PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM

Download JURNAL. PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PENANGGULANGAN ... penanggulangan kekerasan yang dilakukan oleh narapidana...

2 downloads 707 Views 168KB Size
PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PENANGGULANGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA (Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan II B Kotaagung)

( Jurnal Skripsi )

Oleh HEVI SELVINA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017

JURNAL PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PENANGGULANGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA (Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan II B Kotaagung) Oleh Hevi Selvina. Nikmah Rosidah. Rini Fathonah (Email:[email protected]) Penelitian dan penulisan skripsi ini bertujuan Untuk mengetahuai peran lembaga pemasyarakatan dalam penanggulangan kekerasan yang dilakukan oleh narapidana. mengetahui faktor penghambat peran lembaga pemasyarakatan dalam penanggulangan kekerasan yang dilakukan oleh narapidana. Jenis penelitian ini adalah penelitian Normatif-Empiris . Dalam pendekatan ini maka digunakan data primer dan data skunder yang masing-masing bersumber atau diperoleh dari lapangan dan kepustakaan. Untuk data primer dikumpulkan dengan wawancara, sedangkan data skunder dengan cara menelusuri literatur-literatur atau bahan pustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut peran Lembaga pemasyarakatan dalam penanggulangan kekerasan yang dilakukan oleh narapidana adalah kenyaataannya bahwa lembaga pemasyarakatan tersebut terkendala oleh beberapa hal seperti, pasilitas lembaga pemasyarakatan yang kurang memadai jumlah pegawai/penjaga yang tidak sesuai dengan jumlah warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang di jaga di dalam lembaga pemasyarakatan tersebut, jumlah narapidana yang melebihi kapasitas lembaga pemasyarakatan, karena banyaknya warga binaan pemasyarakatan sehingga sarana prasarana yang tidak memenuhi kebutuhan narapidana yang tinggal di dalam Lembaga pemasyarakatan, Kurangnya pengawasan juga menyebabkan mudahnya terjadi kerusuhan didalam Lembaga Pemasyarakatan. Jadi faktor inilah yang menyebabkan banyaknya keributan yang terjadi didalam Lembaga pemasyarakatan. Kata kunci: Peran Lapas, kekerasan, narapidana.

JOURNAL THE ROLE OF CORRECTIONAL INSTITUTION IN THE PREVENTION OF VIOLANCE PERPETRATED BY PRISONERS (A Study in Correctional Institution II B Kotaagung) By Hevi Selvina. Nikmah Rosidah. Rini Fathonah (Email: [email protected])

The objectives of this research are to find out the role of correctional institution in the prevention of violence perpetrated by prisoners, and also to identify the inhibiting factors of the role of correctional institution in the prevention of violence perpetrated by prisoners. This research is a Normative-Empirical research. In this approach, the use of primary data and secondary data were obtained from field study and literature study. The primary data were collected by conducting interview, while the secondary data were gathered through literature or library research which comprise a primary law, secondary law and tertiary legal materials. Based on the results of the research and discussion, the role of the correctional institution in the prevention of violence perpetrated by prisoners were in fact constrained by several things like, the inadequate numbers of facilities within the prison, the inadequate numbers of staff / guards compared to the numbers of prisoners guarded, the number of prisoners exceeds the capacity of the prison, the big amount of prisoners with poor facilities could not meet the needs of prisoners living in the correctional institution, while lack of supervision made the violation happened among the prisoners. Those factors causes a lot of disturbances in the correctional Institution. Keywords: Role of correctional institition, violence, prisoners.

1

I. PENDAHULUAN Lembaga pemasyarakatan atau disingkat (LAPAS) merupakan institusi dari sub sistem peradilan pidana mempunyai fungsi strategis sebagai pelaksanaan pidana penjara sekaligus sebagai tempat pembinaan bagi narapidana. Terdapat pada tujuan pemasyarakatan Pasal 2 UndangUndang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah : “agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak menggulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab” lain sisi pelaksanaan pidana penjara dianggap sebagai perampasan hak asasi manusia (HAM). Tujuan dari pemberian hukuman sendiri tidak lain hanya untuk menciptakan sutau kedaiaman yang didasarkan pada keserasian anatara ketertiban dengan ketentraman. Tujuan hukum ini tentunya akan tercapainya apabila didukung oleh tugas hukum, yakni keserasian antara kepastian hukum dengan kebandingan hukum, sehingga akan menghasilkan suatu keadilan1. Kasus tindak kejahatan kekerasan yang kerap terjadi pada saat ini dirasakan oleh pendatang baru akan bertambah parah. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya kejahatan kekerasan dalam lapas ini dikarnakan jumlah napi yang melebihi kapasitas, kejahatan kekerasan dalam lapas juga kerap 1

Ibid.hlm 06

terjadi karena kurangnya pengawasan dari petugas lapas serta perbedaan antara jumlah petugas lembaga pemasyarakatan dengan narapidana yang terdapat dalam lapas sangat jauh berbeda dimana, jumlah dari napi yang ditahan didalamnya sudah melebihi kapasitas. sehingga hal tersebut mengakibatkan pembinaan terhadap napi tidak dapat dilakukan secara maksimal. Kekerasan yang terjadi di lapas ini hendaknya dapat di tindak lanjuti dan perlu di simak lebih jauh untuk tidak dianggap wajar dan biasa, seakan-akan sudah menjadi denyut kehidupan dalam lapas. Kondisi ini tampaknya mulai merajalela, sementara upaya untuk mencari benang merah dari inti permasalahan yang sebenarnya belum di lakukan secara maksimal, diperlukan penyelidikan dengan serius agar tidak terjadi lagi kasus yang sama sehingga tujuan utama dari pemasyarakatan itu dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya dimana Pemasyarakatan. Terjadi pada saat ini yang berkaitan di UPT Pemasyarakatan khususnya di Lapas salah satunya adalah kejahatan kekerasan yang dilakukan oleh narapidana terhadap narapidana lain di dalam Lapas, misalnya pada kasus di Lapas kelas II B Kota Agung terjadi kejahatan kekerasan sesama warga binaan pemasyarakatan (WBP) pada hari kamis, 18 Februari 2016 sekitar pukul 16.30. pada jam para warga binaan pemasyarakatan (WBP) sedang berada diluar sel menunggu pembagian jatah makan sore, aksi pemukulan terjadi yang direkam salah satu napi dan kecolongan atas aksi kekerasan yang terjadi antar warga binaan dilingkungan Lapas, peristiwa tersebut

2

sempat mengebohkan dunia maya setelah diunggah melalui media sosial yang berdurasi 8,3 menit. Sebab pada saat itu berlangsung petugas jaga sedang melakukan patroli. Sementara itu, menurut kasubsi keamanan Lapas Johansyah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) internal Lapas menjadikan pengawasan terhadap warga binaan tidak berjalan maksimal. Dengan petugas yang jumlahnya sedikit, pihak Lapas harus tetap membagi para petugasnya untuk berjaga, sedangkan jumlah narapidana hingga saat ini hampir mencapai 300 jiwa dan petugas berjumlah 40 sedangkan diterapkan saat ini 1 petugas mengawasi 1 blok atau sekitar 40 warga binaan itulah peristiwa kemarin lepas dari pengawasan petugas.

Lapas merupakan tempat melaksanakan pembinaan bagi para narapidana seharusnya menjadi penghuni yang memiliki pribadi yang lebih baik lagi, justru menjadi salah satu tempat yang sering terjadi kejahatan kekerasan yang dilakukan sesama narapidana,Tapi kenyataanya masih banyak narapidana yang belum merasakan perlindungan selama berada dalam masa tahanan, maraknya keributan yang terjadi di lembaga pemasyarakatan (LAPAS) antara sesama napi mendapat perhatian masyarakat. sehingga dalam hal ini pemasyarakatan memiliki peran yang sangat penting untuk menciptakan suatu keadaan kondusif seperti kedamaian yang didasari keserasian antara ketertiban, pemeliharaan keamanan dan tata tertib lapas.

Aksi pemukulan ini melibatkan para narapidana yang terjerat kasus narkoba. Pelaku pemukulan berinisial As (40) napi pindahan dari Lapas Kotabumi. Sementara korban TN (34) sebelumnya merupakan tahanan dari Lapas Khusus Narkotika Bandarlampung. Sedangkan rekan satu sel As yang turut memukul berinisial N (34).Korban dituding telah menjadi mata-mata aparat sehingga As turut diciduk. Ketika diketahui korban dipidahkan ke Lapas Way Gelang, dendam As yang dipendam cukup lama diluapkan terhadap korban. "Terhadap korban langsung diberikan penanganan medis dan sekarang kondisinya berangsur pulih.2

Lapas merupakan tempat melaksanakan pembinaan bagi para narapidana seharusnya menjadi penghuni yang memiliki pribadi yang lebih baik lagi, justru menjadi salah satu tempat yang sering terjadi kejahatan kekerasan yang dilakukan sesama narapidana,Tapi kenyataanya masih banyak narapidana yang belum merasakan perlindungan selama berada dalam masa tahanan, maraknya keributan yang terjadi di lembaga pemasyarakatan (LAPAS) antara sesama napi mendapat perhatian masyarakat. sehingga dalam hal ini pemasyarakatan memiliki peran yang sangat penting untuk menciptakan suatu keadaan kondusif seperti kedamaian yang didasari keserasian antara ketertiban, pemeliharaan keamanan dan tata tertib lapas.

2

https://www.harianfokus.com/2016/03/01/soal -video-kekerasan-antar-napi-kepalatanggamus-membenarkan-terjadiditempatnya/. Diakses tanggal 5 mei 2016

3

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah: Bagaimanakah peran lembaga pemasyarakatan dalam penanggulangan kekerasan yang dilakukan oleh narapidana, serta Apakah yang menjadi faktor penghambat peran lembaga pemasyarakatan dalam penanggulangan kekerasan yang dilakukan oleh narapidan? Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normative dan pendekatan yuridis empiris. Narasumber terdiri dari Kasubsi Keamanan Lembaga Pemsayarakatan Kelas II B Kotaagung, serta Dosen pada bagian Hukum Pidana Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

II. Pembahasan A. Peranan Lapas dalam Penanggulangan Kekerasan yang Dilakukan Oleh Narapidana Tujuan dari pemasyarakatan adalah menekan pada pembinaan dan pendidikan dengan berusaha untuk mengembalikan kehidupan warga binaan pemasyarakatan, agar dapat kembali ketengah-tengah kehidupan masyarakat seutuhnya. Terhadap keberhasilan pembinaan tersebut, maka unsur yang sangat berperan adalah petugas pada Lembaga Pemasyarakatan, masyarakat dan tentunya dari warga binaan pemasyarakatan itu sendiri. Sebab ketiga unsur tersebut merupakan suatu

hubungan kesatuan yang sangat erat kaitanya satu sama lainnya. Namun adakalanya sering terjadi perselisihan antar warga binaan pemasyarakatan (WBP) di dalam Lapas bahkan berunjung pada suatu perbuatan tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh warga binaan pemasyaraktan (WBP). Hal ini terjadi tentunya karena adanya unsur pada proses pembinaan yang belum terpenuhi. Sanusi menyatakan Peran Lembaga Pemasyarakatan dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan yang dilakukan narapidana adalah dilihat dari persoalan tugas dan fungsi Lapas, berarti perlu dipahami terlebih dahulu, Lapas membantu orang yang sudah dapat pidana dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi dalam hal ini kedudukan Lapas fungsinya dapat menjalankan pidana yang merupakan hukum pidana yang meliputi hukum pidana materil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana, tiga hal ini merupakan terkaitan dalam fungsi aparatur penegak hukum Materil dan formil adalah merupakan tugas dan fungsi Lapas , dan hukum pelaksanaan pidana merupakan berpikirnya disini, berbicara mengenai penanggulangan tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh narapidana itu artinya harus dilihat kapan bolehnya Lapas itu sendiri, kalaupun tidak boleh berarti melanggar wewenangnya. Peran Lapas hanya sekedar membantu untuk penyusutan pendidikan bagi para WBP yang melakukan tindakan pidana .jadi peranan dari Lapas yaitu

4

Penindakan tindak pidana merupakan patner dari penuntut. Lapas sifatnya adalah mempasilitasi dan membantu dalam proses penyelidikan dan yang paling menonjol bahwa Lapas adalah menjaga keberadaan WBP, Lapas juga mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan rehabilitasi dan Lapas berpegang pada wewenang dari masing-masing sesuai dengan undangundang yang mengaturnya.3 Johansyah menyatakan peraturan tata tertib di Lapas ada peraturan dan itu tidak lari dari Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyaraktan dan Rumah Tahanan Negara. Proses penghukuman yang terjadi di dalam Lapas yang melakukan Pelanggaran diatur sesuai dengan aturan Permen No.6 Tahun 2013 tentang tata tertib Lapas tuntutan. Artinya semua tindakan mengenai pelanggaran napi/ tahanan harus sesuai dengan peraturan Permen itu sendiri.4 Menurut analisis penulis jika dilihat dari segi aturan hukum pemasyarakatan bahwa sistem pemasyarakatan di Indonesia sudah cukup baik, seperti sistem yang termuat dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Namun perlu diperlu diperhatikan pada proses pemasyarakatan yang utama adalah sarana dan prasarana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini karena banyaknya terjadi kekerasan antar warga binaan pemasyarakatan 3

Wawancara dengan Sanusi. Dosen Pidana. 26 September 2016 4 Wawancara dengan Johansyah, 17 September 2016

(WBP) di dalam Lapas sering disebabkan kurangnya sarana dan prasarana yang ada di dalam Lapas itu sendiri, warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang melebihi kapasitas di dalam Lapas, yang seharusnya di dalam satu kamar sel berisi 15 orang warga binaan pemasyarakatan (WBP) namun diisi dengan 30 orang warga binaan pemasyarakatan (WBP). Selain itu, ketidak sesuaian jumlah petugas Lembaga Pemasyarakatan yang menjaga warga binaan pemasyarakatan (WBP) juga berperan sangat penting untuk mencegah terjadinya kekerasan antar warga binaan pemasyarakatan (WBP) di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa tindak kekerasan yang dilakukan antar warga binaan pemasyarakatan (WBP) dipengaruhi yang paling utama dari unsur sarana dan prasarana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Apabila terjadi kekerasan antar warga binaan pemasyarakatan (WBP) didalam Lembaga Pemasyarakatan maka peran Lembaga Pemasyarakatan adalah sesuai dengan ketentuan SOP (Standar Oprasional) yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri. Misalnya melakukan penyelidikan terhadap pelaku dan korban , melakukan penempatan pada sel khusus bagi pelaku, melakukan mediasi antara pelaku dan korban, melakukan pemberian sangsi terhadap pelaku. Namun apabila perbuatan tersebut sudah dapat dikatagorikan suatu perbuatan pidana dan pihak korban merasa tidak terima atau merasa perlu adanya keadilan dan tidak dapat di mediasi maka korban dapat melakukan pelaporan ke pidak

5

kepolisian. Jika perkara tersebut dilanjutkan kepada pihak kepolisian maka dalam hal ini peran Lembaga Pemasyarakatan hanyalah memberikan hasil penyidikan petugas lembaga pemasnyarakatan dan mempasilitasi pihak kepolisian dalam melakukan penyidikan. B. Faktor Penghambat Peran Lembaga Pemasyarakatan dalam Penanggulangan Kekerasan yang Dilakukan Oleh Narapidana. Lima faktor tersebut harus mengetahui hakekatnya dari pembinaan dan tujuan pembinaan dan tujuan pembinaan yang diberikan. Agar pembinaan dapat berjalan dengan yang diharapkan, kelima faktor tersebut harus saling bekerjasama dan saling terbuka dalam memberikan informasi. Adanya komunikasi yang baik antara ketiga komponen tersebut maka dapat diketahui hambatan-hambatan apa saja yang ada dalam pembinaan untuk kemudian dicari solusinya, dengan demikian pembinaan yang dilakukan dapat berjalan dengan optimal.5 1. Faktor undang-undang Johansyah menyatakan peraturan Permen No 6 Tahum 2013 tersebut tidak sesuai artinya tidak ada efek penjera bagi pelaku yang melakukan tindakan kekerasan (pelanggaran) di dalam Lapas, contohnya : Napi melakukan perkelahian hanya hukuman 18 hari ini dibuktikan terlalu ringan dalam aturannya. Karena aturan

atau hukuman yang diberikan terlalu ringan terhadapa narapidana yang melakukan kekerasan sehingga tidak memberikan efek penjera bagi pelaku. Hal ini yang menyebabkan perkelahian/kekerasan antar warga binaan pemasyarakatan (WBP) di dalam Lapas sering terulang terjadi. dapat disimpulkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan dalam melakukan penindakan kekerasan yang dilakukan antara warga binaan pemasyarakatan (WBP) terhambat oleh aturan Permen No. 6 Tahun 2013, sedangkan Lembaga Pemasyarakatan dalam melakukan penindakan harus sesuai dengan aturan pada Permen Hukum dan Ham No. 6 Tahun 2013 tersebut. Lapas juga untuk menindak mereka tidak maksimal penjeranya, kecuali pidana yang disebut dengan delik aduan termasuk wilayah hukum dan semua maalah tidaki diharuskan untuk di pidana.6 Sanusi menyatakan, Ketentuan dari faktor ini belum terinformasi, karna banyak orang-orang yang tidak tahu dan tidak mengerti mengenai aturanaturan yang ada, seperti kejadiankejadian WBP yang ditembak kakinya, maka perlu diberikan informasi. Tetapi dalam Lembaga Pemasyarakatan yang jelas kelemahan hukumnya yang paling menonjol dalam hal penanggulangan harus diberikan pendidikan, termasuk adanya penyelidikan terhadap warga binaan pemasyarakatan, artinya di arahkan dulu undang-undang yang mengatur tentang hal ini, diberikan pengarahan. Berbicara faktor hukum dilihat

5

Dwidja Priyanto. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Bandung. PT. Rafika Aditama. 2009. Hlm 36

6

Wawancara dengan Johansyah, 1 Oktober 2016

6

bagaimana terjangkau tidaknya peraturan pelaksanaan tempat kejadian itu sendiri.7 2. Faktor Penegak Hukum Johansyah menyatakan ketidak sesuaian jumlah warga binaan pemasyrakatan dengan petugas penjaga. petugas yang menjaganya hanya 2 orang. Maka dari ini dilihat bahwa Lapas Kotaagung masih kekurangan pegawai/penjagaan di Lapas tersebut, artinya tidak sesuai yang diharapkan. Dan menyangkut pembinaan yang termasuk kepegawaian, disini gimana pembinaan itu maksimal kalau pegawainya kurang, dan penjaganya saja kurang bagaimana ingin memberi pembinaan. Maka disini dapat terlihat dari teknis internal Lapas Kotaagung. Tidak terpenuhimya standar dan prosedur pelaksanaan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan keamanan dan penegakan hukum di Lapas Kotaagung, Masih kurangnya jumlah petugas dan tidak sebanding dengan jumlah warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang ada, yaitu dengan perbandingan jumlah petugas dengan warga binaan pemasyarakatan (WBP) dalam hal pengamanan, menangani pelanggaran, pemahaman tentang psikologi dan penguasaan teknologi yang masih kurang. Infrastruktur yang kurang memadai serta sarana dan alat pendukung keamanan yang tidak memenuhi standar pemasyarakatan, yaitu kondisi pagar pembatas yang 7

Wawancara dengan Sanusi. Dosen Pidana Unila. Senin 26 September 2016

tidak selesai dibangun, kamera pengaman yang tidak berfungsi dengan baik, serta tidak adanya alat metal detector untuk mengamankan terjadinya penyelundupan barangbarang terlarang dan Sosiologis, psikis dan pola perilaku tahanan ysng menyebabkan kurang kooperatifnya perilaku warga binaan pemasyarakatan dengan para petugas pemasyarakatan.8 Sanusi menyatakan, Tidak seimbang atau tidak sesuai dengan penjagaan/petugas yang menjaganya. Untuk itu penjaga/petugas harus dilihat dari pendidikannya, agar dapat memahami masalah-masalah internal yang terjadi di Lapas, maka perlu adanya ilmu pengetahuan yang lebih, supaya informasi lebih jelas dan mudah di sampaikan.9 3. Faktor sarana atau fasilitas Johansyah menyatakan rata-rata seluruh Indonesia yang pasti di Lampung terutama di Lembaga Pemasyarakatan Kotaagung tidak sesuai antara kapasitas bangunan dan komisi, dan sudah melebihi kapasitas. kapasitas yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Kotaagung seharusnya 120 orang dalam 1 ruangan, sedangkan sekarang yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Kotaagung berjumlah 287 orang dalam 1 ruangan, maka dalam hal ini sudah melebihi kapasitas dan tidak sesuai. Masalah kurangnya pegawai penjagaan, di Lapas Kotaagung memiliki 6 blok yaitu A,B,C,D,E,F 8

Wawancara dengan Johansyah, 1 Oktober 2016 9 Wawancara dengan Sanusi. Dosen Pidana Unila. Senin 26 September 2016

7

seharusnya di jaga 6 orang, ini hanya 2 orang penjagaan, pertama A,B,C (ditempatkan di atas) yang terdiri 1 orang, dan D,E,F (ditempatkan di bawah) hanya 1 orang. Maka dari ini dilihat bahwa Lapas Kotaagung masih kekurangan pegawai/penjagaan di Lapas tersebut, artinya tidak sesuai yang diharapkan.10 Sanusi dosen Pidana, menyatakan bahwa harus adanya suatu monitoring selaku petugas Lapas dari atasan sedapat mungkin antara yang di jaga dengan si penjaga, semacam laporan kekurangan yang ada, mungkin juga diberikan saran hanya untuk mereka yang merasa terlalu sesak diharuskan dibagi rata, kalau ada warga binaan pemasyarakatan yang jahat dan di campurkan dengan warga binaan masyarakatan yang jahat maka akan muncul tanggapan menjadi sekolah kejahatan di dalam lapas. Misalnya mengenai jadwal-jadwal seperti jadwal makan, jadwal mandi ini sudah sesuai belum dengan yang ada di Lapas II B Kotaagung, karna banyaknya penghuni yang melebihi kapasitas biasanya tidak seimbang dan tidak sesuai.11 4. Faktor Masyarakat Johansyah menyatakan bahwa ada beberapa warga binaan pemasyarakatan yang tidak pernah dibesuk keluarganya, banyak keluarga WBP yang tidak mengakui lagi tersebut menjadi bagian keluarganya. Dan tidak diketahui alamat yang pasti

dari WBP karena tempatnya jauh di perkampungan. Hal tersebut disebabkan karena sebagian dari penghuni Lembaga Pemasyarakatan adalah napi yang berasal dari luar Kotaagung , sehingga demikian jarak tempuh keluarga jauh dan memerlukan biaya yang cukup besar untuk mencapai ke lokasi Lembaga Pemasyarakatan. Hal yang demikian mengakibatakan syarat administratif berupa surat pernyataan kesanggupan tidak terpenuhi sehingga membuat kami harus berpikir bagaimana agar WBP tersebut ada penjaminnya.12 Sanusi menyatakan faktor masyarakat ini sangat penting karena masyarakat adalah tempat laboratorium orangnya, masyarakat juga memiliki yudit yang terkecil yaitu keluarga dalam arti orang terdekat yang sering mengunjungi, kemudian istilahnya WBP tersebut kalau sering dikunjungi oleh keluarganya maka akan mendapatkan remisi dan bebas bersyarat.13 5. Faktor kebudayaan Johansyah menyatakan bahwa image ex warga binaan Pemasyarakatan masih belum sepenuhnya di terima oleh masyarakat. Dikarnakan warga binaan pemasyaraktan telah di cap tidak baik oleh warga masyarakat, dan tidak mudah untuk menghapus nama baik dirinya sendiri.14 Sanusi menyatakan sering terjadi stikma yang artinya Cap jahat dari 12

10

Wawancara dengan Johansyah, 17 September 2016 11 Wawancara dengan Sanusi. Dosen Pidana Unila. Senin 26 September 2016

Wawancara dengan Johansyah, 17 September 2016 13 Wawancara dengan Sanusi. Dosen Pidana Unila. Senin 26 September 2016 14 Wawancara dengan kasubsi keamanan Johansyah, 1 Oktober 2016

8

masyarakat luar, maupun berbuatan mengenai apa saja yang dilakukan ketika melakukan kejahatan akan terlihat jelek dimata masyarakat ketika WBP keluar dari penjara. Dengan keadaan hidup terkadang masyarakat tidak menerima pada saat napi pulang kekampung halamannya, bahkan sampai ia meninggal masyarakat terkadang tidak terima mayatnya di kubur di kampung halamannya. Maka dari itu budaya seperti ini harus ditumbuhkan dalam masyarakat dan dikemblikan lagi pada agama masingmasing. Dan setiap orang tidak menjamin baik kalau dalam lingkungan pergaulannya emang tidak baik. Agar bisa memahami bahwa WBP mempunyai hak untuk hidup yang tenang.15 Berdasarkan uraian diatas sudah dikemukakan oleh beberapa narasumber faktor-faktor penghambat Peran Lembaga Pemasyarakatan dalam Penanggulangan kekerasan yang dilakukan oleh narapidana. Menurut penulis faktor-faktor penghambat peran lembaga pemasyarakatan dalam penanggulangan kekerasan yang dilakukan oleh warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang paling utama adalah dari dalam aturan hukum itu sendiri. Misnyalnya dalam hal ini, Undang-Undang yang terkait tentang Lembaga Pemasyarakatan adalah Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang dalam pelaksanaanya diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Ham No. 6 Tahun 2013. Pada proses pelaksanaanya menurut penulis hal yang paling 15

Wawancara dengan .Sanusi. Dosen Pidana Unila. Senin 26 September 2016

terlihat adalah lemahnya penetapan sangsi bagi pelaku pelanggran disiplin atau kekerasan antar warga binaan pemasyarakatan (WBP) didalam Lembaga Pemayarakatan. Sehingga lembaga pemasyarakatan terbatas untuk menindak pelaku yang pada akhirnya pelanggaran disiplin atau kekerasan antar warga binaan pemasyarakatan (WBP) kerap terulang terjadi. Faktor penghampat peran lembaga pemasyarakatan dalam penanggulangan kekerasan yang dilakukan oleh narapidana berikutnya adalah ketidak sesuaian jumlah warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang dijaga dengan petugas pemasyarakatan. Hal ini mengakibatkan terbatasnya penjagaan terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP) didalam lembaga pemasyarakatan. Sehingga ketika terjadi kekerasan antar warga binaan pemasyarakatan (WBP) didalam lembaga pemasyarakatan tidak dapat ditanggulangi secara cepat dan optimal dikarenakan keterbatasan petugas pemasyarakatan. Faktor penghambat selanjutnya adalah kuranganya sarana dan prasarana yang ada didalam lembaga pemasyarakatan itu sendiri. Mislanya, kurangnya jumlah sel yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan. Jika jumlah sel tahanan didalam lembaga pemasyarakatan memadai, maka petugas pemasyarakatan dapat menempatkan warga binaan pemasyarakatan (WBP) sesuai dengan karakter, masa tahanan, da, tindak kejahatan yang dilakukan. Apabila hal tersebut dapat direalisasikan didalam

9

lembaga pemasyarakatan tentunya akan dapat meminimalisir terjadinya kekerasan antar warga binaan pemasyarakatan. III. Penutup Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Peran Lembaga Pemasyarakatan dalam Penanggulangan Kekerasan yang dilakukan Oleh Narapidana menyelidiki dan menindak warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang menjadi pelaku kekerasan, serta memberikan sanksi disiplin sesuai Peraturan Menteri Hukum dan Ham No. 6 Tahun 2013. Sanksi disiplin tersebut dibagi dalam tiga tingkatan yaitu, sanksi displin tingkat ringan, sedang, dan berat. Apabila perbuatan warga binaan pemasyarakatan (WBP) tersebut tergolong dalam tindak pidana maka Lembaga Pemasyarakatan menyerahkan perkara tersebut kepada instansi yang berwenang dalam hal ini kepolisian. Pasilitas yang ada di dalam Lapas tersebut sudah memadai akan tetapi masih terdapat ketidak puasan narapidana terhadap pasilitas yang ada, karena banyaknya warga binaan pemasyarakatan sehingga sarana prasarana yang tidak memenuhi kebutuhan narapidana yang tinggal di dalam Lapas. Kurangnya pengawasan juga menyebabkan mudahnya terjadi kerusuhan didalam Lapas. Jadi faktor inilah yang menyebabkan banyaknya keributan yang terjadi didalam Lapas,

maka peran Lembaga Pemasyarakatan dalam hal ini harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh para warga binaan pemasyarakatan. Lapas juga mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan rehabilitasi dan Lapas berpegang pada wewenang dari masing-masing sesuai dengan undangundang yang mengaturnya. peraturan tata tertib di Lapas ada peraturan dan itu tidak lari dari Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyaraktan dan Rumah Tahanan Negara. 2. Faktor Penghambat Peran Lembaga Pemasyaraktan dalam Penanggulangan Kekerasan yang Dilakukan Oleh Narapidana faktor penghambat peran lembaga pemasyarakatan dalam penanggulangan kekerasan yang dilakukan oleh narapidana adalah lemahnya sanksi yang ada dalam Peraturan Menteri Hukum dan Ham No 6 Tahum 2013 sehingga tidak menimbulkan efek jera dan cenderung mengulangi perbuatan tersebut. ketidak sesuaian jumblah warga binaan pemasyrakatan dengan petugas penjaga, kurangnya sarana dan pasilitas yang memadai seperti tidak sesuai antara kapasitas bangunan dan komisi, banyak warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang tidak pernah dibesuk keluarganya sehingga syarat administratif berupa surat pernyataan kesanggupan tidak terpenuhi, image ex warga binaan Pemasyarakatan (WBP) masih belum sepenuhnya di terima oleh masyarakat.

10

Saran

DAFTAR PUSTAKA

Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan dalam skripsi ini, maka saran-saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut:

Priyatno, Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

Diharapkan demi terwujudnya ketertiban yang ada di Lembaga Pemasyarakat Kelas II B Kotaagung maka perlu adanya peningkatan kualitas petugas Lembaga Pemasyaraktan seperti dilihat dari pendidikan yang sesuai dengan bidangnya, Meningkatkan jumlah petugas pemasyarakatan agar sesuai dengan warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang dijaga. Sehingga warga binaan pemasyarakatan mendapatakan hak yang baik dan terciptanya keadaan kondusif dalam pelaksanaan tugas selama menjalankan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kotaagung.. Hendaknya pemerintah dapat meningkatkan sarana dan prasarana pada lembaga pemasyarakatan. Agar tidak lagi terjadi ruang tahanan yang melebihi kapasitas, sehingga dapatlah ditegaskan bahwa kegiatan pembinaan tidak mungkin dapat tersenggara tanpa didukung suasana aman dan tertib.

Presetyo. Teguh 2010. kriminalisasi dalam hukum pidana. nusa media Wawancara dengan .Sanusi. Dosen Pidana Unila. Wawancara dengan kasubsi keamanan Johansyah, https://www.harianfokus.com/2016/03/01/ soal-video-kekerasan-antar-napikepala-tanggamus-membenarkanterjadi-ditempatnya/. Diakses tanggal 5 mei 2016