PERBANDINGAN ANTARA HASIL PEMERIKSAAN SITOLOGI

Download komparatif dengan desain penelitian studi cross sectional, Penelitian dilakukan untuk membandingkan hasil pemerilsaan sitologi sikatan naso...

1 downloads 534 Views 7MB Size
Azwar, Perbandingan Antara Hasil Pemeriksaan Sitologi Sikatan dan Biopsi Buta pada Penderita Karsinoma Nasofaring

Perbandingan Antara Hasil Pemeriksaan Sitologi Sikatan dan Biopsi Buta pada Penderita Karsinoma Nasofaring Azwar

Abstrak Diagnosis Karsinoma Nasofaring (KNF) ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi dari jaringan tumor di nasofaring. Metoda biopsi cara buta hanya mampu mengambil spesimen secara tepat sekitar 70olo, sehingga biopsi ulangan masih diperlukan. . Tehnik lain untuk mendapatkan spesimen guna menentukan ada tidaknya sel ganas di nasofaring adalah dengan pemeriksaan sitologi. Dengan pemeriksaan sitologi dicari adanya sel kanker pada bahan hapusan atau aspirasi. Salah satu pemeriksaan sitologi yang dianggap dapat mengambil jaringan di nasofaring adalah cara sikatan. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik komparatif dengan desain penelitian studi cross sectional, Penelitian dilakukan untuk membandingkan hasil pemerilsaan sitologi sikatan nasofaring dengan biopsi buta pada penderita karsinoma nasofaring, Pada penelitian ini didapatkan sensitivitas cara sikatan untuk mendeteksi sel ganas pada penderita karsinoma nasofaring adalah sebesar 75,8yo, spesif,rsitas 100/o, nilai prediksi positif 100%, nilai prediksi negatif 20Yo dan akurasi 77,14oA. Kemampuan sitologi sikatan untuk mengetahui adanya sel ganas pada penderita KNF lebih rendah dibanding biopsi cara bvta.(JKS 2010; i : 1i7- 144) Kata kunci: biopsi buta, sitologi, sikatan Abstract. Diagnose NPC upheld pursuant to result of inspection histopatologi tumor in nasopharynx. Biopsy method of blind only can take specimen precisely about 70o/o, so that restating biopsy still needed, Other technics to take specimen for determine there is malignant cells or not in nasopharynx with inspection of citology. With inspection of sitologi searched the existence of cancer cell from materials of smear or aspiration. One of the inspection sitologi that assumed can take specimen in nasofaring is brush biopsy. This Research represent analytic observasional comparative research with desain study of cross sectional. This research conducted to prove hlpothesis that there is correspondence among the result of inspection citology brush biopsy and blind biopsy in determining there is malignant cells or not at patient of nasopharyngeal carcinoma. At this research has got value of sensitivity brush biopsy to detect malignant cells at patient of nasopharynx carcinoma 75,8yo, spesifisitas 100%, positive predictive value 100%0, negative predictive value 20Yo and accuration 77 ,l{yo. Ability of sitologi brush biopsy to know the existence of malignant cells at NPC patient is lower than blind biopsy.(JKS 2010; 3 : 137 - 144) Keywords : blind biopsy, cytology, brush biopsy

Pendahuluan Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas terbanyak yang ditemukan di daerah kepala dan leher, baik di Indonesia maupun negara-negara di Asia Tenggara. Angka kejadian di Indonesia diperkirakan 5-9 kasus per 100.000 penduduk per tahun.l Gejala dini KNF tidak khas, selain itu letak nasofaring sulit dilihat (tersembunyi)

sehingga seringkali penderita datang

Anvar adalah dosen pada Bagian llmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedolrteran Universitas Syiah Kuala

berobat ke rumah sakit sudah dalam stadium lanjut (III & IV).2 Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas (gold stundard) untuk diagnosis KNF. Dengan

pemeriksaan histopatologi

dapat ganas ditentukan ada atau tidaknya sel dan

jenisnya.3

Diagnosis pasti penyakit kanker selain dengan pemeriksaan histopatologi juga dapat dilakukan secara sitologi. Prinsip pemeriksaan sitologi yaitu mencai adanya sel kanker dari bahan hapusan atau aspirasi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa sel-sel displasia dan sel-sel kanker cenderung memiliki hubungan yang lemah (longgar) arfiara satu sama lain juga terhadap sel normal di dekatnya sehingga 137

JURNAL KEDOKTERAN SYUH KUALA Volume

mudah terlepas (exfoliative cancer cells) dan berkumpul di permukaan lesi (tumor). Salah satu cara untuk memperoleh bahan transepitel dengan gambaran seluler yang terdiri dari lapisan basal, intermediate dan superfisial yaitu dengan melakukan sikatan (brushing) pada lesi tersebut.a Cara sikatan untuk pemeriksaan sitologi sudah sering dilakukan untuk diagnostik kanker leher rahim, kolorektal, esofagus dan trakeobronkial.s'6 Li, et al.1 membandingkan cara sikatan dan biopsi

untuk menegakkan diagnosis adeno karsinoma pada kolon. Didapatkan sensitivitas sitologi sikatan sebesar 73,50 , sedangkan menggunakan biopsi sebesar 84,2yo. Teknik sikatan juga sudah pernah dilakukan untuk tumor nasofaring. Hariwiyanto dkks membandingkan metode sikatan dengan biopsi buta untuk mengetahui adanya keganasan di nasofaring. Dengan metode sikatan didapatkan nilai sensitivitas sebesar 8602, spesifisitas 76,50A dan nilai akurasi sebesar 83,3oA. Beberapa keuntungan dari pemeriksaan sitologi sikatan antara lain mudah dikerjakan, lokasi pengambilan sampel lebih luas, lebih banyak sel-sel epitel yang diperoleh, tanpa anestesi lokal,

perdarahan sangat minimal, tidak atau sangat sedikit menimbulkan rasa sakit, hasilnya relatif cepat dan lebih murah.8-10 Yang menjadi masalah dalam penelitian

ini

adalah "Apakah ada kesepadanan antara hasil pemeriksaan cara sikatan dengan biopsi buta nasofaring dalam menentukan ada atau tidaknya sel ganas pada penderita karsinoma nasofaring?"

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Tujuanumum Menganalisis kesepadanan antara hasil pemeriksaan cara sikatan dan biopsi buta nasofaring dalam menentukan ada ata:u tidaknya sel ganas pada penderita karsinoma nasofaring. 2. Tujuan khusus a.Mendapatkan nilai sensitivitas dari pemeriksaan cara sikatan pada penderita KNF.

l0

Nomor

3 Desember 2010

b.Mendapatkan

pemeriksaan

nilai spesifisitas dari cara sikatan pada

penderita KNF.

c.Mendapatkan

nilai prediksi

dari

pemeriksaan cara sikatan pada penderita KNF.

d.Mendapatkan nilai akurasi dari pemeriksaan cara sikatan pada penderita KNF. e.Menganalisis perbedaan dan asosiasi antara pemeriksaan cara sikatan dan biopsi buta pada penderita KNF.

Karsinoma nasofaring (KNF) adalatr keganasan epitelial berasal dari elemen

epitel maupun kripta yang

ada

dipermukaan nasofaring.ll'12 t okasi terjadinya KNF paling sering di fosa Rosenmuller, diikuti sekitar tuba Eustachius, dinding posterior dan atap nasofaring.l

l'13

Angka kejadian KNF tertingg di dunia yaitu 10-150 kasus tiap 100.000 penduduk

per tahun ditemukan di

propinsi Guangdong (Cina Selatan), Hongkong dan daerah yang. banyak ditempati oleh imigran Cina.' Berdasarkan histopatologi pemah dilaporkan angka prevalensi KNF di Indonesia 4,7 per 100.000 penduduk per tahun. Surabaya, KNF menempati urutan ke lima setelah tumor ganas leher rahim, payadara, ovarium dan jaringan

Di

lunak.ta Data tahun 2000-2002 di poliklinik onkologi THT RSU Dr. Soetomo Surabaya menunjukkan jumlah penderita KNF menduduki urutan pertama

diikuti karsinoma hidung dan

sinus,

karsinoma rongga mulut dan karsinoma laring.l5 Etiologi KNF bersifat multifaktorial. Saat ini telah di ketahui ada tiga faktor yang dianggap mempunyai potensi besar untuk timbulnya KNF yaitu virus Epstein-Barr

(EBV), karsinogen lingkungan kerentanan genetik

( HLA,

dan reseptor sel

T)."''u Sel kanker merupakan sel tubuh yang berubah menjadi ganas. Transformasi keganasan didasari oleh mutasi protoonkogen ( gen sel yang normal ) 138

Azwar, Perbandingan Antara Hasil Pemeriksaan Sitologi Sikatan dan Biopsi Buta pada Penderita Karsinoma Nasoforing

menjadi onkogen. Sel yang mempunyai onkogen akan mengalami transformasi menjadi sel kanker." Mutasi antara lain disebabkan oleh karena insersi DNA EBV ke DNA sel inang. Adanya ikatan antara inti virus dengan inti sel inang yang diikuti penggabungan DNA virus dan DNA sel inang akibatnya akan terjadi perubahan

urutan basa nukleotida

berupa atau perpindahan basa nukleotida. Mutasi gen pada materi genetik dapat menimbulkan perubahan atau kelainan yang berpengaruh terhadap struktur dan fungsi sel. Perubahan tersebut berupa kemampuan untuk berproliferasi, diferensiasi dan immortalitas.ls'le Gejala KNF berkaitan dengan lokasi tumor primer di nasofaring derajat dan arah Berdasarkan penyebarannya. perkembangan tumor, gejala KNF dapat dibagi dalam gejala dini dan lanjut. Gejala dini meliputi gejala hidung dan telinga. Gejala hidung dapat berupa epistaksis berulang yang biasanya sedikit dan bercampur ingus, kadang ada sumbatan (buntu) hidung dan suara bindeng. Gejala telinga yang paling sering adalah kurang pendengaran unilateral. Ini disebabkan tumor yang membuntu saluran tuba sehingga mengakibatkan otitis media serosa. Gejala tinitus, terjadi hampir pada sepertiga penderita. Diagnosis KNF terutama ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, radiologis dan histopatologi. Pemeriksaan histopatologi dari jaringan hasil biopsi nasofaring saat ini diakui sebagai baku ernas (gold standard) unfi,tk menegakkan diagnosis KNF.4 Biopsi buta (blind biopsy) transnasal hanya dilakukan jika tidak tersedia peralatan nasoendoskopi. Pada biopsi buta tumor berukuran kecil dapat terlewatkan, juga dapat terjadi trauma pada bagian posterior konka inferior sehingga menimbulkan epistaksis.2 Terdapat dua jenis perneriksaan patologi anatomi yaitu pemeriksaan histopatologi

penambahan, p€flgurangan

dan sitologi. Pemeriksaan histopatologi bertujuan memeriksa jaringan tubuh,

sedangkan pemeriksaan

sitologi penyusun jaringan tubuh. Berdasarkan sampel yang macam diperiksa, terdapat

memeriksa kelompok

sel

dua

pemeriksaan sitologi, yaitu sitologi eksfoliatif dan sitologi aspirasi. Ada beberapa cara atau tehnik pengambilan bahan untuk pemeriksaan sitologi eksfoliati{, yaitu dengan melakukan swab (smear) menggunakan jafl telunjuk, aplikator kapas, kanula penghisap atau

sikatan di nasofaring. Pemeriksaan sitologi dapat digunakan untuk 2 tujuan, diagnosis dan skrining. Ketepatan diagnosis sitologi dapat ditingkatkan dengan memperbaiki berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor tersebut adalah pengambilan

sampel, pengolahan sampel

di

laboratorium serta pemeriksaan.a

Metode Penelitian

ini

Penelitian

merupakan penelitian observasional analitik komparatif dengan desain penelitian studi cross sectional. dilakukan

untuk pemeriksaan sitologi sikatan nasofaring dengan biopsi buta pada penderita karsinoma nasofaring. Sampel diambil dengan cara consecutive s ampling. Penderita karsinoma nasofaring yang telah memenuhi kriteria penelitian diikutkan sebagai sampel. Penelitian

membandingkan

hasil

Variabel yang diteliti

1. Hasil

pemeriksaan

sitologi

dari

jaringan (tumor) nasofaring yang diperoleh dengan cara sikatan.

2.

Hasil pemeriksaan histopatologi dari jaringan (tumor) nasofaring yang diperoleh melalui biopsi nasofaring cara buta.

Data yang didapat dilakukan tabulasi, disajikan secara deskriptif. Selanjutnya dilakukan Analisis statistik inferensial menggunakan uji Mc Nemar dengan tingkat kemaknaan (alpha) yang ditetapkan 139

I I

JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume l0 Nomor sebesar 0,05 (57o) untuk membandingkan ketepatan diagnosis hasil pemeriksaan

i

Desember 2010

(94,29%) didapat hasil positif KNF dengan

biopsi pertama, 2 penderita (5,71%) didapat hasil negatif KNF. Pada pemeriksaan sitologi cara sikatan , 25 penderita (71,43%) didapat positif sel

sikatan dan biopsi cara buta pada penderita Sedangkan untuk mengetahui adakah hubungan hasil pemeriksaan cara

KNF.

sikatan dan biopsi buta, dilakukan uji

ganas dan 10 penderita Q8,57Y$ tidak didapatkan sel ganas. Data dasar penelitian meliputi distribusi umur dan jenis kelamin, histopatolog dan stadium klinis penderita KNF.

asosiasi Kappa.

Ifasil Penelitian Pada pemeriksaan histopatologi dengan metoda biopsi cara buta, 33 penderita

1.. Distribusi umur danjenis kelamin

Tabel 1. Distribusi umur dan jenis kelamin Umur

Laki-laki ?

1t-20 2t-30 3t-40 4t-50 s1-60

6t-10 Jumlah

I 7 8 8

)

26 2.

Perempuan

% 2,86

?

%

20 22,86 22,86 5,77 74.29

;

11,43

t1

J

8,57

11

2

sJ_t

10

? 1

9

2

25.7t

35

Total % 2,86 31,43 31,43

28,57 s.71

100

Distribusi Histopatologi

Tabel 2. Distribusi jenis histopatologi No.

1. 2. 3.

WHO tipe WHO tipe WHO tipe

I

II III

Jumlah

2 33 35

5,71

94,29 100 \

140

Any,ar, P erbandingan Antar a Hasil P emeriks a an Sitologi Sikntan dan Biopsi Buta pada Penderita Karsinoma Nasofaring

3.

Stadium klinik Tabel 3. Stadium klinis

Stadium Stadium Stadium Stadium Stadium

JumIah

I II III

I

Jumlah

Ilasil Pemeriksaan Sitologi

dan

Ilistopatologi Semua penderita yang memenuhi kriteria penelitian dilakukan pengambilan jaringan (spesimen) dengan cara sikatan, setelah itu biopsi cara buta. Dari 35 sampel yang telah memenuhi kriteria penelitian didapatkan hasil sebagai berikut : a. Sikatan Dengan cara sikatan didapatkan positif sel ganas pada 25 penderita (71,43%) dan 10 penderita (28,57%) negatif (tidak ada sel ganas). b. Biopsi buta Pada biopsi cara buta 33 penderita

(94,29%) positif didapat sel ganas dengan biopsi pertama, hanya 2 penderita (5,7 l%) negatif. Pembahasan

Penelitian ini berlangsung selama kurun rvaktu Agustus 2005 sampai Desember 2005 hingga didapatkan 35 sampel penderita karsinoma nasofaring. Sampel

pada penelitian ini diambil secara consecutive sampling, yaitu setiap penderita KNF baru yang datang berobat di Uzu THT RSU Dr. Soetomo dan telah memenuhi kriteria penelitian dimasukkan sebagai sarnpel penelitian. Penelitian ini berupaya membuktikan hipotesis bahwa ada kesepadanan antara hasil pemeriksaan sitologi sikatan dan biopsi buta dalam menentukan ada atau tidaknya sel ganas pada penderita

karsinoma nasofaring. Hasil

uji

6 22

2,86 17,14 17,14 62,86

35

100

6

IV

cara

%

sikatan sebagai uji diagnostik yang diteliti dibandingkan dengan biopsi buta sebagai baku keemasan. Uji banding ini ingin menguji hipotesis bahwa diantara kedua cara pemeriksaan tersebut tidak terdapat terdapat hubungan (p < 0,05).

Dari 35

penderita yang mengikuti

penelitian didapatkan penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan sebesar 2,9 : l. KNF lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan wanita dengan perbandingan 2-3 : l.12'1620 Banyaknya pada jenis kelamin laki-laki diduga karena resiko kontak dengan EBV lebih banyak pada laki-laki dibanding wanita. Usia paling banyak menderita karsinoma nasofaring pada penelitian ini adalah pada kelompok umur 4l-50 tahun sebesar 31,43 %. Ini sesuai dengan Chials yang menyatakan insiden KNF mulai ditemukan pada dekade kedua dan mencapai puncaknya pada dekade keempat.

fNf

Dari 35 penderita KNF yang diteliti didapatkan 33 penderita (94,29Yo) dengan dan 2

jenis histopatologi WHO tipe

III

penderita (5,71%) dengan

jenis histopatologi WHO tipe II. Tidak didapatkan KNF dengan jenis WHO tipe I. Di Indonesia paling sering diketemukan

jenis WHO tipe III. pada penelitiannya

Soetjipto2l

di Bagian THT RSCM

Jakarta (1980-1984) mendapatkan jenis WHO tipe I, II dan III sebanyak 7,87Yo, 2,5Yo dan 89,630 . Sedangkan Roezin22 ditempat yang sama mendapatkan angka 9,09Yo, I 1,3 6Yo dan 7 9,5 4Yo.

r4t

JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALAVolume 70 Nomor

Sebagian besar (80%) penderita KNF pada

penelitian ini ditemukan pada stadium lanjut (III dan IV). Hal ini disebabkan etiologi yang multifaktorial, gejala awal yang tidak khas maupun letak nasofaring pada daerah yang relatif tersembunyi. Bila penderita datangberobat pada stadium dini

tidak jwarrg dokter tidak

mencurigai

adany a karsinom a naso farin g.

Pada pemeriksaan sitologi dengan cara sikatan dari 35 penderita KNF didapat hasil positif sel ganas sebanyak 25 " penderita (71,43%) dan hasil negafif sebanyak l0 penderita (28,57Y). Hasil ini sedikit lebih tinggi dibanding hasil yang didapat HariwiyantoE dengan hasil positif pada4l penderita (68,33%) dari 60 sampel yang diteliti. Dari 35 penderita yang dilakukan biopsi buta (biopsi pertama) untuk pemeriksaan histopatologi, didapat hasil positif pada 33 penderita (94,29%). 'Ada 2 penderita {5,71%) hasil negatif dengan biopsi cara buta. Pada penderita dengan hasil negatif ini tidak dilakukan biopsi ulang karena jika biopsi carabuta dilakukan pada hari yang berbeda dengan sikatan hasilnya tidak mernenuhi syarat sebagaimana suafu penelitian cross sectional. Hasil positif dengan biopsi cara buta pada penelitian ini hampir sama dengan hasil yang diperoleh Hadir yaitu sebesar 97,25Yo. Hal ini bisa dimaklumi karena sebagian besar (8070) penderita datang sudah pada stadium lanjut (III dan IV) dimana tumor sudah meluas

ke fosa nasal dan parafaing

sehingga dengan biopsi cara buta dapat diperoleh jaringan tumor dengan mudah. Cara sikatan untuk menentukan ada atau tidaknya sel ganas pada penderita KNF perlu dilakukan uji statistik agar dapat dinilai validitasnya sebagai suatu alat untuk mengetahui ada tidaknya sel ganas pada bahan jaringan yang diambil dari nasofaring. Kelebihan cara sikatan antara lain rasa sakit minimal sehingga lebih nyaman bagi pasien, lebih mudah dart sederhana, cepat dan lebih murah. Pada penelitian ini ditemukan sensitivitas cara sikatan untuk mendeteksi sel ganas

3

Desember 2070

pada penderita karsinoma nasofaring adalah sebesar 75,8yo. Hasil ini menunjukkan bahwa cara sikatan memiliki ketepatan sebesar 75,8yo untuk mendeteksi adanya sel ganas pada penderita yang secara klinis karsinoma nasofaring dan menunjukkan 24,2Yo yang tidak akan terdeteksi (negatif palsu). Hariwiyantos mendapatkan sensitifitas cara sikatan dalam mendeteksi keganasan di nasofaring lebih tinggi sebesar 86yo, sedangkan

Chang lebih rendah sebesar

69,l%0.

Adanya perbedaan nilai sensitifitas cara sikatan ini kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan ala\ keterampilan pelaksana, pengolahan bahan di laboratorium dan kekeliruan dalam membaca hasil. Dari hasil yang diperoleh tampak bahwa cara sikatan memiliki kemampuan lebih rendah dalam menenfukan penderita yang benar-benar positif menderita karsinoma nasofaring dibandingkan biopsi buta. Dengan hasil ini, kalau cara sikatan dipilih sebagai alat unfuk menentukan ada atav tidaknya sel ganas pada penderita yang secara klinis karsinoma nasofaring, akan berisiko 24,2oA penderita tidak terdeteksi dengan pemeriksaan ini. Hasil cara sikatan yang lebih rendah dibanding biopsi cara buta karena terbatasnya kemampuan cara sikatan dalam memperoleh jaringan (spesimen) dibandingan biopsi buta. Cara sikatan masih lebih baik dibandingkarL cara swab dalam mendapatkan sel-sel yaflg mengalami eksfoliasi di nasofaring dengan nilai sensitivitas masing-masing 77o/o dan 60Yo.23'24 Namun masih lebih rendali dibanding cara mendapatkan sel-seI ganas

yang mengalami eksfoliasi

dengan

pengisapan seperti yang dilakukan Hanji (1983) dengan hasil positif pada 405 kasus (88,4%). Kelemahan cara sikatan karena cara ini tidak dapat rnengangkat keseluruhan sel-sel epitel seperti pada biopsi buta. Walaupun dengan cara sikatan

terkadang dapat mengangkat sampai lapisan subepitel atal lapisan propria. Karena KNF merupakan tumor ganas epitelial dengan gambaran makroskopik yarig paling sering ditemukan bentuk 142

:

,1

t I {

I I

I

l

I II I t I

l

tr E t

t I

Azw ar, P erbandingan Ant ara Hasil P emeril
raised area maka peluang mendapatkan sel-sel epitel ganas yang mengalami

ditolak. Cara sikatan tidak dapat dipakai sebagai pengganti (alternatif) biopsi buta.

eksfoliasi cukup besar.2a

ini cara sikatan didapatkan nilai prediksi positifirya sebesar 100%. Pada penelitian

Kesimpulan

Artinya, seluruh pendoita yang

1. Cara sikatan tidak dapat dipakai

dikategorikan positif oleh cara sikatan akan dikategorikan positif pula oleh biopsi buta. Dengan deruikian hasil positif yang

diperoleh dengan cara sikatan pada penderita KNF mempunyai kemungkinan sebesar 100% benar penderita tersebut pasti terdapat sel ganas. Angka ini sedikit lebih tinggl dari Hariwiyantoo yurg mendapatkan angka sebesar 90,2%. Nilai prediksi negatif cara sikatan rendah yaitu sebesar 20%. Artnya, hanya 20% fuiriah oraog yang dikategorikan negatif olel cara sikatan akan dikategorikan negatif pula oleh cara biopsi buta. Dengan demikian hasil negatif yang diperoleh dengan cara

sikatan pada penderita KNF

KNF

mempunyai

angl'a

Saran

1. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mernbandingkan hasil pemeriksaan cara swab, sikatan , biopsi buta dan

biopsi

dengan

2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kesesuaian dalam menentukan stadium antara pemeriksaan klinis, endoskopis dan radiologis (CT Scan).

Daftar Pustaka 1 Her, C. Nasopharyngeal Cancer and

2.

sebesar 14,3Yo.

3. Hadi, W. Aspek klinis dan

the

Southeast Asian Patient. Am Fam Physician. 200l .(63):17 7 6-82, l7 85

& Diagnosis Nasopharyngeal Carcinoma. Chang, Ed.

Stanley, R.E. Clinical Presentation

in

Singapore: Armour Publishing. 1997: 29-35

terhadap

pemeriksaan cara sikatan dan biopsi buta terdapat perbedaan dalam menentukan ada atau tidaknya sel ganas pada penderita KNF dan ada hubungan antara hasil pemeriksaan cara sikatan dan biopsi buta. Sitologi sikatan memiliki validitas tinggi jika berkorelasi kuat (tidak ada perbedaan dan ada hubungan) dengan biopsi buta. Pada penelitian ini terdapat perbedaan serta ada hubungan hasil pemeriksaan cara sitologi sikatan dan biopsi buta. Dengan

tuntunan

nasofaringoskopi.

kebenman sebesar 77,14yo. Angka ini sedikit lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Hariwiyantos yang mendapatkan angka sebesar 83,3yo. Namun lebih baik dat', yang diperoleh Sutjipto2l yang hanya

Hasil analisis statistik

ada

atau tidaknya sel ganas pada penderita KNF. Cara sikatan dapat digunakan sebagai tindakan pendahuluan pada penderita KNF yang tidak memungkinkan dilakukan biopsi buta.

2.

hanya

mempunyai kemungkinan benar sebesar 20% bahwa pada penderita tersebut tidak terdapat sel ganas. Pada penelitian ini didapatkan angka akurasi cara sikatan sebesar 77,14oh. Artinya, jika dibandingkan dengan biopsi buta maka pemeriksaan cara sikatan pada

penderita

sebagai alternatif (pengganti) dari

biopsi buta dalam menentukan

karsinoma nasofaring

FK Soetomo Surabaya. LablSMF Unair,&"SU Dr Soetomo Surabaya.

Unair/RSU

THT

FK

histopatologi

di LablSMF TI{T

Dr

1998.

4. ljahjono. Deteksi dini kanker :

Peran

pemeriksaan sitologi dan antisipasi era pasca genom. Pidato Penerimaan Guru Besar Universitas Diponegoro Semarang. I 998.

5.

Kooning, P.P., Dickinson, K., Schlaerth, J.B. A

randomized clinical

trial

comparing

the

Cytobrush and cotton swab for Papanicolaou smears. Obstetrics & Gynecology. 1992.80: 241-245.

demikian maka hipotesis penelitian ini

143

JURNAL KEDOKTERAN SYUH KUALA Volume

6.

Sheen, T.S, Ko, J.Y., Chang, Y.L. Nasopharyngeal swab and PCR for screening of nasopharyngeal carcinoma in the endemic area: a good suplement to serologic screening, HeadNeck, Dec. 1998. 20(8):732-8.

7.

Li, S.Q., Orr, J.E., Alleu E.A. Colonic Brushing Cytopathology and its correlation with Tissue Biopsies. 1989

Hariwiyanto, B., Joko, B.U.,Tan, I.B. Brushing

method for malignancy detection

in

ENT Department Sardjito Hospital-Faculty of Medicine Gadjah Mada nasopharinx.

University. Yogyakarta. 200 1 9.

l0

Tune, C.E., Liwaag, P.G., Freemarl J.L. Nasopharyngeal Brush Biopsies and Detection

of

Nasopharyngeal Cancer

in a

High-Risk

Population, in Journal of the National Cancer

Institute. 1999.91a (9): 796-800. 10. Lunardhi, J.H. Diagnostik tumor dengan biopsi

jarum halus. Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar. Airlangga University Press. 2005. 11. Ballenger,

J.J. Anatomi bedah faring, Dalam

Penyakit telinga hidung tenggorok, kepala dan leher. ed. Ballenger, J.J, edisi ke 13. Jakarta: Bina Rupa Aksara. 1993: 318-27. 12. Vasef,, M.A., Ferlito, A., Weiss, L.M. Clinicopathological Consultation : Nasopharyngeal Carcinoma, with Emphasis on its Relationship to Epstein-Barr Yirus, in Ann Otol Rhinol Laryngol. 1997 .(106):348-53.

Nomor 3 Desember 2010

Molecular Origin of Cancer, ed. Weinberg RA, Lange Medical Book.Massachussets: CSH Laboratory press. I 989: 260-7 7

19.

Putra, S.T.Patobiologi Kanker dan Perkembangannya.Simposium Onkologi Dasar, Konas II POI, Surabaya.l993:8-34.

20. Chew, C.T.Nasopharynx (the postnasal space), in Scott-B rown's Otolarytgolagr, Butterworth, sthEd. I 987.(

t.4):312-330.

21. Sutjipto.Peranan swab dan washing secara.avue pada diagnosis tumor ganas nasofaing, Lab I SMF'THT EK Unair / RSU Dr Soetomo 22. Roezin, A.Deteksi dan pencegahan karsinoma

dan deteksi dini penyakit kanker, Susworo \ ljarta A dkk, eds. POI.Jakaria:UI- Press. I 983 : 27 4-288 nasofaring, dalam Pencegahan

23. Lau, S.K., Hsu, C.S., Sham, J.S., Wei, W.I. The

cytological diagnosis of

carcinorna using Cytopathologt.

nasopharyngeal

a silk swab stick, in

1997 .

5(2): 239-46.

24. Tjekeg, M., Rifki, N., Pandi, P.S., Gambaran Makroskopik Karsinoma Nasofaring (Evaluasi pada 51 kasus), dalamKumpulan Naskah llmiah

Kongres Nasionsl YII Perhati, Surabaya.l983: 782-786

III, H.8., Slavit, D.H. Nasopharyngeal Cancer, in Head and Neck Surgery Otolaryngologt, Bailey BJ, ed. Philadelphia:

13. Neel

Lippincott Co. 2001: 1257-1273.

14. Martoprawiro, S.S., Sandhika, W., Fauziah, D.

Aspek patologi tumor THT -kepala leheq

dalam Naskah lengkap PKB ilmu penyakit THT

KL;

Perkembangan terkini diagnosis dan

penatalalcsanaan tumor ganas THT- KL, Mulyag'o, dkk eds. Surabaya. 2002:9-37.

15. Mulyarjo. Epidemiologi dan gambaran klinik karsinoma nasofaring, dalam Naskah lengkap Simposium kanker nasofaring dan demo biopsi nasofaring dengan tehnik aspirasi jarum halus. Surabaya. 2A03: l-6.

K.S., Lee, H.P. Epiderniology in Nasopharyngeal Carcinoma, Chang, Ed.

16. Chia,

Singapore:Armour Publishing .l99T : 29 -3 5

17. Putra, S.T.Konsep patobiologi dan imun mukosal, dalam Imunologi mukosal, Soeparto, P., Judayana, F.M., Putra, S.T., Marto Sudarmo, S, eds, GRAMIKFK Unair.1997:2748.

18.

Keiff, E., Leibowitz, D. Herpesviruses,

in

Oncogenesia by Oncogenesia and the 1.44