PERANAN MODAL SOSIAL DALAM ... - repository.ipb.ac.id

iii RINGKASAN RIZQI HUMAIRA. Peranan Modal Sosial dalam Pengembangan Nilai Kewirausahaan (Kasus Pedagang Kecil dan Anggota Kelompok Tani di...

11 downloads 820 Views 987KB Size
i  

PERANAN MODAL SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN NILAI KEWIRAUSAHAAN (Kasus Pedagang Kecil dan Anggota Kelompok Tani di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor)

Oleh: RIZQI HUMAIRA I34070060

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

ii  

Abstract It seems that entrepreneurship becomes more urgently needed in Indonesia, especially in village society since human resources development rank is the lowest position among the development countries. The values of entrepreneurship development is beneficial to start or operate the trade. These principal values is build from the influence of social capital which “The social capital” is fastly growing and become a backbone of the entire trade system. Farmer group and minor seller in the village are one of the most important actors behind the system. Be successfull entrepreneur, they are also supported by individual capacity. The main goal of this research is to know the role of social capital in entrepreneurship value development.

Keywords: Social capital, Entrepreneurship, Minor Seller, Farmer Group

iii  

RINGKASAN RIZQI HUMAIRA. Peranan Modal Sosial dalam Pengembangan Nilai Kewirausahaan (Kasus Pedagang Kecil dan Anggota Kelompok Tani di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor). Di bawah bimbingan SAHARUDDIN Modal sosial merupakan suatu hubungan yang tercipta yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Unsur terpenting dan dapat dipandang sebagai syarat keharusan dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat (atau lemah) dari suatu masyarakat adalah kepercayaan (trust). Adapun unsur-unsur yang dapat dipandang sebagai syarat kecukupan dari terbentuk atau terbangunnya kekuatan modal sosial di suatu masyarakat adalah: (a) partisipasi dalam jaringan sosial, (b) saling tukar kebaikan, serta (c) norma sosial. Pengembangan nilai kewirausahaan merupakan suatu pembentukan jiwa/nilai-nilai dalam aktivitas usaha, seperti keberanian mengambil resiko, kreativitas dan inovasi, percaya diri, kerja keras, berjiwa kepemimpinan, dan berpandangan jauh ke depan (orientasi hasil). Kaitannya dengan pengembangan nilai kewirausahaan adalah modal sosial berperan sebagai wadah bagi masyarakat untuk bekerja sama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan pengembangan nilai-nilai tersebut. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan penelitian utama yaitu: seberapa besar peranan modal sosial dalam pengembangan nilai kewirausahaan. Penelitian ini merupakan penelitian survai dengan tipe eksplanatori. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang didukung kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah pedagang yang berada di tiga kampung di Desa Cikarawang dan lima anggota kelompok tani yang terdaftar, yaitu kelompok tani hurip, kelompok tani mekar, kelompok tani setia, kelompok tani subur jaya, dan kelompok wanita tani melati yang melakukan aktivitas usaha (berdagang) baik sebagai mata pencaharian utama maupun sampingan. Pemilihan responden berdasarkan sektor usaha yang paling dominan yang terdapat di Desa Cikarawang, yaitu sektor pertanian dan perdagangan yang diambil secara acak dengan jumlah responden adalah masing-

iv   masing tiga puluh lima orang. Adapun kerangka sampling dari penelitian ini adalah anggota kelompok tani dan pedagang kecil di setiap kampung. Aktivitas usaha serta pengembangan nilai kewirausahaan pedagang dan anggota kelompok tani yang menjadi responden dipengaruhi oleh peranan modal sosial dalam masyarakat tersebut. Selain itu faktor kapasitas individu (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) juga memiliki peranan, namun peranan tersebut ternyata hanya akan berpengaruh ketika didorong oleh kuatnya modal sosial. Artinya kapasitas yang mereka miliki hanya akan berjalan ketika diwadahi oleh kepercayaan dalam membangun hubungan sosial dan pemanfaatan dalam jejaring usaha. Terdapat tiga unsur modal sosial yang dilihat pengaruhnya masing-masing dalam pengembangan nilai kewirausahaan. Dari ketiga unsur tersebut yaitu kepercayaan memiliki pengaruh pada nilai kewirausahaan baik pada pedagang maupun anggota kelompok tani. Unsur norma tidak memiliki pengaruh ke dalam pengembangan nilai kewirausahaan, baik pada pedagang maupun anggota kelompok tani. Selain itu jejaring pada anggota kelompok tani tidak memberikan pengaruh terhadap pengembangan nilai kewirausahaan. Berbeda halnya dengan pedagang, dimana unsur jejaring memiliki pengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Faktor motivasi juga tidak memberikan pengaruh terhadap pengembangan nilai kewirausahaan, baik motivasi yang juga didorong oleh modal sosial sekalipun. Hasil lain menunjukkan bahwa motivasi yang didorong oleh modal sosial menunjukkan nilai yang mendekati keberpengaruhan, hal ini tidak lain disebabkan karena peranan yang besar dari unsur-unsur pembentuk modal sosial.

v  

PERANAN MODAL SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN NILAI KEWIRAUSAHAAN (Kasus Pedagang Kecil dan Anggota Kelompok Tani di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor)

Oleh: RIZQI HUMAIRA I34070060

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

vi   DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh : Nama Mahasiswa

: Rizqi Humaira

NRP

: I34070060

Program Studi

: Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Judul

: Peranan Modal Sosial dalam Pengembangan Nilai Kewirausahaan (Kasus Pedagang Kecil dan Anggota Kelompok Tani di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor)

Dapat diterima sebagai skripsi pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Saharuddin, M.Si. NIP. 19641203 199303 1 001 Mengetahui, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

Tanggal Kelulusan:

vii  

LEMBAR PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PERANAN MODAL SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN NILAI KEWIRAUSAHAAN (KASUS PEDAGANG KECIL DAN ANGGOTA KELOMPOK TANI DI DESA CIKARAWANG, KECAMATAN DRAMAGA, KABUPATEN BOGOR)” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN, DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA.

Bogor, Mei 2011

RIZQI HUMAIRA I34070060

viii  

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada tanggal 28 Mei 1989 dari pasangan Drs. Bulhadiansyah dan Suarti. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Memulai pendidikan formal di TK Aisyiah Banjarmasin pada tahun 1994-1995, SD Kartika VI-6 Banjarmasin pada tahun 1995-2001. Kemudian pada tahun 2001-2004 melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 6 Banjarmasin, serta pada tahun 2004-2007 duduk di SMA Negeri 1 Banjarmasin. Setelah lulus SMA, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) angkatan 44 dan diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Mayarakat, Fakutas Ekologi Manusia. Pengalaman organisasi yang pernah diikuti selama perkuliahan adalah menjadi staf Multimedia and Advertising (2008-2009) pada Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA). Selama menjadi mahasiswa, penulis juga mengikuti kursus Bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin, berbagai pelatihan dan seminar yang mendukung kegiatan akademik dan pengembangan softskill. Selain itu sebagai bentuk pengabdian terhadap bidang pendidikan, penulis pernah menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Sosiologi Umum sejak berada di semester 5 sampai semester 7. Saat semester delapan, diberikan kesempatan untuk menjadi asisten di mata kuliah “Metode dan Teknik Analisis Sosial Budaya” dan “Sosiologi Perkebunan” pada program Diploma IPB.

ix  

KATA PENGANTAR Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Peranan Modal Sosial dalam Pengembangan Nilai Kewirausahaan (Kasus Pedagang Kecil dan Anggota Kelompok Tani di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor) ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya serta diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman tertulis terhadap konsep mengenai kewirausahaan dan modal sosial. Skripsi ini merupakan syarat kelulusan dalam memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat di Institut Pertanian Bogor. Pada

kesempatan

ini,

dengan

segala

kerendahan

hati

penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.

Dr. Ir. Saharuddin, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, dan sarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tulisan dari studi pustaka, proposal hingga skripsi.

2.

Dr. Ir. Amiruddin Saleh, M.S dan Ir. Hadiyanto, MSi. selaku dosen penguji utama dan wakil Departemen dalam ujian kelulusan. Terima kasih atas kesediaan Bapak untuk menguji skripsi ini.

3.

Kedua orang tua, Drs. Bulhadiansyah dan Suarti, serta kedua kakak penulis Dina Christina SE dan M. Reza Ruzaimi SE, dan adik penulis Syahla Salsabila Hafidhah serta ibu Halimah yang telah mencurahkan begitu banyak perhatian, dukungan, motivasi dan semangat bagi penulis selama masa penyelesaian skripsi ini.

4.

Sofyan Sjaf, S.Pt., M.Si atas bimbingan dan arahan yang sangat berarti.

5.

Pemerintah Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, atas izin dan kerjasamanya dalam melakukan penelitian.

6.

Warga Desa Cikarawang selaku responden dan informan dari tiga kampung yang senantiasa mau bekerja sama dengan penulis.

7.

Sahabat-sahabat tersayang Rahmi Maydina, Gt. Adi Nirwansyah, Dina Nurdinawati, Syifa Maharani, Bio Hafsari Larasati, Turasih, Frisca Johar,

x   dan Intan Yuliastry untuk setiap dukungan dan doanya. Tidak lupa sahabatsahabat lainnya di KPM 44 yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. 8.

Sahabat-sahabat di Pondok Nova (Astri, Maulina, Yoshita, Wikaniati, Fitri, dan Asna) serta teh Okke yang selama ini menjadi keluarga kedua penulis selama di Bogor.

9.

M. Didi Rizali yang selalu memberikan motivasi dan perhatian kepada penulis.

10.

Teman-teman tim proyek P2WKSS yang banyak memberikan masukan mengenai topik dan bahan pustaka bagi kegiatan penelitian ini.

11.

Semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, bantuan dan kerjasama selama pengerjaan skripsi ini.

Bogor, Mei 2011

Penulis

xi  

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................ ix DAFTAR ISI ....................................................................................................... xi DAFTAR TABEL.............................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR......................................................................................... xiv   DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1.1 Latar Belakang......................................................................................... 1.2 Rumusan Masalah Penelitian .................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian ................................................................................

1 1 4 5 5

BAB II PENDEKATAN TEORITIS ................................................................. 2.1 Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 2.1.1 Nilai Kewirausahaan.......................................................................... 2.1.2 Konsep Modal Sosial ......................................................................... 2.1.3 Konsep Kapasitas Individu ................................................................ 2.1.4 Motivasi dan Kebutuhan Berwirausaha............................................. 2.1.5 Pengusaha Kecil: Pedagang dan Petani ............................................. 2.2 Kerangka Penelitian ................................................................................ 2.3 Hipotesis Penelitian ................................................................................. 2.4 Definisi Operasional ................................................................................

6 6 6 8 9 10 11 12 14 15

BAB III PENDEKATAN LAPANG .................................................................. 3.1 Metode Penelitian .................................................................................... 3.2 Jenis dan Sumber Data ............................................................................ 3.3 Teknik Penentuan Responden ................................................................. 3.4 Pengolahan dan Analisis Data ................................................................. 3.5 Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................

18 18 18 19 20 21

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................................ 4.1 Keadaan Geografis Desa Cikarawang ...................................................... 4.2 Struktur Permukiman ............................................................................... 4.3 Luas dan Penggunaan Wilayah Desa Cikarawang ................................... 4.4 Kependudukan .......................................................................................... 4.4.1 Jumlah Penduduk Desa Cikarawang.................................................... 4.4.2 Tingkat Pendidikan Penduduk ............................................................ 4.4.3 Mata Pencaharian ................................................................................ 4.5 Potensi Sarana dan Prasarana .................................................................... 4.6 Kondisi Sosial............................................................................................ 4.7 Pertanian .................................................................................................... 4.8 Pola Hubungan Kerja Sektor Pertanian ..................................................... 4.9 Kelompok Tani ..........................................................................................

22 22 22 23 24 24 24 25 26 27 27 28 29

xii   BAB V MODAL SOSIAL DAN KEWIRAUSAHAAN MASYARAKAT DESA CIKARAWANG ........................................................................ 5.1 Karakteristik Responden ........................................................................... 5.1.1 Umur Responden ................................................................................ 5.1.2 Jenis Kelamin ..................................................................................... 5.1.3 Pendidikan Terakhir ........................................................................... 5.1.4 Jenis Usaha ......................................................................................... 5.1.5 Kepemilikan Usaha............................................................................. 5.1.6 Lamanya Usaha .................................................................................. 5.2 Modal Sosial dan Nilai Kewirausahaan .................................................... 5.2.1 Nilai-Nilai Kewirausahaan ................................................................. 5.2.2 Pengaruh Modal Sosial terhadap Kewirausahaan .............................. 5.2.2.1 Aspek Kepercayaan ....................................................................... 5.2.2.2 Aspek Norma ................................................................................. 5.2.2.3 Aspek Jejaring................................................................................ 5.3 Faktor Kapasitas Individu dalam Kewirausahaan .................................... 5.3.1 Aspek Kapasitas Individu .................................................................... 5.3.2 Aspek Kapasitas Individu dalam Modal Sosial dan Kewirausahaan ... 5.4 Faktor Kapasitas Individu dalam Kewirausahaan .................................... 5.4.1 Aspek Motivasi .................................................................................... 5.4.2 Aspek Motivasi dan Modal Sosial dan Kewirausahaan .......................

31 31 31 31 32 33 33 34 34 34 38 39 44 49 53 53 57 60 60 64

BAB VI KETERKAITAN MODAL SOSIAL, KAPASITAS INDIVIDU DAN KEWIRAUSAHAAN ............................................................... 67 6.1 Konstruksi Modal Sosial dan Nilai Kewirausahhan.................................. 67 6.2 Peran Modal Sosial dalam Pengembangan Nilai Kewirausahaan ............. 70 BAB VII PENUTUP ........................................................................................... 75 7.1 Kesimpulan ................................................................................................ 75 7.2 Implikasi .................................................................................................... 76 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 77 LAMPIRAN ........................................................................................................ 79

xiii  

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Luasan Tanah Berdasarkan Penggunaan di Wilayah Desa Cikarawang, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor Tahun 2009........................... 24  Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Cikarawang, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor Tahun 2009...... 25 Tabel 3. Komposisi Penduduk Desa Cikarawang Menurut Mata Pencaharian Tahun 2009............................................................................................ 26  Tabel 4. Karakteristik Responden berdasarkan Tipe Responden........................ 32 Tabel 5. Hasil Estimasi Model Regresi Logistik terhadap Modal Sosial Serta Unsurnya yang Mempengaruhi Ada Tidaknya Nilai Kewirausahaan....................................................................................... 38 Tabel 6. Hasil Estimasi Model Regresi Logistik terhadap Kapasitas Individu yang Mempengaruhi Ada Tidaknya Nilai kewirausahaan..................... 54 Tabel 7. Hasil Estimasi Model Regresi Logistik terhadap Motivasi yang Mempengaruhi Ada Tidaknya Nilai Kewirausahaan............................. 61

xiv  

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Peranan Modal Sosial dalam Pengembangan Nilai Kewirausahaan (Studi Kasus Pedagang dan Anggota Kelompok Tani di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.............................................................. 14 Gambar 2. Kerangka Pemahaman Regresi untuk Masing-masing Variabel terhadap Nilai Kewirausahaan.......................................................... 74

xv  

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Kerangka Sampling........................................................................ 80 Lampiran 2.  Gambar-gambar Kegiatan Usaha Sektor Perdagangan dan

Pertanian......................................................................................... 83   

1  

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Pengembangan

usaha

merupakan

bagian

kekuatan

pendorong

pembangunan ekonomi. Selain berperan untuk mempercepat pemerataan pertumbuhan ekonomi dalam peningkatan pendapatan masyarakat, kegiatan usaha juga mampu menyediakan lapangan kerja dan lapangan usaha. Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia seharusnya menjadikan masyarakat terpacu untuk mencari peluang usaha sendiri agar tidak tergantung pada lembaga tertentu yang menyediakan pekerjaan. Dalam melahirkan sebuah usaha diperlukan pengembangan jiwa dan sikap kewirausahaan, apalagi mengingat kewirausahaan memiliki fungsi penting dalam penyediaan lapangan kerja serta mengurangi angka pengangguran. Lebih lanjut kewirausahaan memiliki peranan untuk menambah daya tampung tenaga kerja, sebagai generator pembangunan, contoh bagi masyarakat lain, membantu orang lain, memberdayakan karyawan, hidup efisien, dan menjaga keserasian lingkungan (Alma, 2003). Terlebih lagi keberhasilan kegiatan perekonomian masyarakat baik di perkotaan maupun perdesaan sebagian besar banyak disokong oleh kegiatan usaha (entrepreneurship) yang masih didominasi oleh usaha-usaha skala mikro dan kecil dengan pelaku utama para petani, buruh tani, pedagang sarana produksi dan hasil pertanian, pengolah hasil pertanian, serta industri rumah tangga.1 Melihat

betapa

penting

kewirausahaan

dan

peranannya

dalam

perekonomian masyarakat, potensi wirausaha Indonesia sangat besar terutama jika melihat data jumlah usaha kecil dan menengah yang ada. Sampai dengan tahun 2006, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), di Indonesia terdapat 48,9 juta usaha kecil dan menengah (UKM), menyerap sekitar 80 persen tenaga kerja, serta

                                                                   1

Buchari Alma, ’fenomena-lembaga-keuangan-mikro-dalam-perspekti-pembangunan-ekonomipedesaan ’, http:// www.scribd.com/doc/331/brs_file/lkm.pdf, diakses pada 12 Juni 2010.

2   menyumbang 62 persen dari PDB (di luar migas).2 Data tersebut sekilas memberikan gambaran betapa besarnya aktivitas kewirausahaan di Indonesia dan dampaknya bagi kemajuan ekonomi bangsa. Oleh sebab itu, usaha kecil dalam kehidupan masyarakat, tidak dapat dipandang sebelah mata walaupun dalam pengembangannya seringkali menghadapi berbagai hambatan terutama dalam persaingan dengan usaha besar. Potensi yang dimiliki usaha kecil tidak sama dengan potensi yang dimiliki oleh usaha-usaha besar. Kewirausahaan dalam usaha kecil umumnya terhambat persaingan dengan usaha skala besar. Usaha besar dianggap sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia sampai tahun 1997 (saat krisis ekonomi menyerang Indonesia). Dimana usaha besar mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak, memiliki akses permodalan dan pasar yang kuat serta memiliki kemampuan sumberdaya manusia yang lebih terampil. Namun demikian, usaha besar tidak mampu berdiri sendiri sebagai usaha yang mampu menjadi tulang punggung perekonomian di Indonesia, terbukti dengan hancurnya usaha besar selama krisis ekonomi berlangsung (Muhandri, 2009). Di sisi lain usaha kecillah yang kemudian menjadi perhatian pemerintah karena kemampuannya dalam penyedia barang-barang murah kebutuhan keluarga, serta keberadaan usahanya yang lebih bersifat luwes. Kewirausahaan dalam usaha kecil sulit bersaing dengan usaha besar karena perbedaan potensi yang dimiliki oleh keduanya, namun usaha kecil akan mampu bersaing ketika mampu memanfaatkan dan memperkuat peranan modal sosial. Coleman (1988) dalam Suandi (2007) mendefinisikan modal sosial sebagai keseluruhan dari sejumlah aspek struktur sosial yang berfungsi memperlancar tindakan-tindakan individual tertentu. Bentuk-bentuk modal sosial tersebut dapat berupa kewajiban, pengharapan (expectancy), dan struktur rasa kepercayaan, saluran informasi, serta norma dan sanksi yang efektif. Modal sosial juga merupakan sumberdaya yang dapat memberi kontribusi terhadap kesejahteraan individu dan masyarakat seperti halnya sumberdaya lain (alam, ekonomi, dan sumberdaya manusia). Lebih lanjut Coleman (2000) dalam Sari (2010)                                                                    2

Badan Pusat Statistik. 2006. Profil Usaha Kecil di Indonesia Maret 2008: No. 37/07/Th. XI dalam http://www.bps.go.id/brs_file/usaha kecil-01jul08.pdf diunduh 7 Jan 2011.

3   menjelaskan bahwa tanpa rasa kepercayaan yang tinggi, jejaring yang luas, dan kepatuhan terhadap norma yang kuat di antara para anggota kelompok, kelembagaan tidak dapat hadir, atau dengan kata lain tidak memiliki modal sosial. Berkaitan dengan hal tersebut, hubungan antar individu maupun kelompok dalam usaha kecil lebih erat sehingga diharapkan akan menciptakan produktivitas yang tinggi dan kerjasama yang lebih erat dalam membentuk sikap kewirausahaan masyarakat. Penelitian yang dilakukan Tawardi (1999) adalah mengenai nilai-nilai kewirausahaan dan beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi perkembangan usaha seseorang. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, modal sosial tidak dimasukkan sebagai salah satu variabel penting yang juga berperan, padahal pengembangan nilai kewirausahaan sangat erat kaitannya dengan modal sosial. Pasalnya modal sosial memberikan landasan konstruksi tentang makna kepercayaan, kebersamaan, toleransi dan partisipasi yang erat hubungannya dengan nilai atau jiwa kewirausahaan. Modal sosial yang dimiliki masyarakat seperti kepercayaan, gotong royong, jaringan, sikap altruism memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan kewirausahaan, seperti meningkatnya kepercayaan masyarakat yang dimanifestasikan dalam perilaku jujur, teratur, dan kerja sama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Dalam kegiatan kewirausahaan, modal sosial juga dapat berfungsi sebagai pengungkit berhasilnya kegiatan usaha, karena dalam modal sosial terdapat nilai-nilai kerja sama. Melihat fenomena ini, perlu untuk diadakan kajian (penelitian) mengenai peranan modal sosial. Memperkuat peranan modal sosial dalam rangka pengembangan nilai kewirausahaan juga tidak serta merta dapat dilakukan tanpa melalui penguatan kapasitas individu. Proses di dalam penguatan kapasitas individu akan berimplikasi pada kemampuan dalam berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kewirausahaan dan kapasitas individu baru bisa berkembang bila ditunjang oleh modal sosial yang dimiliki masyarakat.

4   1.2 Rumusan Masalah Penelitian Kewirausahaan dalam usaha kecil merupakan bentuk usaha yang memiliki kekuatan dalam pembangunan ekonomi. Usaha kecil mampu lebih cepat dalam menciptakan pertumbuhan dan lapangan kerja bagi masyarakat luas dibanding dengan usaha pada sektor lain, terlebih lagi dalam hal pengembangan ekonomi lokal dan pengembangan masyarakat itu sendiri. Seringkali pertumbuhan dan perkembangan usaha kecil harus berhadapan dan bersaing dengan jenis usaha lainnya. Persaingan ini tidak hanya terjadi di antara unit-unit usaha kecil tersebut, melainkan juga dengan unit usaha yang berskala lebih besar. Untuk dapat bertahan dalam persaingan usaha dan mengembangkan nilai atau jiwa kewirausahaan, memperkuat peranan modal sosial merupakan cara yang paling tepat. Modal sosial yang dibangun dengan berlandaskan pada kepercayaan dalam membangun hubungan, pemanfaatan jaringan sosial, dan kepatuhan pada kebiasaan atau norma sosial, memang menunjukkan bahwa modal sosial berperan dalam memelihara dan menopang pengembangan ekonomi terutama dalam menumbuhkan nilai kewirausahaan. Relevansi modal sosial dalam pengembangan ekonomi melalui kewirausahaan dijadikan sebagai perekat dan motor penggerak bagi hubungan sosial yang terjalin. Peranan modal sosial yang mampu mendorong pengembangan nilai kewirausahaan diharapkan dapat menjadi strategi adaptasi dan pertahanan usaha, perluasan jaringan sosial, peningkatan kepercayaan antar stakeholder, serta strategi dalam membangun kepedulian sosial. Modal sosial dalam pembentukan nilai kewirausahaan masyarakat berhubungan langsung dengan penguatan kapasitas individu, karena kapasitas individu dan modal sosial merupakan dua potensi yang saling melengkapi. Pada konteks ini penguatan kapasitas bertujuan agar setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk meningkatkan kemampuan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya agar mencapai kondisi kehidupan yang lebih baik. Pentingnya membangun kapasitas individu yang dibangun dari modal sosial dan penumbuhan motivasi adalah sebagai dasar dari berhasilnya kewirausahaan. Modal sosial akan tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk membangun sejumlah asosiasi. Kelompok pengusaha yang diteliti merupakan pedagang skala kecil dan anggota kelompok tani. Pelaku

5   kegiatan usaha tersebut tidak hanya memanfaatkan penguatan kapasitas mereka di dalam pengembangan kewirausahaan, namun lebih dari itu, mereka mampu bertahan dalam setiap kegiatan usaha. Dengan beberapa alasan diatas, maka penelitian ini membahas lebih lanjut dengan pertanyaan pokok penelitian ini mengenai bagaimana modal sosial berperan dalam pengembangan nilai kewirausahaan. Dari uraian di atas, beberapa permasalahan penting yang di bahas, antara lain: 1. Dalam hal mana modal sosial berperan dalam pengembangan nilai kewirausahaan? 2. Selain modal sosial, faktor mana yang berperan dalam pengembangan nilai kewirausahaan? 3. Bagaimana kekuatan pengaruh masing-masing faktor modal sosial, kapasitas

individu,

dan

motivasi

dalam

pengembangan

nilai

kewirausahaan?

1.3

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis besarnya peranan modal

sosial dan masing-masing unsur modal sosial tersebut dalam pengembangan nilai kewirausahaan, serta faktor mana saja selain modal sosial yang turut berperan dalam pengembangan nilai kewirausahaan.

1.4

Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi sebagai bahan penelitian

dan penulisan selanjutnya serta dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan tambahan di dalam keilmuan pengembangan masyarakat dan kewirausahaan. Bagi instansi terkait, dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan suatu tindakan dan mengambil kebijakan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kapasitas individu dengan cara memanfaatkan peranan modal sosial.

6  

BAB II PENDEKATAN TEORITIS  

2.1

Tinjauan Pustaka

2.1.1

Nilai Kewirausahaan Pengertian kewirausahaan relatif berbeda-beda antar para ahli atau sumber

acuan dengan titik berat perhatian atau penekanan yang berbeda-beda. Menurut Sutanto (2002), kewirausahaan sering diartikan sebagai seseorang yang mengerti dan dapat membedakan antara peluang lalu memanfaatkannya untuk kepentingan mereka. Secara lebih luas, kewirausahaan didefinisikan sebagai proses penciptaan sesuatu yang berbeda nilainya dengan menggunakan usaha dan waktu yang diperlukan, memikul risiko finansial, psikologi, dan sosial yang menyertainya serta menerima balas jasa moneter dan kepuasan pribadi. Lebih lanjut kewirausahaan dapat diartikan pula sebagai sikap dan perilaku mandiri yang mampu memadukan unsur cipta, rasa, dan karsa serta karya atau mampu menggabungkan unsur kreativitas, tantangan, kerja keras, dan kepuasan untuk mencapai prestasi maksimal sehingga dapat memberikan nilai tambah maksimal terhadap jasa, barang, maupun pelayanan yang dihasilkan dengan memperhatikan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Menurut Soesarsono (2002), kewirausahaan merupakan suatu profesi yang timbul karena interaksi antara ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal dengan seni yang hanya dapat diperoleh dari suatu rangkaian kerja yang diberikan

dalam

praktek.

Sedangkan

Widodo

(2005)

mendefinisikan

kewirausahaan sebagai sifat atau sikap usaha yang ditampilkan oleh wirausahawan. Kewirausahaan tidak hanya mementingkan sisi kecerdasan (kognitif) dan keterampilan (psikomotorik) tetapi lebih penting lagi sikap dan tabiat (afektif) yang membangun attitude seseorang. Lebih lanjut Muhandri (2009) menterjemahkan wirausaha sebagai orang yang melakukan koordinasi, organisasi dan pengawasan. Seorang wirausaha merupakan orang yang penting dalam masalah pengelolaan produksi. Ia harus memiliki pengetahuan yang luas

7   tentang lingkungan dan membuat keputusan-keputusan serta penentuan dalam mengelola usahanya, mengelola sejumlah modal dan menghadapi ketidakpastian terhadap keuntungan. Josep Schumpeter dalam Husaini (2004) memberikan batasan

kewirausahaan

sebagai

”Entrepreneurship

is

prime

creative

socioeconomic force in society,” sedangkan wirausaha sebagai ”Entrepreneur is innovator, carrying put new combination.” Clelland (1987) dalam Tawardi (1999) menyebutkan ciri yang dimiliki sikap kewirausahaan adalah mempunyai kemiripan dengan orang yang mempunyai motif berprestasi (need of achievement) yaitu senantiasa berusaha untuk memperoleh hasil yang lebih baik dari apa yang telah diperoleh, berani mengambil resiko pada taraf rata-rata, mempunyai tanggung jawab pribadi, dan senantiasa menginginkan umpan balik hasil pekerjaannya untuk mengevaluasi dan memperbaiki tindakannya di masa depan. McClelland (1987) dalam Husaini (2004) mengajukan konsep N-Ach yang merupakan singkatan dari need for achievement (N-Ach) diartikan sebagai virus kepribadian yang menyebabkan seseorang ingin selalu berbuat baik dan memiliki tujuan yang realistis dengan mengambil resiko yang benar-benar telah diperhitungkan. Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai karakteristik yang selalu muncul pada perilaku wirausaha yang berhasil. Wirausaha yang berhasil banyak memiliki cara yang sama, antara lain penuh energi, inovatif, berani mengambil resiko serta keinginan untuk berprestasi, selain itu juga sifat optimis dan percaya akan masa depan. Meredith et al. (1987) dalam Tawardi (1999) mengemukakan bahwa ciri-ciri seseorang yang memiliki sikap kewirausahaan yaitu: a) fleksibel dan supel dalam bergaul, b) mampu dan dapat memanfaatkan peluang usaha yang ada, c) memiliki pandangan ke depan, cerdik dan lihai, d) tanggap terhadap situasi yang berubah-ubah dan tidak menentu, e) mempunyai kepercayaan diri dan mampu bekerja mandiri, f) mempunyai pandangan yang optimis dan dinamis, serta memiliki jiwa kepemimpinan, g) mempunyai motivasi yang kuat untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan teguh dalam pendiriannya, h) mengutamakan prestasi, dan memperhitungkan faktor-faktor menghambat dan menunjang, i) memiliki disiplin diri yang tinggi, dan j) berani mengambil resiko dengan memperhitungkan tingkat kegagalan.

8   2.1.2

Konsep Modal Sosial Modal sosial merupakan kemampuan masyarakat untuk bekerjasama demi

mencapai tujuan bersama. Kemampuan bekerjasama muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau di bagian paling kecil dalam masyarakat. Modal sosial bisa dilembagakan (menjadi kebiasaan) dalam kelompok yang paling kecil ataupun kelompok masyarakat yang paling besar seperti negara. Coleman (1988) dalam Suandi (2007) mendefinisikan modal sosial sebagai keseluruhan dari sejumlah aspek struktur sosial yang berfungsi memperlancar tindakantindakan individual tertentu. Bentuk-bentuk modal sosial tersebut dapat berupa kewajiban, pengharapan (expectancy), dan struktur rasa kepercayaan, saluran informasi, serta norma dan sanksi yang efektif. Modal sosial juga merupakan sumberdaya yang dapat memberi kontribusi terhadap kesejahteraan individu dan masyarakat seperti halnya sumberdaya lain (alam, ekonomi, dan sumberdaya manusia). Kerjasama yang dilandasi kepercayaan akan terjadi apabila dilandasi dengan kejujuran, keadilan, keterbukaan, saling peduli, saling menghargai, saling menolong di antara anggota kelompok warga masyarakat. Pihak luar komunitas akan memberikan dukungan, bantuan, dan kerjasama kepada kelompok apabila kelompok tersebut bisa dipercaya, artinya kepercayaan merupakan modal yang sangat penting untuk membangun jaringan kemitraan dengan pihak luar. Kemampuan komunitas atau kelompok-kelompok untuk bekerjasama dan menumbuhkan kepercayaan baik di antara anggotanya maupun dengan pihak luar yang merupakan kekuatan yang besar untuk bekerjasama dan menumbuhkan kepercayaan pihak lain, karena itulah disebut “modal sosial.” Jika warga masyarakat saling bekerjasama dan saling percaya yang didasarkan pada nilainilai universal yang ada, maka tidak akan ada sikap saling curiga dan sebagainya sehingga ketimpangan antara kelompok yang miskin dan yang kaya bisa diminimalkan. Vipriyanti (2007) menyatakan bahwa modal sosial itu dinyatakan sebagai modal produktif yang terdiri atas rasa percaya, kemampuan dalam membangun jaringan kerja serta kepatuhannya terhadap norma yang berlaku dalam kelompok maupun masyarakat, dimana modal tersebut memberi keuntungan untuk mengakses modal lainnya serta memfasilitasi kerjasama intra dan antar kelompok masyarakat. Modal tradisional (sumberdaya alam, manusia,

9   dan fisik) hanya menentukan secara parsial dari keseluruhan proses pertumbuhan ekonomi sedangkan faktor penentu lainnya adalah modal sosial.

2.1.3

Kapasitas Individu Sumodiningrat (1999) dalam Aly (2005) mengemukakan bahwa kita

memerlukan suatu strategi baru dari kebijaksanaan pembangunan yang memadukan pertumbuhan dan pemerataan. Strategi pembangunan itu dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik masyarakat. Proses ini diarahkan agar setiap upaya pemberdayaan masyarakat dapat meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building). Setiap orang dalam suatu komunitas harus ditingkatkan kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasi potensinya Kartasasmita (1996) dalam Riasih (2004). Peningkatan kemampuan dan potensi yang ada dalam diri anggota komunitas itulah yang dikenal dengan penguatan kapasitas (capacity building). Penguatan kapasitas menurut Shaughnessy (1999) dalam Riasih (2004) adalah suatu istilah yang makna dan metodenya bervariasi dan mencakup secara luas di antara orang dan organisasi. Penguatan kapasitas dapat dilihat dalam tiga elemen yaitu: (1) Pembangunan manusia yang paling mendasar yang meliputi kesehatan, pendidikan, nutrisi dan keterampilan teknis. (2) Perbaikan institusi swasta dan umum untuk meningkatkan keterampilan bekerja secara lebih efektif. (3) Membentuk kepemimpinan politik yang dapat memahami institusi sebagai suatu kesatuan yang tidak mudah terpecah belah sehingga memerlukan peningkatan yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Penguatan kapasitas merupakan suatu proses peningkatan atau perubahan perilaku individu, organisasi dan sistem masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Dengan demikian, menurut Sumpeno (2002) dalam Riasih (2004) penguatan kapasitas berarti terjadi perubahan perilaku untuk: (1) Meningkatkan kemampuan individu dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

10   (2) Meningkatkan kemampuan kelembagaan dalam organisasi dan manajemen, keuangan dan budaya. (3) Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam kemandirian, keswadayaan, dan mengantisipasi perubahan. Pengembangan kapasitas sumberdaya manusia atau individu menurut Rubin dan Rubin (1992) dalam Riasih (2004) merupakan pengembangan personal yang bertujuan untuk menemukan hal-hal apa saja yang kurang pada dirinya tetapi ada upaya untuk meningkatkan kekurangan tersebut. Dengan demikian pengembangan kapasitas individu adalah bagaimana menciptakan kemampuan untuk mencapai keberhasilan melalui tindakan yang dilakukan individu. Pengembangan kapasitas individu dapat dikembangkan melalui keanggotaan dalam organisasi masyarakat dan dapat memobilisasi sumber-sumber yang individu tersebut tidak dapat melakukannya bila sendiri. Individu dalam masyarakat memberikan dukungan terhadap anggota lainnya sehingga masalah dapat dihadapi secara kelompok Rubin dan Rubin (1992) dalam Riasih (2004). Lebih lanjut Sumpeno (2002) dalam Riasih (2004) mengemukakan bahwa dengan pengembangan kapasitas akan dapat meningkatkan kemampuan individu dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikap di samping dapat meningkatkan kemampuan kelembagaan dan kemampuan masyarakat.

2.1.4

Motivasi dan Kebutuhan Berwirausaha Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh

manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun psikologis, yang tentunya bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan. Kebutuhan dasar manusia menurut Abraham Maslow dalam Teori Hierarki menyatakan bahwa setiap manusia memiliki lima kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis, keamanan, cinta, harga diri, dan aktualisasi diri (Marliati, 2008). Ciri kebutuhan dasar manusia selalu bersifat heterogen. Setiap orang pada dasarnya memiliki kebutuhan yang sama, akan tetapi karena budaya, maka kebutuhan tersebut pun ikut berbeda. Dalam memenuhi kebutuhan manusia menyesuaikan diri dengan prioritas yang ada. Lalu jika gagal memenuhi

11   kebutuhannya, manusia akan berpikir lebih keras dan segera berusaha mendapatkannya. Munculnya motivasi biasanya berawal dari ketertarikan terhadap sesuatu. Ketertarikan itu kemudian membawa minat atau interest. Motivasi yang paling mendasar yang muncul pada individu dalam menjalankan usahanya adalah “untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.” Dengan kata lain, motivasi masyarakat untuk mengembangkan usahanya ke dalam skala yang lebih besar relatif rendah. Kondisi ini terutama dipengaruhi oleh keterbatasan modal. Dengan modal yang relatif kecil, maka keuntungan yang diperoleh juga akan kecil. Motivasi inilah yang kemudian mendorong keinginan untuk memenuhi kebutuhan. Lebih lanjut, ketika motivasi tersebut dapat dikaitkan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan menurut Abraham Maslow dalam Teori Hierarki. Teori itu menyatakan bahwa setiap manusia memiliki lima kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan fisiologis, keamanan, cinta, harga diri, dan aktualisasi diri. Berdasarkan kasus dan penelitian sebelumnya menunjukkan kegiatan kewirausahaan dari sebagian besar pelaku usaha adalah sekedar memenuhi kebutuhan fisiologis, yaitu untuk memenuhi kebutuhan makanan, minuman, dan sebagainya. Hal ini dirasakan bukan karena mereka tidak mau mencapai tingkat yang lebih tinggi, namun karena untuk mencapai tingkat yang paling tinggi yaitu aktualisasi diri, harus memperkuat sumberdaya yang mereka miliki, baik dari keuangan (modal) sampai hal yang paling penting yaitu modal sosial berupa jaringan kerjasama, gotong royong, serta mematuhi peraturan-peraturan dalam kegiatan usaha.

2.1.5 Pengusaha Kecil: Pedagang dan Petani Menurut Yesy (1997) dalam Ekowati (2001) di Indonesia peranan usaha kecil dirasakan penting karena mampu menyerap tenaga kerja, menghasilkan dan menyediakan barang dan jasa dengan tingkat harga yang terjangkau. Adapun definisi usaha kecil di Indonesia menurut UU No 9 tahun 1995 tentang usaha kecil, yaitu kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau penjualan tahunan serta kepemilikan: a.

Memiliki kekayaan bersih paling banyak 200 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

12   b.

Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak satu milyar rupiah.

c.

Milik WNI.

d.

Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar.

e.

Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi. Usaha kecil merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil baik

modal, penggunaan tenaga kerja maupun orientasi pasar yang dijalankan secara perorangan atau keluarga dengan teknologi yang sederhana. Berdasarkan Tambunan (1998) usaha kecil di Indonesia memiliki ciri umum dimana waktu pasar masuk-keluar relatif singkat, manajemen bersifat manual, produktivitas usaha dan tenaga kerja (umumnya anggota keluarga) sangat rendah, selain itu, penyebaran usaha kecil meliputi daerah pemukiman (urban) dan perdesaan (rural) yang ditopang oleh tenaga kerja dari lingkungan setempat. 2.2

Kerangka Penelitian Menurut Coleman (1988) dalam Suandi (2007), masyarakat memiliki

modal sosial yang melingkupi kehidupan mereka yang berupa kewajiban, pengharapan (expectancy), dan struktur rasa kepercayaan, saluran informasi, serta norma dan sanksi yang efektif. Namun pada penelitian ini meilihatnya dari tiga unsur yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms), dan jaringan (network). Modal sosial berperan dalam menopang pengembangan ekonomi masyarakat melalui kegiatan kewirausahaan. Kewirausahaan akan berkembang apabila modal sosial yang dimiliki masyarakat dapat dimanfaatkan dengan baik. Dalam penelitian ini, teori yang dikemukakan sebelumnya mengenai nilainilai kewirausahaan dijadikan dasar untuk menentukan dan mengukur enam ciri/nilai kewirausahaan yang meliputi; inovatif dan kreatif, sifat kepemimpinan, orientasi ada kerja-ada hasil, pengambil resiko, percaya diri, dan bekerja keras. Hal ini diputuskan atas pertimbangan bahwa ini telah mencakup sebagian besar ciri-ciri kewirausahaan yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli. Mendayagunakan potensi modal sosial untuk mengembangkan nilai kewirausahaan akan sulit dicapai tanpa adanya penguatan dari aspek kapasitas

13   individu. Kapasitas individu ini akan dilihat dari pengetahuan, sikap, serta keterampilan dalam kehidupan bermasyarakat terutama ketika berwirausaha. Lebih lanjut kapasitas individu dan modal sosial juga merupakan dua potensi yang saling melengkapi untuk membentuk jiwa/nilai kewirausahaan. Peranan modal sosial dalam membentuk nilai kewirausahaan tidak dapat dilakukan secara otonom tanpa memperhatikan kapasitas individu. Menumbuhkan nilai kewirausahaan merupakan aspek yang juga dipengaruhi oleh motivasi seseorang untuk berwirausaha. Kamal (1991) menyatakan bahwa pada dasarnya, motivasi seseorang melakukan usaha adalah sebagai pemenuhan kebutuhan hidup. Keikutsertaan dalam kegiatan usaha adalah dalam rangka membantu kelangsungan kehidupan rumah tangga atau bersifat survival. Terdapat berbagai dorongan yang mengakibatkan seseorang ingin meningkatkan nilai kewirausahaannya yang kemudian diwadahi oleh modal sosial sebagai variabel utama mencapai nilai kewirausahaan, sehingga peranan modal sosial pada akhirnya mampu menjadi pengungkit yang efektif dan wadah untuk meningkatkan kemampuan individu dalam menjalankan usaha produktif dengan bersandarkan pada nilai kewirausahaan.

14  

Tingkat Kapasitas Individu • Pengetahuan • Sikap • Keterampilan

Nilai Kewirausahaan Modal Sosial • Jejaring • Kepercayaan • Norma

1. inovatif dan kreatif 2. Sifat kepemimpinan 3. Orientasi ada kerjaada hasil 4. Pengambil resiko 5. Percaya diri 6. Bekerja keras

Keterangan:Tingkat Motivasi

= saling berhubungan = berperan Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Peranan Modal Sosial dalam Pengembangan Nilai Kewirausahaan (Studi Kasus Pedagang Kecil dan Anggota Kelompok Tani di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kebupaten Bogor) 2.3

Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan, maka dapat

disusun hipotesis penelitian ini sebagai berikut: Hı

: Modal

sosial

memiliki

pengaruh

dalam

pengembangan

nilai

kewirausahaan H2

: Kapasitas

individu

dan

motivasi

memiliki

pengaruh

dalam

pengembangan nilai kewirusahaan H3

: Faktor modal sosial memiliki pengaruh lebih besar dibanding dengan kapasitas individu dan motivasi

15  

2.4

Definisi Operasional

Definisi operasional dari variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.

Modal sosial adalah suatu norma atau nilai yang telah dipahami bersama oleh responden yang dapat memperkuat jaringan sosial/kerja yang positif, mendorong tingkat kepercayaan antar sesama, dan ketaatan terhadap norma dalam rangka tercapai tujuan bersama. (1) Tingkat Jejaring adalah seberapa luas hubungan antara responden serta seberapa banyak simpul jaringan dalam melakukan aktivitas, berdasarkan ukuran (parameter): luasnya hubungan bisnis yang dibangun dengan orang lain dan banyaknya jalinan bisnis keterbukaan dalam melakukan hubungan sosial dengan siapapun dan aktif dalam memelihara dan mengembangkan hubungan atau jaringan sosial/kerja. Pengukuran dilakukan dengan berdasarkan pernyataan, untuk jawaban ya (1) – tidak (0) (2) Tingkat Norma adalah seberapa besar norma akan dipatuhi responden berdasarkan nilai-nilai kewirausahaan dalam masyarakat, berdasarkan ukuran (parameter): ketaatan terhadap norma/aturan/kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan norma yang ada di dalam kelompok usaha ia tergabung. Pengukuran dilakukan dengan berdasarkan pernyataan, untuk jawaban ya (1) – tidak (0) (3) Tingkat Kepercayaan adalah seberapa besar kepercayaan yang terbangun antara responden dengan individu dan kelompok lain berdasarkan ukuran (parameter): kepercayaan dalam melakukan dan membina hubungan bisnis dengan siapapun. Pengukuran dilakukan dengan berdasarkan pernyataan, untuk jawaban ya (1) – tidak (0) Berdasarkan uraian di atas, maka masing-masing unsur modal sosial

diukur berdasarkan pernyataan ya (1) – tidak (0).

2.

Kewirausahaan adalah nilai yang dimiliki oleh responden yang dijadikan sebagai kemampuan di dalam kegiatan usaha, meliputi inovasi dan

16   kreativitas, sifat kepemimpinan, orientasi kerja-hasil, pengambilan resiko, keaslian, dan percaya diri. (1) Inovatif dan kreatif adalah sikap terarah yang mengacu kepada kemampuan dalam menemukan ide-ide atau cara baru yang lebih bermanfaat untuk meningkatkan keberhasilan produk maupun teknis pelaksanaan. (2) Kepemimpinan adalah sikap yang menunjukkan kemampuan dalam mengorganisir diri sendiri dan orang lain, serta selalu terlibat dalam situasi kerja dan tidak mudah menyerah. (3) Orientasi ada kerja-ada hasil adalah sikap terarah yang ditunjukkan pada semangat kerja keras untuk mendapatkan hasil keuntungan usaha dan kepuasaan pribadi baik berupa financial maupun citra atau mental di masyarakat. (4) Pengambilan resiko adalah sikap terarah yang mengacu pada kemampuan dalam menanggung resiko dengan memperhitungkan kemungkinan keberhasilan dan kegagalan dalam rangka mencapai tujuan usahanya. (5) Bekerja keras adalah sikap terarah yang mengacu pada kemampuan yang menunjukkan untuk selalu terlibat dalam situasi kerja dan tidak mudah menyerah sebelum pekerjaan selesai. (6) Percaya diri adalah sikap yang mengacu pada kemampuan yang menunjukkan sikap percaya pada kemampuan sendiri, tidak ragu dalam bertindak, dan selalu optimis dalam segala situasi. Berdasarkan

uraian

di

atas,

maka

masing-masing

unsur

nilai

kewirausahaan diukur berdasarkan pernyataan, untuk jawaban ya (1) – tidak (0). 3.

Tingkat Kapasitas Individu adalah kemampuan yang dimiliki responden dalam hal pengetahuan, sikap, dan keterampilan. (1) Pengetahuan adalah pengetahuan yang terkait dengan pemahaman mengenai nilai-nilai kewirausahaan yang dilihat dari pengetahuan tentang pengembangan produk/pemasaran dan teknologi. (2) Sikap adalah sikap mental yang baik yang menunjukkan gambaran perilaku responden terhadap kegiatan usaha, berdasarkan ukuran (parameter): respons seseorang secara afektif dalam menemukan peluang

17   berusaha

dan

etos

kerja

yang

tercermin

dari

kemampuan

responden

yang

jiwa/nilai-nilai

kewirausahaan. (3) Keterampilan

adalah

menunjukkan

gambaran keahlian responden terhadap kegiatan usaha, berdasarkan keahlian dalam manajemen usaha. Berdasarkan uraian di atas, maka masing-masing unsur kapasitas individu diukur berdasarkan pernyataan benar (1) – salah (0) untuk aspek pengetahuan, sesuai (1) – tidak sesuai (0) untuk aspek sikap, dan ya (1) – tidak (0) untuk aspek keterampilan. 4.

Tingkat Motivasi adalah alasan yang mendorong responden yang meliputi motivasi dalam (1) Memenuhi kebutuhan dasar, dengan parameternya adalah pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (terdesak masalah ekonomi) serta memenuhi permintaan keluarga. (2) Berprestasi, diukur berdasarkan keinginan untuk mencari pengalaman bekerja, menambah serta menggali potensi diri dan lingkungan. (3) Harga diri, diukur berdasarkan keinginan untuk menjadi seseorang yang kedudukannya dihargai di lingkungan. Diukur berdasarkan jumlah skor. Skor 1 diberikan kepada tiap bentuk

motivasi. Masing-masing unsur motivasi diukur berdasarkan pernyataan, untuk jawaban ya (1) – tidak (0).

18  

BAB III PENDEKATAN LAPANG 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini di desain sebagai penelitian survai dengan tipe explanatory research. Penelitian explanatory merupakan penelitian yang sifat analisisnya menjelaskan hubungan antar variabel melalui uji hipotesis (Singarimbun dan Effendi, 1989). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data-data kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mencari informasi faktual secara detail tentang hal-hal yang sedang menggejala dan mengidentifikasi masalah-masalah atau untuk mendapatkan justifikasi keadaan dan kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan. 3.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder didapatkan dari studi literatur yang terkait, sedangkan data primer didapatkan dari hasil pengambilan data secara langsung di lapangan. Proses pengumpulan data penelitian mengenai peranan modal sosial dalam pengembangan kewirausahaan ini dilakukan melalui beberapa tahap. Beberapa hal yang dilakukan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Kuesioner Kuesioner yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini terdiri dari pertanyaan tertutup yang menggunakan model skala Gutnamm (pernyataan ya-tidak) untuk memberikan kepastian suatu jawaban. Kuesioner tersebut digunakan untuk mengetahui setiap unsur dari modal sosial yang terdiri dari tingkat kepercayaan (trust), tingkat kepatuhan terhadap normanorma (norms), dan tingkat kekuatan jejaring (network), tingkat kapasitas individu yang juga dinilai dari segi tingkat pengetahuan, sikap, serta keterampilan setiap individu, dan nilai kewirausahaan yang diajukan kepada responden untuk masing-masing sektor usaha.

19   (2) Wawancara Mendalam Wawancara mendalam dilakukan berdasarkan panduan pertanyaan yang telah disiapkan. Wawancara ini digunakan untuk mengetahui sikap dan pandangan masyarakat terhadap kegiatan usaha di lingkungan maupun di luar tempat tinggal mereka serta untuk mengetahui nilai-nilai kewirausahaan yang dianut dalam masyarakat. Selain itu, wawancara dilakukan untuk menggali informasi mengenai aspek modal sosial (kepercayaan, kerja sama, aturanaturan, terutama yang terkait dengan kegiatan usaha. Wawancara ini dilakukan dengan pihak aparat desa dan tokoh masyarakat seperti pengusaha sukses, ketua RW, ketua RT, dan sebagainya. (3) Pengamatan atau Observasi Pengamatan atau observasi yang dilakukan adalah dengan mengamati situasi atau keadaan desa, kegiatan perekonomian masyarakat, kondisi usaha masyarakat, aktivitas pengusaha, dan kerjasama yang terjalin. (4) Data Sekunder Data sekunder didapatkan dari pihak-pihak yang berkaitan dengan lokasi penelitian. Data tersebut digunakan untuk menjadi acuan dalam penelitian seperti profil desa (jumlah penduduk, mata pencaharian penduduk, lembaga yang ada di kelurahan) dan potensi desa. 3.3 Teknik Penentuan Responden Populasi dalam penelitian ini adalah pedagang yang berada di setiap kampung dan empat anggota kelompok tani yang terdaftar, yaitu kelompok tani hurip, kelompok tani mekar, kelompok tani subur jaya, dan kelompok wanita tani melati yang melakukan aktivitas usaha (berdagang) baik sebagai mata pencaharian utama maupun sampingan yang ada di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan teknik disproporsional cluster random sampling agar dapat menggambarkan secara tepat mengenai populasi yang heterogen dari jenis usahanya. Asumsi melakukan cluster karena populasi berjumlah banyak dan berasal dari sektor yang berbeda-beda, yang kemudian akan dibagi ke dalam sub populasi berdasarkan sektor yang paling dominan jumlah populasinya, yaitu sektor pertanian dan

20   perdagangan (home industry) yaitu dari populasi pedagang dan kelompok tani. Asumsi random adalah ketika populasi dibagi dalam subpopulasi, maka dibuatlah kerangka sampling untuk masing-masing sub populasi yang kemudian dipilih secara acak berdasarkan presentase disproporsional dari jumlah populasi, dengan asumsi perbedaan jumlah subpopulasi yang relatif jauh berbeda antara satu sektor dengan sektor lainnya. Informan yang dipilih adalah orang yang mengetahui tentang keberadaan usaha rumah tangga, yaitu masyarakat yang tinggal di Desa Cikarawang, aparatur desa, ketua RT dan RW. Informan diharapkan mampu memberikan informasi tentang modal sosial (kepercayaan, norma, dan jejaring) di Desa Cikarawang, jenis usaha yang ada di lingkungan desa, dan aspek lainnya yang mampu memberikan informasi mengenai aspek perdagangan dan pertanian. 3.4 Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan dengan kuesioner diolah secara kuantitatif menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2007. Langkah yang dilakukan setelah seluruh data terkumpul adalah melakukan pengkodean data. Kegiatan ini bertujuan untuk menyeragamkan data. Data yang dikumpulkan selanjutnya diolah secara statistik deskriptif dengan menggunakan software SPSS for Windows versi 16.0. Teknik pengolahan dan analisis data dilakukan dengan perlakuan yang sesuai menurut jenis data yang diperoleh. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan Uji Regresi Logistik Biner untuk menguji ketergantungan/pengaruh suatu variabel (variabel bebas) pada satu atau lebih variabel lain (variabel tak bebas), artinya dalam penelitian ini variabel bebasnya terdiri dari beberapa variabel yang mempengaruhi satu variabel tak bebas. Dimana variabel tak bebas ini hanya bersifat ya atau tidak. Dengan kata lain, hanya terdapat dua pilihan apakah variabel tersebut memiliki pengaruh atau tidak. Data-data kualitatif yang didapatkan saat wawancara menjadi informasi tambahan dan diintegrasikan dengan jawaban yang ada pada kuesioner untuk mendukung dan memperkuat data kuantitatif yang diperoleh.

21   (1) Regresi Logistik Model regresi logistik pada dasarnya adalah model regresi linier yang diterapkan untuk variabel respons biner, nominal, maupun ordinal. Perbedaan yang lain tercermin pada pemilihan model parametrik dan asumsi-asumsi yang mendasari kedua model. Walaupun demikian prinsip-prinsip pendugaan yang digunakan analisis model regresi logistik sama dengan analisis model regresi linier (Hosmer & Lemeshow, 1989). (2) Interpretasi Koefisien Interpretasi koefisien untuk model regresi logistik adalah dengan cara melihat rasio oddnya. Koefisien model logit, βi, mencerminkan perubahan nilai fungsi logit g(x) untuk perubahan satu unit variabel penjelas x. Dalam analisis model logit rasio odds didefinisikan sebagai :

Ψ = exp( β i ) = exp[ g (1) − g ( 0 )] Interpretasi dari rasio odds ini adalah untuk variabel penjelas x yang berskala nominal, yaitu kecenderungan untuk Y=1 pada X=1 sebesar Ψ kali dibandingkan pada X=0. 3.5 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi tersebut dipilih karena pertimbangan: (1) terdapat aktivitas kewirausahaan dan beberapa usaha kecil antara lain dari sektor pertanian, usaha kecil dan rumah tangga, peternakan, kerajinan, dan lain-lain. (2) nilai-nilai yang menarik di komunitas mereka, karena masih terdapat nilai kebersamaan, kekeluargaan, dan toleransi yang kuat di tengah daerah perkotaan. (3) lokasi penelitian mudah dijangkau. Pengumpulan data sekunder dan primer dikumpulkan pada bulan Maret 2011. Pengolahan data dan penulisan laporan dilakukan pada bulan Maret-April 2011. Kemudian sidang skripsi dan penulisan perbaikan skripsi dilaksanakan pada bulan Mei 2011.

22  

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis Desa Cikarawang Desa Cikarawang terletak di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Luas Desa Cikarawang adalah 226,56 ha. Desa ini merupakan salah satu dari sepuluh desa yang termasuk dalam kawasan desa lingkar kampus Institut Pertanian Bogor (IPB). Dilihat dari posisinya, Desa Cikarawang dibatasi oleh wilayah-wilayah sebagai berikut: (1)

Sebelah utara Desa Cikarawang berbatasan dengan Sungai Cisadane,

(2)

Sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Ciapus,

(3)

Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Situ Gede, dan

(4)

Sebelah barat berbatasan dengan Sungai Ciaduan. Desa Cikarawang mempunyai kondisi geografis dengan ketinggian tanah

dari permukaan laut adalah 193 dpl dan suhu rata-rata berkisar antara 25º Celcius - 30º Celcius. Orbitasi (jarak dari pusat pemerintahan desa/kelurahan), yaitu jarak ke ibukota kecamatan sejauh 5 km, jarak ke ibukota kabupaten/kota sejauh 35 km, dan jarak ke ibukota provinsi sejauh 135 km. Sebagian besar wilayah Desa Cikarawang merupakan persawahan dan perkebunan. Areal yang berfungsi untuk persawahan meliputi lahan seluas 128,109 hektar atau lebih kurang 70 persen dari seluruh luas wilayah Desa Cikarawang. Kawasan permukiman penduduk meliputi kawasan seluas 41,465 hektar (14,4 %) dan 4,3 hektar (2,7 %) sisa lahan digunakan untuk fasilitas umum lainnya misalnya kawasan perkantoran, sekolah, pemakaman dan lain-lain. Dengan lahan untuk pertanian seluas itu Desa Cikarawang memiliki potensi terutama untuk komoditas padi sawah dan palawija yang sangat besar. Komoditas palawija yang banyak dibudidayakan oleh petani Cikarawang adalah ubi jalar dan kacang tanah. 4.2 Struktur Permukiman Desa Cikarawang terdiri dari 3 (tiga) Dusun (Kampung Cangkrang, Kampung Carang Pulang dan Dusun Cangkurawok), 7 (tujuh) Rukun Warga dan

23   32 Rukun Tetangga. Meskipun secara umum desa ini masih berciri pertanian, namun masing-masing dusun memiliki karakter tersendiri, dan terkesan sebagai komunitas-komunitas yang terpisah. Seperti juga pada desa-desa lainnya, permukiman penduduk terutama terpusat di sepanjang jalan transportasi utama Kelompok

berdasarkan

dusun

mencerminkan

yang sifatnya mengelompok. bahwa

masyarakat

Desa

Cikarawang terdiri dari tiga sub komunitas. 4.3 Luas dan Penggunaan Wilayah Desa Cikarawang Sebagian besar wilayah Desa Cikarawang diperuntukkan sebagai daerah pertanian berupa sawah dan ladang. Dari luas 226,56 ha, sebesar 85 persen di antaranya diperuntukkan penggunaannya untuk sawah dan ladang. Hal ini menunjukkan bahwa Desa Cikarawang masih tergolong desa pertanian. Potensi pertanian cukup besar untuk berbagai komoditas unggulan karena ditunjang oleh keberadaan sungai di sekelilingnya dan keberadaan Situ Burung di dalamnya dan Situ Gede yang mampu menunjang sistem hidrologi setempat. Luas dan penggunaan wilayah desa Cikarawang dapat dilihat pada Tabel 1. Adapun mengenai penggunaannya, terdapat 0,160 ha yang dipergunakan untuk kepentingan perkantoran. Sementara itu terdapat lahan seluas satu hektar yang digunakan untuk tanah wakaf (bangunan peribadatan, lapangan bola, dan pemakaman/kuburan). Desa Cikarawang juga memiliki situ seluas 2,500 ha yang biasanya digunakan untuk mengairi sawah dan memancing oleh masyarakat.

24   Tabel 1. Luasan Tanah Berdasarkan Penggunaan di Wilayah Desa Cikarawang, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor Tahun 2009. No. 1.

Peruntukan dan Penggunaan Tanah Luas (ha) Peruntukan: a. Jalan 5,1 b. Sawah dan ladang 128,109 c. Empang 2,150 d. Pemukiman dan pekarangan 41,465 e. Pekuburan 0,60 2. Penggunaan a. Perkantoran 0,160 b. Tanah waqaf 0,400 c. Tanah kering : 1. Perkebunan Negara 8 2. Perkebunan Rakyat 18,226 d. Tanah yang belum dikelola : 1. Situ 2,500 2. Tanah lainnya 19,85 Jumlah 226,56 Sumber: Data Monografi Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Bogor, 2009 4.4

Kependudukan

4.4.1 Jumlah Penduduk Desa Cikarawang Jumlah seluruh penduduk Desa Cikarawang sebanyak 8227 orang, dengan jumlah laki-laki sebanyak 4199 orang dan jumlah perempuan sebanyak 4028 orang. Jumlah kepala keluarga Desa Cikarawang sebanyak 2114 kepala keluarga. Ditinjau dari segi kewarganegaraan, secara keseluruhan masyarakat Desa Cikarawang adalah termasuk warga negara Indonesia. Tidak ada satupun warga negara asing yang tinggal di desa tersebut. Masyarakat terdiri dari penduduk asli dan pendatang yang berasal dari berbagai daerah seperti Jakarta, Tasikmalaya, Banten, Ciamis, Karawang dan sebagainya. 4.4.2 Tingkat Pendidikan Penduduk Menurut tingkat pendidikannya, berdasarkan data monografi Desa Cikarawang tahun 2009, mayoritas penduduk berpendidikan minimal sampai pada tingkat Sekolah Dasar. Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa dari 3.634 jiwa jumlah penduduk yang tercatat berdasarkan tingkat pendidikan, 27,58 persen di

25   antaranya adalah lulusan SD. Terdapat sebanyak 27,58 persen penduduk merupakan lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sementara itu terdapat sebanyak 29,5 persen yang merupakan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Untuk kategori pendidikan tinggi, hanya 1,43 persen diantaranya yang merupakan lulusan akademi (D3). Tabel 2 akan menunjukkan jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan masyarakat desa Cikarawang. Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Cikarawang, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor Tahun 2009 No

Jenis Pendidikan

Jumlah Persentase (Jiwa) (%) 1. Tidak tamat SD/MI Sederajat 441 12,13 2. Tamat SD/MI Sederajat 1.002 27,58 3. Tamat SLTP/MTs Sederajat 1.002 27,58 4. Tamat SMA/MA Sederajat 1.074 29,5 5. Tamat D1 48 1,32 6. Tamat D2 15 0,41 7. Tamat D3 52 1,43 Jumlah 3.634 100,00 Sumber: Data Monografi Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Bogor, 2009 Di kawasan Desa Cikarawang, hanya terdapat satu buah Taman Kanakkanak dan empat buah Sekolah Dasar, dan satu buah lembaga pendidikan agama/ pesantren. Tidak terdapat satupun sekolah menengah, sehingga masyarakat harus ke luar desa terlebih dahulu untuk dapat bersekolah hingga tingkat tersebut. 4.4.3 Mata Pencaharian Mata pencaharian penduduk Desa Cikarawang sebagian besar adalah sebagai petani dengan jumlah 310 orang, selanjutnya diikuti oleh buruh tani, yaitu sebanyak 225 orang. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Cikarawang memiliki ketergantungan yang besar terhadap sektor pertanian. Selain itu, penduduk Desa Cikarawang juga bekerja pada sektor-sektor lainnya yang secara rinci dijelaskan pada Tabel 3 berikut.

26   Tabel 3. Komposisi Penduduk Desa Cikarawang Menurut Mata Pencaharian Tahun 2009 No.

Mata Pencaharian

Jumlah (Jiwa)

Persentase (%)

1.

Karyawan 1. Pegawai Negeri Sipil 175 9,23 2. ABRI 2 0,1 3. Swasta 220 11,6 2. Wiraswasta/pedagang 441 23,26 3. Petani 310 16,35 4. Buruh tani 225 11,87 5. Pembantu Rumah Tangga 300 15,82 6. Pensiunan PNS/TNI/Polri 210 11,08 7. Lain-lain 13 0,70 Jumlah 1896 100,00 Sumber: Data Monografi Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga, Bogor, 2009 Berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui bahwa mata pencaharian terbesar ada di sektor pertanian sebesar 22,28 persen, baik sebagai petani maupun buruh tani. Selain itu dari sumber monografi desa, kondisi di lapangan menunjukkan bahwa penduduk perempuan lebih sedikit peranannya dalam pekerjaan publik dibandingkan dengan penduduk laki-laki dari semua sektor kecuali jenis pekerjaan pembantu rumah tangga. 4.5 Potensi Sarana dan Prasarana Prasarana transportasi darat terdiri dari jalan desa/kelurahan, jalan kabupaten yang melewati desa/kelurahan, dan jembatan desa/kelurahan. Sarana transportasi darat meliputi angkutan kota dan ojek. Prasarana komunikasi dan informasi penduduk Desa Cikarawang di antaranya terdapat wartel sebanyak dua unit, pelanggan Telkom 350 orang, dan pelanggan handphone 2.000 orang. Desa Cikarawang memiliki 1.270 jumlah sumur gali 16 jumlah mata air. Selain itu terdapat enam unitsarana MCK umum. Desa ini juga memiliki sarana peribadatan berupa enam buah masjid serta 17 mushola. Prasarana kesehatan yang terdapat di Desa Cikarawang terdiri dari satu unit puskesmas pembantu, tujuh unit posyandu, dan satu unit rumah bersalin dengan sarana kesehatan tiga orang dukun bersalin terlatih.

27   Prasarana pendidikan di Desa Cikarawang seluruhnya merupakan milik sendiri, berupa sebuah gedung SMP/sederajat, empat buah gedung SD/sederajat, dua buah gedung TK, dan sebuah perpustakaan desa/kelurahan. Desa ini juga memiliki tiga buah lapangan sepak bola dan sebuah lapangan voli sebagai prasarana olah raga. Sebagai prasarana energi dan penerangan, desa ini menggunakan listrik PLN sebanyak 2.184 unit. Disamping itu terdapat satu lokasi pembuangan sementara (TPS), satu unit jumlah gerobak sampah, empat unit tong sampah, satu kelompok satgas kebersihan, dan dua orang anggota satgas kebersihan. 4.6 Kondisi Sosial Masyarakat di desa ini rata-rata memiliki pendidikan yang tidak terlalu tinggi, namun beberapa ada yang mampu mencapai tingkat pendidikan SMA. Beberapa bahkan sudah ada yang mampu mencapai jenjang pendidikan diploma, namun masih dapat ditemui juga pengangguran meski lulus sekolah SMA bahkan kuliah. Kaum perempuan (terutama ibu-ibu) memiliki kegiatan berupa pengajian ibu-ibu yang diadakan berbeda di setiap RW-nya, namun umumnya dilakukan pada hari jumat atau sabtu. Beberapa ibu memiliki tabungan dalam bentuk emas. Emas dianggap sebagai investasi dan alat tukar untuk membeli tanah. Ada seorang ibu yang selalu menggunakan beberapa gelang emas besar-besar jika datang ke pertemuan di desa. Gelang emas yang dikenakan sebagai simbol bahwa dirinya “siap menukarkan” gelang emas dengan petak sawah yang akan dijual oleh pemiliknya. 4.7 Pertanian Luas wilayah Desa Cikarawang 226,56 ha dimana 85 persen wilayahnya (194,572 ha) digunakan untuk sawah dan ladang. Komoditas pertanian andalan di Desa Cikarawang antara lain padi, singkong, kacang tanah, dan ubi. Petani mengusahakan penanaman komoditas tersebut di lahan seluas 1.000-2.000 m2, namun ada juga yang memiliki lahan lebih dari sehektar. Beberapa lahan tanam terletak di belakang rumah mereka, dan sebagian lagi cukup jauh dari pemukiman namun masih di dalam wilayah Desa Cikarawang.

28   Musim tanam terbagi menjadi dua macam, yaitu penanaman di musim hujan dan musim kering. Hal ini terkait dengan pemenuhan kebutuhan air untuk irigasi di lahan pertanian. Letak desa yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain, maka air dari Kabupaten Bogor (Situ Burung) tidak berhasil mencapai sebagian besar daerah ini. Oleh karena itu untuk kebutuhan irigasi di musim kering, petani memanfaatkan jatah air dari aliran Situ Gede (masuk ke wilayah Kota Bogor) dan dialirkan setiap bulan ke-10. Sedangkan ketika musim hujan yang biasanya terjadi di bulan ke-1 hingga bulan ke-4 digunakan serempak untuk menanam padi. Padi ditanam untuk konsumsi pribadi selama satu tahun. Setelah menanam padi (ketika masuk musim kering) petani menanam singkong, ubi maupun kacang tanah. Namun ada pula petani yang juga menanam singkong/ubi/kacang tanah bersebelahan dengan petak sawahnya. Pemilihan komoditas yang ditanam adalah kebebasan petani. Penanaman singkong membutuhkan waktu selama sembilan bulan sedangkan ubi selama lima bulan. Hasil panen singkong dapat mencapai lima kwintal/250 m2. Setiap penanaman memiliki resiko terhadap serangan hama yaitu keong dan wereng. Penanggulangan hama dilakukan petani dengan menggunakan pestisida yang dibeli secara individu di toko pertanian. 4.8 Pola Hubungan Kerja Sektor Pertanian Pada rumah tangga petani, pembagian kerja dalam mengolah lahan antara kepala keluarga (laki-laki) dan istri adalah sama, dengan waktu bekerja dari pukul 7 pagi hingga pukul 12 siang. Bagi warga yang memiliki ternak, aktivitas selanjutnya setelah berladang adalah memberi makan ternak mereka, biasanya ini dilakukan oleh laki-laki. Beberapa jenis ternak yang ada di masyarakat yaitu kerbau, kambing, dan ayam. Selain aktivitas di sawah, ibu-ibu juga berperan membawa padi ke penggilingan (jaraknya jauh dari Desa Cikarawang, di sekitar Nagrak wilayah Kota Bogor) menggunakan mobil pengangkut. Hasil pertanian yang diproduksi petani mayoritas dijual ke pengumpul. Masing-masing komoditas memiliki pengumpul tersendiri (singkong, ubi, kacang tanah mempunyai pengumpul yang berbeda-beda). Selain itu, pengumpul juga memberikan kredit bagi petani sebagai modal untuk melanjutkan penanaman komoditas pertaniannya. Kemitraan yang terjadi ini bertujuan menjaga ‘kesetiaan’

29   petani kepada pengumpul. Petani yang bermitra diharuskan menjual hasil pertaniannya ke mitranya (pengumpul yang memberikan kredit tersebut). 4.9 Kelompok Tani Adanya potensi pertanian di Desa Cikarawang, menumbuhkan keinginan masyarakat untuk membentuk kelompok tani. Kelompok tani merupakan wadah masyarakat untuk berkumpul, bekerja sama, dan membentuk suatu kesatuan yang memiliki kesamaan identitas, atribut, sistem norma, dan peraturan-peraturan berkelompok untuk mengatur pola-pola interaksi antara anggota kelompok dan mencapai tujuan bersama. Kelompok tani yang sudah terdaftar di kantor kecamatan Dramaga berjumlah lima kelompok, yaitu Kelompok Tani Hurip, Mekar, Setia, dan Subur Jaya dan KWT (Kelompok Wanita Tani). Selain kelompok tani tersebut, juga terdapat kelompok tani lainnya, namun belum terdaftar di antaranya Toga Mandiri, dan Toga Mekar. Kelompok tani tersebut tersebar ke dalam tiap dusun, seperti Kelompok Tani Setia di Dusun Cangkrang, Kelompok Tani Hurip dan KWT Melati di Dusun Carang Pulang, dan Subur Jaya di Dusun Cangkurawok. Masing-masing kelompok tani memiliki karakteristik umum yang mewakili komoditi yang diusahakannya, seperti Hurip di ubi ungu, dan Subur Jaya di padi. (1)

Kelompok Tani Hurip Kelompok Tani Hurip berdiri pada tahun 1970. Saat ini anggotanya terdiri

atas 82 orang dengan kepemilikan lahan 0.1 ha berupa tanah pekarangan dan tanah sawah. Komoditi unggulan yang banyak diusahakan oleh anggota dari kelompok tani ini adalah ubi ungu. Kelompok Tani ini diketuai oleh Ahmad Bastari dengan Napi sebagai sekretarisnya. Dari 82 orang anggotanya tersebut, sebanyak 75% sebagai petani penggarap sedangkan 25% sebagai petani pemilik. Sudah banyak kerjasama dan program yang diterima oleh kelompok ini dengan berbagai pihak/instansi, seperti Dinas Pertanian maupun IPB. Namun program yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan berwirausaha petani dalam konteks individu dan kelompok belum banyak dilakukan sehingga kajian ini menjadikan mereka sebagai mitra kerja dalam menumbuhkan kewirausahaan dalam rangka ketahanan pangan.

30   (2)

Kelompok Wanita Tani (KWT) Melati Kelompok ini berdiri tahu 2008 dengan anggota 25 orang. Ketuanya

adalah Norma, yang juga isteri dari Ahmad, ketua Kelompok Tani Hurip. Selain membantu di sawah, anggota dari kelompok ini yaitu mengolah tepung ubi ungu menjadi komoditi kue. (3)

Kelompok Tani Setia Kelompok tani ini berdiri sejak tahun 2005 dengan Ujang sebagai

ketuanya. Terdapat 54 orang anggota yang termasuk dalam kelompok ini. Dalam usahanya, kelompok ini banyak mengusakan di bidang jambu kristal yang kemudian ditumpangsarikan dengan padi, kacang tanah ataupun kangkung. (4)

Kelompok Tani Subur Jaya Kelompok tani ini diketuai oleh Bapak Wahyudin (acong). Dalam

usahanya, kelompok ini banyak mengusahakan komoditas kacang tanah, cesin, selain padi, ubi, dan singkong. (5)

Kelompok Tani Mekar Sama halnya dengan kelompok tani subur jaya, kelompok tani mekar juga

banyak mengusahakan tanaman padi dan palawija yang diketuai oleh Bapak Senan.

31  

BAB V MODAL SOSIAL DAN KEWIRAUSAHAAN MASYARAKAT DESA CIKARAWANG 5.1 Karakteristik Responden Jumlah responden penelitian ini sebanyak 70 orang. Masing-masing 35 orang untuk pedagang kecil dan 35 orang untuk anggota kelompok tani. Penelitian ini menyajikan data-data karakteristik responden yang meliputi: usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, jenis usaha, kepemilikan usaha, dan lamanya usaha. Penggambaran singkat karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 4. 5.1.1

Umur Responden Secara garis besar rata-rata umur responden adalah 46 tahun. Pada Tabel 4

dapat dilihat bahwa umur minimal berada pada usia 25 tahun, dan usia maksimal berada pada 72 tahun. Responden lebih banyak didominasi dalam golongan usia produktif. Hal ini disebabkan karena individu yang berinisiatif untuk melakukan tindakan usaha, biasanya didasarkan pada motif untuk mendapatkan penghasilan bagi dirinya sendiri dan keluarga, serta telah memahami resiko dan tanggungjawab dari kegiatan yang dibangunnya. 5.1.2

Jenis Kelamin Responden dalam penelitian ini berjumlah sebanyak 35 orang laki-laki dan

35 orang perempuan. Dari total responden dapat disimpulkan bahwa 50% merupakan responden laki-laki dan 50% adalah responden perempuan. Sebaran tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Informasi yang ditemukan selain persentase responden adalah bahwa responden perempuan lebih banyak berasal dari pedagang, sedangkan responden pada anggota kelompok tani didominasi oleh laki-laki.

32   Tabel 4. Karakteristik Responden berdasarkan Tipe Responden Tipe Responden Karakteristik Responden

Pedagang

Anggota Kelompok

Kecil

Tani

kelamin terakhir usaha

Kepemilikan

Jenis usaha

Pendidikan

Jenis

Usia

<25 tahun

Lamanya usaha

Persentase (%)

5

3

8

11,43

22

14

36

51,43

8

18

26

37,14

Total

35

35

70

100,00

Laki-laki

11

24

35

50,00

Perempuan

24

11

35

50,00

Total

35

35

70

100,00

SD

23

32

55

78,57

SMP

4

3

7

10,00

SMA

8

0

8

11,43

Total

35

35

70

100,00

Makanan

23

0

23

32,86

Kerajinan

12

0

12

17,14

0

35

35

50,00

Total

35

35

70

100,00

Pribadi

32

27

59

84,28

Orang lain

3

6

9

12,86

Bersama

0

2

2

2,86

35

35

70

100,00

0

0

0

0

13

3

16

22,86

>5 tahun

22

32

54

77,14

Total

35

35

70

100,00

25 50tahun

Padi dan palawija

Total < 1 tahun

5.1.3

Total

1 tahun > lama usaha < 5 tahun

Pendidikan Terakhir Responden dalam penelitian ini memiliki pendidikan yang rendah, dimana

pendidikan terakhir di sini adalah pendidikan yang sempat dirasakan responden baik tamat maupun tidak tamat. Responden tersebut didominasi oleh mereka yang

33   hanya menempuh pendidikan dasar, bahkan di antara mereka adalah orang-orang yang tidak lulus SD (sekolah dasar). Tabel 4 menyajikan perbandingan pendidikan terakhir antara pedagang kecil dan anggota kelompok tani. Pendidikan responden tergolong rendah, karena hanya sebatas sekolah dasar. Apalagi untuk anggota kelompok tani, tidak ada satupun responden yang pernah merasakan duduk di bangku sekolah menengah atas. 5.1.4

Jenis Usaha Pedagang kecil rata-rata memiliki jenis usaha yang relatif sama,

diantaranya yang dominan adalah makanan, kue-kue, barang kelontongan, dan lain-lain. Dimana anggota kelompok tani pun juga mengembangkan jenis usaha yang relatif sama seperti, padi, singkong, ubi, cabai, kacang, dan lain-lain. Kondisi yang relatif sama ini untuk pedagang kecil lebih dikarenakan terbatasnya modal dan keterampilan yang mereka miliki, sehingga untuk jenis usaha yang berbeda dan khas sangat jarang ditemukan. Untuk anggota kelompok tani lebih dikarenakan faktor komoditas utama yang diproduksi yang dikumpulkan melalui kelompok tani dimana mereka tergabung. 5.1.5

Kepemilikan Usaha Usaha responden sebagian besar merupakan usaha milik pribadi sejumlah

59 orang, disusul dengan kepemilikan orang lain yang berjumlah sembilan orang dan sebanyak dua orang merupakan usaha milik pribadi dan orang lain yang dikelola secara bersama. Tabel 4 memberikan gambaran mengenai kepemilikan usaha antara pedagang kecil dan anggota kelompok tani. Gambaran kepemilikan usaha secara dominan dimiliki sendiri oleh responden, terlebih pada pedagang kecil yaitu sebanyak 32 orang, dan kepemilikan orang lain sebanyak tiga orang, serta tak ada satupun usaha yang dikelola bersama. Sedangkan pada anggota kelompok tani yang dimaksud dengan kepemilikan usaha adalah lahan yang dimiliki, dikelola, dan hasil atau komoditasnya dinikmati sendiri ataupun dijual yaitu terdapat 27 orang, sebanyak enam orang yang merupakan lahan usaha milik orang lain, dan dua orang yang memiliki lahan usaha bersama.

34   5.1.6

Lamanya Usaha Usaha yang dijalankan oleh responden dibagi ke dalam tiga kategori,

pertama yang kurang dari sama dengan satu tahun, kedua, satu tahun sampai dengan lima tahun, dan terakhir adalah lebih dari lima tahun. Pembagian satu tahun didasarkan pada tidak terlalu lamanya seseorang membuka/menjalankan usaha, sedangkan lebih dari lima tahun dianggap sudah cukup lama menjalankan usaha dan memiliki pengalaman yang relatif mantap terhadap usaha yang digelutinya. Dari keseluruhan responden, sebanyak 16 orang yang sudah menjalani usaha selama kurun waktu di antara satu sampai lima tahun, sedangkan 54 orang yang sudah menggeluti usahanya selama lebih dari lima tahun.

5.2 Modal Sosial dan Nilai Kewirausahaan Penelitian ini menggunakan analisis regresi logistik atau model logit untuk mengidentifikasi aspek-aspek mana yang mempengaruhi nilai kewirausahaan. Variabel-variabel independent yang diduga mempengaruhi nilai kewirausahaan adalah modal sosial (kepercayaan, nilai, dan norma), kapasitas individu, dan motivasi. Variabel dependent yang akan dilihat terdiri dari dua kemungkinan yaitu apakah pedagang kecil dan anggota kelompok tani memiliki nilai kewirausahaan (Y=1) atau tidak memiliki nilai kewirausahaan (Y=0). 5.2.1. Nilai-Nilai Kewirausahaan Salah satu keberhasilan dalam kegiatan usaha adalah pentingnya Seorang wirausahawan memiliki jiwa dan nilai-nilai wirausaha dan mengaplikasikan hakekat kewirausahaan dalam hidupnya serta memiliki kreativitas dan inovasi yang tinggi dalam hidupnya. (1)

Percaya diri Dalam praktiknya, percaya diri merupakan sikap dan keyakinan untuk

memulai, melakukan, dan menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang dihadapi. Oleh karena itu, kepercayaan diri memiliki nilai keyakinan, optimisme, individualitas dan ketidaktergantungan. Seseorang yang memiliki kepercayaan diri cenderung memiliki keyakinan akan kemampuannya untuk mencapai keberhasilan. Orang yang percaya diri memiliki kemampuan untuk menyelesaikan

35   suatu pekerjaan secara sistematis, efisien dan efektif. Kepercayaan diri juga selalu ditunjukkan oleh ketenangan, ketekunan, dan kemantapan dalam melakukan pekerjaan. Kepercayaan diri dalam melakukan kegiatan usaha berimplikasi dalam kemampuan pedagang kecil dan anggota kelompok tani dalam mengembangkan usahanya. Sebagian besar dari mereka mampu menyelesaikan sendiri pekerjaan tanpa bantuan orang lain. Selain itu kepercayaan diri ini membuat mereka mampu menyelesaikan sendiri pekerjaan tanpa bantuan orang lain. Berdasarkan penuturan salah seorang pengusaha sukses Desa Cikarawang: “..Dalam usaha yang dibutuhkan adalah kepercayaan diri non, kalau ragu usaha ga akan pernah mau maju. Yakin aja kalau kita bisa, jangan lupa berdoa...” Berdasarkan penuturan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa aspek percaya diri menjadi hal penting dalam membangun dan menjalankan sebuah usaha. Selain itu, pada aspek kepercayaan diri ini, terdapat semacam pemahaman bahwa pertolongan dari orang lain tidak diperlukan, karena hal tersebut dapat menunjukkan bahwa mereka memiliki kelemahan. Oleh sebab itu, pada aspek ini, sebagian besar anggota kelompok tani dan sebagian kecil lainnya dari pedagang, menunjukkan aspek kepercayaan diri yang relatif rendah karena mereka masih memegang teguh nilai gotong royong dan saling membantu. (2)

Keberanian mengambil resiko Keberanian yang tinggi dalam mengambil resiko dan perhitungan matang

yang diikuti dengan optimisme harus disesuaikan dengan kepercayaan diri. Oleh sebab itu, optimisme dan keberanian mengambil resiko dalam menghadapi suatu tantangan dipengaruhi oleh kepercayaan diri. Kepercayaan diri juga ditentukan oleh kemandirian dan kemampuan diri sendiri. Seseorang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi, relatif lebih mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah sendiri tanpa menunggu bantuan orang lain. Bagi pedagang dan anggota kelompok tani, keberanian mengambil resiko ini terealisasi misalnya dalam mempertahankan usaha mereka meskipun sudah tidak ada lagi yang memberikan bantuan atau modal usaha. Selain itu keberanian mereka terlihat dalam memutuskan untuk berwirausahan dan mengeluarkan modal

36   yang relatif besar ditengah banyaknya pesaing. Padahal pesaing-pesaing tersebut pula menjual produk yang sama. (3)

Kepemimpinan Seorang wirausaha yang berhasil selalu memiliki sifat kepemimpinan,

kepeloporan dan keteladanan. Ia selalu ingin tampil berbeda, menjadi yang pertama dan menonjol. Dengan menggunakan kemampuan kreativitas dan inovasi, ia selalu menampilkan barang dan jasa-jasa yang dihasilkannya lebih cepat, lebih dulu dan dan segera berada di pasar. Ia selalu menampilkan produk dan jasa-jasa baru dan berbeda sehingga menjadi pelopor dalam proses produksi maupun pemasaran. Ia selalu memanfaatkan perbedaan sebagai sesuatu yang menambah nilai. Karena itu, perbedaan bagi seseorang yang memiliki jiwa kewirausahaan merupakan sumber pembaruan untuk menciptakan nilai. Ia selalu ingin bergaul dan mencari peluang dan terbuka terhadap kritik serta saran yang kemudian dijadikan peluang. Bagi pedagang dan anggota kelompok tani, selain hal di atas kepemimpinan ini tertuang dalam kemampuan mereka untuk mengatur atau mengorganisir diri sendiri, keluarga, serta kegiatan usahanya secara bersamaan. Selain itu jiwa kepemimpinan ini, terlihat dimana para tetangga di lingkungan rumah bahkan rekan dalam anggota kelompok tani seringkali meminta saran maupun pendapat terhadap mereka . hal ini juga berkaitan dengan nilai kepercayaan yang ada di dalam masyarakat Desa Cikarawang. (4)

Kreatif dan inovatif Nilai inovatif dan kreatif yang dimaksud di sini ialah tidak hanya

mengekor pada orang lain, tetapi memiliki pendapat sendiri, ada ide yang orisinil, ada kemampuan untuk melaksanakan sesuatu. Orisinil tidak berarti baru sama sekali, tetapi produk tersebut mencerminkan hasil kombinasi baru atau penyatuan dari komponen–komponen yang sudah ada, sehingga akan melahirkan sesuatu yang baru. Hanya sebagian kecil dari pedagang yang memiliki kreativitas dan daya inovasi, hal ini dikarenakan rata-rata produk yang dijual pun hampir sama dengan modal yang relatif kecil. Namun beberapa dari pedagang menyebutkan bahwa mereka berusaha untuk membuat atau menjual produk yang menarik dan berbeda

37   dari penjual-penjual lain di sekitar rumah. Hal ini sesuai dengan penuturan salah seorang responden: “..selain jualan makanan ringan dan minuman, saya juga bikin sendiri es-es yang murah yang disukai anak-anak. Cuma modal rajin. Biasanya bikin pagi, siang udah habis. Sehari saya bikin dua kali lho...” Memiliki kemampuan dan kreativitas mutlak diperlukan untuk kemajuan usaha. Seseorang yang memiliki kemampuan menciptakan sesuatu yang baru yang berbeda dari produk yang sudah ada saat ini, cenderung memiliki jaringan yang lebih luas. Misalnya, produk-produk seperti tepung ubi yang diolah di kelompok tani, singkong yang dijual dengan diolah terlebih dahulu sebagai bahan pangan, dan lain-lain. Seseorang yang memiliki daya inovasi dan kreativitas pun memiliki produk khas yang berbeda sehingga dikenali oleh banyak orang. (5)

Orientasi hasil Pandangan yang jauh ke depan membuat wirausaha tidak cepat puas

dengan karsa dan karya yang sudah ada saat ini. Oleh sebab itu ia selalu mempersiapkannya dengan mencari peluang. Untuk menghadapi pandangan jauh ke depan, seorang wirausaha akan menyusun perencanaan dan strategi yang matang, agar jelas langkah–langkah yang akan dilaksanakan. Seseorang terutama pedagang dan anggota kelompok tani yang selalu mengutamakan tugas dan hasil adalah mereka yang selalu mengutamakan nilainilai motif prestasi, berorientasi pada laba, ketekunan dan kesabaran dan berinisiatif. Berinisiatif artinya selalu ingin mencari dan memulai sesuatu. Untuk memulai diperlukan adanya niat dan tekad yang kuat. Sekali sukses atau berprestasi maka sukses berikutnya akan menyusul, sehingga usahanya semakin maju dan berkembang. (6)

Kerja keras Kerja keras berimplikasi pada kesungguhan dalam melaksanakan kegiatan

usaha mereka. Bagi pedagang dan anggota kelompok tani, memperkenalkan produk (usaha) untuk memperluas jaringan merupakan bentuk kerja keras yang mereka lakukan. Tidak sedikit dari mereka yang harus menjajakan atau membawa produk usaha mereka dari rumah ke rumah (door to door), bahkan ada yang membawa dagangan mereka ke kampung atau desa lain, misalnya ke Desa

38   Babakan. Dimana kegiatan ini sering disebut ngampung. Ngampung merupakan istilah menawarkan/ membawa barang dagangan sambil menagih hutang. 5.2.2

Pengaruh Modal Sosial terhadap Kewirausahaan Modal sosial merupakan aspek yang berperan di dalam pengembangan

nilai kewirausahaan. Pada dasarnya, modal sosial yang terdapat pada pedagang maupun anggota kelompok tani sama-sama memiliki pengaruh. Keberpengaruhan ini ditandai dengan nilai signifikansi yang berada di bawah tingkat kepercayaan 15 persen. Tabel 5. Hasil Estimasi Model Regresi Logistik terhadap Modal Sosial Serta Unsurnya yang Mempengaruhi Ada Tidaknya Nilai Kewirausahaan Responden

Pedagang Kecil

Anggota Kelompok Tani

Koefisien (β)

p-value (sig)

Odds Ratio (Exp (β))

Koefisien (β)

p-value (sig)

Odds Ratio (Exp (β))

-1.792

.079*

.167

-2.575

.028*

.076

Kepercayaan

1.658

.047*

.190

1.135

.122*

.952

Norma

-.049

.958

.952

.141

.886

1.152

Jejaring

1.966

.130*

.140

21.991

.999

.101

Variabel Modal Sosial

Keterangan: --*

= tingkat kepercayaan 15% Keluaran hasil data statistik menyajikan pengujian pengaruh modal sosial

terhadap nilai kewirausahaan pada pedagang kecil dimana koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar -1.792 dengan nilai statistik Wald sebesar 3.082 dengan nilai-p sebesar 0.079 pada taraf nyata 15% diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah modal sosial berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Sedangkan keluaran hasil data statistik menyajikan pengujian pengaruh modal sosial terhadap nilai kewirausahaan pada anggota kelompok tani dimana koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar -2.575 dengan nilai statistik Wald sebesar 4.829 dengan nilai-p sebesar 0.028 pada taraf nyata 15% diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah modal sosial berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Selanjutnya akan dijelaskan masing-masing unsur pembentuk dari modal sosial, yaitu kepercayaan, norma, dan jejaring, yang berpengaruh terhadap

39   pengembangan nilai kewirausahaan. Masing-masing unsur tersebut juga memiliki nilai keberpengaruhan (signifikansi) yang berbeda-beda.  5.2.2.1 Aspek Kepercayaan Kepercayaan (trust) merupakan hubungan sosial yang dibangun atas dasar rasa percaya dan rasa memiliki bersama. Rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubunganhubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa, yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung. Masyarakat Desa Cikarawang memiliki kepercayaan yang relatif tinggi antar sesama warga, hal ini disebabkan karena mereka masih memegang teguh nilai kebersamaan yang termanifestasi dalam sikap kejujuran. Kejujuran sebagai nilai universal menjadi aspek yang membentuk kepercayaan diantara warga dalam melakukan hubungan sosial. Dalam kegiatan usaha sendiri, kepercayaan muncul ketika melakukan kegiatan transaksi atau jual beli. Sebagian besar responden mengaku bahwa kepercayaan mereka memang tertanam dalam diri, dikarenakan masyarakat atau tetangga juga berperilaku jujur dalam tindakan mereka. Keluaran hasil data statistik menyajikan pengujian pengaruh kepercayaan terhadap nilai kewirausahaan pada pedagang kecil dimana koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar 1.658 dengan nilai statistik Wald sebesar 3.942 dengan nilai-p sebesar 0.047 pada taraf nyata 15% dan odds ratio sebesar 0.190 diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah kepercayaan berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Interpretasi dari rasio odds ini yaitu kecenderungan seseorang memiliki nilai kewirausahaan adalah memiliki kepercayaan sebesar 0,19 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki kepercayaan. Rasa

kepercayaan

diantara

warga

dalam

kaitannya

dengan

perdagangan/jual beli cukup tinggi. Hal ini juga terbukti dengan rendahnya sikap curiga diantara mereka. Bahkan beberapa orang menyatakan bahwa ketika melakukan transaksi dagang, mereka tidak perlu menghitung uang kembalian atau mencatat secara detail setiap hutang. Hal ini sesuai dengan penuturan seorang responden:

40   “..kalau ada yang mau belanja, ibu mah jarang mencatat hutanghutang mereka yang mau beli, mereka juga sadar aja berapa utang mereka sendiri...” Lebih lanjut dalam konteks kegiatan usaha kecil, kepercayaan menjadi hal penting karena terkait dengan “pinjaman/hutang” diantara mereka. Salah satu responden menuturkan bahwa “..Ibu teh tenanaon neng minjamkeun sembako heula ke tetangga nu teu tiasa bayar, orang deket ini rumahnya, lagian kalaupun beda kampung ibu juga gapapa. Soalnya kita juga sudah saling kenal dan tau satu sama lain. Mereka juga pasti bayar, kasian kalau tidak dipinjamkan...” Kepercayaan mereka juga terlihat dari keterbukaan dalam mengajak warga disekitar rumah mereka untuk bergabung dalam usaha tertentu, menurut penuturan warga: “..Ibu disini dibantu oleh tetangga-tetangga saat bikin kue, kalau ngerjain sendiri juga repot, makanya kalau dibantu selain pekerjaan cepat selesai, mereka juga bisa dapat penghasilan. Hitung-hitung bagi rezeki neng...” Dari pernyataan diatas dapat diketahui bahwa warga desa memiliki kepercayaan yang relatif besar kepada warga lain. Warga Desa Cikarawang yang melakukan kegiatan usaha tidak segan-segan memilih siapa pun dalam kegiatan usaha mereka. Hal ini juga dikarenakan, kegiatan usaha yang mereka tekuni tidak membutuhkan keterampilan khusus ataupun pengetahuan yang khas. Sehingga siapapun yang bisa bergabung dan mau bekerja keras bisa bergabung untuk jenis usaha tertentu. Masalah keuangan memang sedikit “sensitif” ketika harus dibicarakan, namun masyarakat yang menjadi responden dalam kegiatan usaha warung-warung kecil cenderung tidak terlalu memperhatikan masalah bayaran, uang kembalian, dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena menurut penuturan mereka warga disekitar rumah dimana meraka tinggal sangat tidak mungkin berbohong. Mereka lebih

baik

berhutang

daripada

harus

berbohong

dalam

membayar

barang/makanan/produk tertentu. Kepercayaan yang terjalin diantara pedagang kecil tersebut memberikan kontribusi terhadap pengembangan nilai-nilai

41   kewirausahaan. Seorang pengusaha yang sukses selalu menjaga kepercayaan dan memiliki jiwa dan semangat dalam kegiatan usahanya. Lain halnya dengan petani yang tergabung di dalam anggota kelompok tani yang saya jadikan responden, mereka memiliki rasa keterikatan yang tinggi dalam kelompok dimana dia tergabung. Data statistik menunjukkan bahwa kepercayaan

anggota

kelompok

tani

tidak

berpengaruh

terhadap

nilai

kewirausahaan. Keluaran berikut ini menyajikan pengujian pengaruh kepercayaan terhadap nilai kewirausahaan. Koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar 1.135 dengan nilai statistik Wald sebesar 2.391 dengan nilai-p sebesar 0.122 pada taraf nyata 15% dan odds ratio sebesar 0.952 diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah jejaring berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Interpretasi dari rasio odds ini yaitu kecenderungan seseorang memiliki nilai kewirausahaan adalah memiliki kepercayaan sebesar 0,952 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki kepercayaan. Anggota kelompok tani yang memiliki kepercayaan yang relatif besar dalam kelompoknya, maka semakin terikat pula dengan pola aturan yang ada di dalam

kelompoknya.

Sehingga

nilai-nilai

kewirausahaan

menjadi

tidak

berkembang. Anggota kelompok tani lebih bersandar dan menggantungkan permasalahan yang dihadapinya pada rekan atau teman dalam satu kelompoknya. Selain itu, jika melihat nilai signifikansi maka dibandingkan dengan pedagang kecil, anggota kelompok tani memiliki nilai signifikansi yang lebih besar. Hal ini dikarenakan anggota kelompok tani tidak bisa mempercayakan dan memilih siapa pun yang bergabung dengan mereka dalam melakukan kegiatan usaha. Berbeda halnya dengan pedagang kecil, para petani cenderung memiliki pemahaman tersendiri mengenai makna kepercayaan. Salah satu petani mengungkapkan: “..bapak mah sudah percaya dengan teman-teman yang ada di kelompok tani, kalau ada apa-apa ya kesana dulu...” “..kalau ada permasalahan kami biasanya meminta tolong ke tetangga dekat, biasanya mereka juga mereka orang-orang yang tergabung dalam kelompok tani...” Dari pernyataan diatas dapat diketahui bahwa kepercayaan mereka hanya pada anggota kelompok tani dimana mereka tergabung, karena selain jarak rumah

42   mereka yang berdekatan, secara psikis juga mereka memiliki rasa memiliki yang erat. Sebagian besar petani yang diwawancarai menyatakan bahwa untuk hal-hal tertentu seperti masalah pinjaman modal usaha, menyerahkan pekerjaan kepada orang lain, sampai meminjamkan uang kepada tetangga adalah hal yang sulit dilakukan, karena pertama hal yang berkaitan dengan uang, untuk kebutuhan sehari-hari saja mereka mengalami keterbatasan, apalagi sampai meminjamkan kepada tetangga dalam jumlah besar. Biasanya menurut mereka, ketika uang dipinjamkan, pihak yang meminjam seringkali terlambat membayar atau tidak menepati janji. Hal ini tidak mengherankan karena uang yang dimiliki pun tidak ada. Oleh karena itu, para petani kurang suka ketika bekerja sama dengan warga yang tidak termasuk ke kelompok tani dimana mereka tergabung. Sebagaimana yang diungkapkan oleh petani perempuan: “..di sini orangnya baik-baik neng, tapi kalau kita nya terlalu baik, nanti mereka bisa melunjak, saat kita sudah percaya dengan mereka, merekanya malah yang menyalahgunakan kepercayaan itu, kita kan disini sama-sama ga punya uang, itu juga karena kasian aja...” Selain dalam masalah keuangan, para petani yang cenderung hanya mempercayai anggota kelompoknya saja merupakan gambaran bahwa mereka kurang terbuka dengan pihak luar. Hal ini juga berkaitan dengan jejaring mereka yang hanya sebatas teman dalam satu kelompok atau teman dari anggota kelompok lain. Sifat mereka yang hanya mengandalkan urusan produksi pertanian dalam kelompoknya membuat para petani sudah cukup puas tanpa mereka harus mengembangkan jejaring, hal ini yang kemudian berimplikasi pada kurangnya kepercayaan mereka pada orang luar. Kepercayaan dalam anggota kelompok tani juga terjadi pada kegiatan pinjam meminjam uang/modal untuk kebutuhan usaha baik yang berasal dari dana PUAP maupun dana bantuan dari pemerintah yang disalurkan melalui kelompok tani. Kepercayaan meminjam uang dapat dilihat dari hasil wawancara berikut: Menurut penuturan Bu Norma,”..aku jadi bendahara gabungan kelompok tani ini sudah percaya saja sama temen-temen dilingkungan untuk pinjam uang ke gapoktan ini tanpa syarat yang ribet...” Pengurus dana pinjaman modal usaha percaya kepada anggotanya untuk meminjam uang untuk modal usaha. Bagi yang meminjam modal usaha, mereka

43   tidak harus menyerahkan syarat atau jaminan. Karena warga disana rata-rata tidak memiliki harta benda yang dapat digunakan sebagai jaminan untuk meminjam modal usaha. Aspek kepercayaan dapat membentuk nilai kewirausahaan, dimana salah satunya adalah dalam jiwa kepemimpinan, kerja keras, berorientasi hasil dan kepercayaan diri seseorang. Ketika pedagang kecil dan anggota kelompok tani bekerjasama yang didasari oleh perasaan yakin dan percaya kepada orang lain dan bahwa orang lain juga akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, maka nilai-nilai kewirausahaan akan terbangun. Dari kepercayaan tersebut diharapkan nilai-nilai kewirausahaan dapat berkembang. Sebagai contoh, dalam nilai kepercayaan terdapat unsur kepemimpinan dimana mudah bagi seseorang untuk mengatur orang lain/karyawan, sebaliknya orang lain pun akan mudah dan senang hati untuk mengikuti pengarahannya. Hal ini tidak mungkin terjadi ketika tidak adanya kepercayaan diantara masing-masing pihak. Apabila melihat perbedaan di antara pedagang kecil dan petani terlihat adanya selisih nilai pengaruh di antara keduanya. Ketika kepercayaan pada anggota kelompok tani berpengaruh pada signifikansi 0.122 pada taraf nyata 15% dalam pembentukan nilai kewirausahaan, maka di sisi lain pedagang kecil justru memiliki pengaruh pada signifikansi 0.047 pada taraf nyata 10% terhadap nilai kewirausahaan. Pada saat keduanya digabung untuk dianalisis maka kepercayaan tetap berpengaruh. P-value (signifikansi) memiliki nilai yang sama besar dengan pedagang kecil yang juga memiliki pengaruh. Keluaran data statistik menyajikan pengujian pengaruh kepercayaan terhadap nilai kewirausahaan. Koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar 1.658 dengan nilai statistik Wald sebesar 3.942 dengan nilai-p sebesar 0.047 pada taraf nyata 15% diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah kepercayaan berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Ketika kedua analisis pedagang kecil dan petani digabung maka kepercayaan menjadi berpengaruh. Para pedagang kecil memiliki kepercayaan yang berpengaruh dalam membentuk nilai kewirausahaan masyarakat. Munculnya nilai-nilai kewirausahaan seperti jiwa kepemimpinan yang termanifestasi dalam kemampuan seseorang dalam mengatur dan

44   mengorganisir waktu dan orang lain serta orang-orang dilingkungan rumah yang senang meminta masukan kepada mereka merupakan sebuah bentuk implementasi kepercayaan dari modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Kepercayaan warga juga tidak hanya dalam melakukan transaksi usaha pada jenis usaha kecil, namun lebih dari itu. Kepercayaan muncul pula dalam keikutsertaan mereka untuk bergabung dalam kelompok tani, bagi petani yang tergabung dalam kelompok tani beranggapan bahwa dengan bergabung mereka akan

mendapatkan

pengetahuan

maupun

keterampilan

tertentu

dalam

mengembangkan usahataninya dan menambah pendapatan mereka. Ketika petani berada dalam kelompok tani, mereka tidak harus kesulitan dalam memasarkan hasil pertanian karena ada kelembagaan kelompok tani yang mewadahi hasil pertanian mereka. Sehingga hal inilah yang menyebabkan mereka sangat menaruh kepercayaan hanya pada anggota kelompoknya, namun ketika mereka harus dihadapkan dengan kondisi berinteraksi dengan warga diluar kelompoknya kemudian muncul semacam pandangan bahwa orang luar kelompoknya sulit dipercaya. Selain itu mereka juga mengganggap dengan bergabung dalam kelompok tani, ketika ada permasalahan dalam pengembangan usaha pertanian, baik dari segi produksi, alat-alat pertanian, sampai pada pemasaran, dapat diselesaikan bersama atau dicari solusi bersama yang lebih efektif dan tepat. Kepercayaan ini membawa masyarakat kepada semangat kemanusiaan untuk berlaku jujur, saling menghormati, dan memperhatikan sesama serta melalui kepercayaan inilah orang-orang dapat bekerjama secara lebih efektif, oleh karena ada kesediaan diantara mereka untuk menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu. 5.2.2.2 Aspek Norma Masyarakat Desa Cikarawang hidup berdampingan secara harmonis dan senantiasa bekerjasama dalam kegiatan tertentu. Keadaan tersebut bukan karena adanya semacam aturan yang sengaja dibuat untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, namun hal tersebut merupakan kondisi yang mamang seharusnya demikian. Mereka memiliki pandangan hidup yang berbeda-beda. Sebagian besar responden memang menyebutkan bahwa mereka memiliki tujuan hidup yang

45   berbeda. Namun sebagian lainnya mengungkapkan bahwa mereka sebenarnya memiliki tujuan hidup yang sama yaitu hidup sejahtera yang setidaknya mampu memenuhi kebutuhan dasar sampai menyekolahkan anak mereka. Responden yang berpendapat mereka itu memiliki tujuan yang berbeda, hal ini berkaitan dengan profesi yang dijalankan oleh masing-masing orang. Terkait dengan hal ini norma dalam pedagang kecil tidak berpengaruh kepada nilai kewirausahaan. Aturan tertulis maupun tidak tertulis dalam kehidupan sosial terutama dalam melakukan kegiatan usaha tidak berpengaruh dalam pengembangan nilai kewirausahaan. Seluruh data statistik menghasilkan kesimpulan dimana norma tidak memiliki pengaruh terhadap pengembangan nilai kewirausahaan. Norma-norma yang ada pada pedagang kecil tidak ada pengaruh terhadap nilai kewirausahaan yang diukur yang didalamnya berupa kreatifitas, percaya diri, kepemimpinan, orientasi ada kerja-ada hasil, pengambilan resiko, dan bekerja keras. Secara statistik keluaran berikut ini menyajikan pengujian pengaruh norma terhadap nilai kewirausahaan pada pedagang kecil berupa koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar -0.049 dengan nilai statistik Wald sebesar 0.003 dengan nilai-p sebesar 0.958 pada taraf nyata 15% dan odds ratio sebesar 0,952 diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah norma tidak berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Interpretasi dari rasio odds ini yaitu kecenderungan seseorang memiliki nilai kewirausahaan adalah memiliki norma sebesar 0,952 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki norma. Di sini responden memiliki tingkat kepatuhan yang baik di lingkungan Desa Cikarawang, oleh karena itu tidak ada keberpengaruhan terhadap nilai kewirausahaan. Jika ingin memiliki nilai kewirausahaan, seorang pengusaha yang ingin sukses akan meninggalkan norma atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat. Ia memiliki cara sendiri dalam menyelesaikan pekerjaannya. Nilai signifikansi lebih besar dari taraf nyatanya, sehingga norma menjadi tidak

berpengaruh

pada

pengembangan

nilai

kewirausahaan.

Ketidakberpengaruhan ini dapat dimengerti karena pada pedagang kecil yang ingin berhasil dalam pengembangan usahanya seringkali tidak memperdulikan aspek norma yang biasanya berlaku dalam kegiatan usaha. Faktor-faktor kunci

46   keberhasilan dalam kegiatan usaha/berdagang menurut pedagang adalah reputasi dan relasi. Kedua hal ini jauh lebih penting dibandingkan kepatuhan terhadap norma-norma yang ada dalam kegiatan usaha. Reputasi dan relasi merupakan dua komponen pokok dalam modal sosial. Reputasi terbangun melalui kepercayaan yang diberikan pihak lain kepada kita, sedangkan relasi merupakan wadah dimana interaksi dapat dijalankan. Interaksi bukan semata-mata hanya sebagai suatu pertukaran yang penuh perhitungan sebagaimana dalam kontrak bisnis, namun lebih kepada kombinasi antara sifat altruis jangka pendek bahkan jangka panjang. Suatu kebaikan dipercaya akan dibalas pada waktu yang tidak diduga atau dalam bentuk yang lain. Hal tersebut lah yang dimaksud dengan modal sosial secara teoritis, namun yang terjadi pada sebagian besar responden menyatakan bahwa mereka akan mau bekerjasama dalam kegiatan usaha ketika jelas besarnya keuntungan yang diperoleh, bagaimana pembagian keuntungan, bahkan bagaimana caranya agar tidak ada yang dirugikan sedikitpun.

Hal tersebut

kemudian benar secara tindakan ekonomi namun menjadi kurang tepat ketika berjalan diatas modal sosial karena modal sosial tidak memperhitungkan keuntungan jangka panjang apalagi jangka pendek. Menurut penuturan salah satu responden menyatakan bahwa: “..ibu mau kerjasamanya sama orang desa ini aja neng, udah percaya. Tapi ya harus jelas juga neng keuntungan yang dibagi, siapa coba yang mau rugi...” “..kita punya aturan sebelum kerjasama, yaitu perjanjian hitam diatas putihnya itu neng, supaya nanti jangan ada yang salah paham...” Penggalan pernyataan diatas berarti menunjukkan bahwa mereka melakukan tindakan usaha diatas aturan yang bukan bersifat altruistik sesuai dengan makna modal sosial. Aspek norma kemudian tidak memberikan pengaruh terhadap pengembangan nilai kewirausahaan, seseorang yang sukses dan memiliki nilai-nilai kewirausahaan tertentu memiliki pandangan bahwa norma yang ada dalam masyarakat tidak seharusnya selalu diikuti. Karena ketika kita ingin sukses kita bahkan harus rela berubah dan bertindak diluar kebiasaan orang-orang. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh responden dari pedagang kecil. mereka hanya patuh dan selalu berada dalam situasi yang mengharuskan mereka melakukan

47   kegiatan usaha biasanya, padahal untuk menjadi wirausaha yang sukses terkadang kita harus bergeser dari aturan-aturan yang ada. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak Suharto, salah satu pengusaha sukses dari Desa Cikarawang yang melakukan usaha miniatur pesawat terbang: “..kadangkala kita harus berani mengambil resiko, walaupun belum jelas apa yang akan terjadi kemudian, jangan mau bertahan pada satu usaha saja, karena bisa saja usaha itu tidak berhasil, terus kalau jatuh atau mengalami kebangkrutan jangan berhenti tapi bertahanlah, karena orang lain pasti akan membantu kita, oleh karena itu ketika kita berada diatas jangan segan untuk membantu orang lain...” Hal serupa juga diutarakan oleh salah satu pengusaha sukses dodol: “..saya bersedia jauh dari keluarga neng, apalagi kalau untuk urusan usaha...” Dari pernyataan diatas terlihat bahwa kesuksesan harus dimulai dari diri sendiri. Kepatuhan terhadap norma dan atau kesediaan jauh dari keluarga merupakan hal yang tidak biasa dilakukan oleh warga desa. Mereka cenderung tidak mau berpisah dengan keluarganya, dengan kata lain sebagian besar responden tidak memiliki keinginan dan daya untuk mendobrak kebiasaan warga disana bahwa tinggal harus selalu bersama-sama keluarga. Sehingga sebagian besar responden memiliki kepatuhan terhadap norma yang tidak berimplikasi pada nilai-nilai kewirausahaan. Tidak jauh berbeda dari pedagang kecil, aspek norma juga tidak memberikan pengaruh terhadap anggota kelompok tani. Hasil statistik untuk pengujian pengaruh norma terhadap nilai kewirausahaan didapat bahwa koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar 0.141 dengan nilai statistik Wald sebesar 0.020 dengan nilai-p sebesar 0.889 pada taraf nyata 15% dan odds ratio sebesar 1.152 diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah norma juga tidak berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Interpretasi dari rasio odds ini yaitu kecenderungan seseorang memiliki nilai kewirausahaan adalah memiliki norma sebesar 1,152 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki norma. Secara signifikansi tidak memiliki pengaruh, hal ini karena dalam keanggotaan kelompok pada dasarnya petani memiliki kepatuhan terhadap aturan yang berlaku di dalam kelompoknya, namun kepatuhannya itu tidak memberikan

48   pengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Mereka cenderung akan bertindak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh kelompok atau sesuai dengan aturan yang telah dibuat bersama. Jadi, keberanian untuk mengambil resiko secara individual tidak terlihat dan ketergantungan mereka pada kelompok yang relatif besar akan membuat mereka menjadi tidak memiliki daya kreativitas dan inovasi yang tinggi sesuai dengan nilai-nilai kewirausahaan. Selain itu pula anggota kelompok tani lebih banyak meniru dari anggota lainnya. Sehingga aspek kepercayaan diri dalam diri anggota kelompok tani cenderung menjadi rendah. Keberadaan norma-norma (aturan) yang berlaku dalam kelompok tani mampu mengatur anggotanya secara efektif, dan bermanfaat dalam kehidupan sosial mereka, namun hal tersebut tidak memberikan efek atau pengaruh terhadap nilai-nilai

kewirausahaan

karena

dalam

interaksinya

para

petani

lebih

mengutamakan bagaimana berperilaku yang sesuai dengan apa yang ada di dalam norma yang telah mereka sepakati bersama. Interaksi yang muncul cenderung untuk meniru dan bertingkah laku sama seperti apa yang dilakukan oleh anggota lainnya, jadi keberanian untuk mengambil resiko, kepercayaan diri, serta kreativitas dan inovasi tidak berkembang dalam anggota kelompok tani. Norma yang berlaku dalam kelompoknya sudah dianggap sesuai dan mampu memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan mereka, jadi anggota kelompok tani yang menjadi responden beranggapan bahwa mereka tidak perlu bersusah payah mengadakan perubahan untuk pengembangan usahanya. Salah satu responden mengutarakan “..saya sudah cukup puas neng sama apa yang didapat sekarang, apalagi bapak petani biasa, ngikutin apa kata ketuanya aja...” Dari pernyataan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa anggota kelompok tani sangat peduli pada keberlangsungan kelompok dan pengurusnya, sehingga inilah yang membawa mereka pada minimnya nilai-nilai kewirausahaan yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengusaha. Norma merupakan salah satu unsur dari modal sosial yang tidak memiliki keberpengaruhan terhadap nilai kewirausahaan, baik ketika analisis tersendiri untuk pedagang kecil dan anggota kelompok tani, bahkan ketika analisis dilakukan untuk melihat seluruh responden dimana dilakukan pengujian pengaruh

49   norma terhadap nilai kewirausahaan maka koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar -0.038 dengan nilai statistik Wald sebesar 0.003 dengan nilai-p sebesar 0.955 pada taraf nyata 15% diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah norma tidak berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Kondisi ini dikarenakan beberapa alasan yang telah disebutkan sebelumnya dari masing-masing golongan pedagang kecil maupun anggota kelompok tani. Faktor-faktor kunci keberhasilan dalam kegiatan usaha/berdagang menurut pedagang adalah reputasi dan relasi. Ketika ingin sukses dan ingin memiliki nilai kewirausahaan, pedagang seharusnya memiliki cara tersendiri yang khas

(kreatif).

Aturan-aturan

terkadang

mampu

menghambat

majunya

pengembangan usaha dan nilai-nilai kewirausahaan yang menyertainya. Sedangkan bagi anggota kelompok tani aspek norma tidak memiliki pengaruh disebabkan karena mereka memiliki keterikatan tertentu dengan norma atau aturan yang berlaku di dalam kelompoknya. Norma-norma tersebut mampu mengatur anggotanya secara efektif, yang kemudian mempengaruhi pola tindakan para petani terhadap pengembangan usahanya. Hal demikian terjadi karena kepatuhan terhadap norma kelompok tidak membuat mereka menjadi lebih kreatif, inovatif, berjiwa kepemimpinan, berani mengambil resiko, dan sebagainya. Jadi kepatuhan mereka terhadap norma yang ada di dalam kelompoknya tidak memiliki pengaruh terhadap pengembangan nilai-nilai kewirausahaan.

5.2.2.3 Aspek Jejaring Kemampuan anggota masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergis, akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat atau tidaknya modal sosial yang terbentuk/terbangun. Kemampuan tersebut adalah kemampuan untuk ikut berpartisipasi guna membangun sejumlah asosiasi berikut membangun jaringannya melalui berbagai variasi hubungan Pada penelitian ini, jejaring berkaitan dengan seberapa banyak rekan bisnis (usaha) yang dimiliki responden, kemudian banyak dan luasnya rekan bisnis tersebut terimplementasi dalam kemampuan menjaga hubungan baik dengan rekan bisnis (usaha) serta mampu dalam menjual produk yang dihasilkan secara

50   luas, tidak hanya di lingkungan sekitar rumah bahkan sampai ke wilayah desa lain. Selain itu kerjasama yang dibangun untuk pengembangan usaha tidak hanya dilakukan dengan tetangga disekitar rumah, konteks jejaring menjadi semakin tinggi pengaruhnya ketika kerjasama yang dibangun berasal dari orang-orang di luar desa. Ketika melihat keberpengaruhan jejaring terhadap pembentukan nilai kewirausahaan, maka kedua aspek antara pedagang kecil dan anggota kelompok tani sama-sama tidak berpengaruh kepada pengembangan nilai kewirausahaan, namun pedagang kecil memiliki nilai yang relatif lebih besar dibandingkan dengan anggota kelompok tani. Keluaran data statistik menyajikan pengujian pengaruh jejaring terhadap nilai kewirausahaan pada pedagang kecil dimana koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar 1.966 dengan nilai statistik Wald sebesar 2.297 dengan nilai-p sebesar 0.130 pada taraf nyata 15% dan odds ratio sebesar 0.140 diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah jejaring berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Interpretasi dari rasio odds ini yaitu kecenderungan seseorang memiliki nilai kewirausahaan adalah memiliki jejaring sebesar 0,140 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki jejaring. Hal ini karena pedagang memiliki jaringan yang lebih luas ketika dibandingkan dengan anggota kelompok tani, kondisi seperti ini sangat memungkinkan karena pedagang memang lebih banyak berinteraksi dengan orang lain. Ketika mereka menghadapi pembeli (konsumen) sebenarnya dari situlah para pedagang mendapatkan informasi jaringan untuk kebutuhan pengembangan usaha misalnya untuk akses permodalan. Salah satu responden mengutarakan: “..ibu tau kalau ada pinjaman-pinjaman gitu biasanya dari tetangga juga...” “..bapak sama ibu biasanya menjajakan dodol, kue kering, dan makanan ini ke kampung-kampung, bahkan sampai ke desa lain...” Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa intensitas bertemunya pedagang dengan orang-orang baru lebih besar dan sangat mungkin bagi mereka terlibat dalam bisnis yang dimodali oleh tetangga-tetangga dan atau orang yang beru dikenalnya. Hal ini kemudian berkaitan dengan aspek kepercayaan yang

51   berpengaruh dalam pengembangan nilai kewirausahaan pada pedagang kecil. Mereka lebih terbuka dan dinamis untuk pengembangan usahanya. Berbeda halnya dengan anggota kelompok tani yang nilai jejaring lebih kecil keberpengaruhannya. Selain karena keterikatan dalam kelompok yang besar, mekanisme pemasaran hasil produksi pertanian yang diserahkan kepada kelompok tani. pengujian pengaruh jejaring terhadap nilai kewirausahaan pada anggota kelompok tani,dimana koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar 21.991 dengan nilai statistik Wald sebesar 0 dengan nilai-p sebesar 0.999 pada taraf nyata 15% dan odss ratio sebesar 0.101 diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah jejaring tidak berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Interpretasi dari rasio odds ini yaitu kecenderungan seseorang memiliki nilai kewirausahaan adalah memiliki jejaring sebesar 0.101 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki jejaring. Ketidakberpengaruhan ini membuat kemungkinan untuk membangun jejaring dengan orang-orang baru menjadi kecil. Bagi anggota kelompok tani, sebagian besar komoditas pertanian yang utama seperti singkong, ubi, kacang tanah, dan cabai dikumpulkan kepada kelompok tani untuk dikordinir dan selanjutnya dijual pengumpul lain atau pasar. Biasanya untuk komoditas beras akan mereka gunakan sendiri tanpa harus dijual kemana-mana, kecuali ada tetangga yang membutuhkan beras tersebut. Kondisi seperti inilah yang tidak mengharuskan para petani terutama yang termasuk dalam kelompok tani untuk membuka jaringan dan mencari rekan bisnis untuk pengembangan usahanya. Penuturan salah seorang petani: “..saya sudah cukup puas dengan masuknya saya kekelompok tani, soalnya saya tidak perlu repot lagi untuk memasarkan komoditas saya. Mau disebut tengkulak, mau disebut apa, saya tidak peduli, yang penting komoditas saya sudah aman dalam kelompok itu...” Dari pernyataan salah satu petani itu dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk para petani tidak perlu bersusah-susah untuk mencari jaringan usaha, karena adanya kelompok tani. Hal ini pun tidak dapat dipungkiri karena memang kelompok tani di Desa cikarawang berjalan efektif. Salah satunya adalah dengan berhasilnya produk-produk olahan yang dibuat dari komoditas utama petaninya.

52   Modal sosial berupa jaringan sekampung halaman telah membuka jalan untuk jaringan sosial yang ada dan bermanfaat dalam memperoleh bantuan atau pinjaman yang bersifat informal, ketika bantuan formal dari pemerintah sangat terbatas. Modal sosial yang mereka miliki telah menciptakan nilai ekonomi bagi diri mereka sendiri. Ketika kedua aspek pedagang kecil dan anggota kelompok tani dianalisis maka hasil yang didapat berdasarkan olahan data statistik menyajikan pengujian pengaruh jejaring terhadap nilai kewirausahaan.

Koefisien regresi (β) yang

diperoleh adalah sebesar 2.626 dengan nilai statistik Wald sebesar 5.389 dengan nilai-p sebesar 0.020 pada taraf nyata 15% diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah jejaring berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Pedagang kecil dan anggota kelompok tani digabung untuk dianalisis menghasilkan konteks jejaring yang berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Anggota kelompok tani memiliki pola interaksi yang khas dengan sesama anggotanya, oleh karena itu kepercayaan mereka dengan anggota lainnya ikut mempengaruhi jaringan usaha. Jaringan kekeluargaan menjadi dasar pembentukan hubungan modal sosial yang menciptakan kepercayaan dalam masyarakat. hal ini sesuai dengan penuturan salah seorang responden: “..Modal usaha itu semuanya berasal dari keluarga ibu sendiri karena warung ini hanya membutuhkan modal yang relatif kecil, dan yang paling penting adalah kerjasama dengan siapapun. Ketika kita mengalami kemunduran, kita memiliki rekan/teman yang bersedia membantu dengan ikhlas...” Dalam hal ini aspek jejaring memberikan kontribusi dalam pengembangan nilai-nilai kewirausahaan seseorang baik pengaruhnya terhadap pembentukan kreatifitas sampai pada kemampuan seseorang dalam hal kepemimpinan. Gejala tersebut memberikan implikasi bahwa dengan adanya jejaring akan mudah bagi mereka mengajak seseorang untuk terlibat dalam pengembangan usahanya. Ketika kita tidak mampu bertahan dalam suatu kondisi yang memungkinkan kita untuk mempertahankan usaha, kemudian yang dapat dilakukan adalah meminta bantuan kepada tetangga/ rekan bisnis. Kemampuan membangun jejaring berguna untuk membuka kesempatan kepada siapa saja yang ingin terlibat dalam kegiatan usaha. Artinya, hubungan sosial/ jejaring yang dibangun walaupun hanya dengan

53   keluarga dekat memberikan keuntungan besar, sebab ketika mereka tidak mampu lagi untuk bertahan bahkan ketika usahanya mengalami kemunduran, maka yang sangat mungkin untuk membantu adalah keluarga dan tetangga-tetangga yang ada dilingkungan sekitar mereka. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh salah seorang pengusaha sukses Desa Cikarawang: “..ketika usaha saya mengalami kemunduran, banyak keluarga saya yang menasehati bahwa usaha dodol yang saya kembangkan ini jangan ditutup. Mereka banyak membantu dalam hal permodalan supaya saya tetap melanjutkan usaha tersebut. Mereka tidak pernah meminta perhitungan kepada saya, yang penting usaha saya dapat kembali normal...” Pernyataan ini juga dikuatkan oleh Ibu pengusaha yang juga menjalankan usaha dodol dan kue kering: “..Alhamdulillah, sekarang saya sudah banyak pelanggan. Kadang saya hanya menunggu pesanan lewat telepon. Nanti suami atau saya yang akan mengantarkan pesanan itu, bahkan seringkali pemesan sendiri yang mengambilnya kesini...” Jejaring tidak mudah dibangun tanpa rasa kepercayaan diantara orang-per orang. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah seorang responden: “..Saya memulai usaha ini dengan dagang keliling, dan memang saya lebih memilih dagang keliling. Soalnya kita bisa ketemu orangorang baru yang bisa saja mereka itu nanti yang mempromosikan produk saya ke teman-temannya yang lain, ya taunya karena dari mulut ke mulut itu lah dagangan saya bisa meluas...” Jejaring yang terbentuk antara seseorang dengan yang lainnya baik dalam konteks pedagang maupun anggota kelompok tani menunjukkan bahwa jejaring sebenarnya lantas dibutuhkan dalam pengembangan nilai kewirausahaan. 5.3

Faktor Kapasitas Individu dalam Kewirausahaan

5.3.1 Aspek Kapasitas Individu Kemampuan yang dimiliki oleh responden, baik pada pedagang kecil dan anggota kelompok tani relatif rendah. Aspek kapasitas individu yan dilihat adalah pengetahuan, sikap, dan keterampilan sesuai dengan mata pencaharian atau pekerjaan mereka. Pengetahuan pedagang kecil jika dibandingkan dengan anggota kelompok tani ternyata memiliki nilai yang lebih kecil. Hal ini disebabkan karena petani cenderung lebih sering berdiskusi dengan anggota lainnya atau kelompok

54   lain. Mereka lebih memahami permasalahan yang mereka hadapi terhadap kegiatan usaha pertanian, walaupun tingkat pendidikan mereka sebagian besar hanya sebatas sekolah dasar (SD)/sederajat. Hal yang dialami oleh pedagang kecil adalah diantara pedagang dan anggota kelompok tani sama-sama berada pada tingkat pendidikan yang digolongkan rendah, namun bedanya sebagai pedagang kecil, mereka seringkali sibuk dengan urusan dagang saja. Pada aspek pengetahuan ini, responden akan diberikan pertanyaan mengenai tindakan-tindakan yang harus mereka lakukan dalam kaitannya dengan pengembangan usaha, sebagai contoh yaitu, pentingnya teknologi dan pemasaran produk, mengenali pesaing dengan jelas, serta tindakan yang harus mereka lakukan ketika dihadapkan dengan dua pilihan. Lain halnya dengan aspek sikap dimana responden merefleksikannya dengan apakah mereka menyukai bidang usaha mereka, sikap terhadap apakah jenis usaha atau pekerjaan ini yang mereka pilih sendiri, sampai kepuasan terhadap apa yang telah mereka dapatkan. Keterampilan dilihat dari kemampuan mereka dalam mengelola keuangan, membuat perencanaan, serta perhitungan keluar masuk uang setiap hari. Gejala ini cenderung tidak dilakukan oleh responden baik anggota kelompok tani maupun pedagang kecil. Membuat catatancatatan penting tidak dilakukan secara tertib, mereka hanya membuat catatan hutang yang sebenarnya kurang berfungsi karena antara penjual dan pembeli masing-masing mampu memegang kepercayaan. Tabel 6. Hasil Estimasi Model Regresi Logistik terhadap Kapasitas Individu yang Mempengaruhi Ada Tidaknya Nilai Kewirausahaan. Responden

Variabel Kapasitas Modal Sosial+Kapa sitas

Pedagang Kecil Koefisien (β)

p-value (sig)

Odds Ratio (Exp (β))

Koefisien (β)

-.057

.944

.944

-.827

-1.212

.147*

.298

-2.148

Keterangan: --*

Anggota Kelompok Tani

= tingkat kepercayaan 15%

p-value (sig)

Odds Ratio (Exp (β))

.260

.438

.020*

.117

55   Keluaran data statistik untuk analisis pedagang kecil menyajikan pengujian

pengaruh

kapasitas

individu

terhadap

nilai

kewirausahaan.

Keberpengaruhan ini ditandai dengan nilai signifikansi yang berada di bawah tingkat kepercayaan 15 persen. Koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar 0.057 dengan nilai statistik Wald sebesar 0.005 dengan nilai-p sebesar 0.944 pada taraf nyata 15% dan odds ratio sebesar 0.944 diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah kapasitas individu tidak berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Interpretasi dari rasio odds ini yaitu kecenderungan seseorang memiliki nilai kewirausahaan adalah memiliki kapasitas individu sebesar 0,944 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki kapasitas individu. Data diatas sesuai dengan kenyataan di lapang bahwa para pedagang sebenarnya minim informasi mengenai pengembangan usaha mereka termasuk pasar. Kapasitas yang mereka miliki sangat terbatas, bahkan untuk mengambil sebuah keputusan saja mereka selalu melibatkan orang lain, baik suami/istri, orang tua, dan anak. Secara keterampilan, pedagang relatif tidak terlalu mempedulikan keluar masuknya uang mereka, mereka hanya sekedar menghitung utang-utang dari tetangga yang itu pun jumlahnya kecil. Berdasarkan penuturan salah satu responden: “..ibu sudah puas sama yang ibu lakukan sekarang, lagian ibu juga orangnya biasa aja neng, bukan seperti orang-orang yang pinter. Apa yang didapat ini sudah cukup lah...” “..kalau ada yang bayar utang, apalagi jumlahnya besar, biasanya ibu dibantu bapak ngitung. Suka susah neng ngitung kalau jumlahnya banyak...” Hal diatas berarti menunjukkan bahwa responden memiliki kemampuan yang terbatas dalam hal perhitungan uang, penilaian terhadap diri mereka sendiri pun rendah. Kebanyakan responden, merasa cukup puas dengan apa yang telah mereka dapatkan sekarang. Hal ini mengindikasikan bahwa kemauan mereka untuk maju sangat rendah sehingga nilai-nilai kewirausahaan juga tidak berkembang. Oleh karena itu kapasitas individu dari pedagang kecil tidak mempengaruhi pengembangan nilai kewirausahaan. Tidak berbeda dengan pedagang kecil, Analisis pada anggota kelompok tani keluaran keluaran data statistik menyajikan pengujian pengaruh kapasitas

56   individu terhadap nilai kewirausahaan dimana koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar 0.827 dengan nilai statistik Wald sebesar 1.269 dengan nilai-p sebesar 0.260 pada taraf nyata 15% dan odds ratio sebesar 0.438 diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah kapasitas individu tidak berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Interpretasi dari rasio odds ini yaitu kecenderungan seseorang memiliki nilai kewirausahaan adalah memiliki kapasitas individu sebesar 0,438 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki kapasitas individu. Ketidakberpengaruhan ini sama halnya dengan apa yang terjadi dalam pedagang kecil. pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang mereka miliki cenderung rendah. Dengan tingkat pendidikan yang hanya sampai sekolah dasar (SD), bahkan dari anggota kelompok tani sendiri banyak yang tidak tamat sekolah dasar (SD). Keterbatasan dalam merancang usaha, membuat perhitungan usaha sangat sulit dilakukan sendiri. Mereka para anggota kelompok tani ini sering dihadapkan pada permasalahan perhitungan biaya produksi seperti perhitungan jumlah dan biaya bibit, harga pupuk, perkalian, pembagian, bahkan saat diminta untuk

menambah

atau

mengurang

perhitungan

tertentu

mereka

sulit

melakukannya. Biasanya mereka dibantu oleh anak atau istri karena sebagian besar petani yang menjadi responden adalah laki-laki. Hal ini juga diperkuat oleh penuturan salah satu responden: “..bapak ini ga lulus SD, disuruh ngitung mah susah. Pernah bapak dulu rugi beli bibit pohon, gara-gara salah hitung, yang ngejualnya juga ga bisa ngitung neng. Sampai rumah baru sadar pas dihitung ulang sama anak-anak...” Kapasitas anggota kelompok tani yang terbatas inilah yang membuat mereka menjadi sulit untuk memajukan usahanya, hal ini kemudian menjadi kendala dalam pengembangan usaha karena dalam melakukan kegiatan ekonomi, bagaimanapun kuatnya pengaruh modal sosial, namun tidak didukung dengan kapasitas individu tetap tidak akan memberikan pengaruh terhadap pengembangan nilai kewirausahaan. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa baik pedagang kecil maupun anggota kelompok tani sama-sama tidak memberikan pengaruh terhadap pengembangan nilai kewirausahaan. Sehingga baik ketika analisis digabung untuk keseluruhan responden didapat kesimpulan pengujian pengaruh kapasitas individu terhadap

57   nilai kewirausahaan. Koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar 0.266 dengan nilai statistik Wald sebesar 0.265 dengan nilai-p sebesar 0.607 pada taraf nyata 15% dan odds ratio sebesar diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah kapasitas individu juga tidak berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Rendahnya kapasitas individu yang menyebabkan tidak adanya pengaruh terhadap nilai kewirausahaan sedikit banyak disebabkan oleh rendahnya pendidikan mereka. Sebagai tambahan lagi bahwa beberapa responden yang diwawancarai mengungkapkan bahwa mereka seringkali kesulitan ketika harus menghitung uang dalam jumlah tertentu. Hal ini sesuai dengan penuturan Ibu Saumun: “..saya mah tidak terlalu bisa ngitung uang dalam jumlah besar neng, saya juga jarang menulis hutang-hutang warga yang ingin beli sembako, apalagi kalau jumlahnya kecil. kita disini percayapercaya aja. Orang dilingkungan sekitar sini jujur aja orangnya...” Berdasarkan pernyataan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, keterbatasan kemampuan atau kapasitas individu dari pedagang kecil dan anggota kelompok tani tidak mempengaruhi pengembangan nilai kewirausahaan. Jika nilai signifikansi dibandingkan maka diperoleh kesimpulan bahwa anggota kelompok tani memiliki nilai signifikansi yang lebih kecil, artinya dibandingkan dengan pedagang, kapasitas individu petani lebih besar. Hal ini didukung dengan kenyataan di lapangan bahwa anggota kelompok tani cenderung lebih sering berdiskusi dengan teman/rekan di dalam maupun luar kelompoknya. Sehingga sangat mungkin bagi mereka untuk memiliki kapasitas yang lebih besar, walaupun tidak memberikan pengaruh terhadap pengembangan nilai kewirausahaan. Sedangkan pedagang kecil tidak memiliki kapasitas yang sama besar dengan anggota kelompok tani karena jejaring yang dibangun oleh pedagang bukan untuk menambah kapasitas (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) mereka. Jejaring dan mengembangkan

relasi

pengembangan

usaha

hanya

untuk

sehingga

menambah diharapkan

rekan mampu

bisnis

dalam

menambah

pelanggan/konsumen untuk keberlangsungan usahanya. 5.3.2 Aspek Kapasitas Individu dalam Modal Sosial dan Kewirausahaan Berkembangnya nilai-nilai kewirausahaan masyarakat Desa Cikarawang bukan hanya ditopang dari kemampuan baik dari pengetahuan, sikap, maupun

58   keterampilan tertentu. Mereka lebih berhasil karena memang adanya modal sosial baik dalam hal jaringan tertentu maupun kepercayaan yang tumbuh dikalangan warga. Ketika analisis lebih lanjut dilakukan, yaitu ketika kapasitas individu didorong dengan adanya modal sosial kemudian memberikan pengaruh terhadap pengembangan nilai kewirausahaan. Namun ketika analisis dilakukan terpisah maka yang hanya memberikan pengaruh hanyalah dari aspek anggota kelompok tani. Hal ini tidaklah mengherankan, karena dalam pembahasan sebelumnya yang memiliki nilai kapasitas terbesar berasal dari anggota kelompok tani walaupun tidak memberikan pengaruh ketika kapasitasnya hanya berdiri sendiri. Memiliki kemampuan tertentu dalam kegiatan usaha ternyata tidak menjamin munculnya nilai-nilai kewirausahaan seseorang. Nilai-nilai tersebut merupakan bentuk sumberdaya yang dimiliki dalam pengembangan usahanya. Ketika seseorang memiliki cara baru maupun memiliki kemapuan menciptakan sesuatu yang baru yang berbeda dari kebanyakan orang, maka individu tersebut dianggap memiliki kreatifitas yang merupakan bagian dari nilai kewirausahaan. Begitu pula ketika seseorang memiliki kemampuan tertentu dalam mengorganisir waktu dan sumberdaya lainnya, serta memutuskan sesuatu dengan mudah tanpa bantuan orang lain juga merupakan aspek kepemimpinan yang ada dalam nilai kewirausahaan. Data statistik menunjukkan bahwa pengujian pengaruh modal sosial dan kapasitas individu terhadap nilai kewirausahaan menunjukkan koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar 1.212 dengan nilai statistik Wald sebesar 2.105 dengan nilai-p sebesar 0.147 pada taraf nyata 15% dan odds ratio sebesar 0.298 diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah kapasitas dan modal sosial tidak berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Interpretasi dari rasio odds ini yaitu kecenderungan seseorang memiliki nilai kewirausahaan adalah memiliki kapasitas individu dan modal sosial sebesar 0,298 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki kapasitas individu dan modal sosial. Ketidakberpengaruhan ini menunjukkan bahwa baik kapasitas sendiri atau bahkan kapasitas yang didorong dengan modal sosial maka tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Artinya kapasitas yang dimiliki

59   oleh pedagang kecil itu sangat rendah, bahkan ketika didorong dengan adanya peranan modal sosial tidak membuat aspek pedagang menjadi berpengaruh. Unsur kepercayaan, kepatuhan terhadap norma, dan jejaring sebagai wadah bagi pengembangan usaha sebenarnya mampu membantuk nilai-nilai kewirausahaan pedagang, namun karena kapasitas mereka yang sangat rendah maka sebesar apapun kepercayaan diantara mereka, sedalam apapun kapatuhan terhadap norma yang mereka anut dan mereka anggap benar, serta luasnya jejaring tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai kewirausahaan. Jadi, kapasitas pun memiliki peranan yang cukup besar ketika seseorang ingin menjadi pengusaha yang sukses. Tanpa adanya pengetahuan, sikap, dan keterampilan dari pedagang itu, maka mustahil bagi mereka untuk memiliki kemampuan handal dalam melakukan kegiatan usaha dan strateginya dalam menyelesaikan permasalahan usaha. Berbeda halnya dengan pedagang kecil, data statistik untuk anggota kelompok tani memiliki kesimpulan yang berbeda yaitu keluaran ini menyajikan pengujian pengaruh kapasitas individu dan modal sosial terhadap nilai kewirausahaan. Koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar 2.148 dengan nilai statistik Wald sebesar 5.370 dengan nilai-p sebesar 0.020 pada taraf nyata 15% dan odds ratio sebesar 0.117 diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah kapasitas individu dan modal sosial berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Hal ini disebabkan karena anggota kelompok tani lebih sering melakukan diskusi dan berkumpul dengan teman atau rekan dari kelompok mereka. Dari awal kapasitas untuk anggota kelompok tani memang memiliki nilai signifikansi yang cukup mendekati keberpengaruhan, sehingga ketika dihadapkan dengan dorongan dari peranan modal sosial menjadi berpengaruh. Interpretasi dari rasio odds ini yaitu kecenderungan seseorang memiliki nilai kewirausahaan adalah memiliki kapasitas individu dan modal sosial sebesar 0,117 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki kapasitas individu dan modal sosial. Ketika dilakukan analisis untuk keseluruhan responden dalam penelitian ini maka menyajikan pengujian pengaruh kapasitas individu dan modal sosial terhadap nilai kewirausahaan. Koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar 1.585 dengan nilai statistik Wald sebesar 7.169 dengan nilai-p sebesar 0.007 pada

60   taraf nyata 15% diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah kapasitas individu dan modal sosial berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Kasus antara pedagang kecil dan anggota kelompok tani memang berbeda, mengenai kapasitas individu yang mereka miliki juga berbeda. Anggota kelompok tani sering melakukan diskusi mengenai pengembangan usaha mereka karena memang salah satu kegiatan dari kelompok tani adalah membahas atau memdiskusikan permasalahan pertanian yang mereka hadapi. Tidak jarang juga gabungan kelompok tani (Gapoktan) mengadakan kerjasama dengan berbagai pihak

baik

dari

pemerintah,

perguruan

tinggi,

dan

LSM-LSM

untuk

mendiskusikan permasalahan maupun adopsi inovasi teknologi tertentu. Sehingga tidak salah ketika kapasitas disorong dengan modal sosial maka memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai kewirausahaan mereka. 5.4

Faktor Motivasi dalam Kewirausahaan

5.4.1 Aspek Motivasi Motivasi masyarakat Desa Cikarawang dalam melakukan kegiatan usaha lebih dominan dipengaruhi karena untuk memenuhi kebutuhan dasar dan desakan dari anggota keluarga. Salah satu solusi dalam mencari jenis pekerjaan adalah dengan membuka usaha baru atau mengembangkan usaha keluarga yang telah ada. Hal ini dianggap tidak terlalu sulit karena, pertama, tidak membutuhkan modal yang terlalu besar untuk membuka warung-warung kecil, kedua, pemerintah desa berperan aktif dalam menyediakan dana pinjaman untuk kebutuhan usaha, ketiga, gapoktan yang menyediakan dana pinjaman (PUAP) yang kemudian didistribusikan kepada masyarakat yang ingin melakukan pinjaman untuk membuka usaha kecil. Mencari nafkah dalam kegiatan perdagangan usaha kecil dilakukan karena rata-rata dari mereka tidak mendapatkan pekerjaan lain yang cocok dengan tingkat pendidikan mereka yang relatif rendah. Desa Cikarawang memiliki jumlah penduduk yang tidak sedikit, dengan tiga dusun, tujuh RW, dan 32 RT. Namun rata-rata jumlah penduduk yang lulus SMA sangat sedikit, dan mereka pun pasti akan keluar dari wilayah desa Cikarawang untuk mencari jenis pekerjaan yang lebih banyak memberikan keuntungan. Beberapa warga menyebutkan bahwa mereka “terpaksa” terjun ke dunia usaha karena tidak ada lagi pekerjaan yang bisa

61   mereka lakukan, padahal kebutuhan terus meningkat. Hanya beberapa dari responden yang memiliki motivasi sampai jauh ke depan yaitu menciptakan lapangan kerja di wilayah perdesaan. Hal ini disebabkan karena modal yang dimiliki relatif besar dan usahanya pun berkembang cukup luas sampai keluar desa. Keinginan untuk menggali potensi diri juga dijadikan sebagai motivasi untuk sukses bagi beberapa responden. Kebanyakan dari mereka merintis usaha yang telah dimulai terlebih dahulu oleh orang tuanya, sehingga mereka hanya melanjutkan usaha yang telah ada. Mengembangkan potensi desa juga dijadikan sebagai salah satu motivasi yang mendorong seseorang dalam melakukan kegiatan usahanya. Karena dengan melihat sumberdaya potensial yang ada di desa cikarawang terutama dari pertanian jambu kristal, singkong, dan bengkuang yang melimpah dan cocok dilakukan di desa. Sehingga pertanian mereka pun lebih cenderung kepada jenis tanaman yang disebutkan sebelumnya, karena pasar yang sudah menjamin mereka dalam penjualan komoditasnya, baik ketika dijual sendiri maupun bagi petani yang tergabung dalam kelompok tani tertentu. Munculnya motivasi biasanya berawal dari ketertarikan terhadap sesuatu. Ketertarikan itu kemudian membawa minat atau interest. Motivasi yang paling mendasar yang muncul pada individu dalam menjalankan usahanya adalah untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan kata lain, motivasi masyarakat untuk mengembangkan usahanya ke dalam skala yang lebih besar relatif rendah. Tabel 7. Hasil Estimasi Model Regresi Logistik terhadap Motivasi yang Mempengaruhi Ada Tidaknya Nilai Kewirausahaan. Responden

Variabel Motivasi Modal Sosial+ Motivasi

Pedagang Kecil Koefisien (β)

p-value (sig)

Odds Ratio (Exp (β))

Koefisien (β)

p-value (sig)

Odds Ratio (Exp (β))

-22.515

.999

.623

-.560

.701

.571

-1.232

.258

.292

-1.340

.295

.117

Keterangan: --*

Anggota Kelompok Tani

= tingkat kepercayaan 15%

62   Hasil statistik untuk pedagang kecil didapatkan koefisien regresi (β) yang diperoleh sebesar -22.515 dengan nilai statistik Wald sebesar 0 dengan nilai-p sebesar 0.999 pada taraf nyata 15% dan odds ratio sebesar 0.623 diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah motivasi tidak berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Interpretasi dari rasio odds ini yaitu kecenderungan seseorang memiliki nilai kewirausahaan adalah memiliki motivasi sebesar 0,623 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki motivasi. Hal ini sesuai dengan penuturan salah seorang responden bahwa: “..yang penting bisa makan minum dulu aja neng, mau ngarepin yang gede juga apa? Orang modal saya juga kecil...” Responden yang lainnya menuturkan: “..buka usaha ini dibantu sama keluarga neng. Saya tidak punya pekerjaan, ini benar-benar karena terdesak masalah ekonomi, boroboro bisa mempekerjakan orang lain...” Dari pernyataan diatas kesimpulan yang dapat dipahami adalah bahwa para pedagang yang menjadi responden ini memiliki motivasi yang rendah, dapat dikatakan mereka pesimis dalam melakukan kegiatan usaha, hal ini juga sesuai dengan aspek sikap mereka yang sudah merasa puas dengan apa yang telah mereka dapatkan. Sehingga motivasi untuk menjadi pengusaha sukses yang mampu membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain, mengembangkan potensi diri serta potensi yang ada di desa, serta menjadi pengusaha yang menjadi tumpuan sumber pendapatan bagi warga desa tidak pernah ada di dalam diri pedagang kecil. Anggota kelompok tani memiliki keluaran pengujian pengaruh motivasi terhadap nilai kewirausahaan. Koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar -0.560 dengan nilai statistik Wald sebesar 0.147 dengan nilai-p sebesar 0.701 pada taraf nyata 15% dan odds ratio sebesar 0.571 diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah motivasi pun tidak berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Interpretasi dari rasio odds ini yaitu kecenderungan seseorang memiliki nilai kewirausahaan adalah memiliki motivasi sebesar 0,571 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki motivasi. Sama halnya dengan apa yang terjadi pada pedagang kecil, mereka adalah warga dengan latar belakang pendidikan yang rendah, sehingga berhubungan

63   dengan keputusan mereka dalam memilih pekerjaan. Tidak ada jenis pekerjaan lain yang dapat mereka lakukan selain bertani, kondisi ini juga erat kaitannya dengan kapasitas yang mereka miliki. Motivasi mereka menjadi seorang petani adalah karena ingin meneruskan atau memenuhi kehendak orang tua. Hal ini tidak bisa disalahkan karena sebagian besar dari responden memiliki lahan sendiri yang bisa dikelola. Hanya saja, motivasi atau cita-cita mereka dalam melakukan kegiatan usaha dalam bidang pertanian tidak untuk membuat mereka menjadi maju atau menaikkan kedudukan mereka dilingkungan sekitar tempat tinggal. Jangankan untuk mengembangkan sumberdaya yang ada di desa, untuk mengembangkan potensi dalam diri sendiri saja tidak terpikirkan oleh para petani. Beberapa responden mengatakan: “..bapak jadi petani sudah lama, meneruskan pekerjaan orang tua juga. Ini sawah punya orang tua neng...” “..bapak dari dulu cuma jadi petani, sesekali paling jadi kuli. Mau nyari kerja susah, bapak ga punya keahlian. Sekolah juga ga tamat SD. Yang penting mah bisa idup neng. Nanam padi, beras nya bisa buat makan, nanam sayur, bisa buat makan dan dijual juga...” Beberapa responden memang banyak yang menyatakan bahwa motivasi mereka hanyalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, selain itu karena memang tidak mendapatkan pekerjaan lain lagi. Bagi pedagang kecil dan anggota kelompok tani, motivasi yang mereka miliki sama-sama tidak memberikan pengaruh kepada pengembangan nilai kewirausahaan. Keluaran berikut ini menyajikan pengujian pengaruh motivasi terhadap nilai kewirausahaan untuk melihat analisis secara keseluruhan dari pedagang kecil dan petani. Koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar 0.336 dengan nilai statistik Wald sebesar 0.081 dengan nilai-p sebesar 0.776 pada taraf nyata 15% diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah motivasi tetap

tidak berpengaruh terhadap nilai

kewirausahaan. Berarti kebutuhan mereka untuk menjalankan usaha hanya didasari oleh motif keterdesakan masalah ekonomi. Seandainya sebagian besar dari mereka memiliki motivasi yang besar dalam pengembangan usahanya serta memiliki sikap optimis terhadap keberlanjutan usaha, maka sangat mungkin nilai-nilai kewirausahaan akan terbentuk. Karena bagaimana bisa jiwa dan nilai muncul

64   kalau tidak didukung oleh keinginan yang besar dari pedagang dan petani untuk maju dan berkembang dalam kegiatan usahanya. 5.4.2 Aspek Motivasi dalam Modal Sosial dan Kewirausahaan Setelah mengetahui bahwa aspek motivasi sama sekali tidak memiliki pengaruh terhadap pengembangan nilai kewirausahaan, maka kemudian aspek motivasi dikaitkan dengan faktor modal sosial maka data hasil statistik tetap menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada pengaruhnya motivasi dan modal sosial untuk pengembangan nilai kewirausahaan. Keluaran statistik menyajikan pengujian pengaruh modal sosial dan motivasi terhadap nilai kewirausahaan untuk pedagang dimana koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar -1.232 dengan nilai statistik Wald sebesar 1.282 dengan nilai-p sebesar 0.258 pada taraf nyata 15% dan odds ratio sebesar 0.292 diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah modal sosial dan motivasi tidak berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Interpretasi dari rasio odds ini yaitu kecenderungan seseorang memiliki nilai kewirausahaan adalah memiliki motivasi dan modal sosial sebesar 0,292 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki motivasi dan modal sosial. Ketika membandingkan signifikansi atau nilai keberpengaruhan pada aspek motivasi saja, ternyata nilai untuk motivasi dan modal sosial lebih kecil dibandingkan motivasi saja, yang artinya modal sosial memberikan dorongan yang cukup kuat terhadap aspek motivasi karena mampu mengubah nilai menjadi lebih kecil (mendekati signifikansi) keberpengaruhan. Hal ini juga berlaku pada aspek motivasi dan modal sosial yang dianalisis sekaligus dibandingkan dengan motivasi saja pada anggota kelompok tani, walaupun tidak memberikan pengaruh namun ketika dihadapkan atau dipertemukan dengan modal sosial maka nilai signifikansi menjadi lebih kecil yang artinya mendekati garis keberpengaruhan. Berarti peranan modal sosial cukup berarti karena mampu mengubah nilai signifikansi menjadi lebih kecil. Pentingnya membangun kepercayaan dan perluasan jaringan bagi pedagang kecil mampu mendorong nilai kewirausahaan seseorang walaupun sebelumnya dorongan oleh motivasi relatif rendah. Data statistik yang menyajikan pengujian pengaruh modal sosial dan motivasi terhadap nilai kewirausahaan bagi anggota kelompok tani, dimana

65   koefisien regresi (β) yang diperoleh adalah sebesar -1.340 dengan nilai statistik Wald sebesar 1.095 dengan nilai-p sebesar 0.295 pada taraf nyata 15% dan odds ratio sebesar 0.262 diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah modal sosial dan motivasi tidak berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan. Interpretasi dari rasio odds ini yaitu kecenderungan seseorang memiliki nilai kewirausahaan adalah memiliki motivasi dan modal sosial sebesar 0,262 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki motivasi dan modal sosial. Sama halnya dengan pedagang kecil, bahwa anggota kelompok tani menunjukkan tidak adanya pengaruh terhadap nilai kewirausahaan mereka. Karena untuk memenuhi kebutuhan mereka hanya didorong oleh keinginan yang relatif rendah. Ketika kebutuhan dasar telah terpenuhi maka mereka relatif sudah cukup puas dengan hasil yang telah didapatkan. Analisis untuk kedua aspek baik pedagang kecil dan anggota kelompok tani menghasilkan data keluaran pengujian pengaruh modal sosial dan motivasi terhadap nilai kewirausahaan. Koefisien regresi (B) yang diperoleh adalah sebesar -1.204 dengan nilai statistik Wald sebesar 2.193 dengan nilai-p sebesar 0.159 pada taraf nyata 15% diperoleh kesimpulan yang berarti bahwa peubah modal sosial dan motivasi tidak berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan, walaupun nilai pvalue nya pun lebih rendah atau mendekati signifikansi (keberpengaruhan). Modal sosial memang memberikan wadah bagi pedagang dan anggota kelompok tani dalam pengembangan nilai kewirausahaan. Ketika dikaitkan dengan faktor motivasi maka tidak ada pengaruhnya sama sekali dalam pengembangan nilai kewirausahaan. Hal ini tidaklah mengherankan karena motivasi yang dimiliki oleh pedagang kecil dan anggota kelompok tani sangat minim, yaitu: pertama, karena ingin memenuhi permintaan keluarga, kedua, terdesak masalah ekonomi, ketiga, hanya meneruskan pekerjaan dari orang tuanya, dan terakhir karena sulitnya mendapatkan pekerjaan yang lain. Motivasi untuk bisa membuka lowongan kerja bagi orang lain, menggali sumberdaya dan potensi yang ada di Desa Cikarawang, menginginkan agar kedudukannya dihargai di lingkungan desa, sampai mampu memberikan bantuan modal usaha kepada orang lain sangat jauh dari motivasi mereka ketika memulai

66   ataupun menjalankan usaha. Sehingga rendahnya motivasi mereka, berimplikasi pada tidak adanya pengaruh terhadap pengembangan nilai kewirausahaan.

67  

BAB VI KETERKAITAN MODAL SOSIAL , KAPASITAS INDIVIDU DAN KEWIRAUSAHAAN 6.1

Konstruksi Modal Sosial dan Nilai Kewirausahaan Pengembangan kewirausahaan dianggap penting selain karena mampu

mendorong

pertumbuhan

ekonomi

dan

menciptakan

lapangan

kerja,

kewirausahaan juga banyak melahirkan kreativitas dan inovasi baru dalam melakukan usaha. Selain itu kewirausahaan dapat meningkatkan kualitas kompetensi yang dapat meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat. Membangun sumberdaya manusia yang berjiwa dan memiliki nilai kewirausahaan tidaklah mudah. Keberhasilan pengusaha yang sukses terlihat dari karakteristik dan nilai dari seorang wirausahanya. Nilai lebih ini adalah sifat pantang menyerah, berani mengambil resiko, kreativitas serta daya inovasi yang besar. Mayoritas wirausaha di Indonesia masih didominasi oleh sektor usaha kecil (UKM) dan usaha rumah tangga, terlebih lagi ketika dihadapkan pada kawasan perdesaan, dimana keberhasilan kegiatan perekonomian masyarakat baik di perkotaan maupun perdesaan sebagian besar banyak disokong oleh kegiatan usaha (entrepreneurship) yang masih didominasi oleh usaha-usaha skala mikro dan kecil dengan pelaku utama para petani, buruh tani, pedagang sarana produksi dan hasil pertanian, pengolah hasil pertanian, serta industri rumah tangga.3 Keberhasilan pengembangan kewirausahaan tidak pernah terlepas dari peran masyarakat itu sendiri. Sakur (2006) menyebutkan bahwa pengembangan nilai-nilai atau jiwa kewirausahaan merupakan kunci berhasilnya seorang wirausaha. Artinya tanpa melupakan modal dan sumberdaya lainnya, nilai yang dimiliki oleh seseorang adalah penting ketika melakukan kegiatan usaha. Namun kenyataannya, pengembangan kewirausahaan masih banyak menghadapi berbagai hambatan karena masih rendahnya kualitas atau mutu sumberdaya manusia. Minimnya kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat terutama mereka yang berada                                                                    3

Buchari Alma, ’fenomena-lembaga-keuangan-mikro-dalam-perspekti-pembangunan-ekonomipedesaan ’, http:// www.scribd.com/doc/331/brs_file/lkm.pdf, diakses pada 12 Juni 2010.

68   di perdesaan namun menggantungkan hidupnya pada kegiatan usaha tertentu, akan menjadi kesulitan besar bagi perkembangan usahanya. Dalam konteks masyarakat desa yang erat kaitannya dengan pendidikan yang rendah juga menjadi sebuah kendala dalam kegiatan usaha. Umumnya masyarakat di desa tidak mempedulikan apakah usaha yang mereka geluti sudah sesuai dengan kebutuhan pasar atau bahkan bagaimana kelanjutan usaha mereka di masa yang akan datang. Kebutuhan mereka untuk menjadi seorang wirausaha tidak lain karena dorongan keterdesakan ekonomi. Minimnya kapasitas serta rendahnya motivasi para pelaku kegiatan usaha di perdesaan seperti petani dan pedagang kecil berpengaruh pula terhadap nilainilai kewirausahaan dalam diri mereka. Seperti halnya para pedagang kecil yang memiliki pengetahuan rendah cenderung akan merasa puas ketika mereka mampu mendapatkan keuntungan sesuai dengan nilai yang mereka harapkan. Padahal keuntungan berupa uang hanyalah sebuah implikasi dari kegiatan usaha, artinya walaupun pada akhirnya yang dijadikan motivasi adalah dari segi uang, namun dalam konsep “kewirausahaan” mengandung makna yang lebih luas lagi yaitu nilai-nilai serta jiwa yang mampu melahirkan sumberdaya manusia yang handal yang mampu menciptakan kreativitas dan inovasi serta semangat kerja yang tinggi. Melihat kondisi di atas, mungkin timbul pemikiran pesimis dan keraguan bahwa usaha-usaha kecil dan usaha rumah tangga terutama yang terdapat di perdesaan tidak akan maju dan berkembang dengan pesat. Namun yang terjadi adalah bahwa usaha kecil tersebut sampai sekarang masih bisa bertahan di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil. Hal ini kemudian menjadi tidak mengherankan karena sebagian dari mereka masih memiliki modal sosial. Menurut Brata (2004), modal sosial memberikan manfaat ekonomis bagi pelaku ekonomi sektor informal baik perkotaan maupun perdesaan. Modal sosial dalam pengertian jaringan-jaringan atau hubungan sosial, merupakan salah satu sumber daya atau modal yang digunakan orang dalam strategi pemecahan persoalan kehidupan sehari-hari. Di saat pekerjaan yang ada tidak memberikan pendapatan yang memadai, maka dicari pekerjaan dimana pada umumnya sangat

69   ditentukan oleh modal sosial yang dimiliki, yaitu keanggotaan dari jaringan sosial individu. Norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Pengertian norma itu sendiri adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu. Norma-norma ini biasanya terinstusionalisasi dan mengandung sanksi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan. Aturan kolektif tersebut biasanya tidak tertulis tapi dipahami oleh setiap anggota masyarakat dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial. Inilah kemudian mengapa aspek norma tidak berpengaruh terhadap nilai kewirausahaan (kreatif, inovatif, keberanian mengambil resiko, dan kepercayaan diri) sebab masyarakat desa cenderung bertindak sesuai dengan pola aturan tertentu. Padahal kewirausahaan memerlukan

tindakan

diluar

kebiasaan.

Menurut

Soesarsono

(2002)

kewirausahaan merupakan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda, serta usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan mengkombinasikan sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda untuk memenangkan persaingan. Francis Fukuyama (1995) dalam Mawardi (2007) menunjukkan hasi-hasil studi di berbagai negara bahwa modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi dan kerekatan hubungan jaringan yang lebih luas tumbuh antar sesama pelaku ekonomi. Modal sosial sangat tinggi pengaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan berbagai sektor ekonomi. Lebih lanjut Saharuddin (2010), menyatakan bahwa pandangan yang selama ini diyakini menjadi penopang utama kegiatan usaha serta kebutuhan pengembangan kewirausahaan masyarakat kecil adalah modal produktif yang terdiri atas rasa percaya, kemampuan dalam membangun jaringan kerja serta kepatuhannya terhadap norma yang berlaku dalam kelompok maupun masyarakat sekitarnya, yang mana modal tersebut memberi keuntungan untuk mengakses modal lainnya (sumberdaya alam, manusia, dan fisik) serta memfasilitasi kerjasama intra dan antar kelompok masyarakat.

70   Modal sosial akan menghasilkan energi kolektif yang memungkinkan berkembangnya jiwa dan semangat kewirausahaan di tengah masyarakat, yang selanjutnya akan mendorong berkembangnya dunia usaha. Baik usaha besar maupun usaha kecil akan tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat yang memiliki tradisi dan nilai kejujuran, terbuka dan memiliki tingkat empati yang tinggi. Modal sosial juga berpengaruh kuat pada perkembangan sektor-sektor ekonomi lainnya seperti sektor perdagangan, jasa, konstruksi, pariwisata dan beberapa yang lain. Apapun pembangunan ekonomi yang dilakukan, faktor kepercayaan, kemampuan mengelola jejaring dan nilai-nilai etis merupakan penopang yang akan menentukan perkembangan dan keberlanjutan beragam aktivitas usaha di setiap sektor perekonomian. 6.2

Peran Modal Sosial dalam Pengembangan Kewirausahaan Berangkat dari kebutuhan masyarakat untuk dapat menjalankan sebuah

usaha banyak hambatan yang seringkali dihadapi oleh pelaku usaha kecil. Mulai berbicara mengenai isu-isu keterbatasan modal manusia (SDM), pengetahuan maupun teknologi sampai pada keterbatasan modal fisik (finansial, struktur dan infrastruktur) dan kesulitan pemasaran (hasil kajian terhadap beberapa penelitian mengenai permasalahan usaha kecil). Fokus pada peningkatan jumlah usaha kecil serta pengembangannya biasanya melupakan pentingnya modal sosial yang ada pada individu maupun kelompok, padahal dengan memperkuat modal sosial, usaha kecil yang sulit untuk bersaing dengan usaha besar akan mampu bertahan dan berkembang untuk keberlanjutan usaha. Dalam kaitannya dengan kewirausahaan, modal sosial kemudian berperan antara lain dalam hal: (1)

Strategi adaptasi dan pertahanan pengembangan usaha Pelaku usaha harus memiliki modal yang penting sebagai penahan

hambatan yang akan dihadapi dalam pengembangan kewirausahaan. Untuk dapat bertahan, pelaku usaha harus mempunyai modal, terutama modal sosial yang cukup untuk dapat digunakan dalam mengembangkan mekanisme pertahanan diri dalam kegiatan kewirausahaan. Mekanisme pertahanan diri ini menjadi semacam strategi adaptasi terhadap hambatan yang datang yang mungkin bisa memperburuk keadaan. Untuk dapat mengembangkan kewirausahaan di

71   masayarakat, maka syarat yang penting untuk dipenuhi adalah dengan modal sosial yang kuat. Penulis menemukan pada kasus Sitorus (1999) yang memaparkan bahwa Etos kerja pengusaha tenun pada dasarnya mengantar anak-anaknya melalui jalur pendidikan menuju posisi sosial yang lebih baik. Etos kerja menurut Weber (1958) seperti yang ditulis oleh Sitorus (1999) adalah nilai utama yang menjiwai kegiatan kerja individu. Sama halnya dengan kasus Ahmad, wirausahawan sukses di Desa Cikarawang, mengungkapkan bahwa nilai-nilai kewirausahaan harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seperti beradaptasi pada setiap kondisi usaha, kemampuan bekerjasama dengan orang lain, bekerja keras, membantu anggota kelompok taninya serta kelompok tani yang lain untuk maju bersama mengembangkan usaha. Memperkuat kelembagaan koperasi atau kelompok tani pun bisa dijadikan sebagai salah satu strategi adaptasi serta pertahanan pengembangan usaha karena dari situ anggota kelompok dapat bekerjasama dan berbagi pengalaman untuk kebutuhan pengembangan kewirausahaan masyarakat. (2)

Pengembangan kapasitas pelaku usaha Pengembangan kapasitas merujuk kepada nilai-nilai positif yang terdapat

dalam diri seseorang. Perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan menjadi lebih baik mampu memunculkan sikap mental untuk mengembangkan kewirausahaan. Dengan adanya modal sosial, Ikatan yang kuat pada seseorang maupun kelompok yang kita percayai sepenuhnya, juga sangat menguntungkan dalam menemukan peluang. Dalam ikatan yang kuat, terdapat kepercayaan sehingga individu juga dapat mempercayai sepenuhnya keakuratan informasi yang datang dari orang tersebut. Kepercayaan dalam keakuratan informasi merupakan hal yang penting untuk penemuan peluang karena wirausahawan membutuhkan akses informasi. Selain itu pengembangan kapasitas pelaku usaha pada salah satu wirausahawan sukses dalam hasil penelitian Saharuddin (2010) di Desa Cikarawang memaparkan bahwa menurut salah seorang warga: “..keterampilan menjadi syarat penting bagi pengelolaan usaha. Namun yang lebih penting lagi adalah kemauan untuk mengembangkan diri...”

72   Tingkah laku kewirausahaan terlihat dari keberaniannya untuk memelihara kelinci. Keberanian mengambil resiko ini merupakan tanda keseriusan beliau dalam mengusahakan kelinci, ia memperoleh pinjaman modal dari Koperasi Gapoktan Mandiri Jaya, Bapak Ahmad. Ia ingin menjadi sukses seperti Ahmad yang dapat berbicara di tempat-tempat lain. Dia pernah bersama Bapak Ahmad, datang ke pertemuan petani kelinci berpikir untuk memperkuat hubungan bisnis ternak kelinci dalam satu wadah. Hal ini ia lakukan karena ia melihat bahwa banyaknya keuntungan yang dapat diperoleh dengan beternak kelinci. (3)

Perluasan Jaringan Sosial Modal sosial juga melihat kemampuan seseorang di dalam mengelola

sumberdaya seperti jaringan sosial. Keaktivan dalam kelompok-kelompok antar tetangga, antar anggota keluarga, atau antar sesama pengusaha kecil merupakan salah satu bentuk modal sosial yang membangun jaringan/ hubungan. Salah satu kasus yang dapat diamati adalah sosok dari desa yang merupakan tokoh wirausahawan Desa Cikarawang, Ahmad, yang memiliki hubungan dengan orang luar cukup luas dengan beragam pihak, seperti pemerintah (lurah, camat, mantan menteri pertanian, staf di Dinas Pertanian), penyuluh, perguruan tinggi (IPB), maupun petani/anggota kelompok tani lain di luar desa. Hal ini berimplikasi pada keuntungan dalam mengambil informasi dan pengetahuan untuk kemudian dibagikan kepada anggota kelompok tani untuk pengembangan usaha mereka. Memperluas jaringan sosial juga sangat berguna dalam kegiatan pemasaran, ketika kita mampu menjalin hubungan baik dengan pihak lain, saat itu pula kita dapat memanfaatkan hubungan tersebut sebagai kebutuhan pengembangan kewirausahaan. (4)

Mempererat Hubungan Kerja Sama Masyarakat yang bekerja di dalam sistem perekonomian semakin yakin

bahwa modal tidak hanya berwujud dalam alat-alat produksi seperti modal uang, tanah, pabrik, alat-alat, dan mesin-mesin, akan tetapi juga berupa modal sosial. Sistem perekonomian dewasa ini pun mulai didominasi oleh ‘pengetahuan’ dan ‘keterampilan’ manusia. Kandungan lain dari konsep ini selain pengetahun dan keterampilan

adalah

kemampuan

masyarakat

untuk

melakukan

asosiasi

(berhubungan) satu sama lain. Kemampuan inilah yang akan menjadi modal

73   penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga bagi setiap aspek pemberdayaan sosial masyarakat. (5)

Peningkatan Kepercayaan Antar Stakeholder Dalam kewirausahaan, modal sosial merupakan salah satu sumber daya

yang dapat digunakan dalam pengembangan usaha. Salah satu fungsi modal sosial dalam kewirausahaan adalah sebagai pemicu tumbuhnya kepercayaan antar individu, serta kepatuhan pada norma-norma yang berlaku di masyarakat. keberhasilan kegiatan usahanya ditunjukkan dari hasil kemampuan individu dalam mengelola kerjasama sehingga dengan kerjasama yang baik maka hal itulah kemudian yang akan memunculkan ketergantungan dan kepercayaan antar stakeholder. Kepercayaan tersebut kemudian termanifestasikan ke dalam bentuk rasa saling memiliki dan keterikatan yang tinggi. Ketika modal sosial dijalankan serta dijadikan dalam pembentukan nilai-nilai individu dalam kegiatan usaha, maka hal itu yang akan membangkitkan kemampuan wirausaha sukses dalam mengorganisir diri, keluarga, dan kelompok dimana ia tergabung. (6)

Membangun Kepedulian Sosial Kewirausahaan pada masyarakat kecil mampu berkembang dengan baik

karena terlihat dari keberfungsian modal sosial yang ditanamkan oleh masyarakat. Kegiatan usaha yang bersumber dari modal sosial yang kuat akan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap sesama terutama anggota dalam kelompok tertentu. Kepedulian sosial dapat ditunjukkan dalam kegiatan yang mungkin terlihat biasa namun berkontribusi besar dalam keberlanjutan usaha mereka seperti, kegiatan arisan, pengajian, dan sebagainya. Artinya adalah ketika seseorang memiliki nilai-nilai maupun jiwa kewirausahaan yang tinggi, maupun mereka yang sukses dalam kegiatan usahanya, seseorang akan cenderung lebih sering terlibat dalam kegiatan sosial misalnya membantu individu lain. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Saharuddin (2010) yang menyebutkan bahwa modal sosial mampu mengikat modal-modal lain seperti uang, teknologi, dan sebagainya sehingga keterlibatan mereka dalam kegiatan sosial pun semakin besar. Dengan menguatkan peranan modal sosial, maka motivasi masyarakat akan semakin besar karena modal tersebut merupakan hal penting yang bisa

74   dijadikan sebagai modal untuk bersaing dan bertahan (survive) dalam kegiatan kewirausahaan agar menjadi manusia yang inovatif dan berdaya saing tinggi. Modal Sosial + Kapasitas Individu

Kapasitas Individu

0,147 0,020 0,944 0,260

Modal Sosial

0,079

Kewirausahaan

0,028

Kepercayaan

0,047 0,122 0,958

Norma 0,886 0,130 Jejaring

0,999 0,999

Motivasi

0,701 0,258

: pedagang kecil

Modal Sosial + Motivasi

Gambar 2.

Keterangan:

0,130*  0,295 0,295**

: anggota kel. tani

Kerangka Pemahaman Regresi untuk Masing-Masing Variabel terhadap Nilai Kewirausahaan

75  

BAB VII PENUTUP   7.1 Kesimpulan Dari uraian di atas, beberapa permasalahan penting yang di bahas, antara lain: (1) Modal sosial berperan besar bagi pedagang dan anggota kelompok tani dalam membentuk nilai-nilai kewirausahaan mereka. Komponen modal sosial yang paling berpengaruh adalah unsur kepercayaan dan jejaring, sedangkan unsur norma tidak berpengaruh sama sekali. Pada unsur jejaring, yang memiliki nilai keberpengaruhan hanya pada pedagang. (2) Tidak ada satupun faktor yang berdiri sendiri yang berperan dalam pengembangan nilai kewirausahaan baik dari segi motivasi maupun kapasitas individu. Namun ketika faktor tersebut didorong oleh faktor modal sosial, terdapat nilai keberpengaruhan pada kapasitas individu. Sedangkan motivasi yang didorong dengan modal sosial masih tetap tidak memberikan pengaruh terhadap pengembangan nilai kewirausahaan. (3)Terdapat perbedaan nilai signifikansi (kekuatan pengaruh) masing-masing faktor tersebut dalam pengembangan nilai kewirausahaan yang telah digambarkan pada gambar 1 mengenai kerangka pemahaman regresi untuk masing-masing

variabel

terhadap

nilai

kewirausahaan.

Data

statistik

menunjukkan bahwa modal sosial memiliki nilai pengaruh yang paling besar diantara semua faktor. Selain itu kepercayaan yang merupakan bagian dari unsur modal sosial, memiliki keberpengaruhan paling besar diantara jejering dan norma. Dibandingkan dengan faktor motivasi, faktor kapasitas individu memiliki nilai signifikansi (keberpengaruhan) yang lebih kecil, artinya pengaruh terhadap nilai kewirausahaan lebih besar dibanding faktor motivasi. Banyak hal yang belum terbahas dari studi ini, karena keterbatasan penulis. Diantaranya karena penulis hanya memfokuskan pada teori-teori dan studi literatur mengenai kewirausahaan dan modal sosial. Terutama peranan dari modal sosial dalam kegiatan perekonomian (kewirausahaan) masyarakat kecil. Teori dari modal sosial dan kewirausahaan juga belum mampu untuk melihat

76   kondisi sosial ekonomi masyarakat desa yang kompleks sehingga belum bisa terbahas secara keseluruhan oleh penulis. 7.2 Implikasi Melihat permasalahan aktivitas usaha dan pengembangan nilai-nilai kewirausahaan pada pedagang kecil dan anggota kelompok tani, maka penulis memiliki beberapa pemahaman mengenai usaha kecil, terutama bagi masyarakat perdesaan, diantaranya modal sosial dapat ditumbuhkan secara formal misalnya melalui penumbuhan asosiasi pedagang untuk memfasilitasi informasi dan komunikasi yang baik. Untuk mengembangkan modal sosial dibutuhkan kepekaan dan usaha untuk membangun hubungan dengan seseorang yang siap membantu, terutama terhadap masalah keuangan atau permodalan. Pentingnya sikap saling menghargai dan menumbuhkan kepercayaan yang merupakan wadah modal sosial untuk berjalan berimplikasi kepada kemampuan dalam penumbuhan nilai-nilai kewirausahaan masyarakat. Desa Cikarawang berpotensi untuk menjadi desa penghasil komoditas pertanian dan produk-produk perdagangan, dimana pengembangan kapasitas dan menumbuhkan motif berprestasi dianggap penting untuk mendukung kemampuan kewirausahaan, disamping menguatkan modal sosial.

77  

DAFTAR PUSTAKA   Aly, Rahmad Iqbal Nurkhalis B. 2005. Pengembangan Kapasitas Petani Miskin melalui Program Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Komunitas (Kasus Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin melalui Inovasi di Desa Langaleso, Kecamatan Dolo, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Alma, Buchari. 2003, Kewirausahaan, Bandung: Alfabeta. Ashari. 2010. ‘Potensi Lembaga Keuangan Mikro dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan dan Kebijakan Pengembangannya.’http.fenomena-lembagakeuangan-mikro-dalam-perspektif pembangunan-ekonomi-pedesaan.html diunduh tanggal 12 Juni 2010. Badan Pusat Statistik 2006, ‘Profil Usaha Kecil di Indonesia Maret 2008.’ www.bps.go.id/brsfile/usaha kecil-01jul08.html diakses tanggal 7 Januari 2011. Brata, Aloysius G. 2004. Nilai Ekonomis Modal Sosial pada Sektor Informal Perkotaan, Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya. Ekowati, Tatik. 2001. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Debitur dalam Pengembalian Kredit dan Penilaian Atribut Lembaga Keuangan yang Ideal (Studi Kasus Pengusaha Kecil di Wilayah Bogor) [Skripsi]. Bogor: Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian IPB. Husaini, 2004. Pengembangan Jiwa Kewirausahaan Melalui Peningkatan Pendidikan Kejuruan di Kabupaten Indragiri Hilir [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Hosmer, D. W. Jr. and Lemshow, Stanley. 1989. Applied Logistic Regression, John Wiley & Sons: New York. Kamal, Tamrin. 1991. Wanita Pengusaha pada Masyarakat Matrilineal dan Peranannya dalam Kehidupan Keluarga dan Masyarakat Luas (Studi Kasus Wanita Pengusaha Konfeksi di Desa Pasir Kecamatan IV Angkat Candung, Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat). [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Marliati, 2008. Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian Petani Beragribisnis (Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau). [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Pemerintah Kabupaten Bogor. 2009. Daftar Isian Potensi Desa dan Kelurahan, Bogor: Kepala Desa Cikarawang.

78   Muhandri, Tjahja. 2009. Manajemen usaha kecil, Bogor: Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni Institut Pertanian Bogor. Riasih, Teta. 2004. Penguatan Kapasitas Pedagang Sayur Keliling untuk Meningkatkan Keberfungsian Mereka (Kasus di Kelurahan Cipamokolan, Kecamatan Rancasari, Kota Bandung). [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Saharuddin, 2010. Tokoh-Tokoh Wirausahawan Desa Cikarawang, Bogor: Laporan Akhir PSA. Sakur. 2006. Pengembangan Spirit Kewirausahaan, Jurnal Spirit Publik, no. 1, hal 21-26. Sari, Latifa Hanum Mutiara. 2010. Pranata dan Modal Sosial dalam Komunikasi Virtual (Studi Kasus Komunitas Virtual Kaskus) [Skripsi]. Bogor: Program Studi Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Sitorus, MT Felix. 1999. Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal Di Indonesia: Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Soesarsono, 2002. Pengantar Kewirausahaan, Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Suandi. 2007. Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Sutanto, Adi. 2002. Kewiraswastaan, Jakarta: Ghalia Indonesia. Tambunan, Mangara. 1998. Usaha Kecil Indonesia: Tantangan Krisis dan Globalisasi. Jakarta: Center for Economic and Social Studies. Tawardi, Bambang. 1999. Sikap Kewirausahaan Anggota Kelompok Belajar Usaha dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhinya [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Vipriyanti, Nyoman Utari. 2007. Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan Antara Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi Wilayah Studi Kasus di Empat Kabupaten di Provinsi Bali [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Widodo, Winarso Drajad. 2005. Jendela Cakrawala Kewirausahaan, Bogor: IPB Press.

79  

       

         

LAMPIRAN

80   Lampiran 1. Kerangka Sampling Pedagang dan Anggota Kelompok Tani Anggota Kelompok Tani “SETIA” Desa Cikarawang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Zakaria Sakri Ujang Sarip Kokom Sahadi Inis Idris Ade Mastam Rahi Amin Suhandi Murnan Agus

16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Abas Adang Nurhadi Ijat H. Adi Ibu Aroh Omad Ibu Arni Aja Dadeng Misnu Mica Saman Darni H. Hambali

31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45

Sahri Aping Mista Sama Adih Sanang Karna Ideih Uca Enjang Arja Juki Jumat Amang Rahmat

Anggota Kelompok Tani “HURIP” Desa Cikarawang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Ahmad bastari Napi Rachman Kuming Effendi Eeng Amran Dedy Asep Titin Matsari Salip Uci sanusi Arsin Musa Marda Sanjong Minin Neneng Arsi

21 Nati

41 Amsar

61 Waty

22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40

42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60

62 63 64 65 66 67 68 69 70 71

Aan Mimin Iyam Emin Nara Amung Supriatna A Encas Mad. Hari Norma yanti Hj. Amas M. nor Nyamsang Pepen s Misnu Iding Atu Ata Kowi

Adon Asan Mat Hari Uci sanusi Manat Jauhari Margani Dede Andi Asep Yanto Asbin mija Samin Jaya Sardi Dapil Embay Acah Sakri

Mija Ade Encat Anita Leli Encas Boang Rasim Supriantuk S Nari

81   Anggota Kelompok Tani “Mekar” Desa Cikarawang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Darjat Sodik Tamin Sapturi Atuy Ari tono Usup Jamhari H. Rahip Sain Rani Nyangsang Beyek Koming Sutirta

16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Harin Karma Genur Rahim Misda Sakri Darta Amdjah Kuming Marhadi Inah Resna Warna Suhandi Sajil

31 Samin

Anggota Kelompok Tani “Subur Jaya” Desa Cikarawang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Senan Urip Andung Dadang Ernad E Sahi Mamid Wahyudin Jaya/saiding Jabar Sapturi Inun Madhari Sala Ari

16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29

Asep Sripudin Jamhari Ernad S Uus/suherman Sarnan Encep/rosyid Ugan suganda Sodik Abas Ita idup Amin darmo Supandi Sahid/solihin Maman

Anggota Kelompok Wanita Tani “Melati” Desa Cikarawang 1 2 3 4 5 6 7

Norma Meri Titin Uus Armi Casmawati Anita

8 9 10 11 12 13 14

Ningtin Nara Nati Mihara Mina Nurlela Arsi arsin

15 16 17 18 19 20

Ade Uning Nani Hj. Amas Atit Yayah Nanah

82   Pedagang di Kampung Carangpulang 1 2 3 4 5 6 7

Ninit Manan Mansyur Jaya Anih Wari Nita

8 9 10 11 12 13 14

Isna Wisnu Soah Dian Yani Ely Teti

Pedagang di Kampung Carangpulang Bubulak 1 2 3 4 5 6 7

Tata Asep Amat Onci Sulaiman Anah Heny

8 9 10 11 12 13 14

Yani Sani Oboy Isah Saat Hilman Asnah

 

Pedagang di Kampung Cangkrang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15          

Anjay Sanah Herni Yati Rina Yanti Hasanah Onih Ikah Saumun Didi Diah Yuli Lukman Ali

16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

Sutandi Khadijah Ece Rokhiah Odah Ramzi Yanti/Anti Uuh Udin Anda Jaja Misna

15 16 17 18 19 20

Nurcahaya Laila Juju Olis Aswin Ndah

83   Lampiran 2. Gambar-gambar Kegiatan Usaha Sektor Perdagangan dan Pertanian

    Gambar 1. Jalan utama Desa Cikarawang  

Gambar 2. Pedagang kue kering sedang membuat kue

      Gambar 4. Miniatur pesawat terbang yang diproduksi pengusaha sukses di Desa Cikarawang

  Gambar 3. Petani yang sedang mengupas ubi dan singkong    

        Gambar 5. Pedagang makanan ringan

  Gambar 6. Anggota kelompok tani yang sedang bekerja sama mengupas ubi

84  

  Gambar 7. Pembuatan dodol

Gambar 8. Diskusi gapoktan, LSM, pemerintah desa, dan perguruan tinggi (IPB) mengenai pupuk organik