PENGEMBANGAN GALUR MANDUL JANTAN DENGAN TIGA SUMBER SITOPLASMA UNTUK PERAKITAN PADI HIBRIDA
INDRASTUTI APRI RUMANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Galur Mandul Jantan dengan Tiga Sumber Sitoplasma untuk Perakitan Padi Hibrida adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012 Indrastuti Apri Rumanti NIM A263074011
ABSTRACT INDRASTUTI APRI RUMANTI. Development of Cytoplasmic Male Sterile Lines Derived from Three Cytoplasm Sources and Its Use on Hybrid Rice Breeding. Under direction of BAMBANG S. PURWOKO as chairman, HAJRIAL ASWIDINNOOR and ISWARI S. DEWI as members of the advisory committee. Hybrid rice is an alternative technology to increase lowland rice productivity. In Indonesia, hybrid rice was developed through three line system that involved three parental lines i.e. cytoplasmic male sterile lines (CMS), maintainer (B) and Restorer (R). CMS as seed parent should have high pollen sterility, be stable, easy to restore, good in agro-morphology and flower behavior, high in combining ability and resistant to pest and diseases. Intensive use of single source of male sterile cytoplasm (i.e. wild abortive or WA) in developing rice hybrids might lead to genetic vulnerability associated with susceptibility to pests and diseases.A series of experiments were conducted to identify new CMS from three cytoplasm sources (WA, Gambiaca and Kalinga) with high pollen sterility, stable and easy to restore. CMS efectivity on seed production and hybrid rice breeding were studied. The results showed that among doubled haploid population,panicle weight had thelargest contribution to grain weight per hill, as shown by high and positive direct effect value (0.7739) and indirect effect value through number of filled grain per panicle (0.6556), therefore the characters could be usedfor selection of good maintainer lines. H36-3-Mb, H36-3-Mc, H36-4-M, H45-3-Da, B1-2-Pb and B2-2Pb were suitable to be used as new maintainer candidates related to their high number of filled grain and yield. Doubled haploid of B1-1-Mb, B2-1-Db and B2-1M were resistant to Bacterial Leaf Blight (BLB) strain III. B4-1-Dc line was very resistant (score 0) to BLB strain IV and VIII. Six CMS of wild abortive types, one CMS of Gambiaca and three Kalinga types were bred through successive backcrosses. The three types of CMS lines were semi dwarf and having better flowering characters than the check line. The good flowering behavior of the new CMS lines improved seed set up to 25.90% compared to 2.98% of seed set in IR58025A. The new CMS were more effective and easier in its seed production. Phenotype obstacles such as low panicle exertion and short panicle length were improved through GA3 spraying. It increased the yield of seed. The three types of CMS had spesific combining ability to many restorers and yielded high yielding hybrid combination with good heterosis. The results indicated that the yield of hybrids were controlled by overdominant, dominant x dominantor epistasis gene activity. The best hybrid was derived from WA cytoplasm i.e. BI485A/IR53942 (10.21 t/ha), while the best hybrid derived from Gambiaca cytoplasm was BI625A/SMD11 (9.88 t/ha). BI665A/IR53942 was the best hybrid derived from Kalinga cytoplasm, yielded up to 9.15 t/ha. It can be concluded that new CMS derived from WA, Gambiaca and Kalinga cytoplasm were more efective on seed production and hybrid rice development because of their good flower behaviour, resistance to BLB and good specific combiner with restorers. Keywords: cytoplasmic male sterile lines, wild abortive, gambiaca, kalinga, seed production, hybrid rice
RINGKASAN INDRASTUTI APRI RUMANTI. Pengembangan Galur Mandul Jantan dengan Tiga Sumber Sitoplasma untuk Perakitan Padi Hibrida.Dibimbing oleh BAMBANG S. PURWOKO sebagai ketua, HAJRIAL ASWIDINNOOR dan ISWARI S. DEWI sebagai anggota komisi pembimbing. Teknologi padi hibrida merupakan salah satu alternatif dalam usaha peningkatan produktivitas padi sawah.Perakitan padi hibrida di Indonesia menggunakan sistem tiga galur yang melibatkan tiga galur tetua yaitu galur mandul jantan (GMJ), galur pelestari (B) dan galur pemulih kesuburan (R).GMJ merupakan kunci utama dalam pengembangan padi hibrida sistem tiga galur, karena berfungsi sebagai seed parent. GMJ yang baik harus memiliki sterilitas polen sempurna, stabil, mudah dipulihkan fertilitasnya, memiliki karakter agromorfologi dan bunga baik, memiliki daya gabung baik dan tahan terhadap satu atau lebih hama penyakit tropis. GMJ yang digunakan di Indonesia masih didominasi oleh GMJ dengan latar belakang sitoplasma wild abortive (WA). Penggunaan satu tipe GMJ dalam area luas dikhawatirkan dapat menimbulkan kerapuhan genetik, sehingga hibrida menjadi lebih rentan terhadap hama, penyakit maupun perubahan lingkungan yang ekstrim. Serangkaian penelitian dilakukan untuk memperoleh GMJ baru dengan tiga sitoplasma berbeda (WA, Gambiaca dan Kalinga) yang memiliki sterilitas polen sempurna, stabil dan mudah dipulihkan. Efektivitas GMJ dalam produksi benih dan perakitan padi hibrida menjadi target berikutnya dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada populasi galur dihaploid calon pelestari, bobot malai mempunyai kontribusi terbesar terhadap hasil biji per rumpun, terlihat dari nilai pengaruh langsungnya yang positif dan besar (0,7399) dan pengaruh tidak langsungnya melalui jumlah gabah isi per malai yang juga tinggi dan positif (0,6556), sehingga dua karakter ini dapat digunakan sebagai karakter seleksi galur pelestari yang baik. Galur haploid ganda H36-3-Mb, H36-3Mc, H36-4-M, H45-3-Da, B1-2-Pb dan B2-2-Pb sesuai untuk digunakan sebagai calon galur pelestari karena mempunyai jumlah gabah isi per malai dan bobot hasil yang tinggi.Galur DH B1-1-Mb, B2-1-Db dan B2-1-M bereaksi tahan terhadap Hawar Daun Bakteri (HDB) strain III. Galur B4-1-Dc merupakan galur DH pelestari sangat tahan (skor 0) terhadap HDB strain IV dan VIII. Transfer sifat mandul jantan dan silang balik berkelanjutan telah berhasil mengidentifikasi 10 GMJ baru dengan tiga latar belakang sitoplasma berbeda (WA, Gambiaca dan Kalinga). Sepuluh GMJ baru tersebut memiliki sterilitas polen yang sempurna dan stabil.GMJ tipe Gambiaca dan Kalinga lebih cepat mencapai 100% steril dibandingkan GMJ tipe WA.GMJ baru tersebut memiliki tinggi tanaman antara 66 – 107 cm, jumlah anakan kategori sedang dan umur genjah, serta didukung oleh persentase eksersi stigma yang baik. Satu GMJ tipe WA, Gambiaca dan Kalinga bereaksi tahan terhadap HDB strain III, berturut-turut yaitu BI703A, BI855A dan BI669A. Galur BI543A dan BI571A (WA) teridentifikasi tahan terhadap HDB strain VIII. BI665A (Kalinga) memberikan reaksi tahan terhadap dua strain sekaligus, yaitu IV dan VIII, yang merupakan strain paling virulen di Indonesia. GMJ baru tipe WA, Gambiaca dan Kalinga memiliki karakter bunga yang lebih baik dibandingkan IR58025A, seperti stigma besar, persentase eksersi stigma yang tinggi, sudut pembukaan bunga yang lebar dan durasi pembukaan bunga yang lama. Akumulasi perilaku bunga demikian mendukung kemampuan
menyerbuk silang, sehingga seed set GMJ baru dapat mencapai 4,75 – 25,9%, sedangkan IR58025A hanya mencapai 2,98%. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai korelasi positif dan nyata yang ditunjukkan antara seed set dengan lebar stigma (r = 0,44*), eksersi stigma (r = 0,54*) dan sudut membuka lemma dan palea galur mandul jantan (r = 0,42*). Seed set GMJ juga berkorelasi positif dengan panjang filamen (r = 0,47*) dan sudut pembukaan bunga galur pelestari (r = 0,57**). Studi terhadap potensi produksi benih GMJ baru, menunjukkan bahwa GMJ baru tipe WA, Gambiaca dan Kalinga mampu menghasilkan bobot panen benih yang lebih tinggi dibandingkan IR58025A. Kelemahan GMJ baru berupa rendahnya persentase eksersi malai dan malai pendek dapat diatasi dengan penyemprotan 200 ppm GA3. Aplikasi GA3 meningkatkan hasil benih GMJ baru yaitu mencapai 1031,90 kg/ha (WA), 763,34 kg/ha (Kalinga) dan 457,45 kg/ha (Gambiaca). Tiga tipe GMJ baru teridentifikasi memiliki daya gabung khusus dengan berbagai galur pemulih kesuburan, sehingga menghasilkan kombinasi hibrida dengan potensi hasil dan heterosis tinggi baik terhadap tetua terbaik, rata-rata tetua maupun varietas pembanding. Hal ini menunjukkan bahwa bobot hasil padi hibrida dikendalikan oleh aksi gen overdominan, dominan x dominan atau epistasis. Kombinasi hibrida turunan GMJ tipe WA terbaik adalah BI485A/IR53942 (10,21 t/ha), sedangkan hibrida turunan GMJ tipe Gambiaca terbaik adalah BI625A/SMD11 (9,88 t/ha). Hibrida turunan GMJ tipe Kalinga terbaik ditunjukkan oleh BI665A/IR53942 (9,15 t/ha) Dari rangkaian penelitian ini dapat disimpulkan bahwa GMJ baru tipe WA, Gambiaca maupun Kalinga efektif digunakan dalam produksi benih dan perakitan padi hibrida karena memiliki biologi dan perilaku bunga baik, tahan terhadap HDB dan memiliki daya gabung baik terhadap galur pemulih kesuburan yang ada. Diperoleh kombinasi hibrida dengan hasil dan heterosis tinggi dari ketiga latar belakang genetik GMJ. Kata Kunci: galur mandul jantan, wild abortive, gambiaca, kalinga, produksi benih, padi hibrida
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PENGEMBANGAN GALUR MANDUL JANTAN DENGAN TIGA SUMBER SITOPLASMA UNTUK PERAKITAN PADI HIBRIDA
INDRASTUTI APRI RUMANTI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup:
Dr. Ir. Satoto, MS Dr. M Syukur, SP., M.Si.
Penguji pada Ujian Terbuka:
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Dr. Ir. Suwarno, MS
Judul Disertasi
: Pengembangan Galur Mandul Jantan dengan Tiga Sumber Sitoplasma untuk Perakitan Padi Hibrida
Nama
: Indrastuti Apri Rumanti
NIM
: A263074011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir.Bambang S. Purwoko, M.Sc. Ketua
Dr. Ir.Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. Anggota
Dr.Ir. Iswari S. Dewi Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir.Trikoesoemaningtyas, M.Sc.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian: 15 September 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulillaahirabbil’aalamiin.Atas rahmat dan karunia Allah SWT, disertasi ini berhasil diselesaikan dengan baik. Adanya dominasi sitoplasma secara luas di Indonesia menyebabkan kualitas dan hasil padi hibrida hampir sama antar varietas. Terlebih lagi, kekhawatiran terjadinya kerapuhan genetik pada GMJ seperti yang terjadi pada jagung Texas, maka penulis memilih tema Pengembangan Galur Mandul Jantan dengan Tiga Sumber Sitoplasma untuk Perakitan Padi Hibrida. Terimakasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Bambang S. Purwoko MSc., Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor MSc. dan Dr. Ir. Iswari S. Dewi selaku komisi pembimbing yang dengan ikhlas memberikan masukan, arahan, bimbingan, dorongan dan motivasi dalam penulisan disertasi ini. Penulis sampaikan penghargaan sebesar-besarnya kepada Dr. Satoto dan Dr. M Syukur selaku penguji luar komisi dalam ujian tertutup, serta Dr. Trikoesoemaningtyas dan Dr. Suwarno yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi dalam ujian terbuka. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Badan Litbang Pertanian atas dukungan dana beasiswa dan dana penelitian melalui kerjasama Badan Litbang Pertanian& IPB dalam program KKP3T 2007 – 2011 a.n. Prof. Bambang S. Purwoko dkk. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada BB Biogen atas pemberian materi hasil kultur antera dan fasilitas melalui Dr. Iswari S. Dewi sebagai bahan penelitian, serta Pak Iman dan Mbak Yeni yang dengan ikhlas telah membantu penulis selama bekerja di laboratorium dan Rumah Kaca. Penghargaan dan terimakasih, penulis sampaikan kepada Kepala Balai Besar Penelitian Padi (BB Padi) dan ketuatim penelitian padi hibrida BB Padi, Dr. Satoto, atas pemberian materi penelitian, ijin, dukungan dan masukannya. Juga teman-teman peneliti dan teknisi: Murdani, Yuni Widyastuti, Sudibyo, Suwarto, Wasidi, Cecep, Sarmadi, Suardi, Firman, Dede, Nita, Bayu dan Bowo untuk dukungan doa dan tenaganya. Teman-teman seperjuangan di PBT 2007, 2008, 2009 dan 2010 untuk persahabatannya.Terimakasih khusus penulis ucapkan untuk Indria Mulsanti dan keluarga, semoga silaturahmi terus terjaga. Kepada suami tercinta, Didik Ariyanto, Bapak Ibu Wahyuno, Ibu Siswantinah dan ananda terkasih Zaki dan Kayla, juga kakak dan adik tersayang, disampaikan terimakasih atas cinta, doa, dorongan dan kasih sayang yang telah menguatkan penulis dalam melaksanakan semua penelitian dan penulisan disertasi ini. Tiada yang sempurna pada karya manusia, tetapi besar harapan penulis, karya ini dapat bermanfaat dalam pengembangan padi, khususnya padi hibrida di Indonesia. Bogor, Januari 2012 Indrastuti Apri Rumanti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banyumas pada tanggal 27 April 1977 dari Bapak Wahyuno dan Ibu Ambarwati, sebagai anak pertama dari dua bersaudara.Penulis memiliki satu orang adik laki-laki bernama Prastoto Indratmoko. Pada tahun 2000, penulis menikah dengan Didik Ariyanto, S.Pi, M.Si dan dikaruniai dua putra putri, yang diberi nama Zaki Najmudin Furqon Ariyanto dan Kayla Putri Ariyanto. Penulis lulus dari Fakultas Pertanian, Universitas Jendral Soedirman, Program Studi Pemuliaan Tanaman pada tahun 1999. Selanjutnya tahun 2000 penulis mulai bekerja di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi pada Kelompok Peneliti Pemuliaan Padi dan sejak saat itu penulis intensif melakukan penelitian bersama tim padi hibrida. Penulis turut aktif dalam pelepasan varietas padi hibrida sejak tahun 2002 hingga 2011. Sejumlah artikel ilmiah sebagai wujud penyebaran informasi juga telah penulis publikasikan di jurnal maupun prosiding bersama tim peneliti padi hibrida BB Padi. Setelah enam tahun mengabdi di BB Padi, pada tahun 2006 penulis memperoleh kesempatan tugas belajar di Sekolah Pascasarjana IPB program Magister dengan sponsor utama Badan Litbang Pertanian.Pada tahun 2008 penulis berkesempatan untuk mengikuti program alih jenjang, sehingga langsung melanjutkan pendidikan Doktor di IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...............................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................
xvi
PENDAHULUAN ...............................................................................
1
Latar Belakang............................................................................
1
Tujuan Penelitian ........................................................................
4
Hipotesis ......................................................................................
4
Diagram Alur Penelitian ...............................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
7
Asal dan Taksonomi Padi ............................................................
7
Padi Hibrida .................................................................................
9
Sistem Mandul Jantan pada Padi ................................................
12
Uji Daya Gabung .........................................................................
14
EVALUASI GALUR-GALUR DIHAPLOID UNTUK DIGUNAKAN SEBAGAI CALON GALUR PELESTARI ……………………………… Abstrak ........................................................................................
17 17
Abstract.......................................................................................
18
Pendahuluan ...............................................................................
19
Bahan dan Metode ......................................................................
21
Hasil dan Pembahasan...............................................................
26
Kesimpulan ................................................................................
38
TRANSFER SIFAT MANDUL JANTAN DAN PEMBENTUKAN GALUR MANDUL JANTAN MELALUI SILANG BALIK ...................
39
Abstrak .......................................................................................
39
Abstract.......................................................................................
40
Pendahuluan ..............................................................................
41
Bahan dan Metode ......................................................................
42
Hasil dan Pembahasan.............................................................
44
Kesimpulan ..................................................................................
52
KARAKTER BUNGA YANG MENDUKUNG KEMAMPUAN MENYERBUK SILANG GALUR MANDUL JANTAN
53
Abstrak .......................................................................................
53
Abstract.......................................................................................
54
Halaman Pendahuluan ...............................................................................
55
Bahan dan Metode ......................................................................
56
Hasildan Pembahasan..............................................................
58
Kesimpulan .................................................................................
72
POTENSI PRODUKSI BENIH GALUR MANDUL JANTAN BARU TIPE WILD ABORTIVE, GAMBIACA DAN KALINGA ......................
73
Abstrak .......................................................................................
73
Abstract.......................................................................................
74
Pendahuluan ...............................................................................
75
Bahan dan Metode ......................................................................
76
Hasil dan Pembahasan ...............................................................
80
Kesimpulan .................................................................................
85
EVALUASI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS HIBRIDA TURUNAN GMJ TIPE WILD ABORTIVE, GAMBIACA DAN KALINGA MENGGUNAKAN ANALISIS LINI X TESTER ..................
87
Abstrak .......................................................................................
87
Abstract.......................................................................................
88
Pendahuluan ...............................................................................
89
Bahan dan Metode ......................................................................
90
Hasil dan Pembahasan ...............................................................
92
Kesimpulan .................................................................................
114
PEMBAHASAN UMUM ....................................................................
117
KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................
127
Kesimpulan ..................................................................................
127
Saran ..........................................................................................
128
DAFTAR PUSTAKA
129
DAFTAR TABEL Halaman 1
Klasifikasi padi menurut Khush (2000) .....................................
8
2
Galur calon pelestari DH2 hasil kultur antera dari 6 kombinasi persilangan B x B ………………………………………………….
21
3
Skor warna daun berdasarkan SES (IRRI 2002) ……..……….
22
4
Skala sudut daun bendera berdasarkan SES (IRRI 2002) …...
22
5
Skala eksersi malai berdasarkan SES (IRRI 2002) ……………
22
6
Skor keberadaan bulu pada gabah ……………………………..
23
7
Kriteria penilaian ketahanan terhadap hawar daun bakteri (HDB) ……………………………………………….………………
24
8
Analisis ragam (anova) rancangan acak kelompok ……………
25
9
Karakter morfologi dan karakter bunga 19 calon galur pelestari ………………………………………….………………...
27
Nilai rata-rata dan parameter genetik dari delapan karakter pada 19 galur dihaploid calon galur pelestari …………………..
28
Koefisien korelasi pearson antar 7 karakter pada galur-galur dihaploid padi ...........................................................................
30
Pengaruh langsung dan tidak langsung karakter vegetatif dan komponen hasil terhadap hasil biji per rumpun pada galurgalur dihaploid padi ………….……………………………………
31
Nilai rata-rata karakter agronomis dan komponen hasil 19 calon galur pelestari ………………………………………………
34
Hasil uji ketahanan galur dihaploid calon pelestari terhadap hawar daun bakteri ………………………………………………..
35
15
Skor eksersi malai berdasarkan SES (IRRI 2002) ..................
44
16
Skor eksersi stigma berdasarkan SES (IRRI 2002) .................
44
17
Sterilitas polen tanaman F1 hasil persilangan dari 5 GMJ dengan 19 galur DH ………………………………………………
45
10 11 12
13 14
Halaman 18
Karakter sterilitas polen galur mandul jantan baru pada generasi F1 - F1BC5 …………………………………………….
47
Keragaan karakter agronomis, eksersi malai dan eksersi stigma tiga tipe galur mandul jantan baru ………………………
49
Ketahanan galur mandul jantan baru terhadap Hawar Daun Bakteri ……………………………………………………………..
51
Eksersi malai, eksersi stigma, panjang dan lebar stigma, panjang stilus dan warna putik dari tiga tipe galur mandul jantan baru ..............................................................................
60
Panjang antera, filamen, skor anthesis dan warna antera galur pelestari ……………………………………………………
64
Umur berbunga, durasi dan sudut pembukaan bunga serta seed set yang terbentuk pada galur mandul jantan baru dan pelestarinya ……………………………………………………….
68
Korelasi fenotipik sejumlah karakter dan perilaku bunga galur mandul jantan terhadap persentase terbentuknya biji (seed set) …………………………………………………………………
69
Korelasi fenotipik sejumlah karakter dan perilaku bunga galur pelestari terhadap persentase terbentuknya biji (seed set) …..
70
Karakter agromorfologi dan umur berbunga 50% tiga galur mandul jantan baru dan pembanding (IR58025A) pada dua konsentrasi GA3 selama produksi benih galur mandul jantan
80
Sterilitas polen, eksersi stigma, eksersi malai, persentase pengisian biji (seed set) dan produktivitas galur mandul jantan baru dan pembanding (IR58025A) pada dua konsentrasi GA3 selama produksi benih galur mandul jantan ……………………
82
Daftar galur mandul jantan dan restorer yang digunakan dalam pembentukan hibrida .....................................................
90
29
Struktur tabel analisis ragam untuk analisis lini × tester ………
92
30
Nilai kuadrat tengah hasil analisis varians daya gabung pada beberapa karakter padi …………………………………………..
93
Proporsi kontribusi lini, tester dan interaksinya terhadap varians total ……………………………………………………….
95
19
20 21
22 23
24
25 26
27
28
31 32
Efek daya gabung umum tetua hibrida baru pada berbagai karakter …………………………………………………………….
33
Efek daya gabung khusus karakter agromorfologi, komponen hasil dan hasil 75 hibrida baru ………………………………….
96
98
Halaman 34
35 36 37 38
Nilai rata-rata karakter agromorfologi, komponen hasil dan hasil tetua jantan dan betina yang digunakan dalam perakitan hibrida …………………………………………………………….
102
Heterobeltiosis karakter agromorfologi dan komponen hasil 75 hibrida baru …….……………………………………………
103
Heterosis mid parent karakter agromorfologi dan komponen hasil 75 hibrida baru …………………………………………….
106
Heterobeltiosis, mid parent heterosis dan standar heterosis karakter bobot hasil 75 hibrida baru ……………….…………..
111
Karakter agronomi dan standar heterosis karakter hasil hibrida turunan GMJ tipe WA, Gambiaca dan Kalinga ……….
124
DAFTAR GAMBAR
1
Diagram alur penelitian ............................................................
Halaman 5
2
Lintasan evolusi dua species padi budidaya (Khush 2000) .....
9
3
Skema sistem galur mandul jantan pada padi .........................
13
4
Sidik lintas dan korelasi antar karakter pada galur-galur dihaploid padi …………………………………………………….
32
Penampilan DH calon galur pelestari yang sangat tahan (kiri) dan rentan (tengah) serta lesi yang diakibatkan HDB pada tanaman rentan (kanan) …………………………………………
35
Ukuran polen steril (kiri atas), polen fertil yang terwarnai oleh IKI 1% (kiri bawah) dan polen steril yang tidak terwarnai oleh IKI 1% (kanan); pembesaran 40x pada mikroskup binokuler ..
48
Penampilan Galur Mandul Jantan Baru yang tahan terhadap hawar daun bakteri, isolat terisolir pada ujung bekas pengguntingan (lingkaran) ………………………………………
51
Eksersi malai galur pelestari (kiri) dan galur mandul jantan (kanan) ……………………………………………………………
59
Eksersi stigma yang tinggi pada Galur Mandul Jantan Baru (B) dibandingkan dengan eksersi stigma pada IR58025A (A)
63
Proses keluarnya polen dari antera saat antesis. (Sumber: Matsui et al. 1999) ………………………………………………..
65
Kriteria ideal galur pelestari, meliputi filamen panjang, antera kuning dan besar, antera menggugurkan sebagian besar polennya setelah berada di luar bunga …………………………
67
12
Petak percobaan produksi benih 1 pasang GMJ ……………...
77
13
Morfologi stigma GMJ selama reseptif polen …………………..
83
14
Durasi reseptif putik tiga galur mandul jantan baru dan pembanding (IR58025A) pada 0 ppm GA3 (A) dan 200 ppm GA3 (B) selama produksi benih galur mandul jantan ………….
84
Bobot benih GMJ hasil produksi benih pada konsentrasi GA3 0 dan 200 ppm ……………………………………………………
84
5
6
7
8 9 10 11
15
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan terhadap pangan khususnya beras, semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, sedangkan usaha diversifikasi pangan berjalan lambat. Jumlah penduduk pada tahun 2010, 2015 dan 2020 diprediksikan akan mencapai 235 juta, 249 juta dan 263 juta jiwa. Oleh karena itu laju produksi padi nasional harus terus ditingkatkan. Pada tahun 2009 produksi padi nasional mencapai 64,4 juta ton gabah kering giling (GKG) atau meningkat 6,83% dibandingkan tahun 2008. Namun pada tahun 2010, peningkatan produksi padi nasional lebih rendah, hanya mencapai 2,45% dibandingkan tahun 2009 (BPS 2010). Hal ini disebabkan banyaknya bencana kekeringan, banjir dan juga tingkat serangan hama dan penyakit yang tinggi. Teknologi padi hibrida yang memanfaatkan gejala heterosis merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas padi di Indonesia. Padi hibrida menghasilkan pertambahan produktivitas mendekati 15-20% lebih tinggi dibanding varietas padi komersial terbaik. China telah sukses mengaplikasikan teknologi padi hibrida. Area yang ditanami padi hibrida di China saat ini terhitung lebih dari 50% dari total area padi. Penggunaan padi hibrida di China mampu
meningkatkan produksi padi total dari 128 juta ton menjadi 189 juta ton, walau terjadi penurunan luas lahan padi dari 36,5
juta ha pada 1975
menjadi 29,2 juta ha pada 2007. Peningkatan produktivitas pada periode tersebut sangat besar yaitu dari 3,5 t/ha menjadi 6,35 t/ha (FAO 2008). Budidaya padi hibrida juga mulai dilakukan pada skala luas di banyak negara Asia, seperti India dan Vietnam (You et al. 2006). Padi hibrida di Indonesia dikembangkan dengan sistem 3 galur, yang melibatkan tiga galur tetua: galur mandul jantan sitoplasma (GMJ/CMS/A), galur pelestari (Maintainer/B), dan galur pemulih kesuburan (Restorer/R). Padi hibrida merupakan generasi F1 hasil persilangan antara galur mandul jantan sebagai tetua betina dengan galur pemulih kesuburan sebagai tetua jantan, sehingga sifat-sifat varietas padi hibrida ditentukan oleh sifat-sifat dari kedua tetuanya (You et al. 2006). Untuk mendapatkan varietas padi hibrida yang baik dengan sifatsifat yang diinginkan seperti berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap hama serta penyakit utama, perlu dilakukan perbaikan terhadap galur-galur tetuanya,
2
terutama GMJ yang merupakan tetua betina (seed parent) dan menjadi kunci dalam komersialisasi padi hibrida. Galur mandul jantan (galur A/GMJ) dapat diperoleh secara spontan di antara galur hasil pemuliaan yang berasal dari persilangan kerabat jauh (interspesifik) atau melalui mutagenesis (Hanson & Bentolila 2004).
Ada
beberapa tipe galur mandul jantan sitoplasma, antara lain Wild-Abortive (WA), Gambiaca, Kalinga, Dissy, Indonesian-type dan lain-lain. Galur mandul jantan tipe WA merupakan galur yang banyak digunakan dalam pengembangan varietas padi hibrida. Jing et al. (2001) menyebutkan bahwa 90% padi hibrida yang ditanam di Cina menggunakan GMJ tipe WA sebagai tetua betinanya. GMJ tipe WA merupakan GMJ yang dikembangkan pada padi indica dengan sitoplasma yang berasal dari populasi padi liar Oryza rufipogon Griff. (Eckardt 2006).
Di Indonesia, GMJ tipe WA tersebut juga digunakan untuk merakit
beberapa F1 hibrida unggul (Suwarno et al. 2003). GMJ yang digunakan dalam produksi benih padi hibrida tersebut berasal dari IRRI, seperti IR58025A, IR62829A, IR68886A, IR68888A, dan IR68897A. Namun penggunaan satu tipe sitoplasma
yang
sama
untuk
kepentingan
komersial
secara
intensif,
dikhawatirkan akan menimbulkan kerapuhan genetik, seperti kasus Texas cytoplasm pada jagung. Kerapuhan genetik disebabkan oleh sempitnya latar belakang genetik, sehingga tanaman menjadi rentan terhadap penyakit, hama maupun faktor-faktor iklim yang tidak menguntungkan (Pradhan & Jachuck 1999). Karakter yang diinginkan dalam perakitan GMJ adalah laju persilangan alami tinggi, sterilitas tepung sari 100% dan stabil, kemandulannya mudah dipulihkan (easy restorability), mampu menyesuaikan dengan lingkungannya, tahan terhadap hama dan penyakit utama, mempunyai daya gabung yang baik dengan berbagai galur pemulih kesuburan, tanaman sedang (semidwarf), malai keluar sempurna, stigma keluar lebih dari 70%, dan kualitas biji baik. Namun pembentukan GMJ masih banyak mengalami kendala. Sangat sulit mendapatkan GMJ dengan tingkat sterilitas 100% dan stabil di daerah tropika. GMJ hasil introduksi dari IRRI (IR58025A, IR62829A dan IR68897A) mempunyai laju persilangan alami (outcrossing rate/OCR) yang rendah serta rentan terhadap hama dan penyakit utama di Indonesia (Suwarno et al. 2003). BB Padi telah mengembangkan GMJ baru tipe wild abortive yang telah memiliki ketahanan terhadap hama atau penyakit. Diantaranya adalah GMJ3, GMJ4 dan GMJ5 yang
3
memiliki ketahanan terhadap hawar daun bakteri (HDB) dan wereng batang coklat (WBC) (Satoto et al. 2008). Peneliti di BB Padi melaporkan bahwa dari sekitar 1500 tanaman F1 (GMJ x galur-galur elit) yang dievaluasi tingkat fertilitasnya di pertanaman testcross, persentase tanaman dengan sterilitas 100% ternyata sangat kecil, yaitu hanya sekitar 1%, 3% F1 mempunyai fertilitas tinggi, sedangkan 96% lainnya adalah parsial fertil atau parsial steril (Rumanti et al. 2005). Hal ini menunjukkan bahwa transfer sifat mandul jantan tidak mudah, karena sifat mandul jantan dikendalikan oleh interaksi antara sitoplasma yang steril dengan gen-gen male sterile resesif yang ada di dalam nukleus. Perakitan galur mandul jantan memerlukan galur elite yang berpotensi untuk digunakan merakit GMJ. Galur tersebut adalah galur pelestari (maintainer/galur B) yang efektif melestarikan sifat mandul jantan pada GMJ dan sudah beradaptasi dengan lingkungan target. Menurut Virmani et al. (1997), frekuensi ditemukannya galur pelestari diantara galur-galur elite indica (galur indica mendominasi di Indonesia) sangat kecil, yaitu bervariasi antara 010%. Pembentukan dan perbaikan galur pelestari dapat dilakukan dengan persilangan B x B yang keduanya mempunyai sifat baik, kemudian dilanjutkan dengan seleksi terhadap rekombinan terbaik pada generasi F2 – F5.
Untuk
memperoleh mandul jantan baru dari pelestari perlu dilakukan silang balik sebanyak minimal 5 generasi (Virmani et al. 1997). Teknik ini bila dilakukan dengan program pemuliaan biasa, perlu waktu yang sangat lama untuk mendapatkan calon galur pelestari dan galur mandul jantan. Oleh karena itu, kultur antera telah diterapkan untuk pembentukan galur murni yang lebih cepat, efektif dan akurat (Dewi & Purwoko 2011). Dewi et al. (2005) telah memperoleh galur-galur dihaploid hasil kultur antera yang dapat diuji efektivitasnya dalam melestarikan GMJ. Berdasarkan berbagai permasalahan di atas, maka perlu dikaji lebih lanjut mengenai pemanfaatan galur dihaploid calon pelestari hasil kultur antera dalam perakitan galur mandul jantan dengan sitoplasma yang berbeda-beda untuk mengantisipasi timbulnya kerapuhan genetik akibat komersialisasi padi hibrida yang menggunakan hanya satu tipe sitoplasma (tipe WA). GMJ baru yang dihasilkan perlu diuji efektivitasnya dalam produksi benih GMJ maupun perakitan hibrida. Informasi nilai daya gabung, fenomena heterosis, dan heritabilitas hasil dan komponen hasil serta beberapa karakter agronomis penting lainnya juga perlu dipelajari. Daya gabung yang tinggi di antara kedua tetua dapat
4
mendukung perolehan nilai heterosis yang tinggi pada padi hibrida. Serangkaian kegiatan penelitian tersebut disajikan pada Gambar 1. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh GMJ baru dengan tiga tipe sitoplasma yang memiliki karakter bunga baik dan tahan terhadap penyakit Hawar Daun Bakteri untuk pengembangan padi hibrida.
Tujuan Khusus Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengevaluasi karakter agromorfologi, komponen hasil, hasil dan ketahanan terhadap HDB pada galur dihaploid (DH2) calon galur pelestari (2) Memperoleh Galur Mandul Jantan tipe WA, Gambiaca dan Kalinga beserta pelestari pasangannya yang tahan terhadap hawar daun bakteri (3) Mendapatkan GMJ baru yang memiliki morfologi dan perilaku bunga mendukung kemampuan menyerbuk silang alami (4) Memperoleh informasi potensi produksi benih galur mandul jantan tipe WA, Kalinga dan Gambiaca (5) Memperoleh informasi efektivitas tiga tipe galur mandul jantan sitoplasmik baru untuk perakitan padi hibrida (6) Mendapatkan hibrida baru dengan heterosis tinggi Hipotesis 1. Galur mandul jantan baru dapat diperoleh dari populasi dihaploid turunan kultur antera dari persilangan B x B dengan sumber sitoplasma yang berbeda (WA, Kalinga atau Gambiaca) 2. Galur mandul jantan dengan karakter bunga tertentu, akan meningkatkan potensi hasil pada produksi benih GMJ 3. Terdapat GMJ dengan sterilitas polen 100% dan stabil yang mempunyai daya gabung umum dan khusus yang tinggi terhadap galur pemulih kesuburan, sehingga mampu menghasilkan kombinasi hibrida berheterosis tinggi. 4. Kombinasi hibrida yang memiliki heterosis tinggi dapat dirakit dari GMJ baru.
5
Gambar 1. Diagram alur penelitian
TINJAUAN PUSTAKA Asal dan Taksonomi Padi Padi (Oryza sativa L.), seperti halnya gandum, jagung dan barley termasuk dalam famili Graminae (Poaceae) atau rumput-rumputan. Genus Oryza terdiri atas 23 spesies, 21 diantaranya adalah padi liar (wild relatives) yang memiliki genom diploid atau tetraploid, sedangkan 2 lainnya merupakan padi budidaya. Studi variasi karakter morfologi terhadap 16 spesies padi, telah dilaporkan oleh Morishima dan Oka (1960) yang menyatakan bahwa spesies Oryza dapat dibagi ke dalam tiga grup utama, yaitu (1) Oryza sativa dan kerabat dekatnya, (2) Oryza officinalis dan kerabatnya serta (3) spesies kerabat jauh lainnya. Kush
(2000)
melakukan
klasifikasi
ulang
terhadap
spesies
Oryza
berdasarkan jumlah kromosom, komposisi genom dan daerah penyebarannya (Tabel 1). Spesies padi liar seperti O. nivara dan O. glaberrima dilaporkan banyak mengandung gen-gen bermanfaat yang dapat ditransfer ke genom padi budidaya (O. sativa). Introgresi gen-gen bermanfaat tersebut dapat dilakukan melalui hibridisasi interspesifik (Brar et al. 1996). Menurut Kush (2000), berdasarkan tingkat kemudahan transfer gen-gen dari spesies liar ke spesies budidaya, spesies padi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga gene pool. Gene pool utama terdiri atas sejumlah spesies liar, yaitu O. rufipogon, O. nivara, O. glumaepatula, O. meridionalis, O. breviligulata, O. longistaminata serta dua spesies budidaya, yaitu O. sativa dan O. glaberrima. Kelompok ini memiliki genom AA dan transfer gen antar spesies ini dapat dilakukan melalui persilangan dan metode seleksi tertentu. Gene pool sekunder adalah spesies kelompok O. officinalis komplek. Persilangan antara O. sativa dan spesies-spesies dalam kelompok ini lebih sulit dilakukan dan harus menggunakan bantuan teknik penyelamatan embrio (embryo rescue). Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan homologi antara genom AA (O. sativa) dengan genom BB, CC, CCDD, EE dan FF (spesies padi liar), sehingga jumlah gen yang dapat ditransfer terbatas. Gene pool tersier terdiri atas kelompok O. meyeriana, O. ridleyi dan O. schlechteri. Persilangan antara O. sativa dengan kelompok ini sangat sulit dilakukan dan transfer gen antar spesies ini jarang dilakukan.
8
Tabel 1 Klasifikasi Padi menurut Khush (2000)
9
Oryza sativa terdiri atas banyak subspesies dan telah terdistribusi ke seluruh dunia. Dikenal dua grup varietas padi yaitu indica dan japonica, kedua grup ini memiliki banyak perbedaan karakter dibandingkan antar varietas tipikalnya, tetapi variasinya saling overlap. Kedua grup ini telah dikarakterisasi berdasarkan resistensinya, panjang bulu di apikulus dan reaksinya terhadap phenol. Morinaga (1954) dalam Kush (2000) mengusulkan adanya grup ketiga yang terdiri atas varietas bulu dan gundil dari Indonesia. Grup ini disebut javanica, dan Galszmann (1987) dalam Kush (2000) menyatakan bahwa javanica berada di antara grup japonica berdasarkan analisis isozym. Saat ini javanica dikenal sebagai tropical japonica, sedangkan typical japonica disebut sebagai temperate japonica (Gambar 2).
Gambar 2 Lintasan evolusi dua species padi budidaya (Kush 2000)
Padi Hibrida Padi hibrida di Indonesia dikembangkan dengan sistem 3 galur, yang melibatkan tiga galur tetua meliputi galur mandul jantan sitoplasmik, galur pelestari dan galur pemulih kesuburan. Padi hibrida merupakan generasi F1 hasil persilangan antara galur mandul jantan sebagai tetua betina dengan galur pemulih kesuburan sebagai tetua jantan, sehingga sifat-sifat varietas padi hibrida ditentukan oleh sifat-sifat dari kedua tetuanya. Tetua-tetua yang superior dapat meningkatkan penampilan agronomis dan bobot hasil hibrida turunan berbagai kombinasi persilangan antara galur mandul jantan dan galur pemulih kesuburan
10
(You et al. 2006). Oleh karena itu, untuk mendapatkan varietas padi hibrida yang baik dengan sifat-sifat yang diinginkan seperti daya hasil tinggi (ditunjukkan oleh nilai heterosis yang tinggi), dan tahan terhadap hama dan penyakit utama, maka penelitian padi hibrida diutamakan pada proses perbaikan galur-galur tetua padi hibrida serta proses pembentukan kombinasi persilangan yang menghasilkan produksi dan heterosis tinggi. Padi hibrida dikembangkan dengan memanfaatkan adanya fenomena heterosis yang menyebabkan produksi yang lebih tinggi dibanding galur murni. Beberapa hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan dasar genetis dari heterosis. Hipotesis dominansi (Bruce 1910 diacu dalam You et al. 2006) menjelaskan faktor dominan salah satu tetua menutupi gangguan mutasi resesif tetua lain pada populasi F1 heterosigos.
Sebaliknya hipotesis overdominan
(Shull 1908 diacu dalam You et al. 2006) percaya bahwa heterosigositas pada lokus tunggal lebih superior dibanding yang homosigos. Kedua hipotesis tersebut telah diverifikasi melalui penelitian biologi molekuler (Stuber et al. 1992; Xiao et al. 1995). Hipotesis ketiga menduga bahwa heterosis mungkin akibat terjadinya epistasi antara alel-alel pada lokus yang berbeda (Yu et al. 1997; Goodnight 1999). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa epistasis merupakan penyebab utama heterosis secara genetik (Li et al. 2001; Luo et al. 2001). Penelitian dan pengembangan padi hibrida pertama dilakukan oleh peneliti China pada tahun 1964. Galur mandul jantan pertama dikembangkan pada tahun 1972 yang ditemukan pada tanaman mandul jantan steril pada populasi padi liar. Padi hibrida komersial pertama dikenalkan pada tahun 1976. Padi hibrida tersebut memberikan kenaikan hasil sebesar 20% dibandingkan varietas unggul yang ada. Penelitian padi hibrida di daerah tropis dimulai di IRRI, Philipina, pada tahun 1978 dengan mengintroduksi beberapa padi hibrida komersial dari China seperti Shan You 6, Wei You 6 dan Shen You 2. Namun tidak satupun yang menunjukkan kelebihan hasil terhadap varietas pembanding, seperti IR36 dan IR42. Hal ini disebabkan terutama karena varietas-varietas hibrida China tidak mampu beradaptasi terhadap kondisi tropis dan rentan terhadap hama dan penyakit yang ada di daerah tropis. Untuk mengatasi hal tersebut, IRRI melakukan penelitian lebih intensif sehingga berhasil memperoleh galur-galur restorer tropis, dan hibrida hasil persilangan GMJ asal China dengan restorerrestorer tersebut menunjukkan heterosis terhadap IR36 dan IR42. Namun komersialisasi hibrida tersebut masih sulit dilakukan karena terkendala oleh
11
kerentanan GMJ China terhadap hama dan penyakit (Virmani & Kumar 2004). Oleh karena itu IRRI menitikberatkan penelitian padi hibrida terutama pada perakitan galur-galur tetua padi hibrida dan telah banyak menghasilkan kombinasi hibrida unggul yang telah dilepas sebagai varietas di banyak negara, termasuk Indonesia. Suksesnya penelitian dan pengembangan padi hibrida di China dan IRRI, mendorong Indonesia mulai mengintensifkan pemuliaan padi hibrida pada tahun 1998, dengan menguji bahan pemuliaan introduksi dan perakitan galur tetua serta membentuk berbagai kombinasi hibrida sendiri (Badan Litbang 2007). Indonesia, dalam hal ini Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) berhasil melepas varietas hibrida pertama pada tahun 2002, yaitu Maro dan Rokan. Kedua varietas tersebut merupakan hasil introduksi dari IRRI. Varietas pertama yang menggunakan tetua jantan lokal Indonesia pertama dilepas pada tahun 2007, yaitu Hipa6 Jete. Sampai tahun 2010, di Indonesia telah dilepas 69 varietas hibrida dan 17 diantaranya dilepas oleh BB Padi, sedangkan varietas lainnya dilepas oleh perusahaan swasta nasional maupun multinasional yang ada di Indonesia seperti PT BISI, Kondo, Bangun Pusaka, KNB Mandiri, Makmur Sejahtera, Bayer, DuPont, Primasid, Tri Usaha Sari Tani, Sang Hyang Seri, Sumber Alam Sutra, Biogene Plantation, Metahelix dan Advanta Indonesia. Semua varietas hibrida yang telah dilepas menunjukkan heterosis pada karakter hasil terhadap IR64 dan Ciherang, tetapi sebagian besar varietas tersebut tidak memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit padi di negara tropis. Selain sistem tiga galur, terdapat dua sistem yang dapat digunakan dalam pengembangan padi hibrida, yaitu sistem dua galur dan sistem satu galur. Sistem satu galur adalah penggunaan sistem apomiktik (tanpa pembuahan), namun sampai saat ini masih dalam skala penelitian.
Sistem dua galur
melibatkan penggunaan galur mandul jantan TGMS/Temperature-sensitive Genic Male Sterility dan galur fertil. Keuntungan sistem ini adalah (1) tidak memerlukan galur pelestari dalam produksi benih TGMS, (2) semua galur fertil dengan sifatsifat yang baik dapat digunakan sebagai tetua jantan dalam produksi benih hibrida, dan (3) potensi heterosisnya lebih besar dibanding sistem tiga galur (Virmani et al. 2003). Sistem dua galur sebenarnya cocok untuk digunakan di daerah tropis, tetapi anomali iklim yang sering terjadi di daerah tropika seperti Indonesia menjadi kendala. TGMS akan menjadi normal (fertil) ketika temperatur kurang dari 300C
12
(Liu et al. 1998), dan di Indonesia sering sekali terjadi pergantian temperatur yang sangat ekstrim, karena itu sistem tiga galur masih merupakan sistem yang dapat diterapkan.
Sistem Mandul Jantan pada Padi Mandul jantan sitoplasmik adalah kondisi dimana tanaman tidak mampu memproduksi polen/tepung sari fungsional. Mandul jantan merupakan karakter yang diwariskan secara maternal, dan biasanya terkait dengan adanya gangguan pada open reading frame (ORF) di genom mitokondria (Hanson & Bentotila 2004).
Pada banyak kasus, termasuk padi, kesuburan mandul jantan dapat
dipulihkan oleh gen-gen nukleus yang mengkode fertility restoration (gen Rf) yang terdapat pada galur pemulih kesuburan (Restorer/galur R). Sistem mandul jantan sitoplasmik terjadi karena adanya interaksi antara genom nukleus dan mitokondria.
Dalam hal ini, sterilitas akibat gen mitokondrial menyebabkan
disfungsi sitoplasmik, sedangkan gen-gen nukleus akan menekan disfungsi sitoplasmik tersebut (Ekcard 2006). Penggunaan galur mandul jantan merupakan prasyarat untuk eksploitasi heterosis pada padi. Cytoplasmic-genetic male sterility (CgMS/CMS) telah digunakan secara luas untuk mengembangkan padi hibrida. Pistil galur mandul jantan tumbuh normal dan dapat memproduksi biji bila diserbuki oleh polen normal. Jika faktor genetik yang menginduksi kemandulan tersebut tidak ada dalam sitoplasma maka tanaman menjadi normal (male fertile). Jika terdapat tanaman normal (male fertile) yang memiliki faktor pengendali kemandulan pada sitoplasma dan gen inti yang memulihkan kesuburan bersifat resesif, maka tanaman tersebut dapat mempertahankan sifat mandul jantan. Tanaman atau galur tersebut disebut galur pelestari (maintainer line) yaitu suatu galur yang mempunyai sitoplasma normal tetapi gen inti yang berkaitan dengan pemulihan kesuburan resesif, galur ini berfungsi untuk melestarikan keberadaan galur mandul jantan pasangannya.
Adanya gen
restorer dominan di nukleus pada suatu galur mengakibatkan galur tersebut mampu memulihkan kesuburan pada hibrida hasil persilangan antara galur tersebut dan galur CMS. Galur ini disebut sebagai galur pemulih kesuburan atau restorer. Pada sistem tiga galur, galur mandul jantan selalu diperbanyak dengan cara menyilangkannya dengan galur pelestari, baik secara manual (hand
13
crossing) untuk produksi benih skala kecil, maupun melalui persilangan alami pada plot terisolasi untuk produksi benih dalam skala besar.
Galur mandul
jantan dan galur pelestari selalu sama secara morfologi, hanya galur mandul jantan steril sedangkan galur pelestari fertil. Namun kadang-kadang, kedua galur tersebut juga menunjukkan beberapa sifat morfologi dan agronomis yang berbeda karena dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada di dalam sitoplasma yang menginduksi mandul jantan (Virmani et al. 1997).
Restorer yang
mempunyai gen pemulih kesuburan (Rf) dominan, ketika disilangkan dengan GMJ akan menghasilkan F1 hibrida yang fertil. Perbanyakan benih galur pelestari dan pemulih kesuburan dilakukan seperti perbanyakan padi biasa, karena kedua galur ini fertil dan mempunyai bunga sempurna.
Gambar 3 Skema sistem galur mandul jantan pada padi Galur mandul jantan diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria, antara lain (1) berdasarkan perilaku genetik dari gen ms, GMJ dibedakan menjadi dua tipe yaitu GMJ sporofitik dan gametofitik.
Pada GMJ sporofitik,
sterilitas atau fertilitas polen ditentukan oleh genotipe dari sporofit sedangkan genotipe gametofit (polen) tidak berpengaruh sama sekali. Beberapa GMJ yang tergolong tipe ini antara lain wild-abortive (WA) dan Gambiaca (Gam). Pada kedua GMJ tersebut, gugurnya polen terjadi pada fase awal perkembangan mikrospora. Fertilitas GMJ gametofitik secara langsung ditentukan oleh genotipe gametofit (polen) saja tanpa dipengaruhi oleh genotipe sporofit. Pengguguran polen biasanya terjadi di fase akhir perkembangan mikrospora. GMJ dengan
14
sitoplasma Boro-type termasuk dalam tipe ini; (2) berdasarkan pola pelestarianpemulih kesuburan dari GMJ, terdapat tiga tipe galur mandul jantan yaitu WA, Honglian dan Boro type (BT); dan (3) berdasarkan morfologi polen, GMJ digolongkan ke dalam tipe typical abortion, spherical abortion, dan
stained
abortion. GMJ tipe typical abortion mempunyai bentuk polen tidak beraturan dan pengguguran polen biasanya terjadi pada fase uninukleat, sedangkan tipe spherical abortion mempunyai polen berbentuk agak lonjong dan polen gugur kira-kira saat fase binukleat. Terakhir, bentuk polen tipe stained abortion juga agak lonjong tetapi agak lebih kecil dibanding polen normal dan polen gugur saat fase trinukleat (Yuan et al. 2003). Galur mandul jantan yang berkembang di Indonesia hampir seluruhnya mempunyai sumber sitoplasma yang sama, yaitu Wild Abortive (WA). Apabila galur
ini
digunakan
secara
terus-menerus,
ada
kekhawatiran
akan
mengakibatkan kerapuhan genetik padi hibrida terhadap hama dan penyakit padi yang kemudian akan menyebabkan ledakan populasi hama dan penyakit, sama seperti yang pernah terjadi pada jagung hibrida (kasus Texas CMS). IRRI telah mengembangkan beberapa galur mandul jantan dengan sumber sitoplasma yang berbeda antara lain Gambiaca, Dissi, ARC, Kalinga, Hong Lian, Indonesian Paddy (IP) dan beberapa sumber sitoplasma dari padi liar seperti Oryza rufipogon dan O. perennis. Namun di Indonesia sumber-sumber sitoplasma di atas belum digunakan dalam pembentukan dan produksi padi hibrida, karena belum teridentifikasi galur pemulih kesuburan yang cocok berkombinasi dengan GMJ dengan sumber-sumber sitoplasma di atas. Uji Daya Gabung Keberhasilan setiap program pemuliaan tanaman tergantung pada pemilihan genotipe tetua yang tepat untuk program persilangan, disesuaikan dengan target pemuliaan. Studi daya gabung tetua-tetua yang digunakan dalam program pemuliaan memberikan informasi yang dapat membantu pemulia melakukan seleksi terhadap tetua yang lebih baik untuk digunakan dalam program pemuliaan, sehingga program tersebut menjadi lebih efektif. Daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK) dapat menjadi indikator penting dalam evaluasi nilai potensial masing-masing galur tetua dalam kombinasi hibrida. Daya gabung merupakan ukuran kemampuan suatu galur atau tetua yang bila disilangkan dengan galur lain akan menghasilkan hibrida
15
dengan
penampilan
superior.
Nilai
masing-masing
galur
terletak
pada
kemampuannya untuk menghasilkan keturunan unggul bila dikombinasikan dengan galur-galur lain (Allard 1960). Daya gabung umum (general combining ability) adalah nilai rata-rata galurgalur dalam seluruh kombinasi persilangan bila disilangkan dengan galur-galur lain. Daya gabung umum (DGU) menggambarkan peranan dan interaksi yang kuat antar efek genetik aditif pada populasi dasar, sedangkan efek daya gabung khusus memberi ilustrasi mengenai variasi non-aditif (Falconer 1983). Nilai DGU yang tinggi menunjukkan tetua atau galur yang bersangkutan mempunyai kemampuan berkombinasi dengan baik, sedangkan nilai DGU yang rendah menunjukkan bahwa tetua tersebut mempunyai kemampuan berkombinasi yang lebih buruk dibanding tetua lain. Nilai DGU dapat positif atau negatif, tergantung pada karakter yang diamati dan cara menilainya.
Nilai daya gabung dapat
memberikan informasi mengenai kombinasi-kombinasi yang dapat menghasilkan turunan yang berpotensi hasil tinggi, yang ditunjukkan oleh diperolehnya heterosis dan nilai daya gabung yang besar. Daya gabung khusus (specific combining abillity atau DGK) adalah penampilan kombinasi pasangan persilangan tertentu. Nilai daya gabung khusus baik apabila nilai pasangan persilangan tertentu lebih tinggi dibanding nilai ratarata keseluruhan persilangan yang terlibat (Poehlman & Sleper 1990). Persilangan-persilangan yang memiliki nilai daya gabung khusus tinggi sangat berpotensi untuk dieksploitasi efek heterosisnya dan dapat dikembangkan sebagai varietas hibrida. Evaluasi persilangan antar galur inbred merupakan langkah penting dalam pengembangan padi hibrida. Secara ideal, proses ini sebaiknya dilakukan melalui evaluasi terhadap semua kemungkinan persilangan yang terjadi, sehingga dapat diketahui kombinasi yang sangat sesuai untuk disilangkan agar dapat menghasilkan suatu varietas yang baik. Analisis daya gabung yang banyak digunakan adalah lini x tester dan diallel (Singh & Chaudary 1979). Analisis dialel umum dilakukan menggunakan populasi persilangan galur-galur murni, dan telah banyak diterapkan pada banyak tanaman. Analisis daya gabung umum dan khusus yang melibatkan galur mandul jantan pada padi lebih umum dilakukan menggunakan metode lini x tester (Swamy et al. 2003; Sao & Motiramani 2006; Tiwari et al. 2011).
16
EVALUASI GALUR-GALUR DIHAPLOID UNTUK DIGUNAKAN SEBAGAI CALON GALUR PELESTARI Abstrak Perakitan galur mandul jantan sangat penting perannya dalam pembentukan varietas padi hibrida berheterosis tinggi. Untuk memperoleh galur mandul jantan baru, perlu dilakukan seleksi calon galur pelestari dan silang balik berkelanjutan terhadap donor sitoplasmik. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi karakter agromorfologi, komponen hasil dan hasil serta karakter bunga galur-galur dihaploid calon galur pelestari hasil kultur antera dan (2) mengevaluasi ketahanan galur-galur dihaploid calon galur pelestari terhadap penyakit hawar daun bakteri. Sembilan belas galur dihaploid generasi kedua (DH2) diuji menggunakan rancangan acak lengkap yang diulang 4 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter bobot malai, jumlah gabah isi per malai dan hasil biji per rumpun mempunyai nilai KVG tertinggi. Nilai heritabilitas arti luas kategori tinggi ditunjukkan oleh karakter tinggi tanaman, umur berbunga, bobot malai, jumlah gabah isi per malai, bobot 1000 butir dan hasil biji per rumpun. Dari seluruh karakter yang diuji, bobot malai mempunyai kontribusi terbesar terhadap hasil biji per rumpun, terlihat dari nilai pengaruh langsungnya yang positif dan besar (0,7399) dan pengaruh tidak langsungnya melalui jumlah gabah isi per malai yang juga tinggi dan positif (0,6556). Jumlah anakan produktif juga memberikan korelasi yang positif dan tinggi secara langsung terhadap hasil biji per rumpun. Karakter jumlah anakan produktif, bobot malai dan gabah isi per malai dapat digunakan sebagai karakter seleksi galur pelestari yang baik. Semua galur dihaploid yang diuji kecuali B4-1-Da dan B4-1-Dc sesuai untuk digunakan sebagai calon galur pelestari berdasarkan bobot malai yang tinggi (≥ 2,99 g), jumlah gabah isi per malai (>125 butir/malai) dan bobot hasil yang tinggi (>19 g/rumpun). Pada percobaan inokulasi menggunakan inokulum hawar daun bakteri patotipe III, terdapat tiga galur DH pelestari bereaksi tahan (skor 1), diantaranya adalah B1-1-Mb, B2-1-Db dan B2-1-M. Galur B4-1-Dc merupakan galur DH pelestari yang bereaksi sangat tahan (skor 0) terhadap Xoo patotipe IV, dan dua galur DH pelestari menunjukkan reaksi yang sangat tahan terhadap Xoo patotipe VIII, yaitu H36-4-M dan B4-1-Dc (skor 0). Karakter sembilan belas galur DH pelestari bervariasi, sebagian besar memiliki morfologi yang mendukung perolehan hasil tinggi seperti warna daun yang hijau tua, eksersi malai sempurna dan posisi daun bendera yang tegak. Kata kunci: dihaploid, sidik lintas, galur pelestari, hawar daun bakteri, padi
18
Abstract Breeding of male sterile lines is important in hybrid rice development. It is done through selection of maintainer candidate lines and successive backcrosses to cytoplasmic donors. The aims of this research were to evaluate several agronomic characters, yield components and yield of doubled haploid maintainer candidate lines, and to study their resistance to three pathotypes of bacterial leaf blight pathogens (Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo)). Nineteen dihaploid lines (DH2) were tested using completely randomized design with 4 replications. The results showed that panicle weight, filled grain per panicle and grain weight per plant had the highest genotype coefficient of variance (GCV). High broad sense heritability value was shown by plant height, flowering time, panicle weight, 1000 grain weight and grain per plant. The direct correlation value of panicle weight to yield per plant was high and positive (0.7399). Indirect correlation through filled grain per panicle was also positive and high (0.6556). The number of panicle per plant also gave positive and high correlation directly to grain weight per plant. It was shown that panicle number per plant, panicle weight and filled grain per panicle had the highest contribution to yield per plant, therefore the characters could be used as selection criteria of good maintainer. All of dihaploid lines except B4-1-Da and B4-1-Dc can be used as maintainer candidate lines, based on their panicle weight (≥ 2.99 g), high filled grain per panicle (> 125 grain/panicle) and yield per plant (> 19 g/plant). There were three dihaploid lines resistant to Xoo pathotype III (score 1), i.e. B1-1-Mb, B2-1-Db and B2-1-M. B4-1Dc were dihaploid lines highly resistant to BLB pathotype IV (score 0), and two lines were highly resistant to pathotype VIII, i.e. H36-4-M and B4-1-Dc (score 0). Morphology of nineteen maintainer candidate lines were varied and suitable for supporting high yield, such as dark green leaves, good panicle exertion and erect flag leaf. Key words: dihaploid, path analysis, maintainer lines, bacterial leaf blight, rice
19
Pendahuluan Teknik kultur antera merupakan teknologi yang banyak digunakan untuk percepatan perakitan galur murni yang homozigos. Tanaman-tanaman dihaploid yang dihasilkan melalui kultur antera bersifat homozigos penuh dan breed true, karena kedua kopi informasi genetik pada tanaman-tanaman tersebut identik. Individu tanaman yang dihasilkan oleh mikrospora yang sama akan mempunyai karakter agromorfologi yang sama pada generasi selanjutnya (Dewi & Purwoko 2001). Tanaman homozigos atau galur murni dengan sifat-sifat yang unggul sangat diperlukan dalam pemuliaan tanaman. Tanaman homozigos akan memudahkan seleksi fenotipe terhadap karakter-karakter kuantitatif tanpa disulitkan oleh hubungan dominan resesif seperti pada tanaman heterozigos. Tercapainya galur murni pada keturunan pertama menyebabkan siklus pemuliaan dapat lebih singkat karena dapat menghilangkan sebagian besar kegiatan seleksi per generasi (6-8 generasi) yang umum pada pemuliaan konvensional (Dewi et al. 1996). Dewi & Purwoko (2011) menyatakan bahwa sangat mudah untuk membedakan tanaman haploid dari dihaploid pada generasi awal (DH0), yaitu melalui perbedaan dalam bentuk tanaman (stature), warna daun, bentuk daun, perkembangan anakan dan akar, pembentukan biji, serta jumlah dan ukuran stomata. Oleh karena itu, evaluasi terhadap karakter target pada tanaman dihaploid hasil kultur antera dapat dilaksanakan dengan mudah menggunakan metode seleksi konvensional. Kriteria agromorfologi dalam pemilihan galur pelestari antara lain malai keluar sempurna dari seludang daun bendera, filamen harus panjang sehingga antera menjulur keluar sempurna dari bunga, antera harus besar dan gemuk dengan butir tepung sari/polen yang banyak, antera harus menggugurkan butir tepungsarinya ketika antera sudah keluar dari bunga (Virmani et al. 2003). Keberhasilan kegiatan perbaikan karakter pada suatu populasi tergantung pada besarnya hubungan antara nilai fenotipik dan genotipik. Nilai besaran hubungan tersebut dapat dihitung secara kuantitatif dan disebut heritabilitas, yang dapat diprediksi pada populasi tertentu untuk karakter tertentu (Chahal & Gosal 2002). Estimasi heritabilitas sangat bermanfaat untuk mengetahui dan memprediksi respon karakter target yang diinginkan terhadap tekanan seleksi,
20
menentukan ukuran populasi yang harus dipelihara saat melakukan seleksi dan menentukan metode alternatif dalam seleksi (Roy 2000). Kearsey & Pooni (1996) menyatakan bahwa heritabilitas dapat diprediksi menggunakan perhitungan statistika terhadap komponen ragam. Secara umum, heritabilitas merupakan proporsi dari ragam fenotipik total hasil kontribusi dari efek gen. Terdapat dua tipe heritabilitas, yaitu heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit. Heritabilitas arti luas merupakan rasio antara nilai variasi genetik total terhadap variasi fenotipik total. Heritabilitas ini menjelaskan mengenai efek-efek dominan dan epistasis. Heritabilitas arti sempit merupakan proporsi dari variasi yang terjadi akibat gen-gen aditif dalam suatu populasi spesifik. Heritabilitas ini memiliki peran yang lebih penting dalam suatu program seleksi karena dapat mengukur nilai estimasi hasil pemuliaan dari suatu populasi (breeding value) dan respon terhadap seleksi sangat tergantung pada varians genetik aditif (Wray & Visscher 2008). Aksi gen memegang peranan penting dalam menentukan nilai heritabilitas. Karakter-karakter yang ekspresinya dipengaruhi oleh gen aditif akan memiliki nilai heritabilitas yang lebih tinggi dibandingkan karakter yang dikontrol oleh gen non-aditif (Falconer 1988). Hawar daun bakteri merupakan penyakit utama padi yang merusak klorofil daun, sehingga fotosintesis terhambat dan tanaman tidak mampu menghasilkan malai. Salah satu pengendalian yang ramah lingkungan adalah menggunakan varietas tahan. Sebagian besar padi hibrida yang ada di Indonesia masih belum memiliki ketahanan terhadap hawar daun bakteri. Oleh karena itu, skrining terhadap galur-galur tetua perlu dilakukan untuk mengetahui ketahanannya terhadap patogen Xoo. Percobaan ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi karakter agromorfologi, komponen hasil dan hasil serta karakter bunga galur-galur dihaploid calon galur pelestari hasil kultur antera dan (2) mengevaluasi ketahanan galur-galur dihaploid calon galur pelestari terhadap penyakit hawar daun bakteri. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Persiapan bahan tanaman berupa perbanyakan benih DH1 dimulai sejak Desember 2006, sedangkan penelitian dilaksanakan mulai bulan April sampai Agustus 2007 di rumah kaca Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik, Bogor.
21
Bahan dan Metode Bahan yang digunakan adalah benih 19 galur tanaman dihaploid generasi dua (DH2) hasil kultur antera F1 turunan dari persilangan antara galur pelestari (B) dengan Galur/Varietas Donor resisten Hawar Daun Bakteri (Tabel 2). Evaluasi Karakter Agromorfologi Galur Dihaploid Calon Galur Pelestari Percobaan dilakukan mengikuti Rancangan Acak Kelompok yang diulang 4 kali.
Perlakuan terdiri atas 19 galur dihaploid generasi kedua (DH2) calon
pelestari (Tabel 2). Satu satuan unit percobaan adalah 3 ember, masing-masing berisi dua rumpun tanaman untuk setiap galur. Benih tanaman uji disemai dalam bak berisi tanah sawah. Bibit berumur 21 hari ditanam dalam ember yang berisi tanah sawah.
Setiap ember diisi 12 kg campuran tanah sawah dan pupuk
kandang, dengan perbandingan 3:1. Tabel 2 Galur calon pelestari DH2 hasil kultur antera dari 6 kombinasi persilangan BxB No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
No Lap. B-1 B-2 B-3 B-4 B-5 B-6 B-8 B-9 B-10 B-11 B-12 B-13 B-14 B-15 B-16 B-17 B-18 B-19 B-20
Kode TC H36-1-M H36-2-Mb H36-3-Ma H36-3-Mb H36-3-Mc H36-4-M H39-1-P H45-3-Da H45-4-Pc B1-1-Mb B1-2-Pa B1-2-Pb B2-1-Db B2-1-Dc B2-1-M B2-2-Pb B2-4-Pb B4-1-Da B4-1-Dc
Keterangan Kultur antera F1 hasil persilangan H36 : IR72080B-1/Memberamo H39 : IR71562B-1/IR74 H45 : IR72080B-20/IR71031
Kultur antera F1 hasil persilangan B1 : IR58025B-W1/Memberamo B2 : IR58025B-W2/Barumun B4 : IR68897B-W2/Barumun
Pemupukan diberikan dengan dosis 5 g Urea, 2 g SP36 dan 2 g KCl. Setengah dosis Urea, seluruh dosis SP36 dan KCl diberikan sebagai pupuk dasar sehari sebelum tanam, sedangkan sisa setengah dosis Urea diberikan
22
pada saat tanaman berumur 40 hari setelah tanam (HST). Pengendalian hama dan penyakit dilakukan saat munculnya gejala serangan hama dan penyakit. Pengamatan dilakukan terhadap karakter agromorfologi dan karakter bunga calon galur pelestari, antara lain : A. Karakter agromorfologi tanaman, meliputi: 1. Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai terpanjang (cm); diamati saat stadia masak susu atau menjelang panen. 2. Jumlah anakan, diamati saat stadia bunting. 3. Warna daun, diamati pada stadia vegetatif sampai heading; data berupa skor (1-7) (Tabel 3). Tabel 3 Skor warna daun berdasarkan SES (IRRI 2002) Skor 1 2 3 4 5 6 7
Warna Hijau muda/terang Hijau Hijau tua/gelap Hijau dengan ujung daun berwarna ungu Hijau dengan strip ungu di pinggir daun Bercak ungu (ungu bercampur dengan hijau) Ungu
4. Sudut daun bendera, diukur di pangkal daun bendera (dekat collar); data berupa skor (1-7) (Tabel 4). Tabel 4 Skala sudut daun bendera berdasarkan SES (IRRI 2002) Skor 1 3 5 7
Kriteria Tegak Intermediet Horisontal Terkulai
5. Eksersi malai, diamati posisi kedudukan leher malai terhadap daun bendera; data berupa skoring (1-9), diamati pada stadia masak susu atau menjelang panen (Tabel 5). Tabel 5 Skala eksersi malai berdasarkan SES (IRRI 2002) Skala 1 3 5 7 9
Kriteria Keluar sempurna Keluar (moderate) Agak keluar (leher malai berada tepat pada pangkal daun bendera) Keluar sebagian Tertutup
6. Panjang malai, diamati dari pangkal malai sampai ujung malai (cm).
23
B. Karakter komponen hasil dan hasil, meliputi: 1. Jumlah gabah per malai, dihitung total keberadaan gabah dalam satu malai, baik hampa maupun bernas. 2. Jumlah gabah isi per malai, dihitung dari jumlah gabah yang bernas dalam satu malai. 3. Jumlah gabah hampa per malai, dihitung jumlah gabah kosong hampa dalam satu malai. 4. Bobot 1000 biji, diamati dengan menimbang 1000 butir gabah bernas yang berkadar air 13 – 14% (gram). 5. Panjang malai, diamati dari pangkal malai sampai ujung malai (cm) 6. Bobot malai, diamati dengan menimbang malai utama (gram). C. Karakter bunga, meliputi: 1. Warna putik, diamati saat bunga mekar yaitu sekitar jam 9 – 10 pagi (udara cerah) 2. Warna antera, diamati saat bunga mekar yaitu sekitar jam 9 – 10 pagi (udara cerah) 3. Warna ujung gabah, diamati saat menjelang panen; 4. Umur berbunga, diamati jumlah hari saat tanaman berbunga 50% 5. Keberadaan bulu pada ujung gabah, data berupa skoring (1-9) (Tabel 6). Tabel 6 Skor keberadaan bulu pada gabah Skor 0 1 5 7 9
Kriteria Tidak ada Pendek dan kadang berbulu Pendek dan banyak bulu Panjang dan kadang berbulu Panjang dan banyak bulu
D. Bobot produksi per rumpun, diamati dengan menimbang total gabah isi (kadar air 14%) dalam satu rumpun (gram). Evaluasi Ketahanan Galur-Galur Dihaploid Calon Galur Pelestari terhadap Hawar Daun Bakteri Pengujian ketahanan terhadap hawar daun bakteri dilakukan pada saat tanaman berumur 60 hari. Bibit berumur 20 hari setelah semai (HSS) ditanam di sawah dan dipelihara dengan baik agar diperoleh tanaman yang sehat. Pada umur 60 HST, tanaman diinokulasi dengan Xanthomonas oryzae pv. oryzae dari larutan 10 g/l. Inokulasi dilakukan dengan cara menggunting daun dengan
24
menggunakan gunting yang telah dicelupkan ke dalam larutan bakteri patotipe III, IV dan VIII. Setiap patotipe diujikan pada sembilan rumpun tanaman, yang setiap rumpunnya digunting sebanyak lima helai daun, sehingga jumlah contoh seluruhnya meliputi 45 helai daun. Pada pengujian ini digunakan empat belas galur dihaploid calon pelestari.
Keempat belas galur dihaploid tersebut telah
teridentifikasi mempunyai kemampuan melestarikan kemandulan galur mandul jantan. Pembanding rentan digunakan IR64 dan sebagai pembanding tahan digunakan Angke dan Conde. Pengamatan dilakukan dua minggu setelah inokulasi, menggunakan skala sesuai kriteria pada Standard Evaluation System for Rice (IRRI 2002) (Tabel 7). Tabel 7 Kriteria penilaian ketahanan terhadap hawar daun bakteri (HDB). Nilai Skala 0 1 3 5 7 9
Gejala Serangan Tidak ada gejala keparahan 1-5% keparahan >5 – 12% keparahan >12 – 25% keparahan > 25-50% keparahan > 50-100%
Tingkat ketahanan Sangat Tahan (ST) Tahan (T) Agak Tahan (AT) Agak Rentan (AR) Rentan (SR) Sangat Rentan
Berdasarkan skala keparahan penyakit tersebut kemudian dihitung indek penyakit HDB dengan rumus sebagai berikut : n(1)+n(2)+n(3)+n(4)+n(5)+ n(6)+n(7)+n(8)+n(9) Di = ------------------------------------------------------------------ZN Keterangan: Di n Z N
= indeks penyakit HDB = jumlah tanaman terserang HDB dengan skala tertentu = total rumpun yang diamati = skala keparahan tertinggi
Analisis Data Sebelum dilakukan analisis data, guna melengkapi data maka dilakukan perhitungan sederhana terhadap data gabah isi menjadi satu karakter baru, yaitu persentase gabah isi per malai (spikelet fertility) yang dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: jumlah gabah isi per malai jumlah total gabah per malai
X 100%
25
Selanjutnya, semua data pengamatan dianalisis menggunakan bantuan SAS 9.0 untuk menghitung: 1. Analisis ragam (anova) yang dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) Tabel 8 Analisis ragam (anova) rancangan acak kelompok Sumber keragaman
Derajat bebas r–1 g–1 (r - 1)(g - 1)
Ulangan (r) Genotipe (g) Galat (e)
Kuadrat tengah M1 M2 M3
Estimasi kuadrat tengah σ2e + gσ2r σ2e + rσ2eg σ2e
2. Parameter genetik dan nilai heritabilitas dalam arti luas untuk mengetahui besarnya sumbangan pengaruh genetik terhadap fenotipe. Pendugaan parameter genetik dan nilai heritabilitas dihitung berdasarkan analisis ragam menurut metode yang dikemukakan oleh Singh & Chaudhary (1979). Berdasarkan sumber keragaman pada Tabel 8, maka parameter genetik dan nilai heritabilitas arti luas dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
√ √
(
)
Keterangan:
: ragam genotipik, : ragam fenotipik, KVG: koefisien keragaman genotipik; KVP= koefisien keragaman fenotipik, h2(bs) : heritabilitas arti luas
Kriteria nilai heritabilitas arti luas ditetapkan berdasarkan Stansfield (1983), yaitu: 0,50 < h2 ≤ 1,00 = tinggi 0,20 ≤ h2 ≤ 0,50 = sedang 0,00 ≤ h2 < 0,20 = rendah
26
3. Analisis Sidik Lintas (Path Coefficient Analysis) untuk mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung dari karakter morfologi dan komponen hasil terhadap hasil. Analisis lintas dihitung berdasarkan persamaan simultan yang dikemukakan oleh Singh & Chaudhary (1979), sebagai berikut:
[
]
][ Rx
Ci
[
] Ry
Berdasarkan persamaan di atas, nilai Ci (pengaruh langsung) dapat dihitung menggunakan rumus:
Keterangan: = invers matriks Rx Rx = matriks korelasi antara peubah bebas, Ci = vektor koefisien lintasan yang menunjukkan pengaruh langsung setiap peubah bebas yang telah dibakukan terhadap peubah tak bebas Ry = vektor koefisien korelasi antar peubah bebas Xi (i = 1, 2, ..., p).
Hasil dan Pembahasan Karakter Agromorfologi dan Bunga Galur Dihaploid Calon Galur Pelestari Karakter agromorfologi dan karakter bunga semua calon galur pelestari ditampilkan pada Tabel 9. Warna daun 19 calon galur pelestari terbagi ke dalam dua kelompok yaitu hijau muda dan hijau tua. Posisi daun bendera terhadap batang atau malai merupakan komponen karakter morfologi yang penting, sesuai idiotype dari galur-galur padi yang mendukung fotosintesis. Peng et al. (2008) mengemukakan bahwa posisi daun bendera yang terbaik adalah tegak (erect). Calon galur pelestari didominasi oleh galur-galur yang masuk dalam kategori tersebut. Posisi daun bendera demikian dapat meningkatkan besarnya intersepsi cahaya matahari pada tiga daun teratas yang akan mendukung proses fotosintesis dan akumulasi asimilat, sehingga akan meningkatkan proses pengisian biji. Pengamatan selanjutnya dilakukan terhadap persentase eksersi malai. Posisi malai yang tidak terbungkus oleh pelepah daun bendera akan memudahkan proses penyerbukan oleh antera ke putik. Tujuh genotipe memiliki
27
malai yang terbungkus oleh daun bendera dengan kisaran 11-25% atau skor 5, sedangkan 12 genotipe lainnya mempunyai malai yang muncul sempurna dari pelepah daun bendera. Warna putik dan ujung gabah dapat digunakan sebagai salah satu karakter seleksi saat produksi benih padi. Sebagian besar genotipe uji memiliki putik yang berwarna putih, hanya dua genotipe yang memiliki putik berwarna hitam yaitu H39-1-P dan H45-4-Pc. Warna antera yang kuning dan bentuknya yang gemuk (plumpy) menunjukkan bahwa antera genotipe-genotipe tersebut mengandung banyak polen fertil yang siap digunakan dalam penyerbukan, baik untuk pembentukan benih dirinya sendiri maupun produksi benih galur mandul jantan.
Tabel 9 Karakter morfologi dan karakter bunga 19 calon galur pelestari
Keterangan: skor warna daun: 1= hijau terang, 3= hijau gelap; skor posisi daun bendera: 1= tegak, 3= agak tegak, 5= horizontal, 7= terkulai; skor eksersi malai: 1= keluar penuh, 5= berada tepat di pangkal pelepah daun bendera; skor bulu: 0= tidak ada, 1= pendek dan kadang berbulu, 9= panjang dan banyak bulu.
Terdapat empat genotipe yang memiliki bulu panjang di setiap ujung gabahnya, yaitu H45-3-Da, B1-1-Mb, B1-2-Pa dan B2-2-Pb. Karakter bulu menjadi kendala dalam produksi benih padi karena dapat menghalangi proses jatuhnya polen ke putik, serta menyulitkan saat prosesing benih.
28
Parameter genetik Pendugaan komponen ragam dan heritabilitas dilakukan untuk mengetahui proporsi keragaman yang disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Heritabilitas sangat menentukan keberhasilan seleksi untuk lingkungan yang sesuai, karena heritabilitas dapat memberikan gambaran suatu sifat dipengaruhi oleh faktor genetik atau lingkungan. Nilai pendugaan parameter genetik tanaman ditampilkan pada Tabel 10. Nilai koefisien variasi genotipik (KVG) dan fenotipik (KVP) tanaman berkisar antara 3,19-23,63% dan 3,97-27,58%.
Dari nilai KVG absolut 0-23,63%
ditetapkan nilai relatifnya. Nilai absolut 23,63% sebagai nilai relatif 100%. Kriteria KVG relatif adalah rendah (0 < x < 25%), agak rendah (25% < x < 50%), cukup tinggi (50% < x < 75%), dan tinggi (75% < x ≤ 100%) (Moedjiono & Mejaya 1994). Jadi nilai absolut kriteria tersebut adalah rendah (0,0% < x < 5,91%), agak rendah (5,91% < x < 11,82%), cukup tinggi (11,82% < x < 17,72%) dan tinggi (17,72% < x ≤ 23,63%). Kriteria nilai absolut untuk KVP adalah rendah (0 < x < 6,90%), agak rendah (6,90% < x < 13,79%), cukup tinggi (13,79% < x < 20,69%) dan tinggi (20,69% < x ≤ 27,58%).
Tabel 10 Nilai rata-rata dan parameter genetik dari delapan karakter pada 19 galur dihaploid calon galur pelestari. Karakter
2
Ratarata
Tinggi tanaman (cm)
h (bs) (%)
KVG (%)
KVP (%)
103,33
126,22
139,63
90,40
10,87
11,44
Jumlah Anakan
10,13
1,15
3,25
35,50
10,60
17,78
Umur berbunga (hari)
78,19
37,58
39,21
95,85
7,84
8,01
Panjang malai (cm)
24,05
0,77
2,63
29,18
3,64
6,75
3,57
0,66
0,82
80,18
22,77
25,42
135,05
1018,15
1281,16
79,47
23,63
26,50
Bobot 1000 butir (g)
21,58
0,47
0,73
64,59
3,19
3,97
Hasil biji per rumpun (g)
23,80
25,28
43,10
58,65
21,13
27,58
Bobot malai (g) Jumlah gabah isi/malai
Keterangan:
2
= ragam genotipik; = ragam fenotipik; h (bs)= heritabilitas arti luas; KVG= koefisien keragaman genotipik; KVP= koefisien keragaman fenotipik
Karakter dengan koefisien variasi genotipik relatif rendah dan agak rendah digolongkan sebagai karakter yang variabilitas genetiknya sempit, sedangkan karakter dengan kriteria koefisien variasi genotipik relatif cukup tinggi dan tinggi
29
digolongkan sebagai karakter variabilitas genetik luas (Murdaningsih et al. 1990). Berdasarkan kriteria tersebut, terdapat lima karakter dengan koefisien variasi genotipik tergolong rendah dan agak rendah, yaitu tinggi tanaman, jumlah anakan, umur berbunga, panjang malai dan bobot 1000 butir, sedangkan tiga karakter tergolong tinggi yaitu bobot malai, jumlah gabah isi per malai dan hasil biji per rumpun. Dengan demikian, terdapat lima karakter variabilitas rendah dan tiga karakter variabilitas luas. Hal ini berarti terdapat peluang perbaikan genetik terhadap karakter hasil melalui karakter bobot malai, jumlah gabah isi per malai, dan hasil biji per rumpun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Lestari & Nugraha (2007) yang menyebutkan bahwa peluang perbaikan genetik terhadap hasil biji galur padi hasil kultur antera dapat dilakukan melalui seleksi antara lain terhadap karakter jumlah gabah per malai dan hasil. Variabilitas genetik luas berarti bahwa seleksi terhadap karakter tersebut berlangsung efektif dan mampu meningkatkan potensi genetik karakter pada generasi selanjutnya (Zen & Bahar 2001). Seleksi dapat dilakukan lebih leluasa pada karakter yang mempunyai variabilitas genetik luas dan dapat digunakan dalam perbaikan genotipe. Nilai duga heritabilitas arti luas terhadap karakter yang diamati berkisar antara 29,18% untuk panjang malai dan 95,85% untuk umur berbunga. Berdasarkan kriteria Stanfield (1983), nilai heritabilitas karakter jumlah anakan dan panjang malai tergolong sedang, sedangkan karakter tinggi tanaman, umur berbunga, bobot malai, jumlah gabah isi per malai, bobot 1000 butir dan hasil biji per rumpun tergolong tinggi. Tidak satupun karakter yang diuji mempunyai nilai heritabilitas
rendah.
Karakter
yang
mempunyai
nilai
heritabilitas
tinggi
menunjukkan bahwa faktor genetik lebih dominan terhadap karakter yang ditampilkan tanaman karena faktor genetiknya memberi sumbangan yang lebih besar dibanding faktor lingkungan dan seleksi terhadap karakter ini efektif dilakukan pada generasi awal (Wicaksana 2001; Lestari & Nugraha 2007). Seleksi akan lebih efektif bila ditunjang oleh nilai KVG dan heritabilitas yang tinggi (Zen 2002). Pada penelitian ini, karakter bobot malai, jumlah gabah isi per malai dan hasil biji per rumpun mempunyai nilai heritabilitas tinggi dan variabilitas luas. Keadaan demikian sangat menunjang keberhasilan dan kemajuan seleksi yang efektif (Bahar et al. 2000). Karakter bobot malai, jumlah gabah isi per malai dan bobot hasil memiliki nilai KVG yang tinggi, dan diikuti oleh nilai KVP yang tinggi pula. Hal ini menunjukkan bahwa pada tiga karakter tersebut, akan semakin baik ekspresinya
30
bila ditambahkan sejumlah teknologi budidaya seperti pemupukan dan pengaturan jarak tanam.
Korelasi dan Sidik Lintas Antar Karakter Padi Selain parameter genetik, informasi hubungan korelasi antar beberapa karakter dengan hasil sangat penting untuk diketahui guna mendukung pemilihan karakter seleksi yang tepat. Tinggi tanaman, jumlah anakan, bobot malai, jumlah gabah isi per malai dan bobot 1000 butir mempunyai korelasi yang tinggi, positif dan signifikan dengan karakter hasil biji per rumpun (Tabel 11). Hal ini berarti bahwa karakter-karakter tersebut sangat penting untuk mendapatkan tanaman dengan hasil tinggi.
Karakter umur berbunga juga mempunyai korelasi yang
positif terhadap hasil biji per rumpun, walaupun tidak signifikan tetapi nilai korelasinya cukup tinggi. Umur bunga akan menentukan lamanya periode pengisian biji, karena selama periode tersebut tanaman akan menumpuk karbohidrat non struktural di batang dan pelepah kemudian diremobilisasi untuk dikirimkan ke biji yang sedang dalam proses pengisian cepat. Dengan kata lain, akumulasi biomasa (dry matter) sebelum pembungaan akan berkontribusi besar terhadap hasil biji (Takai et al. 2006). Tabel 11 Koefisien korelasi Pearson antar 7 karakter pada galur-galur haploid ganda padi Karakter
TT
TT
1,000
JAP UB PM BM GABSI B1000 HASIL
JAP
UB
PM
BM
GABSI
B1000
HASIL
0,003
0,431*
-0,274
0,589**
0,337*
0,577**
0,504**
1,000
0,053
-0,013
-0,183
-0,307
0,183
0,382**
1,000
-0,080
0,276
0,188
-0,013
0,244
1,000
-0,029
0,043
-0,107
-0,045
1,000
0,886**
0,387**
0,601**
1,000
0,107
0,410**
1,000
0,443** 1,000
Keterangan: * nyata (P=0,05), ** sangat nyata pada P=0,01; TT = tinggi tanaman, JAP = jumlah anakan, UB = umur berbunga, PM = panjang malai, BM = bobot malai, GABSI = jumlah gabah isi per malai, B1000 = Bobot 1000 butir, HASIL = hasil biji per rumpun
Pada analisis korelasi diasumsikan bahwa selain kedua sifat yang dipasangkan, yang lain dianggap konstan. Asumsi ini menurut Ganefianti et al. (2006) kurang berlaku bagi makhluk hidup, karena pada makhluk hidup terjadi
31
berbagai proses yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga analisis korelasi tidak dapat digunakan untuk menggambarkan besarnya sumbangan dari suatu peubah terhadap peubah yang lain. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan analisis lintasan (sidik lintas), karena masing-masing sifat yang dikorelasikan dengan hasil dapat diurai menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung.
Tabel 12 Pengaruh langsung dan tidak langsung karakter vegetatif dan komponen hasil terhadap hasil biji per rumpun pada galur-galur dihaploid padi
Keterangan: TT= tinggi tanaman, JA= jumlah anakan, UB= umur berbunga 50%, PM= panjang malai, BM= bobot malai, GABSI= jumlah gabah isi per malai, B1000B= bobot 1000 butir
Terdapat dua karakter yang mempunyai pengaruh langsung yang besar dan positif terhadap hasil biji per rumpun, yaitu jumlah anakan (0,4689) dan bobot malai (0,7399) (Tabel 12, Gambar 4). Karakter jumlah anakan produktif memiliki korelasi yang positif terhadap bobot hasil dengan nilai r sebesar 0,382. Karakter bobot malai juga demikian, bahkan memberikan nilai r mencapai 0,601 (Gambar 4). Tingginya hubungan langsung pada kedua karakter tersebut menunjukkan bahwa seleksi tidak langsung dengan berdasar pada salah satu karakter tersebut pada kondisi karakter lain tetap, akan memberikan pengaruh yang relatif besar terhadap peningkatan karakter bobot hasil biji per rumpun. Anakan produktif adalah anakan dengan malai-malai yang berisi bulir padi, sehingga semakin banyak jumlah anakan produktif, jumlah bulir padi yang dihasilkan akan lebih banyak. Bobot malai yang tinggi memberi indikasi terhadap banyaknya jumlah gabah isi per malai, karena itu karakter ini terlihat paling kuat memberi kontribusi terhadap hasil biji per rumpun. Hal ini terlihat dengan adanya
32
pengaruh tidak langsung karakter bobot malai melalui gabah isi yang tinggi dan positif (0,6556), sedangkan melalui bobot 1000 butir relatif kecil namun positif (0,2866). Hal tersebut menunjukkan bahwa bobot malai yang tinggi cenderung disebabkan karena dalam satu malai dihasilkan jumlah gabah isi yang banyak, walaupun mungkin mempunyai bobot per butir yang tidak terlalu berat. Peng et al. (2008) menyatakan bahwa salah satu kriteria morfologi dari idiotipe super hybrid rice adalah bobot malai yang tinggi (± 5 g per malai) dan jumlah gabah isi sekitar 150 gabah per malai. Selain jumlah gabah isi per malai dan bobot 1000 butir, terlihat adanya kontribusi pengaruh tidak langsung karakter tinggi tanaman yang relatif tinggi terhadap bobot malai. Namun, melakukan seleksi menggunakan karakter tinggi tanaman harus berhati-hati, terkait dengan kerebahan tanaman yang menjadi pembatas terhadap produksi hasil biji padi.
Gambar 4 Sidik lintas dan korelasi antar karakter pada galur-galur dihaploid padi Yang et al. (2007) mengusulkan variabel baru untuk seleksi yaitu ukuran malai per unit tinggi tanaman saat pembungaan, sehingga seleksi dilakukan terhadap pertambahan ukuran malai atau bobot malai tanpa ada pertambahan tinggi tanaman. Berdasarkan informasi tersebut dan bila dikaitkan dengan
33
kegiatan pemuliaan, maka karakter bobot malai, jumlah anakan produktif dan jumlah gabah isi per malai merupakan karakter seleksi yang dapat digunakan untuk meningkatkan hasil biji per rumpun pada galur-galur pelestari. Seleksi pada kedua karakter ini akan efektif, karena mempunyai nilai heritabilitas yang tinggi, variabilitas luas dan berkorelasi positif terhadap hasil. Karakter-karakter yang mempunyai nilai heritabilitas tinggi akan diwariskan secara kuat terhadap keturunannya, sehingga akan memberikan respon seleksi yang cepat. Berdasarkan karakter seleksi yang telah dipilih yaitu bobot malai, jumlah anakan produktif dan jumlah gabah isi per malai, dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range (DMRT) seperti ditampilkan pada Tabel 13.
Galur B1-2-Pa
merupakan galur haploid ganda yang mempunyai bobot malai tertinggi (4,75 g) dan juga menghasilkan bobot biji per rumpun tertinggi yaitu 42,44 g yang mengindikasikan bahwa bobot malai mempunyai pengaruh langsung terhadap hasil. Selain itu, galur ini juga menghasilkan gabah isi per malai sebanyak 156 biji dengan jumlah anakan produktif sebanyak 12 anakan. Hal ini sesuai dengan kriteria morfologi untuk padi hibrida yang diajukan oleh Peng et al. (2008), bahwa untuk mendapatkan heterosis yang baik maka padi hibrida sebaiknya mempunyai kapasitas pembentukan malai yang moderat yaitu 270-300 malai/m2 atau 10-12 malai per tanaman. Untuk merakit padi hibrida tersebut, maka galur-galur tetua (galur mandul jantan, pelestari dan pemulih kesuburan) juga harus diseleksi mengikuti kriteria di atas. Terdapat 4 galur lain yang mempunyai bobot malai dan juga menghasilkan bobot biji per rumpun cukup tinggi yaitu H36-3-Mb, H36-3-Mc, H36-4-M dan H45-3-Da. Bahkan terdapat dua galur yang mempunyai jumlah gabah isi per malai tertinggi diantara galur-galur yang diuji yaitu H36-3-Mb (171 butir) dan H36-3-Mc (169 butir).
Dua galur lain (B1-2-Pb dan B2-2-Pb) juga
menghasilkan bobot biji per rumpun yang baik, berturut-turut 26,26 dan 26,27 gram. Kedua galur ini mempunyai bobot malai berturut-turut sebesar 4,24 dan 4,31 gram walaupun jumlah gabah isi per malainya tidak mencapai 150 butir. Hal ini karena gabah isi per malai mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap hasil biji per rumpun.
Fenomena ini dapat terjadi pada galur-galur yang
mempunyai bentuk dan ukuran biji besar.
34
34
Tabel 13 Nilai rata-rata karakter agronomis dan komponen hasil 19 calon galur pelestari
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji LSD 5%
35
Ketahanan Calon Galur Pelestari terhadap Penyakit Hawar Daun Bakteri Galur-galur tetua yang superior dapat meningkatkan penampilan agronomis dan bobot hasil hibrida turunan dari berbagai kombinasi persilangan antara galur mandul jantan dan galur pemulih kesuburan (You et al. 2006). Saat ini, 17 varietas padi hibrida telah berhasil dilepas oleh BB-Padi, yaitu Maro dan Rokan (2002), Hipa 3 dan Hipa 4 (2004), Hipa 5-Ceva dan Hipa 6-Jete (2006), Hipa 7 dan Hipa 8 (2009), Hipa 9, Hipa 10 dan Hipa 11 (2010), Hipa 12 SBU, Hipa 13, Hipa 14 SBU, Hipa Jatim1, Hipa Jatim2 dan Hipa Jatim3 (2011). Sebagian besar varietas hibrida tersebut masih menggunakan galur mandul jantan yang berasal dari IRRI, yaitu IR58025, IR62829A dan IR68897A. Galur mandul jantan tersebut belum memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit di daerah tropis, seperti wereng batang coklat, tungro dan hawar daun bakteri. Tabel 14 Hasil uji ketahanan galur dihaploid calon pelestari terhadap pathogen hawar daun bakteri Nama Galur
Skor Reaksi ketahanan terhadap Xoo Patotipe III
Patotipe IV
Patotipe VIII
H36-3-Ma
3
3
5
H36-3-Mb
3
3
5
H36-3-Mc
3
3
5
H36-1-M
3
5
5
H36-4-M
3
5
0
H45-3-Da
3
5
5
B1-1-Mb
1
3
5
B1-2-Pa
3
3
5
B1-2-Pb
3
5
5
B2-1-Db
1
5
5
B2-1-M
1
3
5
B2-4-Pb
3
5
7
B4-1-Da
3
5
7
B4-1-Dc
3
0
0
IR64 (Kontrol)
5
5
5
Keterangan: 0= sangat tahan, 1= tahan, 3= agak tahan, 5= agak rentan, 7= rentan, 9= sangat rentan
36
Khusus untuk ketahanan terhadap HDB, beberapa varietas hibrida baru, seperti Hipa 8, Hipa 10, Hipa 11, Hipa 12 SBU, Hipa 13, Hipa 14 SBU dan Hipa Jatim2 dilaporkan bereaksi agak tahan terhadap patogen hawar daun bakteri patotipe III, tetapi agak rentan hingga rentan terhadap patotipe IV dan VIII. Ketahanan beberapa varietas hibrida di atas, hanya diperoleh dari galur pemulih kesuburannya, sehingga kriteria ketahanannya belum memuaskan. Hal tersebut menyebabkan varietas-varietas hibrida yang telah dilepas menjadi sangat terbatas daerah pengembangannya. Oleh karena itu pengujian ketahanan terhadap HDB pada calon galur mandul jantan atau pelestarinya perlu dilakukan. Bakteri gram negatif Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) merupakan penyebab penyakit hawar daun pada padi. Bakteri ini menyebabkan gejala hawar (blight) yang merusak klorofil pada daun, sehingga kemampuan tanaman untuk melakukan fotosintesis berkurang dan terjadi penurunan hasil pada tanaman terserang. Pada penelitian ini, empat belas galur DH calon pelestari digunakan dalam kegiatan silang balik. Keempat belas galur DH calon galur pelestari tersebut diseleksi terhadap tiga patotipe patogen hawar daun bakteri, yaitu patotipe III, patotipe IV, dan patotipe VIII. Sudir et al. (2009) menyatakan bahwa patotipe III adalah isolat bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) patogen HDB yang sangat virulen terhadap varietas diferensial Kinmase, Kogyoku dan Tetep tetapi virulensinya rendah terhadap Wase Aikoku dan Java 14, sedang patotipe IV adalah isolat yang virulensinya tinggi terhadap semua varietas diferensial. Patotipe VIII adalah isolat yang memiliki virulensi tinggi terhadap varietas diferensial Kinmase, Kogyoku, Tetep, dan Wase Aikoku, tetapi virulensinya rendah terhadap Java 14. Menurut daerah sebarannya patotipe III dan IV merupakan patotipe Xoo khas dataran rendah dan kurang berkembang di daerah dataran sedang dan tinggi, sedangkan Xoo patotipe VIII tersebar di seluruh Jawa, baik di daerah dataran rendah maupun sedang. Informasi ini sangat penting diketahui di dalam menentukan daerah-daerah untuk produksi benih GMJ dan F1 hibrida, serta lokasi pengembangan varietas atau budidaya hibrida. Tabel 14 menunjukkan bahwa reaksi empat belas galur yang diuji terhadap tiga patotipe hawar daun bakteri tersebut sangat beragam. Semua galur DH calon galur pelestari bereaksi agak tahan hingga tahan terhadap Xoo patotipe III. Pada inokulasi menggunakan patotipe III, terdapat 3 galur DH pelestari yang bereaksi tahan dengan skor 1 yaitu B1-1-Mb, B2-1-Db dan B2-1-M, sedangkan
37
sebelas galur DH calon pelestari lainnya bereaksi agak tahan dengan skor 3. Respon empat belas galur DH calon pelestari yang diuji terhadap patotipe IV berkisar dari sangat tahan sampai agak rentan, sedangkan terhadap patotipe VIII berkisar dari sangat tahan hingga rentan. Galur B4-1-Dc merupakan galur DH pelestari yang bereaksi sangat tahan (skor 0) terhadap Xoo patotipe IV, sedangkan enam galur DH calon pelestari memberikan respon agak tahan dengan skor 3. Tujuh galur DH calon pelestari bereaksi agak rentan terhadap Xoo patotipe IV (skor 5). Pada pengujian dengan inokulum hawar daun bakteri patotipe VIII, dua galur DH calon pelestari menunjukkan reaksi sangat tahan yang ditandai dengan tidak munculnya gejala sama sekali pada tiga daun teratas yang diberi perlakuan pengguntingan sebagai masuknya inokulum Xoo. Kedua galur DH calon pelestari tersebut yaitu H36-4-M dan B4-1-Dc (skor 0). Sepuluh galur DH calon pelestari bereaksi agak rentan dengan skor 5, sedangkan 2 galur lainnya rentan terhadap Xoo patotipe VIII (skor 7). Pada tanaman yang rentan tampak penyebaran penyakit dimulai dari bagian daun yang diinokulasi inokulum penyakit hawar daun bakteri (Gambar 4).
Gambar 5 Penampilan DH calon galur pelestari yang sangat tahan (kiri) dan rentan (tengah) serta lesi yang diakibatkan patogen HDB pada tanaman rentan (kanan)
38
Kesimpulan Morfologi sembilan belas galur DH pelestari bervariasi, sebagian besar memiliki morfologi yang mendukung perolehan hasil tinggi seperti warna daun yang hijau tua, eksersi malai sempurna dan posisi daun bendera yang tegak. Nilai KVG yang tinggi hanya ditunjukkan oleh karakter bobot malai, jumlah gabah isi per malai dan hasil biji per rumpun. Nilai heritabilitas arti luas kategori tinggi ditemukan pada karakter tinggi tanaman, umur berbunga, bobot malai, jumlah gabah isi per malai, bobot 1000 butir dan hasil biji per rumpun. Bobot malai mempunyai kontribusi terbesar terhadap hasil biji per rumpun, terlihat dari nilai pengaruh langsungnya yang positif dan besar (0,7399) dan pengaruh tidak langsungnya melalui jumlah gabah isi per malai yang juga tinggi dan positif (0,6556), sehingga dua karakter ini dapat digunakan sebagai karakter seleksi. Jumlah anakan produktif juga memberikan korelasi yang positif dan tinggi secara langsung terhadap hasil biji per rumpun. Semua galur dihaploid yang diuji kecuali B4-1-Da dan B4-1-Dc, sesuai untuk digunakan sebagai calon galur pelestari jika berdasarkan jumlah gabah isi per malai dan bobot hasil yang tinggi. Pada pengujian dengan patogen hawar daun bakteri patotipe III, terdapat tiga galur DH calon pelestari yang bereaksi tahan (skor 1) yaitu B1-1-Mb, B2-1Db dan B2-1-M. Galur B4-1-Dc bereaksi sangat tahan (skor 0) terhadap patogen HDB patotipe IV, sedangkan dua galur lainnya yaitu H36-4-M dan B4-1-Dc menunjukkan reaksi sangat tahan (skor 0) terhadap patotipe VIII.
TRANSFER SIFAT MANDUL JANTAN DAN PEMBENTUKAN GALUR MANDUL JANTAN MELALUI SILANG BALIK Abstrak Sterilitas polen yang tinggi dan stabil sangat penting dalam pengembangan galur mandul jantan (GMJ) baru. Penelitian ini dilakukan untuk melakukan transfer sifat mandul jantan ke dalam sembilan belas galur dihaploid, mengetahui stabilitas sterilitas polen GMJ yang diperoleh selama lima generasi silang balik dan memperoleh GMJ baru yang memiliki ketahanan terhadap patogen hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo)). Transfer sifat mandul jantan telah dilakukan dengan melakukan persilangan antara galur DH dengan tiga tipe GMJ (Wild Abortive (WA), Gambiaca dan Kalinga). F1 yang dihasilkan dievaluasi sterilitas polennya. Dari test cross dengan GMJ tipe WA, lima galur DH yaitu H36-3-Mb, H36-4-M, B1-2-Pa, B2-4-Pb dan B4-1-Dc dapat memelihara kemandulan GMJ IR58025A, tiga galur DH yaitu H36-3-Ma, H36-3-Mb, dan B1-2Pb mampu memelihara sterilitas polen GMJ IR62829A. Empat galur DH lainnya yaitu H36-3-Mb, B2-1-M, B4-1-Da dan B4-1-Dc mampu memelihara kemandulan polen GMJ IR68897A. Hasil testcross juga berhasil mengidentifikasi satu galur DH yaitu H36-4-M yang mampu mempertahankan kemandulan polen dari GMJ tipe Gambiaca, sedangkan untuk GMJ tipe Kalinga terdapat tiga galur DH yang dapat memelihara kemandulannya yaitu H36-3-Ma, H36-3-Mc dan B1-2-Pb. Hasil silang balik menunjukkan bahwa sterilitas polen GMJ tipe Kalinga dan Gambiaca lebih cepat mencapai 100% (highly sterile) dibandingkan GMJ tipe Wild Abortive. Kedua GMJ tersebut juga memiliki sterilitas polen yang lebih stabil dibandingkan tipe Wild Abortive. Sepuluh GMJ baru dari ketiga tipe sitoplasma ini memiliki tinggi tanaman berkisar antara 66,1 – 107,8 cm, dengan jumlah anakan kategori moderat dan umur genjah. Eksersi malai GMJ baru memiliki skor 1 – 3 atau sebagian besar memiliki bagian pangkal malai yang tertutup oleh pelepah daun bendera, tetapi tidak lebih dari 20%. Persentase eksersi stigma yang baik, yaitu antara 50 - 75% dari total rangkaian bunga (skor 1 – 3) menyebabkan silang alami masih dapat terjadi dengan baik. GMJ tipe WA, Gambiaca dan Kalinga yang bereaksi tahan terhadap patogen HDB patotipe III, berturut-turut yaitu BI703A, BI855A dan BI669A. Galur BI543A dan BI571A (WA) teridentifikasi tahan terhadap patogen HDB patotipe VIII. Galur BI665A (Kalinga) memberikan reaksi tahan terhadap dua patotipe sekaligus, yaitu IV dan VIII, yang merupakan patotipe Xoo paling virulen di Indonesia. Kata kunci: galur mandul jantan, sterilitas polen, wild abortive, kalinga, gambiaca, hawar daun bakteri, padi
40
Abstract The high and stable pollen sterility are important in the development of cytoplasmic male sterile lines. The aims of the research were to transfer male sterility gene into nineteen doubled haploid (DH) lines, to study stability of pollen sterility of new CMS lines during five generation of backcrosses, and to develop new CMS lines resistant to bacterial leaf blight (Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo)). Transfer of male sterility character was done by test crossing the DH maintainer with three CMS types, i.e. wild abortive (WA), Gambiaca and Kalinga. The F1’s were then evaluated for their high pollen sterility. Evaluation on F1 derived from test crosses between DH maintainer and WA-type CMS showed that five dihaploid lines i.e. H36-3-Mb, H36-4-M, B1-2-Pa, B2-4-Pb and B4-1-Dc could be used to maintain in sterility of IR58025A, while three dihaploid lines i.e. H36-3-Ma, H36-3-Mb and B1-2-Pb could be used to maintain the sterility of IR62829A. Four other dihaploid lines had ability to maintain sterility of IR68997A i.e. H36-3-Mb, B2-1-M, B4-1-Da and B4-1-Dc. However results from other testcrosses found only one DH lines (H36-4-M) could maintain the pollen sterility of Gambiaca type, while three DH lines i.e. H36-3-Ma, H36-3-Mc and B1-2-Pb could be used to maintain pollen sterility of Kalinga CMS-type. Pollen sterility of Kalinga and Gambiaca type reached 100% sterile (highly sterile) in the first generation of backcrosses, faster than Wild Abortive CMS lines. Both Gambiaca and Kalinga had more stable pollen sterility than Wild Abortive type. Ten new CMS from those three different cytoplasms had plant height about 66.1 – 107.8 cm, with moderate panicle number and early maturity. Panicle exertion of new CMS lines were low (score 1 – 3). It meant that the panicle was partly hidden within the flag leaf sheath (<20%). The new CMS lines also had good stigma exsertion, average from 50 to 75% per panicle (score 1 – 3), therefore they would have high natural outcrossing ability. CMS lines of WA, Gambiaca and Kalinga types had resistance to Xoo pathotype III, i.e. BI703A, BI855A and BI669A. The BI543A and BI571A (WA) were resistant to Xoo pathotype VIII. BI665A (Kalinga) were resistant to pathotype IV and VIII. Both pathotype were the most virulent in Indonesia. Key words: cytoplasmic male sterile lines, pollen sterility, wild abortive, kalinga, gambiaca, bacterial leaf blight, rice
41
Pendahuluan Di Indonesia, padi hibrida dikembangkan dengan mengadopsi sistem tiga galur yang melibatkan galur mandul jantan (GMJ), galur pelestari (B) dan galur pemulih kesuburan (R). Padi hibrida merupakan generasi F1 hasil persilangan antara GMJ sebagai tetua betina dengan R sebagai tetua jantan, sehingga sifatsifat varietas padi hibrida ditentukan oleh sifat-sifat kedua tetuanya (You et al. 2006). Oleh karena itu untuk mendapatkan padi hibrida superior, perlu dirakit galur-galur tetua yang superior. Dalam hal ini tetua betina yaitu GMJ merupakan kunci utama karena berfungsi sebagai seed parent dalam perakitan padi hibrida. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan GMJ pada perakitan padi hibrida sistem tiga galur antara lain (1) instabilitas mandul jantan yang mengakibatkan tidak tercapainya heterosis secara optimal dan produksi benih yang rendah sehingga harga benih hibrida mahal, (2) GMJ yang ada masih rentan terhadap hama dan penyakit (HPT) utama. Selain itu dominasi GMJ tipe wild abortive (WA) dalam perakitan padi hibrida di Indonesia (Suwarno et al. 2003), dikhawatirkan dapat menimbulkan kerapuhan genetik yang berasosiasi dengan kerentanan terhadap HPT (Li et al. 2007). Oleh karena itu perlu dirakit GMJ yang memiliki sterilitas polen stabil dan tahan HPT dari sumber sitoplasma yang berbeda-beda. Galur mandul jantan yang efektif harus memiliki laju persilangan alami tinggi, sterilitas tepung sari 100% dan stabil, kemandulan mudah dipulihkan (easy restorability), mempunyai daya gabung yang baik dengan berbagai galur pemulih kesuburan, tanaman pendek, malai keluar sempurna, stigma keluar lebih dari 70%, kualitas biji baik, tahan terhadap HPT dan mudah beradaptasi dengan lingkungan tumbuhnya (Yuan et al. 2003). Telah diperoleh 19 galur dihaploid calon galur pelestari dari hasil penelitian sebelumnya. Galur pelestari adalah galur yang potensial untuk perakitan GMJ. Galur-galur tersebut dirakit menggunakan metode kultur antera terhadap tanaman F1 persilangan antara galur-galur pelestari BB Padi dengan varietas donor untuk ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri (HDB) (Dewi et al. 2005). Sembilan belas galur yang sudah homozigos tersebut dapat segera dikonversi menjadi GMJ baru. Sifat mandul jantan dari sumber-sumber sitoplasma yang ada dapat ditransfer ke galur-galur elit lokal melalui persilangan yang dilanjutkan dengan silang balik berkelanjutan selama beberapa generasi.
Pembentukan GMJ yang memiliki
stabilitas sterilitas polen dari berbagai sumber sitoplasma sangat penting guna
42
mendukung peningkatan hasil benih pada proses produksi benih GMJ maupun F1 hibrida. Percobaan ini bertujuan untuk (1) memindahkan sifat mandul jantan dari galur mandul jantan yang telah ada sebagai sumber sitoplasma ke dalam galurgalur haploid ganda melalui persilangan dengan sumber mandul jantan yang dilanjutkan dengan silang balik berulang, (2) mendapatkan informasi stabilitas sterilitas polen sejak generasi pertama (F1) sampai generasi silang balik ke-5 (F1BC5), dan (3) mendapatkan galur mandul jantan baru tipe Wild-Abortive (WA), Gambiaca atau Kalinga yang tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri untuk digunakan sebagai tetua betina dalam pembentukan padi hibrida. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan mulai Desember 2006 hingga Maret 2010. Penelitian ini dilakukan di rumah kaca Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik, rumah kaca University Farm IPB Cikabayan dan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah benih 57 F1 terseleksi hasil persilangan 3 galur mandul jantan (GMJ) dengan 19 DH calon pelestari, dan benih hasil silang balik antara F1 yang steril 100% dengan DH (F1BC1 - F1BC5).
GMJ yang
digunakan adalah IR58025A, IR62829A, dan IR68897A. Ketiga GMJ ini berasal dari International Rice Research Institute (IRRI) dengan sumber sitoplasma Wild Abortive (WA). Pada Juni 2007, dilakukan persilangan tambahan antara IR80154A dan IR80156A dengan 19 DH yang sama. GMJ IR80154A merupakan GMJ tipe Gambiaca, sedangkan GMJ IR80156A adalah GMJ tipe Kalinga. Bahan penunjang penelitian adalah media tanam (campuran tanah sawah dan pupuk kandang dengan perbandingan 3 : 1) dan ember plastik. Metode Percobaan ini terbagi menjadi dua sub kegiatan. Pada kegiatan pertama, diuji sejumlah genotipe, terdiri atas 57 F1, 19 calon galur pelestari dihaploid (DH1) serta 3 pembanding yaitu GMJ tipe WA (IR58025A, IR62829A dan IR68897A) dan galur pelestari pasangannya (IR58025B, IR62829B, dan IR68897B). Musim berikutnya ditanam kombinasi-kombinasi persilangan hasil silang balik terhadap
43
galur pelestari dihaploid (recurrent parent), yang mempunyai tingkat sterilitas (kemandulan) polen 100% (F1BC1 - F1BC5).
Setiap kombinasi persilangan
ditanam di sawah, masing-masing kombinasi calon GMJ ditanam sebanyak 2 baris dan 12 tanaman setiap barisnya, sedangkan tetua jantan pasangannya ditanam berdampingan sebanyak 3 baris dan 12 tanaman setiap barisnya. Pada kegiatan kedua, dilakukan persilangan manual (handcrossing) antara GMJ Kalinga (IR80154A) dan Gambiaca (IR80156A) dengan galur pelestari dihaploid (DH1) yang sama.
Tiga puluh delapan kombinasi persilangan tersebut diuji di
lapangan. Pada musim berikutnya dilakukan kegiatan yang sama seperti sub kegiatan pertama, yaitu silangbalik sampai F1BC5. Pemeliharaan tanaman dilakukan seperti halnya budidaya padi sawah. Pupuk yang diberikan adalah Urea 150 kg/ha, SP36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha. Setengah dosis Urea, seluruh dosis SP36 dan KCl diberikan sebagai pupuk dasar sehari sebelum tanam, sedangkan sisa setengah dosis Urea diberikan pada saat tanaman berumur 40 HST.
Pengendalian hama dan
penyakit dilakukan saat munculnya gejala serangan hama dan penyakit. Pengamatan terutama dilakukan terhadap sterilitas polen (%), sterilitas malai (spikelet sterility (%)), posisi malai (panicle exsertion) dan persentase jumlah stigma yang berada di luar lemma dan palea (stigma exsertion). Pengamatan juga dilakukan terhadap beberapa karakter agronomis antara lain tinggi tanaman, jumlah anakan, panjang malai, umur berbunga, ketahanan terhadap hama dan penyakit yang terjadi di lapangan, serta daya silang populasi DH dengan 3 GMJ. Semua pengamatan diamati mengikuti metode dan aturan pada SES (IRRI 2002), sebagai berikut : 1. Sterilitas pollen, sampel polen diambil dari 10 bunga yang dimasukkan ke dalam alkohol 70%, kemudian antera dari minimal 5 bunga digerus di atas gelas preparat dan ditetesi larutan Iodine Potassium Iodide (IKI) 1% lalu ditutup dengan cover-glass. Selanjutnya diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 – 400x. Persentase sterilitas polen ditentukan berdasarkan jumlah polen yang terwarnai IKI 1% di dalam bidang pandang di bawah mikroskop 2. Eksersi malai (Panicle exsertion), diamati posisi keluarnya malai dari pelepah daun bendera pada stadia berbunga. Berdasarkan persentase eksersi malai ditentukan pada skala eksersi mulai 1-9 (Tabel 15).
44
Tabel 15 Skor eksersi malai berdasarkan SES (IRRI 2002) Skor
Persentase panjang malai yang tertutup oleh pelepah daun bendera (%) 0 1 – 10 11 – 25 26 – 40 > 40
1 3 5 7 9
3. Eksersi Stigma (Stigma exsertion), diamati dengan menghitung jumlah bunga yang mempunyai putik yang tetap berada di luar ketika bunga sudah selesai mekar. Berdasarkan persentase eksersi stigma ditentukan skala eksersi stigma dari 1 - 9 (Tabel 16). Tabel 16 Skor eksersi stigma berdasarkan SES (IRRI 2002) Skor 1 3 5 7 9
Persentase eksersi stigma (%) >70 41 – 70 21 – 40 11 – 20 0 – 10
4. Pengamatan agronomis lainnya dilakukan seperti pada bab sebelumnya. 5. Ketahanan calon galur mandul jantan terhadap penyakit hawar daun bakteri, dilakukan seperti pada bab sebelumnya. Analisa Data: Sterilitas polen hasil persilangan terkontrol pada generasi pertama digunakan untuk menghitung persentase daya silang berdasarkan jumlah biji yang terbentuk per malai; data berupa persentase. Karakter sterilitas polen dari generasi pertama (F1) hingga silang balik ke lima (F1BC5) dihitung standar deviasinya. Karakter lain pada F1BC5 dirata-ratakan dan dihitung standar deviasinya untuk melihat variasi masing-masing karakter. Hasil dan Pembahasan Transfer Sifat Mandul Jantan dan Evaluasi Kemampuan 19 Galur Dihaploid dalam Memelihara Kemandulan Polen 3 Sumber Sitoplasma Galur Mandul Jantan (GMJ) Galur
dihaploid
calon
pelestari
menunjukkan
kemampuan
dalam
memelihara kemandulan polen dari 5 GMJ yang digunakan dengan variasi yang tinggi. Berdasarkan hasil uji silang (test cross) (Tabel 17), terdapat 11 galur DH
45
yang memiliki kemampuan memelihara sterilitas polen secara sempurna (100%) dari GMJ tipe Wild Abortive (IR58025A, IR62829A dan IR68897A), Gambiaca dan Kalinga. Lima galur DH diantaranya yaitu H36-3-Mb, H36-4-M, B1-2-Pa, B24-Pb dan B4-1-Dc dapat memelihara sterilitas GMJ IR58025A.
Pada hasil
persilangan dengan IR62829A diperoleh 4 galur DH yaitu H36-3-Ma, H36-3-Mb, B1-1-Mb dan B1-2-Pb yang mampu memelihara sterilitas polen GMJ ini, sedangkan ketika disilangkan dengan IR68897A diperoleh 5 galur DH yaitu H363-Mb, B1-1-Mb, B2-1-M, B4-1-Da dan B4-1-Dc yang dapat memelihara sterilitas polen GMJ tersebut. Galur-galur tersebut ketika disilangkan dengan ketiga GMJ tipe wild abortive menghasilkan F1 dengan persentase sterilitas polen 100%. Tabel 17 Sterilitas polen tanaman F1 hasil persilangan dari 5 GMJ dengan 19 galur DH Galur DH
Sterilitas pollen (%) IR58025A
IR62829A
IR68897A
IR80154A
IR80156A
xx
90,5
xx
xx
95,9
H36-2-Mb
58,6
72,2
40,0
xx
xx
H36-3-Ma
99,9
100,0
xx
99,5
100,0
H36-3-Mb
100,0
100,0
100,0
xx
99,9
H36-3-Mc
93,7
99,1
xx
xx
100,0
H36-4-M
100,0
xx
xx
100,0
93,8
H39-1-P
93,9
75,5
92,0
xx
xx
H45-3-Da
96,8
86,7
92,5
96,2
95,8
H45-4-Pc
98,9
90,4
98,5
xx
xx
B1-1-Mb
97,0
100,0
100,0
99,2
100,0
B1-2-Pa
100,0
99,7
81,0
94,4
xx
B1-2-Pb
96,3
100,0
xx
99,4
100,0
B2-1-Db
79,8
74,0
63,1
97,2
92,8
B2-1-Dc
40,0
91,1
63,3
xx
xx
B2-1-M
99,9
90,6
100,0
98,8
96,6
B2-2-Pb
xx
26,93
xx
99,9
xx
B2-4-Pb
100,0
99,50
99,0
xx
xx
B4-1-Da
98,0
99,18
100,0
xx
70,9
B4-1-Dc
100,0
97,50
100,0
82,5
97,4
H36-1-M
Keterangan: tanda xx menunjukkan bahwa dari persilangan tersebut tidak dapat diperoleh benih F1
Hasil uji silang juga berhasil mengidentifikasi satu galur DH yang mampu mempertahankan kemandulan polen dari GMJ tipe Gambiaca, yaitu H36-4-M,
46
sedangkan untuk GMJ tipe Kalinga terdapat empat galur DH yang dapat memelihara kemandulannya, antara lain H36-3-Ma, H36-3-Mc, B1-1-Mb dan B12-Pb (Tabel 17). Sesuai dengan kriteria Virmani et al. (1997) bahwa galur-galur yang menghasilkan F1 dengan fertilitas 0-1% ketika disilangkan dengan GMJ, maka galur-galur tersebut dikategorikan sebagai galur pelestari (maintainer). Dengan demikian tentu tanaman F1 dari hasil persilangan antara 5 GMJ x galur DH yang mempunyai sterilitas polen 99 - 100% akan lebih baik untuk digunakan sebagai bahan silang balik berkelanjutan dalam perakitan GMJ baru. Namun berdasarkan pengalaman di lapangan, ternyata galur-galur yang memiliki polen steril (91 – 100%) pada awal generasi silang balik, memiliki peluang yang sama untuk dikembangkan menjadi galur mandul jantan baru. Oleh karena itu, pada kegiatan berikutnya, semua calon galur mandul jantan yang memiliki sterilitas polen pada F1 lebih dari 91% tetap digunakan sebagai bahan silang balik. Perakitan Galur Mandul Jantan Melalui Silang Balik Berkelanjutan (Successive Backcrosses) Galur mandul jantan adalah galur padi yang memiliki antera abnormal. Antera GMJ tidak memiliki polen atau memiliki polen yang gagal berkembang lebih lanjut (aborsi), sehingga tidak dapat membentuk biji hasil menyerbuk sendiri (Yuan et al. 2003). Sifat mandul jantan memudahkan dalam persilangan untuk mendapatkan hibrida. Oleh karena itu dalam proses perakitan GMJ baru, karakter sterilitas polen merupakan karakter utama yang harus diamati (Gambar 6). Berdasarkan hasil pengamatan sterilitas polen dan karakter agronomis terhadap 57 populasi calon GMJ dan sister line-nya, dari generasi pertama (F1) hingga generasi silang balik kelima (F1BC5) telah diperoleh 10 calon galur mandul jantan yang secara agronomis baik dan memiliki sterilitas polen 100%. Tabel 18 menampilkan karakter sterilitas polen 10 GMJ baru yang terseleksi dari generasi pertama (F1) hingga generasi silang balik kelima (F1BC5). Sterilitas polen dari 10 GMJ baru pada generasi pertama berkisar 90,6100%. Sepuluh GMJ tersebut mempunyai perilaku bunga dan fenotipe tanaman yang baik, sehingga dilanjutkan ke proses silang balik. Generasi pertama (F 1) merupakan
populasi
yang
homogen
tetapi
mempunyai
genotipe
yang
heterozigos. Kegiatan silang balik akan membentuk populasi yang bersegregasi dan membuka peluang bagi pemulia untuk melakukan seleksi sesuai karakter target, yaitu sterilitas polen dan perilaku bunga. Penelitian ini memperoleh 6 GMJ
47
baru dengan sumber sitoplasma WA. Pada GMJ tipe WA tersebut, keragaman sterilitas polen antar galur terjadi sejak F1 hingga F1BC4. Galur BI497A dan BI703A sudah 100% steril pada generasi silang balik pertama dan kedua, tetapi sterilitasnya tidak stabil dan kembali menjadi parsial fertil saat generasi silang balik ketiga dan keempat. Galur lainnya menunjukkan peningkatan persentase sterilitas yang positif dari generasi ke generasi. Penelitian ini juga berhasil memperoleh satu GMJ baru dengan sumber sitoplasma Gambiaca, yaitu BI855A dan tiga GMJ baru tipe Kalinga yaitu BI639A, BI665A dan BI669A (Tabel 18). Seperti pada GMJ baru tipe wild abortive, sterilitas kedua tipe GMJ ini juga mengalami peningkatan sebagai akibat seleksi.
Tabel 18 Karakter sterilitas polen galur mandul jantan baru pada generasi F1 F1BC5
Keterangan: WA= wild abortive; nilai di belakang ± adalah standar deviasi; BI485A: IR58025A/H36-3-Ma, BI497A: IR68897A/H36-3-Mb, BI543A: IR58025A/B2-1-M, BI571A: IR62829A/B-1-M, BI599A: IR58025A/B4-1-Da, BI703A: IR58025A/H36-3-Mc, BI639A: IR80156A/H36-3-Mc, BI665A: IR80156A/H36-4-M, BI669A: IR80156A/B1-2Pb, dan BI855A: IR80154A/B2-1-Db
Seluruh GMJ baru dengan sumber sitoplasma WA mencapai mandul sempurna (completely sterile) pada F1BC5. Pada generasi silang balik ke empat, empat galur memiliki sterilitas 100% (completety sterile), sedangkan galur lainnya baru mencapai 99,8 hingga 99,9%. Hal ini berbeda dengan GMJ baru tipe Kalinga dan Gambiaca yang stabilitas karakter sterilitas polennya lebih cepat
48
dicapai. Seluruh GMJ baru tipe Kalinga dan Gambiaca telah memiliki polen yang 100% steril pada F1BC3 dan tetap stabil hingga F1BC5. Hal ini menunjukkan bahwa GMJ tipe Kalinga dan Gambiaca memiliki sterilitas polen yang lebih stabil dibandingkan tipe Wild Abortive. Sterilitas polen yang stabil dari generasi ke generasi
serta tidak dipengaruhi oleh perubahan lingkungan terutama
perubahan suhu, merupakan karakter terpenting di dalam komersialisasi GMJ (Yuan & Fu 1995).
Gambar 6 Ukuran polen steril (kiri atas), polen fertil yang terwarnai oleh IKI 1% (kiri bawah) dan polen steril yang tidak terwarnai oleh IKI 1% (kanan); pembesaran 40x pada mikroskop binokuler GMJ baru tipe WA, Kalinga dan Gambica memiliki rata-rata tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif, dengan kisaran masing-masing antara 66,1 – 107,8 cm dan 6,5 – 15,4 anakan (Tabel 19). Tinggi tanaman harus diperhatikan dalam perakitan GMJ baru karena dalam produksi benih, GMJ harus dipasangkan dengan galur pelestari atau pemulih kesuburan. Karena itu, tinggi tanaman GMJ disarankan kurang dari 100 cm agar memudahkan dalam memilih tetua jantan penggabungnya. Jumlah anakan yang ideal untuk GMJ adalah 10-12 malai per rumpun. Peng et al. (2008) menyatakan bahwa untuk mendapatkan padi hibrida berheterosis tinggi, maka GMJ harus mempunyai kapasitas pembentukan malai yang moderat yaitu 270-300 malai/m2.
49
Tabel 19
Keragaan karakter agronomis, eksersi malai dan eksersi stigma tiga tipe galur mandul jantan baru
Keterangan: BI485A: IR58025A/H36-3-Ma, BI497A: IR68897A/H36-3-Mb, BI543A: IR58025A/B21-M, BI571A: IR62829A/B-1-M, BI599A: IR58025A/B4-1-Da, BI703A: IR58025A/H363-Mc, BI639A: IR80156A/H36-3-Mc, BI665A: IR80156A/H36-4-M, BI669A: IR80156A/B1-2-Pb, dan BI855A: IR80154A/B2-1-Db; Nilai skor eksersi stigma merupakan modus dari semua sister line masing-masing galur, 1: >70%, 3: 51-69%; angka setelah ± adalah nilai standar deviasi
Umur bunga akan menentukan lamanya periode pengisian biji (Takai et al. 2006). Seluruh GMJ baru dengan tiga tipe sitoplasma yang berbeda tersebut termasuk dalam kategori genjah, yaitu dapat dipanen sebelum 120 HSS. GMJ yang berumur genjah diharapkan akan menghasilkan hibrida berumur genjah. Hibrida dengan heterosis yang tinggi pada karakter bobot hasil dan berumur genjah akan mudah diadaptasikan ke petani, karena dapat meningkatkan produktivitas lahan dan sesuai untuk pola tanam tertentu, seperti IP padi 400. Sepuluh GMJ baru ini memiliki skor eksersi malai dan stigma berkisar antara 1 – 3. Hal ini menunjukkan bahwa GMJ tersebut mempunyai peluang yang tinggi dalam persilangan alami (Virmani et al. 1997). Skor 3 pada eksersi malai sebagian GMJ baru mengindikasikan bahwa galur-galur tersebut masih memiliki bagian pangkal malai yang tertutup oleh pelepah daun bendera, walaupun tidak lebih dari 10%. Eksersi malai yang tidak sempurna merupakan kelemahan dari beberapa tipe galur mandul jantan, termasuk Wild Abortive, Gambiaca dan Kalinga. Hal ini menjadi salah satu kendala dalam persilangan alami. Namun demikian, 10 GMJ baru memiliki persentase eksersi stigma pasca antesis yang baik, yaitu berkisar antara 51 - >70%. Hal ini sangat membantu proses penyerbukan. Dengan demikian, walaupun memiliki eksersi malai yang tidak sempurna, tetapi karena memiliki eksersi stigma lebih dari 51% maka
50
proses penyerbukan dan pembuahan masih dapat terjadi pada sebagian besar bunga yang berada pada malai terbuka akibat stigma yang tetap berada di luar pasca anthesis. Ketahanan Galur Mandul Jantan Baru terhadap Penyakit Hawar Daun Bakteri Galur mandul jantan harus mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan tumbuhnya dan tahan terhadap hama atau penyakit utama padi. Ketiga tipe GMJ yang diuji, dikonversi dari galur-galur pelestari dihaploid (DH2) hasil kultur antera F1 persilangan galur pelestari dengan galur donor yang memiliki ketahanan terhadap hawar daun bakteri. Baik galur pelestari maupun donor merupakan galur-galur elit hasil pemuliaan yang sudah beradaptasi di Indonesia. Pada silang balik kelima, GMJ yang terbentuk telah memiliki sitoplasma yang berasal dari galur introduksi tetapi sudah memiliki 98,4375% gen-gen nukleus dari galur pelestari atau tetua jantannya (recurrent parent). Terlebih lagi, di dalam perbanyakan benih galur mandul jantan, galur pelestari selalu harus ditanam berdampingan dengan galur pelestarinya dan dibiarkan terjadi out crossing, sehingga dengan kata lain kegiatan silang balik akan terjadi terus menerus secara alami. Dengan demikian, diharapkan tiga tipe GMJ baru ini lebih mampu beradaptasi di lndonesia karena peningkatan persentase gen dari tetua jantannya. Galur-galur mandul jantan baru memiliki ketahanan yang bervariasi terhadap patogen hawar daun bakteri (HDB) (Tabel 20). Pengujian terhadap patogen HDB patotipe III menunjukkan bahwa ada 3 GMJ baru yaitu GMJ tipe WA (BI703A), Gambiaca (BI855A) dan Kalinga (BI669A) yang bereaksi tahan, sedangkan tujuh GMJ lainnya menunjukkan reaksi agak tahan terhadap patotipe III. Untuk pengujian terhadap patogen HDB patotipe IV, diperoleh 1 GMJ baru yang teridentifikasi sangat tahan, sedangkan sisanya termasuk kategori agak tahan (4 galur), agak rentan (3 galur) dan rentan (2 galur). Pengujian dengan patogen HDB patotipe VIII juga menghasilkan 3 kategori ketahanan, yaitu sangat tahan (3 galur), agak tahan (2 galur) dan agak rentan (5 galur).
51
Tabel 20 Ketahanan galur mandul jantan baru terhadap patogen hawar daun bakteri Galur Mandul Jantan BI485A BI497A BI543A BI571A BI599A BI703A BI855A BI639A BI665A BI669A
Sumber Sitoplasma Wild Abortive Wild Abortive Wild Abortive Wild Abortive Wild Abortive Wild Abortive Gambiaca Kalinga Kalinga Kalinga
Ketahanan terhadap Xoo Patotipe III
Patotipe IV
Patotipe VIII
3 3 3 3 3 1 1 3 3 1
3 3 7 5 3 5 3 7 0 5
5 5 0 0 5 3 5 5 0 3
Keterangan: 485A/B: IR58025A/H36-3-Ma, BI497A/B: IR68897A/H36-3-Mb, 543A/B: IR58025A/B21-M, 571A/B: IR62829A/B-1-M, 599A/B: IR58025A/B4-1-Da, 703A/B: IR58025A/H363-Mc, 639A/B: IR80156A/H36-3-Mc, 665A/B: IR80156A/H36-4-M, 669A/B: IR80156A/B1-2-Pb, dan 855A/B: IR80154A/B2-1-Db; skor ketahanan: 0 sangat tahan; 1 tahan; 3 agak tahan; 5 agak rentan; 7 rentan; 9 sangat rentan.
Gambar 7
Penampilan galur mandul jantan baru yang tahan terhadap hawar daun bakteri, isolat terisolir pada ujung bekas pengguntingan (lingkaran)
52
Dari penelitian ini diperoleh 1 GMJ baru, yaitu BI665A yang memberikan reaksi agak tahan terhadap patotipe III, namun sangat tahan terhadap patotipe IV dan VIII. Patotipe IV dan VIII dilaporkan merupakan patotipe yang sangat virulen di Indonesia. Sudir & Suprihanto (2006) menyatakan bahwa tingkat virulensi bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit HDB. Gambar 6 menunjukkan bahwa pada tanaman tahan, bakteri yang ditularkan melalui inokulasi buatan tidak berkembang. Daun mematikan jaringan disekitar daun yang digunting, sehingga bakteri tidak dapat menyebar ke seluruh bagian daun. Tersedianya GMJ yang memiliki sterilitas stabil, karakter agronomis baik dan ketahanan terhadap penyakit akan meningkatkan kemampuan adaptasi galur-galur tersebut dan hibrida turunannya. Kesimpulan Transfer sifat mandul jantan telah berhasil dilakukan ke dalam 19 galur dihaploid calon galur pelestari. Kegiatan silang balik berkelanjutan dan seleksi terhadap sterilitas polen pada setiap generasi menghasilkan 10 GMJ baru. Enam GMJ baru memiliki sitoplasma tipe Wild Abortive, tiga GMJ baru memiliki sitoplasma tipe Kalinga dan satu GMJ baru memiliki sitoplasma tipe Gambiaca. Sterilitas polen GMJ tipe Kalinga dan Gambiaca lebih cepat mencapai 100% (highly sterile) dibandingkan GMJ tipe Wild Abortive. Kedua GMJ tersebut juga memiliki sterilitas polen yang lebih stabil dibandingkan tipe Wild Abortive. Sepuluh GMJ baru dari ketiga tipe sitoplasma ini memiliki tinggi tanaman berkisar antara 66,1 – 107,8 cm, dengan jumlah anakan kategori moderat dan umur genjah. Eksersi malai GMJ baru memiliki skor 1 – 3 atau sebagian besar memiliki bagian pangkal malai yang tertutup oleh pelepah daun bendera, walaupun tidak lebih dari 10%. Namun silang alami masih dapat terjadi dengan baik karena didukung oleh persentase eksersi stigma yang baik, yaitu antara 50 - 75% dari total rangkaian bunga (skor 1 – 3). GMJ tipe WA, Gambiaca dan Kalinga bereaksi tahan terhadap HDB patotipe III, berturut-turut yaitu BI703A, BI855A dan BI669A. Galur BI543A dan BI571A (WA) teridentifikasi tahan terhadap HDB patotipe VIII. BI665A (Kalinga) memberikan reaksi tahan terhadap dua patotipe sekaligus, yaitu IV dan VIII, yang merupakan patotipe paling virulen di Indonesia.
KARAKTER BUNGA YANG MENDUKUNG KEMAMPUAN MENYERBUK SILANG GALUR MANDUL JANTAN Abstrak Galur mandul jantan selain memiliki sterilitas tinggi dan stabil harus mempunyai karakter dan perilaku bunga yang baik untuk mendukung laju persilangannya. Percobaan ini dilakukan untuk mempelajari karakter dan perilaku bunga calon GMJ baru serta keragaman genetiknya. Lima galur mandul jantan baru digunakan dalam percobaan ini dan ditata di lapangan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa galur mandul jantan baru dengan tiga sitoplasma berbeda yaitu Wild Abortive, Kalinga dan Gambiaca, memiliki umur berbunga dengan kategori genjah. Galur-galur mandul jantan tersebut memiliki karakter bunga yang lebih baik dibandingkan IR58025A, seperti stigma besar, persentase eksersi stigma yang tinggi, sudut pembukaan bunga yang lebar dan durasi pembukaan bunga yang lama. Akumulasi perilaku bunga yang baik dan mendukung kemampuan menyerbuk silang mampu meningkatkan kisaran seed set GMJ baru, yaitu antara 4,75 – 25,90%, sedangkan IR58025A hanya mencapai 2,98%. Karakter eksersi malai, eksersi stigma, panjang stigma, panjang stilus, sudut pembukaan bunga dan durasi pembukaan bunga GMJ memiliki nilai heritabilitas arti luas moderat hingga tinggi. Nilai koefisien variasi genotipik karakter eksersi stigma, lebar stigma dan panjang stilus termasuk dalam kategori tinggi, sedangkan panjang stigma tergolong cukup tinggi. Karakter lebar stigma memiliki nilai koefisien variasi fenotipik tinggi, sedangkan eksersi stigma, panjang stigma dan panjang stilus termasuk dalam kategori cukup tinggi. Seleksi terhadap karakter-karakter tersebut efisien dilakukan secara fenotipik. Nilai korelasi yang positif dan nyata ditunjukkan antara seed set dengan lebar stigma (r = 0,44*), eksersi stigma (r = 0,54*) dan sudut membuka lemma dan palea galur mandul jantan (r = 0,42*), serta dengan panjang filamen (r = 0,47*) dan sudut pembukaan bunga galur pelestari (r = 0,57**). Karakter-karakter tersebut sangat mendukung jumlah biji yang terbentuk pada galur mandul jantan. Kata kunci: galur mandul jantan, biologi bunga, perilaku bunga, padi
54
Abstract Good male sterile lines should have high and stable sterility as well as good characters and behaviour of flowering that supporting outcrossing ability. The research was conducted to study character and flowering behaviour of new CMS and their genetic variability. Five new CMS lines were testing in the field using three replicated of randomized complete block design. The results showed that Wild Abortive, Kalinga and Gambiaca male sterile lines were early maturity. The lines have better flowering characters than IR58025A, such as big stigma, high stigma exsertion percentage, wider degree of opening glume, longest duration of opening glume. The accumulation of better flowering behavior were supporting the ability of outcrossing, therefore increase average of seed set on CMS lines about 4.75 to 25.90%, while IR58025A only 2.98%. The panicle exsertion, stigma exsertion, stigma length, style length, degree and duration of opening glume have moderate to high broad sense heritability. Coefficient variation of genotype of stigma exsertion, stigma width and style length were high, while stigma length were moderate. The stigma width has high coefficient variation of phenotype, while stigma exsertion, stigma leght and style length were moderate of phenotype coefficient of variance (PCV). Selection of characters could be done through phenotypic selection. The positive and significant correlation were showed between seed set with stigma width (r = 0.44*), stigma exsertion (r = 0.54*) and degree of opening glume of male sterile lines (r = 0.42*), also with filament length (r = 0.47*) and degree of opening glume of maintainer lines (r = 0.57**). The characters were needed to support development of the seed of CMS lines. Key words: cytoplasmic male sterile lines, flowering biology, flowering behaviour, rice
55
Pendahuluan Galur mandul jantan potensial tidak cukup memiliki sterilitas yang sempurna dan stabil saja, tetapi juga harus memiliki karakter bunga, perilaku pembungaan dan kemampuan menyerbuk silang yang baik.
Keberhasilan
perakitan padi hibrida tergantung pada ketersediaan galur mandul jantan yang memiliki laju serbuk silang alami tinggi.
Tanaman padi menghasilkan bunga
(spikelet) yang sempurna, terkumpul pada rangkaian malai. Setiap bunga terdiri atas enam antera yang didukung oleh tangkai sari (filament) dan stigma yang terdiri atas satu ovule dan memiliki dua permukaan kepala stigma (Virmani 1994). Berdasarkan struktur organ reproduksi, padi termasuk dalam kategori tanaman autogami, sehingga tidak mendukung terjadinya serbuk silang yang tinggi (Sheeba et al. 2006). Oleh karena itu, morfologi dan perilaku pembungaan galur mandul jantan dan tetua jantannya (pelestari dan pemulih kesuburan) akan menentukan tingkat terjadinya serbuk silang saat produksi benih GMJ atau hibridanya. Persentase pembentukan biji pada produksi benih GMJ dan hibrida ditentukan oleh faktor eksternal dan internal.
Faktor eksternal utama yaitu
pengaturan ketepatan waktu berbunga antara GMJ dan pelestari atau GMJ dan pemulih kesuburan, sedangkan faktor internal yang utama adalah karakterkarakter bunga dari GMJ (Widyastuti et al. 2007). Tingkat laju persilangan yang tinggi dipengaruhi oleh beberapa karakter bunga antara lain persentase eksersi malai, eksersi stigma (Shebaa et al. 2006), permukaan stigma yang besar, waktu antesis yang panjang, dan besarnya sudut membuka lemma-palea saat antesis (Singh & Shirisha 2003). Hasil penelitian sebelumnya telah berhasil memperoleh sepuluh galur mandul jantan baru dengan tiga latar belakang sitoplasma yang berbeda, yaitu Wild Abortive (WA), Kalinga dan Gambiaca. Secara morfologi, baik pada tahap vegetatif maupun generatif, ketiga tipe mandul jantan ini bervariasi. Singh et al. (2006) menyatakan bahwa terdapat ragam genetik perilaku pembungaan pada sejumlah varietas padi indica dan japonica. Ragam genetik ditemukan pada karakter waktu terjadinya dan lama anthesis, eksersi malai dan jumlah bunga per malai. Hal ini menunjukkan adanya tingkat keragaman genetik untuk karakter morfologi bunga dan perilaku pembungaan. Karena itu, informasi mengenai ragam genetik karakter dan perilaku pembungaan galur mandul jantan baru ini sangat diperlukan dalam rangkaian
56
perakitan padi hibrida baru.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari
morfologi dan perilaku bunga calon GMJ baru yang mempengaruhi laju persilangan alami, serta keragaman genotip kedua karakter. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2009 hingga April 2010 di Kebun Percobaan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi), Sukamandi, Jawa Barat. Bahan dan Alat Dari 10 GMJ baru yang teridentifikasi pada kegiatan transfer sifat mandul jantan dan silang balik berkelanjutan, dipilih GMJ dari tipe yang berbeda untuk dipelajari karakter dan perilaku bunganya. Bahan yang digunakan adalah 5 GMJ (BI485A, BI599A, BI855A, BI639A dan BI665A) dan pelestari pasangannya (BI485B, BI599B, BI855B, BI639B dan BI665B). Pembanding yang digunakan adalah IR58025A dan IR58025B. Alat yang digunakan berupa busur derajat, kaca pembesar, mikroskop, counter, caliper digital dan alat tulis. Prosedur Pelaksanaan Percobaan dilakukan di lapangan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 3 ulangan.
GMJ dan pelestari pasangannya ditanam secara
berdampingan. Masing-masing galur ditanam sebanyak 2 baris dan setiap baris ditanam 12 rumpun dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, dan satu bibit per lubang tanam.
Penanaman dilakukan setelah umur bibit mencapai 21 hari setelah
sebar. Guna memperoleh kesesuaian waktu berbunga antara F1 dengan tetua jantannya, maka tetua jantan ditanam sebanyak tiga kali waktu tanam, yaitu lima hari lebih dahulu, bersamaan dan lima hari lebih lambat dari tetua betinanya. Pengamatan dilakukan terhadap 10 sampel tanaman per galur. Peubah yang diamati meliputi karakter agronomis dan bunga, baik GMJ maupun pelestari. Pengamatan karakter agronomis dilakukan terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif. Pengamatan juga dilakukan terhadap umur berbunga 50%. Pengamatan terhadap karakter bunga dan perilaku pembungaan galur mandul jantan dan pelestari, antara lain :
57
A. Karakter bunga dan perilaku pembungaan galur mandul jantan, meliputi: 1. Panjang stigma, diukur dari pangkal stigma hingga ujung terjauh stigma (mm). 2. Lebar stigma, dilakukan dengan mengukur diameter permukaan terlebar stigma (mm). 3. Panjang stilus, diukur dari pangkal stigma hingga bagian yang berbatasan dengan ovari (mm). 4. Warna stigma, diamati secara visual pada saat bunga mekar. 5. Umur berbunga 50%, diamati jumlah hari saat 50% populasi tanaman telah berbunga (hari) 6. Persentase eksersi malai, diukur berdasarkan posisi kedudukan leher malai terhadap daun bendera; yang diamati pada stadia masak susu atau menjelang panen. 7. Persentase eksersi stigma, diukur berdasarkan jumlah bunga yang memiliki stigma keluar pada satu atau kedua sisi lemma palea saat bunga tersebut telah selesai anthesis. 8. Lama pembungaan, diamati durasi membukanya lemma dan palea selama anthesis (menit). 9. Sudut pembukaan bunga, diamati sudut maksimal yang dibentuk oleh lemma dan palea saat anthesis (o). 10. Persentase Seed set, diukur berdasarkan jumlah biji yang terbentuk akibat persilangan alami galur mandul jantan dengan galur pelestari pasangannya. B. Karakter bunga dan perilaku pembungaan galur pelestari, meliputi: 1. Panjang antera, diukur dari pangkal lokul antera hingga ujung antera (mm). 2. Panjang filamen, diukur dari pangkal antera hingga dasar lokul antera (mm). 3. Warna antera, diamati saat bunga mekar yaitu sekitar jam 9 – 10 pagi (udara cerah) 4. Skor anthesis, diukur berdasarkan keserempakan bunga mengalami anthesis. 5. Umur berbunga 50%, diamati jumlah hari saat 50% populasi tanaman telah berbunga (hari) 6.
Lama pembungaan, diamati durasi membukanya lemma dan palea selama anthesis (menit).
7. Sudut pembukaan bunga, diamati sudut maksimal yang dibentuk oleh lemma dan palea saat anthesis (o).
58
8. Persentase Seed set, diukur berdasarkan jumlah biji yang terbentuk akibat menyerbuk sendiri pada galur pelestari.
Analisis Data Analisis statistik untuk karakter-karakter bunga menggunakan nilai ratarata ulangan tiap galur. Data yang berupa persentase ditransformasi arcsin terlebih dahulu sebelum dianalisis.
Ragam genotipe, ragam fenotipe dan
heritabilitas dihitung berdasarkan komponen ragam (Singh & Chaudary 1979).
Hasil dan Pembahasan Karakter Morfologi, Perilaku Bunga dan Keragaman Genetiknya pada Tiga Tipe Galur Mandul Jantan Baru Guna mendukung proses produksi benih, galur mandul jantan harus mempunyai sterilitas polen yang stabil dan memiliki struktur serta perilaku bunga yang baik. GMJ harus mempunyai struktur bunga yang normal, putik sempurna dan keluar saat berbunga serta lemma dan palea yang mampu membuka lebih lama dengan sudut yang lebar (Yuan et al. 2003).
Eksersi Malai Hasil pengamatan terhadap sejumlah karakter biologi dan perilaku bunga GMJ dan pembanding disajikan pada Tabel 21. Eksersi malai tiga tipe GMJ tidak berbeda nyata dengan galur pembanding (IR58025A), kecuali BI485A dan BI665A yang memiliki persentase eksersi malai lebih rendah. Namun demikian semua GMJ baru, termasuk kategori bereksersi malai baik karena >75% malai keluar dari pelepah daun bendera. Hal ini menunjukkan bahwa semua GMJ baru masih memiliki bagian malai yang tertutup daun bendera, walaupun galur pelestari pembentuknya tidak demikian (Gambar 8). Galur mandul jantan maupun galur pelestari memiliki empat bagian internode, setelah fase perpanjangan internode, yaitu ruas II, III, IV dan UI (upper internode). Internode IV merupakan bagian terbawah pada perpanjangan batang, yang terjadi pada fase pembentukan primordia malai utama (fase 1). Diikuti oleh perpanjangan internode III pada fase primordial rachis-branch (fase 3). Internode IV dan III berhenti memanjang berturut-turut pada fase meiosis (fase 7) dan pematangan polen (fase 8). Pemanjangan internode II dimulai pada fase 7. Pada
59
fase tersebut, polen galur mandul jantan tipe WA mengalami aborsi, setelah itu laju pemanjangan internode II galur mandul jantan menjadi lebih rendah dibandingkan galur pelestari. Hal ini mengakibatkan ketika internode teratas atau pangkal malai mulai memanjang pada fase 8 maka eksersi malai GMJ menjadi tidak sempurna (Gambar 8). Menurut Yin et al. (2007), penurunan laju pemanjangan internode pada galur mandul jantan tipe wild abortive terkait dengan terjadinya mandul jantan sitoplasmik. Gagalnya pemanjangan pangkal malai pada GMJ tipe Wild Abortive karena terhambatnya biosintesis asam giberelat, yang disebabkan oleh kandungan asam indol asetat (IAA) yang rendah pada malai galur mandul jantan. Namun hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa ternyata sifat ini juga berasosiasi dengan GMJ tipe Gambiaca maupun Kalinga.
Gambar 8 Eksersi malai galur pelestari (kiri) dan galur mandul jantan (kanan) Beberapa galur mandul jantan tipe lain seperti Honglian (HL) dan Boro type (BT) dilaporka mengalami permasalahan yang sama yaitu tertutupnya sebagian pangkal malai GMJ. Yin et al. 2007 menyebutkan bahwa dibandingkan dengan GMJ tipe WA, galur tipe HL dan BT mengalami pengguguran polen lebih lambat yaitu saat fase binukleat dan trinukleat. Hal ini ternyata berasosiasi dengan persentase eksersi malai GMJ tipe HL dan BT yang lebih besar dibandingkan dengan GMJ tipe WA. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa panjang akhir
60
ruas teratas sangat dipengaruhi oleh fase pengguguran polen pada GMJ padi. Semakin awal terjadinya pengguguran polen pada GMJ, maka semakin pendek persentase pemanjangan ruas teratasnya, sehingga eksersi malainya akan sangat rendah. Pada penelitian ini galur mandul jantan BI855A (tipe Gambiaca) dan BI639A (tipe Kalinga) memiliki persentase eksersi malai yang lebih baik dibanding BI485A dan BI599A (tipe Wild Abortive), sehingga ada kemungkinan bahwa terjadinya hambatan terhadap pemanjangan ruas teratas GMJ tipe Gambiaca dan Kalinga terjadi pada fase yang lebih lambat. Namun untuk mengetahui dengan jelas penyebab fenomena ini, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai fase aborsi polen pada GMJ tipe Gambiaca dan Kalinga tersebut.
Tabel 21
Eksersi malai, eksersi stigma, panjang dan lebar stigma, panjang stilus dan warna putik dari tiga tipe galur mandul jantan baru
Keterangan: BI485A: IR58025A/H36-3-Ma, BI599A/B: IR58025A/B4-1-Da, BI639A: IR80156A/H362 3-Mc, BI665A: IR80156A/H36-4-M, dan BI855A: IR80154A/B2-1-Db; σ g= ragam 2 genotipe; σ p= ragam fenotipe; h(bs) = heritabilitas arti luas; KVG= koefisien keragaman genotipik; KVP= koefisien keragaman fenotipik Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda secara statistika
Nilai koefisien ragam genotipik (KVG) relatif ditentukan dari nilai KVG absolut, yaitu 0-17,91%, sehingga diperoleh empat kategori yaitu rendah (0 < x < 4,48), agak rendah (4,48 < x < 8,95), cukup tinggi (8,95 < x < 13,43) dan tinggi (x > 13,43). Kategori nilai koefisien variasi fenotipik (KVP) ditetapkan bahwa rendah (0 < x < 6,47), agak rendah (6,47 < x < 12,94), cukup tinggi (12,94 < x < 19,40)
61
dan tinggi (x > 19,40). Nilai KVG dan KVP dari eksersi malai termasuk dalam kategori rendah dengan nilai heritabilitas yang termasuk kategori tinggi (Tabel 21). Hal ini menunjukkan bahwa selain genetis, karakter eksersi malai juga masih dipengaruhi oleh lingkungan. Eksersi malai sangat dipengaruhi oleh biosintesis asam giberelat. Rendahnya eksersi malai dapat diatasi dengan melakukan perbaikan terhadap fisiologi dan genetik terhadap galur-galur ini sehingga mampu mensintesis GA dengan baik atau menambahkan bahan kimia yang mengandung
asam
giberelat
secara
eksogen.
Beberapa
peneliti
telah
memasukkan gen eui ke dalam galur mandul jantan padi untuk mengatasi tertutupnya malai pada pelepah daun bendera. Terdapat dua gen resesif, yaitu eui dan eui2 yang bertanggung jawab terhadap pemanjangan ruas teratas pada padi. Dua gen tersebut merupakan gen yang non allelic, masing-masing berada di kromosom 5 dan di tengah lengan panjang dari kromosom 10 (Qiao et al. 2008). Stigma Pengamatan pada GMJ dilakukan terhadap karakter-karakter persentase eksersi stigma, panjang dan lebar stigma serta panjang stylus atau tangkai stigma. GMJ yang baik harus memiliki kemampuan menyerbuk silang yang sangat tergantung pada kapasitas stigma dalam menerima polen asing. Pada galur pelestari (maintainer) harus diamati kemampuan antera menyediakan polen dalam jumlah cukup untuk menyerbuki tanaman GMJ di sekitarnya (Ramakrishna et al. 2006). Eksersi stigma diamati dari jumlah bunga dengan stigma tetap di luar saat bunga sudah menutup kembali setelah anthesis (Gambar 9). Kemampuan GMJ untuk mempertahankan stigmanya tetap di luar setelah anthesis didukung oleh panjang stilus (tangkai stigma) yang panjang. Persentase eksersi stigma tiga tipe GMJ baru nyata lebih tinggi dibandingkan IR58025A (Tabel 21). Panjang stilus galur-galur mandul jantan baru tersebut bervariasi. Panjang stilus GMJ baru tipe Wild Abortive
tidak berbeda nyata dengan
pembanding, karena pembanding yang digunakan merupakan GMJ tipe yang sama. GMJ baru tipe Gambiaca dan Kalinga nyata memiliki stilus yang lebih panjang dibandingkan IR58025A, sehingga potensi eksersi stigma kedua tipe galur ini juga lebih tinggi dibandingkan tipe WA. Karakter panjang dan lebar stigma tidak menunjukkan variasi yang cukup besar dan tidak berbeda nyata dengan IR58025A. Hal ini karena IR58025A
62
merupakan salah satu GMJ yang telah dirakit dengan memperhatikan karakter panjang dan lebar stigma yang baik pula. Eksersi stigma merupakan karakter dengan heritabilitas yang tinggi, dengan nilai KVG tinggi dan KVP cukup tinggi. Karakter panjang stigma juga memiliki nilai KVG dan KVP relatif cukup tinggi, sedangkan panjang stilus memiliki nilai KVG tinggi dan nilai KVP yang cukup tinggi. Heritabilitas arti luas kedua karakter tersebut tergolong tinggi. Hal ini berarti bahwa seleksi terhadap karakter eksersi stigma, panjang stigma dan panjang stilus dapat dimulai sejak generasi awal, karena karakter tersebut tidak terlalu dipengaruhi oleh efek lingkungan (Sheeba et al. 2006). Karakter lebar stigma galur mandul jantan baru masih dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga variasi antar sampel cukup besar. Namun demikian, karakter ini memiliki nilai KVG yang cukup tinggi dan KVP cukup tinggi, walau nilai heritabilitas arti luasnya moderat. Karakter ini sebaiknya diseleksi dengan lebih hati-hati, yaitu dengan melakukannya pada generasi lanjut agar telah diperoleh fiksasi gen dengan baik dan semua galur hasil seleksi telah mendekati homozigos, serta dilakukan pengamatan terhadap lebih banyak sampel pada satu galur yang sama. Dengan demikian, apabila diperoleh galur-galur generasi lanjut yang memiliki lebar stigma yang baik, maka diharapkan sifat tersebut akan kembali dan terus diwariskan kepada zuriatnya.
Karakter-karakter yang memiliki nilai KVG dan
heritabilitas tinggi lebih efisien untuk diseleksi secara fenotipik atau visual (Singh & Sirisha 2003). Dalam penelitian ini, seleksi fenotipik terhadap karakter eksersi stigma yang dilakukan mulai dari generasi F1BC3 ternyata efektif dalam meningkatkan persentase eksersi stigma tiga tipe GMJ baru dibandingkan galur pembandingnya yaitu IR58025A. Seluruh GMJ baru memiliki warna stigma putih, dengan ukuran yang cukup besar. Pada awal perakitan GMJ baru, terdapat beberapa calon GMJ yang memiliki warna stigma hitam dengan persentase eksersi stigma yang tinggi. Akan tetapi, calon GMJ ini memiliki sterilitas polen yang tidak stabil, sehingga tidak dapat dilanjutkan sebagai calon GMJ baru. Tiga tipe galur mandul jantan baru memperlihatkan karakteristik dan perilaku bunga yang mendukung terjadinya serbuk silang pada padi. Padi budidaya inbrida memiliki antera dan stigma yang lebih pendek serta persentase eksersi stigma yang lebih rendah, sedangkan padi liar memiliki stigma lebih besar dan persentase eksersi stigma yang tinggi sehingga persentase menyerbuk silang padi liar lebih besar dibandingkan padi budidaya (Uga et al. 2003). Karakteristik dan perilaku bunga galur mandul jantan yang mendukung persilangan alami di
63
atas diperoleh dari tetua-tetua asalnya (ancestor), karena galur mandul jantan tipe Wild Abortive dikembangkan dari O. rufipogon (Eckardt 2006), sedangkan Kalinga dan Gambiaca dikembangkan dari padi lokal indica dan tropical japonica. Galur-galur tersebut memiliki sejumlah karakter bunga yang ideal untuk digunakan sebagai tetua betina dalam produksi benih hibrida, seperti durasi antesis yang panjang dan eksersi stigma yang baik (Singh et al. 2006).
A
B
Gambar 9 Eksersi stigma yang tinggi pada galur mandul jantan baru (B) dibandingkan dengan eksersi stigma pada IR58025A (A) Karakter Morfologi, Perilaku Bunga dan Keragaman Genetik Galur Pelestari Pasangan Galur Mandul Jantan Baru Galur pelestari seringkali disebut sebagai saudara kembar galur mandul jantan, karena secara morfologi galur ini memiliki kesamaan, tetapi galur pelestari memiliki polen yang normal dan fertil. Galur pelestari berfungsi sebagai penyedia polen guna menyerbuki stigma galur mandul jantan dalam produksi benih galur mandul jantan. Perilaku bunga yang menjadi kriteria dalam perakitan galur pelestari tentu berbeda dengan kriteria untuk galur mandul jantan. Karakter bunga dan perilaku bunga lima galur pelestari ditampilkan pada Tabel 22.
64
Lima galur pelestari pasangan galur mandul jantan baru, memiliki antera yang nyata lebih panjang dibandingkan IR58025B, hanya satu yang sebanding dengan IR58025A, yaitu BI485B. Panjang antera berkisar antara 2,12 - 2,52 mm dan berwarna kuning serta gemuk, menunjukkan bahwa antera memiliki cukup banyak polen yang nantinya akan dilepaskan untuk menyerbuki galur mandul jantan pasangannya. Karakter ini memiliki nilai heritabilitas yang tinggi sehingga seleksi efektif dilakukan secara fenotipik pada generasi awal.
Tabel 22 Panjang antera, filamen, skor anthesis dan warna antera galur pelestari
Keterangan: BI485B: H36-3-Ma, BI599B: B4-1-Da, BI639B: H36-3-Mc, BI665B: H36-4-M, dan BI855B: B2-1-Db; Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda secara statistika
Kemampuan antera untuk melepaskan polen diamati visual. Proses pecahnya antera terjadi dengan tahapan sebagai berikut: (1) lemma dan palea membuka, (2) filamen (tangkai antera) memanjang keluar gluma, (3) antera membesar dan (4) antera melepaskan polen, yang disebut sebagai dehiscence (Gambar 10). Filamen yang panjang diperlukan untuk memastikan bahwa antera betul-betul berada di luar glume sehingga dapat menjatuhkan polen ke rumpunrumpun padi di sekitarnya, dalam hal ini galur mandul jantan yang selalu ditanam
65
berdampingan dengan galur pelestarinya. Matsui et al. (1999) menyatakan bahwa pembengkakan antera secara cepat merupakan respon terhadap membukanya bunga pada padi dan meningkatnya tekanan polen pada bagian apikal antera. Terjadinya pembengkakan antera sangat diperlukan dalam proses pelepasan polen dari dalam antera. Proses ini membutuhkan air atau kelembaban. Kombinasi antara tekanan polen dan tekanan pada dinding lokula oleh air, menyebabkan bagian pangkal dan ujung antera menjadi pecah dan akhirnya polen berhamburan keluar dari antera melalui kedua lubang tersebut. Rangkaian seluruh proses di atas terjadi selama periode anthesis.
Gambar 10 Proses keluarnya polen dari antera saat anthesis. Sumber: Matsui et al. 1999). (A) kondisi antera sesaat setelah bunga membuka, (B) pembengkakan stomium (panah), (C) pecahnya dinding lokula pada bagian bawah antera (panah), (D) pecahnya stomium pada ujung antera (panah), (E) polen keluar dari lubang yang membesar pada bagian ujung dan pangkal antera (panah)
Skor anthesis yang terjadi pada lima galur pelestari tidak berbeda nyata dengan pembanding yaitu IR58025B. Hal ini membuktikan bahwa tidak hanya faktor genetik saja yang berperan dalam proses anthesis, tetapi juga lingkungan, seperti suhu dan kelembaban. Kriteria yang ideal untuk galur pelestari (Gambar 11) antara lain malai keluar sempurna, filamen panjang, antera besar dan gemuk serta menggugurkan sebagian besar polennya hanya saat bunga membuka (Virmani et al. 2002).
66
Selain beberapa karakter di atas, terdapat karakter bunga dan perilaku bunga lainnya yang diamati baik pada galur mandul jantan baru maupun galur pelestari pasangannya. Hasil pengamatan tersebut disajikan pada Tabel 23. Semua GMJ yang diuji nyata lebih genjah dibandingkan galur pembanding, kecuali BI665A. Fenomena yang sama ditemukan pada galur pelestari. Galur pelestari berbunga 1 – 5 hari lebih awal dibandingkan GMJ pasangannya. Selisih umur berbunga antara GMJ dan galur pelestari yang ideal untuk penyerbukan optimal adalah 2-3 hari (Virmani et al. 1997). Karena itu, perlu pengaturan waktu semai dan tanam galur-galur ini agar berbunga pada periode yang hampir sama, sehingga terjadi sinkronisasi pembungaan saat produksi benih GMJ. Durasi membukanya lemma dan palea selama periode pembungaan dua GMJ tipe WA, nyata lebih lama dibandingkan IR58025A, sedangkan dua tipe GMJ lainnya walau memiliki durasi membuka yang lebih lama, tetapi tidak berbeda secara statistik terhadap IR58025A. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bunga galur mandul jantan baru membuka 2 – 5 kali lipat lebih lama dibandingkan bunga galur pelestari. Pengamatan terhadap sudut membuka lemma dan palea saat anthesis memperlihatkan bahwa BI599A, BI855A dan BI639A mampu membuka lebih lebar dibandingkan IR58025A, masing-masing membentuk sudut 39,79; 36,02 dan 40,59 derajat. Durasi dan sudut pembukaan lemma-palea pada GMJ baru yang lebih baik dibandingkan IR58025A, menunjukkan bahwa stigma GMJ baru memiliki kesempatan untuk menerima polen tetua jantan lebih lama dan tidak terhalangi oleh lemma dan palea. Singh et al. (2006) melaporkan bahwa galur mandul jantan memiliki periode berbunga yang lebih panjang dibandingkan galur pelestari pasangannya. Periode pembungaan GMJ lebih panjang karena tertundanya atau gagalnya proses polinasi. Dalam produksi benih galur mandul jantan, galur pelestari harus ditanam 2 – 3 kali dengan interval 3 – 4 hari (staggered planting). Tanam interval bermanfaat untuk memastikan ketersediaan polen selama bunga galur mandul jantan membuka dan reseptif, sehingga polinasi dapat terjadi. Akumulasi sejumlah perilaku bunga yang lebih baik menyebabkan terbentuknya biji per malai (seed set) yang lebih tinggi pada GMJ baru. Kisaran seed set lima GMJ baru adalah 4,75 – 25,90%, sedangkan IR58025A hanya mencapai 2,98% (Tabel 23). Pada penelitian ini, biji yang terbentuk pada GMJ baru merupakan hasil menyerbuk silang secara alami (out crossing), tanpa ada bantuan manusia berupa penyerbukan tambahan (supplementary pollination)
67
seperti pada proses produksi benih GMJ atau hibrida di lapangan. Hal ini menunjukkan bahwa kelima GMJ baru yang diuji, layak digunakan dalam produksi dan pengembangan varietas padi hibrida.
Gambar 11 Kriteria ideal galur pelestari, meliputi filament panjang, antera kuning dan besar, antera menggugurkan sebagian besar polennya setelah berada di luar bunga Karakter umur berbunga, sudut membuka bunga saat antesis, dan eksersi stigma pada GMJ memiliki koefisien variasi fenotipik yang hampir sama besar dengan nilai koefisien variasi genotipik. Begitu pula pembentukan biji (seed set) pada galur pelestari. Hasil ini memperlihatkan bahwa terdapat interaksi genetik yang kuat pada karakter-karakter di atas dan didukung oleh nilai estimasi heritabilitas arti luas yang termasuk dalam kategori tinggi, sehingga ekspresi fenotip karakter-karakter tersebut tidak banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Karakter lainnya memiliki nilai KVP yang lebih besar dibanding nilai KVG, serta nilai heritabilitas yang termasuk kategori sedang, maka karakter ini banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Karakter yang ekspresinya dipengaruhi lingkungan dapat diperbaiki dengan teknik budidaya tertentu.
68
Tabel 23 Umur berbunga, durasi dan sudut pembukaan bunga serta seed set yang terbentuk pada galur mandul jantan baru dan pelestarinya
Keterangan: A: Galur Mandul Jantan, B: Galur Pelestari pasangan masing-masing GMJ; BI485A: IR58025A/H36-3-Ma, BI485B: H36-3-Ma, BI599A/B: IR58025A/B4-1-Da, BI599B: B41-Da, BI639A: IR80156A/H36-3-Mc, BI639B: H36-3-Mc, BI665A: IR80156A/H36-4-M, BI665B: H36-4-M, BI855A: IR80154A/B2-1-Db dan BI855B: B2-1-Db; DPLP: durasi pembukaan bunga saat anthesis, SMLP: sudut membuka bunga saat peak-anthesis, Seed set: terbentuknya biji, seed set GMJ terbentuk sebagai hasil serbuk silang alami, seed set B terbentuk dari hasil selfing galur pelestari itu sendiri; Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda secara statistika
Korelasi antara Karakter dan Perilaku Bunga Galur Mandul Jantan dan Pelestari terhadap Seed Set Nilai korelasi fenotipik dapat mengukur intensitas asosiasi antar karakter. Seleksi terhadap satu karakter akan memberikan kemajuan yang positif terhadap beberapa karakter yang berkorelasi positif dengannya (Steel & Torrie 1984). Hasil analisis korelasi antara karakter bunga galur mandul jantan dan seed set ditampilkan pada Tabel 24.
Keterangan: DPLP: durasi pembukaan bunga saat antesis, SPLP: sudut membuka bunga saat peak-antesis, Seed set: terbentuknya biji pada GMJ sebagai hasil serbuk silang alami; * nyata pada P < 0,05% dan ** nyata pada P < 0,01%.
Tabel 24 Korelasi fenotipik sejumlah karakter dan perilaku bunga galur mandul jantan terhadap persentase terbentuknya biji (seed set)
69
69
70
70
Tabel 25 Korelasi fenotipik sejumlah karakter dan perilaku bunga galur pelestari terhadap persentase terbentuknya biji (seedset)
Keterangan: DPLP: durasi pembukaan bunga saat antesis, SPLP: sudut membuka bunga saat peak-antesis, Seed set: terbentuknya biji pada GMJ sebagai hasil serbuk silang alami; * nyata pada P < 0,05% dan ** nyata pada P < 0,01%.
71
Panjang stigma memiliki korelasi yang positif, nyata dan tinggi dengan panjang stilus (r = 0,64**), lebar stigma (r = 0,73**), panjang gabah (r = 0,71**) dan bentuk gabah (r = 0,50*). Nilai korelasi tersebut menunjukkan bahwa pada populasi galur mandul jantan baru, panjang stigma juga didukung oleh panjang tangkai stilus yang panjang. Seleksi terhadap salah satu karakter di atas dapat meningkatkan empat karakter lainnya. Panjang stigma yang berkorelasi positif dengan lebar stigma menyebabkan permukaan stigma menjadi lebih luas dan mampu menerima lebih banyak polen asing, sehingga potensi menyerbuk silang galur-galur ini lebih besar. Seleksi terhadap bentuk gabah yang besar dan panjang, kemungkinan sekaligus akan memperoleh stigma yang permukaannya besar dengan stilus yang panjang. Selanjutnya, lebar gabah berkorelasi positif dengan eksersi stigma (r = 0,50*), sudut membuka lemma dan palea (r = 0,43*), dan durasi membuka lemma dan palea (r = 0,52*). Tiga karakter perilaku bunga penting yang mendukung kemampuan menyerbuk alami galur mandul jantan baru terkait erat dengan lebar gabah. Hal ini terjadi karena secara fisik, galur mandul jantan yang memiliki gabah lebar, juga memiliki kariopsis yang tipis sehingga dapat lebih mudah membuka. Nilai korelasi yang positif dan nyata ditunjukkan antara seed set dengan lebar stigma (r = 0,44*), eksersi stigma (r = 0,54*) dan sudut membuka lemma dan palea (r = 0,42*). Hal tersebut menunjukkan bahwa lebar stigma, eksersi stigma dan sudut pembukaan bunga sangat menentukan persentase seed set pada galur mandul jantan. Sudut membuka bunga galur mandul jantan baru yang lebar menyebabkan antera tidak terhalang oleh lemma dan palea, sehingga dapat melepaskan polen dengan baik dan polen dapat jatuh di permukaan stigma. Persentase eksersi stigma yang besar mendukung terbentuknya seed set yang tinggi pada galur mandul jantan. Pengguguran polen (dehiscence) oleh galur pelestari yang terjadi tidak pada waktu yang bersamaan dengan membukanya lemma palea galur mandul jantan, masih berkesempatan untuk jatuh pada permukaan stigma yang berada di luar spikelet, sehingga memperbesar keberhasilan polinasi. Durasi dan sudut pembukaan bunga, ukuran stigma dan persentase eksersi stigma merupakan karakter penting yang bertanggung jawab terhadap kemampuan serbuk silang alami galur mandul jantan (Singh & Sirisha 2003). Persentase seed set pada galur mandul jantan dipengaruhi oleh karakter bunga galur pelestari. Analisis korelasi menunjukkan bahwa seed set pada GMJ berkorelasi positif terhadap panjang filamen galur pelestari (r = 0,47*) dan sudut
72
pembukaan bunga galur pelestari (r = 0,57**) (Tabel 25). Filamen galur pelestari yang panjang akan memungkinkan antera berada di luar spikelet pada saat pembukaan bunga dan sudut membuka bunga yang lebar menyebabkan keluarnya antera tidak terhalang oleh lemma dan palea, sehingga dapat menggugurkan polen di luar spikelet dengan baik dan jatuh ke permukaan stigma tanaman GMJ atau akan memperbesar keberhasilan polinasi.
Kesimpulan Galur mandul jantan baru dengan latar belakang genetik tiga sitoplasma (Wild Abortive, Kalinga dan Gambiaca), memiliki umur berbunga dengan kategori genjah. Galur-galur mandul jantan tersebut memiliki karakter bunga yang lebih baik dibandingkan IR58025A, seperti stigma besar, persentase eksersi stigma yang tinggi, sudut pembukaan bunga yang lebar dan durasi pembukaan bunga yang lama. Akumulasi perilaku bunga yang baik dan mendukung kemampuan menyerbuk silang, mampu meningkatkan kisaran seed set GMJ baru, yaitu antara 4,75 – 25,90%, sedangkan IR58025A hanya mencapai 2,98%. Karakter eksersi malai, eksersi stigma, panjang stigma, panjang stilus, sudut pembukaan bunga dan durasi pembukaan bunga GMJ memiliki nilai heritabilitas arti luas moderat hingga tinggi. Nilai koefisien variasi genotipik karakter eksersi stigma, lebar stigma dan panjang stilus termasuk dalam kategori tinggi, sedangkan panjang stigma tergolong cukup tinggi. Karakter lebar stigma memiliki nilai koefisien variasi fenotipik tinggi, sedangkan eksersi stigma, panjang stigma dan panjang stilus termasuk dalam kategori cukup tinggi. Seleksi terhadap karakter-karakter tersebut efisien dilakukan secara fenotipik. Nilai korelasi yang positif dan nyata ditunjukkan antara jumlah biji terbentuk (seed set) dengan lebar stigma (r = 0,44*), eksersi stigma (r = 0,54*) dan sudut membuka lemma dan palea galur mandul jantan (r = 0,42*), serta dengan panjang filamen (r = 0,47*) dan sudut pembukaan bunga galur pelestari (r = 0,57**). Karakter-karakter tersebut sangat mendukung jumlah biji yang terbentuk pada galur mandul jantan.
POTENSI PRODUKSI BENIH GALUR MANDUL JANTAN BARU TIPE WILD ABORTIVE, GAMBIACA DAN KALINGA Abstrak Padi merupakan tanaman menyerbuk sendiri, sehingga untuk perakitan dan produksi benih padi hibrida, diperlukan sistem mandul jantan. Produksi benih GMJ selama ini masih sangat rendah, sehingga harga benih hibrida maupun GMJ menjadi mahal. Guna mendukung peningkatan produksi benih dan menekan harga benih hibrida maupun GMJ, maka setiap pembentukan GMJ baru harus didukung dengan informasi mengenai potensi produksi benih galur tersebut. Tujuan percobaan ini adalah memperoleh informasi potensi hasil dalam produksi benih GMJ baru tipe Wild-Abortive, Gambiaca dan Kalinga, serta mempelajari pengaruh GA3 terhadap peningkatan kemampuan menyerbuk silang ketiga galur mandul jantan tersebut. Penelitian dilakukan menggunakan rancangan faktorial dengan tiga ulangan. Hasil analisis menunjukkan bahwa produktivitas tertinggi diperoleh galur mandul jantan tipe Wild Abortive (785,59 kg/ha), diikuti oleh GMJ tipe Kalinga dan Gambiaca yang berturutturut menghasilkan 628,29 dan 365,92 kg/ha, sedangkan galur pembanding, yaitu IR58025A menghasilkan 238,22 kg/ha. Tingginya bobot hasil benih galur mandul jantan baru dibandingkan galur pembanding disebabkan galur-galur tersebut memiliki karakter bunga yang mendukung kemampuan daya serbuk silang alami, seperti persentase eksersi stigma tinggi, sudut membuka bunga yang lebar dan reseptivitas stigma yang lama. Penyemprotan 200 ppm GA3 lebih meningkatkan bobot hasil panen karena dapat memperbaiki karakter pertumbuhan dan perilaku bunga yang mendukung kemampuan serbuk silang alami. Bobot hasil benih galur mandul jantan baru tipe Wild Abortive, Kalinga dan Gambiaca dengan aplikasi GA3 berturut-turut meningkat menjadi 1031,90 kg/ha (31,25%), 763,34 kg/ha (21,49%) dan 457,45 kg/ha (25,01%). Kata kunci: padi hibrida, galur mandul jantan, produksi benih, GA3
74
Abstract Rice is self pollinated plant, therefore male sterile lines are important in hybrid rice breeding and seed production. The price of hybrid and cytoplasmic male sterile lines (CMS) seeds are expensive due to the difficulty in producing high seed yield. Therefore the breeding of CMS sould be supported by information of the lines potensial on seed production. The aims of the research were to study yield potential of new CMS from Wild Abortive, Gambiaca and Kalinga types and to evaluate the effect of GA3 on outcrossing ability of new CMS. The research was done using randomized complete block with factorial design and three replications.The results showed that the highest yield was achieved by Wild Abortive male sterile lines (785.59 kg/ha), followed by Kalinga and Gambiaca male sterile lines which yielded 628.29 and 365.92 kg/ha, respectively. The check lines, IR58025A was yielded 238.22 kg/ha. The high seed yield of new CMS lines was achieved due to their good flowering characters which supported natural outcrossing ability. The characters were high stigma exsertion percentage, wide angle of opening glume and long duration of stigma receptivity. Moreover, the application of 200 ppm of GA3 could increase the seed yield due to better improvement on the growth characters and flowering behavior. By GA3 application, the seed yield of Wild Abortive, Kalinga and Gambiaca new male sterile lines increased up to 1031.90 kg/ha (31.25%), 763.34 kg/ha (21.49%) and 457.45 kg/ha (25.01%), respectively. Key words: hybrid rice, cytoplasmic male sterile line, seed production, GA3
75
Pendahuluan Padi merupakan tanaman menyerbuk sendiri, sehingga untuk memudahkan perakitan dan produksi padi hibrida system 3 galur, diperlukan mandul jantan. Saat ini, sistem mandul jantan pada padi yang paling populer adalah mandul jantan sitoplasmik. Pengembangan padi hibrida sistem tiga galur memerlukan tiga galur tetua, yaitu galur mandul jantan, galur pelestari dan galur pemulih kesuburan. Produksi benih galur mandul jantan dan produksi benih hibrida pada padi relatif kompleks. Banyak faktor yang mempengaruhi hasil dan kualitas benih yang dihasilkannya. Galur pelestari digunakan sebagai penyedia polen untuk galur mandul jantan dalam kegiatan perbanyakan benih galur mandul jantan, sedangkan galur pemulih kesuburan sebagai penyedia polen untuk galur mandul jantan ketika memproduksi benih F1 (padi hibrida). Produksi benih GMJ selama ini masih sangat rendah yaitu 600-1000 kg/ha (Badan Litbang 2007). Hal ini menyebabkan tingginya harga benih hibrida maupun GMJ. Guna mendukung peningkatan produksi benih dan menekan harga benih hibrida maupun GMJ, maka setiap pembentukan GMJ baru harus didukung dengan informasi/protokol produksi benihnya yang meliputi sejumlah teknik budidaya, pengaturan tata letak dan rasio galur-galur tetua, disamping hal-hal umum seperti dosis dan waktu pemupukan dan pembuangan off type (roguing). Galur mandul jantan baru yang dihasilkan dalam penelitian sebelumnya masih mempunyai skor eksersi malai ≥ 5 dengan skor keluarnya stigma >3 (Tabel 21). Rendahnya eksersi malai karena tertutupnya malai oleh pelepah daun bendera akan mengganggu proses perbanyakan benih galur mandul jantan maupun hibrida. Pelepah daun bendera yang menutupi sebagian atau seluruh bagian malai, akan menghambat terjadinya polinasi secara normal dan akan menurunkan persentase biji yang terbentuk (Gangashetti et al. 2006). Oleh karena itu, untuk meningkatkan produksi benih GMJ baru tersebut, masalah eksersi malai yang rendah tersebut harus diatasi terlebih dahulu. Tertutupnya malai diduga karena malai GMJ mempunyai kandungan bioaktif giberelin yang rendah.
Giberelin (GA3) merupakan zat pengatur tumbuh yang efektif
untuk menstimulasi perpanjangan sel.
Aplikasi GA3 pada GMJ dapat membantu
pemanjangan pangkal malai GMJ sehingga malai dapat memanjang dan keluar penuh dari pelepah daun bendera (Yin et al. 2007). Selain itu GA3 juga dilaporkan dapat meningkatkan eksersi stigma, mendorong anakan-anakan (tillers) yang kecil untuk
76
tumbuh lebih cepat sehingga pertumbuhan anakan dapat lebih seragam dan membantu dalam menyeragamkan tinggi tanaman dalam satu populasi (Yuan & Fu 1995). Sementara itu menurut Tiwari et al. (2011), aplikasi GA3 dalam konsentrasi optimum terutama diperlukan untuk meningkatkan kemampuan menyerbuk silang GMJ. Tujuan percobaan ini adalah (1) memperoleh informasi potensi produksi benih GMJ baru tipe Wild-Abortive, Gambiaca dan Kalinga, serta (2) mempelajari pengaruh GA3 terhadap peningkatan laju menyerbuk silang galur mandul jantan baru tipe WildAbortive, Gambiaca dan Kalinga. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan April – Juli 2010 di Kebun Percobaan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi), Muara-Bogor, Jawa Barat. Bahan dan Alat Dari 5 GMJ baru yang teridentifikasi memiliki sterilitas sempurna (100%) dan memiliki karakter dan perilaku bunga baik dari penelitian sebelumnya, dipilih masingmasing satu GMJ dan pelestarinya yang mewakili tipe sitoplasma yang berbeda. Bahan yang digunakan untuk studi potensi produksi benih GMJ adalah benih 3 GMJ (A) dan pelestarinya (B) yaitu BI485A/B (WA), BI855A/B (Gambiaca) dan BI639A/B (Kalinga).
Varietas pembanding yang digunakan adalah GMJ dan galur pelestari
komersial tipe WA introduksi dari IRRI (IR58025A/B). Alat penunjang lainnya adalah bambu untuk membantu penyebaran polen dan alat-alat pertanian lainnya. Prosedur Pelaksanaan Percobaan dilakukan dengan menggunakan Rancangan Faktorial yang diulang 3 kali. Faktor pertama berupa 2 taraf konsentrasi GA3 yaitu 0 dan 200 ppm, sedangkan faktor kedua berupa 4 pasang GMJ. Perbandingan jumlah baris antara tanaman A dan B digunakan perbandingan 2B : 4A, dimana B adalah galur pelestari dan A adalah galur mandul jantan. Jarak tanam digunakan 20 cm x 20 cm. Jarak tanam antar baris tanaman A terluar dengan baris tanaman B terluar adalah 30 cm (Badan Litbang 2007), sehingga luas petakan untuk 1 pasang GMJ adalah 2,5 x 3,4 m per perlakuan. Total luas petakan yang diperlukan dalam percobaan ini adalah 8,5 m2 x 2 konsentrasi GA3 x 4 GMJ x 3 ulangan yaitu 204 m2.
77
Keterangan: x = tanaman galur pelestari dan o = tanaman galur mandul jantan
Gambar 12 Petak percobaan produksi benih 1 pasang GMJ
A. Pengelolaan Tanaman Benih GMJ dan galur pelestari disemai di sawah dengan memperhitungkan umur berbunga masing-masing galur. Benih galur pelestari ditabur sebanyak dua kali yaitu bersamaan dengan tabur GMJ dan tiga hari setelah tabur pertama (ditentukan berdasarkan selisih umur berbunga antara GMJ dan pelestari). Benih ditabur dengan kepadatan 50-75 g/m2. Kemudian bibit yang telah berumur 15-18 hari dipindah ke sawah dengan jumlah bibit 1 bibit per lubang tanam. Pupuk diberikan dengan dosis yang sama yaitu 135 kg N, 45 kg P dan 45 kg K/ha (Badan Litbang 2007). Tanah dijaga dalam keadaan macak-macak sampai tanaman berumur 4-5 hari sejak tanam. Untuk menghindari terjadinya kontaminasi penyerbukan dari polen yang tidak diinginkan, areal pertanaman produksi benih diisolasi dari pertanaman padi lainnya. Isolasi yang digunakan pada penelitian ini berupa penghalang fisik, yaitu plastik mika setinggi 3 m yang dipasang di sekeliling petakan.
78
B. Roguing dan Penyebaran Polen dengan Bantuan Bambu Roguing atau membuang tanaman yang tidak diinginkan dilakukan 3 kali, yaitu pada saat pembentukan anakan maksimum, saat berbunga dan menjelang panen. Penyebaran polen dengan bantuan bambu dimaksudkan untuk meningkatkan terjadinya polinasi, sehingga persentase pengisian biji pada GMJ meningkat. Kegiatan ini dilakukan dengan menggoyang-goyangkan tanaman galur pelestari (B) ke arah tanaman GMJ (A) menggunakan bambu sepanjang ± 1,5 m yang dilakukan saat kedua galur berbunga, dari pukul 10.00 hingga pukul 14.00 dan dilakukan berulang-ulang setiap 30 menit. C. Aplikasi GA3 GA3 diberikan dengan metode penyemprotan. Perlakuan berupa konsentrasi GA3 yaitu 0 dan 200 ppm. Penyemprotan dilakukan mulai saat fase awal muncul bunga (emerged) hingga 5% pembungaan, dilanjutkan 2 kali penyemprotan lagi, dengan selang waktu 3 hari. Konsentrasi GA3 200 ppm diperoleh dengan melarutkan 2 g GA3 absolut ke dalam 10 liter air. Volume semprot per petak dihitung dari kebutuhan per ha (100 liter), sehingga untuk luasan 8,5 m2 dibutuhkan larutan GA3 sebanyak 0,085 liter. Total kebutuhan larutan GA3 untuk 4 GMJ sebanyak 1,02 liter. Pengamatan Peubah yang diamati meliputi karakter agromorfologi, karakter bunga dan perilaku bunga GMJ, sebagai berikut: A. Karakter agromorfologi tanaman, meliputi: 1. Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai terpanjang (cm); diamati saat stadia masak susu atau menjelang panen. 2. Jumlah anakan produktif, diamati saat stadia menjelang panen. 3. Persentase eksersi malai, diukur berdasarkan posisi kedudukan leher malai terhadap daun bendera. 4. Panjang malai, diamati dari pangkal malai sampai ujung malai (cm). B. Karakter komponen hasil, meliputi: 1. Jumlah gabah per malai, dihitung total gabah dalam satu malai, baik hampa maupun bernas.
79
2. Jumlah gabah isi per malai, dihitung dari jumlah gabah yang bernas dalam satu malai. 3. Jumlah gabah hampa per malai, dihitung jumlah gabah kosong hampa dalam satu malai. C. Karakter bunga, meliputi: 1. Umur berbunga, diamati jumlah hari saat tanaman berbunga 50% 2. Persentase eksersi stigma, diukur berdasarkan jumlah bunga yang memiliki stigma keluar pada satu atau kedua sisi lemma palea saat bunga tersebut telah selesai anthesis. 3. Lama reseptif stigma, diamati dengan melakukan penyerbukan buatan terhadap 10 malai berbeda. Masing-masing malai diserbuki pada hari yang berbeda dan dilakukan berurutan dari hari pertama anthesis hingga hari ke-10 setelah anthesis. Reseptivitas stigma diamati berdasarkan jumlah biji yang terbentuk pada tiap malai. 4. Persentase sterilitas polen GMJ yang diproduksi berdasarkan terwarnainya polen oleh IKI. Sampel polen diambil dari 10 bunga yang dimasukkan ke dalam botol berisi alkohol 70%, kemudian antera dari minimal 5 bunga digerus di atas gelas preparat dan ditetesi larutan Iodine Potassium Iodide (IKI) 1%, kemudian ditutup menggunakan cover-glass. Selanjutnya terwarnai atau tidaknya polen diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 – 400x. D. Bobot hasil per petak, diamati dengan menimbang gabah kering panen per petak. Selanjutnya dikonversi ke dalam hektar dengan kadar air 14%. E. Data sekunder, meliputi curah hujan, arah dan kecepatan angin, suhu harian (suhu siang dan suhu malam) selama percobaan dilakukan. Data diambil dari hasil laporan stasiun klimatologi di tempat percobaan.
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara statistika menggunakan analisis ragam dan uji lanjut DMRT. Data sekunder tidak diikutkan dalam analisis, hanya digunakan sebagai data pendukung saja.
80
Hasil dan Pembahasan Hasil percobaan menunjukkan bahwa karakter tinggi tanaman sangat dipengaruhi oleh aplikasi GA3 (Tabel 26). Ketiga GMJ baru maupun pembanding memiliki tinggi tanaman yang meningkat pada pemberian GA3 dengan konsentrasi 200 ppm. Tinggi tanaman GMJ baru, yaitu BI485A, BI639A dan BI855A berturut-turut meningkat sebesar 26,57, 38,97 dan 18,52%, sedangkan GMJ pembanding (IR58025A) meningkat paling banyak yaitu sebesar 48,19%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada karakter tinggi tanaman, GMJ baru tipe Kalinga (BI639A) merupakan galur yang paling responsif terhadap perlakuan GA3, diikuti oleh GMJ tipe WA (BI485A) dan GMJ tipe Gambiaca (BI855A). Peningkatan tinggi tanaman disebabkan meningkatnya aktivitas pembelahan sel, pembesaran dan pemanjangan sel yang membantu memperbaiki karakter pertumbuhan vegetatif. Pertumbuhan vegetatif yang lebih baik akan mendukung tercapainya bobot hasil yang lebih tinggi, karena jumlah area fotosintesis yang diinisiasi saat pertumbuhan awal lebih besar, seperti jumlah anakan dan jumlah daun (Tiwari et al. 2011).
Tabel 26 Karakter agromorfologi dan umur berbunga 50% tiga galur mandul jantan baru dan pembanding (IR58025A) pada dua konsentrasi GA3 selama produksi benih galur mandul jantan
Keterangan: Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda secara statistika
Penyemprotan GA3 juga memberikan efek positif terhadap panjang malai. Peningkatan panjang malai ketiga GMJ mencapai 19,09 hingga 31,31%, nyata lebih tinggi dibandingkan dengan panjang malai tanpa perlakuan GA3. GA3 meningkatkan panjang malai melalui pemanjangan dan pembelahan sel (Yuan et al. 2003). Mu dan
81
Yamagishi (2001) menyatakan bahwa efek GA3 lebih kepada penambahan jumlah sel (pembelahan sel) dibandingkan dengan pembesaran sel. Efek GA3 telah diamati pada meristem tunas apikal yang meningkat tingginya karena bertambahnya jumlah sel. Selain memanjangkan sel-sel pada malai, GA3 juga mempengaruhi keserempakan keluarnya malai, sehingga dalam satu rumpun, ukuran dan stadia perkembangan malai relatif hampir sama. Bersamaan dengan penyemprotan GA3, dilakukan pengeringan petakan untuk menghentikan tumbuhnya malai-malai baru, sehingga semua rumpun memiliki malai-malai yang produktif. Hal tersebut menyebabkan bunga dapat mekar pada saat yang hampir bersamaan, sehingga proses penyerbukan alami lebih efektif dan tanaman menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi (Tiwari et al. 2011). Seluruh GMJ baru yang diuji memiliki sterilitas polen yang sempurna, yaitu mencapai 100%. Pada penelitian sebelumnya, GMJ baru dengan tiga tipe sitoplasma ini memang memiliki karakter dan perilaku bunga yang baik dan mendukung kemampuan GMJ tersebut untuk menyerbuk silang secara alami (Tabel 21 dan 27). Eksersi stigma memiliki korelasi fenotipik yang positif dan besar terhadap kemampuan menyerbuk silang alami dari GMJ dan meningkatkan kesempatan terjadinya penyerbukan (Singh & Sirisha 2003; Sidharthan et al. 2007). Eksersi stigma tiga GMJ baru yang telah lebih baik dibandingkan IR58025A, nyata mengalami peningkatan ketika disemprot menggunakan GA3 dengan konsentrasi 200 ppm (Tabel 27). Larutan GA3 200 ppm yang diaplikasikan pada GMJ tipe WA, Kalinga dan Gambiaca mampu meningkatkan persentase eksersi stigma berturut-turut dari 74,23% menjadi 79,23%, 67,57% menjadi 76,60% dan 71,13% menjadi 76,43%, sedangkan pada pembanding (IR58025A) meningkat dari 25,67% menjadi 40,93%. Peningkatan yang tinggi (11,26%) pada IR58025A menunjukkan bahwa GMJ ini lebih sensitif terhadap pemberian 200 ppm GA3 dibandingkan GMJ baru. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa penyemprotan GA3 tidak mengubah potensi genetik GMJ pada karakter eksersi stigma. GA3 hanya meningkatkan ekspresi potensi genetik masing-masing GMJ, sehingga peningkatan eksersi stigma tetap mengikuti pola genetik setiap GMJ. Penyemprotan GA3 pada kanopi galur mandul jantan memberikan efek positif terhadap eksersi malai (Tabel 27). Eksersi malai diukur dari panjang malai yang tidak tertutup oleh pelepah daun bendera dibandingkan dengan panjang malai total. Persentase eksersi malai tanpa perlakuan GA3 (0 ppm) pada ketiga GMJ baru berkisar antara 78,35 hingga 81,03%, tetapi dengan perlakuan 200 ppm GA3 persentase eksersi malai meningkat yaitu berkisar antar 84,88 hingga 90,64%. Penyemprotan GA3
82
memicu peningkatan eksersi malai melalui pemanjangan dan pembelahan sel, sehingga hambatan polinasi oleh pelepah daun bendera berkurang (Yuan et al. 2003). Selanjutnya eksersi malai yang meningkat dan didukung dengan persentase eksersi stigma yang tinggi serta merata dari pangkal hingga ujung malai, nyata berpengaruh terhadap peningkatan seed set dan hasil benih ketiga galur mandul jantan baru (Tabel 27). Tabel 27 Sterilitas polen, eksersi stigma, eksersi malai, persentase pengisian biji (seed set) dan produktivitas benih galur mandul jantan baru dan pembanding (IR58025A) pada dua konsentrasi GA3 selama produksi benih galur mandul jantan
Keterangan: Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda secara statistika
Reseptifitas stigma adalah lamanya stigma berfungsi dan mampu menerima polen sehingga dapat memfasilitasi fertilisasi. Pada masa reseptif, stigma akan terlihat segar dengan warna dan bentuk yang belum berubah (Gambar 13). Lama reseptif stigma ditunjukkan dengan terbentuknya biji hasil polinasi pada hari pertama bunga mekar hingga sepuluh hari setelah bunga menutup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada galur mandul jantan tanpa perlakuan penyemprotan GA3, biji hasil fertilisasi masih terbentuk hingga 5 hari setelah anthesis, tetapi pada hari ke-6, tidak ada biji yang terbentuk dari hasil fertilisasi sehingga malai menjadi steril atau hampa. Hal tersebut menunjukkan bahwa stigma GMJ baru yang tetap berada di luar setelah anthesis masih mampu menerima polen hingga 5 hari, tetapi sudah tidak reseptif pada hari ke-6 (Gambar 14).
83
Gambar 13 Stigma GMJ selama reseptif
Aplikasi 200 ppm GA3 mampu mempertahankan kesegaran dan masa reseptif stigma galur mandul jantan baru, dari rata-rata 5 hari menjadi 7 hingga 8 hari (Gambar 14). Hasil pengamatan sejalan dengan hasil penelitian Gavino et al. (2008), yang menyatakan bahwa GA3 dapat mempertahankan kesegaran putik 2 hari lebih lama dan nyata meningkatkan reseptivitas stigma selama produksi benih padi hibrida Mestizo 1, 2 dan 3. Lama reseptif dan kesegaran stigma akan meningkatkan peluang stigma dalam menerima polen dari tetua jantan, sehingga akan meningkatkan jumlah gabah yang terbentuk pada tetua betina. Pemberian GA3 pada padi akan menstimulasi aktivitas beberapa enzim yang berbeda. Penyemprotan GA3 secara eksogen menyebabkan meningkatnya reduksi kandungan protein dan total N organik, P dan Fe pada organ padi tipe dwarf. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kandungan karbohidrat
total
dan
pati
pada
tanaman
padi
sehingga
tanaman
mampu
mempertahankan kesegaran stigma dan meningkatkan masa reseptif stigma terhadap polen tetua jantan (Singh & Ram 1997). Rata-rata persentase pembentukan gabah per malai (seed set) pada galur mandul jantan yang tidak disemprot GA3 berkisar dari 3,05 hingga 8,14%. Aplikasi GA3 dengan konsentrasi 200 ppm nyata meningkatkan persentase seed set semua GMJ, walau masih di bawah 25%. Hal ini diduga akibat terjadinya hujan yang cukup lebat di lokasi penelitian saat fase anthesis bunga GMJ, sehingga antera tetua jantan (galur pelestari) tidak pecah dan terhambat untuk menyebarkan polen atau polen tidak dapat jatuh tepat di atas stigma karena terhalang dan tersapu air hujan. Rendahnya seed set yang
84
terbentuk pada galur BI855A terjadi karena galur pelestari pasangannya berbunga 6-7 hari lebih awal, sehingga polen kurang tersedia saat masa reseptif stigma GMJ. Tidak sinkronnya galur BI855A dengan BI855B (pelestari), menunjukkan bahwa hasil penelitian ini belum memberikan informasi yang akurat mengenai potensi produksi benih GMJ BI855A. Produktivitas BI855A yang lebih rendah dibandingkan dua GMJ lainnya, belum dapat digunakan untuk menarik kesimpulan bahwa GMJ ini lebih sulit proses produksi benihnya.
Gambar 14
Durasi reseptif putik tiga galur mandul jantan baru dan pembanding (IR58025A) pada 0 ppm GA3 (A) dan 200 ppm GA3 (B) selama produksi benih galur mandul jantan
Hasil Benih (kg/ha)
1200 1000 800 600 400 200 0 BI485A
BI639A 0 ppm
BI855A
IR58025A
200 ppm
Gambar 15 Bobot benih GMJ hasil produksi benih pada konsentrasi GA3 0 dan 200 ppm
85
Gambar 15 menampilkan produktivitas GMJ uji dan pembanding saat produksi benih dengan dan tanpa perlakuan GA3. Produktivitas benih GMJ tanpa penyemprotan GA3 nyata lebih rendah dibandingkan yang disemprot GA3. Pola ini terjadi baik pada produksi benih GMJ baru maupun GMJ pembanding. Bobot benih tertinggi diperoleh dari BI485A, diikuti oleh BI639A dan BI855A. Hasil benih pada BI485A dan BI639A yang tinggi menunjukkan bahwa masing-masing GMJnya memiliki kemampuan menyerbuk silang baik, sehingga dapat optimal menerima pollen dari galur pelestari pasangannya. Penyemprotan GA3 dengan konsentrasi 200 ppm pada BI485A, nyata meningkatkan seed set, dari 8,14% menjadi 22,20%. Peningkatan seed set juga diikuti dengan peningkatan hasil benih. BI485A, BI639A dan BI855A mengalami peningkatan hasil benih berturut-turut dari 785,59 kg/ha, 628,29 kg/ha dan 365,92 kg/ha menjadi 1031,90 kg/ha, 763,34 kg/ha dan 457,45 kg/ha. Ketiga GMJ yang diuji memang telah diidentifikasi lebih baik dibandingkan IR58025A dalam hal karakter dan perilaku bunganya (Tabel 21). Perlakuan GA3 mampu meningkatkan potensi produksi benih GMJ baru yang diuji dengan kisaran 21,49 – 31,35%.
Kesimpulan Semua GMJ baru yang diuji menghasilkan bobot benih yang lebih tinggi dibandingkan GMJ pembanding. Tingginya produksi benih dari galur mandul jantan baru dibandingkan galur pembanding disebabkan galur-galur tersebut sudah memiliki karakter bunga yang mendukung kemampuan daya serbuk silang alami, seperti persentase eksersi stigma tinggi dan reseptivitas stigma yang lama. Penyemprotan 200 ppm GA3 mampu meningkatkan produksi benih GMJ karena dapat memperbaiki karakter pertumbuhan dan perilaku bunga yang mendukung kemampuan serbuk silang alami. Produksi benih galur mandul jantan baru tipe Wild Abortive, Kalinga dan Gambiaca dapat lebih ditingkatkan hingga dengan aplikasi 200 ppm GA3.
lebih dari 20%
86
EVALUASI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS HIBRIDA TURUNAN GMJ TIPE WILD ABORTIVE, GAMBIACA DAN KALINGA MENGGUNAKAN ANALISIS LINI X TESTER Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi daya gabung lini (GMJ/A) dan tester (galur pemulih kesuburan/R) dalam menghasilkan hibrida dan mengevaluasi keragaan sejumlah hibrida baru. Penelitian dilaksanakan pada November 2010 - Maret 2011 di Kebun Percobaan BB Padi, Sukamandi. Desain persilangan dan analisis diatur mengikuti rancangan lini x tester. Tujuh puluh lima hibrida dan masing-masing tetuanya ditanam di sawah menggunakan rancangan acak kelompok yang diulang tiga kali. Pengamatan dilakukan terhadap karakter agromorfologi, komponen hasil dan hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter tinggi tanaman, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah total per malai dan persentase gabah isi per malai memiliki ragam daya gabung khusus (DGK) dan daya gabung umum (DGU) yang nyata. Ekspresi karakter-karakter di atas dikendalikan oleh aksi gen aditif maupun nonaditif. BI485A dan BI599A merupakan penggabung umum yang baik untuk karakter gabah isi per malai, gabah hampa per malai dan persentase gabah isi per malai, sedangkan tester penggabung umum bagi karakter ini adalah IR53942, CRS8, CRS9, SMD9, SMD10 dan SMD15. Nilai daya gabung khusus yang tinggi untuk karakter hasil diberikan oleh tetua-tetua bernilai daya gabung umum rendah. Hal ini menunjukkan bahwa karakter hasil dikendalikan oleh aksi gen overdominan, dominan x dominan atau epistasi. Kombinasi A/R dengan daya gabung khusus tinggi sesuai untuk perakitan padi hibrida dengan sifat heterosis yang baik. Nilai daya gabung khusus tertinggi ditunjukkan oleh BI485A/IR53942. Hibrida turunan GMJ tipe WA terbaik adalah BI485A/IR53942 (10,21 t/ha), turunan GMJ tipe Gambiaca ditunjukkan oleh BI625A/SMD11 (9,88 t/ha), sedangkan turunan GMJ tipe Kalinga ditunjukkan oleh BI665A/IR53942 (9,15 t/ha). Ketiga hibrida tersebut mempunyai heterobeltiosis, mid parent heterosis dan standar heterosis yang tertinggi di setiap kelompok hibrida dengan latar belakang GMJ tipe WA, Gambiaca dan Kalinga. Kata kunci: padi hibrida, lini x tester, daya gabung, heterosis
88
Abstract The research were conducted to study combining ability of line (CMS/A) and tester (Restorer/R) in producing the new hybrid rice, and evaluate those new hybrid performance. The research was conducted in November 2010 - March 2011 at ICRR field station, Sukamandi. Mating design and analysis were done using line x tester. Seventy five hybrids and their parental lines were planted in the field using randomized complete block design with three replications. The characters of agro-morphology, yield component and yield were observed. The plant height, number of filled grain per panicle, number of unfilled grain per panicle, total grain per panicle and filled grain percentage per panicle had significant variance of specific and general combining ability. Those characters were controlled by additive and non-additive genes. BI485A and BI599A lines were good general combiner for filled grain per panicle, unfilled grain per panicle and filled grain percentage per panicle, while good tester combiner were IR53942, CRS8, CRS9, SMD9, SMD10and SMD15. The high specific combining ability value for yield was shown by parental lines with low general combining ability. Therefore, the yield character was controlled by overdominant gene action, dominant x dominant or epistasis. Certain A/R combination with high specific combining ability were suitable to develop hybrid rice with high heterosis. The highest specific combining ability were achieved by BI485A/IR53942. The best hybrid rice derived from WA male sterile lines was BI485A/IR53942 (10.21 t/ha), while that from Gambiaca male sterile lines was BI625A/SMD11 (9.88 t/ha) and from Kalinga male sterile lines was BI665A/IR53942 (9.15 t/ha). The three new hybrids showed the highest heterobeltiosis, mid parent heterosis and standard heterosis within F1 of each genetic background group of WA, Gambiaca and Kalinga male sterile lines. Key words: hybrid rice, lini x tester, combining ability, heterosis
89
Pendahuluan Potensi hasil padi dilaporkan stagnan, sedangkan populasi penduduk semakin meningkat pesat. Untuk mengatasi hambatan peningkatan produktivitas padi, perlu dicari teknologi alternatif. Diantara banyak alternatif, heterosis merupakan pendekatan penting untuk meningkatkan produksi padi. Teknologi ini tidak hanya berkontribusi terhadap ketahanan pangan, tetapi juga bermanfaat untuk lingkungan. Hybrid vigor atau heterosis, diartikan sebagai peningkatan laju pertumbuhan zuriat terhadap tetuanya yang antara lain dapat diamati pada tingginya produktivitas suatu tanaman, umur berbunga yang lebih cepat, dan ketahanannya
terhadap
cekaman
biotik
dan
abiotik.
Heterosis
juga
menyebabkan peningkatan produksi per unit lahan yang cukup besar, sehingga sebagian lahan dapat dialihkan untuk kegunaan lain, misalnya untuk preservasi alam (Duvick 1999). Ditemukannya mandul jantan sitoplasmik pada padi memungkinkan bagi pemulia tanaman untuk mengembangkan hibrida (F1) yang memiliki potensi komersial lebih tinggi dibandingkan padi inbrida. Galur Mandul Jantan baru dikatakan
fungsional
jika
dapat
diperbanyak
dengan
hasil
tinggi
dan
dimanfaatkan dalam pembentukan hibrida berheterosis tinggi. Dalam sistem tiga galur, perakitan hibrida dilakukan dengan menyilangkan GMJ dengan galur pemulih kesuburan (R).
Kesesuaian antar dua galur tetua tersebut akan
menentukan penampilan dan heterosis hibrida yang dihasilkannya. Tingkat kesesuaian tersebut ditentukan oleh nilai daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK) kedua galur tersebut.
Karena itu, dalam rangka
eksploitasi heterosis pada padi, pemulia tanaman perlu melakukan uji daya gabung antara berbagai GMJ dan R. Informasi mengenai daya gabung bermanfaat untuk mengetahui kemampuan tanaman menyerbuk sendiri dalam menghasilkan hibrida dan mempelajari besaran serta arah aksi gen-gen terkait (Saidaiah et al. 2010). Keragaman dan aksi gen dapat dipelajari pada populasi persilangan yang diuji pada sebuah lingkungan. Desain persilangan yang umum digunakan untuk mempelajari hibrida adalah dialel dan analisis lini x tester (Virmani et al. 1997). Evaluasi heterosis adalah hal terpenting pada perakitan padi hibrida. Tiga nilai heterosis yang biasa diukur pada kombinasi hibrida baru, yaitu heterobeltiosis, mid parent dan standar heterosis.Heterobeltiosis adalah
90
heterosis hibrida terhadap tetua terbaik, sedang mid parent heterosis hibrida yang dinilai terhadap rerata kedua tetua (Virmani et al. 1997). Standar heterosis merupakan keunggulan hibrida yang tidak terkait dengan tetua hibrida tersebut. Namun standar heterosis ini sangat penting dalam komersialisasi padi hibrida, karena nilai standar heterosis merupakan keunggulan hibrida terhadap varietas populer yang dipergunakan oleh petani. Sehubungan dengan harga benih yang lebih mahal dibandingkan padi inbrida, maka padi hibrida hanya akan diterima oleh petani bila memberikan kelebihan produktivitas hasil yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan varietas inbrida yang biasa ditanamnya. Percobaan ini bertujuan untuk (1) memperoleh informasi daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK) serta parameter genetik lainnya dari komponen hasil dan hasil untuk mengetahui kombinasi hibrida terbaik, serta (2) mengevaluasi heterosis kombinasi hibrida baru terhadap kedua tetuanya maupun varietas populer. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Persiapan penelitian berupa pembuatan kombinasi persilangan antara GMJ dengan galur pemulih kesuburan dimulai pada Desember 2009, sedangkan penelitian dilaksanakan pada November-Maret 2011 di Kebun Percobaan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi), Sukamandi, Jawa Barat. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah 75 hibrida (F1) hasil persilangan antara 2 GMJ tipe WA, 1 GMJ tipe Gambiaca dan 2 GMJ tipe Kalinga dengan 15 galur R (Tabel 28).
Untuk menghitung standar heterosis digunakan 2 varietas
pembanding yaitu Inpari 13 (inbrida) dan Hipa6 Jete (hibrida) Tabel 28 Daftar galur mandul jantan dan restorer yang digunakan dalam pembentukan hibrida GMJ Restorer BI485A (WA) IR53942 R42 SMD 9 BI599A (WA) S4124F BP2274 SMD 10 BI855A (Gambiaca) BP51-1 CRS 39 SMD 11 BI639A (Kalinga) BP1028F CRS 8 SMD 12 BI665A (Kalinga) BH25B CRS 9 SMD 15
91
Pelaksanaan Persilangan dirancang mengikuti metode lini x tester. Masing-masing galur ditanam di plot berukuran 1 m x 2 m, dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, menggunakan rancangan acak kelompok. Pemeliharaan tanaman dilakukan seperti halnya budidaya padi sawah. Pupuk yang diberikan adalah Urea 300 kg/ha, SP36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha. Setengah dosis Urea, seluruh dosis SP36 dan KCl diberikan sebagai pupuk dasar sehari sebelum tanam, sedangkan sisa setengah dosis Urea diberikan pada saat tanaman berumur 40 HST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan saat munculnya gejala serangan hama dan penyakit. Pengamatan dilakukan terhadap karakter agronomis utama, antara lain tinggi tanaman, jumlah anakan, eksersi malai (panicle exsertion), umur berbunga, penampilan agronomis (phenotypic acceptability), komponen hasil seperti panjang malai, jumlah gabah per malai, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, bobot 1000 biji, dan bobot produksi per plot. Analisis Data Semua data yang diperoleh dianalisis mengikuti metode lini x tester (Singh & Chaudary 1979), sebagai berikut: a. Efek daya gabung umum 1. Lini: 2. Tester: b. Efek daya gabung khusus
c. Komponen genetik 1. σ2dgu: Cov H.S. = [ 2. σ2dgk:
[
] ]
Keterangan: l : lini t : tester r : ulangan : kuadrat tengah lini x tester : kuadrat tengah galat
92
Tabel 29 Struktur tabel analisis ragam untuk analisis lini × tester Sumber variasi
Jumlah kuadrat JKU JKE JKP JKC JKPC JKL JKT JKLT JKG JKtotal
Derajat bebas
Ulangan Entri Tetua F1 Tetua vs F1 Lini Tester Lini x Tester Galat Total
r-1 t-1 p-1 lt-1 (t-1) - (p-1) - (lt-1) l-1 t-1 (l-1) (t-1) (t-1) (r-1) rt-1
Kuadrat tengah KTU KTE KTP KTC KTPC KTL KTT KTLT KTG KTtotal
Fhitung
KTL/KTLT KTT/KTLT
d. Proporsi kontribusi lini, tester dan interaksi lini x tester ()
1. Kontribusi lini:
(
2. Kontribusi tester:
) ( ) (
3. Kontribusi lini x tester:
) (
)
(
)
Uji beda nyata terhadap efek daya gabung umum dan khusus dilakukan menggunakan uji t. Penghitungan
nilai
heterosis
dilakukan
menggunakan rumus
yang
dikenalkan oleh Virmani et al. (1997) sebagai berikut: Heterobeltiosis : Mid parent heterosis : Standar heterosis :
Hasil dan Pembahasan Daya Gabung Umum Analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata di antara lini (tetua betina) pada semua karakter, sedangkan di antara tester (tetua jantan) variasi yang nyata terlihat pada karakter tinggi tanaman, panjang malai, gabah isi per malai, gabah hampa per malai, gabah total per malai, persentase gabah isi per malai dan bobot hasil (Tabel 30).
Tabel 31 Proporsi kontribusi lini, tester dan interaksinya terhadap varians total
Tabel 30 Nilai kuadrat tengah hasil analisis varians daya gabung pada beberapa karakter padi
93
94
Proporsi lini x tester yang tinggi menyertai nilai proporsi lini dan tester yang tinggi pula, ditunjukkan oleh semua karakter (Tabel 31). Hasil analisis tersebut menggambarkan bahwa baik lini (GMJ) maupun tester (Restorer) yang digunakan dalam perakitan hibrida ini memiliki variabilitas yang tinggi untuk karakter-karakter yang diamati. Sarker et al. (2002) menemukan hal yang serupa. Diantara populasi padi hibrida dan tetua yang diujinya, nilai ragam yang disebabkan oleh lini,
tester maupun interaksi keduanya cukup tinggi,
menunjukkan adanya variasi diantara GMJ, restorer maupun hibrida yang dihasilkannya. GMJ danrestoreryang beragam dan memiliki karakter yang baik diharapkan akan mampu menghasilkan hibrida dengan heterosis tinggi.Proporsi interaksi lini x tester terhadap total varians yang lebih besar dibandingkan masing-masing proporsi lini maupun tester, menunjukkan bahwaragamyang terjadi pada populasi persilangan disebabkan oleh nilai daya gabung khusus (DGK) yang tinggi (Sarker et al. 2002). Nilai ragamyang tinggi antara hibrida disebabkan oleh interaksi antara lini dan tester terjadi pada karakter jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah total per malai, persentase gabah isi per malai dan bobot hasil (t/ha).Hal ini menunjukkan bahwa efek DGK karakter tersebut tinggi dan nyata secara statistik. Nilai daya gabung khusus yang tinggi dan nyata ditunjukkan oleh semua karakter. Tingginya efek DGK mengindikasikan bahwa terdapat interaksi antara gen dominan dan epistatis yang penting untuk mengontrol karakter-karakter tersebut (Tiwari et al. 2011). Namun, karakter tinggi tanaman, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah total per malai dan persentase gabah isi per malai juga memiliki ragam DGK dan daya gabung umum (DGU) yang
nyata.
Dengan
demikian
karakter-karakter
tersebut,
ekspresinya
dikendalikan baik oleh aksi gen aditif maupun non-aditif (Chakraborty et al. 2009; Rahimi et al. 2010). Pada karakter tinggi tanaman, umur berbunga dan jumlah gabah hampa per malai diinginkan nilai efek daya gabung umum yang negatif. Lini yang merupakan penggabung umum baik untuk karakter tinggi tanaman adalah GMJ BI485A, sedangkan tester yang menjadi penggabung umum baik bagi karakter ini adalah galur restorer CRS39, CRS8, CRS9 dan SMD9 (Tabel 32). Dengan menggunakan GMJ atau restorer tersebut dalam perakitan padi hibrida, maka hibrida yang dihasilkannya akan memiliki tinggi tanaman yang lebih rendah,
95
sehingga lebih toleran terhadap kerebahan. Pada karakter umur berbunga, beberapa GMJ dan restorer memiliki kemampuan gabung umum yang cukup tinggi tetapi tidak nyata secara statistik. Namun berdasarkan hasil analisis ini dapat dilakukan pemilihan GMJ atau restorer yang memiliki DGU negatif untuk umur berbunga. Nilai yang tidak nyata secara statistik ini kemungkinan disebabkan umur berbunga sebagian besar GMJ dan restorer yang digunakan memiliki kisaran yang tidak terlalu besar. Umur berbunga 50% pada GMJ atau tetua betina berkisar antara 85 – 104 HSS, sedangkan pada restorer (tetua jantan) berkisar antara 83 – 104 HSS. Untuk karakter gabah isi per malai, gabah hampa per malai dan persentase gabah isi per malai, BI485A dan BI599A merupakan penggabung umum yang baik. Tester (R) penggabung umum bagi karakter ini adalah IR53942, CRS8, CRS9, SMD9, SMD10 dan SMD15 (Tabel 32). Kombinasi dari GMJ dan restorer tersebut akan menghasilkan hibrida yang lebih banyak jumlah gabah isi per malai dan persentase gabah isi per malainya, sehingga memperkecil nilai jumlah gabah hampa per malai. Hal yang menarik adalah bahwa tester BH25B memiliki daya gabung umum yang tinggi dan positif untuk karakter gabah isi dan persentase gabah isi per malai, tetapi juga memiliki daya gabung umum yang positif untuk karakter gabah hampa per malai. Hal ini berarti bahwa hibrida yang dihasilkannya akan memiliki jumlah gabah total yang banyak, sehingga walaupun terjadi peningkatan jumlah gabah hampa per malai, belum sampai memberikan efek negatif terhadap persentase gabah isi per malai maupun bobot hasil. Namun tidak ada satupun baik GMJ maupun restorer yang merupakan penggabung umum bagi bobot hasil, karena karakter ini lebih banyak dipengaruhi oleh daya gabung khusus antar tetua spesifik.
Daya Gabung Khusus Nilai kontribusi interaksi lini x tester menunjukkan besarnya efek daya gabung khusus dibandingkan daya gabung umum dalam suatu populasi uji (Sarker et al. 2002). Pada karakter tinggi tanaman, terdapat 27 hibrida yang memiliki daya gabung khusus negatif dan nyata (Tabel 33). Hibrida tersebut berasal dari tiga tipe kombinasi tetua, yaitu: 1. Hibrida dari dua tetua yang sama-sama memiliki daya gabung umum tinggi dan negatif, antara lain BI485/CRS39, BI485/CRS8 dan BI485/CRS9.
96
Tabel 32 Efek daya gabung umum tetua padi hibrida baru pada berbagai karakter
97
2. Hibrida yang berasal dari tetua yang memiliki daya gabung umum tinggi dan rendah,
antara
lain
BI485/BP51-1,
BI485/SMD11,
BI599/CRS8,
BI599/SMD9, BI855/BP1028F, BI855/BH25B, BI855/R42, BI855/SMD9, BI855/SMD15, BI639/CRS39, BI639/CRS8, BI639/CRS9, BI639/SMD9, BI665A/IR53942 dan BI665A/BP51-1. 3. Kombinasi hibrida yang berasal dari dua tetua yang sama-sama memiliki nilai daya gabung umum rendah, yaitu BI599A/IR53942, BI599/SMD10, BI855A/BP2274, BI639A/S4124F dan BI639A/SMD12. Chakraborty et al. (2009) menyatakan bahwa tidak ada hubungan langsung antara efek daya gabung umum tetua dengan efek daya gabung khusus dari hibrida turunannya terhadap karakter tinggi tanaman. Hal ini hanya dapat diterangkan dengan lebih detail dari sudut pandang aksi gen, karena secara umum daya gabung umum lebih dipengaruhi oleh aksi gen aditif, sedangkan daya gabung khusus lebih disebabkan oleh aksi gen over dominan dan epistasis. Aksi gen dapat dipelajari lebih detail menggunakan desain persilangan (mating design) lain, seperti dialel. Nilai daya gabung khusus yang tinggi untuk karakter jumlah anakan produktif, umur berbunga 50%, panjang malai dan bobot hasil, semua dihasilkan oleh tetua-tetua bernilai daya gabung umum rendah. Dari 24 hibrida baru yang mempunyai hasil di atas 8 t/ha, dua belas kombinasi hibrida diantaranya dihasilkan dari tetua yang keduanya memiliki nilai daya gabung umum rendah. Nilai daya gabung khusus tertinggi untuk karakter bobot hasil ditunjukkan oleh BI599A/BP1028F, diikuti oleh BI855A/SMD11,BI855A/CRS8,BI485A/BP1028F dan BI599A/BP2274 (Tabel 33). Nilai daya gabung khusus yang tinggi yang dihasilkan oleh tetua-tetua dengan daya gabung
umum
yang rendah
menunjukkan bahwa sifat ini dikendalikan oleh aksi gen overdominan, dominan x dominan atau epistasis. Kombinasi dengan daya gabung khusus yang tinggi seperti ini dapat diekploitasi untuk perakitan padi hibrida dengan sifat heterosis yang baik. Beberapa hibrida tidak menunjukkan daya gabung khusus yang tinggi dan nyata secara statistik pada berbagai karakter yang diamati. Hal ini mungkin karena kombinasi genetik dari tetua tidak dapat memperbaiki ekspresi karakterkarakter tersebut.
98
Tabel 33 Efek daya gabung khusus karakter agromorfologi, komponen hasil dan hasil 75 hibrida baru
99
Tabel 33. Lanjutan
100
Tabel 33. Lanjutan
Heterobeltiosis, Midparent Heterosis dan Standar Heterosis Hibrida Baru Arah eksploitasi vigor hibrida ditentukan oleh penampilan hibrida tersebut dan besarnya heterosis. Besaran heterosis dapat diduga melalui perhitungan keunggulan hibrida terhadap rerata kedua tetuanya (mid parent heterosis), tetua
101
terbaiknya (heterobeltiosis) dan varietas pembanding (standard heterosis). Penampilan hibrida tidak dapat diprediksi hanya berdasarkan mid parent dan heterobeltiosis. Kombinasi hibrida akan bernilai komersial jika menunjukkan standar heterosis yang tinggi dan nyata terhadap varietas terbaik yang telah diadopsi petani. Standar heterosis merupakan refleksi penampilan hibrida itu (per se) (Malini et al. 2006). Nilai rata-rata karakter agromorfologi, komponen hasil dan hasil semua tetua untuk pembentukan hibrida ditampilkan pada Tabel 34. Nilai estimasi heterosis
mid
parent,
heterobeltiosis
dan
standar
heterosis
karakter
agromorfologi, komponen hasil dan hasil dari hibrida, berturut-turut ditampilkan pada Tabel 35, 36 dan 37. Tinggi tanaman, umur berbunga dan jumlah gabah hampa per malai yang lebih rendah diperlukan untuk merakit hibrida yang memiliki tinggi tanaman semi dwarf, umur genjah dan persentase gabah hampa yang rendah. GMJ BI599B merupakan galur yang memiliki tinggi tanaman terpendek (100,60 cm), sedangkan pada galur pemulih kesuburan terpendek ditunjukkan oleh CRS 8 (100,00 cm). Umur berbunga 50% tergenjah dan jumlah gabah hampa tersedikit ditunjukkan oleh GMJ BI855A (83,7 hari dan 13,5 biji), sedangkan untuk restorer yang paling genjah sekaligus penghasil gabah hampa tersedikit adalah CRS39 (80,3 hari dan 5,6 biji).Pada GMJ, malai terpanjang dimiliki oleh BI665A, persentase gabah isi per malai tertinggi ditunjukkan oleh BI485A, dan bobot hasil tertinggi ditunjukkan oleh BI855A (7,49 t/ha). Heterosis Karakter Agromorfologi dan Komponen Hasil Hibrida Tinggi tanaman tipe tanaman yang lebih pendek (semi dwarf) merupakan karakter yang penting dalam pengembangan padi hibrida. Hal ini terkait dengan antisipasi terjadinya kerebahan tanaman (lodging). Tigapuluh dua hibrida menunjukkan nilai heterobeltiosis negatif, tinggi dan nyata untuk karakter tinggi tanaman. Nilai heterosis mid parent negatif dan nyata untuk tinggi tanaman ditunjukkan oleh 17 hibrida. Nilai heterobeltiosis negatif maksimum untuk karakter tinggi tanaman dimiliki oleh hibrida BI855A/BH25B (-12,98%) dan nilai mid parent maksimum ditunjukkan oleh BI485A/CRS8 (-7,45%).
102
Jumlah Anakan Produktif
Umur Berbunga 50% (hari) 21,77 22,49 21,87 27,31 27,77
Panjang Malai (cm)
84,8 89,9 111,5 123,1 95,7 137,0 112,8 94,0 123,2 110,6 138,7 109,7 95,7 120,1 158,3
113,4 120,3 104,1 101,1 111,9
58,3 56,2 58,2 70,1 37,3 96,7 44,9 5,6 27,0 25,3 92,3 60,3 26,1 58,7 23,9
14,7 23,7 13,5 96,1 44,9
Jumlah Gabah Hampa/Malai
58,2 62,2 68,2 63,3 47,5 60,1 71,5 94,3 82,4 81,3 60,7 64,0 51,5 69,4 86,6
88,7 83,5 88,4 51,3 72,3
Persentase Gabah Isi/Malai (%)
4,97 4,13 4,85 7,06 6,83 5,40 6,08 5,56 5,74 7,84 6,56 5,93 6,12 5,75 3,06
6,86 5,41 7,49 5,27 6,57
Bobot Hasil (t/ha)
85,7 88,0 83,7 99,7 95,3
24,45 24,97 27,80 24,10 27,80 25,62 26,17 22,04 22,61 26,33 25,39 26,92 24,85 25,70 26,17
Jumlah Gabah Isi/Malai
101,7 103,7 103,0 102,7 95,7 97,7 96,3 80,3 92,0 93,0 97,0 104,0 94,7 91,3 94,7
Tabel 34 Nilai rata-rata karakter agromorfologi, komponen hasil dan hasil tetua jantan dan betina yang digunakan Tetua
Tinggi Tanaman (cm)
Tetua betina (GMJ): BI485A 105,73 10,5 BI599A 100,60 11,3 BI855A 108,07 11,9 BI639A 106,27 12,5 BI665A 115,53 11,9 Tetua jantan (Galur Pemulih Kesuburan): IR53942 112,53 11,9 S4124F 116,67 10,3 BP51-1 114,93 10,1 BP1028F 120,93 10,1 BH25B 122,73 11,8 R42 117,80 11,5 BP2274 116,47 12,7 CRS 39 102,33 10,9 CRS 8 100,00 12,5 CRS 9 113,00 12,1 SMD 9 118,53 10,1 SMD 10 123,60 11,1 SMD 11 120,47 11,2 SMD 12 125,80 9,6 SMD 15 123,53 10,3
Tabel 35 Heterobeltiosis karakter agromorfologi dan komponen hasil 75 hibrida baru
103
104
104
Tabel 35 Lanjutan
Tabel 35 Lanjutan
105
105
106
106
Tabel 36 Heterosis midparent karakter agromorfologi dan komponen hasil 75 hibrida baru
Tabel 36 Lanjutan
107
107
108
108
Tabel 36 Lanjutan
109
Tinggi tanaman BI855A/BH25B dan BI485A/CRS8 berturut-turut 106,80 cm dan 94,53 cm, sehingga termasuk kategori sedang. Fenomena heterosis negatif yang ditemukan untuk karakter tinggi tanaman pada penelitian ini disebabkan oleh penggunaan galur-galur tetua yang termasuk kategori semi dwarf, terutama galur mandul jantannya. Hasil penelitian yang sama dilaporkan oleh Malini et al. (2006) dan Sen & Singh (2011). Nilai heterosis yang tinggi, nyata dan positif ditunjukkan oleh sebagian besar hibrida terhadap tetua terbaik maupun rata-rata kedua tetuanya pada karakter panjang malai. Tigapuluh dua hibrida memberikan nilai heterobeltiosis yang tinggi, nyata dan positif untuk karakter panjang malai. Nilai heterobeltiosis tertinggi ditunjukkan oleh hibrida BI855A/CRS39, mencapai 23,11% lebih tinggi dari tetua terbaik (CRS39). Limapuluh lima hibrida memberikan nilai heterosis mid parent yang nyata, tinggi dan positif untuk karakter panjang malai, dengan nilai tertinggi ditunjukkan oleh hibrida BI665A/CRS39 yang memiliki panjang malai mencapai 31,00 cm atau 24,48% lebih panjang dibandingkan rata-rata kedua tetuanya. Umur genjah menjadi salah satu kebutuhan dalam budidaya padi.Umur 50% berbunga tujuhpuluh lima kombinasi padi hibrida yang diuji berkisar antara 94 – 99 hari setelah tanam (HSS), sehingga termasuk kategori umur sedang. Heterobeltiosis yang nyata dan negatif untuk karakter ini diperoleh pada 26 kombinasi hibrida, dengan nilai tertinggi ditunjukkan oleh BI599A/BP51-1 (8,74%) dengan umur berbunga 94 hss, sehingga hibrida tersebut lebih genjah dibandingkan kedua tetuanya. Sebagian besar padi hibrida memiliki panjang malai yang tidak terlalu panjang, sehingga hasil tinggi terutama didukung oleh jumlah anakan produktif yang banyak.Duapuluh enam hibrida memiliki nilai heterobeltiosis yang nyata, tinggi dan positif.Nilai heterosis mid parent yang nyata, tinggi dan positif ditunjukkan oleh 37 kombinasi hibrida. Hibrida yang memiliki nilai heterobeltiosis dan mid parent tertinggi dan positif untuk jumlah anakan produktif adalah BI485A/BP51-1, berturut-turut mencapai 65,07% dan 67,75%. Hibrida tersebut memiliki jumlah anakan produktif sebanyak 17 anakan. Jumlah gabah isi per malai yang tinggi berkorelasi positif dengan produktivitas tinggi, sehingga heterosis karakter ini harus bernilai positif, nyata dan tinggi. Tigapuluh sembilan hibrida memperlihatkan nilai heterobeltiosis yang positif dan tinggi untuk jumlah gabah isi per malai. Nilai heterosis mid parent
110
yang positif, nyata dan tinggi ditunjukkan oleh 53 hibrida. Hibrida yang memiliki nilai heterobeltiosis dan mid parent tertinggi dan positif adalah BI855A/BH25B yang masing-masing mencapai 78,06% dan 85,52%, dengan jumlah gabah isi per malai sebanyak 185 butir. Persentase gabah isi per malai pada hibrida menunjukkan adanya kesesuaian antara kedua tetua dalam hal pemulihan kesuburan GMJ oleh restorer. Persentase gabah isi per malai pada hibrida yang diuji berkisar 34,31% hingga 91,61%. Nilai heterobeltiosis karakter persentase gabah isi per malai yang positif dan nyata ditunjukkan oleh 13 hibrida. Nilai tertinggi ditunjukkan oleh hibrida BI639A/SMD11, dengan persentase gabah isi per malai 84,14% dan menunjukkan 78,49% lebih tinggi dibandingkan galur tetua terbaik. Duapuluh tujuh hibrida memperlihatkan nilai heterosis mid parent yang tinggi dan positif. BI639A/SMD11 memiliki nilai heterosis mid parent tertinggi, yaitu sebesar 63,75%. Heterosis Karakter Hasil Hibrida Khusus karakter bobot hasil, nilai heterosis dapat diperkirakan terhadap tetua terbaik, rata-rata tetua dan
dua varietas pembanding. Bobot hasil
merupakan karakter ekonomis dan nilai heterosis pada karakter ini penting untuk tujuan praktis pemuliaan tanaman (Patil et al. 2011). Nilai heterosis karakter bobot hasil 75 hibrida ditampilkan pada Tabel 37. Hibrida keturunan GMJ tipe WA menunjukkan nilai heterobeltiosis yang beragam, antara -51,64 hingga 69,90%. Enam belas hibrida mempunyai nilai heterosis di atas 20% dibandingkan tetua terbaik. Lima hibrida yang memiliki heterobeltiosis tertinggi dengan hasil yang berkisar antara 8,38 – 10,21 t/ha adalah BI599A/S4124F (69,90%),
BI599A/BP2274
(57,33%),
BI599A/IR53942
(54,92%),
BI485A/IR53942A (48,94%) dan BI485A/BH25B (43,88%). GMJ tipe Gambiaca menghasilkan 15 hibrida dengan nilai heterobeltiosis antara -51,41 – 32,01%. Hibrida BI855A/CRS8 dan BI855A/SMD11 menunjukkan bobot hasil yang tinggi, berturut-turut 9,84 t/ha dan 9,88 t/ha dengan heterobeltiosis masing-masing sebesar 31,46% dan 32,01%. Tiga puluh hibrida keturunan GMJ tipe Kalinga, mampu menghasilkan bobot hasil dengan heterobeltiosis berkisar antara -72,83 – 53,61%. Sepuluh hibrida memiliki heterobeltiosis di atas 20%. Lima hibrida dengan hasil berkisar antara 7,12 – 9,15 t/ha mempunyai heterobeltiosis tertinggi
111
yaitu
BI639A/R42
(53,61%),
BI639A/IR53942
(46,28%),
BI665A/IR53942
(39,33%), BI665A/R42 (36,08%) dan BI639A/CRS39 (27,96%). Tabel 37 Heterobeltiosis, midparent heterosis dan standar heterosis karakter bobot hasil 75 hibrida baru
112
Tabel 37 Lanjutan
Heterosis terhadap rata-rata tetua dinyatakan sebagai heterosis mid parent. Sembilan belas hibrida keturunan GMJ tipe WA menunjukkan heterosis mid parent lebih dari 20%. Hibrida terbaik dalam kelompok WA yang memiliki
113
heterobeltiosis tertinggi yaitu BI599A/S4124F (92,67%). Tujuh hibrida keturunan GMJ tipe Gambiaca menghasilkan bobot hasil dengan heterosis mid parent> 20%.
Hibrida
BI855A/CRS8
dikelompok
turunan
GMJ
tipe
Gambiaca
menampilkan heterosis mid parent tertinggi yaitu 48,83%. GMJ tipe Kalinga menghasilkan 13 hibrida yang mempunyai nilai heterosis mid parent di atas 20%. Hibrida BI665A/IR53942 menghasilkan bobot
hasil
tertinggi (9,15 t/ha)
dikelompok hibrida turunan GMJ tipe Kalinga, dengan heterosis sebesar 58,67% terhadap rata-rata tetuanya. Heterosis berupa keunggulan atau kelebihan hibrida terhadap varietas pembanding dikenal dengan sebutan standar heterosis.Standar heterosis terhadap daya hasil penting diamati untuk mengetahui potensi hasil suatu hibrida.
Bagi
pemulia,
seleksi
padi
hibrida
berdasarkan
penampilan
hibridatersebut di lokasi pengujian dan berdasarkan nilai standar heterosis akan lebih efektif untuk memilih hibrida terbaik (Malini et al. 2006). Tiwari et al. (2011) menyatakan bahwa hibrida yang memberikan kelebihan hasil 20 – 30% dibandingkan varietas pembanding terbaik telah cukup mendorong
petani
untuk
membudidayakan
hibrida
tersebut.
Tabel
37
menunjukkan bahwa GMJ tipe WA menghasilkan 11 hibrida dan 7 hibrida yang memiliki standar heterosis > 20% berturut-turut dibandingkan Inpari13 dan Hipa6 Jete. Hibrida turunan GMJ tipe WA terbaik adalah BI485A/IR53942 dengan nilai heterosis mencapai 41,15% lebih tinggi dibandingkan Inpari13 dan 33,81% lebih tinggi dibandingkan Hipa6 Jete. Dari kelompok hibrida keturunan GMJ tipe Gambiaca, terdapat 2 hibrida dan 3 hibridayang berturut-turut menunjukkan standar heterosis > 20% dibandingkan Hipa6 Jete dan Inpari13. Hibrida dengan standar heterosis tertinggi adalah BI855A/SMD11 (9,88 t/ha). Hibrida tersebut memiliki standar heterosis sebesar 36,61% lebih tinggi dibandingkan Inpari13 dan 29,50% lebih unggul terhadap Hipa6 Jete. Berbeda dengan hibrida-hibrida turunan GMJ tipe WA dan Gambiaca, hibrida turunan GMJ tipe Kalinga hanya mampu mencapai nilai standar heterosis kurang dari 20% terhadap Hipa6 Jete yaitu BI665A/IR53942 (19,88%) dan BI665A/R42 (17,08%). Namun kedua hibrida tersebut memiliki standar heterosis lebih dari 20% terhadap pembanding inbrida Inpari13. Pengamatan terhadap bobot hasil menunjukkan bahwa GMJ dengan latar belakang sitoplasma Wild Abortive (WA) mampu menghasilkan lebih banyak kombinasi hibrida dengan heterosis tinggi, baik untuk heterobeltiosis, heterosis
114
mid parent maupun standar heterosis, dibandingkan GMJ tipe Kalinga dan Gambiaca. Hal ini terjadi karena galur pemulih kesuburan yang digunakan merupakan hasil rakitan BB Padi yang baru diidentifikasi sebagai galur pemulih kesuburan bagi berbagai GMJ tipe WA. Bahkan beberapa galur di antaranya yaitu IR53942, BH25B, BP51-1 dan R42 telah menghasilkan varietas hibrida komersial. Hal ini membuktikan bahwa GMJ tipe WA memiliki daya gabung yang baik dengan galur-galur pemulih kesuburan yang telah tersedia tersebut, sehingga menghasilkan hibrida-hibrida dengan heterosis baru yang lebih besar. Pada penelitian ini,
GMJ tipe Kalinga dan Gambiaca belum banyak
menghasilkan hibrida-hibrida yang berheterosis tinggi. Hal ini memperlihatkan bahwa perlu dirakit galur-galur pemulih kesuburan spesifik bagi kedua GMJ tersebut. Namun demikian, tampaknya beberapa galur pemulih kesuburan tersebut juga sesuai untuk merakit padi hibrida dengan GMJ tipe Gambiaca atau Kalinga, karena beberapa hibrida yang dihasilkan memiliki standar heterosis lebih dari 20% dengan kisaran hasil antara 8,70 – 9,88 t/ha untuk turunan tipe Gambiaca dan 8,94 – 9,15 t/ha untuk tipe Kalinga. Kesimpulan Hasil penelitian dan analisis lini x tester terhadap sejumlah hibrida turunan dari tiga tipe GMJ berbeda menunjukkan bahwa pada karakter tinggi tanaman, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah total per malai dan persentase gabah isi per malai memiliki ragam daya gabung khusus (DGK) dan daya gabung umum (DGU) yang nyata. Ekspresi karakterkarakter di atas dikontrol oleh aksi gen aditif maupun non-aditif. BI485A dan BI599A merupakan penggabung umum yang baik untuk karakter gabah isi per malai, gabah hampa per malai dan persentase gabah isi per malai, sedangkan tester penggabung umum bagi karakter ini adalah IR53942, CRS8, CRS9, SMD9, SMD10 dan SMD15. Nilai daya gabung khusus yang tinggi untuk karakter bobot panen dihasilkan
oleh
tetua-tetua
bernilai
daya
gabung
umum
rendah
yang
menunjukkan sifat ini dikendalikan oleh aksi gen overdominan, dominan x dominan atau epistasi. Kombinasi dengan daya gabung khusus tinggi sesuai untuk perakitan padi hibrida dengan sifat heterosis yang baik. Nilai daya gabung khusus tertinggi ditunjukkan oleh BI599A/BP1028F.
115
Hibrida yang menghasilkan bobot hasil tertinggi pada kelompok turunan GMJ tipe WA, adalah BI485A/IR53942 (10,21 t/ha). Bobot hasil tertinggi pada kelompok turunan GMJ tipe Gambiaca ditunjukkan oleh BI855A/SMD11 (9,88 t/ha), sedangkan pada kelompok turunan GMJ tipe Kalinga ditunjukkan oleh BI665A/IR53942 (9,15 t/ha). Ketiga hibrida tersebut sekaligus menunjukkan heterosis tertinggi baik terhadap tetua terbaik, tetua rata-rata maupun varietas pembanding.
PEMBAHASAN UMUM Galur mandul jantan yang digunakan dalam perakitan padi hibrida maupun pengembangan hibrida komersial di Indonesia saat ini menggunakan beberapa galur mandul jantan asal IRRI, seperti IR62829A, IR58025A, IR68897A, IR68886A dan IR68888A. Semua galur mandul jantan tersebut memiliki latar belakang sitoplasma tipe wild abortive (WA). Penggunaan satu tipe galur mandul jantan secara terus menerus, dikhawatirkan akan mengakibatkan kerapuhan genetik pada padi hibrida terhadap hama dan penyakit. Penggunaan padi hibrida dengan kondisi demikian secara luas dapat menyebabkan ledakan populasi hama atau penyakit, seperti yang pernah terjadi pada jagung hibrida (Texas CMS).IRRI telah mengidentifikasi adanya sumber sitoplasma lain, seperti Gambiaca, Dissi, ARC, Kalinga, Hong Lian, Indonesian Paddy dan sumber sitoplasma lain dari padi liar (O. rufipogon dan O. perennis). Sumber sitoplasma tersebut belum banyak digunakan dalam perakitan padi hibrida.Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi kemungkinan pemanfaatan dua sumber sitoplasma tersebut dalam perakitan galur mandul jantan baru di Indonesia. Perakitan galur mandul jantan baru dilakukan dengan mentransfer sifat mandul jantan ke calon galur pelestari melalui pembuatan persilangan antara GMJ dari tiga sumber sitoplasma (WA, Gambiaca dan Kalinga) dengan 19 galur dihaploid calon galur pelestari. Galur-galur dihaploid tersebut telah diidentifikasi memiliki karakter agromorfologi, komponen hasil dan hasil yang baik serta bervariasi (Tabel 9 dan 13). Sebagian besar galur dihaploid calon pelestari yang diuji memiliki eksersi malai yang baik (skor 1), daun bendera yang tegak dan warna antera yang kuning dan gemuk karena mengindikasikan bunga galur-galur tersebut mengandung banyak polen. Seleksi calon galur pelestari perlu memperhatikan beberapa karakter sekaligus, hasil analisis sidik lintas yang telah dilakukan sangat bermanfaat untuk menentukan kriteria seleksi menggunakan beberapa karakter sekaligus, sehingga seleksi dapat dilakukan melalui metode indeks seleksi. Bagan sidik lintas bermanfaat dalam menentukan besaran bobot setiap karakter yang akan diseleksi. Hasil sidik lintas memperlihatkan bahwa galur-galur dihaploid calon pelestari memiliki komponen hasil (gabah isi per malai, bobot malai, bobot 1000 butir dan panjang malai) yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap
bobot
hasil.Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
pada
galur-
118
galurdihaploid tersebut, selain jumlah anakan, bobot malai juga merupakan satu karakter yang memiliki pengaruh langsung yang besar terhadap bobot hasil per rumpun.Jumlah gabah isi per malai memiliki pengaruh tidak langsung yang besar terhadap bobot hasil per rumpun.Karakter bobot malai dan jumlah gabah isi per malai mempunyai nilai heritabilitas dan variabilitas yang luas, sehingga kedua karakter tersebut dapat diseleksi secara lebih efektif (Bahar et al. 2000, Zen 2002). Penyakit hawar daun bakteri dapat menurunkan bobot hasil secara signifikan karena menyebabkan gejala hawar (blight) yang merusak klorofil pada daun, sehingga kemampuan tanaman untuk melakukan fotosintesis berkurang. Calon galur pelestari telah diuji ketahanannya terhadap tiga patotipe penyakit hawar daun bakteri (HDB/Xanthomonas oryzae pv. oryzae/Xoo).Di Asia serangan Xoo dapat mengurangi hasil padi 50% sampai 80% (Makino et al. 2006).
Sudir & Suparyono (2001) melaporkan bahwa populasi Xoo di Jawa
didominasi oleh patotipe III (42,7%), patotipe IV (15,3%), dan patotipe VIII (42,0%). Hasil uji menunjukkan bahwa terdapat tiga galur dihaploid bereaksi tahan terhadap patogen HDBpatotipeIII, satu galur tahan terhadap patogen HDB patotipe IV dan dua galur tahan terhadap patogen HDB patotipe VIII. Galur H364-M merupakan galur yang agak tahan terhadap patogen HDB patotipe III tetapi sangat tahan terhadap patotipe VIII. Galur B4-1-Dc teridentifikasi agak tahan terhadap patogen HDB III dan sangat tahan terhadap patotipe IV maupun VIII. Galur pelestari merupakan polinator spesifik bagi galur mandul jantan, sehingga benih yang dihasilkan akan tetap menjadi mandul jantan. Pada dasarnya kedua galur ini mempunyai karakteristik utama yang sangat mirip dan hanya dibedakan oleh kondisi sitoplasma masing-masing galur. Galur pelestari mempunyai sitoplasma normal dengan gen rf di dalam nukleusnya, sehingga galur ini potensial untuk diinkorporasi menjadi galur mandul jantan. Galur mandul jantan mempunyai gen pemulih kesuburan (gen rf) resesif yang mengakibatkan gangguan pada sitoplasma dan menyebabkan terjadinya gangguan pada pembentukan polen, sehingga polen tidak fungsional (Virmani et al. 1997). Dengan demikian karakteristik utama galur mandul jantan sangat ditentukan oleh karakter agronomi galur pelestari pasangannya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa galur-galur dihaploid yang diuji memenuhi syarat untuk digunakan sebagai calon galur pelestari dan dapat dikonversi menjadi galur mandul jantan baru melalui uji silang (test cross).
119
Hasil uji silang menunjukkan bahwa tidak semua galur dihaploid mampu melestarikan sterilitas polen GMJ tipe WA, Kalinga dan Gambiaca. Sembilan galur dihaploid teridentifikasi dapat berfungsi sebagai galur pelestari bagi GMJ tipe WA. Galur dihaploid yang dapat berfungsi sebagai galur pelestari bagi GMJ tipe Gambiaca hanya H36-4-M, sedangkan empat galur dihaploid lain (H36-3-Ma, H36-3-Mc, B1-1-Mb dan B1-2-Pb) mampu melestarikan sterilitas polen GMJ tipe Kalinga. Tanaman F1 yang dihasilkan oleh galur-galur dihaploid di atas mempunyai sterilitas 90-100% dan digunakan sebagai bahan silang balik berkelanjutan untuk membentuk GMJ baru. Silang balik berkelanjutan telah dilaksanakan sampai generasi F1BC5, dan menghasilkan 10 GMJ baru yang stabil sterilitasnya (Tabel 18). Sepuluh GMJ baru tersebut terdiri dari enam GMJ tipe WA, satu GMJ tipe Gambiaca dan tiga GMJ tipe Kalinga. Seluruh GMJ tipe Gambiaca dan Kalinga mencapai mandul sempurna pada generasi yang lebih awal (F1BC3) dibandingkan GMJ tipe WA (F1BC5). Hal ini merupakan indikasi bahwa GMJ tipe Kalinga dan Gambiaca memiliki sterilitas polen yang lebih stabil dibandingkan GMJ tipe WA. Sterilitas polen yang stabil dari generasi ke generasi dan tidak terpengaruh oleh temperatur dan panjang hari merupakan kriteria penting dalam pemanfaatan GMJ untuk komersialisasi padi hibrida sistem tiga galur. Selain itu, sepuluh GMJ di atas memiliki karakter biologi dan perilaku bunga baik seperti persentase eksersi stigma tinggi dan umur genjah. Karakter agromorfologi 10 GMJ tersebut juga sangat mendukung, seperti tanaman yang semi-dwarf dan jumlah anakan produktif yang cukup banyak. Selanjutnya, dipilih 5 GMJ baru yang mewakili masing-masing sumber sitoplasma (WA, Gambiaca dan Kalinga) untuk dipelajari lebih lanjut. Kriteria lain GMJ yang baik untuk komersialisasi padi hibrida sistem tiga galur
adalah
mempunyai
kemampuan
menyerbuk
silang
yang
tinggi.
Kemampuan tersebut terkait erat dengan beberapa karakter dan perilaku bunga GMJ. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua GMJ baru, baik tipe WA (BI485A, BI599A), Gambiaca (BI855A) dan Kalinga (BI639A, BI665A) memiliki eksersi malai yang cukup baik (>75%). Tabel 21 dan 23 menggambarkan bahwa GMJ baru yang diperoleh pada penelitian ini memiliki karakter dan perilaku bunga yang lebih baik dibandingkan IR58025A. GMJ baru tipe WA memiliki persentase eksersi stigma, durasi pembukaan lemma dan palea, serta sudut membuka lemma dan palea saat anthesis yang nyata lebih baik dibandingkan IR58025A. Dua GMJ tipe WA ini juga memiliki umur berbunga yang lebih genjah
120
dibandingkan IR58025A. GMJ baru tipe Gambiaca dan Kalinga nyata memiliki persentase eksersi stigma lebih tinggi, lebar stigma, panjang stilus dan sudut membuka lemma palea saat anthesis yang lebih baik dibandingkan IR58025A. Karakter dan perilaku bunga yang lebih baik diduga menyebabkan kemampuan menyerbuk silang dari GMJ tersebut meningkat, sehingga pembentukan biji hasil serbuk silang pada GMJ baru lebih tinggi dibanding IR58025A. Analisis korelasi membuktikan bahwa beberapa karakter dan perilaku bunga GMJ terkait erat dengan kemampuan GMJ tersebut menerima polen asing dan membentuk biji. Karakter lebar stigma, persentase eksersi stigma dan sudut membuka lemma dan palea saat anthesis berkorelasi positif dan nyata dengan pembentukan biji(seed set) (Tabel 24). Sudut membuka bunga GMJ baru yang lebar menyebabkan polen-polen dari tanaman jantan (maintainer) tidak terhalang oleh lemma dan palea, sehingga jatuh di permukaan stigma yang lebar. Persentase eksersi stigma yang besar mendukung terbentuknya biji yang tinggi pada GMJ. Pengguguran polen (dehiscence) oleh galur pelestari yang terjadi tidak pada waktu yang bersamaan dengan membukanya lemma palea galur mandul jantan, masih berkesempatan untuk jatuh pada permukaan stigma yang berada di luar spikelet, sehingga memperbesar keberhasilan polinasi. Durasi dan sudut pembukaan bunga, ukuran stigma dan persentase eksersi stigma merupakan karakter penting yang bertanggung jawab terhadap kemampuan serbuk silang alami galur mandul jantan (Singh & Sirisha 2003). Panjang filamen dan sudut pembukaan lemma palea galur pelestari ternyata mempengaruhi persentase seed set pada GMJ baru. Sudut membuka bunga yang lebar dengan filament yang panjang, menyebabkan antera galur pelestari dapat keluar sempurna dan dapat menggugurkan polen-polennya tanpa terhalang oleh lemma dan palea. Ketahanan GMJ baru terhadap patogen penyakit hawar daun bakteri beragam (Tabel 20).GMJ tipe WA bereaksi agak tahan terhadap patogen HDB patotipe III dan IV, tetapi agak rentan terhadap patotipe VIII.GMJ tipe Gambiaca bereaksi tahan terhadap patogen HDB patotipe III, agak tahan terhadap patotipe IV, tetapi agak rentan terhadap patotipe VIII.GMJ tipe Kalinga yang memiliki ketahanan lebih baik terhadap patogen HDB adalah BI665A.GMJ ini agak tahan terhadap patogenHDB patotipe III, tetapi bereaksi sangat tahan terhadap patotipe IV dan VIII.Adanya ketahanan GMJ baru terhadap penyakit HDB menambah nilai
121
positif dari GMJ-GMJ tersebut, terutama dalam pemanfaatannya nanti untuk perakitan varietas padi hibrida. Hasil penelitian pertama hingga ketiga telah mendapatkan sepuluh galur mandul jantan baru yang memenuhi kriteria sesuai untuk digunakan dalam perakitan padi hibrida.GMJ baru ini memiliki sterilitas polen yang sempurna (completely sterile), stabil dari generasi ke generasi, tidak terpengaruh oleh perubahan temperatur maupun musim. Hal ini didukung olehkarakter dan perilaku bunga GMJ baru yang mendukung kemampuan serbuk silangnya dan memiliki ketahanan terhadap satu atau lebih patotipe penyakit hawar daun bakteri. Potensi produksi benih GMJ diketahui sangat beragam.GMJ baru harus memiliki potensi produksi benih yang tinggi untuk menjamin ketersediaan benih dalam komersialisasi padi hibrida. Kemudahan produksi benih juga akan berpengaruh positif terhadap harga benih tersebut. Semakin mudah dan tinggi produksi benih, maka harga benih akan lebih rendah karena dapat menutupi biaya produksi yang telah dikeluarkan. Banyak faktor teknis maupun non-teknis yang mempengaruhi hasil dan kualitas benih GMJ, seperti suhu, cahaya matahari, kelembaban, aplikasi pupuk dan bahan kimia lain. GA3 dalam konsentrasi rendah dilaporkan dapat meningkatkan kemampuan menyerbuk silang dari kedua galur tetua padi hibrida (Tiwari et al. 2011). Tiga GMJ baru dengan tiga latar belakang sitoplasma berbeda digunakan dalam penelitian ini. Seluruh GMJ baru telah memiliki karakter bunga dan perilaku bunga yang lebih baik dibanding IR58025A. Namun masih terdapat beberapa kelemahan seperti sebagian pangkal malai yang tertutup oleh pelepah daun bendera dan malai yang pendek. Beberapa hasil penelitian sebelumnya telah melaporkan bahwa karakter-karakter tersebut dapat diperbaiki dengan menyemprotkan GA3 (Yuan et al. 2003, Gavino et al. 2008, Tiwari et al. 2011). Oleh karena itu, pada penelitian ini diberikan perlakuan tambahan berupa penyemprotan GA3 dengan konsentrasi 200 ppm. Bobot panen benih GMJ tanpa penyemprotan GA3 nyata lebih rendah dibandingkan bobot panen dari GMJ yang disemprot GA3. Pola ini terjadi baik pada GMJ baru maupun GMJ pembanding. Bobot tertinggi diperoleh oleh BI485A, diikuti oleh BI639A dan BI853A. Hasil yang tinggi dari BI485A tampaknya didukung oleh karakter dan perilaku bunga GMJ yang baik, seperti durasi pembukaan bunga yang lama saat anthesis (143,87 menit), sudut
122
membuka bunga saat antesis yang lebar (40,27o), eksersi stigma yang tinggi (74,72o) dan durasi kesegaran dan reseptivitas putik yang lebih lama (Tabel 21 dan 23). Karakter dan perilaku bunga yang baik tersebut mampu mendukung persilangan alami sampai terbentuknya biji per malai (seed set), sehingga ketika disemprot GA3 dengan konsentrasi 200 ppm seed set meningkat sangat nyata dari 8,14% menjadi 22,20%. Galur BI855A sebenarnya memiliki karakter bunga yang lebih baik dibandingkan BI639A, tetapi benih yang dihasilkan lebih rendah karena
kesalahan
dalam
pengaturan
sinkronisasi
pembungaan
dengan
pelestarinya. Pada plot BI855A/B, galur pelestari berbunga 6 – 7 hari lebih awal dibandingkan galur mandul jantan. Hal ini menyebabkan polen tetua jantan yang tersedia sangat sedikit ketika stigma galur mandul jantan memasuki fase reseptif, sehingga seed set yang terbentuk rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyemprotan 200 ppm GA3 dapat memperbaiki karakter agromorfologi dan perilaku bunga GMJ, sehingga meningkatkan hasil panen. Secara fisiologi, Chhun et al. (2007) menyatakan bahwa giberelin dapat mempengaruhi aktivitas jaringan tapetum pada fase pembentukan polen, sehingga dapat meningkatkan jumlah dan viabilitas polen. Menurut Suharsi (2009), perkembangan polen fase spermatogenesis terjadi bersamaan dengan pembentukan dan perkembangan primordia bunga. Karena itu, pemberian GA3untuk meningkatkan jumlah dan viabilitas polen harus dilakukan saat vegetatif. Viabilitas polen tertinggi terjadi pada perlakuan penyemprotan GA3 saat 8 MST. Yadav et al. (2005), melaporkan bahwa asam giberelat
dapat
meningkatkan
kemampuan
menyerbuk
silang
alami
GMJ.Penyemprotan GA3 menyebabkan bunga membuka lebih lama, sudut membuka lemma palea menjadi lebih lebar dan persentase eksersi stigma meningkat, sehingga persentase seed set meningkat. Namun penyemprotan GA3 pada penelitian tersebut tidak meningkatkan durasi anthesis dan kemampuan stigma menerima polen (receptive), walau dosis yang digunakan cukup besar (60 g/ha). Dalam penelitian ini, penyemprotan GA3 dengan konsentrasi 200 ppm meningkatkan durasi reseptivitas stigma terhadap polen. Hal ini mungkin karena waktu penyemprotan yang berbeda antara penelitian ini dengan penelitian Yadav et al. (2005). Yadav et al. (2005) memberikan perlakuan GA3 pada 10% fase berbunga, sedangkan pada penelitian ini, penyemprotan GA3 dilakukan saat bunga mulai muncul (emerged) hingga 5% berbunga. Aplikasi GA3 pada fase yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap
123
morfologi dan fisiologi bunga GMJ. Namun mekanisme detail GA3 dalam mempengaruhi kedua karakter tersebut belum dilaporkan, sehingga perlu diteliti lebih lanjut. Secara umum, ketiga galur mandul jantan yang diuji lebih baik dibanding dengan galur pembanding. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbaikan berbagai karakter ketiga galur uji yang mendukung kemampuan menyerbuk silang dan pembentukan gabah per malai. Galur IR58025A memiliki eksersi malai yang lebih baik, tetapi durasi pembukaan bunga, sudut membuka bunga saat antesis dan persentase eksersi stigma dari galur ini lebih rendah dibandingkan GMJ baru. Selain itu, rangkaian penelitian ini juga menggambarkan bahwa GMJ uji yang memiliki latar belakang sitoplasma berbeda dapat digunakan sebagai GMJ baru fungsional. Agar dapat digunakan secara efektif dalam perakitan padi hibrida, galur mandul jantan baru harus memiliki daya gabung yang tinggi dengan galur-galur pemulih kesuburan. Hasil analisis terhadap 75 hibrida baru menunjukkan bahwa efek daya gabung khusus lebih dominan dibandingkan efek daya gabung umum. Dua belas hibrida dengan bobot hasil di atas 8 t/ha dihasilkan oleh tetua yang keduanya memiliki nilai daya gabung umum rendah. Nilai daya gabung khusus tertinggi ditunjukkan oleh BI599A/BP1028F, diikuti oleh BI855A/SMD11, BI855A/CRS8, BI485A/BP1028F, BI599A/BP2274, dan BI665A/SMD11(Tabel 33). Nilai daya gabung khusus yang tinggi, yang dihasilkan oleh tetua-tetua dengan daya gabung umum yang rendah menunjukkan bahwa sifat ini dikendalikan oleh aksi gen overdominan, dominan x dominan atau epistasis. Tetua-tetua hibrida dengan daya gabung khusus yang tinggi dan positif seperti ini, sesuai untuk dimanfaatkan dalam penelitian dan perakitan padi hibrida dengan sifat heterosis yang baik. Berdasarkan pengamatan terhadap persentase gabah isi per malai pada masing-masing
hibrida,
terlihat
bahwa
terdapat
perbedaan
kemampuan
memulihkan kesuburan polen oleh galur pemulih kesuburan terhadap tiga tipe GMJ. Di antara 30 hibrida yang dirakit menggunakan GMJ tipe WA, terdapat 13 galur pemulih kesuburan yang menghasilkan persentase gabah isi per malai di atas 70% (Tabel 35, 36, 38). Hal tersebut berarti bahwa 13 galur tersebut berfungsi baik sebagai galur pemulih kesuburan bagi GMJ baru dengan latar belakang sitoplasma wild abortive (Virmani et al. 1997). Pada 15 hibrida turunan
124
GMJ tipe Gambiaca, terdapat 7 hibrida yang mampu menghasilkan persentase gabah isi per malai lebih dari 70% (Tabel 35, 36, 38). Tabel 38 Karakter agronomi dan standar heterosis karakter hasil hibrida turunan GMJ tipe WA, Gambiaca dan Kalinga
Keterangan: TT= tinggi tanaman, JAP= jumlah anakan produktif, UB= umur berbunga 50%, PM= panjang malai, %GABSI= persentase gabah isi per malai.
Di antara 30 hibrida turunan GMJ tipe Kalinga, hanya 12 hibrida yang menunjukkan persentase gabah isi per malai di atas 70%. GMJ dengan latar belakang sitoplasma Gambiaca dapat dipulihkan kesuburannya oleh gen Rf3 yang berada di kromosom 1 pada jarak 2,1 cM dari marka RM576. GMJ tipe WA dipulihkan kesuburannya oleh gen Rf3 yang berlokasi 2,8 cM dari RM490 pada kromosom 1 dan gen Rf4 yang berada pada 1,6 cM dari marka RM1108 di kromosom 10. Aktivitas gen Rf3 dilaporkan lebih kuat dalam mengembalikan kesuburan (Sattari et al. 2008). Beberapa galur pemulih kesuburan yang efek kerja gen Rf3-nya lebih kuat dibandingkan gen Rf4 ketika memulihkan kesuburan dari galur mandul jantan, akan memiliki kemampuan untuk memulihkan GMJ tipe Gambiaca. Oleh karena itu GMJ dengan latar belakang sitoplasma Gambiaca masih dapat dipulihkan kesuburannya oleh galur-galur pemulih kesuburan bagi
125
GMJ tipe WA.Untuk GMJ tipe Kalinga belum diketahui gen Rf yang bertanggung jawab dalam memulihkan kesuburannya. Namun penggunaan galur-galur pemulih kesuburan yang mengandung gen Rf3 dan Rf4 di atas, ada yang mampu memulihkan kesuburan GMJ tipe Kalinga. Hal ini tampak dari persentase pengisian biji yang >70% (Tabel 38). Sejumlah hibrida menghasilkan bobot panen yang memiliki nilai heterosis yang tinggi terhadap tetua terbaik maupun rata-rata kedua tetuanya. Nilai heterosis tersebut sangat beragam dan ditemukan adanya nilai positif maupun negatif. Hal demikian terjadi pada semua karakter, mengindikasikan bahwa terdapat keragaman ekspresi heterosis yang berbeda pada semua karakter yang diamati dari setiap hibrida. Hibrida yang memiliki heterosis positif pada karakter bobot hasil, juga memiliki heterobeltiosis yang baik untuk karakter jumlah anakan produktif dan jumlah gabah isi per malai (Tabel 37). Karakteristik hibrida yang memiliki jumlah anakan produktif banyak, malai besar dan efisien dalam pembagian asimilat ke bagian-bagian reproduktif, menyebabkan tingginya bobot hasil hibrida. Hibrida dengan heterosis tertinggi untuk bobot hasil memiliki heterosis terhadap beberapa karakter sekaligus, menunjukkan bahwa bobot hasil merupakan produk akhir dari adanya interaksi antar berbagai karakter komponen hasil (Shen & Singh 2011). Heterosis negatif dan nyata pada karakter tinggi tanaman dan umur berbunga 50% ditunjukkan oleh sebagian hibrida terpilih. Hibrida yang genjah akan menambah daya tarik bagi petani untuk mengadopsinya, sehingga produktivitas lahan petani meningkat. Tanaman yang tidak terlalu tinggi (semidwarf) sangat penting untuk menghindari terjadinya kerebahan. Selain itu, tanaman yang tinggi menyebabkan tanaman perlu lebih banyak energi untuk translokasi asimilat ke biji sehingga bobot bijinya menjadi rendah (Sen & Singh 2011). Standar heterosis merupakan heterosis yang dihitung terhadap varietas pembanding. Heterosis ini lebih menunjukkan performa produksi atau daya hasil dari hibrida itu sendiri, sehingga sangat bermanfaat dalam proses seleksi hibrida terbaik. Nilai ini diperlukan dalam komersialisasi padi hibrida baru, karena menggambarkan kelebihan atau keunggulan suatu hibrida terhadap varietas komersial yang telah biasa ditanam oleh petani. Nilai ini juga akan membantu pemulia untuk memilih hibrida-hibrida yang akan diuji lebih lanjut. Lima hibrida terbaik dari masing-masing turunan ketiga tipe GMJ menunjukkan standar
126
heterosis antara 8,65 – 41,15% (Tabel 38). Persentase standar heterosis yang ditunjukkan oleh ke 15 hibrida baru mengindikasikan bahwa hibrida tersebut memiliki potensi hasil lebih unggul di atas varietas pembanding Inpari13 dan/atau Hipa6 Jete, sehingga layak untuk diuji lebih lanjut. Hibrida turunan GMJ tipe WA menghasilkan standar heterosis berkisar antara 32,22 – 41,15% terhadap varietas Inpari13 (cek inbrida terbaik), sedangkan dibandingkan Hipa6 Jete (cek hibrida terbaik), kombinasi hibrida tersebut menghasilkan kelebihan hasil 25,35 – 33,81%. Hibrida turunan Gambiaca memberikan kelebihan hasil sebesar 15,49 – 36,61% dan 9,48 – 29,50% berturut-turut terhadap Inpari13 dan Hipa6 Jete. Hibrida yang dibentuk oleh GMJ tipe Kalinga menghasilkan heterosis berkisar antara 14,61 – 26,45% dan 8,65 – 19,88% berturut-turut terhadap Inpari13 dan Hipa6 Jete.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Galur dihaploid (DH) calon pelestari hasil kultur antera terbukti baik dan stabil, sehingga dapat berfungsi sebagai galur pelestari efektif bagi galur mandul jantan dengan latar belakang sitoplasma wild abortive, Gambiaca dan Kalinga. Galur tersebut antara lain H36-3-Ma, H36-3Mb, B2-1-M, B4-1-Da, H36-3-Mc, H36-4-M, B1-2-Pb dan B2-1-Db. Galur-galur DH tersebut memiliki kriteria agromorfologi dan hasil yang baik, serta memiliki ketahanan terhadap pathogen hawar daun bakteri. Penggunaan galur dihaploid pelestari dalam perakitan galur mandul jantan melalui metode silang balik berkelanjutan efektif dan mempercepat proses perakitan GMJ baru. Telah teridentifikasi 10 galur mandul jantan baru yang memiliki latar belakang sitoplasma WA, Gambiaca dan Kalinga. Sepuluh GMJ baru tersebut memiliki sterilitas polen stabil, perilaku dan morfologi bunga yang mendukung kemampuan persilangan alami serta tahan terhadap patogen hawar daun bakteri. Dalam proses produksi benih, kelemahan GMJ baru berupa malai pendek dan tertutup oleh daun bendera dapat diatasi melalui penyemprotan GA3 untuk meningkatkan persilangan alami. GMJ baru dengan tipe sitoplasma yang berbeda memiliki potensi produksi benih yang lebih tinggi dibandingkan IR58025A dan dapat digunakan dalam pengembangan padi hibrida. GMJ dengan sitoplasma Kalinga dan Gambiaca dapat digunakan untuk antisipasi terhadap kerapuhan genetik, karena dapat menghasilkan hibrida berheterosis tinggi. Hibrida turunan GMJ tipe WA menghasilkan heterosis berkisar antara 32,22 – 41,15% terhadap varietas Inpari13 (cek inbrida terbaik), sedangkan dibandingkan Hipa6 Jete (cek hibrida terbaik), hibrida tersebut menghasilkan kelebihan hasil 25,35 – 33,81%. Hibrida turunan Gambiaca memberikan kelebihan hasil sebesar 15,49 – 36,61% dan 9,48 – 29,50% berturutturut terhadap Inpari13 dan Hipa6 Jete. Hibrida yang dibentuk oleh GMJ tipe Kalinga menghasilkan heterosis berkisar antara 14,61 – 26,45% dan 8,65 – 19,88% berturut-turut terhadap Inpari13 dan Hipa6 Jete. Hibrida yang menghasilkan bobot hasil tertinggi pada kelompok turunan GMJ tipe WA adalah BI485A/IR53942 (10,21 t/ha). Bobot hasil tertinggi pada kelompok turunan GMJ tipe Gambiaca ditunjukkan oleh BI855A/SMD11 (9,88 t/ha), sedangkan pada kelompok turunan GMJ tipe Kalinga ditunjukkan oleh BI665A/IR53942 (9,15 t/ha).
128 Saran Ketahanan GMJ baru teridentifikasi terhadap penyakit hawar daun bakteri saja, sehingga perlu dilakukan pengujian ketahanan GMJ terhada hama dan penyakit tropis lainnya. Potensi produksi benih GMJ tipe Gambiaca (BI855A) perlu diteliti kembali dalam plot yang lebih luas pada musim yang tepat agar tidak terjadi halangan non teknis sehingga diperoleh informasi potensi produksi benih GMJ tersebut secara akurat. GMJ tipe Kalinga dan Gambiaca belum optimal dalam menghasilkan hibrida potensi hasil tinggi karena belum tersedia galur pemulih kesuburan spesifik bagi kedua GMJ baru tersebut. Karena itu perlu dilakukan identifikasi terhadap galur-galur lokal maupun galur-galur inbrida unggulan untuk merakit galur pemulih kesuburan bagi kedua GMJ tersebut. Perlu dikaji dan diidentifikasi gen yang berperan dalam memulihkan kesuburan GMJ tipe Kalinga. Hibrida yang telah teridentifikasi berpotensi hasil dan memiliki heterosis tinggi, perlu diuji kembali pada pengujian daya hasil yang lebih luas, sehingga dapat dilakukan seleksi terhadap kombinasi terbaik.
DAFTAR PUSTAKA Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York: John Wiley and Sons, Inc. [Badan Litbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Daerah Pengembangan dan Anjuran Budidaya Padi Hibrida. Badanlitbang Pertanian, DEPTAN. 43 p. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Data produktivitas, luas panen dan produksi seluruh provinsi, Angka Ramalan III 2010. Jakarta Bahar H, Zen S, Syarif AA. 2000. Parameter genetik padi gogo. Stigma 8(4):265268. Brar DS, Fujimura T, McCouch S, Zapata FJ. 1994. Application of biotechnology. Di dalam: Virmani SS, editor. Selected papers from the International Rice Research Conference. IRRI, Philippines. hlm 51-62. Brar DS, Dalmacio R, Elloran R, Aggarwal R, Angeles R, Khush GS. 1996. Gene transfer and molecular characterization of introgression from wild Oryza species into rice. Di dalam: Khush GS, editor. Rice Genetics III. International Rice Research Institute, Philippines. hlm 477-486. Chahal GS, Gosal SS. 2002. Principles and Procedures of Plant Breeding. Alpha Science International Ltd., Pangbourne. Chakraborty R, Chakraborty S, Dutta BK, Paul SB. 2009. Combining ability analysis for yield and yield components in bold grained rice (Oryza sativa L.) of Assam. Acta Agronómica 58 (1): 9-13. Chhun et al. 2007. Gibberellin regulates pollen viability and pollen tube growth in rice. The Plant Cell 19:3876-3888. Dewi IS, Soemantri IH, Rianawati S. 1996. Anther culture and its application for rice improvement program in Indonesia. IAARD Journal 18:51-56. Dewi IS, Purwoko BS. 2001. Kultur antera untuk mendukung program pemuliaan tanaman padi. Bul. Agron. 29 (2): 59-63. Dewi IS, Hanarida IS, Suwarno, Yunus M, Satoto, Apriana A, Sisharmini A, Hidayatun N, Pieter Y, Lestari Ap, dan Minantyorini. 2005. Teknik Biologi Molekuler untuk Perbaikan Padi Hibrida. Laporan APBN 2005. BB-Biogen, Deptan. 30 p. Dewi IS, Purwoko BS. 2011. Kultur in vitro untuk produksi tanaman haploid androgenik. Di dalam: Bioteknologi dalam Pemuliaan Tanaman. IPB Press. Duvick DN. 1999. Heterosis: feeding people and protecting natural resources. Di dalam: Coors JG, Pandey S, editor. The Genetics and Exploitation of Heterosis in Crops. American Society of Agronomy, Inc., Crop Science
128
Society of America, Inc., Soil Science Society of America, Inc., Madison, WI. hlm 19-29. Eckardt NA. 2006. Cytoplasmic male sterility and fertility restoration. The Plant Cell 18:515-517. Falconer DS. 1988. Introduction to Quantitative Genetics. 3rd Edition. London and New York: Longman Inc. [FAO] Food and Agriculture Organization. Paddy rice production by country and geographical region, 1961-2007. http://www.fao.org/rice. 20 Desember 2010. Gangashetti MG, Singh S, Khera P, Kadirvel P. 2006. Development of STS marker linked to elongated uppermost internode (eui-1) gene in rice (Oryza sativa L.). Indian J. Crop Science 1 (1-2): 113-116. Ganefianti DW, Yulian, Suprapti AN. 2006. Korelasi dan sidik lintas antara pertumbuhan, komponen hasil dan hasil dengan gugur buah pada tanaman cabai. Jurnal Akta Agrosia 9(1): 1-6. Gavino RB, Pi Y, Abon Jr CC. 2008. Application of gibberellic acid (GA3) in dosage for three hybrid rice seed production in the Philippines. Journal of Agricultural Technology 4(1): 183-192. Goodnight CJ. 1999. Epistasis and heterosis. Di dalam Coors JG, Pandey S., editor. The Genetics and Exploitation of Heterosis in Crops. Crop Science Society of America, Madison WI. hlm 56-67. Hanson MR, Bentolila S. 2004. Interaction of mitochondrial and nuclear genes that affect male gametophyte development. The Plant Cell 16:154-169. [IRRI] International Rice Research Institute. 2002. Standard Evaluation System of Rice. IRRI, Philippines. Jing R, Li X, Li P, Zhu Y. 2001. Mapping fertility-restoring genes of rice WAcytoplasmic male sterility using SSLP markers. Botanical Bul. Academia Sinica 42: 167-171. Kearsey MJ, Pooni HS. 1996. The Genetical Analysis of Quantitative Traits. Chapman and Hall, London. Khush GS. 2000. Taxonomy and origin of rice. Di dalam: Singh RK, Singh US, Khush GS, editor. Aromatic Rices. Oxford and IBH Publishing Co. Pvt. Ltd, New Delhi. hlm 5-14. Khush GS. 2001. Green revolution : the way forward. Nat Genetics Rev 2:815822. Lestari AP, Nugraha Y. 2007. Keragaman genetik hasil dan komponen hasil galur-galur padi hasil kultur anter. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26(1):14-19.
129
Li ZK, Luo LJ, Mei HW, Wang DL, Shu QY. 2001. Overdominant epistatic loci are the primary genetic basis of inbreeding depression and heterosis in rice. I. Biomass and grain yield. Genetics 158:1737-1753. Li J, Cai S, Feng J, Li W, Cheng G. 2007. Comparisons on genetic diversity among the isonuclear-allopasmic male sterile lines and their maintainer lines in rice. Rice Science 14(2): 94-100. Liu X, Virmani SS, Rencui, Y. 1998. Advances in two-line hybrid rice breeding. Di dalam Virmani SS, Siddiq, Muralidharan, editor. Advances in hybrid rice technology. Philippines: IRRI. Luo LJ, Li ZK, Mei HW, Shu QY, Tabien R. 2001. Overdominant epistatic loci are the primary genetic basis of inbreeding depression and heterosis in rice. II. Grain yield components. Genetics 158:1755-1771 Makino S, Sugio A, White F, Bogdanove AJ. 2006. Inhibition of resistance gene– mediated defense in rice by Xanthomonas oryzae pv. oryzicola. Molec.Plant-Microbe Interact. 19(3): 240–249. Malini N, Sundaram T, Ramakrishnan SH, Saravanan S. 2006. Prediction of hybrid vigour for yield attributes among synthesized hybrids in rice (Oryza sativa L.). Research Journal of Agricultural and Biological Sciences 2 (4): 166-170. Matsui T, Omasa K, Horie T. 1999. Mechanism of anther dehiscence in rice (Oryza sativa L.). Annals of Botany 84: 501-506. Moedjiono, Mejaya MJ. 1994. Variabilitas genetik beberapa karakter plasma nutfah jagung koleksi Balittas Malang. Zuriat 5(2):27-32. Mu C, Yamagishi J. 2001. Effects of gibberellic acid application on panicle characteristics and size of shoot apex in the first bract differentiation stage in rice. Plant Production Science 4(3): 227-229. Patil PP, Vashi RD, Shinde DA, Lodam VA. 2011. Nature and magnitude of heterosis for grain yield and yield attributing traits in rice (Oryza sativa L.). Plant Archives 11(1): 423-427. Peng S, Khush GS, Virk P, Tang Q, Zou Y. 2008. Progress in ideotype breeding in increase rice yield potential. Field Crop Research 108: 32-38. Poehlman JM, Sleeper DA. 1995. Breeding Field Crops. 4 th edition. Iowa State Univ. Press. Ames, USA. Pradhan SB, Jachuck PJ. 1999. Development of isonuclear male sterile lines with four different cytoplasmic backgrounds in rice. Current Science Journal. http://www.iisc.ernet.in/currsci/may10/articles21.html. [September 2007]. Qiao B, Zhu X, Wang Y, Hong D. 2008. Mapping of QTL for three panicle exsertion-related traits in rice under different growing environments. Acta Agron Sin34 (3): 389-396.
130
Rahimi M, Rabiei B, Samizadeh H, Ghasemi AK. 2010. Combining ability and heterosis in rice (Oryza sativa L.) cultivars. J. Agr. Sci. Tech. 12: 223-231. Ramakrishna S, Swamy MBP, Mishra B, Virakthamath BC, Ahmed MI. 2006. Characterization of thermo sensitive genetic male sterile lines for temperature sensitivity, morphology and floral biology in rice (Oryza sativa L.). Asian J. of Plant Sciences 5 (3): 421-428. Rumanti IA, Satoto, Moenarso YP. 2005. Penampilan fenotipik dan tingkat kemandulan tepungsari 18 calon galur mandul jantan (Cytoplasmic Male Sterile Lines). Prosiding Kongres V dan Simposium Nasional PERIPI. Purwokerto, 25-26 Agustus 2005. hlm 339-347 Saidaiah P, Kumar SS, Ramesha MS. 2010. Combining ability studies for development of new hybrids in rice over environments. Journal of Agricultural Science 2(2): 225-233. Salgotra RK, Gupta BB, Praveen S. 2009. Combining ability studies for yield and yield components in Basmati rice. Oryza 46: 12-16. Sarker U, Biswas PS, Prasad B, Mian MAK. 2002. Heterosis and genetic analysis in rice hybrids. Pakistan Journal of Biological Sciences 5 (1): 1-5. Swamy MH, Rao MRG, Vidyachandra B. 2003. Studies on combining ability in rice hybrids involving new CMS lines. Karnataka J. Agril. Sci. 16 (2): 228233. Sao A, Motiramani NK. 2006. Combining ability analysis for yield and yield contributing traits using cytoplasmic male sterility-fertility restoration system in rice hybrids. Jordan Journal of Agricultural Sciences 2 (1):29-34. Sanint LR, Martinez CP, Lentini Z. 1996. Anther culture as a rice breeding tool : a profitable investment. Di dalam: Khush GS, editor. Rice Genetics III. Proceeding of the 3rd International Rice Genetics Symposium. IRRI, Philippines. hlm 511-517. Sembiring H. 2010. Ketersediaan inovasi teknologi unggulan dalam meningkatkan produksi padi menunjang swasembada dan ekspor. Di dalam: Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto, Baehaki SE dan Sudir, editor. Inovasi Teknologi Padi untuk Mempertahankan Swasembada dan Mendorong Ekspor Beras. Prosiding Seminar Nasional Padi 2009. Sukamandi. hlm.1-16. Sen C, Singh RP. 2011. Study on heterosis in Boro x high yielding rice hybrids. International Journal of Plant Breeding and Genetics 5 (2): 141-149. Sheeba A, Vivekanandan P, Ibrahim SM. 2006. Genetic variability for floral traits influencing outcrossing in the cms lines of rice. Indian J. Agric. Res. 40 (4): 272-276. Sattari M, Kathiresan A, Gregorio GB, Virmani SS. 2008. Comparative genetic analysis and molecular mapping of fertility restoration genes for WA, Dissi,
131
and Gambiaca cytoplasmic male sterility systems in rice. Euphytica: International Journal of Plant Breeding 160 (3): 305-316. Singh RK, Chaudhary BD. 1979. Biometrical Method in Quantitative Genetic Analysis. Kalyani Publ. New Delhi. Singh S, Ram T. 1997. Growth response of diverse rice genotypes to exogenous application of GA3. IRRN 22: 31. Singh S, Latha KM, Ahmed MI. 2006. Genotypic differences for flowering behavior in different varietal types in rice (Oryza sativa L.). Indian J. Crop Science 1 (1-2): 203-204. Sidharthan B, Thiyagarajan K, Manonmani S. 2007. Cytoplasmic male sterile lines for hybrid rice production. J Appl Sci Res 3:935–937 Singh RJ, Shirisha Y. 2003. Evaluation of CMS lines for various floral traits that influence out crossing in rice (Oryza sativa L.). IRRN 28(1):24-26. Stanfield WD.1983. Theory and Problems of Genetics. 2nd edition. Schain.s Outline Series. Mc.Graw Hill Book Co. New Delhi. Steel RGD, Torrie JH. 1984. Principles and Procedures of Statistics. McGraw Hills Book Co. Inc. New York. Stuber CW. 1994. Heterosis in plant breeding. Plant Breed Rev 12:227-251. Stuber CW, Lincoln SW, Wolff DW, Helentjaris T, Lander ES. 1992. Identification of genetic factors contributing to heterosis in a hybrid from two elite maize inbred lines using molecular markers. Genetics 132: 823–839. Sudir, Suprihanto. 2006. Perubahan virulensi strain Xanthomonas oryzae pv. oryzae, penyebab penyakit hawar daun bakteri pada tanaman padi. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25 (2): 100-107. Sudir, Suprihanto, Triny SK. 2009. Identifikasi patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae, penyebab penyakit hawar daun bakteri di sentra produksi padi di Jawa. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 28 (3): 131-138. Suharsi TK. 2009. Peningkatan efisiensi pengisian dan pembentukan biji mendukung produksi padi hibrida. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB. Bogor. hlm 709-716 Suwarno, Nuswantoro NW, Munarso YP, Diredja M. 2003. Hybrid rice research in Indonesia. Di dalam: Virmani SS, Mao CX, Hardy B, editor. Hybrid Rice for Food Security, Poverty Alleviation, and Environmental Protection. Proceedings of the 4th International Symposium on Hybrid Rice, HanoiVietnam, 14-17 May 2002. IRRI, Philippines. hlm 287-296. Takai T, Matsura S, Nishio T, Ohsumi A, Shiraiwa T, Horie T. 2006. Rice yield potential is closely related to crop growth rate during late reproductive periode. Field Crops Research 96: 328-335.
132
Tiwari DK, Pandey P, Giri SP, Dwivedi JL. 2011. Heterosis studies for yield and its component in rice hybrids using CMS system. Asian Journal of Plant Sciences 10 (1): 29-42. Tiwari DK, Pandey P, Giri SP, Dwivedi JL. 2011. Effect of GA3 and other plant growth regulators on hybrid rice seed production. Asian Journal of Plant Sceinces 10 (1): 1-7 Uga Y, Fukuta Y, Ohsawa R, Fujimura T. 2003. Variations of floral trait in Asian cultivated rice (Oryza sativa L.) and its wild relatives (O. rufipogon Griff.). Breeding Science 53: 345-352. Virmani SS, Viraktamath BC, Casal CL, Toledo RS, Lopez MT, Manalo JO. 1997. Hybrid Rice Breeding Manual. IRRI, Philippines. Virmani SS, Sun ZX, Mou TM, Ali AJ, Mao CX. 2003. Two-Lines Hybrid Rice Breeding Manual. IRRI, Philippines. 88p. Virmani SS, Kumar I. 2004. Development and use hybrid rice technology to increase rice productivity in the tropics. IRRN 29 (1): 10-19. Wicaksana, N. 2001. Penampilan fenotipik dan beberapa parameter genetik 16 genotipe kentang pada lahan sawah. Zuriat 12(1):15-20. Widyastuti Y, Rumanti IA, Satoto. 2007. Studi keragaman genetik karakter bunga yang mendukung persilangan alami padi. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26 (1): 14-19. Wray R, Visscher PM. 2008. Estimating trait heritability. Nature Education 1(1). http://www.nature.com/scitable/topicpage/estimating-trait-heritability-46889. 25 Juli 2011. Xiao JH, Li J, Yuan LP, Tanksley SD. 1995. Dominance is the major genetic basis of heterosis in rice as revealed by QTL analysis using molecular markers. Genetics 140:745-754. Yadav RDS, Singh GR, Srivastava JP. 2005. Enhancing outcrossing potential in hybrid rice. IRRN 30(1): 20-21 Yang W, Peng S, da Laza RC. 2007. Grain yield and yield attributes of new plant type and hybrid rice. Crop Science 47: 1393-1400. Yin C, Gan L, Ng Denny, Zhou X, Xia K. 2007. Decreases panicle-derived indole-3-acetic acid reduces gibberellin A1 level in the uppermost internode, causing panicle enclosure in male sterile rice Zhenshan 97A. Journal of Experimental Botany 58 (10): 2441-2449. You A, Lu X, Jin H, Ren X, Liu K, Yang G, Yang H, Zhu L, He G. 2006. Identification of quantitative trait loci across recombinant inbred lines and testcross populations for traits of agronomic importance in rice. Genetics 172:1287-1300.
133
Yu SB, Li JX, Xu CG, Tan YF, Gao YJ. 1997. Importance of epistasis as the genetic basis of heterosis in an elite rice hybrid. Proc Natl Acad Sci USA 94:9226-9231. Yuan LP, Fu X. 1995. Technology of Hybrid Rice Production. Agriculture Organization of The United Nations. Rome. 83 p.
Food and
Yuan LP. 1998. Hybrid rice breeding in China. Di dalam: Virmani SS, Siddiq EA, Muralidharan K, editor. Advances in Hybrid Rice Technology. IRRI, Philippines. hlm 27-33. Yuan LP, Wu X, Liao F, Ma G, Xu Q. 2003. Hybrid Rice Technology. China Agriculture Press. Zen S, Bahar H. 2001. Variabilitas genetik, karakter tanaman, dan hasil padi sawah dataran tinggi. Stigma 9(1):25-28. Zen S. 2002. Parameter genetik karakter agronomi galur harapan padi sawah. Stigma 10(4):325-330.