PERBANDINGAN BEBERAPA METODE ANALISIS HISTAMIN UNTUK PRODUK

Download HPLC derivatisasi post-kolom merupakan metode yang optimal saat ini untuk menentukan kadar ... Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), a...

0 downloads 486 Views 337KB Size
PERBANDINGAN BEBERAPA METODE ANALISIS HISTAMIN UNTUK PRODUK PERIKANAN Hedi Indra Januar*) ABSTRAK Studi ini bertujuan untuk membandingkan beberapa metode dalam penentuan kadar amina biogenik histamin. Diketahui, kadar histamin merupakan salah satu parameter yang penting sebagai standar kualitas produk perikanan. Metode yang dibandingkan meliputi metode menggunakan spektrofluorometri, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), dan Capillary Electrophoresis/Capillary Zone Electrophoresis (CE/CZE). Hasil perbandingan menunjukkan bahwa baik dari sisi ketidakpastian yang mungkin ditimbulkan dari metodenya serta hasil uji kelayakan laboratorium di Eropa, metode HPLC derivatisasi post-kolom merupakan metode yang optimal saat ini untuk menentukan kadar histamin secara kuantitatif. Akan tetapi, untuk pertimbangan efisiensi waktu, maka studi ini mengusulkan bahwa penggabungan metode ELISA kualitatif dan HPLC kuantitatif sangat baik dijadikan sebagai standar metode penentuan histamin di laboratorium pengujian produk perikanan. ABSTRACT:

The comparison of several histamine analysis methods for fisheries products. By: Hedi Indra Januar

Histamine content is one of standard parameters for the quality control of fisheries products. There are several methods that have been widely employed to determine the content of histamine, including spectrofluorometry, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), and Capillary Electrophoresis/Capillary Zone Electrophoresis (CE/CZE) methods. The comparison of these methods was performed based on their uncertainty and proficiency at several laboratories in Europe. The result showed that the HPLC method with post-column derivatization is the most optimized method. However, based on the time efficiency, this study suggests that the combination of both qualitative ELISA method and quantitative HPLC method is preferred for daily routine analysis of histamine. KEYWORDS:

histamine, fluorometry, chromatography, elisa, capillary elektroforesis

PENDAHULUAN Produk perikanan merupakan sumber protein, lemak, dan vitamin. Namun setelah ikan mati, enzimenzim dari bakteri yang tumbuh di dalamnya dapat dengan segera mengkatalisis reaksi yang menghasilkan amina biogenik, termasuk histamin, yang bersifat toksin (Moreno & Torres, 2001). Permasalahan histamin ini termasuk tiga besar problem kesehatan publik yang kerap muncul dari makanan laut (Kaneko, 2000a). Ikan yang masih segar memiliki kandungan histamin lebih kecil dari 10 ppm. Kadar histamin di antara 30–50 ppm mengindikasikan penurunan mutu yang signifikan, sedangkan kadar 50 ppm ke atas merupakan bukti bahwa ikan mengalami dekomposisi yang tinggi (Rogers & Staruszkiewicz, 2000). Batas-batas konsentrasi histamin tersebut menunjukkan bahwa kadar senyawa ini merupakan parameter yang penting dalam kualitas produk perikanan. Walaupun

*)

melalui pengamatan secara sensori oleh panelis yang berpengalaman mampu membedakan antara ikan yang memiliki kadar histamin tinggi dan rendah, namun metode kontrol histamin yang diakui hanya database ketertelusuran pascapanen dan random sampling pengukuran kuantitatifnya (Kaneko, 2000b). Oleh karena itu, berbagai metode instrumentasi tel ah dikem bangkan untuk menganalisis kadar histamin dari produk perikanan secara cepat, akurat, dan efisien, hal inilah yang mendasari penulisan ini. Tulisan ini akan menguraikan secara umum metode standar dalam melaksanakan pengukuran kuantitatif kadar histamin. Selanjutnya dipaparkan hasil uji kelayakan beberapa laboratorium di Eropa beberapa waktu lalu yang mengaplikasikan metode berbeda dan perbandingan kemungkinan variabel ketidakpastian metodenya. Setelah itu, secara subjektif, diusulkan pengujian yang optimal untuk analisis histamin dari produk perikanan.

Peneliti pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan

48

Squalen Vol. 4 No. 2, Agustus 2009

METODE INSTRUMENTASI PENGUKURAN KADAR HISTAMIN Pada saat ini , berbagai metode telah dikembangkan untuk mengukur kadar histamin, mulai dari prosedur yang menggunakan spektrofluorometer, HPLC, derivatisasi pre-kolom, HPLC derivatisasi postkolom, (CE/CZE), hingga metode baru yang menerapkan kemampuan reaksi enzim terhadap histamin, yaitu ELISA. Secara garis besar, bagan pada Gambar 1 menunjukkan alur kerja metode-metode tersebut.

menggunakan kolom penukar ion karena OPA juga dapat bereaksi dengan amina biogenik lain yang terbentuk bersama dengan histamin. High Performance Liquid Chromatography (HPLC) Metode ini memiliki dua cara berdasarkan detektornya. Pertama adalah dengan menggunakan f luorosensi sedangkan yang kedua dengan menggunakan ultraviolet (Smela et al., 2003). Pada metode yang menggunakan fluorosensi, senyawa

(a)

Ekstraksi sampel

Purifikasi Kolom Penukar ion

Derivatisasi OPA

Detektor Fluorometer Eksitasi 330 nm Emisi 440 nm

(b)

Ekstraksi sampel

Derivatisasi OPA / DC

Pemisahan Kinerja Tinggi (HPLC)

Detektor Fluorometer Eksitasi 330 nm Emisi 440 nm atau Detektor UV 254 nm

(c)

Ekstraksi sampel

Pemisahan Kinerja Tinggi (HPLC)

Derivatisasi OPA / DC

Detektor Fluorometer Eksitasi 330 nm Emisi 440 nm atau Detektor UV 254 nm

(d)

Ekstraksi sampel

Reaksi Imidazole

Pemisahan Berdasar Afinitasi ion (CE)

Detektor UV 210 nm

(e)

Ekstraksi sampel

Derivatisasi Alsilasi

Reaksi Antibodi

Detektor UV 450 nm, Referensi 620-650 nm

Reaksi Reagen Stop

Pencucian (washing )

Reaksi Reagen kromogen

Reaksi Enzim Konjugat

Pencucian (washing )

Gambar 1. Bagan kerja pengukuran histamin menggunakan spektrofluorometri (a), HPLC derivatisasi prekolom (b), HPLC derivatisasi post-kolom (c), CE (d), dan ELISA (e). Spektrofluorometri Metode spektrofluorometri didasarkan pada Association of Official Analytical Chemist (AOAC) Official Methods 977.13, Histamine in Seafood, Fluorometric Method (Horwit z, 1990), yang merupakan metode dasar pengukuran histamin menggunakan instrumentasi seperti HPLC. Prinsip dari pengukuran ini adalah analisis serapan fluorosensi dari derivatisasi histamin dan o-phthaldialdehyde (OPA) yang memberikan daya fluorosensi pada panjang gelombang 330 nm (eksitasi) dan 440 nm (emisi). Selain itu, metode ini juga melibatkan tahapan pemurnian histamin dari amina biogenik lainnya

histamin diderivatisasi menggunakan OPA, sedangkan yang menggunakan UV, direaksikan dengan dengan dansyl clorida (DC). Perbedaan kromatogram derivatisasi OPA dan DC dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan pola saat reaksi derivatisasinya, metode dengan menggunakan HPLC dapat dibagi menjadi dua. Pertama pre-separasi atau pre-kolom (reaksi derivatisasi dilaksanakan sebelum pemisahan histamin dari matrik atau amina biogenik lain pada kolom HPLC) dan kedua adalah post-kolom (reaksi derivatisasi dilaksanakan di antara pemisahan histamin pada kolom HPLC dan detektor).

49

H. I. Januar

Gambar 2. Kromatogram pemisahan histamin menggunakan derivatisasi OPA dan DC (Smela et al., 2003). Capillary Electrophoresis/Capillary Zone Electrophoresis (CE/CZE) Pada metode ini, serupa dengan HPLC, histamin tidak perlu dipisahkan dengan amina biogenik lainnya karena histamin akan dipisahkan dari amina biogenik lain dalam kolom kapiler sebelum dideteksi oleh detektor (Trennery et al., 2000). Setelah proses ekstraksi, aliquot sampel dapat langsung diinjeksikan ke sistem kerja. Pada sistem CE, pemisahan dilakukan berdasarkan mobilitas sampel dalam bentuk ionik di medan listrik (Tissue, 1996). Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Metode ini didasarkan pada penggunaan enzim untuk mendeteksi ikatan sampel terhadap antigen (Ag) dan antibodi (Ab). Enzim akan mengubah substrat yang tidak berwarna (kromogen) menjadi produk berwarna. Perubahan ini menunjukkan ikatan sampel terhadap Ag:Ab (Ma et al., 2006). Spektra warna tersebut dibaca absorbansinya pada panjang gelombang tertentu. Nilai absorbansi ini akan berbanding terbalik dengan konsentrasi histamin yang terkandung di dalamnya (Anon., 2008). Walaupun metode ELISA cukup kompleks, namun sistem ini tidak melibatkan pemisahan serta dapat bekerja dalam skala kecil (mikroliter) dalam 96 well-plate, sehingga

50

mampu menganalisis banyak sampel pada satu kali pembacaan detektor. HASIL UJI KELAYAKAN DI EROPA Oleh karena histamin merupakan parameter kualitas produk perikanan yang penting, maka pengujiannya secara reguler harus dievaluasi. Selain untuk mengetahui kemampuan laboratorium, secara umum akan dapat diketahui efisiensi metode pada masing-masing laboratorium tersebut. Pada tahun 2006, 30 laboratorium di Eropa telah mengikuti uji kelayakan yang dilaksanakan oleh lembaga keamanan pangan Belanda (Anon., 2006). Masingmasing laboratorium menerapkan metode yang berbeda, seperti Tabel 1. Penilaian hasil pengujian pada Tabel 1 didasarkan hasil analisis statistik nilai Z, yang menerangkan korelasi antara hasil pengujian yang dilakukan suatu laboratorium, hasil rata-rata yang didapatkan dari seluruh laboratorium, dan nilai yang sebenarnya. Jika nilai Z di bawah 1 maka termasuk memuaskan, antara 1 dan 2 adalah baik, antara 2 dan 3 meragukan, sedangkan lebih dari 3 menunjukkan hasil pengujian yang tidak memuaskan karena berbeda jauh antara nilai sebenarnya dengan nilai pengujian. Tabel 1 juga menunjukkan bahwa metode CE/CZE, walaupun

Squalen Vol. 4 No. 2, Agustus 2009

Tabel 1. Hasil uji kelayakan histamin 30 laboratorium di Eropa Hasil pengujian No

Metode pengujian

Jumlah laboratorium

Memuaskan

Baik

Meragukan

Tidak memuaskan

1

Spektrofluorometri

6

1

4

1

0

2

HPLC-Detektor UV (Pre -Derivatisasi)

8

4

1

2

1

3

HPLC-Detektor Fluorometer (Post -Derivatisasi)

13

10

2

1

0

4

HPLC-Detektor Fluorometer (Pre -Derivatisasi)

2

1

0

1

0

5

ELISA

2

1

0

0

1

6

CE/CZE

0

0

0

0

0

Sumber: Anon. (2006)

dinyatakan cukup baik, cepat, dan akurat (Trenerry et al., 2000), namun di antara 30 laboratorium yang diuji belum ada yang mengaplikasikannya sebagai metode standar analisis histamin. Hal ini mungkin disebabkan instrumentasi elektroforesis umumnya berada di laboratorium biologi/bioteknologi untuk penerapan pemisahan bahan-bahan biologis, tidak di laboratorium kimia yang bersifat umum sebagai pelaksana uji histamin. Hasil uji kelayakan pada Tabel 1 di atas memberikan fakta yang menarik. Metode analisis histamin menggunakan HPLC telah digunakan oleh 22 dari 30 laboratorium pada uji kelayakan di Eropa. Secara umum, 80% laboratorium yang menggunakan metode HPLC, baik derivatisasi menggunakan DC maupun OPA, memperoleh hasil kelayakan yang sangat baik. Uji menggunakan spektrofluorometri juga memperoleh nilai yang cukup baik, dengan 80% laboratorium yang menggunakan metode ini memberikan hasil yang memuaskan atau baik. Hasil yang tidak memuaskan terdapat pada uji histamin menggunakan ELISA. Sebagai metode yang baru, metode ini hanya diterapkan di dua laboratorium dengan hasil yang sangat jauh berbeda. Berdasarkan hal di atas, maka tidak satu pun met ode yang 100% mendapat kan kriteria memuaskan atau baik dari laboratorium yang menggunakannya. Aspek seperti kapabilitas analis dan kalibrasi alat pendukung, seringkali menjadi faktor utama penyebab penyimpangan yang besar antara hasil uji dengan nilai sebenarnya. Namun selain itu, kompleksitas metode analisis histamin dapat juga

menjadi sumber penyimpangan. Secara teoritis, variabilitas penyimpangan dari metode dapat diterangkan melalui variabel ketidakpastian. PERBANDINGAN VARIABEL KETIDAKPASTIAN Secara teoritis, beberapa metode tersebut dapat dibandi ngkan perkiraan penyimpangannya berdasarkan besaran ketidakpastian. Artinya, semakin tinggi ketidakpastian yang ada, maka bias hasil analisis akan semakin besar. Oleh karena itu, estimasi ketidakpastian merupakan salah satu faktor penting pada validasi analisis laboratorium menurut pemahaman ISO/IEC 17025:2005 (Hadi, 2007). Ketidakpastian secara umum muncul dari tahapan kerja, faktor intrinsik yang berupa faktor efisiensi ekstraksi serta derivatisasi, serta tahapan kimiakalibrasi instrumentasi (Romero et al., 2004). Secara umum, Gambar 3 memperlihatkan skema fishbone analisis instrumentasi pada uji histamin. Nilai penyimpangan dari parameter ketidakpastian merupakan akar kuadrat dari total kuadratik penambahan masing-masing variabel yang terlibat pada tahapan analisis (persamaan 1 di Gambar 4). Oleh karena itu, untuk membandingkan perbedaan ketidakpastian di antara beberapa metode, variabelvariabel yang sama dapat dihilangkan sehingga menyisakan parameter yang berbeda. Selanjutnya secara teoritis, dapat diperkirakan metodologi yang memiliki total ketidakpastian terbesar maupun terkecil. Jika tiap metode anali sis histamin yang dibandingkan menggunakan peralatan pendukung (timbangan, pipet, volumetrik flask) dan ekstraksi yang

51

H. I. Januar

Larutan kerja w Larutan Stok Standar isotop v

v

w Preparasi Sampel v Ekstraksi

w Larutan derivatisasi

v LarutanStandar

v

Pipet, pengenceran

EfisiensiReaksiDerivatisasi

Efisiensi washing (ELISA)

Intrinsik Efisiensi Pemisahan Histamin dari Matrix/biogenik amina lain

Efisiensi Ekstraksi

Konsentrasi histamin Reabilitas Kalibrasi Kimia

Transformasi Signal Detektor

Faktor Inherent

Gambar 3. Skema fishbone analisis instrumentasi pada uji histamin. sama, maka sebagian besar variabel larutan kerja adalah sebanding antara metode satu dengan lainnya. Selain itu, faktor kalibrasi kimia akan sangat bervariasi tergantung kualitas instrumentasi yang digunakan. Oleh karena itu, variabel ini akan disampingkan agar perbandingan ketidakpastian merujuk langsung pada metodologi yang digunakan. Sehingga, perbandingan metodologi uji histamin u Konsentrasi histamin

dilakukan untuk variabel seperti pada persamaan (2) di Gambar 4. Lebih lanjut, parameter pada persamaan (3) sampai (7) menunjukan penjabaran parameter ketidakpastian yang dibandingkan dari masing-masing metode. Secara t eori tis, Gambar 4 di atas dapat menjelaskan penyebab variasi dan penyimpangan hasil uji kelayakan sebelumnya dari sisi metodologi (1)

=

(u Larutan kerja)2 + ( u inherent)2

u Banding

=

(u Larutan derivatisasi)2 + ( u Efisiensi Reaksi Derivatisasi)2 + (u Efisiensi Pemisahan Histamin)2

(2)

u Fluorometri

=

(u Larutan OPA)2 + ( u Efisiensi Derivat OPA)2 + (u Efisiensi pemisahan kolom penukar ion)2

(3)

u HPLC Pre-Kolom

=

(u Larutan OPA/DC)2 + ( u Efisiensi Derivat OPA/DC)2 + (u Efisiensi pemisahan HPLC)2

(4)

u HPLC Post-Kolom

=

(u Larutan OPA/DC)2 + ( u Efisiensi Pemisahan HPLC)2 + (u Efisiensi Derivati OPA/DC)2

(5)

u CE

=

(u Larutan imidazole)2 + ( u Efisiensi Derivat imidazole)2 + (u Efisiensi pemisahan CE)2

(6)

u ELISA

=

(u Larutan asilasi)2 + ( u larutan antibodi)2 + (u larutan enzim konjugat)2 + (u larutan kromogen)2 + (7) (u Larutan stop)2 + (u larutan pencuci/wash)2 + (u Efisiensi asilasi)2 + (u efisiensi antibodi)2 + (u efisiensi enzim konjugat)2 + ( u Efisiensi kromogen)2 + (u Efisiensi stop)2 + (u efisiensi washing)2

Gambar 4. Persamaan matematis variabel ketidakpastian analisis histamin yang dibandingkan dari masingmasing metode.

52

Squalen Vol. 4 No. 2, Agustus 2009

yang digunakan. Metodologi HPLC derivatisasi postkolom dapat diperkirakan memiliki variabel total ketidakpastian terkecil dibandingkan metode lainnya. Walaupun jumlah variabelnya sama dengan metode fluorosensi, HPLC derivatisasi pre-kolom dan CE, akan tetapi jarak waktu antara reaksi derivatisasi sampel dan standar ke detektor relatif sama sehingga lebih stabil. Hal ini dapat membuat besaran ketidakpastian efisiensi derivatisasi yang lebih kecil dibandingkan dengan ketiga metode yang lain tersebut. Januar et al. (2008) menunjukan bahwa walaupun reaksi derivat histamin dinyatakan stabil dalam jangka waktu 30 menit (Horwitz, 1990), namun kenyataannya daya fluorosensi meluruh seiring waktu. Pada metodologi HPLC derivatisasi pre-kolom OPA dan DC, pemisahan derivat OPA dapat memiliki u lebih besar karena letak puncak histamin di depan sehingga dapat terpengaruh oleh area puncak pelarut (Gambar 2). Metodologi CE, dengan variabel u-nya yang serupa, diperkirakan memiliki total ketidakpastian yang hampir serupa dengan HPLC derivatisasi pre-kolom DC. Metode fluorometrik dapat memiliki ketidakpastian yang lebih besar dari metode HPLC dan CE karena faktor u efisiensi pemisahan di resin penukar ion yang lebih besar jika dibandingkan efisiensi pemisahan kinerja tinggi di HPLC serta CE. Kompleksitas uji ELISA dapat terlihat dari persamaan ketidakpastiannya. Pengujian ini melibatkan beberapa reaksi sehingga secara teoritis memberikan total ketidakpastian dan penyimpangan analisis kuantitatif yang cukup besar. Sebagai metodologi yang menerapkan aktivitas enzim terhadap substrat di mikrotiter, metode kolorimetri ELISA sangat sensitif terhadap perubahan. Variabilitas hasil uji dapat terjadi sebagai akibat galat kecil dari volume mikropipet maupun perbedaan tahap pencucian antara perubahan dari larutan antibodi primer ke sekunder (Park, 2007). Walaupun interferensi dari faktor penguji dapat diperdebatkan, namun Vosikis et al. (2008) menemukan bahwa pada kadar lebih dari 50 ppm, penyimpangan yang besar dari metode ELISA dapat terjadi karena keterbatasan enzim yang berada di kit pengujian. REKOMENDASI PENGUJIAN ANALISIS HISTAMIN UNTUK PRODUK PERIKANAN Berdasarkan analisis di atas, diketahui bahwa secara umum hasil uji kelayakan terhadap metodemetode analisis histamin selaras dengan perkiraan ketidakpastian secara teoritis dari masing-masing uji. Terlepas dari faktor kapabilitas analis dan reliabilitas instrumentasi yang digunakan, maka jika akurasi menjadi pertimbangan utama, metodologi HPLC postkolom derivatisasi adalah pilihan utama. Metode ini

memiliki ketidakpastian yang relatif lebih kecil dibanding metode lainnya serta terbukti memiliki akurasi yang tinggi pada uji kelayakan di Eropa. Metode HPLC pre-kolom dan CE dapat dijadikan alternatif kedua dari sisi akurasi terkait dengan pertimbangan investasi unit tambahan khusus untuk post-derivat pada metodologi yang pertama. Jika dana investasi instrumentasi menjadi kendala, metode fluorometrik dapat dijadikan sebagai alternatif lain. Akan tetapi, faktor kecepatan pengujian juga berperan penting. Jika waktu analisis menjadi faktor utama serta bekerja secara rutin untuk jumlah sampel yang besar, alternatif kombinasi antara metode ELISA dan HPLC layak dipertimbangkan. Faktor ELISA yang bekerja dengan skala kecil yaitu mikroliter dan 96 sampel pada satu kali pembacaan detektor akan sangat mengoptimalkan penggunaan waktu. Walaupun penyimpangan dan ketidakpastian secara teoritis cukup besar, namun berdasarkan Vosikis et al. (2008) yang menyatakan bahwa metodologi ELISA berkorelasi baik dengan HPLC di bawah konsentrasi histamin 50 ppm (di bawah limit legal), maka metode ini baik dijadikan pre-run kualitatif analisis rutin. Jika ditemukan sampel dengan konsentrasi histamin di atas limit, barulah sampel tersebut dianalisis secara kuantitatif menggunakan metode HPLC. KESIMPULAN Hasil perbandingan menunjukkan bahwa baik dari sisi ketidakpastian-penyimpangan yang mungkin ditimbulkan dari metodologinya serta hasil kelayakan laboratorium di Eropa, diusulkan bahwa metode HPLC derivatisasi post-kolom merupakan metode yang optimal saat ini untuk menentukan kadar histamin secara kuantitatif. Akan tetapi, untuk pertimbangan efisiensi waktu, maka penggabungan metode ELISA kualitatif dan HPLC kuantitatif sangat baik dijadikan sebagai standar metodologi penentuan histamin di laboratorium analisis rutin produk perikanan. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2006. Proficiency study 336-histamine report No:ND-06-06. Check Proficiency Studies1380-SI. The Food and Constumer Product Safety Authiority-Nedherlands. p. 4–10. Anonymous. 2008. Instructions for use histamine food ELISA enzyme immunoassay for the quantitative determination of histamine in fish meal, fresh fish, milk, cheese, sausage and wine. Biosource references. Ref 10-3100. Biosource Eropa SA. p. 3–5. Hadi, H. 2007. Pemahaman dan Penerapan ISO/IEC 17025:2005: Persyaratan Umum Kompetensi Laboratorium Pengujian dan Laboratorium Kalibrasi. Gramedia Pustaka Utama.

53

H. I. Januar

Horwitz, W. 1990. AOAC-Association of Official Analytical Chemists PO Box 540, Benjamin Franklin Station Washington, DC 20044., ed15th., 531 pp. Januar, H.I., Wikanta, T., Dwiyitno., Priyatno, N., Siregar, T.H., Munifah, I., dan Iswani, S. 2008. Uji reabilitas analisis histamin pada instrumentasi spektrofluorometri. Laporan Teknis Laboratorium Instrumentasi Ta hun 2008. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. p. 8–10. Kaneko, J. 2000a. Development of a HAACP-based strategy for the control of histamine for the fresh tuna industry. NOAA Fisheres Grant Project Report. National Marine Fisheries Services, USA. 48 pp. Kaneko, J. 2000b. Sensory Judgments as Critical Control Points for Histamine Control in The Fresh Tuna Industry. NOAA Fisheres Grant Project Report. National Marine Fisheries Services, USA. 3 pp. Ma, H., Shieh, K-J., and Lee, S-L. 2006. Application of ELISA technique. Nature and Science (42), 2006. Moreno, R.B. and Torres, E.A. 2001. Histamine Level in Fresh Fish–A Quality Index. Session 42, Seafood Tech-Safety Processing. IFT Annual Meeting, New Orleans, Lusiana. p. 4–42. Park, J. 2007. Beta-Amyloid (1–40) and (1–42) Colorimetrik ELISA kits, Himan From Invitrogen. The Buyer Guide fro Life Scientist. www.biocompere.com. Assessed April 12, 2009.

54

Rogers, W. F. and Staruszkiewicz. 2000. Journal of Aquatic Food Product Technology, 9 (2) 2000 p. 5–17. Romero, R., Bagur, M.G., Gazquez, D., Sanchez-Vinas, M., Cuadros-Rodrigues, L., and Ortega, M. 2004. Estimation of the main source of uncertainty in chromatographic analysis: determination of biogenic amines. LCGC The Application Notebook: Supplement To LCGC North America:June 2004, p. 95–103. Smela, D., Pechova, P., Komprada, T., Kledjus, B., and Kuban, V. 2003. Liquid chromatograpic determination of biogenic amines in a meat product during fermentation and Long-term storage. Chech J. Food Sci. Vol 21, (5): p. 167–175. Tissue, B.M. 1996. Electrophoresis. Online Educational Hypermedia – Encyclopedia of Analytical Instrumentation. http://www.files.chem.vt.edu/chem-ed/sep/ electrop/ electrop.html. Assessed April 12, 2009. Trenerry, V.C., Marshall, P.A., and Windahl, K. 2000. Determination of histamine in fish by CZE: Methods Optimation. Algal Project, Research ad Development Report Series. Australian Government Analytical Laboratories. p. 163–169. Vo sikis, V., Papageorgopoulou, A., Economou, V., Frillingos, S., and Papadopoulou, C. 2008. Survey of The histamine content in fish samples randomly selected from the Greek retail market. Journal of Food Aditives and Contaminant: part B 2008: vol 1:2 p. 122–129.