individu Setiap spesies dan strain yang berbeda memiliki sistem metabolisme dan sistem detoksikasi yang berbeda. Setiap spesies mempunyai perbedaan kemampuan bioaktivasi dan toksikasi suatu zat (Siswandono dan Bambang 1995). Semakin tinggi tingkat keragaman suatu spesies dapat menyebabkan perbedaan nilai LD50. Variasi strain hewan percobaan menunjukkan perbedaan yang nyata dalam pengujian LD50 (Lazarovici dan Haya 2002). b. Perbedaan Jenis Kelamin Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi toksisitas akut yang disebabkan oleh pengaruh langsung dari kelenjar endokrin. Hewan betina mempunyai sistem hormonal yang berbeda dengan hewan jantan sehingga menyebabkan perbedaan kepekaan terhadap

10 suatu toksikan (Lazarovici dan Haya 2002). Hewan jantan dan betina yang sama dari strain dan spesies yang sama biasanya bereaksi terhadap toksikan dengan cara yang sama, tetapi ada perbedaan kuantitatif yang menonjol dalam kerentanan terutama pada tikus (Lu 1995). c. Umur Hewan-hewan yang lebih muda memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap obat karena enzim untuk biotransformasi masih kurang dan fungsi ginjal belum sempurna (Ganong 2003). Perbedaan aktivitas biotransformasi akibat suatu zat menyebabkan perbedaan reaksi dalam metabolisme (Mutschler 1991). Sedangkan pada hewan tua kepekaan individu meningkat karena fungsi biotransformasi dan ekskresi sudah menurun. d. Berat Badan Penetuan dosis dalam pengujian LD50 dapat didasarkan pada berat badan. Pada spesies yang sama, berat badan yang berbeda dapat memberikan nilai LD50 yang berbeda pula. Semakin besar berat badan maka jumlah dosis yang diberikan semakin besar (Mutschler 1991). e. Cara Pemberian Letal dosis dipengaruhi juga oleh cara pemberian. Pemberian obat melalui suatu cara yang berbeda pada spesies yang sama akan memberikan hasil yang berbeda. Menurut Siswandono dan Bambang (1995) pemberian obat peroral tidak langsung didistribusikan ke seluruh tubuh. Pemberian obat atau toksikan peroral didistribusikan ke seluruh tubuh setelah terjadi proses penyerapan di saluran cerna. Sehingga mempengaruhi kecepatan metabolisme suatu zat di dalam tubuh (Mutschler 1991). h. Kesehatan Hewan Status hewan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap suatu toksikan. Kesehatan hewan sangat dipengaruhi oleh kondisi hewan dan lingkungan. Hewan yang tidak sehat dapat memberikan nilai LD50 yang berbeda dibandingkan dengan nilai LD50 yang didapatkan dari hewan sehat (Siswandono dan Bambang 1995). f. Faktor Lingkungan Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi toksisitas akut antara lain temperatur, kelembaban, iklim, dan perbedaan siang dan malam. Perbedaan temperatur suatu tempat akan mempengaruhi keadaan fisiologis suatu hewan.

11 g. Diet Komposisi makanan hewan percobaan dapat mempengaruhi nilai LD50. Komposisi makanan akan mempengarui status kesehatan hewan percobaan. Defisiensi zat makanan tertentu dapat mempengaruhi nilai LD50 (Balls et al 1991). 2.6 Beberapa Metode Penentuan Letal Dosis Banyak metode yang digunakan dalam perhitungan LD50. Setiap metode yang digunakan memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa metode yang digunakan dalam perhitungan nilai LD50 menggunakan cara grafik atau aljabar. Beberapa metode yang umum dipakai untuk menentukan LD50 adalah seperti berikut: a. Metode Trevan Metode Trevan mulai digunakan pada tahun 1972 (Anonimous 2006). Metode ini merupakan cara yang sederhana, tetapi memerlukan jumlah hewan yang besar untuk memperoleh hasil yang lebih teliti. Beberapa tingkat dosis harus ditentukan terlebih dahulu. Pengamatan dilakukan 24 jam setelah perlakuan dan ditentukan persen kematian setiap kelompok. Antara log dosis dan persen kematian dihubungkan sehingga didapatkan grafik yang berbentuk sigmoid. Nilai LD50 didapatkan dengan cara menarik garis dari angka 50% pada sumbu Y dan diplotkan pada sumbu X. Titik potong pada absis merupakan LD50 yang ditentukan. b. Metode Perhitungan dengan Cara Grafik Miller dan Tainter Metode perhitungan Miller dan Tainter mulai digunakan pada tahun 1944. Metode Miller dan Tainter merupakan metoda yang paling umum dipakai dalam perhitungan efektif dosis (Anonimous 2006). Perhitungan LD50 berdasarkan metode ini memerlukan kertas probit logaritma. Skala yang digunakan adalah skala logaritma dan skala probit. Skala logaritma digunakan pada absis sebelah kanan sedangkan skala probit digunakan pada ordinat sebelah kiri. Skala dibuat dalam skala persen yang setara dengan skala probit atau nilai persen dapat dilihat di dalam tabel probit. c. Metode Aritmatik Reed dan Muench Metode ini menggunakan nilai-nilai kumulatif. Asumsi yang dipakai bahwa kematian seekor hewan akibat dosis tertentu akan mengalami kematian juga oleh dosis

12 yang lebih besar dan hewan bertahan hidup pada dosis tertentu juga akan tetap bertahan hidup pada dosis yang lebih rendah. Kematian kumulatif diperoleh dengan menambahkan secara suksesif ke bawah dan hidup kumulatif diperoleh dengan menambahkan secara suksesif ke atas. Persen hidup dari dosis-dosis yang berdekatan dengan LD50 dihitung. Penetuan LD50 didapatkan berdasarkan persamaan berikut : P.D =

Persentase tepat di atas 50% - % hidup dibawah 50% Persentase tepat di atas 50% - % tepat dibawah 50%

Sehingga nilai LD50 didapatkan, Log 10 LD50 = - 7 + (P.Dx – 10) Dimana : P.D

= Jarak proporsional

P

= Proporsi peningkatan dosis

d. Metode Karber Metode Karber mulai digunakan pada tahun 1931 (Anonimous 2006). Perhitungan nilai LD50 berdasarkan metode Karber menggunakan rata-rata dari jumlah kematian hewan pada tiap kelompok dan perbedaan antar dosis untuk interval yang sama. Hasilhasil dari dosis yang lebih besar dari dosis yang menyebabkan kematian seluruh hewan dalam sekelompok dosis dan dosis yang lebih rendah yang dapat ditolerir oleh seluruh hewan dalam suatu kelompok, tidak digunakan. Jumlah perkalian diperoleh dari hasil kali beda dosis dengan rata-rata kematian pada interval yang sama. Nilai LD50, didapatkan dari dosis terkecil yang menyebabkan kematian seluruh hewan dalam satu kelompok, dikurangi dengan jumlah perkalian dibagi jumlah hewan dalam tiap kelompok. Apabila dijabarkan dalam bentuk rumus adalah seperti berikut. Rumus : LD 50 = a – (b/c) Dimana : a = Dosis terkecil yang menyebabkan kematian tertinggi dalam satu kelompok dosis b = Jumlah perkalian antara beda dosis dengan rata-rata kematian pada interval sama. c = Jumlah hewan dalam satu kelompok.

13 e. Metode Perhitungan Secara Grafik Litchfield dan Wilcoxon Metode Litchfield dan Wilcoxon mulai digunakan pada tahun 1949. Metode ini merupakan salah satu metode yang sering dipakai dalam penetuan efektif dosis (Anonimous 2006). Metode ini terdiri dari tingkat data dan range data dosis yang digunakan. Tingkat data akan dibandingkan dengan suatu nilai untuk melihat diterima atau tidaknya hipotesis yang digunakan (EPA 2002). Metode ini menggunakan banyak tabel dan beberapa monogram. Heterogenitas data ditentukan dengan uji chi kuadrat. a. Metode Thomson dan Weil Metode Thomson dan Weil mulai digunakan pada tahun 1952. Metode Thomson dan Weil memiliki kelebihan dari pada metode-metode sebelumnya. Metode Thomson dan Weil mempunyai tingkat kepercayaan yang cukup tinggi (Anonimous 2006). Metode ini merupakan metode yang sering digunakan karena tidak memerlukan hewan percobaan yang cukup banyak. Perhitungan LD50 tidak menggunakan kertas probit logaritma. Uji heterogenitas data tidak dilakukan dalam metode Thomson dan Weil (Anonimous 2006). Metode ini menggunakan daftar perhitungan LD50 sehingga hasil lebih akurat. Bentuk rumus dari metode Thomson dan Weil adalah sebagai berikut Log LD50

= Log D + d (f + 1)

Keterangan. D = dosis terkecil yang digunakan d = logaritma kelipatan f = suatu faktor pada daftar perhitungan LD50 Weil (1952), dimana r adalah jumlah kematian hewan dalam satu kelompok uji n adalah jumlah hewan percobaan per kelompok k adalah jumlah hewan percobaan -1 Kisaran nilai LD50 dihitung dengan rumus Log kisaran = Log LD50 ± 2 d δf Dimana δf = suatu nilai pada tabel yang tergantung pada nilai n dan k

14 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Bagian Farmakologi dan Toksikologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni sampai dengan bulan Juli 2006. 3.2 Bahan dan Alat Bahan penelitian adalah biji buah duku yang diperoleh dari Pontianak Provinsi Kalimantan Barat. Bahan lainnya adalah etanol, aquadest, dan bahan pakan mencit. Hewan percobaan yang digunakan adalah 25 ekor mencit jantan yang berumur dua bulan dan kisaran berat badan 18-30 g yang diperoleh dari Bagian Farmakologi Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca, alat penyaring, kandang pemeliharaan dari bak plastik, bak penampung, dan sonde lambung. 3.3 Metode 3.3.1 Pembuatan Simplisia Simplisia biji buah duku dibuat dengan cara menjemur biji buah duku di bawah terik matahari sampai kering. Biji buah duku yang sudah kering dimasukkan ke dalam oven pada suhu 400C selama 24 jam kemudian digiling sehingga berbentuk tepung halus. 3.3.2 Pembuatan Ekstrak Pembuatan ekstrak biji buah duku dilakukan dengan metode maserasi. Simplisia biji buah duku yang sudah kering dilarutkan kedalam pelarut. Pelarut yang digunakan adalah etanol-air dengan perbandingan 1:4. Perbandingan simplisia dengan pelarut adalah 1:10 kemudian larutan tersebut disaring dan dievaporasi untuk mendapatkan ekstrak. 3.3.3 Rancangan Penelitian a. Pengujian Pendahuluan Pengujian pendahuluan perlu dilakukan untuk memperoleh informasi awal toksisitas ekstrak etanol biji buah duku. Pengujian pendahuluan menggunakan sebanyak

15 5 ekor mencit jantan. Ekstrak etanol biji buah duku yang diberikan adalah 15 gr/kgBB secara oral menggunakan sonde lambung. Hewan diamati selama 24 jam. Bila setelah 24 jam tidak ada hewan yang mati maka dilakukan pengujian toksisitas akut LD50. b. Pengujian LD50 Dengan Metode Thomson dan Weil. Sebanyak 25 ekor mencit dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan yang digunakan dalam pengujian ini. Mencit-mencit tersebut diadaptasikan terlebih dahulu selama satu minggu. Pakan dan minum diberikan ad libitum. Semua mencit yang digunakan dalam penelitian dipuasakan selama 24 jam sebelum diberikan perlakuan. Setiap hari dilakukan dua kali pengamatan terhadap jumlah kematian mencit untuk perhitungan nilai LD50. Pengamatan terhadap mencit dilakukan selama 48 jam. Selanjutnya perlakuan-perlakuan tersebut dapat disajikan sebagai berikut. Kelompok I

: Mencit percobaan dicekok ekstrak etanol biji buah duku dengan dosis 50000 mg/kgBB.

Kelompok II

: Mencit percobaan dicekok ekstrak etanol biji buah duku dengan dosis 75000 mg/kgBB.

Kelompok III : Mencit percobaan dicekok dengan ekstrak etanol biji buah duku dengan dosis 112500 mg/kg BB. Kelompok IV : Mencit percobaan dicekok dengan ekstrak etanol biji buah duku dengan dosis 168750 mg/kg BB. 3.4 Parameter yang Diamati Parameter yang diamati dalam perlakuan ini adalah nilai LD50 ekstrak etanol biji buah duku dan kisaran LD50. 3.5 Analisa Data Perhitungan nilai LD50 menggunakan metode Thomson dan Weil (1952). Tabel perhitungan Thomson dan Weil digunakan untuk menentukan nilai LD50. Nilai LD50 dihitung dengan persamaan sebagai berikut. Log LD50

= Log D + d (f + 1)

Dimana : D = dosis terkecil yang digunakan

16 d = logaritma kelipatan f = suatu faktor pada daftar perhitungan LD50, dimana r adalah jumlah kematian hewan dalam satu kelompok uji n adalah jumlah hewan percobaan per kelompok k adalah jumlah hewan percobaan -1 Kisaran nilai LD50 dihitung dengan rumus Log kisaran = Log LD50 ± 2 d δf Dimana δf = suatu nilai pada tabel yang tergantung pada nilai n dan k. 3.6 Protokol Penelitian Tahap penelitian pengujian toksisitas akut LD50 ekstrak etanol biji buah duku pada mencit dapat dilihat dalam protokol penelitian. Selanjutnya protokol penelitian dapat diuraikan pada Tabel 2. Tabel 2. Protokol penelitian LD50 ekstrak etanol biji buah duku. Juni Tahap Penelitian Persiapan Bahan : -Ekstrak biji duku -Persiapan kandang dan pakan -Persiapan peralatan penelitian Penelitian : -Perlakuan pencekokan -Pengamatan Pencatatan hasil

1

2

3

4

Juli 1

2

3

4

17 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Lethal Dosis (LD50) Pengujian LD50 ekstrak etanol biji buah duku dengan dosis 15 g/kgBB per oral tidak menyebabkan kematian pada hewan percobaan. Penelitian LD50 ini kemudian dilanjutkan dengan dosis yang lebih tinggi. Dosis yang digunakan adalah dosis 50000, 75000, 112500, dan 168750 mg/kgBB. Hasil pengamatan terhadap kematian mencit pada berbagai tingkat dosis disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil pengujian LD50 ekstrak etanol biji buah duku pada mencit. Dosis

Jumlah

Mortalitas

Periode pengamatan

r

(mg/kgBB)

mencit

0

5

0/5

48

0

50000

5

0/5

48

0

75000

5

1/5

24

1

112500

5

4/5

24

4

168750

5

4/5

24

4

mortalitas (jam)

Keterangan : r = jumlah kematian mencit dalam satu kelompok uji Berdasarkan Tabel 3 diperoleh hasil kematian 4 ekor mencit yang terdapat pada perlakuan 3 dan 4. Pada kelompok perlakuan 2 terdapat 1 ekor mencit yang mati, sedangkan pada kelompok perlakuan 1 tidak terdapat kematian mencit. Selanjutnya Grafik kematian mencit tersebut dapat disajikan sebagai berikut.

200000

Dosis

150000 100000 Series2 50000 0 1

2

3 jumlah kematian

4

5

Gambar 1 Grafik jumlah kematian mencit pada pengujian LD50

18 Berdasarkan jumlah kematian hewan percobaan dari empat tingkat dosis ekstrak etanol biji buah duku menghasilkan empat nilai r, yaitu 0, 1, 4, dan 4 dengan asumsi bahwa semua hewan coba mengalami kematian pada dosis lebih besar dari 168750 mg/kgBB. Berdasarkan tabel perhitungan LD50 Thomson dan Weil, nilai r tersebut memiliki nilai f sebesar 0,25000 dan δf sebesar 0,25000 yang kemudian digunakan untuk menghitung nilai LD50. Berdasarkan metode Thomson dan Weil diperoleh nilai LD50 ekstrak etanol biji buah duku sebesar 82985.0767 mg/kgBB dengan uraian perhitungan sebagai berikut : Log LD50

= log D + d (f + 1) = log 50.000 + log 3/2 (0,25000 + 1) = 4, 6989 + 0,2201 = 4,9190 = 82.985,0767 mg/kgBB

LD50

Menurut klasifikasi toksisitas relatif Lu (1995), senyawa yang terkandung dalam ekstrak etanol biji buah duku diklasifikasikan sebagai bahan yang bersifat praktis tidak toksik sebab nilai LD50 diatas 15000 mg/kgBB. Sehingga apabila sejumlah zat diberikan kepada hewan dengan dosis tinggi dan tidak ada hewan yang mati, dianggap bahwa semua toksisitas akut yang berbahaya dapat disingkirkan (Lu 1995). Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji buah duku tidak bersifat toksik. Setiap hewan percobaan yang digunakan akan memberikan reaksi yang berbeda pada dosis tertentu. Perbedaan reaksi tersebut diakibatkan oleh perbedaan tingkat kepekaan setiap hewan. Dengan demikian perlu diketahui selang LD50. 4.2 Selang Lethal Dosis (LD50) Selang LD50 ekstrak etanol biji buah duku dapat dihitung dengan metode Thomson dan Weil. Perhitungan selang LD50 dilakukan untuk mengetahui kisaran nilai LD50. Perhitungan tersebut dapat disajikan sebagai berikut. Log kisaran

= log LD50 ± 2 d δf = 4,9190 ± 2 log 3/2 (0,25000)

19 = 4,9190 ± 0,0880 = 4,8310 - 5,0070 Kisaran LD50 = 67.764,1507 - 101.624,8693 mg/kgBB. Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh nilai kisaran LD50 ekstrak etanol biji buah duku sebesar 67.764,1507 - 101.624,8693 mg/kgBB. Selanjutnya nilai kisaran LD50 ekstrak etanol biji buah duku dapat disajikan pada grafik seperti pada Gambar 2.

120000 100000 dosis

80000 60000 40000 20000 0 0

50

100

LD50

Gambar 2 Grafik kisaran LD50 ekstrak etanol biji buah duku. Parameter yang digunakan dalam penghitungan nilai LD50 ekstrak etanol biji buah duku adalah nilai LD50 dan kisaran LD50. Hewan percobaan yang mengalami gejala keracunan sebagai akibat pemberian ekstrak etanol biji buah duku tidak diamati secara detail. Hal ini dilakukan karena hewan percobaan yang mengalami gejala keracunan tidak masuk dalam perhitungan nilai LD50. Hasil pengujian LD50 ekstrak etanol biji buah duku dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah spesies, strain, keragaman individu, jenis kelamin, umur, berat badan, cara pemberian, kesehatan hewan, dan lingkungan (Balls et al 1991). Faktor-faktor tersebut dianggap seragam sehingga respon yang dihasilkan hanya dipengaruhi oleh perlakuan. Perbedaan spesies dan cara pemberian akan mempengaruhi nilai toksisitas ekstrak etanol biji buah duku. Menurut Siswandono dan Bambang (1995) setiap spesies dan strain yang berbeda memiliki sistem metabolisme dan sistem detoksikasi yang berbeda. Pemberian obat per oral tidak langsung didistribusikan ke seluruh tubuh. Pemberian obat atau toksikan per oral didistribusikan ke seluruh tubuh setelah terjadi proses penyerapan

20 di saluran pencernaan. Sehingga mempengaruhi kecepatan metabolisme suatu zat di dalam tubuh (Mutschler 1991). Hewan-hewan yang lebih muda memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap dosis yang diberikan dari pada hewan yang sudah dewasa. Pada hewan yang sudah tua memiliki sistem biotransformasi dan ekskresi yang sudah menurun (Mustchler 1991). Perbedaan berat badan akan menyebabkan perbedaan dalam penentuan dosis. Semakin besar berat badan hewan semakin besar dosis yang digunakan. Hewan yang tidak sehat dapat memberikan nilai LD50 yang berbeda (Siswandono dan Bambang 1995). Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi LD50 antara lain temperatur, kelembaban udara, dan cuaca (Balls et al 1991). Temperatur ruang penelitian adalah 230C untuk menjaga kestabilan hewan fisiologis hewan percobaan. Menurut Mangkoewidjojo dan Smith (1988), temperatur yang tinggi membuat fisiologis hewan percobaan menjadi tidak stabil. Berdasarkan uji fitokimia sebagian besar zat aktif yang terdapat dalam biji buah duku memungkinkan bersifat toksik. Sifat toksik yang terkandung dalam biji buah duku kemungkinan merupakan salah satu penyebab kematian dari hewan percobaan. Menurut Ijang (2007), terpenoid dalam tumbuhan bekerja sebagai insektisida atau berdaya racun terhadap hewan tinggi. Alkaloid mempunyai rasa pahit dan sebagai antiserangga. Semua keracunan terjadi akibat reaksi antara zat beracun dengan reseptor dalam tubuh (Katzung 2002). Pemberian ekstrak etanol biji buah duku secara oral menyebabkan zat aktif yang terdapat dalam biji buah duku diabsorbsi dalam saluran pencernaan. Zat aktif kemudian mengalami proses distribusi dan metabolisme. Produk metabolisme yang bersifat toksik bekerja sebagai inhibitor enzim untuk tahap metabolisme selanjutnya. Reaksi antara zat aktif dengan reseptor dalam organ efektor menyebabkan timbulnya gejala keracunan (Donatus 1998). Pengujian LD50 bukan satu-satunya pengujian yang digunakan menilai toksisitas suatu bahan obat atau zat. Pengujian lain yang perlu dilakukan adalah pengujian lanjutan untuk memperkuat analisa keracunan dan toksisitas suatu zat atau bahan obat. Daya toksisitas yang rendah dari ekstrak etanol biji buah duku dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemanfaatan biji buah duku sebagai bahan yang berkhasiat obat. Dengan demikian kerugian yang akan ditimbulkan dari penggunaan obat asal dari biji buah duku dapat dicegah atau ditanggulangi.

21 KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian adalah nilai LD50 ekstrak etanol biji buah duku pada mencit secara oral dengan metode Thomson dan Weil adalah sebesar 82985.0767 mg/kgBB. Nilai kisaran LD50 sebesar 67764.1507 – 101624.8693 mg/kgBB. Berdasarkan klasifikasi toksisitas menurut Lu (1995), ekstrak etanol biji buah duku (Lansium domesticum Corr) termasuk kategori praktis tidak toksik. SARAN Perlu dilakukan pengujian toksisitas subkronik dan kronik untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat pemberian ekstrak etanol biji buah duku.

22 DAFTAR PUSTAKA Amelia. 2002. Fitokimia komponen Ajaib. Cegah PJK, DM, dan Kanker. http://www. Kimianet.lipi. go.id// utama.cgi. [18 Juli 2007]. Andriyanto. 2006.Uji fitokimia Biji Duku. Dalam penelitian dosen muda. Bogor. Anonimous. 2002. Benalu Teh Untuk Kanker. http://www. Tempo.co.id/medical/arsip [18 Juli 2007]. Anonimous. 2006. Buku Penuntun Praktikum Toksikologi. FKH IPB. Anonimous. 2007. Ekstraksi Padat Cair. http://www. Che.itb.ac.id. [18 Juli 2007] Balls M, James B, Jacqueline. 1995. Animals And Alternatives in Toxicology. Great Britain at the University Press. Cambridge. Bibien. 2007. Buah Duku Mencegah Kanker Kolon dan Diare http://www.balitaanda.indoglobal com [19 Juli 2007]. Buhler DR dan Cristobal M. 2003. Antioxidant Activities of Flavanoids. http://www.oreganstate.edu [19 Juli 2007]. Connel DW dan Miller GJ. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Yanti K, Penerjemah. Penerbit University Indonesia. Jakarta. Terjemahan dari Chemistry and Toxicology of Pollution. Darmasjah dan Iwan.2001. Pengobatan Simptomatik. http://www.sehatgroup.web.id/art [26 Maret 2007] Depadua. 1999. http://www.micro. Magnet. Fsu. Edu/phytochemicals/pages/saponin. [19 Juli 2007]. Donatus. 1998. Toksikologi Dasar. Yogyakarta. UGM Press. EPA. 1998. Health effect Test Guidlines. OPPTS 870.1100. Acute Toxicity TestingAcute Oral Toxicity. EPA 712-C-98-190. Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Widjajakusumah M, Irawati D, Siagian M, Moeloek D, Pendit BU, penerjemah. Widjajakusumah M, editor. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Medical Physiology. Gunawan D dan Mulyani S. 2004. Ilmu Obat Alam. Farmakognosi. Depok: Penebar Swadaya.

23 Guyton AC dan Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Setiawan I, Tengadi KA, Santoso A, Penerjemah: Setiawan I, Editor. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari : Textbook of Medical Physiology. Hutapea JR. 1999. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jilid V. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan. Imono AD. 2001. Toksikologi Dasar. Fakultas Farmasi. Universitas Gajah Mada. Ijang. 2007. Tajuk Tumbuhan Beracun. http//www.pkukmweb.ukm. my/ahmad.htmal. [19 Juli 2007]. Katzung BG. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Sjabana D, Isbadianti SE, Basori A, Soedjak NM, uno I, Rhamadani, Zakaria PS, penerjemah dan penyunting. Jakarta Salemba Medika. Terjemahan dari: Basic dan Clinical Pharmacology Ed ke-8. Lazarovici P dan Haya L. 2002. chimeric Toxin: Mechanisms of Actions And Theraupeutic Applications. Taylor dan francis Group. Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar : Asas, Organ, Sasaran, dan Penilaian Resiko. Edisi 2. Jakarta. UI Press. Lutony TL. 1993. Duku dan Peluangnya. Penerbit Kanisile. Yogyakarta. Jawa Tengah. Mangkoewidjojo dan Smith. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta : UI Press. Mutschler E. 1991. dinamika Obat. Ed ke-5. Mathilda B, Widianto, Penerjemah. Bandung. Penerbit ITB. Terjemahan dari Arzneimittel wiirkungen 5 Vollig neurbear beitete und evwiterteauflage. Prihathman. 2000. Budidaya, Pertanian Duku.http://www.ristek.budidaya%20pertanian [26 Maret 2006]. Robinson T. 1991. Kandungan Organik tumbuhan Tinggi. Penerbit ITB. Siswandono dan Bambang S. 1995. Kimia Mediasinal. Airlangga University Press. Thomson dan Weil CS. 1952. Tables for Convenient Calculation of Median Effective Dose (LD50 or ED50) And Instructions in Their Use. Biometrics 8:249-263. Tjay TH dan Raharja K. 2002. Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta. Gramedia. Wikipedia. 2007. Pokok Duku. http://id.wikipedia.org/wiki/Duku [19 Juli 2007].