KAJIAN MODAL SOSIAL DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN OLEH

Download Cabang-cabang NIE yaitu sejarah ekonomi baru, pilihan publik & ekonomi politik , ... Aliran Ekonomi Kelembagaan Baru ( New Intstitutional Ec...

1 downloads 564 Views 50KB Size
KAJIAN MODAL SOSIAL DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN Oleh: Y.Sunyoto Abstrak Aliran New Intstitutional Economiss (NIE) dimulai tahun-tahun 1930-an dari Cabang-cabang NIE yaitu sejarah ekonomi baru, pilihan publik & ekonomi politik, ekonomi sosial baru, ekonomi biaya transaksi, theori tindakan kolektif dan ekonomi & hukum yang nantinya menghasilkan cabang-cabang modal sosial , teori hak dan ekonomi informasi. Modal sosial yang merupakan cabang ilmu dari NIE menekankan pentingnya transformasi dari hubungan sosial sesaat dan rapuh, seperti pertetanggaan, pertemanan, atau kekeluargaan; menjadi hubungan bersifat jangka panjang yang diwarnai munculnya kewajiban terhadap orang lain. Pertanian identik dengan kemiskinan, oleh karena pemerintah perlu memprioritaskan peningkatan ekonomi rakyat khususnya dibidang pertanian, mendorong produktivitas pertanian yang dapat bersaing dengan produk pertanian lua negeri, sehingga tidak terjadi impor beras, gula, kedelai dll.. Pemberdayaan masyarakat perlu dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pedesaan. Kata kunci: NIE, modal sosial, pemberdayaan masyarakat. PENDAHULUAN Pemerintah telah berusaha untuk menanggulangi kemiskinan dan prioritas pembangunan yang telah dilaksanakan oleh beberapa decade pemerintahan dengan anggaran yang cukup besar, namun kemiskinan masih menjadi masalah utama. Arif Sofianto dkk (2009), penduduk msikin Indonesia tahun 1976 sebesar 40,1%, kemudian tahun 1996 menjadi 11,3%. Akibat terjadinya krisis ekonomi tahun 1997-1998 penduduk miskin kembali naik menjadi 24,2% pada tahun 1998. Jumlah tersebut berangsur turun menjadi 15,97% pada tahun 2005, akan tetapi kembali meningkat di tahun 2006 menjadi 17,75% dan tahun 2007 menjadi 16,58% atau 37,17 juta jiwa. Jika mengacu pada pencapaian MDG’S yaitu menurunkan setengah jumlah penduduk yang memiliki penghasilan dibawah US$ 1 per hari, maka pada tahun 2015 penduduk miskin berkisar 7,5%-12%. Namun jika mengacu pada indikator garis kemiskinan nasional dan mengadopsi indikator beberapa Negara yaitu US$ 2 per hari, saat ini ada lebih dari 41% penduduk miskin. EKONOMI KELEMBAGAAN BARU DAN MODAL SOSIAL Aliran Ekonomi Kelembagaan Baru ( New Intstitutional Economiss disingkat NIE) dimulai tahun-tahun 1930-an dengan ide dari penulis yang berbeda-beda. Menurut Ahmad Erani Yustika (2006), pada tahun-tahun terakhir ini terjadi kesamaan ide yang

mereka usung itu kemydian dipertimbangkan menjadi satu payung yang bernama NIE. Secara garis besar, NIE sendiri merupakan upaya’perlawanan’ terhadap dan sekaligus pengembangan ide ekonomi Neoklasik, meskipun tetap saja dapat terpengaruh oleh ideologi dan politik yang ada pada masing-masing pemikir.Ronald Coase yang memperoleh hadiah Nobel Ekonomi pada tahun 1991 dan merupakan salah satu peletak dasar

NIE,

mengembangkan

gagasannya

tentang

organisasi

ekonomi

untuk

mengimbangi gagasan intelektual kebijakan kompetisi dan regulasi industri Amerika Serikat pada tahun 1960-an yang semua dapat dicapai oleh kebebasan ekonomi dan kewirausahaan. NIE mesarik bagi sebagian pemikir kiri yaitu mereka yang merasa NIE dapat menyediakan dasar intelektual untuk melunturkan dominasi aliran Neoklasik atau aliran sejenisnya yang bertumpu kepada keberadaan pasar bebas. Cabang-cabang dari NIE dapat dibagi dalam dua kategori yaitu: Pertama,sejarah ekonomi baru ( new economic history) dikembangkan oleh North, Fogel dan Rutherford dan aliran pilihan publik ( public choice school), yang dikembangkan oleh Buchanan, Tullock, Olson dan Bates. Kedua, teori ekonomi biaya transaksi ( transaction cost economics) dikembangkan oleh Ronald Coase, Douglass North dan Oliver Wiliamson dan informasi ekonomi ( economics information) yang diperkenalkan oleh oleh Akerlof, Stigler dan Stiglitz. Cabang-cabang NIE yaitu sejarah ekonomi baru, pilihan publik & ekonomi politik, ekonomi sosial baru, ekonomi biaya transaksi, theori tindakan kolektif dan ekonomi & hukum yang nantinya menghasilkan cabang-cabang modal sosial , teori hak dan ekonomi informasi. Dalam mengatasi kemiskinan di Indonesia perlu mengacu pada penelitian modal social dari beberapa negara lain, yang tentunya disesuaikan dengan latarbelakang dan budaya di Inodesia. Robert Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu nilai mutual trust (kepercayaan) antara anggota masyarakat dan masyarakat terhadap pemimpinnya. Modal sosial merupakan institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma (norms),dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan bersama. Lebih jauh Putnam memaknai asosiasi horisontal tidak hanya yang memberi desireable outcome (hasil pendapatan yang diharapkan) melainkan juga undesirable outcome (hasil tambahan).

Sementara Pierre Bourdieu (1970) mendefinisikan modal sosial sebagai “sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus-menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (atau dengan kata lain: keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif”. Modal sosial menekankan pentingnya transformasi dari hubungan sosial sesaat dan rapuh, seperti pertetanggaan, pertemanan, atau kekeluargaan; menjadi hubungan bersifat jangka panjang yang diwarnai munculnya kewajiban terhadap orang lain. Bourdieu (1970) juga menegaskan tentang modal sosial sebagai sesuatu yang berhubungan satu dengan yang lain, baik ekonomi, budaya, maupun bentuk-bentuk social capital (modal sosial) berupa institusi lokal maupun kekayaan Sumber Daya Alamnya. Pendapatnya menegaskan tentang modal sosial mengacu pada keuntungan dan

kesempatan

yang

didapatkan

seseorang

di

dalam

masyarakat

melalui

keanggotaannya dalam entitas sosial tertentu (paguyuban, kelompok arisan, asosiasi tertentu). Lincolin Aryad (2005) menunjukkan bagaimana pengaruh kearifan local (termasuk modal social) terhadap pembangunan ekonomi. Khususnya dalam penyaluran kredit, beberapa BPR ( Bank Perkreditan Rakyat) yang menyerap system dan adat setempat yang merupakan bagian penting dari modal social, justru memiliki kinerja yang lebih baik dari BPR yang mengikuti aturan resmi dari pemerintah. Penelitian yang dilakukan di bali tersebut, mengangkat adat setempat bahwa kepala adat ikut disertakan dalam pemilihan pengurus BPR. Pemilihan pengurus BPR berdasarkan asas musyawarah, sehingga pengurus yang terpilih adalah orang-orang yang jujur, rela berkorban, memiliki intergritas yang tinggi terhadap moral, dan tidak cacat di masyarakat. Hasil penelitian Arsyad tersebut kiranya bias selaras dengan apa yang dikemukakan dengan Hatta (1976) Sen (1981) dan Yunus (2007), bahwa pemberdayaan masyarakat seharusnya memperhatikan masalah kearifan local sebagai salah satu unsur kelembagaan yang sangat penting dan potensial dalam menentukan laju pembangunan. Khusus mengenai keberhasilan Grameen bank di Bangladesh sebenarnya tidak terlepas dari studi awal Yunus di BRI ( Bank rakyat Indonesia) di mana BRI pada mulanya berhasil mengembangkan kredit mikro berdasarkan kondisi setempat di mana persyaratannya begitu mudah dan tanggung jawab pengembaliannya berdasarkan

system tanggung renteng yang sudah begitu akrap dalam khasanah perekonomian Indonesia. Purbayu Budi Santosa (2007) mengemukakan dalam penelitian maupun pengembilan kebijakan harus memperhatikan masalah modal social, yang merupakan unsure kearifan local yang begitu penting. Kegagalan pembangunan pada berbagai daerah

disebabkan

hanya

memperhatikan

aspek

ekonomi

saja,

tanpa

mempertimbangkan masalah modal social yang begitu bernilai pada suatu daerah. Kasus mangkraknya berbagai proyek pembangunan pada berbagai daerah disebabkan dalam pelaksanaannya hanya melihat sebagai “proyek” belaka, yang didalamnya unsur keuntungan begitu menonjol, tanpa memperhatikan masalah modal social yang ada dan hidup di berbagai daerah di Indonesia. Kasus relokasi pedagang kaki lima dan renovasi pasar tradisional yang berhasil di Kota Surakarta dan keberhasilan Kabupaten Purbalingga dalam menjalankan berbagai program pembangunan, karena perhatian pimpinan daerah tersebut terhadap masalah modal social maupun aspek lainnya dari kearifan local yang ada pada masing-masing daerah dengan cirri-ciri yang beragam juga.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEDESAAN Budaya kerjasama dan saling membantu sudah ada dipedesaan yang merupakan warisan nenek moyang kita, dan sumber alam yang berlimpah diperlukan pengelolaan dan pemberdayaan yang optimal tentunya tidak terlepas dari peran serta pemerintah sebagai penentu kebijakan. Penduduk Indonesia sebagian besar tinggal di pedesaan dengan mata pencahariannya adalah pertanian. Oleh karena itu pemerintah perlu memfokuskan pada permasalahan pertanian walaupun juga tidak meninggalkan masyarakat kota yang juga mendukung industrialisasi dan perkembangan teknologi. Pemerintah telah berusaha untuk mengentaskan kemiskinan dengan cara membentuk Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mansiri terdiri dari PNPM Mandiri Pedesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) dan Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW). PNPM Mandiri Pedesaan (PNPM-MD) tergolong strategis karena mencakup sebagian besar daerah dan penduduk Indonesia. PNPM Mandiri

Pedesaan merupakan pengembangan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang telah dilaksanakan sejak tahun 1998.

Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) merupakan penjabaran kegiatan di pedesaan maupun perkotaan kaitannya dengan PNPM yang kegiatannya diantaranya : menyalurkan dana bergulir, bantuan phisik dan bantuan social. Dana yang diberikan oleh pemerintah sangat bermanfaat untuk mendukung pembangunan dalam skala kecil di lingkungan RT dan RW. Bankuan phisik merupakan stimulan sehingga dana pendamping dari warga akan mendukung atas terlaksanya pembangunan phisik. Jika bantuan phisik Rp 10.000.000,- maka dana pendamping akan mendekati itu sehingga nilai phisik menjadi dua kali jumlah dana stimulant bantuan phisik tersebut. Berbeda jika dana pemerintah untuk pembangunan yang dilakukan dengan tender atau lelang, maka dari jumlah anggaran pemerintah, nilai proyek yang tertanam hany sekitar 60%. Hal ini karena biaya-biaya mulai dari perolehan proyek dan biaya siluman lainnya dan ini bukan rahasia umum lagi. Banyak korupsi yang dananya bersumber dari anggaran pembangunan baik yang melalui APBN maupun APBD. Bantuan social yang dikelola oleh BKM dapat langsung diterima oleh yang berhak, baik orang jompo, cacat, pendidikan dan orang yang tidak mampu betul. Kami pernah melakukan pengamatan di Purwodadi dan Klaten, sehingga dapat dipercayainya bantuan tersebut sampai ke tujuan, berbeda jika bantuan itu di berikan melalui badan social pemerintah atau coordinator bencana, yang kebanyakan nyangkut dijalan. UPK adalah unit yang mengelola keuangan atau dana bergulir, yaitu memberikan pinjaman kepada masyarakat dengan bunga yang ringa dan tanpa menggunakan jaminan. Pengelolaan dana ini adalah bersifat social, karena bunga sebetulnya hanya untuk mendukung biaya tenaga dan biaya operasional, tetapi tidak semata-mata mencari keuntungan, berbeda dengan bank komersial.

Pemberdayaan masyarakat pedesaan sebagai upaya pengentasan kemiskinan, pemerintah

perlu

memfasilitasi

masyarakat

pedesaan

dalam

merencanakan,

memutuskan dan mengelola sumberdaya pedesaan yang dimiliki yang akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi dan social. Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan pengembangan dimana

pemberdayaan masyarakat merupakan syarat utama agar dapat membawa masyarakat menuju suatu peningkatan ekonomi. Melalui upaya pemberdayaan, warga masyarakat didorong agar memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secar optimal serta terlibat penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi, social dan ekologinya. Ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana jalan, transportasi, teknologi akan mendorong mekanisme ekonomi pasar, yang sebenarnya telah banyak diupayakan pemerintah dengan tujuan dapat meningkatkan akses petani dalam memasarkan hasil pertaniannya. Namun nampaknya kelembagaan ekonomi yang ada belum dapat sepenuhnya memberikan manfaat kepada petani secara ekonomi. Pembentukan koperasi pedesaan yang diarahkan pada penyediaan sarana produksi dan penjualan produk pertanian di beberapa tempat menunjukkan keberhasilan, namun banyak kasu justru mengalami kegagalan karena tidak melibatkan masyarakat secara penuh. Manfaat dan keuntungan baru dinikami secara signifikan oleh pihak tertentu saja. Idealnya koperasi petani berperan dalam penyediaan sarana produksi, permodalan maupun pemasaran produk lainnya. Secara umum kemampuan social relationship di pedesaan kita masih kuat, hal ini dapat dilihat jika terjadi hal-hal darurat seperti ( kematian, kebakaran, longsor, banjir dan lainnya), pekerjaan pembangunan dan pemeliharaan fasilitas public, pekerjaan terkait dengan permintaan bantuan ( pembangunan rumah, upacara adat, kerja bakti social). Hubungan social di daerah pedesaan pada umumnya msih sangat kuat dan mengakar termasuk kesediaan untuk saling membantu dalam pengerjaan pertanian dan pekerjaan rumah tangga lainnya.

PERMASALAHAN YAG SERING MUNCUL DI PEDESAAN Sumber Daya Manusia (SDM) di pedesaan cukup banyak, namun karena hasil pertanian tidak menjanjikan dan dipandang pekerjaan pertanian terlalu kotor, maka banyak SDM pedesaan yang pergi ke kota untuk bekerja di pabrik bahkan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Akibatnya SDM yang potensial tersebut tidak dapat mengembangkan teknologi pertanian, sehingga pertanian tidak dapat berkembang, disamping itu beberapa

permasalahn pertanian klasik akan selalu muncul yaitu pendapatan yang serab paspasan. Biaya Produksi Pertanian yang selalu tinggi Karena keterbatasan modal petani maka proses pertaniann menjadi mahal, hal ini dikarenakan membeli : bibit , pupuk, obat-obatan yang kesemuanya ini dari waktu kewaktu selalu naik harganya. Kebijakan pengadaan bibit, pupuk dan obat-obatan terkadang ada subsidi pemerintah, namun mekanismenya tidak sesuai yang diharapkan, sehingga banyak petani yang tidak memanfaatkan subsidi pemerintah. Harga jual pasca panen rendah Dalam memasarkan hasil

pertanian

tidaklah dapat berjalan dengan baik, hal ini

dikarenakan harga pasca panen menjadi rendah yaitu sesuai dengan hokum ekonomi, semakin banyak barang yang ditawarkan akan semakin menurun harganya. Permasalahan klasik ini selalu muncul, petani tidak dapat menahan hasil pertaniannya karena harus mencukupi kebutuhannya, disamping itu pemerintah tidak mampu menampung semua hasil petani. Bulog tidak dapat menjalankan tugasnya sebagaimana yang seharusnya, memang Bulog sekarang sudah menjadi Perum. Namun ketika pada saat melakukan tugasnya mengadakan pembelian beras dengan harga dasar yang telah ditetapkan oleh pemerintah tidak dapat sepenuhnya dapat dilakukan, dengan alasan sedang menjalankan mandate permerintah sebagai lembaga penyangga stock pangan nasional, bukannya sebagai perum, karena pembelian beras dari masyarakat adalah tugas bulog lama. Hal inilah yang perlu di luruskan, Perum itu dalam menjalankan kegiatannya tidak sematamata mencar keuangan, tetapi pelayanan kepada masyarakat harus diutamakan.

PRIORITAS PENGENTASAN KEMISKINAN PEDESAAN Bustanul Arifin (2005) mengadakan penelitian mengenai ekonomi kelembagaan pangan di Indonesia. Kerangka dasar yang dipakai adalah historis, hierarki dan ekspektasi dari kelembagaan pangan. Hasil penelitian menunjukkan pentingnya peran pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan system kelembagaan ketahanan pangan. Pentingnya peran lembaga parastatal seperti Bulog menjadi jangkar utama dalam pengadaan pangan dalam negeri serta perbaikan aksesbilitas melalui program beras yang msikin (raskin). Kebijakan yang perlu diambil dalam ekonomi kelembagaan

pangan, jangka pendek adalah terciptanya keseimbangan ketahanan pangan, jangka menengah adalah terjadinya cadangan pangan serta usaha diversifikasi usaha dan penganekaragaman pangan dan jangka panjang perlu pengembangan kelembagaan ketahanan pangan dengan pembagian yang jelas antara pemerintah dan masyarakat. Pembagian beras raskin yang dilakukan oleh pemerintah memang tidak mengatasi masalah, tetapi hanya mengurangi masalah setidaknya masyarakat bias makan sementara. Pada waktu saya menjadi Ketua RW pembagian beras ini juag membut PKK RW pusing, hal ini karena jumlah kartu yang diberikan tidak dimusyawarahkan disamping itu jika jumlah kartu dikalikan dengan besaran yang harus diterima oleh warga juga tidak sesuai, sehingga terpaksa jumlah beras yang diterima tidak sama dengan yang di tetapkan. Mestinya pemerintah jangan memberikan umpannya tetapi kailnya kepada masyarakat yaitu dapat berupa lapangan kerja, baik disektor formal maupun informal sehingga dalam jangka panjang secara perlahan dapat menguarngi kemiskinan. Hal ini memang tidak mudah tetapi kalau ada upaya yang jelas dan tegas oleh pemerintah, tentunya dapat segera diatasi. Ketertarikan dibidang pertanian di tingkatkan dengan cara teknologi pangan, kebijakan yang mendukung petani di berlakukan. Ahmad Erani Yustika (2005) meneliti bagaimana penerapan ekonomi kelembagaan pada masalah industry pergulaan di Indonesia. Dalam penelitiannya biaya transaksi petani tebu menyumbang sekitar 42 persen dari biaya total dan sisanya 58 persen berupa biaya produksi. Selanjutnya Yustika berpendapat kemunduran industry gula nasional disebabkan oleh inefisiensi kelembagaan ( institutional inefficient), baik pada level kebijakan kelembagaan ( institutional environment), maupun kesepakan kelembagaan ( institutional arrangement). Masalah gula yang manis rasanya dan merupakan sejarah kejayaan masa lalu Indonesia, sekarang ini sebagai salah satu kebutuhan pokok dalam pangan sering membuat permasalah besar dalam masyarakat Dilematis impor beras yang dilakukan oleh pemerintah di Indonesia, Jawa Tengah misalnya tahun 2006 mengalami surplus beras, oleh karena itu Wakil Gubernur Jawa Tengah waktu itu Bp.Ali Mufiz waktu itu mengeluarkan kebijakan tidak mengijinkan kapal yang memuat beras impor merapat di pelabuhan-pelabuhan yang ada di wilayah Jawa Tengah. Alasan yang dipakai adalah wilayah Jawa Tengah jangan disamakan dengan provinsi Jawa Tengan termasuk salah satu provinsi sebagai lumbung

beras. Oleh karena itu impor beras mestinya bersifat local. Apabila impor beras dilakukan di Jawa Tengah tentunya berakibat harga beras akan menjadi turun, karena beras impor harganya lebih murah disamping itu akan berakibat merugikan masyarakat petani. Hal yang perlu di pelajari oleh pemerintah adalah mengapa harga beras impor dapat lebih murah?. Kita perlu belajar banyak dari negara Vietnam, karena beras impor dilakukan dari negara tersebut, buah-buahan dari Cina dan Vietnam, padahan sudah ditambah biaya impor, tetapi mengapa masih lebih murah? Bukan Pemerintah melakukan jalan pintah dan mudah hanya tinggal impor, yang manfaatnya hanya dalam jangka pendek tetapi jangka panjanglah yang harus dipertimbangkan. Negara maju terbukti sampai sekarang masih melindungi petaninya dengan cara memberikan subsidinya kepada berbagai input dan outpun pertanian. Bagaimana di Negara kita? Apakah pemerintah masih mensubsidi pertanian? Kelihatannya masih tetapi belum dapat berjalan sebagaimana mestinya dan juga tidak tegasnya pemerintah memberikan sangsi kepada sekelompok orang yang menghambat subsidi pupuk, bibit dan obatobatan. Impor Gula juga dilakukan pemerintah, mengapa? Hal ini sebetulnya dapat kita lihat bahwa pabrik gula yang ada di Indonesia khususnya di jawa Tengan adalah peninggalan Belanda, seperti : pabruk gula Rendeng Kudus, Pabrik gula Pakis dan Pabrik gula Trangkil di Pati serta Pabrik gula di Weleri. Mengapa pemerintah tidak mau membangun pabrik gula baru? Baru tahun 2009 ada pabrik gula di Rembang dan mungkin di daerah lain menyusul. Perlu diketahui bahwa pabrik gula peninggalan belanda sudah terlalu tua, sehingga biaya produksinya terlalu tinggi, sehingga selalu merugi, padahal lahan untuk menanam tebu sangat luas. Jika setiap kabupaten atau dua ada pabrik gulanya paling tidak kebutuhan gula dapat teratasi dan akhirnya di Jawa Tengah tidak akan kekurangan gula Efisiensi Pabrik Gula Rendah Produktivitas da efisiensi mayoritas pabrik gula nasional rendah. Hal itu memicu konflik dengan petani sehingga memperlemah daya saing tebu dengan tanaman lain. Sulit diharapkan produksi gula nasional meningkat dari 2,10 juta ton jadi 3,57 juta ton tahun 2014. Berdasarkan hasil penelitian perkebunan gula Indonesia (P3GI) Pasuruhan Jawa Timur. Tingkat efisiensi pabrik Gula (PG) yang diukur dengan overall recovery (OR) rata-rata kurang dari 80 %. Artinya gula Kristal

yang diperoleh PG hanya mencapai 80%. Negara seperti Brasil, Thailand, dan Australia memiliki OR di atas 90 %. Salah penyebab kurangnya efisiensi PG adalah mesin yang tua. Dari 60 PG yang ada di Indonesia, kebanyakan mesinnya berusia lebih dari 80 tahun. Mesin yang sudah tua menyebabkan rendahmnya rendemenn, proses giling tersendat, biaya produksi tinggi dan kualitas gula rendah.

KESIMPULAN Modal sosial yang merupakan cabang ilmu dari NIE menekankan pentingnya transformasi dari hubungan sosial sesaat dan rapuh, seperti pertetanggaan, pertemanan, atau kekeluargaan; menjadi hubungan bersifat jangka panjang yang diwarnai munculnya kewajiban terhadap orang lain. BKM merupakan penjabaran kegiatan di pedesaan maupun perkotaan kaitannya dengan PNPM yang kegiatannya diantaranya : menyalurkan dana bergulir, bantuan phisik dan bantuan social. Dana yang diberikan oleh pemerintah sangat bermanfaat untuk mendukung pembangunan dalam skala kecil. Konotasi pedesaan identik dengan kemiskinan, oleh karena itu terjadi urbanisasi tenaga kerja Indonesia ke kota maupun ke luar negeri, biaya produksi pertanian yang terlalu tinggi, harga jual beras pasca panen rendah. Bulog tidak dapat menjalankan funfsinya untuk mengendalikan harga beras, sedangkan impor beras masih terus berjalan sehingga harga beras local tidak dapat bersaing. Produktivitas da efisiensi mayoritas pabrik gula nasional rendah, karena mesinya sudah diatas 80 tahun akhirnya menyebabkan rendahmnya rendemenn, proses giling tersendat, biaya produksi tinggi dan kualitas gula rendah.

Daftar Pustaka. Ahmad Erani Yustika. 2005. “ Problems of the Indonesia Sugar Industri: an Institutional Economics Perspective” dalam jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol.20, No.4. Arif Sofianto, dkk, 2009, Jurnal Litbang Privinsi Jawa Tengah- Vol.7 No.2 Bustanul Arifin, 2005. Ekonomi Kelembagaan Pangan. Jakarta: LP3ES. Lincolin Aryad. 2005. “ Institutional do Really Matter: Important Lessons from Village Credit Institutional of Bali dalam JEBI. April.2005.

Purbayu Budi Santosa, 2010, Politik Beras dan Beras Politik, BP Undip Semarang Purbayu Budi Santosa, 2010, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Undip Semarang .