Peranan Sulfur Bagi Pertumbuhan Tanaman Oleh Nana Danapriatna* Abstract Sulfur is a secondary plant nutrients to make the amino acids cystine, cysteine and methionine and is part of biotin, thiamine, co-enzyme A and glutationin in plants. Sulfur also functions as an activator, cofactor or regulator of enzymes and plays a role in plant physiological processes and the formation of chlorophyll. Plants take the sulfur in the form of SO4-2 anion derived from organic matter, soil minerals and fertilizer. The use of high analysis fertilizer resulted in the emergence of sulfur deficiency symptoms in various agricultural areas. Therefore, the provision of fertilizer sulfur or sulfur fertilizer carrier needs to be done to correct it. Keyword : Sulfur, Sulfur fertilizer, plant nutrients
I. Pendahuluan Pertumbuhan tanaman yang baik memerlukan 16 jenis unsur hara esensial, yaitu N, P, K, S, Ca, Mg, Cl, Fe, Mn, Cu, B, Mo, Zn, dari dalam tanah dan C, H, O dari udara (Tisdale, et.al., 1985; Goeswono Soepardi, 1983). Keenambelas jenis hara tersebut mutlak diperlukan oleh tanaman dalam pertumbuhannya. Proporsi kebutuhan hara tanaman untuk tumbuh secara optimum ada yang dibutuhkan dalam jumlah banyak (makro) dan ada yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit (mikro). Sulfur (S) bersama dengan kalsium dan magnesium merupakan hara tanaman sekunder. Hal ini berarti S dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak tetapi lebih sedikit dari unsur Nitrogen (N), Phosphosr ( P), dan kalium (K). Menurut Goeswono Soepardi (1983) S merupakan penyusun asam amino metionin dan sistein. Struktur protein dalam tanaman sebagian besar ditentukan oleh gugusan S. Unsur ini juga dikenal sebagai hara penting yang diperlukan untuk produksi khlorofil. Pada umumnya S yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal tanaman bervariasi antara 0.1 sampai 0.5% dari bobot kering tanaman (Marschner, 1995). Tanaman mengambil S berhubungan erat dengan serapan P dan juga berhubungan dengan serapan N (Gambar 1.). 153
Serapan S oleh sebagian besar tanaman berkisar antara 10 sampai dengan 15 % dari serapan N. Pada tanaman sereal serapan S berkisar antara 60 sampai dengan 75 % serapan P (Prasad dan Power, 1997). Dengan demikian apabila tanaman kekurangan Nitrogen atau Fosfor maka kemungkinan besar akan terjadi pula kekurangan S atau sebaliknya. Sulfur adalah salah satu hara esensial tanaman seperti nitrogen, fosfor, dan kalium yang berkontribusi dalam meningkatkan hasil tanaman melalui tiga cara berbeda yaitu : 1. Memberikan hara secara langsung 2. Memberikan hara secara tidak langsung sebagai bahan tambahan/perbaikan tanah terutama untuk tanah alkalis. 3. Meningkatkan efisiensi penggunaan unsur hara tanaman esensial lainnya terutama nitrogen dan fosfor.
Gambar 1. Hubungan Serapan S dengan Serapan N dan P oleh Tanaman (Prasad dan Power, 1997)
Beberapa tahun terakhir ini terjadi peningkatan laporan penelitian dari seluruh bagian dunia, terutama dari daerah tropis dan sub tropis, mengenai kekurangan sulfur pada tanaman dan respon tanaman terhadap sulfur (Pasricha dan Fox, 1993). Begitu pula dengan Indonesia, mulai banyak dilakukan penelitian mengenai kekurangan dan hubungan antara sulfur dengan berbagai tanaman, terutama pada tanaman padi. 154
Gejala kekurangan sulfur pada pada padi sawah di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Leijder dan Al-djabri (1972) pada tanah vertisol dari Ngale Jawa Timur. Adiningsih et al. (1973) dan Widjaja Adhi (1975) juga melaporkan adanya kekurangan sulfur pada tanahtanah sawah di Pulau Jawa dan Sulawesi Selatan. Hasil Survey Purnomo et.al. (1989) dan Fagi et.al. (1994) menunjukan bahwa pada tanah-tanah sawah di Pulau Jawa dan Madura mengalami kekurangan sulfur diperkirakan sekitar 2.052.650 ha dari total sawah 3.509.923 ha. Sedangakan sawah di Jawa Tengah yang mengalami kekurangan S sekitar 830.963 ha dan di Jawa Barat sekitar 217.094 ha. Hal ini menunjukkan bahwa unsur hara S dapat menjadi faktor pembatas yang perlu diperhatikan dalam budidaya padi sawah. Peningkatan kasus kekurangan unsure S pada areal pertanian di seluruh dunia disebabkan hal sebagai berikut : 1. Semakin banyak sulfur yang diangkut dari tanah sebagai hasil dari meningatnya produksi pertanian
akibat meningkatnya penggunaan pupuk, sistem intensifikasi tanaman,
penggunaan varietas unggul dan perbaikan irigasi. 2. Meningkatnya penggunaan pupuk analisis tinggi dan pupuk bebas S, seperti urea, DAP (diamonium phosphate), dan KCl. 3. Menurunnya penggunaan pupuk organik, pupuk yang mengandung S, dan pestisida yang mengandung S, dan tidak dikembalikannya bahan organik sisa panen. 4. Penurunan emisi sulfur dioksida (SO2) karena adanya kontrol yang ketat mengenai polusi lingkungan. Berkaitan dengan hal yang telah diuraikan, maka perlu pemahaman mengenai sulfur, baik keberadaan sulfur didalam tanah maupun peranannya bagi tanaman.
Tulisan ini
mencoba membahas hal yang berkaitan dengan peranan sulfur bagi pertumbuhan tanaman berdasarkan berbagai bahan referensi. II. Sulfur di dalam Tanah Total S dalam tanah bervariasi mulai dari sangat sedikit sampai dengan 1000 mg S kg1
tanah (0.1%), nilai yang lebih tinggi dapat ditemui pada tanah-tanah bermasalah seperti
tanah salin dan tanah sulfat masam (Takkar, 1988; Genesmurthy et. al., 1989). Sulfur dalam tanah terdapat dalam bentuk organik dan anorganik. Bentuk S anorganik penting ada dalam 155
tanah sebab sebagian besar sulfur diambil oleh tanaman dalam bentuk SO42- (sulfat), begitu juga bentuk S organik juga penting ada dalam tanah karena dapat meningkatkan total S tanah (Prasad dan Power, 1997). Sebagian besar bentuk sulfur di dalam tanah adalah S organik (Stevenson, 1982). Hampir semua sulfur dalam tanah tropis yang tidak dipupuk terdapat dalam bentuk organik. Kadar S dalam tanah bervariasi dan dipengaruhi oleh penambahan sulfur dari bahan organik, air irigasi, udara, pupuk dan pestisida. Sulfur diserap oleh tanaman dalam bentuk sulfat (SO42-) dan hanya sebagian kecil sulfur dalam bentuk gas SO2 yang diserap langsung oleh tanaman dari tanah dan atmosfer. Bentuk S tersebut merupakan S anorganik yang bersifat aktif di dalam tanah. Sulfur anorganik dihasilkan dari dekomposisi senyawa organik yang mengandung S dan dari pupuk pembawa S (Engelstad, 1997). Bentuk sulfur anorganik yaitu SO42- terlarut, SO42- terjerap, SO42- tak larut dan S anorganik tereduksi. SO42- terlarut dan terjerap merupakan fraksi sulfur yang dapat tersedia bagi tanaman (Tisdale et.al, 1985). Kandungan sulfat terlarut dalam tanah menurut Prasad dan Power (1997) bervarasi tergantung dari beberapa faktor yaitu : 1. Temperatur : menentukan kecepatan mineralisasi bahan organik tanah. 2. Curah hujan : Curah hujan yang tinggi akan meningkatkan pencucian unsur S 3. Asosiasi dengan kation : kehilangan akibat pencucian akan meningkat ketika kation monovalen seperti Na dan K banyak dalam tanah dan berasosiasi dengan sulfat. 4. Kadar air tanah : Air tanah berpengaruh terhadap kandungan sulfat dalam larutan tanah dengan dua cara yaitu (a) konsentrasi sulfat dalam larutan tanah menurun dengan meningkatnya kadar air tanah (pengaruh pengenceran) dan (b) saat pengeringan tanah karena evapotranspirasi yang tinggi akan terjadi pergerakan sulfat dari lapisan bawah ke lapisan atas melalui kapiler dan menyebabkan peningkatan konsentrasi sulfat pada larutan tanah lapisan atas. 5. Aplikasi pupuk yang mengandung S : Pemupukan akan meningkatkan kandungan S pada larutan tanah. Sulfur dalam bentuk SO42- dapat terjerap pada mineral liat, hidroksida dan oksida dari besi dan alumunium, dan bahan organik tanah. Mineral liat silikat tipe 1:1 seperti kaolinit 156
menjerap sulfat lebih besar dari pada mineral liat silikat tipe 2:1. Sulfat terjerap merupakan fraksi penting dari total S yang menyokong tanaman pada tanah oxisol dan ultisol. Di daerah tropika basah seperti Indonesia sulfat mudah hilang dari tanah melalui berbagai cara, yaitu terangkut oleh tanaman dan organisme tanah, tererosi, dan tercuci. Pengelolaan tanah dan tanaman menentukan keberadaan sulfat karena erosi. Tekstur yang kasar mempercepat kehilangan sulfat. Pencucian sulfat dari lapisan bagian atas tanah dapat merupakan penyebab terjadinya kekurangan S dibagian tersebut. Jerapan sulfat dipengaruhi oleh sejumlah sifat tanah, antara lain: jumlah (kadar) dan tipe mineral liat, hidroksida, horison atau ke dalaman tanah, pH, konsentrasi sulfat, waktu kehadiran anion lain dan bahan organik (Tisdale et al. 1985). Nisbah C:N:S dalam bahan organik adalah sekitar 125 : 10 : 1.2. Dalam keadaan aerobik bakteri yang sama dapat mengoksidasi S menjadi H2S04. Unsur S dapat pula dioksidasi oleh bakteri Khemotropik dari genus Tiobacillus (Mengel dan Kirkby, 1987). Bagan siklus sulfur dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Siklus Sulfur Di Alam.(http://filebox.vt.edu/users/chagedor/biol_4684/Cycles/ sulf.JPG)
Ketersediaan S dalam tanah tergantung pada beberapa faktor terutama redoks potensial tanah, kandungan bahan organik, aktivitas mikroorgnisme tanah, kualitas air pengairan dan air hujan (Blair et.al., 1977). Penambahan sulfur baik yang berasal dari bahan organik maupun anorganik pada beberapa sistem pertanian dapat meningkatkan bahan 157
organik, total sulfur organik, dan mineralisasi S. Tanaman mendapatkan sulfat tersedia selain dari tanah dan pupuk yang membawa S juga mendapatkan sulfur dari air pengairan, air hujan, dan udara.
Oleh karena itu untuk menduga kebutuhan sulfur tanaman dalam rangka
penentuan dosis pupuk tidak cukup hanya berdasarkan pengamatan S tanah. Dalam keadaan anaerob seperti pada lahan sawah yang tergenang terjadi reduksi sulfat menjadi sulfida. Menurut Anwar (2000), bahwa sulfat bertendensi tidak mantap dalam lingkungan anaerobik. Reduksi sulfat menjadi sulfida (H2S) oleh bakteri Desulvovibrio desulfuricans, yang selanjutnya bereaksi dengan ion Fe2+ dalam larutan dan membentuk ferro sulfida (FeS) atau “macknawite”, kemudian bereaksi dengan sulfur (S) dan menghasilkan FeS2 (ferro disulfida) dengan reaksi sebagai berikut : 1. Fe(OH)2 + H2S FeS + 2 H2O 2. FeS + S +e FeS2 Reaksi tersebut berkaitan dengan oksidasi bahan organik (elektron donor atau proton donor) atau respirasi yang memerlukan alternatif elektron akseptor (Oksigen, Nitrat, Oksida mangan, besi, sulfat yang akan direduksi). Reaksi tersebut akan mengakibatkan berkurangnya sulfat tersedia bagi tanaman di dalam tanah. Sulfat dalam tanah aerob dapat tereduksi oleh bakteri membentuk H2S yang pada gilirannya akan bereaksi dengan logam-logam berat menghasilkan sulfida-sulfida yang sangat tidak larut. Selain itu, tingginya kandungan Ca2+ pada tanah dapat mengurangi kelarutan SO42- (Engelstad, 1997). Oleh karena itu pada tanah-tanah alkalin dan tanah yang dikapur berlebihan tanaman sering mengalami kekurangan sulfur. Senyawa organik yang dilepaskan eksudat akar dan mikroba memegang peranan penting dalam menentukan ketersediaan ion sulfat dalam tanah. Kimura et.al. (1991) menyatakan bahwa ion sulfat dalam tanah akan direduksi oleh H2 yang berasal dari eksudat dan H2 yang dilepaskan oleh bahan organik. Sejumlah sulfur ditemukan pada horizon permukaan dalam bentuk S organik. Secara umum S organik pada top soil permukaan lebih tinggi dari pada subsoil. 158
Secara umum jumlah S yang termineralisasi dari tanah secara tidak langsung berhubungan dengan tipe tanah, C, N atau S, C:N, N:S, C:S rasio, pH tanah, atau N yang termineralisasi. Rasio C:S menunjukkan ukuran kemudahan bahan organik melepaskan sulfat ke dalam tanah. Freney (1986) mengemukakan bahwa SO42+ dilepaskan dari bahan organik pada saat C:S rasio dibawah 200 dan diimobilisasi saat rasio lebih besar dari 400. Immobilisasi dan mineralisasi terjadi keduanya pada saat rasio antara 200 dan 400. Oleh karena itu, pupuk organik yang akan diberikan harus telah dikomposkan terlebih dahulu sehingga nilai rasio C:S nya dibawah 200.
III. Peranan Sulfur dalam Tanaman Sulfur merupakan salah satu unsur hara esensial yang dibutuhkan oleh tanaman, diserap oleh akar sebagai ion sulfat dan mengalami reduksi di dalam tanaman menjadi gugusan sulfihidril (-SH), sedangkan daun mengambil sulfur dari atmosfer dalam bentuk sulfur dioksida. Pada umumnya sulfur dibutuhkan tanaman dalam pembentukan asam-asam amino sistin, sistein dan metionin. Disamping itu S juga merupakan bagian dari biotin, tiamin, koenzim A dan glutationin (Marschner, 1995). Diperkirakan 90% S dalam tanaman ditemukan dalam bentuk asam amino, yang salah satu fungsi utamanya adalah penyusun protein yaitu dalam pembentukan ikatan disulfida antara rantai-rantai peptida (Tisdale et al. 1985). Sulfur merupakan bagian dari hasil metabolisme senyawa-senyawa kompleks. Sulfur juga berfungsi sebagai aktivator, kofaktor atau regulator enzim dan berperan dalam proses fisiologi tanaman. Selain fungsi yang dikemukakan di atas, peranan S dalam pertumbuhan dan metabolisme tanaman sangat banyak dan penting, diantaranya merupakan bagian penting dari ferodoksin, suatu komplex Fe dan S yang terdapat dalam kloroplas dan terlibat dalam reaksi oksidoreduksi dengan transfer elektron serta dalam reduksi nitrat dalam proses fotosintesis, S terdapat dalam senyawa-senyawa yang mudah menguap yang menyebabkan adanya rasa dan bau pada rumput-rumputan dan bawang-bawangan. Sulfur dikaitkan pula dengan pembentukan klorofil yang erat hubungannya dengan proses fotosintesis dan ikut serta dalam 159
beberapa reaksi metabolisme seperti karbohidrat, lemak dan protein. Sulfur juga dapat merangsang pembentukan akar dan buah serta dapat mengurangi serangan penyakit (Tisdale et al. 1985 ). Tanaman membutuhkan sulfur dalam jumlah yang hampir sama dengan fosfor. Oleh karena itu, untuk menunjang pertumbuhan tanaman yang optimal diperlukan ketersediaan sulfur yang cukup tinggi di dalam tanah. Selanjutnya diungkapkan pula bahwa sulfur merupakan penyusun protein dan diduga erat berhubungan dengan reduksi nitrat, sehingga tanaman yang kekurangan sulfur ditandai dengan adanya akumulasi nitrat (Trudinger, 1986). Sulfur banyak diserap oleh tanaman padi selama masa pertumbuhan dan mencapai maksimum pada fase pembungaan. Pada fase ini, sulfur terakumulasi di daun, sebagian besar di daun muda. Kadar S-total di daun dan batang padi tinggi pada awal pertumbuhan. Setelah stadia itu, sulfur disimpan dalam daun dan tangkai, kemudian ditranslokasikan ke gabah (Fox dan Blair, 1986). Oleh karena itu, sulfur harus tersedia pada awal pertumbuhan sampai sekurang-kurangnya pada fase anakan aktif untuk memperoleh hasil yang optimal. Kekurangan sulfur akan menghambat sintesis protein, akibatnya terjadi akumulasi asam-asam amino yang tidak mengandung S di dalam tanaman. Oleh karena itu, jaringan tanaman yang kekurangan sulfur mempunyai nisbah N-organik/S-organik yang lebih tinggi (70/1 – 80/1) dari pada jaringan tanaman normal. Nisbah ini dapat dijadikan petunjuk apakah suatu tanaman mendapat suplai S yang cukup atau tidak (Schnug dan Silvia, 2000).
160
Gambar
3.
Gejala Kekurangan Sufur pada files/PicsWeil/SulfurCornRRW.jpg).
Tanaman Jagung (http://www.enst.umd.edu/
Penurunan kandungan klorofil secara drastis pada daun merupakan gejala khas pada tanaman yang mengalami kekurangan sulfur (Maschner, 1995). Kekurangan Sulfur dapat didiagnosis dari gejala visual tanaman, analisis tanaman dan tanah, dan respon tanaman terhadap pemberian sulfur. Gejala ini terlihat dari warna kuning pada daun muda diikuti oleh daun yang lebih tua, terhambatnya pertumbuhan, dan menekan jumlah produksi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3. Setiap jenis tanaman berbeda-beda dalam menunjukkan gejala kekurangan sulfur. Taraf kecukupan dan kekurangan sulfur dalam bagian tanaman yang berbeda untuk beberapa jenis tanaman dapat dilihat pada Tabel 1. Aplikasi sulfur dapat memberi dampak yang positif pada hasil panen padi seperti yang ditunjukkan dari hasil penelitian Ismunadji (1982). Pemberian sulfur meningkatkan hasil panen, butir padi per malai, berat butir padi, dan mengurangi persentase butir padi hampa. Tuherkih et.al. (1998), melaporkan bahwa pemberian pupuk S 30 kg/ha dapat meningkatkan tinggi tanaman dan hasil hijauan segar dan dapat meningkatkan kadar N, K, dan S serta 161
protein kasar, serat kasar, dan abu pada tanaman. Hasil penelitian Mustofa dan Abd El-Kader (2006) pada tanaman pisang memperlihatkan bahwa pemberian pupuk sulfur dapat meningkatkan hasil buah dan kualitas buah pisang. Tebel 1. Taraf Kecukupan dan Kekurangan Sulfur dalam Beberapa Tanaman (Prasad dan Power, 1997) Tanaman
Bagian sampel tanaman
Kekahatan
Kecukupan
g kg-1 berat kering Alfalfa
Seluruh bagian atas saat kuncup (10% berkembang )
1,5 – 2,3
2,3
Barley
Jaringan bagian atas
1,2
1,4
Gandum
Jaringan bagian atas
1,2
1,4
Kedelai
Seluruh bagian atas
1,4
2,2 – 2,8
Tembakau
Daun
1,2 – 1,8
1,5 – 2,6
Kembang kol
Bagian atas
1,8
1,9
Lobak sawi
Bagian atas
2,1 (titik kritis)
Kacang tanah
Seluruh tanaman
2,0 (titk kritis)
IV. Pengelolaan Sulfur Tanaman dan beberapa kultivar sangat bervariasi dalam kebutuhan sulfur. Spencer (1975) membagi 3 kelompok tanaman berdasarkan tingkat kebutuhan S, yaitu: (1) tanaman dengan tingkat kebutuhan S yang banyak (20-80 kg S/ha), (2) tanaman dengan tingkat kebutuhan S sedang (10-50 kg S/ha), dan (3) tanaman dengan kebutuhan S rendah (5-25 kg S/ha) (Tabel 2.). Prasad dan Power (1997) menyatakan bahwa, tanaman serealia membutuhkan 3-4 kg S/t biji, 8 kg S/t biji pada tanaman legume dan 12 kg S pada tanaman yang menghasilkan minyak, seperti terlihat pada Tabel 2.
162
Sulfur telah diaplikasikan sejak dahulu dalam bentuk amonium sulfat, super fosfat, dan kalium sulfat. Namun demikian sejalan dengan peningkatan penggunaan pupuk analisis tinggi seperti urea, DAP, dan amonium polyphosphate (APP), aplikasi sulfur secara perlahan semakin berkurang. Oleh karena itu, perlu adanya penambahan sulfur dalam bentuk unsur S, gipsum atau pirit, serta pupuk organik tergantung ketersediaan bahan dan kebutuhan dari tanaman dan tanah. Untuk tanaman padi sulfur dapat diaplikasikan ke dalam tanah dalam bentuk pupuk anorganik, seperti ZA, Amonium fosfat sulfat, Alumunium sulfat, dan pupuk SCU (sulfat coated urea). Cara lain untuk menanggulangi kekurangan sulfur pada pertanaman padi sawah yaitu dengan cara diberikan dalam bentuk tepung belerang sebanyak 24 – 48 kg/ha yang diaplikasikan bersama-sama dengan pupuk urea dan SP 36 sebagai pupuk dasar sesuai dengan rekomendasi setempat. Tabel 2. Klasifikasi Tentatif dari Tanaman Berdasarkan Kebutuhan Pupuk Sulfur (Spencer, 1975)
Tanaman
Kebutuhan Pupuk pada daerah kahat (Kg S ha-1)
Grup I (Tinggi) Alfalfa
30 – 70
Lobak
20 – 60
Grup II (Moderat) Kelapa
50
Tebu
20 - 40
Cengkeh
10 – 40
Kopi
20 – 40
Kapas
10 – 30
163
Grup III (Rendah) Beet
15 – 25
Sereal hijauan
10 – 20
Sereal biji-bijian
5 – 20
Kacang tanah
5 – 10
V. Penutup Sulfur merupakan unsur hara esensial yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah cukup banyak (makro sekunder). Tanaman mengambil sulfur dari tanah dalam bentuk sulfat (SO42-) dan sebagian kecil dari udara dalam bentuk SO2. Bentuk sulfur dalam tanah terdapat dalam bentuk anorganik dan organik. Sebagian besar sulfur dalam tanah berada dalam bentuk organik. Sulfur dibutuhkan tanaman dalam pembentukan asam-asam amino sistin, sistein dan metionin. Sulfur juga merupakan bagian dari biotin, tiamin, ko-enzim A dan glutationin dalam tanaman. Sulfur juga berfungsi sebagai aktivator, kofaktor atau regulator enzim dan berperan dalam proses fisiologi tanaman dan pembentukan klorofil. Penggunaan pupuk analisis tinggi berdampak terhadap munculnya gejala kekurangan sulfur pada berbagai areal pertanian. Oleh karena itu, pemberian pupuk sulfur ataupun pupuk pembawa sulfur perlu dilakukan untuk mengkoreksi hal tersebut.
Daftar Pustaka Adiningsih, J.S,, T. Prihatini and S. Mursidi. 1973. Nutrient evaluation on South Suawesi soils. Publication No. 16/1973. The Soil Research Institute. (In Indonesia) Anonim. 2007. Sulfur Cycle. http://filebox.vt.edu/users/chagedor/biol_4684/Cycles/ sulf.JPG. Diakses tanggal 10 Pebruari 2007. Anonim.2007. Sulfur deficient Maize (Corn). http://www.enst.umd.edu/files/PicsWeil/ SulfurCornRRW.jpg. Diakses tanggal 10 Pebruari 2007 164
Anwar, K. 2002. Pengelolaan Tanah Sulfat Masam Melalui Pengendalian Aktivitas Mikroorganisme. Http//rudyct.tripod.com/sem 1_023/khairil_anwar.htm. Diakses 10 Juli 2007. Blair, G.J., C.P. Mamaril and E.O. Momuat. 1977. The Sulfat Nutrient of Rice. Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor No. 42, 13p. Engelstad, O.P. 1997. Teknologi dan penggunaan pupuk. (Edisi ketiga). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Fagi, A.M., A.K. Makarim and P. Setyanto. 1994. Mathane emission in rainfed rice field at Jakenan, Central Java (Report Sumary). Puslitbangta, Bogor. Fox, R.L. and G.J. Blair.1986. Plant response to sulphur tropical soils. p. 405 – 434. In : M.A. Tabatai (Editor) : Sulphur in Agriculture. No27 in the series Agronomy. Madison, Wisconsin, USA. Freney, J.R. 1986. Forms and reactions of organic sulphur compounds in soil. p. 209 – 232. In : M.A. Tabatai (Editor) : Sulphur in Agriculture. No27 in the series Agronomy. Madison, Wisconsin, USA. Geneshmurthy, A.N., A.D. Mongia, and N.T. Singh. 1989. Forms of S in soil profiles of Andaman and Nicobar Islands. J. Indian Soc. Soil Sci. 37:825–829. Goeswono Soepardi. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu-ilmu Tanah, IPB. Bogor. Ismunadji, M. 1982. Effect of sulphur aplication on chemical composition and yield of lowland rice. Ph.D. Thesis. Bogor Agricultural University. (In Indonesia). Kimura, M., Y. Miura, A. Watanabe, T. Katch, and H. Haraguchi. 1991. Methane emission from paddy field (part 1). Effect fertilization, growth stage and midsummer drainage : Pot experiment. Environ.Sci. Leijder, R.A. dan M. Al-djabri. 1972. Sulphur deficiency under conditions of wet rice cultivation. With Specific Reference to a Vertisol near Ngawi, East Java. Newsletter Soil Study Group. Bogor. p. 21 – 29. Marschner, H. 1995. Mineral Nutrion of Higher Plants. 2nd ed. Academic Press.
London
Mengel, K. and E.A. Kirkby. 1987. Principles of Plant Nutrition. 4th ed. International Potash Institute. Worblaufen-Bern, Switzerland. Mustofa, E.A.M and A.A. Abd El-Kader. 2006. Sulfur fertilization on growth yield and fruit quality of grand nain banana cultivar. J.Appl.Sci.Res., 2(8) : 470 – 476. Pasricha, N.S. and R.L. Fox. 1993. Plant nutrient sulfur in tropics and subtropics. Adv. Agron. 50 : 209-269. 165
Prasad, R. and J.F Power. 1997. Soil Fertility Management For Sustainable Agriculture. CRCLewis Publishers. Boca Raton New York. Purnomo, J, .D. Santoso, dan Moersidi. 1989. Status belerang tanah-tanah sawah Pulau Jawa. Pros. Pen. Tanah 8 : 89 – 100. Schnug, E. and H. Silvia. 2000. Significance of interactions between sulfur and nitrogen supply for growth and quality of crop plant. Sulfur Nutrition and Sulfur Assimilation in Higher Plants. pp. 345 – 347. www.dekker.com/servlet/product/DOI/101081EESS120001619/object/refences.html. Diakses : 25 Meret 2005. Spencer, K. 1975. Sulfur requirements of crops, in Sulphur in Australian Agriculture, K.D. McLachlan, Ed., Sydney University Press, Sydney, pp. 98–108. Stevenson, F.J. 1982. Humus chemistry, genesis, composition, reactions. John Wiley & Sons. New York. Takkar, P.N. 1988. Sulfur status of Indian soils. Proc. The Sulphur Institute — Fertilizer Association of India Symp. Sulfur in Indian Agriculture, New Delhi, 5/1/2/1-31. Tisdale, S.L., W.L. Nelson, and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. 4th ed. MacMillan Publishing Company. New York. Trudinger, P.A. 1986. Chemistry of the sulphur cycle. p. 2 – 22. In : M.A. Tabatai (Editor) : Sulphur in Agriculture. No27 in the series Agronomy. Madison, Wisconsin, USA. Tuherkih, E., I.G.P Wigena, J. Purnomo, dan D. Santoso. 1998. Pengaruh pupuk belerang terhadap sifat kimia tanah dan hasil hijauan pakan ternak pada padang penggembalaan. Pros. p. 283 – 292. dalam Prosiding Pertemuan pembahasan dan komunikasi hasil penelitian tanah dan agroklimat bidang kimia dan biologi tanah. Bogor, 10 – 12 Februari 1998. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Widjaja Adhi, I.P.G. 1975. Research in soil fertility in the framework of soil test study for rice. Newsl.Soil Sci.Soc. Indonesia 3 : 17 – 27.
166