PERANAN TEPUNG DAUN JAMBU BIJI (PSIDIUM

Download Daun jambu biji (Psidium guajava) biasa digunakan sebagai ramuan obat tradisional untuk penyembuhan penyakit diare, radang lambung, sariawa...

0 downloads 550 Views 470KB Size
PERANAN TEPUNG DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava) TERHADAP KEMUNDURAN MUTU FILLET IKAN NILA (Oreochromis sp)

Yudha Adi Pradana C34104019

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

RINGKASAN YUDHA ADI PRADANA. C34104019. Peranan Tepung Daun Jambu Biji (Psidium guajava) terhadap Kemunduran Mutu Fillet Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Dibimbing oleh RUDDY SUWANDI dan PIPIH SUPTIJAH Produksi ikan nila di Indonesia mengalami peningkatan 19,91% per tahun, yaitu 46.627 ton pada tahun 2000 menjadi 97.116 ton pada tahun 2004. Ekspor ikan nila pun mengalami peningkatan, yaitu 340,4 ton pada tahun 2000 menjadi 976,8 ton pada tahun 2004. Ragam produk yang dimpor adalah bentuk utuh beku, fillet segar, dan fillet beku. Jenis desinfektan yang banyak digunakan adalah klorin. Namun penelitian terkini membuktikan bahwa klorin memiliki efek karsinogenik, oleh karena itu dicari bahan alam yang tidak meninggalkan residu di dalam tubuh. Daun jambu biji (Psidium guajava) biasa digunakan sebagai ramuan obat tradisional untuk penyembuhan penyakit diare, radang lambung, sariawan, keputihan, dan diabetes militus. Daun jambu biji (Psidium guajava) diharapkan mampu menggantikan klorin dan sebagai bahan pengawet alami bagi fillet ikan. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap : pembuatan tepung daun jambu biji; analisis fitokimia secara kualitatif tepung daun jambu dan ekstrak air tepung daun jambu biji; penentuan fase-fase kemunduran mutu; serta penelitian pendahuluan yang meliputi perlakuan perendaman 10%, 20%, 30% dan perlakuan pelamuran 10%, 12,5%; analsis utama yang terdiri dari pH, TPC, TVB dan Organoleptik. Tepung daun jambu biji mengandung tanin sangat kuat dan flavonoid kuat. Ekstrak air tepung daun jambu biji juga mengandung tanin sangat kuat dan flavonoid kurang kuat. Tanin dan flavonoid ini diduga dapat menghambat aktivitas bakteri dan kerja berbagai macam enzim protease dan lipase di dalam tubuh ikan. Hasil pengamatan didapatkan hasil fase pre-rigor terjadi pada jam ke-1, fase rigormortis terjadi pada jam ke-5, fase post rigor awal terjadi pada jam ke-10 dan fase post rigor akhir terjadi pada jam ke-13. Perlakuan yang dipilih untuk analisis utama adalah perlakuan perendaman 10% dan pelamuran 10%. Penurunan pH akan terus berlangsung dari jam ke-1 sampai saat tertentu dan nilai pH akan naik kembali. Pada saat jam ke-10 (fase post rigor awal) merupakan titik balik nilai rata-rata pH fillet kontrol. Nilai TVB pada perlakuan perendaman 10% lebih kecil jika dibandingkan pada perlakuan pelamuran 10% dan kontrol. Uji ragam dua arah terhadap nilai TVB didapatkan hasil faktor perlakuan, fase dan interaksi antara keduanya memberikan hasil β-value (significance) < 0,05 artinya semua faktor mempengaruhi nilai TVB yang diuji. Laju kenaikan bakteri paling besar terdapat pada fillet kontrol dan laju kenaikan bakteri paling rendah terdapat pada perlakuan pelamuran 10%. Laju kenaikan total bakteri perlakuan perendaman 10% lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju kenaikan total bakteri perlakuan pelamuran 10%. Hasil uji ragam dua arah didapatkan nilai β-value (significance) < 0,05 untuk faktor perlakuan dan fase artinya kedua faktor tersebut mempengaruhi nilai TPC yang diuji. Berdasarkan uji Kruskal Wallis, parameter kenampakan memiliki nilai organoleptik yang tidak berbeda nyata antara ketiga perlakuan dan parameter bau, tekstur serta lendir memilki nilai organoleptik yang berbeda nyata.

PERANAN TEPUNG DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava) TERHADAP KEMUNDURAN MUTU FILLET IKAN NILA (Oreochromis sp)

Yudha Adi Pradana C34104019

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian

:

PERANAN TEPUNG DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava) TERHADAP KEMUNDURAN MUTU FILLET IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Nama Mahasiswa

: Yudha Adi Pradana

NRP

:

C34104019

Program Studi

:

Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui, Komisi Pembimbing,

Pembimbing 1

Pembimbing 2

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS NIP 131 474 001

Dra. Pipih Suptijah, MBA NIP 131 476 638

Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799

Tanggal lulus :

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga skripsi dengan judul “Peranan Tepung Daun Jambu Biji (Psidium

guajava)

terhadap

Kemunduran

Mutu

Fillet

Ikan

Nila

(Oreochromis niloticus)” ini dapat diselesaikan oleh penulis. Penyusunan skripsi ini adalah sebagai laporan kegiatan penelitian sebagai syarat kelulusan pada program sarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan, namun diharapkan bisa memberikan manfaat kepada semua pihak yang memerlukan.. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membimbing dan membantu dalam penyelesain skripsi ini. 1. Ayah dan Ibu tercinta atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis 2. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS dan Dra. Pipih Suptijah, MBA selaku komisi pembimbing yang telah dengan sabar membimbing penulis dan membantu. 3. Dr. Agoes M Jacoeb dan Ir. Nurjanah, MS sebagai tim penguji yang telah memberikan banyak kritik, saran dan masukan yang sangat berharga bagi penulis. 4. Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si yang telah banyak membantu penulis memberikan semangat dan motivasi 5. Dr. Ir. Bustami Ibrahim M.Si selaku pembimbing akademik yang telah banyak membantu dan mendengarkan curahan hati penulis 6. Adikku tersayang atas hiburan yang menyenangkan hati dan seluruh keluargaku yang terus mendukung penulis 7. Ibu Ema yang telah banyak membantu di Laboratorium 8. Mbak Eni yang telah memberikan masukan berharga dan semangat tambahan serta bimbingannya di Laboratorium Kimia dan Mikrobiologi PAU 9. Mbak Ari yang telah memberi izin penggunaan lab dan shaker goyang

10. Alim, Fahmi, Rijan yang ikut serta membantu analisis laboratorium 11. Gilang, Dery, Opik yang telah menjadi teman kostan terbaik 12. Wahyu, Fuji, Nuzul yang telah membantu organoleptik pendahuluan 13. Anak-anak Lab Om-Benk (Erlangga, Anang, Bay, An’im, Windika, Hangga) yang bersedia bangun pagi dan ikut membantu 14. Yogi yang telah rela berbagi kebahagian 15. Seluruh staf dosen dan TU THP (Mas Mail, Mas Ipul, Pak Ade, Pak Jamhuri, Pak Tatang, Pak Subhan, Mbak Heni, Mas Zaki, Mbak Heni, Umi, Bu Yati) yang telah mengurus semua administrasi 16. Mbak Titis di Lab Biofarmaka yang telah membantu 17. Teman-temanku THP 41 atas kebersamaan dan kekompakannya 18. Kakak kelas dan adik kelas yang telah memberikan dorongan semangat 19. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis selama penelitian, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Bogor, Desember 2008

Penulis

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul ”Peranan Tepung Daun Jambu Biji (Psidium guajava) terhadap Kemunduran Mutu Fillet Ikan Nila (Oreochromis niloticus)” adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber

informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor. Desember 2008

Yudha Adi Pradana C34104019

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 02 Januari 1986 di Jakarta. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Sardjono dan Ibu Siti Qomariah.

Penulis

mengawali pendidikan di taman kanak-kanak di TK Sukamaju pada tahun 1990. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan dasar pada tahun 1992 di SDN Sukamaju VI, Depok serta menyelesaikannya pada tahun 1998.

Pendidikan menengah pertama penulis

adalah SMP Negeri 3 Depok (1998-2001), pendidikan menengah umum adalah SMA Negeri 1 Depok (2001-2004). Pada Tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) Selama kuliah, penulis aktif di Organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perairan (HIMASILKAN) pada divisi PSDM pada Tahun 2006-2007, FKMC pada Tahun 2005-2007. Selain itu penulis juga menjadi asisten Rekayasa Hasil Perairan, Refrigasi Hasil Perairan dan Proses Thermal Hasil Perairan. Penulis juga pernah mengikuti lomba penulisan karya ilmiah pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) IXX di Universitas Muhamadiyah Malang (2006) dengan judul ” Tanaman pesisir laut sebagai insektisida alami ”

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................

x

DAFTAR GAMBAR.................................................................................

xi

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................

xii

1. PENDAHULUAN ...............................................................................

1

1.1. Latar Belakang ...............................................................................

1

1.2. Tujuan ............................................................................................

2

2. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................

3

2.1. Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)........

3

2.2. Deskripsi dan Komposisi Daun Jambu Biji (Psidium guajava) ....

4

2.3. Senyawa Antimikroba....................................................................

7

2.4. Ekstraksi.........................................................................................

11

2.5. Proses Kemunduran Mutu.............................................................. 2.5.1. Perubahan pre-rigor............................................................ 2.5.2. Perubahan rigormortis ........................................................ 2.5.3. Perubahan post-rigor ..........................................................

13 13 13 15

3. METODOLOGI ...................................................................................

17

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................

17

3.2. Alat dan Bahan..............................................................................

17

3.3. Tahapan Penelitian........................................................................

17

3.4. Pembuatan Ekstrak dan Uji Fitokimia ..........................................

19

3.5. Prosedur Analisis .......................................................................... a). Total plate count (fardiaz 1997) .............................................. b). Total volatile base (AOAC 1995)............................................ c). Uji nilai pH (Apriyantono 1989).............................................. d). Uji Organoleptik ......................................................................

21 21 22 23 23

3.6. Analisis Statistika..........................................................................

23

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................

25

4.1. Analisis Fitokimia.........................................................................

25

4.2. Penelitian Pendahuluan .................................................................

27

4.3. Penelitian Utama ........................................................................... 4.3.1. Derajat keasaman ................................................................ 4.3.2. Total volatile base (TVB) ...................................................

30 30 32

4.3.3. Total plate count (TPC) ...................................................... 4.3.4. Uji Organoleptik ................................................................. a) Kenampakan .................................................................. b) Bau................................................................................. c) Tekstur ........................................................................... d) Lendir............................................................................. e) Organoleptik rata-rata keseluruhan................................ 4.3.5. Hubungan antar parameter pada fillet kontrol ................... 4.3.6. Hubungan antar parameter pada fillet pelamuran 10%...... 4.3.7. Hubungan antar parameter pada fillet perendaman 10% ...

36 39 39 41 42 44 45 47 49 50

5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................

52

5.1. Kesimpulan ...................................................................................

52

5.2. Saran .............................................................................................

53

DAFTAR PUSTAKA................................................................................

54

LAMPIRAN...............................................................................................

59

DAFTAR TABEL No

Teks

Halaman

1.

Komposisi kimia ikan nila (Oreochromis niloticus).........................

4

2.

Titik didih dan kepolaran berbagai jenis pelarut...............................

12

3.

Spesifikasi persyaratan ikan segar ....................................................

14

4.

Rancangan peneltian utama ..............................................................

19

5.

Tabel analisis fitokimia.....................................................................

25

6.

Nilai rata-rata organoleptik fillet ikan nila peneltian pendahuluan...

28

7.

Nilai rata-rata pH fillet ikan nila .......................................................

30

8.

Standar TVB untuk hasil perikanan ..................................................

32

9.

Nilai rata-rata TVB (mgN/100 gram daging fillet ikan nila..............

33

10. Nilai rata-rata log total bakteri fillet ikan nila ..................................

36

11. Nilai rata-rata organoleptik kenampakan fillet ikan nila...................

40

12. Nilai rata-rata organoleptik bau fillet ikan nila .................................

41

13. Nilai rata-rata organoleptik tekstur fillet ikan nila............................

43

14. Nilai rata-rata organoleptik lendir fillet ikan nila .............................

44

15. Nilai rata-rata organoleptik keseluruhan fillet ikan nila....................

45

DAFTAR GAMBAR No

Teks

Halaman

1.

Morfologi ikan nila (Oreochromis niloticus)....................................

3

2.

Morfologi daun jambu biji (Psidium guajava) .................................

5

3.

Diagram alir pembuatan tepung daun jambu biji (Psidium guajava)

18

4.

Diagram alir penelitian pendahuluan ................................................

19

5.

Grafik hubungan nilai rata-rata pH fillet ikan nila dengan waktu penyimpanan..............................................................

31

Grafik hubungan nilai rata-rata TVB fillet ikan nila dengan waktu penyimpanan..............................................................

34

Grafik hubungan nilai rata-rata log bakteri fillet ikan nila dengan waktu penyimpanan..............................................................

38

Grafik hubungan nilai rata-rata organoleptik kenampakan fillet ikan nila dengan waktu penyimpanan ......................................

40

Grafik hubungan nilai rata-rata organoleptik bau fillet ikan nila dengan waktu penyimpanan ......................................

42

Grafik hubungan nilai rata-rata organoleptik tekstur fillet ikan nila dengan waktu penyimpanan......................................

43

11. Grafik hubungan nilai rata-rata organoleptik lendir fillet ikan nila dengan waktu penyimpanan ......................................

44

12. Grafik hubungan nilai rata-rata organoleptik keseluruhan fillet ikan nila dengan waktu penyimpana ........................................

46

13. Grafik hubungan antar parameter pada fillet kontrol ........................

47

14. Grafik hubungan antar parameter pada fillet pelamuran 10% ..........

49

15. Grafik hubungan antar parameter pada fillet perendaman 10%........

50

6. 7. 8. 9. 10

DAFTAR LAMPIRAN No 1.

Halaman Score sheet Organoleptik fillet ikan segar ........................................

59

2a. Hasil organoleptik kenampakan penelitian pendahuluan..................

60

2b. Hasil organoleptik bau penelitian pendahuluan ................................

61

2c. Hasil organoleptik tekstur penelitian pendahuluan...........................

62

2d. Hasil organoleptik lapisan lendir penelitian pendahuluan ................

63

3a. Hasil uji kruskal wallis kenampakan pre-rigor penelitian pendahuluan .....................................................................

65

3b. Hasil uji kruskal wallis bau pre-rigor penelitian pendahuluan.........

65

3c. Hasil uji kruskal wallis lendir pre-rigor penelitian pendahuluan .....

65

3d. Hasil uji kruskal wallis tekstur pre-rigor penelitian pendahuluan....

66

4a. Hasil uji kruskal wallis kenampakan rigor penelitian pendahuluan

66

4b. Hasil uji kruskal wallis bau rigor penelitian pendahuluan ...............

66

4c. Hasil uji kruskal wallis tekstur rigor penelitian pendahuluan ..........

67

4d. Hasil uji kruskal wallis lendir rigor penelitian pendahuluan............

67

5a. Hasil uji kruskal wallis kenampakan post-rigor awal penelitian pendahuluan .....................................................................

67

5b. Hasil uji kruskal wallis bau post-rigor awal penelitian pendahuluan .....................................................................

68

5c. Hasil uji kruskal wallis tekstur post-rigor awal penelitian pendahuluan .....................................................................

68

5d. Hasil uji kruskal wallis lendir post-rigor awal penelitian pendahuluan .....................................................................

68

6a. Hasil uji kruskal wallis kenampakan post-rigor akhir penelitian pendahuluan .....................................................................

69

6b. Hasil uji kruskal wallis bau post-rigor akhir penelitian pendahuluan .....................................................................

69

6c. Hasil uji kruskal wallis tekstur post-rigor akhir penelitian pendahuluan .....................................................................

69

6d. Hasil uji kruskal wallis lendir post-rigor akhir penelitian pendahulaun .....................................................................

69

7.

Nilai pH fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan waktu penyimpanan..............................................................

70

8a. Analisis ragam fillet pH ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan waktu penyimpanan..............................................................

70

8b. Uji lanjut bonferroni fillet pH ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan waktu penyimpanan.............................................................. 9.

71

Nilai TVB fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan waktu penyimpanan..............................................................

72

10a. Analisis ragam TVB fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan waktu penyimpanan..............................................................

72

10b. Uji lanjut bonferroni TVB fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan waktu penyimpanan..............................................................

73

11. Nilai log TPC fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan waktu penyimpanan..............................................................

73

12a. Analisis ragam TPC fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan waktu penyimpanan..............................................................

74

12b. Uji lanjut TPC fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan waktu penyimpanan..............................................................

74

13a. Hasil organoleptik kenampakan penelitian utama ............................

75

13b. Hasil organoleptik bau penelitian utama...........................................

76

13c. Hasil organoleptik tekstur penelitian utama......................................

77

13d. Hasil organoleptik lendir penelitian utama .......................................

78

14a. Hasil uji kruskal wallis kenampakan rigor penelitian utama............

79

14b. Hasil uji kruskal wallis bau rigor penelitian utama ..........................

79

14c. Hasil uji kruskal wallis tekstur rigor penelitian utama .....................

79

14d. Hasil uji kruskal wallis lendir rigor penelitian utama......................

79

15a. Hasil uji kruskal wallis kenampakan post-rigor awal penelitian utama ................................................................................

80

15b. Hasil uji kruskal wallis bau post-rigor awal penelitian utama..........

80

15c. Hasil uji kruskal wallis tekstur post-rigor awal penelitian utama ....

80

15d. Hasil uji kruskal wallis lendir post-rigor awal penelitian utama ......

80

16a. Hasil uji kruskal wallis kenampakan post-rigor akhir penelitian utama ................................................................................

81

16b. Hasil uji kruskal wallis bau post-rigor akhir penelitian utama.........

81

16c. Hasil uji kruskal wallis tekstur post-rigor akhir penelitian utama....

81

16d. Hasil uji kruskal wallis lendir post-rigor akhir penelitian uatama ...

81

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Potensi lestari sumberdaya ikan (SDI) laut Indonesia sekitar 6,4 juta ton per tahun. Potensi produksi SDI perikanan budidaya Indonesia juga cukup besar yaitu sekitar 5,8 juta ton per tahun, dan baru diproduksi sebesar 1,6 juta ton (0,3%).

Ikan budidaya yang paling banyak diminati oleh masyarakat serta

produksinya besar adalah ikan nila dan ikan mas (Dahuri 2003). Produksi ikan nila di Indonesia mengalami peningkatan 19,91% per tahun, yaitu 46.627 ton pada tahun 2000 menjadi 97.116 ton pada tahun 2004. Ekspor ikan nila pun mengalami peningkatan, yaitu 340,4 ton pada tahun 2000 menjadi 976,8 ton pada tahun 2004 (Radius 2006).

Survei yang pernah dilakukan

menyebutkan konsumen di USA menempatkan ikan nila pada urutan kedelapan jenis ikan paling disukai (Soba 2004). Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) melaporkan impor dan konsumsi ikan nila di USA dari tahun ke tahun terus meningkat. Konsumsi nila masyarakat USA pada tahun 2007 sudah mencapai 1,2 kg/kapita/tahun. USA untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya mengimpor nila dalam berbagai bentuk produk dari 25 negara, termasuk Indonesia. Ragam produk yang dimpor adalah bentuk utuh beku, fillet segar, dan fillet beku (Ika 2007). National Marine Fisheries Service mencatat USA pada tahun 2007 mengimpor nila sebanyak 158.253 ton atau naik 14,8% dari tahun 2006, dan 74.381 ton dari jumlah itu berupa fillet.

Indonesia pada tahun 2007, hanya

memasok 7.392 ton dalam bentuk fillet dan utuh beku. Selain USA, terdapat banyak negara yang membutuhkan banyak pasokan nila, seperti Jepang, Singapura, Hongkong dan negara-negara Eropa (Ika 2007). Perusahaan yang mengekspor ikan nila dalam bentuk utuh atau fillet biasa menggunakan desinfektan untuk mereduksi mikroorganisme. Jenis desinfektan yang banyak digunakan adalah klorin, karena senyawa ini mempunyai beberapa keunggulan diantaranya harganya yang murah, dan keefektifannya dalam menginaktifkan bakteri hanya dengan waktu kontak yang pendek (Kim, Hung, Bracket 2000). Namun penelitian terkini membuktikan bahwa klorin memiliki

efek karsinogenik yang terjadi ketika senyawa yang terdapat pada klorin melakukan kontak dengan material organik dan pada akhirnya dapat membentuk kloroform. Senyawa kloroform inilah yang memiliki potensi karsinogenik pada manusia (Bets 2005). Ikan

termasuk

bahan

pangan

yang

sangat

mudah

rusak

(highly perishable food) sehingga memerlukan penanganan yang baik. Jika tidak mendapatkan penanganan yang baik maka akan mengalami kemunduran mutu dengan cepat. Pada suhu ruang, ikan lebih cepat memasuki fase rigor mortis dan berlangsung lebih singkat. Jika fase rigor tidak dapat dipertahankan lebih lama akan menyebabkan ikan cepat busuk. Daun jambu biji (Psidium guajava) merupakan bagian dari pohon jambu biji yang biasa digunakan sebagai ramuan obat tradisional untuk penyembuhan penyakit diare dan sariawan. Daun jambu biji mengandung senyawa kimia aktif saponin, flavonoid, tanin, eugenol, dan triterpenoid. Senyawa polifenol yang mendominasi daun jambu biji ialah flavonoid ( >1,4%) dan tanin (BPOM 2004). Senyawa polifenol merupakan senyawa antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Penggunaan tepung daun jambu biji terhadap kemunduran mutu ikan merupakan studi awal apakah tepung daun jambu biji mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kemunduran mutu fillet ikan segar. Penggunaan tepung ini diharapkan dapat dipakai oleh masyarakat luas dengan biaya murah, mudah dan tanpa harus diekstrak.

1.2. Tujuan Tujuan Umum dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh tepung daun jambu biji (Psidium guajava) pada penanganan fillet ikan segar. Tujuan khusus : a. Mengetahui senyawa aktif secara kualitatif dari tepung daun jambu biji (Psidium guajava) melalui uji fitokomia. b. Mencari

konsentrasi

terbaik

dari

retensi

komponen

aktif

daun jambu biji (Psidium guajava) pada penanganan fillet ikan segar.

tepung

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Nila (Oreochromis sp) Ikan nila berbentuk agak pipih, pada badan dan ekor terdapat garis-garis vertikal, sedangkan pada sirip punggung dan sirip dubur garisnya memanjang. Ikan nila memiliki sirip punggung, sirip dubur, dan sirip perut yang masingmasing mempunyai jari-jari lunak dan jari-jari keras yang tajam seperti duri (Suyanto 1994). Bentuk tubuh ikan nila dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Ikan nila (Oreochromis sp.) Klasifikasi ikan nila menurut Saanin (1984) sebagai berikut : Filum

: Chordata

Subfilum

: Vertebrata

Kelas

: Osteichtyes

Subkelas

: Acanthopterygii

Ordo

: Percomorphi

Subordo

: Percoidea

Famili

: Cichlidae

Genus

: Oreochromis

Spesies

: Oreochromis sp

Ikan nila merupakan ikan omnivora yang sangat tahan terhadap perubahan lingkungan. Ikan ini dapat hidup di lingkungan air tawar, payau, dan asin. Nilai pH air tempat hidup ikan nila berkisar antara 6-8,5.

Namun pertumbuhan

optimalnya pada pH 7-8. Suhu optimal ikan nila berkisar berkisar antara 25-350C. Air yang kaya plankton merupakan sumber makanan ikan nila. Ikan nila mampu tumbuh cepat hanya dengan pakan yang mengandung protein sebanyak 20-25% (Suyanto 1994). Komposisi kimia ikan nila setiap 100 g daging dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia ikan nila setiap 100 g daging. Senyawa kimia Jumlah (%) Air

79,44

Protein

12,52

Lemak

2,57

Abu

1,26

Sumber : Suyanto (1994). Pada perairan air tawar, ikan nila dapat hidup di perairan yang dalam dan luas, maupun di kolam yang sempit dan dangkal. Nila juga dapat hidup di sungai yang tidak terlalu deras alirannya, danau, waduk, rawa, sawah, tambak air payau, atau di dalam jaring terapung di laut. Di daerah tropis ikan nila dapat hidup dan tumbuh dengan baik sepanjang tahun pada lokasi sampai ketinggian 500 meter di atas permukaan air laut (Suyanto 1994). 2.2. Deskripsi dan Komposisi Daun Jambu Biji Jambu biji termasuk ke dalam Divisi Spermatophyta, Sub Divisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Bangsa Myrtales, dan dalam Suku Myrtaceae. Daun jambu biji bertulang menyirip, berbintik, berbentuk bundar telur agak menjorong atau agak bundar sampai meruncing, panjang helai daun 6 cm sampai 14 cm, lebar 3 cm sampai 6 cm, panjang tangkai 3 mm sampai 7 mm; daun yang muda berbulu, daun yang tua permukaan atasnya menjadi licin. Daun jambu biji mempunyai morfologi tunggal, bulat telur, ujung tumpul, pangkal membulat, tepi rata, berhadapan, panjang 6-14 cm, lebar 3-6 cm, pertulangan menyirip dan mempunyai warna daun hijau kekuningan ataupun hijau

(Syamsuhidayat dan Hutapea 1991). Jambu biji dikenal dengan nama Psidium guajava (Inggris/Belanda), jambu biji (Indonesia), jambu klutuk, bayawas, tetokal, tokal (Jawa), jambu klutuk, jambu batu (Sunda), dan jambu bender (Madura) (Heyne 1987). Morfologi daun jambu biji dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Daun jambu biji (Psidium guajava). Daun jambu biji merupakan bagian dari pohon jambu biji yang biasa digunakan sebagai ramuan obat tradisional untuk penyembuhan penyakit diare, radang lambung, sariawan, keputihan, dan diabetes militus. Daun jambu biji mengandung senyawa aktif saponin, flavonoid, minyak atsiri, tanin, eugenol, dan triterpenoid.

Senyawa polifenol yang mendominasi daun jambu biji ialah

flavonoid ( >1,4%) dan tanin (BPOM 2004). Syamsuhidayat dan Hutapea (1991) menyatakan daun jambu biji mengandung saponin, flavonoid, tanin serta mengandung minyak atsiri. Dalam penelitian terhadap daun kering jambu biji yang digiling halus diketahui kandungan taninnya mencapai 17,4 persen. Makin halus serbuk daunnya, makin tinggi kandungan taninnya. Rebusan daun jambu biji pada konsentrasi 10% mempunyai kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan konsentrasi 2% menghambat Staphylococcus aureus (Winarno 1998). Ada beberapa jenis atau varietas jambu biji yang banyak dikenal masyarakat Parimin 2005 ( antara lain) : a). Jambu biji kecil Jambu biji kecil atau jambu biji menir adalah salah satu jenis jambu biji yang unik dan menarik. Jenis jambu biji ini memiliki ukuran daun sekitar 4 cm dan lebar sekitar 1 cm.

Warna daunnya hijua tua dengan bentuk bulat

panjang. Buahnya serba kecil dengan bobot maksimal 12 g/buah. Rasa buah manis, sedikit asam dan beraroma harum. b). Jambu biji sukun Jambu biji sukun merupakan salah satu jenis jambu biji tanpa biji (triploid). Jambu biji ini buahya berbentuk simetris atau persegi panjang. Jambu biji sukun memiliki bobot buah rata-rata 400-500 g/buah. Warna daunnya hijau dan berbentuk kipas dengan panjang 10-11 cm dan lebar 7-8 cm. Rasa buah manis dan segar. c). Jambu biji bangkok Jambu biji bangkok mulai populer pada tahun 1980. Buahnya berukuran besar dengan bobot sekitar 500-1.200 g/buah. Daging buah tebal, berwarna putih. Kulit buah berwarna hijau muda mengkilap bila sudah matang. d). Jambu biji variegata Jambu biji variegata memiliki daun berwarna hijau tua polos tanpa belangbelang merah. Tanaman ini merupakan hasil mutasi tanaman dari varietas jambu biji Kampuchea.

Buah berbentuk bulat simetris dengan diameter

sekitar 4 cm. Bobot buah sekitar 15-18 g/buah. e). Jambu biji australia Jambu biji Australia memilki ciri yang unik, yaitu batang, daun, maupun buahnya berwarna merah tua.

Daunnya berbenuk bulat memanjang

dengan ukuran 12-13 cm dan lebar 6-7 cm. Daging buah berwarna putih, berbiji banyak, dan rasanya manis. f). Jambu biji brasil Jambu biji Brasil memilki ukuran buah kecil dan berwarna kemerahan setelah matang. Batangnya seperti jambu biji pada umumnya. Daunnya berwarna hijau mengkilap, bentuknya seperti kipas, dan letaknya saling berhadapan. Panjang daun sekitar 3-5,5 cm dan lebar 2,5 cm. Kulit buahnya berwarna merah mengkilap dan dagingnya putih. g). Jambu biji merah getas Jambu biji merah getas merupakan hasil temuan Lembaga Penelitian Getas, Salatiga, Jawa Tengah pada tahun 1980-an. Jambu biji ini merupakan hasil silangan antara jambu pasar minggu yang berdaging merah dengan jambu biji

bangkok. Jambu biji mrah getas memilki keunggulan antara lain daging buahnya merah menyala atau merah cerah, tebal, berasa manis, harum dan segar. Ukuran buahnya cukup besar dengan ukuran 400 g/buah. Daun jambu biji merah getas berwarna hijau tua.

Panjang daun sekitar 6-14 cm.

Kulit buah berwarna hijau muda sampai hijau kekuningan bila telah matang. h). Jambu biji susu Jambu biji berasal dari pasar minggu. Bentuk buahnya jambu biji susu bulat dan meruncing di bagian dekat tangkai buah.

Warna daunnya hijau tua.

Panjang daun sekitar 5-11 cm dan lebar 4-5 cm.

Bobot buah sekitar

300 g/buah dengan diameter 7,5 cm. i). Jambu biji khemer Jambu biji khemer memilki benuk buah bulat panjang dan melancip di bagian tangkainya, kulit buah berwarna hijau kekuningan, dan daging buahnya bberwarna merah. Bobot buah jambu biji khemer sekitar 350 g/buah. j). Jambu biji bangkok epal Jambu bangkok epal atau epal biji banyak dikenal di Malaysia.

Bobot

buahnya hanya 400 g/buah. Permukaan kulit buahnya halus, rata, dan licin. Warna buah saat matang hijau kekuning-kuningan. k). Jambu biji pasar minggu Merupakan hasil seleksi kultivar jambu biji kebun rakyat pada tahun 1920-1930. Bobot buah jambu sekitar 150-200 g/buah. Bentuk buahnya agak lonjong seperti alpukat. Daging buahnya merah, berasa manis, bertekstur lembut, dan beraroma harum. 2.3. Senyawa Antimikroba Mikroorganisme dapat menyebabkan bahaya, berkemampuan menginfeksi dan menimbulkan penyakit serta merusak bahan pangan. Mikroorganisme dapat disingkirkan, dihambat atau dibunuh secara fisik maupun kimia. Zat antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme mikroba tersebut (Pelczar dan Chan 1988). Antibakteri ini hanya digunakan jika mempunyai sifat toksisitas artinya dapat membunuh bakteri yang menyebabkan penyakit tetapi tidak beracun bagi penderitanya. Berdasarkan aktivitasnya, zat antibakteri dibedakan menjadi dua

jenis yaitu yang memiliki aktivitas bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri) dan yang memiliki aktivitas bakterisidal (membunuh bakteri). Beberapa zat antibakteri bersifat bakteriostatik pada konsentrasi rendah dan bakterisida pada konsentrasi tinggi (Schunack, Mayer, Haake 1990).

Beberapa kelompok bahan

antibakteri adalah fenol, alkohol, halogen, logam berat, detergen, aldehida dan kemosterilisator gas (Pelczar dan Chan 1988). Senyawa fenol digunakan sebagai bakteriostatik atau bakterisida tergantung dari kadar (konsentrasi). Apabila digunakan dalam konsentrasi yang tinggi, fenol bekerja dengan merusak membran sitoplasma secara total dengan mengendapkan protein sel, akan tetapi, bila dalam konsentrasi 0,1-2%, fenol merusak membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran metabolit penting dan menginaktifkan sejumlah sel bakteri (Wisley dan Wheeler 1993 diacu dalam Inayatib 2007). Senyawa antibakteri bekerja dengan cara merusak dinding, merubah permeabilitas sel, mendenaturasi protein sel, menghambat kerja enzim dan menghambat sintesis asam nukleat dan protein. Hal ini sesuai pendapat Pelczar dan Chan (1988), yaitu bahwa zat-zat anti mikrobial merusak mikroba dengan berbagai cara, yaitu dengan merusak dinding sel, merusak membran plasma yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel, mendenaturasi protein dan asam-asam nukleat, menghambat kerja enzim, menghambat sintesis asam nukleat dan protein.

Johnson (1994) diacu dalam Inayatib (2007)

menambahkan bahwa aktivitas kerja senyawa antimikroba dalam menghambat atau membunuh mikroba dipengaruhi oleh pH, stabilitas senyawa antimikroba, lingkungan mikroba, jumlah mikroorganisme yang ada, dan aktivitas metabolime mikroorganisme. Banyak faktor dan keadaan yang dapat mempengaruhi kerja antibakteri, antara lain konsentrasi antibakteri, jumlah bakteri, spesies bakteri, adanya bahan organik, suhu, dan pH lingkungan (Pelczar dan Chan 1988). Konsentrasi minimum yang dibutuhkan untuk menghambat bakteri dikenal sebagai konsentrasi hambat tumbuh minimum (KHTM). Sifat antibakteri dapat berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang berspektrum luas bila menghambat atau membunuh bakteri gram positif dan gram negatif, berspektrum sempit bila menghambat atau membunuh bakteri gram positif atau gram negatif saja, dan berspektrum terbatas bila efektif terhadap spesies bakteri tertentu (Todar 1997).

Flavonoid merupakan senyawa yang dapat larut dalam air dan berperan sebagai faktor pertahanan alam. Menyatakan bahwa etanol 70% dapat mengekstrak flavonoid. Steroid terdapat pada lapisan malam (lilin) daun dan buah yang berfungsi sebagai pelindung atau menolak serangga dan serangan mikroba (Harborne 1987).

Menurut Zhu et al (2000) diacu dalam

Sugiharti (2007) steroid dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif. Alkaloid menurut Harborne (1987) merupakan senyawa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam bentuk gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid dapat beracun bagi manusia dan banyak mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol sehingga dapat digunakan secara luas dalam pengobatan. Alkaloid biasanya tidak berwarna, bersifat optis aktif, berbentuk kristal dan hanya sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar. Menurut Jouvenaz, Blum, Macconnell (1972) dan Karou (2006) senyawa alkaloid dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan gram negatif, namun demikian mekanisme penghambatan senyawa alkaloid terhadap bakteri belum jelas, Karou (2006) menyatakan bahwa senyawa alkoloid menyebabkan lisis sel dan perubahan morfologi bakteri. Tanin merupakan senyawa oligomer kompleks dari satuan berulang dengan gugus fenolik bebas. Tanin mengandung gugus hidroksi fenolik dan gugus lain yang cocok (seperti karboksil) untuk memebentuk kompleks yang stabil dengan protein dan makromolekul lain secara efektif dalam kondisi yang sesuai (Horvarth 1981 diacu dalam Inayatia 2007). Tanin mudah larut dalam pelarut polar, seperti air, dioksan, aseton, alkohol; sedikit larut dalam pelarut etil asetat, dan tidak larut dalam pelarut non-polar seperti eter, kloroform, dan benzena (Desphande, Cheriyan, Stalunkhe 1986). Kristal tanin berwarna putih-kuning sampai coklat muda bila terkena cahaya matahari, dan berwarna cokelat tua apabila teroksidasi. Tanin terdapat pada bagian daun, batang, dan akar pada suatu tanaman. Pada daun tanaman, tanin biasanya berada di dalam vakuola dan lapisan lilin permukaan daun (Foo dan Forter 1980). Mekanisme penghambatan tanin terhadap bakteri menurut Brannen dan Davidson (1993) diacu dalam Inayatib (2007) adalah dengan cara bereaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim-enzim essensial, dan destruksi atau inaktivasi

fungsi material genetik. Hemingway dan Karchesy (1989) menyatakan tanin dapat menyembuhkan penyakit diare dengan menciutkan dinding sel perut yang rusak karena asam atau bakteri. Tanin

digolongkan

dalam

dua

kelas

yaitu

tanin

terkondensasi

(proantosianin) dan tanin terhidrolisis. Jenis tanin terkondensasi sering disebut proantosianidin karena bila direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan C-C penghubung antar satuan terputus dan dibebaskan monomer antosianidin (Harborne 1987). Menurut Ribereau (1972) diacu dalam Inayatia (2007) reaksi tersebut menghasilkan senyawa bernama flobalen (tanin merah). Proantosianidin. adalah polimer flavan-3-ol atau katekin yang tidak rentan terhadap hidrolisis. Tanin terkondensasi memilki BM > 20.000 dan terdapat dalam bentuk yang kompleks (Reed 1995 diacu dalam Inayatia 2007). Proantosianidin disebut sebagai tanin terkondensasi karena secara biosintesis dapat dianggap terbentuk secara kondensasi katekin tunggal (galokatekin) yang membentuk dimer lalu oligomer. Beberapa aktivitas dari tanin terkondensasi adalah menurunkan permeabilitas membran, dan menghambat aktivitas enzim destruktif (Haslam 1989 diacu dalam Inayatia 2007). Tanin terhidrolisis dengan BM 500-5.000, mudah dihidrolisis baik secara kimia maupun dengan enzim. Jenis tanin ini merupakan ester dari gula sederhana dengan satu atau lebih polifenol asam karboksilat sehingga mudah dihidrolisis dengan asam, basa dan enzim. Tanin terhidrolisis lebih rentan terhadap hidrolisis enzimatik dan non enzimatik dibandingkan dengan proantosianidin.

Menurut

produk hidrolisisnya, tanin terhidrolisis diklasifikasikan menjadi galotanin dan elagitanin. Galotanin merupakan gabungan asam galat dan glukosa sedangkan elagitanin merupakan gabungan asam elagat dan glukosa (Haslam 1989 diacu dalam Inayatia 2007) Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Di samping itu, sering terdapat campuran yang terdiri atas flavonoid yang berbeda kelas. Flavonoid dapat larut dalam air dan dapat diekstraksi dengan alkohol. Beberapa flavonoid tanaman memilki bermacam-macam aktivitas biologis, seperti antivirus, antifungi, antipembengkakan, dan sitotoksik, antioksidan, dan antibakteri

(Sakanaka et al 1986 diacu dalam Inayatia 2007).

Flavonoid yang termasuk

senyawa fenol dan bersifat agak asam akan berubah warna jika ditambah basa atau amonia sehingga mudah dideteksi (Markham 1998). Flavonoid berdasarkan kelarutannya dapat terbagi dua yaitu flavonoid yang bersifat kurang polar (contohnya : flavonones dan aglycone) serta flavonoid yang bersifat lebih polar (contohnya : flavonoid glikosida) (Marston dan Hostettmann 2006). Flavonoid merupakan golongan senyawa fenolik alami yang paling besar, selain fenol sederhana, fenilpropanoid, dan kuinon fenolik (Harborne 1987). Flavonoid tidak stabil terhadap cahaya, oksidasi, dan perubahan kimia. Sifat ini dapat menyebabkan struktur flavonoid berubah sehingga keaktifannya dapat menurun bahkan hilang (Funamaya et al 1993 diacu dalam Inayatia 2007). Flavonoid dapat dipakai dalam berbagai pengobatan tradisional. Flavonoid dapat menghambat fosfodiesterase, aldoreduktase, monoamina oksidase, protein kinase, DNA polimerase, dan lipooksigenase.

Flavonoid sering bertindak sebagai

senyawa pereduksi yang menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun non-enzim.

Senyawa polifenol mempunyai kemampuan membentuk

kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen sehingga mampu menghambat aktivitas kerja enzim (Robinson 1995). 2.4. Ekstraksi Ekstraksi adalah peristiwa pemisahan zat terlarut (solut) diantara dua pelarut yang tidak saling bercampur (Adijuwana dan Nur 1989). Ekstraksi dapat diartikan juga cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponenkomponen yang terpisah (Winarno, Fardiaz 1973). Ekstraksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu fase air (aqueus phase) dan fase organik (organic phase). Ekstraksi fase air menggunakan air sebagai pelarut sedangkan ekstraksi fase organik menggunakan pelarut organik seperti kloroform, eter dan sebagainya. Kelarutan zat di dalam pelarut tergantung dari kepolarannya. Zat yang polar hanya larut dalam pelarut polar, sedangkan zat yang non-polar hanya larut dalam pelarut non-polar. Bahan-bahan organik tidak selalu larut dalam air, oleh karena itu dapat dipisahkan dengan corong pemisah. Hal lain yang harus diperhatikan adalah selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan dan harga pelarut (Harborne 1987).

Metode ekstraksi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus.

Ekstraksi sederhana terdiri dari maserasi,

perkolasi, reperkolasi, evakolasi, dan dialokasi.

Ekstraksi khusus terdiri dari

sokletasi, arus balik dan ultrasonik (Harborne 1987). Penelitian ini menggunakan metode maserasi.

Tingkat kepolaran beberapa jenis pelarut

dapat dilihat

pada Tabel 2. Tabel 2. Tingkat titik didih dan kepolaran berbagai jenis pelarut. No Pelarut Titik didih (oC) Polaritas (EoC) 1 Etanol 78,3 0,68 2

Aseton

56,2

0,47

3

Etil asetat

77,1

0,38

4

Heksana

68,7

0

5

Pentena

36,2

0

6

Diklorometana

40,8

0,32

7

Isopropanol

82,2

0,63

8

Air

100

>0,73

9

Propilen Glikol

187,4

0,73

10

Dietil Eter

34,6

Sumber : Mukhopadhyay (2002) diacu dalam Sugiharti (2007). Maserasi digunakan untuk mengekstrak sampel yang relatif tidak tahan panas. Metode ini dilakukan hanya dengan merendam sampel dalam suatu pelarut dengan lama waktu tertentu, biasanya dilakukan selama sehari semalam (24 jam) tanpa menggunakan pemanas.

Kelebihan metode maserasi diantaranya

metodenya sederhana, tidak memerlukan alat-alat yang rumit dan relatif murah dan metode ini dapat menghindari kerusakan komponen senyawa karena tidak menggunakan panas sehingga baik untuk sampel yang tidak tahan panas. Kelemahan metode ini diantaranya dari segi waktu dan penggunakan pelarut yang tidak efektif dan efisien karena jumlah pelarut yang digunakan relatif banyak dan membutuhkan waktu yang lebih lama (Meloan 1999 diacu dalam Sugiharti 2007).

2.5. Proses Kemunduran mutu ikan Secara umum proses terjadinya kemunduran mutu ikan terdiri dari tiga tahap, yaitu: pre-rigor, rigor mortis dan post-rigor. 2.5.1

Perubahan pre-rigor Perubahan pre-rigor merupakan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar

di bawah permukaan kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri (Junianto 2003). Lendir-lendir yang terlepas tesebut membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh dapat sangat banyak

hingga

mencapai

1-2,5

%

dari

berat

tubuhnya

(Murniyati dan Sunarman 2000). Fase pre rigor merupakan perubahan pertama yang terjadi ketika ikan mati, ditandai dengan melemasnya otot-otot ikan sesaat setelah ikan mati sehingga ikan mudah dilenturkan. Perubahan ini terjadi karena terhentinya peredaran darah yang membawa oksigen untuk kegiatan metabolismenya. Meskipun telah mati, di dalam tubuh ikan masih berlangsung proses enzimatis. Proses ini berjalan tanpa kendali sehingga mengakibatkan perubahan biokimia yang luar biasa (Yunizal dan Wibowo 1998). 2.5.2. Perubahan rigor mortis Fase rigor mortis terjadi pada saat-saat siklus kontraksi relaksasi antara miosin dan aktin di dalam miofibril terhenti, diikuti dengan terbentuknya aktomiosin yang permanen (Eskin 1990). Rigor mortis dianggap penting dalam industri perikanan, selain dapat memperlambat pembusukan oleh mikroba juga dikenal oleh konsumen sebagai petunjuk bahwa ikan masih dalam keadaan masih sangat segar (Murniyati dan Sunarman 2000). Spesifikasi persyaratan mutu ikan segar menurut SNI 01-2729-1992 dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 3.

Tabel 3. Spesifikasi persyaratan ikan segar. Jenis mutu Satuan a). Organoleptik Nilai min b). Cemaran mikroba 1. ALT/g, maks Koloni/g 2. Escherichia coli APM/g 3. Vibrio cholerae Per 25 g Sumber : BSN (1992).

Persyaratan mutu 7 5x105 <3 negatif

Penguraian ATP berkaitan erat dengan terjadinya rigor mortis. Pada saat ATP mulai mengalami penurunan, rigor mortis pun mulai terjadi dan mencapai kejang penuh (full-rigor) ketika ATP sekitar 1 µmol/g. Energi pada jaringan otot ikan diperoleh secara anaerobik dari pemecahan glikogen. Glikolisis (penguraian glukosa) menghasilkan ATP dan asam laktat.

Akumulasi asam laktat selain

menurunkan pH otot, juga diikuti oleh peristiwa rigor mortis (Wahyuni 1996). Setelah ikan mati, tidak terjadi aliran oksigen di dalam jaringan peredaran darah karena aktivitas jantung dan kontrol otaknya telah terhenti. Akibatnya, di dalam tubuh ikan mati tidak terjadi reaksi glikogenolisis yang dapat menghasilkan ATP.

Terhentinya aliran oksigen ke dalam jaringan peredaran darah

menyebabkan terjadinya reaksi anaerob

yang tidak diharapkan

karena

mengakibatkan pembusukan (Nurjanah, Trilaksani, Kustiariyah 2004). Reaksi anaerob akan memanfaatkan ATP dan glikogen yang telah terbentuk selama ikan masih hidup, sebagai sumber energi, sehinga jumlah ATP terus berkurang. Akibatnya, pH terus menurun dan jaringan otot tidak mampu mempertahankan kekenyalannya (Nurjanah, Trilaksani, Kustiariyah 2004). Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging ikan.

Kekuatan

penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO, dan basa-basa menguap.

Setelah fase rigor mortis berakhir dan

pembusukan bakteri berlangsung maka pH daging ikan naik mendekati netral hingga 7,5-8,0 atau lebih tinggi jika pembusukan telah sangat parah. Tingkat keparahan pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang bersifat basa. Pada kondisi ini, pH ikan naik dengan perlahan-lahan dan dengan semakin

banyak senyawa basa purin dan pirimidin yang terbentuk akan semakin mempercepat kenaikan pH ikan (Yunizal dan Wibowo 1998). 2.5.3.

Post rigor Fase rigor mortis diakhiri dengan fase post rigor yang merupakan

permulaan dari proses pembusukan. Tahap post rigor ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap. Fase ini meliputi autolisis, pembusukan oleh bakteri, dan ketengikan (Yunizal dan Wibowo 1998). Nilai total volatile base (TVB) dapat dijadikan sebagai indeks kesegaran ikan semenjak basa volatil terakumulasi dalam daging ikan sampai dengan tahap akhir pembusukan. Adapun batas penerimaan ikan ditinjau dari kandungan TVB, yakni sebesar 20-30 mg N/100 g ikan. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh perbedaan spesies ikan (Soekarto 1990). Proses penguraian jaringan secara enzimatis (autolisis) berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati dengan mekanisme yang kompleks. Beberapa enzim yang berperan dalam proses ini antara lain katepsin (dalam daging), tripsin, kemotripsin

dan

pepsin

(dalam

organ

pencernaan),

mikroorganisme yang terdapat dalam tubuh ikan.

serta

enzim

dari

Enzim-enzim yang dapat

menguraikan protein berperan penting dalam proses penurunan mutu ikan (Moeljanto 1992). Enzim-enzim yang terlibat dalam proses penguraian protein, antara lain: katepsin, peptidase, transaminase, amidase, asam amino dekarboksilase, dan glutamat dehidrogenase.

Proses penguraian protein terjadi akibat adanya

penurunan pH jaringan otot karena terbentuknya asam laktat. Nilai pH yang rendah dengan bantuan ATP akan menyebabkan aktin dan miosin bergabung membentuk aktomiosin yang relatif mudah mengalami penguraian.

Hal ini

menyebabkan terjadinya peristiwa rigor mortis (kekakuan). Selain itu proses penguraian protein ini akan menyebabkan protein miofibril dan sarkoplasma terbongkar atau terhidrolisis menjadi peptida dan asam amino bebas yang akan mempengaruhi cita rasa dan akumulasi metabolit (Kreuzer 1965). Enzim proteolitik terdistribusi di mana-mana dalam semua cairan dan jaringan biologis. Protease pencernaan terlibat dalam hidrolisis protein dan tidak berperan dalam perputaran protein dalam suatu organisme.

Sangat sedikit

diketahui tentang protease jaringan intraseluler, kekhususan enzimatik, dan substrat fisiologinya. Daftar protease yang merupakan komponen integral dari sel sangat banyak dan sebagian besar belum diselidiki.

Beberapa diantaranya

meliputi seluruh jenis protease lisosom (katepsin), protease antar membran, dan protease dari jaringan khusus, seperti reproduksi, otot, kulit, lensa mata, dan ginjal (Dinu, Dumitru, Nechifor 2002). Proses penguraian oleh enzim ini makin cepat bila suhu meningkat dan mencapai puncaknya pada suhu 37 ºC, sedangkan bila suhunya diturunkan, kecepatan penguraian akan menurun. Pada akhir fase rigor mortis, saat hasil penguraian jaringan makin banyak, kegiatan bakteri pembusuk dengan enzimnya makin meningkat dan setelah melewati fase rigor (badan ikan mulai menjadi lembek) kecepatan pembusukan atau kemunduran mutu makin meningkat (Moeljanto 1992). Selain terjadi penguraian protein, proses kemunduran mutu ikan juga ditandai dengan terjadinya kerusakan lemak akibat proses oksidasi menghasilkan sejumlah substansi yang dapat menyebabkan timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Tingginya kandungan asam lemak tidak jenuh pada daging ikan menyebabkan terjadinya autooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dengan oksigen membentuk senyawa hidroperoksida yang dapat menimbulkan ketengikan. Proses ini dipercepat oleh adanya faktor logam-logam berat, enzimenzim lipooksidase, cahaya, dan panas. Senyawa hasil pemecahan hidroperoksida merupakan produk sekunder yang sebagian besar berupa aldehid, keton, alkohol, asam karboksilat, dan alkana yang menyebabkan timbulnya diskolorisasi dan bau tengik pada ikan (FAO 1995). Senyawa-senyawa hasil penguraian protein dan lemak sebagian besar merupakan senyawa-senyawa basa volatil yang berfungsi sebagai media pertumbuhan bakteri. Pembusukan akan lebih cepat dengan adanya penyinaran langsung dari sinar matahari (Yunizal dan Wibowo 1998).

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni-Agustus 2008 bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Rekayasa Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Laboratorium Techno park, Laboratorium Bioteknologi, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor .

3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan antara lain tepung daun jambu biji (Psidium guajava), Fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan bobot +20 gram. Larutan buffer standar, akuades, larutam garam 0,85% steril, cawan conway, nutrient agar, H3BO3, K2CO3, trichloroacetic acid (TCA) 7%, HCl (0,01 N), kapas, tissue, alumunium foil, serta larutan pereaksi yang dibutuhkan untuk ekstraksi. Peralatan yang digunakan antara lain Inkubator, oven pengering daun, timbangan analitik, homogenizer, pipet volumetrik, bulb, pipet tetes, tabung reaksi, cawan petri, shaker, erlenmeyer, pH meter, bunsen, jarum ose, beaker glass, evaporator vakum tipe OSK 6513 ogawa seiki, alat penggiling disc mill. 3.3. Tahapan Penelitian Penelitian ini terdiri dari tiga tahap : a).

Daun jambu biji dibersihkan dan dicuci dengan air. Setelah itu daun

dikeringkan dalam oven suhu 500C selama 6 jam. Kemudian daun jambu biji digiling dengan menggunakan alat disc mill untuk dibuat tepung daun jambu biji (Psidium

guajava),

serta

analisis

fitokomia

tepung

daun

jambu

biji

(Psidium guajava) dengan pelarut air. Diagram alir proses pembuatan tepung daun jambu biji dapat dilihat pada Gambar 3.

Daun jambu biji (Psidium guajava)

Pembersihkan dan pencucian dengan air Pengeringan dalam oven suhu 500C (selama 6 jam)

Penggilingan dengan alat penggiling disc mill 60 mesh

Tepung daun jambu biji Gambar 3.

Diagram alir proses pembutan tepung daun jambu biji (Modifikasi Luvianti 2006).

b). Penelitian pendahuluan adalah pemilihan perlakuan yang terbaik. Perlakuan yang digunakan antara lain pelamuran tepung daun jambu biji secara merata ke seluruh fillet ikan dan perendaman fillet ikan ke dalam larutan tepung daun jambu biji selama 45 menit dengan konsentrasi 10 %, 20 % dan 30 % (b/v). Perendaman terlebih dahulu dengan maserasi tanpa pengadukan selama 24 jam, kemudian disaring menggunakan kain kasa untuk mendapatkan filtrat encer yang jernih. Setiap perlakuan menggunakan 3 buah fillet ikan dan dilakukan uji organoleptik tiap jam sampai jam ke-15 untuk mencari waktu rigormortis awal, post rigor awal, dan post rigor akhir dengan 3 orang panelis.

Nilai pengamatan yang dilakukan berdasarkan nilai rata-rata

organoleptik per waktu penyimpanan. Diagaram alir penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 4. c). Penelitian utama adalah pencarian konsentrasi optimum dengan tiga buah konsentrasi dan kontrol. Analisis yang dilakukan adalah uji organoleptik, TPC, TVB dan uji nilai pH. Nilai uji organoleptik berdasarkan nilai rata-rata organoleptik per waktu penyimpanan. Rancangan penelitian utama dapat dilihat pada Tabel 3.

Fillet Ikan Nila

Dilamur tepung daun jambu biji

Direndam dalam larutan tepung daun jambu biji 10%, 20%, 30% (b/v) Kontrol

Pengamatan organoleptik

Gambar 4. Diagram alir penelitian pendahuluan Tabel 4. Rancangan penelitian utama. Jam kePre-rigor

Kontrol

P1

P2

Rgormortis Post rigor awal Post rigor akhir Ket P = Perlakuan 3.4. Pembuatan Ekstrak untuk Uji Fitokimia Tahap ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut air. Daun jambu biji yang telah diketahui bobotnya direndam dengan pelarut dengan perbandingan 1:4 selama 24 jam pada suhu ruang.

Setelah 24 jam, sampel

disaring menggunakan kertas saring whatman 41 untuk memisahkan filtrat dengan

ampas. Filtrat dievaporasi menggunakan evaporator vakum dengan suhu 400C untuk menguapkan pelarut. Ekstrak yang diperoleh digunakan untuk uji senyawa. Analisis dilakukan berdasarkan metode Harborne (1987). a). Uji alkoloid Sebanyak 0,1 gram ekstrak ditambahkan 5 ml kloroform dan 3 tetes amoniak. Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan dengan 2 tetes H2SO4 2 M. Fraksi asam dibagi menjadi tiga tabung, kemudian masing-masing ditambahkan pereaksi dragendorf, Meyer dan Wagner.

Adanya alkoloid ditandai dengan

terbentuknya endapan putih pada pereaksi Meyer, endapan merah pada pereaksi Dragendorf dan endapan coklat pada pereaksi Wagner b) Uji flavonoid Sebanyak 0,1 gram ekstrak ditambahkan dengan 5 ml metanol 30%, kemudian dipanaskan selama 5 menit, filtrat ditambahkan dengan H2SO4, senyawa flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah karena penambahan H2SO4. c) Uji saponin Sebanyak 0,1 gram ekstrak ditambahkan 5 ml akuades lalu dipanaskan selama 5 menit. Kemudian dikocok selama 5 menit. Uji saponin menunjukkan hasil positif jika terbentuk busa setinggi kurang lebih 1 cm dan tetap stabil setelah didiamkan selama 15 menit. d) Uji triterpenoid dan steroid Sebanyak 0,1 gram ekstrak ditambahkan 5 ml etanol 30 % lalu selama dipanaskan selama 5 menit dan disaring. ditambahkan dengan eter.

Filtratnya diuapkan kemudian

Lapisan eter ditambahkan dengan pereaki

lieberman Burchard (3 tetes asetat anhidrida dan 1 tetes H2SO4). Warna merah atau ungu yang terbentuk menunjukkan adanya triterpenoid dan warna hijau menunjukkan adanya steroid. e) Uji Tanin Ekstrak sebanyak 0,1 gram ditambahkan 5 ml akuades kemudian dididihkan selama 5 menit.

Larutan ini disaring dan filtratnya ditambahkan

dengan 5 tetes FeCl3 1%(b/v).

Warna biru tua atau hitam kehijuaan yang

terbentuk menunjukkan adanya tanin. f) Uji Hidroquinon Ekstrak sebanyak 0,1 gram dilarutkan dalam 5 ml metanol, kemudian dipanaskan dan disaring, lalu ditambahkan NaOH 10%. Sampel akan positif memilki hidroquinon apabila berwarna merah. 3.5. Prosedur Analisis a). Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1987) Prinsip kerja dari analisis TPC adalah penghitungan jumlah koloni bakteri yang ada di dalam sampel (daging ikan) dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Pembuatan larutan contoh dengan cara mencampurkan 10 gram sampel ke dalam 90 ml larutan pengencer sampai larutan homogen. Pengenceran dilakukan dengan cara mengambil 1 ml larutan contoh yang sudah homogen dengan pipet steril dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi larutan pengencer steril sebanyak 9 ml sehingga terbentuk pengenceran 10-1, setelah itu dikocok agar homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian, biasanya sampel pengenceran 10-6.

Pemipetan dilakukan dari masing-masing

tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan steril secara duplo dengan menggunakan pipet steril. Media agar dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 10 ml dan digoyangkan sampai permukaan agar merata (metode cawan tuang), kemudian didiamkan beberapa saat hingga dingin dan mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik, yaitu tutup cawan diletakkan di bagian cawan petri. Suhu inkubator yang digunakan adalah sekitar 350C dan diinkubasi selama 48 jam, selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan petri. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo dapat meningkatkan

ketelitian. Jumlah koloni bakteri yang dapat dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni. b). Penetapan Total Volatil Base (TVB) (AOAC 1995) Penetapan ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawasenyawa basa volatile yang terbentuk akibat degradasi protein.

Prinsip dari

anilisis TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatile (amin, mono,di- dan trimetilamin) pada suhu kamar selama 24 jam.

Senyawa tersebut

kemudian diikat oleh asam borat dan kemudian dititrasi dengan larutan 0,01 N HCl. Sampel sebanyak 15 gram ditambahkan 45 ml larutan TCA 7% kemudian diblender selama 1 menit kemudian disaring dengan kertas saring sehingga filtrat yang diperoleh berwarna jernih. Larutan asam borat 1 ml dimasukkan ke dalam ”innner chamber” cawan conway lalu diletakkan tutup cawan dengan posisi hampir menutupi cawan. Dengan memakai pipet ukuran 1 ml yang lain, filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber di sebelah kiri. Kemudian ditambahkan 1 ml larutan K2CO3 jenuh ke dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K2CO3 tidak tercampur.

Disamping itu cawan segera ditutup dan digerakkan memutar

sehingga kedua cairan di outer chamber tercampur. Disamping itu dikerjakan blanko dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan larutan TCA 5%. Kemudian kedua cawan Conway tersebut disimpan dalam inkubator pada suhu 370C selama 2 jam. Setelah disimpan, selanjutnya larutan asam borat dalam inner chamber cawan Conway yang berisi blanko dititrasi dengan larutan HCl 0,01 N (Vo), dengan menggunakan magnetik stirrer sehingga berubah warna menjadi merah muda. Selanjutnya cawan conway dititrasi dengan larutan yang sama sehingga menjadi warna merah muda yang sama dengan blanko (Vi). Rumus penentuan TVB adalah : %N (mg N/100 g) = (j – i) x N HCl x

100 M

x fp x 14 mg N/100 g

Keterangan : j = Volume HCl 0,01 N yang dibutuhkan untuk titrasi i= Volume titrasi blanko

M= berat sampel

c). Uji nilai pH (Apriyantono, Fardiaz, Puspitasari, Sedarnawati, Budianto 1989) Pengukuran pH dilakukan dengan menggunkan pH meter dengan cara dikalibrasi terlebih dahulu. Sampel sebanyak 10 gram yang diambil dari bagian daging ikan dihancurkan dan dihomogenkan dengan 90 ml air destilata. Kemudian pH homogen diukur dengan pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan buffer standar 4 dan 7. d). Uji organoleptik Metode yang digunakan untuk uji organoleptik adalah dengan score sheet berdasarkan SNI01-2346-2006.

Pengujian organoleptik merupakan cara

pengujian yang bersifat subyektif menggunakan indera yang ditujukan pada penampakan, bau, tekstur, dan lapisan lendir. Pada uji organoleptik ada beberapa syarat yang harus dipenuhi panelis antara lain tertarik dan mau berpartisipasi dalam uji organoleptik, terampil dan konsisten dalam mengambil keputusan, siap sedia saat dibutuhkan dalam pengujian, tidak menolak contoh yang diuji,beradab sehat, bebas dari penyakit THT dan tidak buta warna (psikologis), tidak merokok, serta jumlah panelis mimimum yang digunakan adalah 15 orang dengan kategori panelis semi terlatih dan sampel diamati pada masing-masing titik pengamatan yaitu pre-rigor, rigormortis, post rigor awal, post rigor akhir. Dari data yang diperoleh dilakukan analisis kesegaran ikan dengan kriteria sebagai berikut (BSN 1992): Segar

: nilai organoleptik berkisar antara 7-9

Agak segar

: nilai organoleptik berkisar antara 5-6

Tidak segar

: nilai organoleptik berkisar antara 1-3

3.6. Analisis Data Data hasil penelitian dianalisis dengan program spss dan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial. a). Rancangan Acak Lengkap Faktorial (Walpole 1992) Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut: Yij = µ + τi + βj + (τβ)ij + εij

Keterangan: Yij = Nilai pengamatan satuan percobaan untuk individu ke-j yang mendapat perlakuan ke-i (konsentrasi enzim). µ

= Nilai rataan populasi.

τi

= Pengaruh perlakuan ke-i.

βj

= Pengaruh perlakuan ke-j.

(τβ)ij = Interaksi antara perlakuan ke-i dan perlakuan ke-j. εij

= Pengaruh acak suatu sisaan (galat) untuk percobaan ke-j yang mendapat perlauan ke-i.

Hipotesis : Ho :

Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap analisis yang dilakukan.

H1 :

Perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap analisis yang dilakukan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Fitokimia Daun jambu biji yang digunakan berasal dari varietas jambu biji pasar minggu dengan nama latin Psidium guajava var cujavillus burm.f dengan nama sinonim Psidium pumilum vahl.

Daun jambu biji segar yang dipilih dengan

penampakan baik dan tidak terkena penyakit. Daun jambu biji yang telah dipilih kemudian dicuci dengan air bersih, setelah itu daun dikeringkan dengan oven pengering teh dan digiling dengan disc mill dengan ukuran partikel 60 mesh. Rendemen yang didapat adalah dari daun basah sebanyak 11 kg akan dihasilkan kurang lebih 3.000 gram tepung daun jambu biji.

Tepung daun jambu biji

kemudian dianalisis fitokimia. Hasil fitokimia dapat dilihat pada Tabel 5 (Lampiran 2).

No 1

2

Tabel 5. Hasil analisis fitokimia. Sampel Parameter Tepung Fitokimia Alkaloid Wagner Daun Meyer Jambu Dragendorf Biji Hidroquinon Tanin Flavonoid Saponin Steroid Triterpenoid Ekstrak Fitokimia Tanin Air daun Flavonoid Jambu Biji

Keterangan

+++ ++ +

Hasil Negatif Negatif Negatif Negatif +++ ++ Negatif Negatif Negatif +++ +

Metode Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif

Sangat Kuat Kuat Kurang kuat

Tabel 5 menunjukkan bahwa hasil tepung daun jambu biji dan ekstark air tepung daun jambu biji mengandung senyawa tanin dan flavonoid. Hasil uji fitokimia secara kualitatif dapat diketahui bahwa tepung daun jambu biji mempunyai tanin sangat kuat dan flavonoid kuat. Ekstrak air tepung daun jambu biji mengandung tanin sangat kuat dan flavonoid kurang kuat.

Hasil uji aktivitas antibakteri dan penelusuran senyawa aktif antibakteri bermacam-macam ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava) menunjukkan bahwa daun jambu biji mengandung senyawa golongan saponin, tanin, flavonoid, triterpenoid,

monoterpen,

Prayitno 2007).

seskuiterpen

(Kusmari

1998

diacu

dalam

Daun jambu biji mengandung senyawa kimia aktif saponin,

flavonoid, tanin, minyak atsiri dan triterpenoid.

Senyawa polifenol yang

mendominasi daun jambu biji ialah flavonoid ( >1,4%) dan tanin (BPOM 2004). Triterpenoid yang tidak terdapat di dalam tepung daun jambu biji diduga senyawa ini terdapat di bagian dalam dinding sel dan harus diestrak dengan pelarut organik yang tidak bersifat polar.

Marston dan Hostettmann (2006)

menyatakan steroid dan triterpenoid adalah senyawa non-polar yang dapat dilarutkan dalam hexane. Watanabe, Ebine, Okada (1974) menyatakan bahwa zat yang polar hanya larut dalam pelarut polar, sedangkan zat yang non-polar hanya larut dalam pelarut non-polar. Bahan-bahan organik tidak selalu larut dalam air. Tanin merupakan senyawa yang sangat polar yang dapat larut dalam air dengan baik.

Sedangkan flavonoid merupakan senyawa polar yang memiliki

tingkat kepolaran lebih rendah daripada senyawa tanin (Harborne 1987). Daun kering jambu biji yang digiling halus diketahui kandungan taninnya mencapai 17,4 persen. Makin halus serbuk daunnya, makin tinggi kandungan taninnya (Syamsuhidayat dan Hutapea 1991).

Flavonoid berdasarkan kelarutannya dapat

terbagi dua yaitu flavonoid yang bersifat kurang polar (contohnya: flavonones dan aglycone)

serta

flavonoid

yang

bersifat

lebih

polar

(contohnya:

flavonoid-glycosides yaitu jenis flavonoid dengan gula terikat). Mekanisme

penghambatan

tanin

terhadap

bakteri

menurut

Brannen dan Davidson (1993) diacu dalam Inayatib (2007) adalah dengan cara bereaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim-enzim essensial, dan destruksi atau inaktivasi fungsi material genetik. Flavonoid merupakan golongan senyawa fenolik alami terbesar, selain fenol sederhana. Senyawa fenol digunakan sebagai bakteriostatik atau bakterisida tergantung dari kadar (konsentrasi).

Apabila

digunakan dalam konsentrasi yang tinggi, fenol bekerja dengan merusak membran sitoplasma secara total, akan tetapi, bila dalam konsentrasi 0,1-2%, fenol merusak membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran metabolit penting dan

menginaktifkan sejumlah sel bakteri (Wisley dan Wheeler 1993 diacu dalam Inayatib 2007). 4.2. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan fase-fase kemunduran mutu ikan yang dilakukan dengan analisis sensori. Penentuan fase kemunduran mutu ikan dilakukan untuk mengetahui tingkat kesegaran ikan secara organoleptik sehingga dapat diketahui kondisi kesegaran ikan.

Metode organoleptik

merupakan cara yang paling murah dan mudah untuk mengetahui tingkat kemunduran mutu ikan dengan bantuan panca indera manusia.

Penetapan

kemunduran mutu ikan secara subjektif (organoleptik) dapat dilakukan dengan menggunakan score sheet, pengamatan terhadap fillet ikan nila dilakukan tiap jam selama 15 jam. Parameter organoleptik yang diamati adalah kenampakan, bau, tekstur dan lapisan lendir. Hasil pengamatan didapatkan hasil fase pre-rigor terjadi pada jam ke-1, fase rigormortis terjadi pada jam ke-5, fase post rigor awal terjadi pada jam ke-10 dan fase post rigor akhir terjadi pada jam ke-13. organoleptik rata-ratanya adalah 8,77.

Pada fase pre-rigor nilai

Fase rigormortis mempunyai nilai

organoleptik 7,14. Fase post rigor awal menunujukkan nilai untuk kenampakan 5, serta parameter bau dan tekstur mempunyai nilai 4. Pada fase post rigor akhir mempunyai nilai kenampakan 4,33; tekstur 3; bau 3; dan lapisan lendir 5,67. Fase yang terjadi pada ikan yang baru mengalami kematian disebut pre-rigor.

Perubahan pada fase ini ditandai terlepasnya lendir dari kelenjar

di bawah permukaan kulit ikan yang membentuk lapisan bening tebal disekeliling tubuh ikan (Zaitsev, Kizeveter, Lagunov, Makarova, Minder, Podsevalov 1969). Keadaan ini terjadi pada saat jaringan otot lembut dan lentur, secara biokimia ditandai dengan menurunnya kadar ATP dan keratin fosfat seperti halnya pada reaksi glikolisis (Eskin 1990). Perubahan selanjutnya, ikan memasuki tahap rigormortis ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati, sebagai hasil perubahan-perubahan biokimia yang kompleks dalam otot ikan (Zaitsev, Kizeveter, Lagunov, Makarova, Minder, Podsevalov 1969). Hilangnya kelenturan ikan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin yang berlangsung lambat pada tahap awal dan

menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Tahap selanjutnya, ikan memasuki tahap post-rigor yang ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap. Tingkat post rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis serta pembusukan oleh bakteri. Penelitian pendahuluan yang dilakukan terhadap semua perlakuan adalah analisis sensori.

Parameter yang dijadikan acuan adalah kenampakan, bau,

tekstur, dan lapisan lendir. Pengamatan dilakukan pada setiap fase kemunduran mutu ikan. Hasil nilai organoleptik dapat dilihat pada Tabel 6 Tabel 6. Nilai rata-rata organoleptik fillet ikan nila penelitian pendahuluan. Jam ke-

1

5

10

13

Keterangan

Parameter

A

B

C

D

E

F

Kenampakan

9,00

9,00

9,00

9,00

9,00

9,00

Bau

9,00

9,00

9,00

9,00

9,00

9,00

Tekstur

8,83

9,00

9,00

9,00

8,83

9,00

Lendir

8,75

9,00

9,00

9,00

8,75

8,75

Kenampakan

7,83

7,17

7,17

7,17

8,00

8,50

Bau

6,50

8,00

7,33

7,67

9,00

9,00

Tekstur

6,00

6,50

7,00

7,00

7,50

8,00

Lendir

8,25

8,75

8,75

8,75

8,75

8,75

Kenampakan

5,67

6,33

6,33

6,56

7,00

8,11

Bau

4,33

7,00

7,00

6,33

9,00

8,33

Tekstur

4,11

5,00

5,00

5,00

5,00

5,00

Lendir

7,67

8,33

8,33

8,33

8,67

9,00

Kenampakan

4,33

5,44

5,67

5,67

7,00

7,00

Bau

3,00

5,00

4,78

5,44

9,00

9,00

Tekstur

3,00

4,78

4,78

5,00

5,00

5,00

Lendir

5,67

7,33

7,33

7,33

8,67

8,67

A B C

Kontrol Rendam 10% Rendam 20%

D E F

Rendam 30% Lamur 10% Lamur 12,5%

Pada jam ke-1 dapat terlihat semua perlakuan mempunyai nilai yang tidak berbeda. Hasil uji kruskal wallis menunjukkan pada fase pre-rigor (jam ke-1) nilai β-value (significance) > 0,05 artinya semua perlakuan tidak mempengaruhi parameter-parameter yang diuji (Lampiran 7 sampai dengan 10). Berdasarkan hasil organoleptik pada jam ke-5 (fase rigor) dapat terlihat untuk parameter kenampakan kontrol memiliki nilai yang lebih baik jika dibandingkan dengan perlakuan perendaman.

Nilai tertinggi untuk parameter

kenampakan pada perlakuan pelamuran 12,5%. Berdasarkan uji Kruskal Wallis untuk kenampakan, nilai β-value (significance) < 0,05 artinya terdapat perlakuan yang mempengaruhi kenampakan (Lampiran 11). Parameter bau memiliki nilai terendah pada kontrol dengan nilai 6,50 dan nilai tertinggi pada perlakuan pelamuran 10% dan 12,5% dengan nilai 9,00. Hasil ini menunjukkan minyak atsiri yang terdapat pada daun jambu biji masih kuat, begitu juga ketika diuji dengan uji Kruskal Wallis menunjukkan β-value (significance) < 0,05 (Lampiran 12). Parameter tekstur memiliki nilai terendah pada kontrol dengan nilai 6,50 dan nilai tertinggi pada perlakuan pelamuran 12,5% dengan nilai 8,00. Sedangkan untuk perlakuan lendir tidak menunjukkan nilai yang berbeda secara nyata ketika diuji dengan uji Kruskal Wallis (Lampiran 14). Pada fase post-rigor awal (jam ke-10) untuk semua parameter uji Kruskal Wallis mempunyai nilai β-value (significance) < 0,05 artinya terdapat perlakuan yang mempengaruhi parameter-parameter yang diuji (Lampiran 15 sampai dengan 18). Perlakuan kontrol memiliki nilai yang terendah untuk semua parameter pada fase ini dan perlakuan pelamuran memiliki nilai yang tertinggi untuk semua parameter yang diuji. Pada fase post rigor akhir (jam ke-13) nilai parameter kenampakan, bau dan tekstur sudah berada dibawah nilai 5 yang artinya sudah tidak layak untuk dikonsumsi.

Sedangkan untuk perlakuan pelamuran 10% dan 12,5% untuk

perlakauan bau dan tekstur memiliki nilai 4,78.

Nilai tertinggi untuk semua

parameter terdapat pada perlakuan pelamuran 10% dan 12,5%. Parameter tekstur merupakan parameter yang memiliki nilai yang terendah untuk semua perlakuan. Nilai tertinggi untuk tekstur adalah 5 untuk perlakuan perendaman 30% dan pelamuran.

4.3. Penelitian Utama Perlakuan yang dipilih untuk penelitian selanjutnya adalah perlakuan perendaman 10% dan pelamuran 10%.

Aplikasi dilakukan untuk melihat

pengaruh perbedaan perlakuan dan fase-fase kemunduran mutu ikan. Parameter yang diuji adalah derajat keasaman (pH), Total Plate Count (TPC), Total Volatil Base (TVB) dan Organoleptik. 4.3.1. Derajat keasaman (pH) Pengujian derajat keasaman adalah suatu metode untuk mengetahui tingkat keasaman atau kebasaan suatu produk. Penentuan nilai pH merupakan salah satu indikator pengukuran tingkat kesegaran mutu ikan. Nilai rata-rata pH fillet ikan nila dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai rata-rata pH fillet ikan nila (Oreochromis niloticus). Jam ke

A

B

C

1

6,94

6,82

6,81

5

6,37

6,63

6,61

10

5,15

6,35

6,48

13

6,5

6,17

5,71

Keterangan A B C

: Kontrol : Lamur 10% : Rendam 10%

Tabel 7 dapat dilihat nilai rata-rata pH ikan kontrol pada fase pre-rigor adalah 6,94 yang menandakan ikan tersebut dalam keadaan sangat segar. Sedangkan perlakuan perendaman dan pelamuran memiliki nilai rata-rata pH 6,81 dan 6,82. Faktor yang menyebabkan nilai pH rata-rata perlakuan lebih rendah dari pada kontrol saat fase pre-rigor adalah adanya tanin dan flavonoid. Tanin terhidrolisis diklasifikasikan menjadi galotanin dan elagitanin. Galotanin merupakan gabungan asam galat dan glukosa sedangkan elagitanin merupakan gabungan asam elagat dan glukosa (Haslam 1989 diacu dalam Inayatia 2007). Flavonoid yang termasuk senyawa fenol dan bersifat agak asam akan berubah warna jika ditambah basa atau amonia sehingga mudah dideteksi (Markham 1998).

Pada dasarnya energi pada jaringan otot ikan setelah mati diperoleh secara anaerobik dari pemecahan glikogen menjadi glukosa dan produk-produk turunannya.

Selanjutnya penguraian glukosa melalui proses glikolisis akan

menghasilkan ATP dan asam laktat. Akumulasi asam laktat inilah yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan pH daging ikan dan dapat menekan aktivitas mikroba sehingga memperlambat proses pembusukan.

Penurunan

pH ini

besarnya tergantung pada jumlah glikogen awal yang terdapat dalam otot ikan (Jiang 1998 diacu dalam Apriyanti 2007). Penurunan pH akan terus berlangsung sampai saat tertentu dan nilai pH akan naik kembali.

Hubungan antara nilai rata-rata pH dengan waktu

penyimpanan fillet ikan nila dapat dilihat pada Gambar 5. 8,00 Nilai pH Rata-Rata

7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 1

5

10

13

Jam KeKontrol

Lamur 10%

Rendam 10%

Gambar 5. Grafik hubungan nilai rata-rata pH fiilet ikan nila dengan waktu penyimpanan. Gambar 5 menunjukkan pada jam ke-10 (fase post rigor awal) merupakan titik balik nilai rata-rata pH fillet kontrol, kemudian nilai rata-rata pH fillet naik kembali.

Penurunan pH daging ikan terutama disebabkan oleh akumulasi

asam laktat akibat terjadi penguraian glukosa menjadi asam laktat melalui proses glikolisis, sedangkan peningkatan kembali nilai pH tersebut disebabkan oleh proses autolisis yang mendorong terjadinya penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana berupa peptida, asam amino dan amonia yang dapat menaikkan pH jaringan daging ikan (Yunizal dan Wibowo 1998).

Berdasarkan analisis ragam dua arah terhadap nilai pH diketahui banwa perlakuan memberikan hasil nilai β-value (significance) > 0,05 artinya perlakuan tidak mempengaruhi nilai pH yang diuji (Lampiran 24), akan tetapi interaksi antara perlakuan dan fase kemunduran mutu

memberikan hasil nilai

β-value (significance) < 0,05 artinya interaksi antara keduanya mempengaruhi nilai pH yang diuji pada tingkat kepercayaan 5% (Lampiran 25).

Nilai

koefisien determinasi adalah 0,833 yang artinya hubungan antara perlakuan dan nilai pH mempunyai tingkat kepercayaan sebesar 83,33% 4.3.2. Total volatil basa (TVB) Total Volatil Basa merupakan salah satu metode untuk menentukan tingkat kesegaran ikan secara kimiawi,

yaitu dengan

cara mengukur tingkat

senyawa-senyawa basa yang menguap. Tingkat TVB yang semakin besar akan menunjukkan semakin rendah mutu dari daging. Standar nilai TVB untuk produk hasil perikanan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Standar TVB untuk hasil perikanan. Tingkat Kesegaran Nilai TVB (mg N/100 gram daging ikan) Sangat segar

<10

Segar

10-20

Batas Dapat Dimakan

20-30

Busuk

>30

Sumber

: Farber (1965).

Senyawa basa yang menguap ini akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Senyawa-senyawa ini merupakan hasil reaksi kompleks yang disebabkan terurainya protein daging ikan oleh enzim protease. Proses penguraian secara enzimatis berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati dengan mekanisme yang kompleks. Beberapa enzim yang berperan dalam proses ini antara lain : katepsin (dalam daging), tripsin, kemotripsin dan pepsin (dalam organ pencernaan), serta enzim dari mikroorganisme yang ada pada tubuh

ikan,

Enzim-enzim yang dapat menguraikan protein berperan penting dalam

kemunduran mutu ikan (Moeljanto 1992). Enzim-enzim yang terlibat dalam proses penguraian protein, antara lain: katepsin, peptidase, transaminase, amidase, asam amino dekarboksilase, dan glutamat dehidrogenase (Kreuzer 1965).

Enzim proteolitik terdistribusi

di mana-mana dalam semua cairan dan jaringan biologis. Protease pencernaan terlibat dalam hidrolisis protein dan tidak berperan dalam perputaran protein dalam suatu organisme.

Sangat sedikit diketahui tentang protease jaringan

intraseluler, kekhususan enzimatik, dan substrat fisiologinya.

Daftar protease

yang merupakan komponen integral dari sel sangat banyak dan sebagian besar belum diselidiki. Beberapa di antaranya meliputi seluruh jenis protease lisosom (katepsin), protease antar membran, dan protease dari jaringan khusus, seperti reproduksi, otot, kulit, lensa mata, dan ginjal (Dinu, Dumitru, Nechifor 2002). Nilai rata-rata TVB hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Nilai rata-rata TVB (mgN/100 gram daging) fillet ikan nila. Jam ke

A

B

C

1

8,4

7,28

6,72

5

19,6

18,48

17,08

10

24,08

21,84

19,6

13

26,04

24,64

23,24

Keterangan

A B C

: Kontrol : Lamur 10% : Rendam 10%

Tabel 9 dapat dilihat nilai TVB berkisar antara 6,72-26,04 mgN/100 gram daging.

Pada fase pre-rigor (jam ke-1) dapat dilihat nilai TVB untuk fillet

kontrol adalah 8,4 mgN/100 gram daging, hal ini menandakan bahwa fillet ikan berada dalam keadaan sangat segar. Perlakuan pelamuran 10% memiliki nilai TVB sebesar 7,28 mgN/100 gram daging dan nilai TVB terkecil terdapat pada perlakuan perendaman 10% yaitu sebesar 6,72 mgN/100 gram daging. Nilai TVB ini akan semakin meningkat dengan bertambahnya waktu penyimpanan.

Pada proses enzimatis, protein akan diuraikan menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana, seperti peptida, asam amino dan amonia. Hidrolisis protein membentuk sedikit bau purin dan pirimidin (Kreuzer 1965). Tingkat kenaikan nilai TVB dapat dilihat pada Gambar 6.

Nilai Rata-rata TVB (mgN/100gr)

30 25 20 15 10 y = 7,00x 0,48 R2 = 0,98

5

y = 7,59x 0,48 R2 = 0,98

y = 8,69x 0,45 R2 = 0,98

0 0

5

10

15

Jam Ke Kontrol

Lamur 10%

Rendam 10%

Gambar 6. Grafik hubungan antara nilai TVB (mgN/100 gram daging) dengan waktu penyimpanan. Gambar 6 memperlihatkan bahwa laju kenaikan nilai TVB terbesar terdapat pada fillet kontrol dan laju kenaikan nilai TVB terkecil terdapat pada perlakuan perendaman

10%.

Persamaan

regresi

untuk

fillet

kontrol

adalah

Y = 8,69x0,45 dan ketika dimasukkan nilai TVB batas busuk yaitu 30 mgN/100 gram daging ke dalam variabel Y, maka fillet kontrol akan tahan sampai jam ke-16.

Persamaan regresi untuk fillet perlakuan pelamuran 10%

adalah Y = 7,59x0,48 dan ketika dimasukkan nilai TVB batas busuk yaitu 30 mgN/100 gram daging ke dalam variabel Y, maka fillet perlakuan pelamuran 10% akan tahan sampai jam ke-18. Persamaan regresi untuk fillet perlakuan perendaman 10% adalah Y = 7,00x0,48 dan ketika dimasukkan nilai TVB batas busuk yaitu 30 mgN/100 gram daging ke dalam variabel Y, maka fillet perlakuan perendaman 10% akan tahan sampai jam ke-20. Nukleotida utama yang berperan dalam mentransfer energi yaitu ATP, juga berperan dalam penambahan jumlah amonia pada volatil amin setelah kematian ikan. Nukleotida ATP adalah senyawa utama pembawa energi kimia dalam sel.

Ketika ikan mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP akan terurai dengan melepaskan energi (Jiang 1998 diacu dalam Apriyanti 2007). Nukleotida ATP cepat berubah menjadi ADP oleh enzim ATPase, kemudian diubah menjadi AMP oleh miokinase. Selanjutnya AMP diubah oleh enzim deaminase menjadi IMP dan IMP diubah menjadi inosin oleh enzim fosfatase, kemudian inosin dengan cepat berubah menjadi hipoksantin. melepaskan

molekul

amonia

(NH3)

Deaminasi AMP menjadi IMP telah dari

gugusan

basa

purin

adenin

(Eskin 1990 diacu dalam Apriyanti 2007). Nilai TVB pada perlakuan perendaman 10% lebih kecil jika dibandingkan pada perlakuan pelamuran 10% hal ini disebabkan kandungan tanin dan flavonoid yang larut dalam air mudah teresap ke dalam jaringan daging ikan dan mampu menghambat kegiatan enzim dan aktivitas biokimia lainnya di dalam daging ikan. Beberapa permeabilitas

aktivitas

dari

tanin

terkondensasi

membran,

dan

menghambat

(Haslam 1989 diacu dalam Inayati 2007).

aktivitas

adalah enzim

menurunkan destruktif

Flavonoid dapat menghambat

fosfodiesterase, aldoreduktase, monoamina oksidase, protein kinase, DNA polimerase, dan lipooksigenase.

Flavonoid sering bertindak sebagai senyawa

pereduksi yang menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun non-enzim. Senyawa polifenol mempunyai kemampuan membentuk kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen sehingga mampu menghambat aktivitas kerja enzim (Robinson 1995). Senyawa polifenol (tanin dan flavonoid) memilki banyak gugus hidroksil yang bersifat sangat reaktif mampu membentuk kompleks ikatan hidrogen dengan enzim sehingga terjadi proses destruksi atau modifikasi sebuah gugus fungsi atau lebih yang terdapat pada molekul enzim.

Ikatan hidrogen antara enzim dan

senyawa polifenol bersifat stabil karena senyawa polifenol memilki sistem aromatik rantai ganda, sehingga tidak mudah rusak atau putus. Akibat kompleks ikatan hidrogen ini diduga mampu menyebabkan enzim protease dan lipase yang terdapat di dalam daging ikan menjadi bersifat inaktif. Uji ragam dua arah terhadap nilai TVB didapatkan hasil faktor perlakuan, fase dan interaksi antara keduanya memberikan hasil β-value (significance) < 0,05 artinya

semua faktor mempengaruhi nilai TVB yang diuji (Lampiran 27).

Uji lanjut Bonferroni memberikan hasil perlakuan perendaman 10% dan pelamuran 10% berbeda secara nyata terhadap fillet kontrol serta nilai determinasinya adalah 1,00 artinya 100% nilai TVB dapat dijelaskan dari variasi perlakuan (Lampiran 28). 4.3.3. Total plate count (TPC) Bakteri yang terdapat pada ikan cukup banyak. Bakteri tersebut banyak yang terkonsentrasi pada permukaan kulit, insang dan saluran pencernaan. Total Plate Count (Metode Hitungan Cawan) merupakan metode pengukuran mikrobiologis dengan prinsip setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni. Jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks bagi jumlah organisme yang dapat hidup yang terkandung dalam sampel (Hadioetomo 1993).

Hasil perhitungan Total Plate Count dapat dilihat

pada Tabel 10. Tabel 10. Nilai rata-rata log total bakteri fillet ikan nila. Jam ke

1

5

10

13

Keterangan

A

B

C

1

3,47

3,79

3,77

2

3,89

2,47

3,67

Rata-rata

3,68

3,13

3,72

1

5,43

4,47

5,47

2

5,54

4,47

5,36

Rata-rata

5,49

4,47

5,42

1

6,27

5,47

5,93

2

6,04

5,69

5,94

Rata-rata

6,16

5,58

5,94

1

6,94

5,93

6,27

2

6,98

6,17

6,91

Rata-rata

6,96

6,05

6,59

A B C

: Kontrol : Lamur 10% : Rendam 10%

Nilai jumlah bakteri yang terdapat pada fillet ikan hasil penelitian berkisar diantara 3,0 X 102 unit koloni/gram dan 9,7 X 106 unit koloni/gram.

Nilai

log TPC fillet ikan nila berkisar diantara 2,47 CFU/ml dan 6,91 CFU/ml.

Pertumbuhan bakteri akan semakin meningkat sesuai dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Tabel 10 dapat diketahui nilai log rata-rata bakteri fillet kontrol pada fase pre-rigor adalah 3,68 CFU/ml dan nilai tertinggi rata-rata log bakteri terdapat pada perlakuan perendaman 10% yaitu sebesar 3,72 CFU/ml. Perlakuan perendaman 10% memiliki jumlah bakteri yang lebih banyak dikarenakan adanya kontaminasi dari faktor-faktor luar. Pada fase pre-rigor ini jumlah bakteri terkecil terdapat pada perlakuan pelamuran 10%. Fillet ikan sebelum telah dicuci dengan air sehingga mengurangi jumlah bakteri awal. Suliantari (1986) diacu dalam Rosihun (2002) menyatakan untuk mengurangi jumlah mikroba dapat dilakukan dengan pencucian.

Bakteri pada ikan terkonsentrasi pada selaput lendir

permukaan kulit, insang dan rongga perut (Hadiwiyoto 1993). Fillet ikan yang telah dicuci masih mengandung bakteri dalam jumlah cukup banyak yang terdapat pada selaput lendir permukaan kulit. Perlakuan pelamuran memiliki nilai rata-rata log TPC yang lebih rendah pada fase pre-rigor disebabkan tepung daun jambu biji yang banyak mengandung tanin dan flavonoid dapat melakukan kontak langsung dengan bakteri. Peningkatan jumlah total bakteri yang berbeda di tiap perlakuan disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis mikroorganisme pada makanan yaitu faktor intrinsik (pH, aw, kandungan nutrisi, senyawa antimikrobial), faktor ekstrinsik (suhu, kelembaban relatif), serta faktor

pengolahan

(pendinginan,

radiasi

dan

sebagainya)

(Winarno dan Fardiaz 1973). Senyawa-senyawa hasil penguraian protein dan lemak sebagian besar merupakan senyawa-senyawa basa volatil yang berfungsi sebagai media pertumbuhan bakteri.

Pembusukan akan lebih cepat dengan

adanya penyinaran langsung dari sinar matahari (Yunizal dan Wibowo 1998). Hubungan antara rata-rata log bakteri dengan waktu penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 7.

Nilai Rata-rata Log TPC

8 7 6 5 4 3 y = 3,74x 0,21 R2 = 0,99

2 1

y = 3,69x 0,24 R2 = 0,99

y = 3,09x 0,25 R2 = 0,99

0 0

5

10

15

Jam Ke Kontrol

Gambar 7.

Lamur 10%

Rendam 10%

Hubungan antara rata-rata log bakteri (CFU/ml) dengan waktu penyimpanan.

Gambar 7 dapat terlihat, fase rigormortis (jam ke-5) untuk perlakuan perendaman 10% jumlah total bakteri lebih rendah yaitu sebesar 5,42 CFU/ml jika dibandingkan dengan kontrol yaitu sebesar 5,49 CFU/ml, hal ini karena semakin lama penyimpanan jumlah bakteri akan semakin banyak dan perlakuan perendaman 10% mampu menghambat pertumbuhan jumlah bakteri pada fillet. Pada Tabel 10 dapat diketahui fase post rigor akhir, perlakuan pelamuran 10% memiliki nilai rata-rata log total bakteri paling rendah yaitu sebesar 6,05 CFU/ml; kontrol memiliki nilai rata-rata log total bakteri paling tinggi yaitu sebesar 6,96 CFU/ml dan perlakuan perendaman 10% memiliki nilai rata-rata log total bakteri sebesar 6,59 CFU/ml. Laju kenaikan bakteri paling besar terdapat pada fillet kontrol dan laju kenaikan bakteri paling rendah terdapat pada perlakuan pelamuran 10%. Laju kenaikan total bakteri perlakuan perendaman 10% lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju kenaikan total bakteri perlakuan pelamuran 10% hal ini disebabkan beberapa faktor yaitu tepung daun jambu biji yang mengandung senyawa polifenol lebih banyak terkonsentrasi pada permukaan luar dari fillet, tepung daun jambu biji yang dilamur mampu menyerap kandungan air yang terdapat di dalam jaringan daging fillet ikan sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri, minyak atsiri yang mengandung zat antibakteri lebih banyak terdapat pada tepung daun jambu biji jika dibandingkan dengan dilarutkan dalam air, hal

ini dapat dilihat dari bau daun jambu biji pada tepung daun jambu biji lebih terasa jika dibandingkan dengan perlakuan perendaman. Mekanisme antibakteri dari flavonoid menurut Siswandono dan Soekarjo (1995) adalah dengan terbentuknya kompleks reseptor-flavonoid glikosida melalui ikatan hidrogen, yang akan terurai setelah melewati membran sel bakteri. Penetrasi senyawa ke dalam membran sel bakteri akan menyebabkan keluarnya makromolekul bakteri dan membran sel bakteri mengalami lisis. Hasil uji ragam dua arah didapatkan nilai β-value (significance) < 0,05 untuk faktor perlakuan dan fase artinya kedua faktor tersebut mempengaruhi nilai TPC yang diuji (Lampiran 30). Sedangkan interaksi antara perlakuan dan fase didapatkan nilai β-value (significance) > 0,05

artinya interaksi kedua faktor

tersebut tidak mempengaruhi nilai TPC yang diuji (Lampiran 30). Uji lanjut Bonferroni memberikan hasil perlakuan pelamuran 10% memberikan hasil yang berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan perendaman 10% dan kontrol. Nilai determinasinya adalah 0,964 artinya 96,4% nilai TPC dapat dijelaskan dari variasi perlakuan (Lampiran 31). 4.3.4. Uji organoleptik Pengujian organoleptik merupakan uji subyektif dengan bantuan panca indera manusia sebagai tolak ukur batas penerimaan terhadap suatu bahan. Pengujian organoleptik fillet ikan nila meliputi kenampakan, bau, tekstur dan lendir di permukaan kulit dengan batas nilai 1 sampai 9. Pengamatan dilakukan berdasarkan fase kemunduran mutu yaitu fase rigormortis, post rigor awal dan post rigor akhir a). Kenampakan Pengujian organoleptik kenampakan meliputi sayatan daging, warna daging dan warna garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis. Hasil pengamatan terhadap nilai kenampakan fillet ikan nila terhadap fase rigormortis, post rigor awal dan post rigor akhir dapat dilihat pada Tabel 11 dan Gambar 8.

Tabel 11. Nilai rata-rata nilai organoleptik kenampakan fillet ikan nila. Jam ke

A

B

C

5

8,33

8,47

8,33

10

6,33

7,00

6,87

13

5

6,2

6,2

Nilai Rata-rata kenampakan organoleptik fillet

Keterangan

A B C

9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00

: Kontrol : Lamur 10% : Rendam 10%

y = -0,28x + 9,88 R2 = 1,00

y = -0,27x + 9,65 R2 = 1,00 0

5

y = -0,41x + 10,43 R2 = 1,00 10

15

Jam ke Kontrol

Lamur 10%

Rendam 10%

Gambar 8. Hubungan antara nilai organoleptik kenampakan dengan waktu Gambar 8 menunjukkan bahwa kenampakan mempunyai nilai yang tidak berbeda jauh antara kontrol dan perlakuan.

Berdasarkan uji Kruskal Wallis

didapatkan hasil nilai β-value (significance) > 0,05 artinya adanya perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kenampakan di semua fase (Lampiran 36; Lampiran 40; Lampiran 44). Perlakuan perendaman 10% memiliki kenampakan lebih rendah dengan warna kenampakan agak kuning kecoklatan, hal ini dikarenakan kristal tanin berwarna putih-kuning sampai coklat muda bila terkena cahaya matahari, dan berwarna cokelat tua apabila teroksidasi (Foo dan Forter 1980). Kenampakan fillet ikan sangat dipengerahui oleh proses oksidasi lemak. FAO (1995) menyatakan senyawa hasil pemecahan hidroperoksida merupakan produk sekunder yang sebagian besar berupa aldehid, keton, alkohol, asam

karboksilat, dan alkana yang menyebabkan timbulnya diskolorisasi dan bau tengik pada ikan. b). Bau Nilai organoleptik bau berkisar antara 1 sampai 9. Nilai 9 menunjukkan parameter bau sangat segar, bau spesifik jenis ikan (bau daun jambu biji kuat) dan nilai 1 menunjukkan parameter bau amoniak keras dan bau busuk.

Hasil

pengamatan nilai rata-rata organoleptik bau dapat dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 9. Tabel 12. Nilai rata-rata organoleptik bau fillet ikan nila. Jam ke

A

B

C

5

8,33

8,47

8,33

10

5,80

8,47

6,87

13

4,07

7,93

5,80

Keterangan

A B C

: Kontrol : Lamur 10% : Rendam 10%

Tabel 12 menunjukkan nilai rata-rata organoleptik bau tidak berbeda jauh pada jam ke-5 (fase rigormortis) akan tetapi memilki nilai yang cukup berbeda ketika memasuki fase post rigor awal dan fase post rigor akhir. Nilai rata-rata tertinggi pada fase post rigor akhir terdapat pada perlakuan pelamuran 10% yaitu sebesar 7,93 dan nilai terendah pada kontrol yaitu sebesar 4,07 serta nilai untuk perendaman 10% sebesar 5,80. Berdasarkan uji Kruskal Wallis pada saat jam ke5 (fase rigormortis) memiliki nilai β-value (significance) > 0,05 sehingga perlakuan yang diuji tidak memberikan pengaruh yang nyata (Lampiran 37), akan tetapi pada saat fase post rigor awal dan fase post rigor akhir nilai β-value (significance) < 0,05 sehingga terdapat pengaruh terhadap parameter bau (Lampiran 41; Lampiran 45).

Nilai Rata-rata Organoleptik Bau fillet

9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00

y = -0,31x + 9,93 y = -0,06x + 8,85 y = -0,53x + 11,02 R2 = 1,00 R2 = 1,00 R2 = 0,62 0

5

10

15

Jam ke Kontrol

Lamur 10%

Rendam 10%

Gambar 9. Hubungan antara nilai organoleptik bau dengan waktu. Bau yang cukup kuat yang terdapat pada perlakuan pelamuran 10% hal ini disebabkan oleh minyak atsiri dan senyawa fenol lainnya.

BPOM (2004)

menyatakan bahwa daun jambu biji mengandung senyawa kimia aktif saponin, flavonoid, tanin, eugenol, dan triterpenoid.

Menurut Siliker (1980), daya

antimikroba rempah-rempah tergantung pada satu atau beberapa senyawa yang merupakan komponen minyak atsiri. Minyak atsiri yang terdapat pada tepung daun jambu biji ternyata tidak mudah hilang hal ini karena minyak atsiri mempunyai tingkat lipofilitas yang rendah sehingga tidak mudah menguap. Fillet kontrol memilki bau tengik pada saat fase post-rigor akhir hal ini dikarenakan adanya amonia dan senyawa-senyawa hasil perombakan enzim protease dan lipase. Senyawa-senyawa ini cocok sebagai media pertumbuhan bakteri. c). Tekstur Parameter tekstur fillet yang diukur adalah tingkat kelenturan dan kekompakan daging fillet. Nilai organoleptik bau berkisar antara 1 sampai 9. Nilai 9 menandakan tekstur elastis, padat dan kompak, sedangkan nilai 1 menandakan tekstur daging sangat tidak elastis dan membubur. Hasil pengamatan nilai rata-rata organoleptik parameter tekstur dapat dilihat pada Tabel 13 dan Gambar 10.

Tabel 13. Nilai rata-rata organoleptik tekstur fillet ikan nila. Jam ke

A

B

C

5

8,20

8,33

8,20

10

5,53

6,87

6,73

13

3,93

5,80

5,13

Nilai Rata-rata Organoleptik Tekstur fillet

Keterangan

A B C

9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00

: Kontrol : Lamur 10% : Rendam 10%

y = -0,37x + 10,18 y = -0,31x + 9,93 y = -0,53x + 10,87 R2 = 1,00 R2 = 0,97 R2 = 1,00 0

5

10

15

Jam ke Kontrol

Lamur 10%

Rendam 10%

Gambar 10. Hubungan antara nilai organoleptik tekstur dengan waktu. Pada jam ke-5 (fase rigormortis) dapat dilihat nilai organoleptik tekstur tidak berbeda jauh, akan tetapi ketika memasuki fase post rigor awal dan post rigor akhir nilai organoleptik tekstur mempunyai nilai yang cukup berbeda. Uji Kruskal Wallis memberikan hasil pada saat jam ke-10 dan jam ke-13 nilai β-value (significance) < 0,05 sehingga terdapat pengaruh terhadap parameter tekstur (Lampiran 42; Lampiran 46). Hubungan antara nilai organoleptik parameter tekstur dengan waktu penyimpanan sangat linier, hal ini dapat dilihat dari nilai determinasi yang sangat besar yaitu 1 untuk kontrol; 0,99 dan 0,97 untuk perlakuan pelamuran 10% dan perendaman 10%. Fillet ikan akan semakin lunak seiring dengan bertambahnya waktu.

Fase yang terjadi pada ikan yang baru mengalami kematian disebut

pre-rigor. Perubahan selanjutnya, ikan memasuki tahap rigormortis ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati, sebagai hasil perubahanperubahan biokimia yang kompleks dalam otot ikan (Zaitsev, Kizeveter, Lagunov, Makarova, Minder, Podsevalov 1969).

Eskin (1990) menyatakan hilangnya

kelenturan ikan berhubungan dengan terbentuknya aktomosin yang berlangsung lambat pada tahap awal dan menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Setelah itu, ikan memasuki tahap post-rigor yang ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap akibat proses autolisis dan pertumbuhan bakteri yang dapat merombak jaringan tubuh ikan. d). Lendir Hasil organoleptik nilai rata-rata parameter lendir dapat dilihat pada Tabel 14 dan Gambar 11. Tabel 14. Nilai rata-rata organoleptik lendir fillet ikan nila. Jam ke

A

B

C

5

8,53

8,67

8,60

10

7,53

8,53

7,80

13

6,47

8,13

7,07

Nilai Rata-rata Organoleptik Lendir fillet

Keterangan

A B C

: Kontrol : Lamur 10% : Rendam 10%

10,00 8,00 6,00 4,00 y = -0,19x + 9,58 R2 = 0,99

2,00

y = -0,06x + 9,03 y = -0,25x + 9,87 R2 = 0,83 R2 = 0,97

0,00 0

5

10

15

Jam ke Kontrol

Lamur 10%

Rendam 10%

Gambar 11. Hubungan antara nilai organoleptik lendir dengan waktu.

Nilai organoleptik lendir yang terdapat pada fillet ikan nila berkisar antara 6,47 sampai 8,67.

Lendir yang terdapat pada fillet ikan nila tidak sampai

menggumpal tebal. Fillet kontrol memiliki nilai rata-rata yang tidak berbeda jauh dengan perlakuan perendaman 10% akan tetapi fillet perlakuan pelamuran 10% mempunyai lendir yang sangat sedikit hal ini dikarenakan tepung daun jambu biji yang mempunyai kadar air sangat rendah mampu menyerap air dan lendir yang terdapat di permukaan kulit ikan, sehingga permukaan kulit fillet tampak kering. Nilai organoleptik lendir pada perlakuan pelamuran 10% saat fase post rigor akhir masih bernilai 8,13. Jumlah lender yang terdapat pada fillet ikan lebih sedikit jika dibandingkan dengan utuh karena jumlah getah pencernaan pada fillet lebih sedikit. Getah-getah pencernaan banyak terdapat pada saluran pencernaan. e). Organoleptik rata-rata keseluruhan Nilai rata-rata organoleptik dari semua parameter dapat dilihat pada Tabel 15 dan Gambar 12. Tabel 15. Nilai rata-rata organoleptik fillet ikan nila. Jam ke

A

B

C

5

8,35

8,48

8,37

10

6,30

7,72

7,07

13

4,87

7,02

6,05

Keterangan

A B C

: Kontrol : Lamur 10% : Rendam 10%

Tabel 15 dapat menunjukkan fillet kontrol memilki nilai yang lebih kecil jika dibandingkan dua perlakuan lainnya, hal ini dikarenakan senyawa polifenol (tanin dan flavonoid) memilki kemampuan dalam menghambat kerja dari enzim dan pertumbuhan bakteri, sehingga dapat menunda proses kerusakan fillet ikan baik secara biokimia, mikrobiologi maupun oksidasi. Parameter yang paling jelas menunjukkan perubahan adalah tekstur dan bau, serta parameter kurang mengalami perubahan lendir.

Nilai Rata-rata Organoleptik Keseluruhan

9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00

y = -0,29x + 9,84 y = -0,18x + 9,42 y = -0,43x + 10,55 R2 = 1,00 R2 = 0,99 R2 = 0,99 0

5

10

15

Jam ke Kontrol

Lamur 10%

Rendam 10

Gambar 12. Hubungan antara nilai organoleptik rata-rata dengan waktu. Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat nilai rata-rata organoleptik pada saat fase post rigor akhir fillet kontrol sebesar 4,87, sedangkan perlakuan perendaman 10% memiliki nilai sebesar 6,05 dan perlakuan pelamuran 10% memilki nilai sebesar 7,02. Persamaan regresi untuk kontrol Y = -0,43X + 10,545; perlakuan pelamuran 10% Y = -0,18X + 9,4214; perlakuan perendaman 10% Y = -0,28X + 9,8357. Nilai batas minimal organoleptik ikan adalah 5 dan ketika nilai Y diganti dengan nilai 5 dan dimasukkan ke persamaan akan didapatkan hasil fillet kontrol dapat tahan selama 12 jam, fillet perlakuan perendaman 10% dapat tahan selama 16 jam.

4.3.5. Hubungan antar parameter pada fillet kontrol Parameter-parameter yang diuji seperti : uji pH, TVB, TPC dan organoleptik memiliki kaitan satu sama lain. Hubungan antar parameter pada fillet kontrol dapat dilihat pada Gambar 13.

10

8,0

30

8

7,5

25

7

7,0

20

4

15

6,0

10

5,5

6

5

Log TPC (CFU/ml)

6,5

Nilai TVB (mgN/100)

6

nilai pH

Nilai Organoleptik

8

4

5

2

3 5,0

0 0

2

4

6

8

10

12

14

jam kepH TVB Log TPC Nilai Organoleptik

Gambar 13. Hubungan antar parameter pada fillet kontrol. Pada saat jam ke-1 fillet kontrol mempunyai nilai pH sebesar 6,94 yang menandakan ikan dalam keadaan sangat segar, begitu juga untuk untuk parameter nilai TVB sebesar 8,4 mgN/100 gram daging. Farber (1965) menyatakan nilai TVB untuk hasil perikanan jika mempunyai nilai dibawah 30 mgN/100 gram daging, ikan tersebut masih sangat segar. Nilai log TPC saat jam ke-1 sebesar 3,68 CFU/ml dan nilai rata-rata organoleptik mempunyai nilai sebesar 9.

Secara keselurahan saat jam ke-1

kondisi fillet ikan masih sangat segar, sehingga ikan masih berada dalam fase pre-rigor . Pada saat jam ke-5 nilai pH mengalami penurunan menjadi 6,37. Penurunan pH ini disebabkan oleh perubahan kimia yaitu glikogen dirubah menjadi asam laktat akibat proses glikolisis.

Pada tahap ini ikan memasuki

fase rigormortis. Pada fase rigormortis ini terjadi ikatan silang antara aktin dan myosin dengan bantuan ATP sehingga daging fillet ikan menjadi kaku. Nilai TVB dan log TPC mengalami peningkatan seiring dengan berjalannya waktu. Nilai TVB menjadi 19,6 mgN/100 gram daging dan nilai TPC menjadi 5,49 CFU/ml. Peningkatan nilai TVB ini disebabkan oleh kerja enzim protease yang berasal dari dalam daging ikan dan bakteri. Peningkatan nilai log TPC disebabkan oleh suhu dan oksigen sebagai sumber energi bagi bakteri. Pada saat jam ke-10 nilai pH mempunyai nilai terendah yaitu sebesar 5,15 dan nilai log TPC sebesar 6,16 CFU/ml. Pada jam ke-10 ini diduga fillet ikan ini memasuki awal dari fase post-rigor. Pada fase ini fillet ikan memilki jumlah ATP yang hampir habis sehingga daging fillet ikan mulai melunak kembali dan mulai muncul bau ammonia, hal ini dapat dilihat dari nilai organoleptik yang mengalami penurunan menjadi 6,30.

Nilai TVB mengalami peningkatan menjadi

24,08 mgN/100 gram daging, peningkatan ini disebabkan semakin banyak jumlah basa-basa volatil. Pada saat jam ke-13 nilai pH mengalami peningkatan menjadi 6,5. Peningkatan ini disebabkan oleh reaksi autolisis oleh enzim protease yang menyebabkan terurainya protein dalam daging fillet ikan menjadi basa-basa volatile seperti ammonia dalam jumlah cukup besar. Peningkatan jumlah basa volatile ini dapat diketahui dari semakin tinggi nilai TVB yaitu sebesar 26,04 mgN/100 gram daging.

Pada saat ini diduga fillet ikan mengalami

fase post-rigor akhir atau menuju ke awal kebusukan.

Nilai log TPC juga

semakin meningkat yaitu sebesar 6,96 CFU/ml. Peningkatan nilai log TPC ini disebabkan semakin banyak basa-basa volatile yang merupakan sumber nutrisi bagi bakteri.

Nilai organoleptik semakin menurun menjadi sebesar 4,87.

Penurunan ini disebabkan semakin lunaknya daging fillet ikan dan timbulnya bau amonia yang semakin meningkat. Pada proses enzimatis, protein akan diuraikan menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana, seperti peptida, asam amino dan amonia. Hidrolisis protein membentuk sedikit bau purin dan pirimidin (Kreuzer 1965).

4.3.6. Hubungan antar parameter pada fillet pelamuran 10% Hubungan antar parameter pada fillet pelamuran 10% dapat dilihat pada Gambar 14.

10

8,0

30

7,5

25

7,0

20

6,5

15

6,0

10

5,5

5

4

2

6

Log TPC (CFU/ml)

6

Nilai TVB (mgN/100)

Nilai Organoleptik

8

Nilai pH

7

5

4

3 0

5,0

0 0

2

4

6

8

10

12

14

jam kepH TVB Log TPC Nilai Organoleptik

Gambar 14. Hubungan antar parameter pada fillet pelamuran 10%. Pada saat jam ke-1 nilai pH fillet ikan sebesar 6,82. Tingkat keasamaan fillet ikan ini lebih rendah jika dibandingkan fillet kontrol, hal ini disebabkan adanya tanin dan flavonoid yang merupakan asam lemah. Nilai TVB sebesar 7,28 mgN/100 gram daging dan dapat dikategorikan sebagai ikan sangat segar. Nilai TPC sebesar 3,13 CFU/ml. Pada saat ini termasuk ke dalam fase pre-rigor. Pada saat jam ke-5 nilai pH mengalami penurunan menjadi 6,63 dan nilai TVB mengalami peningkatan menjadi 18,48 mgN/100 gram daging begitu juga dengan nilai log TPC mengaami peningkatan menjadi 4,47 CFU/ml. Nilai TVB dan log TPC yang semakin meningkatkan akan menyebabkan penurunan nilai organoleptik menjadi 8,48. Pada saat jam ke-5 ini dapat dikategorikan ikan masih dalam keadaan segar dan awal dari fase rigormortis. Pada saat jam ke-10 nilai pH semakin menurun dan mempunyai nilai sebesar 6,35. Nilai TVB sebesar 21,84 mgN/100 gram daging dan nilai log TPC

5,58 CFU/ml dan nilai organoleptik sebesar 7,72. Pada saat jam ke-10 ini dapat dikategorikan ikan masih dalam batas dapat dimakan dan masih dalam fase rigormortis.

Penurunan pH disebabkan oleh reaksi glikolisis yang

menghasilkan asam laktat. Enzim-enzim protease bekerja untuk menguraikan protein dan menghasilkan basa-basa volatil. Pada saat jam ke-13 nilai pH masih mengalami penurunan yaitu sebesar 6,17 sehingga masih dalam proses glikolisis yang dapat menghasilkan ATP dan daging fillet ikan masih dalam keadaan kaku sehingga nilai organoleptik masih bernilai 7,02. Nilai TVB dan log TPC mengalami peningkatan. Nilai TVB sebesar 24,64 mgN/100 gram daging dan masih dalam kategori batas dapat dimakan. Nilai log TPC sebesar 6,05 CFU/ml. Pada saat jam ke-13 ini fillet ikan masih berada dalam fase rigormortis akhir. 4.3.7. Hubungan antar parameter pada fillet perendaman 10% Hubungan antar parameter pada fillet perendaman 10% dapat dilihat pada Gambar 15.

10

8,0

30

7,5

25

7,0

20

6,5

15

6,0

10

5,5

5

4

2

6

5

4

Log TPC (CFU/ml)

6

Nilai pH

Nilai Organoleptik

8

Nilai TVB (mgN/100)

7

3 0

5,0

0 0

2

4

6

8

10

12

14

Jam kepH TVB Log TPC Nilai Organoleptik

Gambar 15. Hubungan antar parameter pada fillet perendaman 10%.

Fillet perendaman 10% pada saat jam ke-1 memiliki nilai pH sebesar 6,81. Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan fillet kontrol karena adanya asam-asam lemah di dalam senyawa aktif tanin dan flavonoid. Nilai TVB sebesar 6,72 mgN/100 gram daging dan nilai log TPC sebesar 3,72 CFU/ml. Pada saat ini fillet ikan dalam keadaan pre-rigor. Pada saat jam ke-5 fillet ikan masuk ke dalam awal fase rigormortis. Nilai pH mengalami penurunan menjadi sebesar 6,61. Nilai log TPC dan TVB mengalami peningkatan. Nilai TVB sebesar 18,48 mgN/100 gram daging dan nilai log TPC sebesar 5,42 CFU/ml. Semakin meningkatnya nilai TVB dan log TPC menyebabkan semakin menurun nilai organoleptik yaitu sebesar 8,37. Pada saat ini fillet ikan masih dalam keadaan segar. Pada saat jam ke-10 nilai pH mengalami penurunan akibat terbenuknya asam laktat hasil proses glikolisis. Nilai TVB dan log TPC terus mengalami peningkatan seiring dengan berjalannya waktu. Nilai TVB sebesar 19,6 mgN/100 gram daging dan log TPC sebesar 5,94 CFU/ml. Nilai organoleptik mengalami penurunan menjadi 7,07.

Penurunan nilai organoleptik ini disebabkan oleh

berbagai macam enzim protease dan lipase yang bekerja secara tidak terkontrol menyebabkan penurunan nilai tekstur, bau dan kenampakan, Pada saat jam ke-13 fillet ikan masih mengalami penurunan pH atau masih dalam aktivitas glikolisis yang menghasilkan asam laktat.

Nilai TVB dan

log TPC yaitu sebesar 23,24 mgN/100 gram daging dan 6,59 CFU/ml. Nilai organoleptik mempunyai nilai 6,05. Fillet perendaman 10% ini masih dalam keadaan batas dapat dimakan dan masih berada di dalam fase rigormortis.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan Daun jambu biji basah sebanyak 11.000 gram setelah melalui proses pengeringan dan penggilingan dihasilkan 3.000 gram tepung daun jambu biji. Hasil ekstrak air tepung daun jambu biji dihasilkan rendeman sebesar 8% dari berat kering tepung daun jambu biji. Berdasarkan analisis fitokimia secara kualitatif yang telah dilakukan, tepung daun jambu biji memiliki kandungan senyawa tanin sangat kuat dan flavonoid kuat, sedangkan hasil ekstrak air daun jambu biji memiliki kandungan senyawa tanin sangat kuat dan senyawa flavonoid kurang kuat. Nilai TVB pada perlakuan perendaman 10% lebih kecil jika dibandingkan pada perlakuan pelamuran 10%. Perlakuan yang terbaik untuk nilai TVB adalah perlakuan perendaman 10% dan mampu menghambat kebusukan fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) sampai 4 jam jika dibandingkan dengan kontrol. Faktor yang menyebabkan nilai pH rata-rata perlakuan perendaman dan pelamuran lebih rendah dari pada kontrol saat fase pre-rigor adalah adanya tanin dan flavonoid. Nilai pH kontrol memiliki titik terendah pada saat jam ke-10, kemudian nilai pH kontrol mengalami kenaikan kembali. Perlakuan perendaman 10% dan perlakuan 10% sampai jam ke-13 masih mengalami penurunan nilai pH. Laju kenaikan total bakteri perlakuan perendaman 10% lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju kenaikan total bakteri perlakuan pelamuran 10%. Perlakuan yang terbaik untuk nilai TPC adalah perlakuan pelamuran 10%. Nilai organoleptik rata-rata keseluruhan memilki nilai terbaik pada perlakuan pelamuran 10%. Parameter kenampakan memiliki nilai yang tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan. Sedangkan parameter bau dan tekstur memiliki nilai yang berbeda nyata antara kontrol dengan perlakuan pelamuran 10% dan perendaman 10%.

5.2. Saran Tepung daun jambu biji memilki kandungan senyawa aktif berupa tanin, flavonoid, dan minyak atsiri. Senyawa-senyawa ini dapat berfungsi sebagai zat antibakteri. Hasil fillet penelitian ini memilki bau dan warna yang kurang baik. Penelitian selanjutnya diharapkan mengenai : 1) Pemilihan zat pelarut fase organik berdasarkan tingkat kepolarannya agar didapatkan hasil yang maksimal, hasil ekstraknya diharapkan tidak memiliki bau daun jambu biji. 2) Penerapan pada es germisidal. 3) Penerapan pada suhu chilling dan kemasan yang lebih vakum. 4) Kombinasi antara metode pelamuran dengan metode perendaman. 5) Perlu dilakukan uji K-Value. 6) Penggunaan daun jambu biji segar tanpa harus dikeringkan. 7) Penggunaan varietas daun jambu biji yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Agricultural Chemist Publisher.1995. Official Methods of Analisis. Washington DC: AOAC Publisher. [BPOM]. Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2004. Ekstrak Kental Daun Jambu Biji dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia. Vol 1, Jakarta:BPOM. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 01-2729. 1992. Petunjuk Teknis Penilaian Kesegaran Ikan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional Indonesia. Adijuwana, Nur MA. 1989. Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologi. Bogor: PAU IPB. Afrianto E dan Liviawati E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Jakarta : Kanisius. Apriyanti M. 2007. Peranan inhibitor katepsin terhadapa kemunduran mutu ikan nila (Oreochromis niloticus). [skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati Y, Budianto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan : Bogor : Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bets K. 2005. When chlorine and antimicrobials be an unintended consequences. J Environmental Science and Technology 80:234-241. Dahuri R. 2003. Potensi ekonomi kelautan. www.republika.co.id [25 Mei 2008]. [Deptan] Departemen Pertanian, Ditjen Bina Produksi Hortikultura. 2002. Informasi Pengembangan Agribisnis Tanaman Biofarmaka. Jakarta: Deptan. Deshpande S, Cheriyan M, Stalunkhe DK. 1986. Tannins Analysis of Food Product. CRC Critical Revolution Food Science Nutr 24:401-409. Dinu D, Dumitru IF, Nechifor MT. 2002. Isolation and characterization of two cathepsins from muscle of Carassius auratus gibelio. Romania: Faculty of Biology, University of Bucharest, 91-95 Spl. Independentei, 76201 Bucharest. Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Food. Second Edition. Academic Press, inc, San Diego.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Quality and Quality Changes in Fresh Fish. Hush HH (ed). Rome: FAO Fisheries Technical Paper No. 331. 75 pp. 0-65. Farber L. 1965. Freshness test. Di Dalam: Fish as Food Vol IV. Borgstorm G (ed). New York: Academic Press. Fardiaz S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor: LSI: IPB. Foo LY & Porter LJ. 1980. The Phytochemistry of proanthocyanidin polymer. J Phytochemistry 19:1747. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah; Niksolihin S, editor. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Method. Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek : Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil-Hasil Perikanan. Yogyakarta : Liberty. Hemingway RW, Karchesy JJ. (1989). Chemistry and Significance of Condensed Tannins. New York : Planum Press. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Jakarta: Litbang Kehutanan. Terjemahan dari: Indonesian Useful Plant. Ika. 2007. Sudah saatnya nila berjaya. http:/www. Agrina. co.id [20 Mei 2008]. Inayatia. 2007. Validasi metode analisis polifenol pada ekstrak daun jambu biji secara spektrofotometri. [skripsi]. Departemen Kimia. Institut Pertanian Bogor. Inayatib

H. 2007. Potensi antibakteri ekstrak daun kedondong (Spendias dulcis ferit). [skripsi]. Departemen Biologi. Institut Pertanian Bogor.

Jouvenaz DP, Blum MS, Macconnell JG. 1972. Antibacterial activity of venom alkaloids from the imported fire ant, Solenopsis invicta buren. J American Society for Microbiologi. 2(4):291-293. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya. Karou D. 2006. Antibacterial activity of alkaloid from Sida acuta, African Journal of Biotechnology. 5(2):195-200 [terhubung berkala]. http://www.academic journal.org/AJB.

Kim C, Hung YC, Bracket RE. 2000. Efficacy of electrolyzed oxidizing (EO) and chemically modified water on different types of foodborne pathogens. International journal of food microbiology 61:199-207. Kreuzer R. 1965. The Technology of Fish Utilization. England: Fishing News (Books) Ltd. Ludgate House 110 Fleet Street London EC4. Luvianti S. 2006. Performa ayam broiler yang diberi tepung daun salam (Syzygium polyanthum (wight) walp) dalam ransum sebagai antibakteri Escherichia coli. [skripsi]. Departemen Ilmu Nutrisi Makanan Ternak. Institut Pertanian Bogor. Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Padmawinata K, penerjemah. Bandung : ITB Press. Terjemahan dari : Techniques of Flavonoid Identification. Marston & Hestettman. 2006. Flavonoid : Chemistry, Biochemistry and Application. Ed by Andersen OM & Markham KR. Boca roton : CRC Taylor & Francis Group Press. Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya.

Jakarta:

Murniyati AS dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan. Jakarta : Penerbit Kanisius. Nurjanah, Trilaksani W, Kustiariyah. 2004. Teknologi Preparasi Hasil Perikanan. Departemen Teknologi Hasil Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Pelczar MJ, Chan Esc. 1988. Dasar-Dasar mikrobiologi. Jilid 2. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI Press. Terjemahan dari Element of Microbiologi. Purwakusumah EJ. 2003. Tumbuhan Sebagai Sumber Biofarmaka. Bogor : Pusat Studi Biofarmaka. Prayitno T. 2007. Pengaruh frekuensi panen daun terhadap pertumbuhan dan kandungan bahan bioaktif 9 varietas jambu biji. [skripsi]. Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Parimin. 2005. Jambu Biji ”budidaya dan ragam pemanfaatanya”. Jakarta : Penebar Swadaya. Radius DD. 2006. Peluang mengisi pasar ikan nila. http:/www. Kompas. co.id [10 Mei 2008].

Robinson T. 1995. Kandungan organik tumbuhan tingkat tinggi. Ed ke-6. Padmawinata K, penerjemah. Bandung : ITB Press. Terjemahan dari : Organic Constituent of Higher Plant. Rosihun M. 2002. Pengaruh Ekstrak daun sirih (Piper betle, Linn) terhadap kemunduran mutu fillet ikan nila merah (Oreochromis niloticus). [skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid 1 dan 2. Bogor : Bina Cipta. Schunack W, Mayer K, Haake M. 1990. Senyawa Obat. Ed ke-2. Wattimena JR, Subino, penerjemah; Yogyakarta: UGM Press. Siliker JH. 1980. Microbiology Ecology of Food. New York : Academic Press. Siswandono dan Soekardjo B. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya : Airlangga University Press. Soba HS. 2004. Agribisnis: Nila. [10 Mei 2008].

http:/www.suara pembaharuan.co.id

Soekarto ST. 1990. Dasar-dasar Pengenalan Standarisasi Mutu Pangan. Bogor: IPB Press. Sugiharti NP. 2007. Aktivitas antibakeri ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum). [skripsi]. Departemen Biologi. Institut Pertanian Bogor. Suyanto. 1994. Budidaya Ikan Nila. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Syamsuhidayat dan Hutapea. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia I. Departemen Kesehatan RI Jakarta. pp:484-485. Todar K. 1997. The Control of Microbial Growth. Wisconsin: University of Wisconsin. Wahyuni M. 1996. Petunjuk Pelaksanaan Operasi HPLC untuk Pengukuran Mutu Kesagaran Ikan Secara Kuantitatif Metode K-Value (tidak diterbitkan). Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian. Walpole RE. 1992. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Watanabe FW, Ebine H, Okada M. 1974. New Protein Food Technology. Dalam: New Protein Food. Editor Altschul. Food Applied Sci. Publ, London. Winarno, Fardiaz D, Fardiaz S. 1973. Elektroforesis. Bogor: Fatemeta IPB. Winarno

Ekstraksi,

Kromatografi,

dan

MW. 1998. Jambu biji menyetop diare. Http://www.indomedia.com/intisari/1998/November/alternatif.htm [10 Mei 2008].

Yunizal dan Wibowo S. 1998. Penanganan Ikan Segar. Penelitian dan Pengembangan Perikanan.

Jakarta : Pusat

Zaitsev V, Kizeveter l, Lagunov L, Makarova T, Minder L dan Podsevalov V. 1969. Fish Curing and Processing. Moscow : Mir Publisher.

Lampiran 1. Lembar penilaian sensori fillet ikan nila segar Nama Panelis : ………………………… Jam : ………………………….. Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah tanda V pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji. Perlakuan A Spesifikasi 1. Kenampakan -Sayatan daging cemerlang dan berwarna asli (larutan daun jambu biji) -Sayatan daging masih cemerlang, mulai timbul diskolorisasi -Garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis merah kecoklatan dan sedikit terbelah, daging jadi lunak. -Garis tulang belakang maupun linea lateralis merah coklat dan terbelah, daging lunak -Daging membubur 2. Bau -Bau sangat segar, spesifik jenis (bau daun jambu biji kuat) -Bau segar, spesifik jenis (bau daun jambu biji mulai hilang). -Bau kurang segar, sedikit bau amoniak. -Bau amoniak mulai jelas, agak busuk. -Bau amoniak keras dan bau busuk. 3. Tekstur -Elastis, padat dan kompak. -Cukup elastis, agak lunak dan kompak. -Kurang elastis, lunak dan kompak. -Tidak elastis, sangat lunak dan tidak kompak. -Sangat tidak elastis dan membubur. 4. Lendir permukaan badan -Lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah, belum ada perubahan warna. -Lapisan lendir jernih, transparan, cerah, belum ada perubahan warna. -Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. -Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan. -Lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna putih, keruh.. -Lendir tebal menggumpal, berwarna putih kuning. -Lendir tebal menggumpal, warna kuning kecoklatan.

Nilai 9 7 5 3 1 9 7 5 3 1 9 7 5 3 1 9

8 7 6 5 3 1

1

2

Ulangan 3 4

5

Lampiran 2. Hasil organoleptik penelitian pendahulua a). Parameter kenampakan Jam ke-

1

5

10

13

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Ratarata

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Ratarata

A 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

B 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

C 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

D 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

E 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

F 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

9

9

9

9

9

9

A 9 9 9 9 9 9 7 7 7 7 7 5

B 7 7 9 7 7 7 7 7 7 7 7 7

C 7 7 7 9 7 7 7 7 7 7 7 7

D 7 7 7 9 7 7 7 7 7 7 7 7

E 9 9 9 9 9 9 7 7 7 7 7 7

F 9 9 9 9 9 9 9 9 9 7 7 7

7,83

7,17

7,17

7,17

8,00

8,50

1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ratarata

A 5 5 5 5 5 5 7 7 7

B 7 7 7 7 7 7 5 5 5

C 7 7 7 7 7 7 5 5 5

D 7 7 7 7 7 7 7 5 5

E 7 7 7 9 9 9 5 5 5

F 9 9 9 9 9 9 7 7 5

5,67

6,33

6,33

6,56

7,00

8,11

1 2 3 4 5 6

A 5 5 5 3 3 3

B 5 5 5 5 5 5

C 5 5 5 5 5 5

D 5 5 5 5 5 5

E 7 7 7 5 5 5

F 7 7 7 5 5 5

7 8 9 Ratarata

5 5 5

5 7 7

7 7 7

7 7 7

9 9 9

9 9 9

4,33

5,44

5,67

5,67

7,00

7,00

A 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

B 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

C 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

D 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

E 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

F 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

9

9

9

9

9

9

A 5 5 5 7 7 7 7 7 7 7 7 7

B 9 9 9 9 9 9 7 7 7 7 7 7

C 9 9 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7

D 9 9 9 9 7 7 7 7 7 7 7 7

E 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

F 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

6,50

8,00

7,33

7,67

9,00

9,00

b). Parameter bau Jam ke-

1

5

10

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Ratarata

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Ratarata

1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ratarata

A 5 5 5 5 5 5 3 3 3

B 7 7 7 7 7 7 7 7 7

C 7 7 7 7 7 7 7 7 7

D 5 5 5 7 7 7 7 7 7

E 9 9 9 9 9 9 9 9 9

F 9 9 9 9 9 7 7 7 9

4,33

7,00

7,00

6,33

9,00

8,33

1

A 3

B 5

C 5

D 5

E 9

F 9

13

2 3 4 5 6 7 8 9 Ratarata

3 3 3 3 3 3 3 3

5 5 5 5 5 5 5 5

5 5 3 5 5 5 5 5

5 5 5 3 7 7 7 5

9 9 9 9 9 9 9 9

9 9 9 9 9 9 9 9

3,00

5,00

4,78

5,44

9,00

9,00

c). Parameter tekstur Jam ke-

1

5

10

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Ratarata

A 9 9 9 9 7 9 9 9 9 9 9 9

B 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

C 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

D 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

E 9 9 7 9 9 9 9 9 9 9 9 9

F 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

8,83

9,00

9,00

9,00

8,83

9,00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Ratarata

A 5 5 5 5 5 5 7 7 7 7 7 7

B 7 7 7 5 5 5 7 7 7 7 7 7

C 9 9 5 5 7 7 7 7 7 7 7 7

D 9 9 5 5 7 7 7 7 7 7 7 7

E 9 9 9 7 7 7 7 7 7 7 7 7

F 9 9 9 7 7 7 9 9 9 7 7 7

6,00

6,50

7,00

7,00

7,50

8,00

1 2 3 4 5 6

A 5 5 5 3 3 3

B 5 5 5 5 5 5

C 5 5 5 5 5 5

D 5 5 5 5 5 5

E 5 5 5 5 5 5

F 5 5 5 5 5 5

7 8 9 Ratarata

13

1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ratarata

3 5 5

5 5 5

5 5 5

5 5 5

5 5 5

5 5 5

4,11

5,00

5,00

5,00

5,00

5,00

A 3 3 3 3 3 3 3 3 3

B 5 5 5 3 5 5 5 5 5

C 5 5 5 5 3 5 5 5 5

D 5 5 5 5 5 5 5 5 5

E 5 5 5 5 5 5 5 5 5

F 5 5 5 5 5 5 5 5 5

3,00

4,78

4,78

5,00

5,00

5,00

d). Parameter lapisan lendir Jam ke-

1

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Ratarata

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Ratarata

A 9 9 9 8 8 8 9 9 9 9 9 9

B 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

C 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

D 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

E 9 9 8 8 8 9 9 9 9 9 9 9

F 8 8 8 9 9 9 9 9 9 9 9 9

8,75

9

9

9

8,75

8,75

A 9 9 9 9 9 9 7 7 7 8 8 8

B 9 9 9 8 8 8 9 9 9 9 9 9

C 9 9 9 8 8 8 9 9 9 9 9 9

D 8 8 8 9 9 9 9 9 9 9 9 9

E 8 8 8 9 9 9 9 9 9 9 9 9

F 8 8 8 9 9 9 9 9 9 9 9 9

8,25

8,75

8,75

8,75

8,75

8,75

A

B

C

D

E

F

10

13

1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ratarata

1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ratarata

8 8 8 7 7 7 8 8 8

8 8 8 8 8 8 9 9 9

8 8 8 8 8 8 9 9 9

8 8 8 8 8 8 9 9 9

8 8 8 9 9 9 9 9 9

9 9 9 9 9 9 9 9 9

7,67

8,33

8,33

8,33

8,67

9,00

A 5 5 5 6 6 6 6 6 6

B 8 8 8 7 7 7 7 7 7

C 8 8 8 7 7 7 7 7 7

D 8 8 8 7 7 7 7 7 7

E 8 8 8 9 9 9 9 9 9

F 8 8 8 9 9 9 9 9 9

5,67

7,33

7,33

7,33

8,67

8,67

Keterangan A Kontrol B Rendam 10% C Rendam 20% D Rendam 30% E Lamur 10% F Lamur 12,5%

Lampiran 3. Hasil uji kruskal wallis pre-rigor penelitian pendahuluan a). Parameter kenampkan Ranks Test Statistics(a,b)

Chi-Square

Nilai Organoleptik ,000

df

5

Asymp. Sig.

1,000

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Kenampakan pre-rigor pendahuluan

b). Parameter bau Ranks Test Statistics(a,b)

Chi-Square

Nilai Organoleptik ,000

df Asymp. Sig.

5 1,000

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Bau pre-rigor pendahuluan

c). Parameter lapisan lendir Ranks Test Statistics(a,b) Nilai Organoleptik Chi-Square df Asymp. Sig.

10,143 5

,071 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Lendir pre-rigor pendahuluan

d). Parameter tekstur Ranks

Test Statistics(a,b)

Chi-Square

Nilai Organoleptik 4,057

df

5

Asymp. Sig.

,541

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Tekstur pre-rigor pendahuluan

Lampiran 4. Hasil uji kruskal wallis rigor penelitian pendahuluan a). Parameter kenampakan Ranks

Test Statistics(a,b)

Chi-Square

Nilai Organoleptik 20,191

df

5

Asymp. Sig.

,001 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Kenampakan rigor pendahuluan

b). Parameter bau Ranks Test Statistics(a,b) Nilai Organoleptik Chi-Square df Asymp. Sig.

43,275 5 ,000

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Bau rigor pendahuluan

c). Parameter tekstur Ranks Test Statistics(a,b)

Chi-Square df Asymp. Sig.

Nilai Organoleptik 20,481 5 ,001

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Tekstur rigor pendahuluan

d). Parameter lapisan lendir Ranks

Test Statistics(a,b)

Chi-Square df Asymp. Sig.

Nilai Organoleptik 4,594 5 ,467

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Lendir rigor pendahuluan

Lampiran 5. Hasil uji kruskal wallis post rigor awal penelitian pendahuluan a). Parameter kenampakan Ranks Test Statistics(a,b)

Chi-Square df Asymp. Sig.

Nilai Organoleptik 14,548 5 ,012

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Kenampakan post rigor awal pendahuluan

b). Parameter bau Ranks Test Statistics(a,b)

Chi-Square

Nilai Organoleptik 45,377

df

5

Asymp. Sig.

,000

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Bau post rigor awal pendahuluan

c). Parameter tekstur Ranks

Test Statistics(a,b)

Chi-Square df Asymp. Sig.

Nilai Organoleptik 21,200 5 ,001

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Tekstur post rigor awal pendahuluan

d). Parameter lapisan lendir Ranks Test Statistics(a,b)

Chi-Square df Asymp. Sig.

Nilai Organoleptik 23,994 5 ,000

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Lendir post rigor awal pendahuluan

Lampiran 6. Hasil uji kruskal wallis post rigor akhir penelitian pendahuluan a). Parameter kenampakan Ranks Test Statistics(a,b)

Chi-Square

Nilai Organoleptik 18,745

df

5

Asymp. Sig.

,002

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Kenampakan post rigor akhir pendahuluan

b). Parameter bau Test Statistics(a,b)

Chi-Square

Nilai Organoleptik 48,746

df

5

Asymp. Sig.

,000

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Bau post rigor akhir pendahuluan

c). Parameter tekstur Test Statistics(a,b)

Chi-Square

Nilai Organoleptik 42,243

df

5

Asymp. Sig.

,000

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Tekstur post rigor akhir pendahuluan

d). Parameter lapisan lendir Test Statistics(a,b)

Chi-Square df Asymp. Sig.

Nilai Organoleptik 42,553 5

,000 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Lendir post rigor akhir pendahuluan

Lampiran 7. Nilai pH fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan waktu penyimpanan Jam ke 1

5

10

13

A 6,94 6,93 6,94 6,04 6,69 6,37 4,7 5,59 5,15 6,59 6,41 6,5

1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata

B 6,8 6,84 6,82 6,68 6,58 6,63 6,49 6,2 6,35 6,16 6,18 6,17

C 6,8 6,81 6,81 6,55 6,67 6,61 6,39 6,57 6,48 6,18 5,24 5,71

Lampiran 8. Analisis ragam dan uji lanjut bonferroni fillet pH ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan waktu penyimpanan a). Analisis ragam Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: pH Source Corrected Model Intercept Perlakuan

Type III Sum of Squares 5,683(a)

df 11

Mean Square ,517

F 5,453

Sig. ,003

975,758

1

975,758

10299,591

,000

,268

2

,134

1,412

,281

Fase

2,786

3

,929

9,802

,002

Perlakuan * Fase

2,630

6

,438

4,626

,012

Error

1,137

12

,095

Total

982,578

24

Corrected Total

6,820 23 a R Squared = ,833 (Adjusted R Squared = ,681)

b). Uji lanjut bonferroni Multiple Comparisons Dependent Variable: pH Bonferroni 95% Confidence Interval

(I) Perlakuan Perendaman

(J) Perlakuan Pelumuran kontrol

Mean Difference (I-J) -,0900 ,1650

Pelumuran

Perendaman

,0900

,15390

1,000

-,3378

,5178

,2550 -,1650 -,2550

,15390 ,15390 ,15390

,370 ,914 ,370

-,1728 -,5928 -,6828

,6828 ,2628 ,1728

kontrol kontrol

Perendaman Pelumuran

Std. Error ,15390 ,15390

Sig. 1,000 ,914

Lower Bound -,5178 -,2628

Upper Bound ,3378 ,5928

Based on observed means. Multiple Comparisons Dependent Variable: pH Bonferroni

(I) Fase Pre-Rigor

Rigor

(J) Fase Rigor Post Rigor Awal

Std. Error ,17771 ,17771

Sig. ,591 ,002

Lower Bound -,2419 ,3031

Upper Bound ,8786 1,4236

Post Rigor Akhir

,7267(*)

,17771

,009

,1664

1,2869

-,3183

,17771

,591

-,8786

,2419

,5450 ,4083 -,8633(*)

,17771 ,17771 ,17771

,059 ,242 ,002

-,0152 -,1519 -1,4236

1,1052 ,9686 -,3031

Rigor

-,5450

,17771

,059

-1,1052

,0152

Post Rigor Akhir

-,1367

,17771

1,000

-,6969

,4236

-,7267(*) -,4083 ,1367

,17771 ,17771 ,17771

,009 ,242 1,000

-1,2869 -,9686 -,4236

-,1664 ,1519 ,6969

Pre-Rigor Post Rigor Awal

Post Rigor Awal

Post Rigor Akhir

95% Confidence Interval

Mean Difference (I-J) ,3183 ,8633(*)

Post Rigor Akhir Pre-Rigor

Pre-Rigor Rigor Post Rigor Awal

Based on observed means. * The mean difference is significant at the ,05 level.

Lampiran 9. Nilai TVB fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan waktu penyimpanan Jam ke 1

5

10

13

A 8,4 8,4 8,4 19,6 19,6 19,6 24,08 24,08 24,08 26,32 25,76 26,04

1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata

B 7,28 7,28 7,28 18,48 18,48 18,48 21,84 21,84 21,84 24,64 24,64 24,64

C 6,72 6,72 6,72 17,36 16,8 17,08 19,6 19,6 19,6 23,52 22,96 23,24

Lampiran 10. Analisis ragam dan uji lanjut bonferroni TVB ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan waktu penyimpanan a). Analisis ragam Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: TVB Source Corrected Model Intercept Perlakuan Fase Perlakuan * Fase

Type III Sum of Squares 1056,662(a)

df 11

Mean Square 96,060

Sig. ,000

16,477

F 2450,515 200208,33 3 420,333

7848,167

1

7848,167

32,954

2

1019,448

3

339,816

8668,778

,000

18,111

,000

4,260

6

,710

Error

,470

12

,039

Total

8905,299

24

Corrected Total

1057,133 23 a R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = ,999)

,000 ,000

b). Uji lanjut bonferroni Multiple Comparisons Dependent Variable: TVB

Bonferroni

(I) Perlakuan

(J) Perlakuan

Perendaman

Pelumuran kontrol

Pelumuran

Perendaman kontrol

kontrol

Perendaman Pelumuran

Mean Difference (I-J)

Std. Error

Sig.

-1,4000(*) -2,8700(*)

,09899 ,09899

,000 ,000

1,4000(*)

,09899

,000

-1,4700(*) 2,8700(*) 1,4700(*)

,09899 ,09899 ,09899

,000 ,000 ,000

Based on observed means. * The mean difference is significant at the ,05 level.

Lampiran 11. Nilai Log TPC fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan waktu penyimpanan Jam ke 1

5

10

13

1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata

A 3,47 3,89 3,68 5,43 5,54 5,49 6,27 6,04 6,16 6,94 6,98 6,96

B 3,79 2,47 3,13 4,47 4,47 4,47 5,47 5,69 5,58 5,93 6,17 6,05

C 3,77 3,67 3,72 5,47 5,36 5,42 5,93 5,94 5,94 6,27 6,91 6,59

Lampiran 12. Analisis ragam dan uji lanjut Log TPC ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan waktu penyimpanan a). Analisis ragam Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: TPC Source Corrected Model

Type III Sum of Squares 33,491(a)

11

Mean Square 3,045

F 28,960

Sig. ,000

665,075

1

665,075

6326,013

,000

2,599

2

1,299

12,359

,001

30,596

3

10,199

97,008

,000

,296

6

,049

,469

,818

Error

1,262

12

,105

Total

699,827

24

Intercept Perlakuan Fase Perlakuan * Fase

df

Corrected Total

34,753 23 a R Squared = ,964 (Adjusted R Squared = ,930)

b). Uji lanjut bonferroni Multiple Comparisons Dependent Variable: TPC 95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound ,1569 1,0581 -,6056 ,2956

Mean Differenc e (I-J) ,6075(*) -,1550

Std. Error ,16212 ,16212

Sig. ,008 1,000

-,6075(*)

,16212

,008

-1,0581

-,1569

-,7625(*)

,16212

,002

-1,2131

-,3119

,1550

,16212

1,000

-,2956

,6056

,7625(*) Based on observed means. * The mean difference is significant at the ,05 level.

,16212

,002

,3119

1,2131

Bonferroni

(I) Perlakuan Perendam an Pelumuran

kontrol

(J) Perlakuan Pelumuran kontrol Perendam an kontrol Perendam an Pelumuran

Lampiran 13. Hasil organoleptik penelitian utama a). Parameter kenampakan Jam ke

5

10

13

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata

A 7 7 7 7 7 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 8,33

B 7 7 7 7 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 8,47

C 7 7 7 7 7 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 8,33

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata

A 9 7 7 5 7 7 5 7 5 7 5 7 7 5 5 6,33

B 5 5 5 9 9 9 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7,00

C 9 9 5 5 5 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 6,87

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata

A 3 3 3 5 5 5 3 7 5 7 5 7 5 5 7 5,00

B 5 5 5 9 7 5 5 5 7 7 7 5 5 9 7 6,20

C 5 5 5 7 7 5 5 7 7 7 5 7 7 7 7 6,20

b). Parameter bau Jam ke

5

10

13

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata

A 7 7 7 7 7 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 8,33

B 7 7 7 7 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 8,47

C 7 7 7 7 7 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 8,33

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata

A 7 7 7 5 7 5 5 7 5 5 5 5 7 5 5 5,80

B 7 7 7 7 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 8,47

C 9 9 9 7 7 7 7 7 7 7 7 5 5 5 5 6,87

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata

A 3 3 3 3 5 5 3 3 5 5 5 5 3 5 5 4,07

B 7 7 7 9 9 7 9 7 9 7 7 9 7 9 9 7,93

C 5 5 5 7 7 7 5 7 7 5 5 7 5 5 5 5,80

c). Parameter tekstur Jam ke

5

10

13

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata

A 7 7 7 7 7 7 9 9 9 9 9 9 9 9 9 8,20

B 7 7 7 7 7 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 8,33

C 7 7 7 7 7 7 9 9 9 9 9 9 9 9 9 8,20

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata

A 7 7 7 3 5 5 5 7 5 5 5 5 5 7 5 5,53

B 7 7 9 9 7 7 5 7 7 7 5 7 7 7 5 6,87

C 7 7 7 7 5 7 7 7 7 7 7 7 7 7 5 6,73

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata

A 3 3 3 3 5 5 5 3 5 5 3 3 3 5 5 3,93

B 5 5 5 7 7 5 7 5 7 7 7 3 7 7 3 5,80

C 5 5 5 5 7 5 5 5 7 7 3 5 5 5 3 5,13

d). Parameter lapisan lendir Jam ke

5

10

13

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata

A 9 7 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9 9 9 9 8,53

B 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 8,67

C 7 7 8 8 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 8,60

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata

A 7 8 8 7 8 8 7 8 7 6 6 9 8 7 9 7,53

B 9 8 9 8 9 9 9 8 8 9 7 9 8 9 9 8,53

C 7 9 9 8 7 8 7 9 7 8 7 8 9 7 7 7,80

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata

A 5 5 5 6 6 7 6 7 8 7 7 7 5 8 8 6,47

B 7 7 7 8 9 9 9 8 8 7 8 9 8 9 9 8,13

C 6 6 6 6 7 6 7 8 8 8 6 8 7 9 8 7,07

Lampiran 14. Hasil uji kruskal wallis rigor penelitian utama a). Parameter kenampakan Test Statistics(a,b)

Chi-Square

Nilai Organoleptik ,203

df

2

Asymp. Sig.

,904

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Kenampakan Rigor

b). Parameter bau Test Statistics(a,b)

Chi-Square

Nilai Organoleptik ,203

df Asymp. Sig.

2 ,904

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Bau Organoleptik Rigor

c). Parameter tekstur Test Statistics(a,b)

Chi-Square df Asymp. Sig.

Nilai Organoleptik ,185 2 ,912

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Tekstur Rigor

d). Parameter lapisan lendir Test Statistics(a,b)

Chi-Square df Asymp. Sig.

Nilai Organoleptik ,383 2 ,826

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Lapisan Lendir Rigor

Lampiran 15. Hasil uji kruskal wallis post-rigor awal penelitian utama a). Parameter kenampakan Test Statistics(a,b)

Chi-Square

Nilai Organoleptik 2,409

df

2

Asymp. Sig.

,300

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Kenampakan Post Rigor Awal

b). Parameter bau Test Statistics(a,b)

Chi-Square

Nilai Organoleptik 22,107

df Asymp. Sig.

2 ,000

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Bau Post Rigoe Awal

c). Parameter tekstur Test Statistics(a,b)

Chi-Square df Asymp. Sig.

Nilai Organoleptik 11,469 2 ,003

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Tekstur post rigor awal

d). Parameter lapisan lendir Test Statistics(a,b)

Chi-Square df Asymp. Sig.

Nilai Organoleptik 9,842 2 ,007

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Lapisan Lendir post rigor awal

Lampiran 16. Hasil uji kruskal wallis post-rigor akhir penelitian utama a). Parameter kenampakan Test Statistics(a,b)

Chi-Square

Nilai Organoleptik 5,967

df

2

Asymp. Sig.

,051

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Kenampakan post rigor akhir

b). Parameter bau Test Statistics(a,b)

Chi-Square

Nilai organoleptik 32,429

df

2

Asymp. Sig.

,000 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Bau post rigor akhir

c). Parameter tekstur Test Statistics(a,b)

Chi-Square

Nilai Organoleptik 12,809

df Asymp. Sig.

2 ,002

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Tekstur post rigor akhir

d). Parameter lapisan lendir Test Statistics(a,b) Nilai Organoleptik Chi-Square df Asymp. Sig.

14,342 2

,001 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Lendir post rigor akhir