PERBANDINGAN METODE MASERASI, REMASERASI, PERKOLASI DAN REPERKOLASI TERHADAP RENDEMEN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
SKRIPSI
DIANITA LAILA FAUZANA F34063115
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
COMPARISON BETWEEN MACERATION, REMACERATION, PERCOLATION AND REPERCOLATION METHOD ON YIELD EXTRACTION VALUE OF JAVA TURMERIC (CURCUMA XANTHORRHIZA ROXB) Dianita Laila Fauzana, Chilwan Pandji and Chaidir Department of Agroindustrial Engineering, Faculty of Agricultural technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone 62 818 02961155, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT This research focusing to analyze the best type of simple extraction method for industry that optimize the output based on oleoresin proporsition. This research comparing four type of simple extraction method including maceration, remaceration, percolation, and repercolation. This research was divided in two parts. The first part called as pre-research and the second part is the main research. The pre-research gave information that the sample of java turmeric consist of water (14.97%), starch (58.56%), fat (7.45%), protein (7.07%), crude fiber (7.63%), total ash (5.07%) and needs two hours of washing time. The main research gave information about yield percentage of each type of method. Maceration method produce 12.20% to 12.60% of yield. Remaceration method produce 15.60% to 16.70% of yield. Percolation method produce 12.50% to 15.00% of yield, and repercolation method produce 15% to 16% of yield. Statistical calculations using SAS 9.1 indicated that the difference of time was insignificant to yield value. HPLC (High Performance Liquid Chromatography) analysis indicated that the retention time of all sample was according to the six minutes of curcumin standard retention time. The highest curcumin value produced in 12 hours length of maceration (6.7 %) and the lowest curcumin produced in 16 hours length of maceration (0.6 %). The lowest curcumin caused by curcumin degradation that happened as long as the extraction process. Based on this research, the best extraction method was four hours length of maceration. It has 15.60% yield with 6.5 % of curcumin. Keywords: extraction, curcumin, curcuma xanthorrhiza roxb
DIANITA LAILA FAUZANA. F34063115. Perbandingan Metode Maserasi, Remaserasi, Perkolasi dan Reperkolasi Terhadap Rendemen Ekstrak Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb). Di bawah bimbingan Chilwan Pandji dan Chaidir. 2010.
RINGKASAN
Temulawak merupakan salah satu tanaman dari marga Zingiberaceae yang biasa digunakan sebagai ramuan obat tradisional. Zat aktif yang terdapat dalam temulawak dapat bekerja sebagai kolekinetik (merangsang gerak saluran empedu) dan koleretik (peningkatan sekresi empedu oleh hati). Temulawak yang diekspor umumnya berupa temulawak segar dan temulawak kering. Namun temulawak yang diekspor seringkali tidak memenuhi persyaratan ekspor sehingga negara pengimpor menolak temulawak asal Indonesia karena mutu yang rendah. Faktor penyebab terjadinya penurunan mutu temulawak yaitu pengeriputan, perkecambahan, dan pencemaran mikroba akibat kurangnya perhatian terhadap kondisi sanitasi pada saat pengeringan dan pengepakan. Penurunan mutu temulawak dapat dihindari dengan cara memproduksi temulawak dalam bentuk ekstrak. Ekstrak temulawak dapat diperoleh melalui ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi sederhana terdiri dari maserasi, perkolasi, reperkolasi, evakolasi dan dialokasi. Dalam skala industri ekstraksi sederhana dinilai lebih efektif dibandingkan dengan ekstraksi khusus karena proses yang dilakukan lebih sederhana dan tidak membutuhkan peralatan berteknologi tinggi, sehingga biaya produksi dapat ditekan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis jenis metode sederhana yang terbaik yang dapat mengoptimalkan hasil dalam skala industri berdasarkan rendemen dan kadar oleoresin dalam ekstrak. Metode ekstraksi sederhana yang dibandingkan adalah maserasi, remaserasi, perkolasi dan reperkolasi. Penelitian dilaksanakan dengan dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui karakterisasi temulawak dan menentukan washing time temulawak. Sedangkan penelitian utama bertujuan untuk mengetahui metode dan waktu terbaik yang dapat menghasilkan ekstrak temulawak secara optimal. Dari hasil penelitian karakterisasi rimpang temulawak kering didapatkan kadar air sebesar 14.97 persen; kadar pati 58.56 persen; kadar lemak 7.45 persen; kadar protein 7.07 persen; kadar serat kasar 7.63 persen; kadar abu 5.07 persen, dan kadar minyak atsiri tidak terukur. Sedangkan washing time yang diperoleh adalah 2 jam. Pada penelitian utama diketahui bahwa rendemen ekstrak pada metode maserasi 12.20 persen sampai 12.60 persen; metode remserasi 15.60 persen sampai 16.70 persen; metode perkolasi 12.50 persen sampai 15.00 persen; metode reperkolasi 15 persen sampai 16 persen. Berdasarkan hasil perhitungan statistik menggunakan SAS 9.1 diketahui bahwa perbedaan waktu tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen. Hasil analisis menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) menunjukkan bahwa waktu retensi seluruh sampel berkisar pada waktu retensi standar (kurkumin) yang digunakan yaitu pada kisaran waktu 6 menit. Kadar kurkumin tertinggi diperoleh dengan metode maserasi selama 12 jam dengan kadar sebesar 6.7 %, sedangkan kadar terendah dimiliki oleh maserasi selama 16 jam dengan nilai sebesar 0.61% karena berada dibawah nilai kurva standar. Situasi demikian diduga terjadi akibat adanya degradasi kurkumin oleh cahaya selama proses ekstraksi berlangsung. Kombinasi perlakuan terbaik berdasarkan rendemen, waktu dan kadar yang diperoleh adalah metode remaserasi selama 4 jam, dengan jumlah rendemen sebesar 15.60 % dan kadar kurkumin sebesar 6.5 %.
PERBANDINGAN METODE MASERASI, REMASERASI, PERKOLASI DAN REPERKOLASI TERHADAP RENDEMEN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh DIANITA LAILA FAUZANA F34063115
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Skripsi
:
Perbandingan Metode Maserasi, Remaserasi, Perkolasi dan Reperkolasi Terhadap Rendemen Ekstrak Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb).
Nama
:
Dianita Laila Fauzana
NIM
:
F34063115
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I,
Dosen Pembimbing II,
(Drs. Chilwan Pandji Apt. MSc) NIP: 19491209 198011 1 001
(Dr. Chaidir. Apt) NIP: 19670308 199303 2 003
Mengetahui : Ketua Departemen,
(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP: 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus : 6 Desember 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Perbandingan Metode Maserasi, Remaserasi, Perkolasi dan Reperkolasi terhadap Rendemen Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2010 Yang membuat pernyataan
Dianita Laila Fauzana F34063115
© Hak cipta milik Dianita Laila Fauzana, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Agam, Sumatera Barat pada tanggal 10 Mei 1988. Putri dari pasangan Bapak Dahnil Chan dan Ibu Zuniarti Harun. Pada tahun 2000, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 17 Lubuk Basung. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama di MTsN 1 Lubuk Basung pada tahun 2003. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 2 Lubuk Basung dan lulus pada tahun 2006. Setelah lulus sekolah menengah atas, penulis melanjutkan pendidikan S1 di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa kuliah penulis aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknologi Pengemasan, Distribusi dan Transportasi (2008), asisten praktikum mata kuliah Teknologi Pati, Gula, dan Sukrokimia (2009), asisten praktikum mata kuliah Teknologi Minyak Atsiri, Rempah, dan Fitofarmaka (2010) dan asisten praktikum mata kuliah Teknologi Bahan Penyegar (2010). Penulis juga aktif di sejumlah organisasi dan kepanitiaan, diantaranya Himpunan Mahasiswa teknologi Industri (Himalogin) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (BEM-KM IPB) Penulis melaksanakan praktek lapangan pada Tahun 2009 dengan topik “Proses Produksi dan Perancangan Dasar Secondary Inspection di PT. Goodyear Indonesia Bogor”. Untuk menyelesaikan pendidikan di Departemen Teknologi Industri Pertanian, penulis melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi yang berjudul “Perbandingan Metode Maserasi, Remaserasi, Perkolasi dan Reperkolasi Terhadap Rendemen Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrizha Roxb.)”.
KATA PENGANTAR Puji syukur dan terima kasih penulis haturkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, kuasa, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi yang berjudul ”Perbandingan Metode Maserasi, Remaserasi, Perkolasi dan Reperkolasi Terhadap Rendemen Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrizha Roxb.)” yang disusun berdasarkan hasil penelitian sejak Juni – September 2010. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Farmasi dan Medika, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Serpong. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9.
Drs. Chilwan Pandji Apt. MSc selaku dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan, masukan, serta saran yang telah diberikan kepada penulis Dr. Chaidir, Apt selaku dosen pembimbing pendamping atas saran dan batuan moril yang diberikan Ir. Sugiarto, MSi Selaku dosen penguji atas segala masukannya Orang tua, kakak, serta seluruh keluarga besar penulis atas segala doa dan motivasinya Seluruh dosen, laboran, dan staf TIN yang telah banyak membatu penulis selama menuntut ilmu di TIN Seluruh Staf Laboratorium Teknologi Farmasi dan Medika BPPT Dinda Nindita Aldilla, Melyana Oktavia, Smunindar, Magdalena Kristin Sejati, Veronica Lusi Budiman, dan seluruh teman-teman TIN 43 atas dukungan dan kerja sama yang telah diberikan Teman-teman Pondok Nuansa Sakinah atas segala keceriaan dan persaudaraannya Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama ini
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini penulis tidak luput dari kesalahan yang manusiawi. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran, masukan, maupun kritik agar skripsi ini dapat mendekati kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Desember 2010
Dianita Laila Fauzana
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...................................................................................................... DAFTAR ISI ...................................................................................................................... DAFTAR TABEL .............................................................................................................. DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................................... I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG ....................................................................................... 1.2 TUJUAN ........................................................................................................... II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BOTANI TEMULAWAK ................................................................................. 2.2 KOMPOSISI KIMIA TEMULAWAK ............................................................. 2.3 EKSTRAKSI ..................................................................................................... 2.4 ANALISIS KUANTITATIF MENGGUNAKAN HPLC ................................. III. BAHAN DAN METODE 3.1 BAHAN DAN ALAT ....................................................................................... 3.1.1 Bahan Baku ............................................................................................ 3.1.2 Bahan Kimia .......................................................................................... 3.1.3 Alat......................................................................................................... 3.2 METODE PENELITIAN .................................................................................. 3.2.1 Penelitian Pendahuluan .......................................................................... 3.2.2 Penelitian Utama .................................................................................... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN..................................................................... 4.1.1 Analisis Kandungan Senyawa Kimia ..................................................... 4.1.2 Penentuan Washing Time ....................................................................... 4.2 EKSTRAKSI RIMPANG TEMULAWAK....................................................... 4.2.1 Metode Maserasi .................................................................................... 4.2.2 Metode Remaserasi ................................................................................ 4.2.3 Metode Perkolasi ................................................................................... 4.2.4 Metode Reperkolasi ............................................................................... 4.2.5 Perbandingan Rendemen Seluruh Metode Ekstraksi ............................. 4.3 ANALISIS KUANTITATIF KURKUMIN ...................................................... V. KESIMPULAN 5.1 KESIMPULAN ................................................................................................. 5.2 SARAN ............................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ LAMPIRAN .......................................................................................................................
iii iv v vi vii 1 2 3 4 6 8 10 10 10 10 10 10 10 16 16 17 18 19 19 20 21 22 24 28 28 29 31
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Komposisi rimpang temulawak ......................................................................
5
Tabel 2.
Jenis pelarut dan titik didihnya .......................................................................
7
Tabel 3.
Residu pelarut yang ditetapkan US-FDA dalam produk ................................
7
Tabel 4.
Kadar proksimat rimpang temulawak kering..................................................
16
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) ..................................................
3
Gambar 2.
Struktur kurkumin .......................................................................................
4
Gambar 3.
Struktur desmetoksikurkumin ......................................................................
4
Gambar 4.
Diagram perbandingan metode perkolasi dengan reperkolasi .....................
8
Gambar 5.
Diagram alir ekstraksi kurkuminoid dengan metode maserasi ....................
11
Gambar 6.
Diagram alir ekstraksi kurkuminoid dengan metode remaserasi .................
12
Gambar 7.
Diagram alir ekstraksi kurkuminoid dengan metode perkolasi ....................
13
Gambar 8.
Diagram alir ekstraksi kurkuminoid dengan metode reperkolasi.................
14
Gambar 9.
Persentase rendemen washing time ..............................................................
17
Gambar 10. Mekanisme penarikan senyawa ...................................................................
18
Gambar 11. Rendemen metode maserasi.........................................................................
19
Gambar 12. Rendemen metode remaserasi .....................................................................
20
Gambar 13. Rendemen metode perkolasi ........................................................................
21
Gambar 14. Rendemen metode reperkolasi .....................................................................
21
Gambar 15. Perbandingan rendemen metode ekstraksi ...................................................
23
Gambar 16. Grafik kromatogram perbandingan standar dan sampel ..............................
24
Gambar 17. Grafik analisis spektrum sinar UV standar dan sampel ..............................
25
Gambar 18. Grafik perbandingan kadar kurkumin ..........................................................
26
Gambar 19. Grafik kromatogram maserasi 16 jam..........................................................
27
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Prosedur penentuan proksimat kadar abu, air dan serat ...............................
31
Lampiran 2. Prosedur penentuan proksimat pati, protein, lemak dan atsiri ....................
32
Lampiran 3. Data rendemen maserasi ..............................................................................
34
Lampiran 4. Data rendemen remaserasi ...........................................................................
35
Lampiran 5. Data rendemen perkolasi .............................................................................
36
Lampiran 6. Data rendemen reperkolasi ..........................................................................
37
Lampiran 7. Hasil analisis pengaruh perlakuan tehadap respon ......................................
38
Lampiran 8. Data penentuan kurva standar kurkumin .....................................................
41
Lampiran 9. Hasil analisis kromatogram HPLC kurkumin standar .................................
42
Lampiran 10. Hasil analisis kromatogram HPLC kurkumin maserasi ..............................
44
Lampiran 11. Hasil analisis kromatogram HPLC kurkumin remaserasi ............................
47
Lampiran 12. Hasil analisis kromatogram HPLC kurkumin perkolasi ..............................
50
Lampiran 13. Hasil analisis kromatogram HPLC kurkumin reperkolasi ...........................
53
Lampiran 14. Data kadar kurkumin ...................................................................................
56
Lampiran 15. Hasil perhitungan analisis kurkuminoid dengan SPSS 16 ...........................
57
I. PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu jenis temu-temuan yang termasuk dalam marga Zingiberaceae. Masyarakat mengenal temulawak sebagai ramuan obat tradisional. Bagian tanaman temulawak yang banyak dimanfaatkan adalah bagian rimpang. Rimpang temulawak mengandung senyawa felandren, kamfer, turmenol, tolilmetilkarbinol, xanthorrizol, kurkumin, pati dan resin (Aliadi et.al, 1996). Zat warna kuning kurkumin pada temulawak bekerja sebagai kolekinetik, sedangkan minyak atsirinya (felandren, kamfer, turmenol, tolilmetilkarbinol dan xanthorrizol) berfungsi sebagai pencegah gangguan fungsi empedu yang biasa dikenal dengan istilah koleretik (Departemen Kesehatan RI, 1989). Dewasa ini produksi temulawak tidak hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan ekspor tanaman obat ke luar negeri. Produk temulawak yang diekspor umumnya berupa temulawak segar dan temulawak kering. Aktivitas ekspor temulawak yang menitikberatkan pada temulawak segar dan temulawak kering berakibat pada sering ditolaknya ekspor temulawak Indonesia oleh negara importir. Negara importir menilai bahwa pengiriman temulawak segar dan temulawak kering berdampak signifikan terhadap penurunan mutu temulawak, sehingga temulawak ekspor akan memiliki mutu yang rendah. Faktor penyebab terjadinya penurunan mutu temulawak yaitu pengeriputan, perkecambahan, dan pencemaran mikroba akibat kurangnya perhatian terhadap kondisi sanitasi pada saat pengeringan dan pengepakan. Selain itu, umumnya temulawak yang di ekspor dalam bentuk segar mengalami perubahan bau (off flavor). Hal ini dikarenakan temulawak mengandung enzim-enzim, terutama enzim lipase, yang dapat merubah lemak menjadi asam lemak bebas penyebab ketengikan. Penurunan mutu temulawak dapat dihindari dengan cara melakukan ekstraksi sehingga dihasilkan oleoresin temulawak. Di samping menghindari penurunan mutu, produksi ekstrak temulawak juga dapat memberikan keuntungan dalam hal pembiayaan dikarenakan minimnya kebutuhan biaya produksi. Alasan inilah yang mendorong para pelaku industri untuk meningkatkan pendapatan perusahaan mereka melalui produksi ekstrak temulawak. Ekstrak temulawak dapat diperoleh melalui ekstraksi sederhana, ekstraksi khusus dan perendaman rajangan atau bubuk temulawak ke dalam air panas. Ekstraksi melalui perendaman dinilai kurang efektif, mengingat bahwa kurkumin yang terkandung dalam temulawak memiliki sifat tidak larut dalam air. Dengan demikian ekstraksi kurkumin tidak dapat terjadi secara optimal dan mengalami kerusakan akibat tingginya suhu air. Jika dibandingkan dengan metode perendaman, metode ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus merupakan perlakuan yang lebih baik Ekstraksi sederhana terdiri dari maserasi, perkolasi, reperkolasi, evakolasi dan dialokasi, sedangkan ekstraksi khusus terdiri dari sokletasi, arus balik dan ultrasonik. Dalam skala industri ekstraksi sederhana dinilai lebih efektif dibandingkan dengan ekstraksi khusus karena proses yang dilakukan lebih sederhana dan tidak membutuhkan peralatan berteknologi tinggi. Oleh karena itu biaya produksi akan cenderung lebih murah sehingga harga jual produk dapat ditetapkan pada tingkatan harga yang lebih terjangkau oleh masyarakat. Berdasarkan kondisi tersebut maka pemilihan metode ekstraksi merupakan keputusan penting dalam aktivitas manajemen produksi. Melalui berbagai pertimbangan terhadap efisiensi biaya dan optimalisasi produksi, maka pada penelitian ini akan dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif terhadap ekstraksi kurkumin dengan menggunakan empat jenis metode sederhana meliputi maserasi, remaserasi, perkolasi dan reperkolasi.
2.
TUJUAN
Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menganalisis jenis metode sederhana yang terbaik yang dapat mengoptimalkan hasil dalam skala industri berdasarkan rendemen dan kadar oleoresin dalam ekstrak. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan bagi para pelaku industri untuk memilih proses ekstraksi yang akan digunakan dalam industri tersebut.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. BOTANI TEMULAWAK Berdasarkan klasifikasinya temulawak merupakan tanaman yang termasuk dalam: Kingdom : Plantae Divisi : Spermathophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledone Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb. Temulawak merupakan terna berbatang semu dengan tinggi kurang lebih dua meter dan berwarna hijau atau coklat gelap. Temulawak memiliki akar rimpang berwarna hijau gelap yang terbentuk sempurna dengan percabangan yang kuat. Batang temulawak memiliki dua hingga sembilan lembar daun berwarna hijau atau coklat keungunan yang berbentuk memanjang. Ciri lain dari temulawak adalah perbungaan lateral, tangkai ramping, sisik berbentuk garis dan berbulu halus, bentuk bulir bulat memanjang dan memiliki daun pelindung yang banyak, serta mahkota bunga berbentuk tabung berwarna putih atau kekuningan. Di wilayah Jawa, temulawak dapat ditemukan di pekarangan rumah, tegalan, serta dapat juga tumbuh liar di hutan jati. Temulawak dapat ditanam pada tanah berat berstruktur liat, tetapi untuk memperoleh hasil yang baik maka temulawak perlu ditanam pada tanah yang subur dan baik tata perairannya, yakni dengan curah hujan antara 1500 - 4000 mm per tahun (Depkes RI, 1993). Sudarman dan Harsono (1980) menyatakan bahwa temulawak dapat tumbuh hingga ketinggian 1800 m diatas permukaan laut. Temulawak juga dapat tumbuh pada tanah berkapur, tanah ringan berpasir atau tanah liat. Temulawak merupakan tumbuhan asli Indonesia yang berasal dari Pulau Jawa dan kemudian menyebar ke wilayah Indonesia lainnya. Mengacu pada Supriadi (2001), temulawak turut pula dikenal dengan beberapa nama daerah, seperti tetemulawak (Sumatera), kunyit etumbu (Aceh) koneng gede (Jawa Barat) dan temu lobak (Madura).
Gambar 1. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
2.2. KOMPOSISI KIMIA TEMULAWAK Menurut Sinambela (1985) dalam Widyasari (2000), semua bagian temulawak umumnya berkhasiat namun bagian yang dinilai paling berharga adalah bagian rimpang. Rimpang menjadi bagian tanaman yang paling berharga karena kandungan kimia yang terkandung di dalamnya sangat bermanfaat sebagai sumber bahan pangan, bahan baku industri, dan bahan baku obat. Rimpang temulawak mengandung zat kuning kurkumin, minyak atsiri, pati, protein, lemak (fixed oil), selulosa dan mineral (Ketaren,1988). Dalam Sidik et al. (1995) dinyatakan bahwa fraksi pati merupakan kandungan kimia paling banyak yang terdapat dalam rimpang temulawak. Pati tersebut berbentuk serbuk berwarna putih kekuningan serta memiliki bentuk bulat telur hingga lonjong dengan salah satu ujungnya berbentuk persegi. Pati temulawak terdiri dari abu, protein, lemak, karbohidrat, serat kasar, kalium, natrium, kalsium, magnesium, besi, mangan dan kadmium. Dengan kandungan tersebut pati temulawak dapat dikembangkan sebagai bahan makanan. Kandungan kimia dalam rimpang temulawak dibedakan atas fraksi pati, fraksi kurkuminoid dan fraksi minyak atsiri (Sidik et al, 1995). Fraksi kurkuminoid merupakan komponen yang memberi warna kuning pada rimpang temulawak. Adanya kandungan kurkuminoid pada temulawak turut pula diungkapkan dalam hasil penelitian Suwiyah (1991). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa temulawak mengandung zat kurkuminoid yang memberikan warna kuning pada rimpang temulawak dan memiliki khasiat medis. Lebih lanjut Sidik et al. (1995) menyatakan bahwa Komponen kurkuminoid (C25H32O6) dalam temulawak meliputi kurkumin (C21H20O6) dan desmetoksikurkumin (C20H18O6). Kurkumin memiliki bobot molekul sebesar 368 g/mol, sedangkan desmetoksikurkumin memiliki bobot molekul sebesar 338 g/mol. Komponen kurkuminoid digunakan sebagai zat warna dalam makanan, minuman dan kosmetika. Selain itu komponen kurkuminoid diketahui memiliki berbagai aktifitas biologis dalam spektrum yang lebih luas. Kurkuminoid dari rimpang temulawak tidak mengandung bisdesmetoksikurkumin sehingga temulawak lebih efektif untuk sekresi empedu dibandingkan dengan rimpang kunyit. Hal ini disebabkan oleh aktivitas kurkumin dan desmetoksikurkumin yang berlawanan dengan aktivitas bisdesmetoksikurkumin untuk sekresi empedu. Struktur kurkumin dan desmetoksikurkumin masing-masing terdapat pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Gambar 2. Struktur kurkumin
Gambar 3. Struktur desmetoksikurkumin
Dalam Sidik et al. (1995) diterangkan bahwa kandungan kurkuminoid pada temulawak menjadikan tanaman ini sebagai anti inflamasi. Anti inflamasi adalah aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Manfaat lain dari rimpang tanaman ini adalah sebagai obat jerawat, meningkatkan nafsu makan, anti kolesterol, anemia, anti oksidan, pencegah kanker, anti mikroba dan meningkatkan kerja ginjal. Temulawak memiliki aktivitas diuretika yang berfungsi mempercepat pembentukan urin sehingga meningkatkan kinerja ginjal. Menurut Liang et al. (1985), kurkuminoid rimpang temulawak berkhasiat menetralkan racun, menghilangkan rasa nyeri sendi menghilangkan sekresi empedu, menurunkan kadar kolesterol darah, mencegah terjadinya pembekuan lemak dalam sel hati, serta sebagai antioksidan. Penggunaan temulawak dalam ramuan obat tradisional yaitu sebagai bahan utama (remedium cardinale), bahan penunjang (remedium adjuvans), korigensia warna (corrigentia coloris) serta korigensia aroma (corrigentia odoris). Fraksi minyak atsiri yang terkandung dalam rimpang temulawak terdiri dari senyawa turunan monoterpen dan seskuiterpen. Senyawa turunan monoterpen, terdiri dari 1.8 sineol, borneol, α – felandren dan kamfor, sedangkan senyawa turunan seskuiterpen terdiri dari β – kurkumin, sikloisoprenmirsen, xanthorrizhol, bisa kuronepoksida, tumeron, α – atlanton, ar – kurkumen, zingiberen, β – bisabolen, bisakuron A,B,C, ar – tumeron dan germaken. Fraksi minyak atsiri rimpang temulawak mempunyai aktifitas biologik dengan spektrum luas yang dalam berapa hal bekerja sinergetik dengan fraksi kurkuminoid (Sidik et al, 1995). Kadar kurkumin dalam kurkuminoid rimpang temulawak adalah 58 - 71%, sedangkan kadar desmetoksikurkumin bernilai antara 29 - 42%. Wijayakusuma (2002) menyampaikan bahwa rimpang temulawak mengandung pati, abu, protein, serat, kurkumin, glikosida, toluil metil karbinol, Lsikloiprenmirsen, essoil, kalium oksalat, serta minyak atsiri yang terdiri dari felandren, kamfer, borneol, tumerol, xantorizol dan sineal. Menurut Rismunandar (1988) dalam Widyasari (2000), kandungan kurkumin dalam rimpang temulawak mencapai 1,4 – 4 %. Berdasarkan Purseglove (1981) dalam Widyasari (2000), pigmen kurkumin larut dalam pelarut polar seperti etanol 95%. Keseluruhan komposisi rimpang temulawak dijelaskan secara terperinci pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Rimpang Temulawak Komposisi Kadar (% Basis Kering) Air Pati Lemak Minyak atsiri Kurkumin Protein Serat kasar Abu
75,18 27,62 5,38 10,96 1,93 6,44 6,89 3,96
Sumber : Suwiah (1991) Menurut Sidik et al. (1995), zat warna kurkuminoid dapat mengalami perubahan sesuai pH lingkungan. Dalam suasana asam, kurkuminoid berwarna kuning jingga, sedangkan dalam suasana basa berwarna merah. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya sistem tautomeri pada molekul kurkuminoid. Kurkuminoid turut pula memiliki sensitivitas terhadap cahaya. Adanya cahaya yang mengenai kurkuminoid berakibat pada terjadinya dekomposisi struktur. Peristiwa degradasi kurkuminoid oleh cahaya akan menyebabkan rimpang temulawak berwarna kuning gelap.
Analisis kurkuminoid dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain spektroskopi sinar tampak, titrasi volumetrik dan kromatografi. Analisis kuantitatif dengan sinar tampak dilakukan berdasarkan reaksi pembentukan rubrokurkumin atau rososianin pada panjang gelombang 530 nm (Sidik et al. 1992). Berdasarkan metode yang dikeluarkan oleh ASEAN pada tahun 1993, analisis kuantitatif dengan sinar tampak dapat pula dilakukan dengan menggunakan panjang gelombang 420 nm.
2.3. EKSTRAKSI Ekstraksi adalah proses penarikan komponen aktif dari suatu campuran padatan dan/atau cairan dengan menggunakan pelarut tertentu. Proses ini merupakan langkah awal yang penting dalam penelitian tanaman obat, karena preparasi ekstrak kasar tanaman merupakan titik awal untuk isolasi dan pemurnian komponen kimia yang terdapat dalam tanaman (Mandal et al. 2007). Bombardelli (1991) menyatakan bahwa ekstraksi senyawa aktif dari tanaman obat adalah pemisahan secara fisik atau kimiawi dengan menggunakan cairan atau padatan dari bahan padat. Perlakuan pendahuluan sebelum ekstraksi sangat penting untuk mempermudah proses ektraksi. Perlakuan pendahuluan ini tergantung dari sifat senyawa yang terdapat dalam bahan yang akan diekstraksi (Robinson, 1995). Perlakuan pendahuluan untuk bahan yang mengandung minyak adalah dengan pengeringan dan pengecilan ukuran bahan. Pengeringan dilakukan sampai kadar air tertentu lalu dilanjutkan dengan penggilingan untuk mempermudah proses ekstraksi, serta mempermudah kontak antar bahan dengan pelarut sehingga ekstraksi berlangsung dengan baik (Harbone, 1996) Ekstraksi bahan alam, terutama yang akan digunakan untuk obat, dapat dilakukan dengan cara perebusan, penyeduhan, maserasi, perkolasi atau cara lain yang sesuai dengan sifat bahan alam yang diekstraksi. Dalam suatu pemisahan yang ideal oleh ekstraksi pelarut, seluruh zat yang diinginkan akan berakhir dalam suatu pelarut sedangkan zat-zat yang tidak diinginkan berada pada pelarut yang lain. Ekstraksi ganda merupakan salah satu teknik pemisahan yang lebih akurat dibandingkan ekstraksi tunggal Ekstraksi pelarut adalah metode yang efektif untuk mengekstrak kurkuminoid (Jayaprakasha et al, 2005). Di antara banyak pelarut organik, pelarut etanol adalah salah satu pelarut yang cocok untuk memisahkan kurkuminoid yang optimal (Photitirat et al, 2004). Pemilihan pelarut merupakan faktor yang menentukan dalam ekstraksi. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dapat menarik komponen aktif dari campuran. Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam memilih pelarut adalah selektivitas, sifat pelarut, kemampuan untuk mengekstraksi, tidak bersifat racun, mudah diuapkan dan harganya relatif murah (Gamse, 2002). Perendaman suatu bahan dalam pelarut dapat meningkatkan permeabilitas dinding sel dalam tiga tahapan, yaitu masuknya pelarut kedalam dinding sel tanaman atau pembengkakan sel, kemudian senyawa yang terdapat dalam dinding sel akan terlepas dan masuk ke dalam pelarut, diikuti oleh difusi senyawa yang terekstraksi oleh pelarut keluar dari dinding sel. Disampaikan oleh Purseglove et al. (1981) bahwa ekstraksi rimpang temulawak untuk memperoleh oleoresin dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut polar. Etilen diklorida merupakan pelarut polar yang paling banyak digunakan, tetapi etanol merupakan pelarut yang paling aman dan tidak beracun (Somaatmadja, 1981). Etanol mempunyai polaritas yang tinggi, sehingga dapat mengekstrak oleoresin lebih banyak daripada pelarut lain seperti aseton dan heksana. Etanol merupakan etil alkohol dengan rumus kimia C2H5OH, yaitu cairan yang tidak berwarna, mudah menguap, berbau merangsang, dan mudah larut dalam air. Jenis-jenis pelarut yang dapat digunakan untuk ekstraksi temulawak dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis-jenis pelarut dan titik didihnya* Jenis Pelarut Aseton Metanol Hexana Etil Asetat Etil Alkohol Etilen Diklorida
Titik Didih (oC) 56.5 64.7 69.0 77.1 78.4 83.5
*Scheflan dan Jacobs, 1953 Proses pemisahan pelarut merupakan tahapan yang sangat penting dalam ekstraksi. Teknik pemisahan pelarut menentukan kandungan sisa pelarut yang dapat mempengaruhi mutu ekstrak yang dihasilkan. Pelarut yang memiliki titik didih yang rendah beresiko kehilangan pelarut yang lebih besar akibat proses penguapan, sedangkan pelarut yang memiliki titik didih tinggi harus dipisahkan pada suhu yang lebih tinggi. Produk yang baik harus bebas dari sisa pelarut karena sisa pelarut selain dapat mengurangi kualitas produk juga dapat mempengaruhi aroma produk. United State Food and Drug Administration (US-FDA) memberikan batasan jumlah sisa pelarut yang diperkenankan terdapat dalam produk seperti Tabel 3. Tabel 3. Residu pelarut yang ditetapkan US-FDA dalam produk* Jenis Pelarut Residu (ppm) Aseton 30 Metanol 50 Hexana 25 Etil Asetat 50 Etil Alkohol 30 Etilen Diklorida 30 *Farrel, 1985 Berdasarkan fase yang terlibat, terdapat dua jenis ekstraksi, yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi padat-cair. Pada ekstraksi padat-cair terjadi pemindahan komponen dari padatan ke pelarut melalui tiga tahapan, yaitu difusi pelarut ke pori-pori padatan, pelarutan solut oleh pelarut di dalam pori tersebut, dan pemindahan larutan dari pori menjadi larutan ekstrak. Proses ekstraksi padat-cair dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain waktu ekstraksi, suhu yang digunakan, pengadukan, dan banyaknya pelarut yang digunakan (Harborne, 1996). Menurut List (1989), perendaman suatu bahan dapat meningkatkan permeabilitas dinding sel melalui masuknya pelarut kedalam dinding sel sehingga membuat sel membengkak. Pembengkakan sel dapat menyebabkan senyawa yang terdapat dalam dinding sel tanaman akan terlepas dan masuk ke dalam pelarut. Hal ini menyebabkan difusi senyawa yang terekstraksi oleh pelarut keluar dari dinding sel tanaman. Harborne (1996) mengatakan bahwa metode ekstraksi dapat dikelompokan menjadi dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi sederhana meliputi maserasi, perkolasi, reperkolasi, evakolasi, dan dialokasi. Ekstraksi khusus meliputi sokletasi, arus balik dan ultrasonik. Maserasi adalah ekstraksi suatu bahan menggunakan pelarut dengan pengadukan pada suhu ruang. Pada remaserasi sebagian pelarut digunakan untuk maserasi lalu setelah penyaringan, residu digunakan lagi untuk kedua kalinya dengan sisa pelarut yang ada dan disaring kembali, lalu kedua
filtrat digabungkan pada tahap akhir ( List, 1989). Pada proses perkolasi, ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut segar. Hanya pelarut segar yang digunakan dalam proses ini sehingga membutuhkan waktu yang lama dan jumlah pelarut yang banyak. Proses reperkolasi menggunakan pelarut segar dan hasil perkolasi pertama yang digabungkan untuk ekstraksi berikutnya ( List, 1989). Pelarut segar
Pelarut segar
Reperkolat
Bahan
Bahan
Ekstrak
Ekstrak
A.Perkolasi
B.Reperkolasi
Gambar 4. Diagram perbandingan metode perkolasi dengan reperkolasi Berdasarkan hasil penelitian Moestafa (1976), ekstraksi oleoresin dengan cara perkolasi selama tiga jam menghasilkan oleoresin lebih tinggi daripada ekstraksi soxhlet selama delapan jam. Salah satu penyebab tingginya oleoresin menggunakan cara perkolasi karena mengalami proses pengadukan. Pengadukan yang baik akan meningkatkan kecepatan pelarutan dan meningkatkan intensitas kontak partikel bahan dengan pelarut (Erle, 1966). Oleoresin yang diperoleh dipengaruhi oleh lama ekstraksi, suhu dan jenis pelarut yang digunakan. Penggunaan suhu tinggi dapat mempercepat proses ekstraksi dan menyebabkan kerusakan terhadap komponen yang terkandung dalam bahan. Oleh karena itu penggunaan suhu dalam proses ekstraksi harus diperhatikan agar tidak merusak komponen oleoresin bahan. Pemanasan yang melebihi suhu 100oC akan menyebabkan penguraian komponen penyusun oleoresin, sehingga akan menimbulkan perubahan bau dan minyak atsiri banyak yang menguap (Sabel dan Warren, 1973). Pada kondisi proses ekstraksi terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi oleoresin yang dihasilkan yaitu penyiapan bahan sebelum ekstraksi, kondisi proses ekstraksi dan proses pemisahan pelarut dari hasil ekstraksi. Menurut Sutianik (1999) persiapan bahan mencakup pengeringan bahan sampai kadar air tertentu dan penggilingan, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah proses ekstraksi yang dilakukan. Kadar air yang tinggi akan menyebabkan oleoresin yang terekstrak mengandung komponen larut dalam air seperti gula, sehingga menyebabkan perubahan aroma dan rasa. Bahan yang diekstrak masih mengandung pelarut yang digunakan untuk melarutkan oleoresin, untuk itu maka pelarut harus dipisahkan dari oleoresin. Pemisahan pelarut dari oleoresin merupakan tahapan yang sangat penting karena pemisahan pelarut akan menentukan kandungan sisa pelarut yang masih tertinggal dalam oleoresin, sisa pelarut ini dapat mempengauhi mutu oleoresin ( Lestari, 2006).
2.4.
ANALISIS KUANTITATIF MENGGUNAKAN HPLC
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) adalah sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi. Hal ini dikarenakan kemajuan teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sangat sensitif dan beragam. Peralatan penting yang terdapat dalam HPLC meliputi reservoir pelarut, pompa, injektor, kolom dan detektor. Proses pemisahan komponen sampel terjadi pada bagian kolom. Pemisahan komponen campuran dalam kolom dilakukan berdasarkan perbedaan penyerapan masing-masing komponen pada permukaan fase diam. Zat-zat
yang terabsorpsi kuat dalam fase diam akan lama bertahan dalam kolom, sedangkan yang terabsorbsi lemah akan keluar dengan cepat dari kolom. Sebagian besar pemisahan dengan HPLC modern menggunakan kolom yang siap pakai. Pemisahan senyawa terjadi dalam kolom dengan perantara fase gerak, kemudian diidentifikasikan karakteristik komponen-komponennya di dalam detektor (Gritter et al. 1991).
III. BAHAN DAN METODE
3.1. BAHAN DAN ALAT 3.1.1 Bahan Baku Bahan baku yang digunakan adalah temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) berumur sembilan bulan yang telah diiris dan dikeringkan. Temulawak tersebut diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional yang berlokasi di Tawangmangu.
3.1.2 Bahan Kimia Bahan kimia yang digunakan adalah etanol teknis 70% , kloroform P, etanol 95%, H2SO4, NaOH, aseton, HCl, air destilat, etanol p.a, air bebas ion HPLC grade, dan berbagai bahan kimia lain untuk analisis pengujian.
3.1.3 Alat Peralatan yang digunakan meliputi erlenmeyer, shaker, perkolator, pompa, pipet volumetrik, neraca analitik, desikator, rotary evaporator, labu uap, gelas ukur, lemari asam, grinder, cawan porselein, peralatan HPLC, tanur, pompa vakum serta berbagai macam peralatan lainnya.
3.2.
METODE PENELITIAN 3.2.1 Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan, dilakukan karakterisasi sifat fisika-kimia temulawak bubuk (kadar air, kadar abu total, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar lemak, kadar serat kasar, serta kadar protein) dan penentuan waktu ekstraksi. Sebelum dilakukan ekstraksi, rimpang temulawak yang telah kering digiling dengan menggunakan hammer mill dengan ukuran 20 mesh. Proses ekstraksi dilakukan sesuai suhu ruang yaitu 25oC dengan waktu 5, 10, 20, 40, 60, 80, 100, dan 120 menit. Penelitian pendahuluan ini berfungsi untuk menentukan washing time untuk mengekstrak temulawak.
3.2.2 Penelitian Utama Berdasarkan pada penelitian pendahuluan, hasil washing time yang diperoleh digunakan sebagai acuan untuk menentukan waktu yang digunakan pada penelitian utama. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian pendahuluan mengenai washing time ekstraksi temulawak adalah selama 120 menit. Pada penelitian utama ini waktu yang digunakan untuk ekstraksi temulawak adalah kelipatan dari washing time yang diperoleh, yaitu: 4, 6,8, 10, 12, 14, 16, 18, 20, 22, dan 24 jam dengan menggunakan nisbah bahan dan pelarut 1:10. Setelah itu ekstrak diuapkan menggunakan rotary evaporator sampai tidak ada lagi pelarut yang menetes pada alat. Ekstrak
kental yang diperoleh dianalisis menggunakan alat HPLC (high performance liquid chromatography). Pada ekstraksi dengan metode maserasi, bahan diekstraksi langsung sesuai dengan jam yang telah ditentukan, kemudian disaring dan pelarutnya diuapkan dengan rotary evaporator hingga tidak terdapat pelarut yang menetes. Pada metode ekstraksi remaserasi, bahan sebanyak 10 gram diekstraksi dengan pelarut sebanyak 100 ml selama dua jam, setelah itu disaring dan residu hasil saringan digunakan kembali untuk ekstraksi kedua. Pada ekstrasi remaserasi turut pula digunakan pelarut sebanyak 100 ml. Dengan demikian pada ekstraksi dengan metode remaserasi akan dibutuhkan pelarut dua kali lebih banyak dibandingkan dengan metode maserasi. Diagram alir untuk metode maserasi dan remaserasi masing-masing terdapat pada Gambar 5. dan Gambar 6. Ekstraksi dengan metode perkolasi dan reperkolasi diawali dengan maserasi selama dua jam. Setelah itu dilakukan penyaringan, kemudian residu hasil maserasi diekstrak kembali menggunakan perkolator. Pada metode perkolasi kecepatan alir perkolator yang digunakan diatur sedemikian rupa agar pelarut dapat mengekstrak bahan berdasarkan waktu-waktu yang telah ditentukan. Berbeda dengan metode perkolasi, pada metode reperkolasi kecepatan alir perkolator yang digunakan adalah kecepatan maksimal, kemudian ekstraksi dilakukan berulang selama waktu yang telah ditentukan dengan bantuan pompa untuk menaikkan ekstrak. Diagram alir untuk metode perkolasi dan reperkolasi masing-masing terdapat pada Gambar 7 dan Gambar 8.
Temulawak bubuk 10 g
Etanol + Air
Ekstraksi dengan maserator (Bahan:Pelarut = 1:10, 200 rpm)
Pengadukan (tanpa pemanasan) (t= x jam, 200 rpm)
Penyaringan (Vaccum Filtration)
Residu
Penguapan dengan rotary evaporator (T= 40oC, P= 30 mbar)
Pelarut
Ekstrak kental Gambar 5. Diagram alir ekstraksi kurkuminoid dengan metode maserasi
Temulawak bubuk 10 g
Etanol + Air
Ekstraksi dengan maserator (Bahan:Pelarut = 1:10, 200 rpm)
Pengadukan (tanpa pemanasan) (t= x jam, 200 rpm)
Penyaringan (Vaccum Filtration)
Residu
Filtrat 2
Filtrat 1
Penguapan dengan rotary evaporator (T= 40oC, P= 30 mbar)
Pelarut
Ekstrak kental
Gambar 6. Diagram alir ekstraksi kurkuminoid dengan metode remaserasi
Temulawak bubuk 10 g
Etanol + Air
Ekstraksi dengan maserator (Bahan:Pelarut = 1:10, t= 2jam, 200 rpm)
Penyaringan (Vaccum Filtration)
Etanol + Air
Residu
Pelarut
Filtrat 1
Ekstraksi langsung dengan perkolator (Pelarut = 10 ml, t= x jam, 200 rpm)
Penyaringan
Penguapan dengan rotary evaporator (T= 40oC, P= 30 mbar)
Ekstrak kental Gambar 7. Diagram alir ekstraksi kurkuminoid deangan metode perkolasi
Temulawak bubuk 10 g
Etanol + Air
Ekstraksi dengan maserator (Bahan:Pelarut = 1:10, t= 2jam, 200 rpm)
Penyaringan (Vaccum Filtration)
Etanol + Air
Filtrat 1
Ekstraksi berulang dengan perkolator (Pelarut = 10 ml, t= x jam, 200 rpm)
Penyaringan Residu
Pelarut
Penguapan dengan rotary evaporator (T= 40oC, P= 30 mbar)
Ekstrak kental Gambar 8. Diagram alir ekstraksi kurkuminoid deangan metode reperkolasi
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN 4.1.1. Analisis Kandungan Senyawa Kimia Pada tahap ini dilakukan analisis proksimat terhadap kandungan kimia yang terdapat dalam temulawak kering yang akan menjadi sampel ekstraksi kurkumin. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kandungan kadar air, kadar pati, kadar lemak, kadar minyak atsiri, kadar protein, kadar serat kasar serta kadar abu. Tabel 4. menunjukkan hasil analisis proksimat terhadap rimpang temulawak yang digunakan dalam penelitian. Tabel 4. Kadar proksimat rimpang temulawak kering Kadar Komposisi (%) Air Pati Lemak Minyak atsiri Protein Serat kasar Abu
14.97 58.56 7.45 Tidak terukur* 7.07 7.63 5.07
Keterangan: * Nilai relatif sangat kecil Rimpang temulawak merupakan tanaman herbal yang mengandung air, pati, lemak, protein, abu serat, minyak atsiri dan kurkuminoid. Kandungan kimia tersebut menjadi alasan kuat penggunaan temulawak sebagai sumber bahan pangan, bahan baku obat, dan bahan baku industri. Dalam rimpang temulawak terdapat senyawa minyak atsiri yang merupakan pemberi aroma pada temulawak. Menurut Herman (1995) kadar minyak atsiri yang terdapat dalam temulawak bernilai 3-12%, tetapi pada penelitian ini kadar minyak atsiri rimpang temulawak tidak dapat dihitung. Tidak terukurnya kadar minyak atsiri pada rimpang temulawak dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain proses pengeringan yang terlalu lama, suhu pengeringan yang terlalu tinggi, ukuran bahan, serta proses penyimpanan. Proses pengeringan yang terlalu lama berakibat pada hilangnya minyak atsiri yang terkandung dalam bahan. Minyak atsiri memiliki sifat mudah menguap dan suhu pengeringan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada minyak atsiri. Pada penelitian ini lama waktu pengeringan tidak ditentukan, sedangkan suhu pengeringan ditetapkan sebesar 50 oC. Pengeringan dihentikan pada saat temulawak dirasa sudah cukup kering. Setelah proses pengeringan, bahan dihaluskan dengan menggunakan hammer mill 20 mesh. Semakin halus ukuran bahan maka kemungkinan hilangnya minyak atsiri akan semakin tinggi. Namun demikian, pengecilan ukuran sampel berpengaruh terhadap peningkatan luas permukaan contoh sehingga ekstraksi akan menjadi lebih optimal. Setelah rimpang menjadi serbuk maka dilakukan penentuan kadar air. Nilai kadar air diperoleh sebesar 14.97%. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan kadar air yang dianjurkan yaitu sekitar 10%, pengurangan kadar air mencapai 10% ini bertujuan untuk mengurangi kerusakan akibat altivitas mikroorganisme.
Abu berasal dari mineral-mineral yang terkandung dalam temulawak seperti Kalium (K), Natrium (Na), Magnesium (Mg), Besi (F), Mangan (Mn), dan Kadmium (Cd). Kadar abu total dari bahan yang digunakan adalah sebesar 5.07%. Syarat abu total yang ditetapkan FDA adalah 3-7%. Nilai abu total merupakan acuan untuk mengetahui kemurnian bahan yang digunakan, dalam hal ini berarti bahwa kandungan mineral yang terdapat dalam bahan telah memenuhi standar yang ditetapkan. Perbedaan nilai kandungan kimia yang terdapat pada rimpang temulawak dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur rimpang, tempat tumbuh, alat serta metode analisis yang digunakan. Rimpang temulawak memiliki kandungan kurkuminoid terbesar pada saat berumur sembilan bulan sejak masa tanam. Untuk mendapatkan kualitas produk yang lebih stabil diperlukan alternatif pengolahan. Pembuatan ekstrak temulawak yang berasal dari temulawak segar merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan kualitas aroma, memperpanjang umur simpan serta mempermudah proses pengemasan dan penyimpanan. Nilai tambah lain dari ekstrak temulawak adalah nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan bentuk segarnya. Selain itu, teknologi proses yang diperlukan untuk memperoleh ekstrak temulawak relatif sederhana sehingga dapat dilakukan oleh pengusaha kecil.
4.1.2. Penentuan Washing Time Washing time merupakan waktu yang dibutuhkan oleh pelarut untuk mengeluarkan senyawa yang terdapat di luar sel. Penentuan washing time dalam penelitian ini dimulai dari 5, 10, 20, 30, 40, hingga 120 menit. Berdasarkan hasil washing time (Gambar 9), diketahui bahwa waktu dua jam telah mencukupi untuk pencucian sampel. Oleh karena itu dalam proses ekstraksi, waktu yang digunakan adalah kelipatan dari waktu washing time yang bernilai dua jam. Mengacu pada hasil tersebut maka waktu ekstraksi yang digunakan adalah 4 jam, 6 jam, 8 jam hingga 24 jam.
persentase rendemen washing time
rendemen (%)
11 10.5 10 rendemen (%b/b)
9.5 9 5'
10'
29'
40'
60'
80' 100' 120'
waktu (menit) Gambar 9. Persentase rendemen washing time Terdapat dua proses utama pada ekstraksi temulawak yaitu washing out dan difusi (List, 1989). Pada proses washing out terjadi penarikan senyawa-senyawa yang terdapat diluar sel, dimana saat dilakukan pengecilan ukuran, sebagian sel akan pecah dan senyawa yang keluar akibat kerusakan sel tersebut akan ditarik oleh pelarut selama proses washing out. Setelah mengalami washing out, ekstraksi akan memasuki proses difusi. Pada proses ini pelarut harus menembus dinding sel terlebih dahulu sehingga senyawa lebih susah ditarik. Pelarut dapat
melewati dinding sel karena adanya gradient konsentrasi, sehingga senyawa yang memiliki kelarutan yang sama akan larut dan ditarik oleh pelarut. Pelarut akan membawa senyawa tersebut keluar dari sel hingga senyawa yang terdapat dalam sel ditarik sempurna. Pelarut akan berhenti menarik senyawa jika keadaan pelarut sudah jenuh dan tidak lagi memiliki gradient konsentrasi.
Gambar 10. Mekanisme penarikan senyawa (List, 1989)
4.2. EKSTRAKSI RIMPANG TEMULAWAK Ekstraksi adalah proses penarikan komponen aktif dari suatu campuran padatan dan/atau cairan dengan menggunakan pelarut tertentu. Proses ini merupakan langkah awal yang penting dalam penelitian tanaman obat, karena preparasi ekstrak kasar tanaman merupakan titik awal untuk isolasi dan pemurnian komponen kimia yang terdapat dalam tanaman (Mandal et al, 2007). Ekstraksi senyawa aktif dari tanaman obat merupakan pemisahan secara fisik atau kimiawi dengan menggunakan cairan atau padatan dari bahan padat. Pada ekstraksi kurkuminoid temulawak untuk bahan baku obat-obatan, pemilihan jenis pelarut merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keamanan serta tinggi rendahnya hasil ekstraksi kurkuminoid. Penelitian ini menggunakan etanol sebagai pelarut. Pertimbangan yang mendasari pengambilan keputusan tersebut adalah adanya pendapat Purseglove et al. (1981) yang menyatakan bahwa ekstraksi rimpang temulawak untuk memperoleh oleoresin dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut polar. Di antara banyak pelarut organik, pelarut etanol adalah salah satu pelarut yang cocok untuk memisahkan kurkuminoid secara optimal. Kadar etanol yang digunakan adalah sebesar 70% sesuai dengan standard yang ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Obat dan Makanan. Harborne (1996) menegaskan bahwa metode ekstraksi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi sederhana meliputi maserasi, perkolasi, reperkolasi, evakolasi, dan dialokasi, sedangkan ekstraksi khusus meliputi sokletasi, arus balik dan ultrasonik. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi sederhana, mengingat bahwa metode ekstraksi sederhana merupakan metode yang lebih banyak digunakan serta lebih murah dan praktis untuk diaplikasikan pada industri. Mengacu pada hal tersebut, maka metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi maserasi, remaserasi, perkolasi, dan reperkolasi. Keseluruhan metode tersebut merupakan ekstraksi dingin sehingga tidak menggunakan panas dalam prosesnya. Tidak digunakannya pemanasan dalam keempat metode tersebut diharapkan dapat meminimalkan kemungkinan rusaknya kurkuminoid yang terkandung dalam temulawak. Selanjutnya proses ekstraksi dalam penelitian ini dilakukan melalui penggunaan suhu ruang dengan tekanan 1 atm dan pengadukan 200 rpm.
4.2.1. Metode Maserasi Maserasi yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dengan larutan penyari dengan atau tanpa pengadukan. Maserasi dibedakan menjadi tiga jenis yaitu maserasi sederhana, kinetika maserasi, dan maserasi dengan pengguanan tekanan. Maserasi sederhana didefinisikan sebagai metode ekstraksi dimana sampel direndam menggunakan pelarut dalam kurun waktu tertentu dengan atau tanpa pengadukan pada suhu ruang. Kinetika maserasi dan maserasi dengan tekanan tidak jauh berbeda dengan maserasi sederhana. Titik perbedaan kinetika maserasi terletak pada dilakukannya pengadukan berkecepatan konstan, sedangkan perbedaan pada maserasi dengan tekanan terletak pada kondisi tekanan yang digunakan dalam ekstraksi (bukan tekanan ruang), sehingga proses tersebut lebih efektif. Metode maserasi yang digunakan dalam penelitian ini cenderung mengarah pada kinetika maserasi karena menggunakan pengadukan yang konstan, yakni 200 rpm. Berdasarkan hasil penelitian untuk metode maserasi, diperoleh nilai rendemen pada interval 12.20% hingga 12.60% (Lampiran 3), dimana rendemen tertinggi diperoleh pada lama waktu maserasi 24 jam yaitu sebesar 12.59%. Nilai rendemen terendah diperoleh pada lama waktu maserasi 8 jam yaitu sebesar 12.22%. Hasil ekstraksi dengan metode maserasi selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 11 dan Lampiran 3.
rendemen (%)
12.80 12.60 12.40 12.20
rendemen
12.00 4" 6" 8" 10" 12" 14" 16" 18" 20" 22" 24" waktu (menit) Gambar 11. Rendemen metode maserasi. Pada perbandingan terhadap masing-masing lama waktu yang digunakan tidak terlihat perbedaan yang begitu nyata. Perbedaan waktu yang cukup jauh hanya menghasilkan selang rendemen sebesar 0.4 %. Oleh karena itu penentuan lama waktu ekstraksi pada metode maserasi cukup dilakukan pada waktu 4 jam dengan hasil rendemen sekitar 12.2%.
4.2.2. Metode Remaserasi Secara umum metode remaserasi tidak jauh berbeda dengan metode maserasi. Perbedaan metode remaserasi terletak pada digunakannya sebagian pelarut untuk maserasi, dimana setelah penyaringan akan dilakukan pengunaan kembali terhadap komponen residu untuk kedua kalinya dengan sisa pelarut yang ada untuk kemudian disaring kembali. Setelah itu kedua filtrat digabungkan pada tahap akhir. Metode remaserasi ini menggunakan jumlah pelarut dua kali lebih banyak dibanding metode maserasi, karena pelarut yang digunakan bukan sebagian dari perbandingan yang telah ditetapkan. Metode remaserasi merupakan hasil modifikasi dari literatur, dimana untuk melakukan metode remaserasi digunakan perbandingan tetap sebesar 1:10, baik pada maserasi pertama maupun maserasi kedua.
Metode remaserasi yang digunakan dalam penelitian ini menghasilkan rendemen ekstrak antara 15.60% - 16.70%. Perbandingan nilai tertinggi dan nilai terendah dalam metode remaserasi adalah sebesar 1.10%, sedangkan perbandingan rendemen metode maserasi dan remaserasi adalah sebesar 4%. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan jumlah pelarut yang digunakan, total pelarut yang digunakan pada proses maserasi adalah 100 ml sedangkan pada proses remaserasi adalah 200 ml. Meskipun demikian, pada dasarnya perbedaan pelarut tersebut tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap perolehan rendemen. Rendemen tertinggi pada metode remaserasi diperoleh pada lama ekstraksi 24 jam (16.69%), sedangkan rendemen terendah diperoleh pada lama ekstraksi 4 jam (15.66%). Hasil perolehan rendemen keseluruhan pada metode remaserasi dapat dilihat pada Gambar 12 dan Lampiran 4.
rendemen (%)
17.00 16.50 16.00 rendemen
15.50 15.00 4" 6" 8" 10" 12" 14" 16" 18" 20" 22" 24" waktu (menit) Gambar 12. Rendemen metode remaserasi
Grafik perolehan rendemen memperlihatkan bahwa jumlah rendemen dari 12 jam hingga 24 jam tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Dengan perbandingan waktu yang cukup lama, perolehan nilai rendemen tertinggi dan terendah hanya berselang 1 % sehingga dengan ekstraksi selama 4 jam pada metode remaserasi telah dapat mencukupi dan menarik bahan secara keseluruhan.
4.2.3. Metode Perkolasi Metode perkolasi menggunakan pelarut segar untuk mengekstrak sampel. Pelarut tersebut dialirkan melalui alat yang disebut perkolator. Pelarut bersentuhan dengan sampel secara kontinu sehingga metode ini membutuhkan pelarut yang sangat banyak. Namun, kecepatan alir bahan pada perlakuan ini diatur sedemikian rupa agar pelarut sebanyak 100 ml habis digunakan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Semakin lama waktu ekstraksi maka kecepatan alir pelarut semakin kecil dan kontak dengan bahan menjadi lebih lama. Oleh karena itu, semakin lama waktu perkolasi maka rendemen yang diperoleh akan semakin tinggi. Kecepatan alir yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan tercucinya pelarut sebelum sampai ke dalam sel bahan. Jumlah rendemen yang diperoleh pada metode perkolasi dapat dilihat pada Gambar 13 dan Lampiran 5.
15.50 rendemen (%)
15.00 14.50 14.00 13.50 rata-rata
13.00 12.50 12.00 4"
6"
8" 10" 12" 14" 16" 18" 20" 22" 24" waktu (menit)
Gambar 13. Rendemen metode perkolasi. Rendemen metode perkolasi bernilai antara 12.50% - 15.00%, dengan selang rendemen sebesar 2.5%. Angka tersebut menunjukkan selang rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan selang rendemen pada metode maserasi dan remaserasi. Rendemen tertinggi (14.90%) diperoleh pada waktu perkolasi 24 jam dan rendemen terendah (12.60%) diperoleh pada waktu perkolasi 4 jam. Sama halnya dengan metode remaserasi, peningkatan rendemen setelah 12 jam terlihat tidak signifikan. Perbedaan sebesar 2.5% antara rendemen terendah dan rendemen tertinggi relatif cukup tinggi dalam skala industri, tetapi jika dilihat berdasarkan waktu pengerjaannya maka ekstraksi selama 4 jam telah cukup untuk mengekstrak keseluruhan bahan.
4.2.4. Metode Reperkolasi Pada metode reperkolasi, pelarut yang digunakan tidak selalu segar seperti metode perkolasi. Pelarut disirkulasikan terus-menerus menggunakan pompa yang terhubung dengan perkolator. Sirkulasi secara kontinu dilakukan agar pelarut yang belum jenuh masih dapat menarik senyawa yang terdapat dalam bahan. Pompa akan membantu pelarut naik lagi ke atas sehingga penyaringan dapat dilakukan berulang. Pada metode ini kecepatan alir pelarut tidak bisa ditentukan. Kecepatan alir pelarut disesuaikan dengan kekuatan pompa dan lebar pipa perkolator. Gambar 14 dan Lampiran 6. menunjukkan rendemen yang diperoleh untuk masingmasing waktu ekstraksi dengan metode reperkolasi.
rendemen (%)
16.00 15.50 15.00
rendemen
14.50 4" 6" 8" 10" 12" 14" 16" 18" 20" 22" 24" waktu (menit) Gambar 14. Rendemen metode reperkolasi
Pada gambar di atas terlihat bahwa rendemen reperkolasi memiliki nilai antara 15% 16%. Rendemen tertinggi diperoleh pada waktu ekstraksi 14 jam dan rendemen terendah diperoleh pada waktu ekstraksi empat jam. Dalam hal ini waktu reperkolasi terlama tidak memberikan hasil rendemen terbesar. Terdapat beberapa faktor yang memungkinkan terjadinya kondisi tersebut seperti kehilangan bahan saat proses penyaringan, proses penguapan yang terlalu lama dan beberapa hal lainnya. Selang rendemen pada metode reperkolasi tidak pula terlihat signifikan karena tidak mencapai 1%. Sama halnya dengan metode sebelumnya, waktu ekstraksi 4 jam telah cukup untuk mengekstrak seluruh senyawa yang terdapat dalam bahan. Rendemen yang diperoleh dengan metode ini lebih tinggi dibandingkan metode perkolasi karena kontak bahan dengan pelarut pada metode ini lebih tinggi dibandingkan pada metode perkolasi. Besarnya kontak antara pelarut dengan bahan pada metode ini menyababkan pelarut dapat berdifusi lebih baik dibandingkan pada metode perkolasi.
4.2.5 Perbandingan Rendemen Seluruh Metode Ekstraksi Rendemen ekstrak temulawak dari keempat metode tersebut di atas berselang antara 12% hingga 17%, dimana rendemen terendah diperoleh pada ekstraksi dengan metode maserasi. Dihasilkannya rendemen terndah pada metode maserasi disebabkan oleh minimnya jumlah pelarut. Berdasarkan Gambar 15 dapat dilihat bahwa pada selang rendemen antara nilai tertinggi dan terendah pada metode maserasi tidak terlalu jauh. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelarut telah mencapai titik jenuh. Sedikitnya jumlah pelarut yang digunakan pada metode maserasi berakibat semakin cepatnya pelarut tersebut mencapi titik jenuh. Metode maserasi hanya menggunakan pelarut sebanyak 100 ml. Jumlah tersebut hanya setengah dari jumlah pelarut yang digunakan pada metode remaserasi. Metode remaserasi yang memiliki jumlah pelarut lebih banyak memperoleh nilai rendemen yang lebih tinggi dibandingkan metode maserasi. Pada ekstraksi dengan metode remaserasi, residu pelarut yang digunakan merupakan pelarut baru sehingga pelarut belum mengalami kejenuhan dan memiliki kemampuan mengekstrak lebih tinggi. Larutan jenuh adalah larutan yang mengandung jumlah terlarut berlebihan sedemikian rupa, pada suhu tertentu, sehingga kelebihan itu tidak dapat lagi melarut. Jenuh berarti pelarut telah seimbang dengan zat terlarutnya, atau jika larutan tidak dapat lagi melarutkan zat terlarut yang ditambahkan. Hal tersebut menjadi pertanda bahwa konsentrasi telah mencapai titik maksimal. Berdasarkan perbandingan antar metode dapat disimpulkan bahwa nisbah pelarut dengan bahan dan pengadukan dapat mempengaruhi jumlah rendemen. Metode maserasi menggunakan perbandingan 1:10 dengan pengadukan. Metode remaserasi turut pula dilakukan dengan perbandingan 1:10, tetapi proses ekstraksi pada remaserasi dilakukan dua kali dengan dua kali pengadukan dan jumlah pelarut dua kali lebih banyak (200 ml). Metode perkolasi dilakukan dengan jumlah pelarut keseluruhan sebesar 200 ml, namun pengadukan hanya dilakukan sekali pada waktu maserasi. Ekstraksi dengan perkolator tidak mengalami pengadukan, sehingga pelarut hanya sekali melewati bahan dan tidak dapat bekerja maksimal untuk menarik senyawa yang terdapat dalam residu bahan. Metode reperkolasi dilakukan dengan jumlah pelarut dan pengadukan yang sama seperti metode perkolasi. Pengadukan pada metode reperkolasi juga hanya terjadi sekali pada saat maserasi. Perbedaan metode reperkolasi terletak pada terjadinya sirkulasi berulang. Sirkulasi berulang berdampak terhadap dihasilkannya lebih banyak rendemen. Sirkulasi tersebut memberi efek seperti pengadukan kecil terhadap bahan yang terdapat dalam perkolator, sehingga pelarut dapat menarik senyawa aktif lebih baik dibandingkan metode
rendemen (%)
perkolasi. Meskipun menghasilkan rendemen lebih banyak dibandingkan metode perkolasi, metode reperkolasi tidak dapat menghasilkan rendemen lebih banyak dibandingkan metode remaserasi. Melalui penggunaan jumlah pelarut yang sama dengan metode perkolasi dan reperkolasi, aktivitas pengadukan dua kali lipat pada metode remaserasi dapat menarik senyawa lebih banyak dibandingkan ketiga metode lainnya. 18.00 17.00 16.00 15.00 14.00 13.00 12.00 11.00 10.00
Remaserasi maserasi perkolasi reperkolasi 4" 6" 8" 10" 12" 14" 16" 18" 20" 22" 24" waktu (menit) Gambar 15. Perbandingan rendemen metode ekstraksi
Perhitungan analisis varian menggunakan SAS 9.1 (Lampiran 7) menunjukkan nilai pvalue uji kurang dari alpha 5%. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa pemberian perlakuan metode ekstraksi dan waktu berpengaruh terhadap jumlah rendemen. Kendati berpengaruh, interaksi antara metode dengan waktu tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan karena pvalue yang bernilai lebih besar dari alpha 5%. Perhitungan analisis varian dilanjutkan oleh uji Duncan, yakni dengan mengelompokkan metode berdasarkan perbedaan signifikan. Melalui uji Duncan diketahui bahwa metode maserasi, remaserasi, perkolasi dan reperkolasi memiliki perbedaan yang signifikan terhadap jumlah rendemen yang dihasilkan. Hasil uji Duncan mengindikasikan bahwa peringkat jumlah rendemen secara berurutan dari tingkat tertinggi hingga tingkat terkecil ditempati oleh metode remaserasi, reperkolasi, perkolasi, dan maserasi. Uji Duncan menghasilkan huruf Duncan yang berbeda untuk setiap metode yaitu A untuk remaserasi, B untuk reperkolasi, C untuk perkolasi, dan D untuk maserasi. Huruf A merepresentasikan nilai tertinggi, sebaliknya nilai D merepresentasikan nilai terendah. Uji Duncan turut pula menyatakan bahwa komponen lama waktu ekstraksi antara 12 jam hingga 24 jam tidak berbeda signifikan karena uji. Uji Duncan memberi nilai A pada kelompok selang waktu tersebut. Senada dengan kelompok selang waktu sebelumnya, kelompok selang waktu ekstraksi antara 10 jam hingga 20 jam tidak pula menunjukkan perbedaan yang nyata dan memberi nilai B bagi kelompok selang waktu tersebut. Berdasarkan uji Duncan, kelompok selang waktu ekstraksi 6 jam hingga 10 jam juga tidak berbeda nyata antara satu dengan yang lain. Uji Duncan mengelompokkannya dengan huruf Duncan C. Pada selang tersebut terdapat pengecualian terhadap waktu ekstraksi 4 jam hingga 8 jam dimana selang waktu tersebut memperoleh huruf Duncan D. Hasil analisis uni Duncan memberi kesimpulan bahwa ekstraksi 4 jam berbeda dengan ekstraksi 10 jam dan ekstraksi 10 jam berbeda dengan ekstraksi 22 jam. Tetapi jika dilihat berdasarkan nilai tengah keseluruhan data maka akan terlihat bahwa perbedaan antara nilai tertinggi (14.93) dengan nilai terendah (13.90) hanya berselisih satu angka. Oleh karena itu
untuk efisiensi waktu dan tenaga, ekstraksi selama 4 jam sudah cukup untuk diterapkan dalam industri yang membutuhkan ekstraksi sebagai salah satu prosesnya.
4.3.
ANALISIS KUANTITATIF KURKUMINOID MENGGUNAKAN
HPLC
Kadar kurkumin yang teresktraksi ditentukan dengan membandingkan luas area antara peak kurkumin standar dengan luas area peak kurkumin sampel. Oleh karena itu data luas area peak kurkumin standar hasil analisis HPLC dirubah terlebih dahulu kedalam bentuk regresi linear, Perhitungan tersebut terdapat pada Lampiran 8. Penentuan senyawa kurkumin pada kromatogram sampel ditentukan berdasarkan kemiripan waktu retensi antara peak kurkumin standar dengan peak senyawa yang terdapat pada kromatogram sampel. Waktu retensi peak senyawa pada sampel yang sama dengan waktu retensi peak kurkumin standar atau yang hampir sama dengan waktu retensi peak kurkumin standar, diperkirakan berasal senyawa yang sama yaitu kurkumin. Contoh kromatogram sampel dan standar kurkumin hasil analisis HPLC seperti terlihat pada Gambar 16. Sedangkan luas area peak kurkumin keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 9 hingga Lampiran 13. kurkumin 20 ppm K-2501 Kurkuminoid dan ekstrak Temulawa
400000
standar
Retention Time Width Width at 50% height
350000
300000
300000
250000
250000
200000
200000
150000
150000
100000
100000
0.19 0.00
0.29 0.00
0
6.010
0
50000
7.005
1.27 0.00
0.37 0.00
5.602
0.39 0.00
5.388
5.002
4.582
1.668
50000
0.41 0.00
uAU
350000
0.18 0.00
uAU
400000
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
P 20 10.1 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
600000
600000
Retention Time Width Width at 50% height
sampel
400000
400000
300000
300000
200000
200000
7.412
1.23 0.00
0.88 0.00
0.34 0.00
0.34 0.00
100000
0
6.205
0
5.793
5.533
0.42 0.00 5.120
0.30 0.00
0.51 0.00 4.363
4.733
0.70 0.00 1.363
1.677
100000
0.24 0.00
uAU
500000
uAU
500000
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
Gambar 16. Kromatogram standar kurkuminoid (atas) dan sampel (bawah) Kromatogram hasil hasil HPLC memperlihatkan bahwa standar dan sampel yang dianalisis memiliki 1 peak, hal ini berarti standar dan sampel memiliki senyawa yang sama. Jika dilihat dari waktu retensinya, standar memiliki waktu retensi 6.010 menit, sedangkan sampel memiliki waktu
retensi 6.205. Hal ini semakin memperjelas bahwa sampel mengandung senyawa yang sama dengan standar. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa kurkuminoid pada temulawak terdiri dari kurkumin dan desmetoksikurkumin. Desmetoksikurkumin memiliki komposisi yang lebih rendah dibandingkan kurkumin, tetapi dalam hasil HPLC hanya terbentuk 1 peak. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam sampel hanya terdapat kurkumin, sedangkan desmetosikurkumin berjumlah sangat sedikit sehingga hanya terbentuk 1 peak. Selain waktu retensi, panjang spektrum sinar UV juga dapat menentukan kemiripan suatu senyawa. Pada senyawa standar, kurkumin terlihat pada panjang gelombang 428 nm sedangkan pada sampel temulawak yang digunakan juga terlihat senyawa pada panjang gelombang 428 nm, hal berarti senyawa yang yang terdapat pada sampel juga merupakan senyawa yang sama seperti pada standar yaitu kurkumin. Berdasarkan waktu retensi dan panjang spektrum sinar UV diketahui bahwa sampel yang digunakan mengandung kurkuminoid. Contoh spektrum sinar UV sampel dan standar kurkumin hasil analisis HPLC seperti terlihat pada Gambar 17.
428
Spektrum UV-Vis Kurkumin
22.5
22.5
standar
20.0
20.0
15.0
12.5
12.5
10.0
10.0
7.5
7.5
258
211
mAU
17.5
15.0
mAU
17.5
5.0
5.0
2.5
2.5
0.0
0.0
200
220
240
260
280
300
320
340
360
380
400
420
440
460
480
500
nm
Spektrum UV-Vis Sampel Temulawak M12 900
900
sampel
700
600
600
500
500
400
400
300
300
100
314
100
259
200
250
200
0
200
mAU
800
700
428
mAU
800
0
220
240
260
280
300
320
340
360
380
400
420
440
460
480
500
nm
Gambar 17. Grafik analisis spektrum sinar UV standar dan sampel Perbandingan kadar kurkuminoid yang diperoleh dari hasil analisis ekstrak berdasarkan metode dan waktu ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 18. Pada gambar terlihat bahwa kadar kurkumin tertinggi diperoleh dengan metode maserasi selama 12 jam, dimana kadar kurkuminoid tersebut adalah sebesar 6.7 %. Kadar terendah dimiliki oleh maserasi selama 16 jam dengan nilai sebesar 0.6 %. Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan maserasi selama 12 jam yang memiliki kadar kurkuminoid
tertinggi. Perbedaan ini tidak berarti bahwa ekstrak yang diperoleh dari hasil maserasi 16 jam tidak memiliki kurkuminoid. Pada maserasi selama 16 jam terdapat pula kurkuminoid, tetapi kadar kurkuminoid yang diperoleh berada dibawah kadar kurkuminoid yang digunakan sebagai standar. 8.00
kadar kurkuminoid (%)
7.00 6.00 5.00 maserasi
4.00
remaserasi
3.00
perkolasi
2.00
reperkolasi
1.00 0.00 4'
-1.00
6'
8'
10' 12' 14' 16' 18' 20' 22' 24' waktu (jam)
Gambar 18. Grafik perbandingan kadar kurkumin Hasil analisis HPLC pada Gambar 18 memperlihatkan bahwa metode maserasi dengan lama ekstraksi 16 jam memiliki peak yang sama dengan peak senyawa standar. Selain itu peak tertinggi juga terbentuk pada menit ke 6.100. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa maserasi 16 jam mengandung kurkumin, tetapi dengan nilai yang berada di bawah standar. Pada menit ke 1.362 terdapat peak lain yang cukup tinggi. Hal ini memberikan indikasi adanya senyawa lain dalam sampel. Senyawa tersebut tidak diketahui dan diduga bukan merupakan senyawa desmetoksikurkumin. Analisis tersebut mengacu pada penelitian Aan (2003) yang menyebutkan bahwa peak kurkumin dan peak desmetoksikurkumin memiliki waktu retensi yang tidak jauh berbeda serta letak yang berdekatan. Oleh karena itu peak yang terbentuk pada menit awal tersebut diduga mengandung senyawa pengganggu yang dapat menurunkan kadar kurkumin. Kondisi serupa juga terlihat pada beberapa metode (Lampiran 10), dimana hasil HPLC yang memiliki peak pada menit pertama memiliki kadar kurkumin yang rendah pula. M 16 10.0 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
50000
50000
Retention Time Width Width at 50% height 40000
0.64 0.00
40000
30000
uAU
uAU
1.362
30000
0.67 0.00
0.65 0.00
0.82 0.00
0
6.100
0
10000
7.218
5.647
0.51 0.00 5.033
0.46 0.00 4.272
4.622
1.587
10000
0.30 0.00
20000
0.25 0.00
20000
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Minutes
Gambar 19. Grafik kromatogram maserasi 16 jam
9
10
Penambahan waktu ekstraksi yang digunakan seharusnya mampu meningkatkan kadar ekstrak kurkumin. Kondisi ini tidak sesuai dengan perolehan hasil yang bersifat fluktuatif sehingga kadar kurkumin tidak bertambah seiring dengan bertambahnya waktu ekstraksi. Hasil pengolahan data dengan metode Kruskal Wallis juga menyatakan bahwa metode dan waktu tidak memberi pengaruh signifikan terhadap kadar kurkumin karena p-value lebih besar dari alpha 5%, sehingga tidak ada perbedaan terhadap kadar kurkumin. Situasi demikian kemungkinan terjadi akibat adanya degradasi kurkumin oleh cahaya selama proses ekstraksi berlangsung. Semakin lama waktu ekstraksi yang digunakan, maka kemungkinan terjadinya degradasi pada proses ekstraksi akan semakin besar. Degradasi kurkumin dengan cahaya terjadi dikarenakan reaksi siklikasi yang mengkasilkan senyawa asam ferulat (Tonessen & Karlsen, 1985). Oleh karena itu hasil HPLC ekstrak yang menggunakan metode maserasi 16 jam memiliki kadar yang rendah akibat reaksi siklikasi selama prosesnya. Hal ini didukung dengan munculnya peak baru yang kemungkinan adalah asam ferulat atau senyawa lain yang masih erat hubungannya dengan senyawa kurkumin.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN Penelitian pendahuluan terdiri dari analisis proksimat dan washing time. Analisis proksimat terhadap komposisi kimia yang terkandung dalam temulawak menunjukkan komposisi sebagai berikut: air 14.97%, pati 58.56%, lemak 7.45%, protein 7.07%, serat kasar 7.63%, dan abu 5.07%. Kadar minyak atsiri pada temulawak tidak dapat terukur karena berjumlah sangat minim. Pengukuran washing time menunjukkan bahwa waktu pencucian yang akan digunakan berdurasi selama 2 jam. Metode ekstraksi yang digunakan selama penelitian meliputi maserasi, remaserasi, perkolasi dan reperkolasi dengan waktu ekstraksi 4 – 24 jam dan selisih waktu 2 jam. Berdasarkan hasil rendemen diketahui bahwa metode remaserasi menghasilkan jumlah rendemen tertinggi pada kisaran nilai 15.60% - 16.70%, dimana waktu ekstraksi tidak berbeda signifikan terhadap rendemen. Metode maserasi merupakan metode yang menghasilkan rendemen terendah dengan kisaran nilai 12.20% 12.60%, Pada metode ini lama waktu ekstraksi juga tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap jumlah rendemen. Hasil analisis kadar kurkumin temulawak dengan perhitungan Kruskal Wallis mengindikasikan tidak adanya perbedaan signifikan antara perlakuan terhadap kadar kurkumin yang diperoleh. Berdasarkan perhitungan luas area peak standar dengan peak sampel, diketahui bahwa kadar kurkuminoid tertinggi pada metode maserasi selama 12 jam, yakni dengan 6.7 %. Kadar kurkuminoid terendah diperoleh pada metode maserasi selama 16 jam dengan nilai 0.6 %. Keseluruhan analisis tersebut menunjukkan bahwa metode ekstraksi terbaik adalah metode remaserasi selama 4 jam dengan hasil rendemen sebesar 15.60% dan kadar kurkuminoid sebesar 6.5 %.
5.2. SARAN Pada penelitian ini belum diketahui informasi detail mengenai kandungan senyawa yang muncul sebagai akibat terjadinya degradasi cahaya terhadap beberapa sampel. Oleh karena itu untuk membuktikan terjadinya degradasi kurkumin selama ekstraksi, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengidentifikasi peak senyawa selain kurkumin yang ada pada kromatogram sampel.
DAFTAR PUSTAKA Aan. 2003. Pengaruh Waktu, Suhu dan Nisbah Pelarut Pada Ekstraksi Kurkuminoid dari Temulawak dengan Pelarut Aseton [skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor. AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemical. AOAC Inc. Washington AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemical. AOAC Inc. Washington ASEAN. 1993. Standard of ASEAN Herbal Medicine. Vol:1. ASEAN countries. Jakarta. Balittro. 2005. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor Bombardelli E. 1991. Technologies for the Processing of Medical Plant. CRC Press. Florida BPOM. 2004. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume I. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta Departemen Kesehatan RI. 1989. Fademenkum Bahan Obat Alam. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Departemen Kesehatan RI. 1989. Materia Medika Indonesia. Jilid V. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Departemen Kesehatan RI. 1993. Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Ed Ke-4. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 2000. Standar-standar Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Farrel K.T. 1985. Spices, Condiments and Seasonings. The AVI Publishing Company Inc. New York. Gamse T. 2002. Liquid-Liquid Extraction and Solid-Liquid Extraction. Graz University of Technology Gritter RJ, Bobbit JM. dan Schwarting AE. 1991. Pengantar Kromatografi. Ed. Ke-2. Terjemahan Kosasih Padmawinata. Institut Teknologi Bandung. Bandung Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia. Ed. Ke-2. Terjemahan Kosasih Padmawinata. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Herman AS. 1985. Berbagai Macam Penggunaan Temulawak Dalam Makanan dan Minuman. Proseding Simposium Nasional Temulawak. Universitas Padjajaran. Bandung Jayaprakasha GK, Rao LJM and Sakariyah KK. 2002. Improved HPLC Method for The Determination of Curcumin, Demethoxycurcumin and Bisdemethoxycurcumin. J. Agric. Food Chem., 50, 3668-3672. Ketaren S. 1988. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka. Jakarta.
Liang OB, Apsarton Y, Widjaja T dan Puspa S. 1985. Beberapa Aspek Isolasi, Identifikasi, dan Penggunaan Komponen-komponen Curcuma Xanthorrhiza Roxb. Dan Curucuma Domestica Val. Di dalam: Simposium Nasional Temulawak, Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. Hlm 85-103. List PH dan Schmidt PC. 1989. Phytopharmaceutical Technology. CRC Press Inc. Boston. Mandal V, Yogesh MH. 2007. Microwave assisted Extraction – An Innovative and Promising Extraction Tool for Medicinal Plant Research. Pharmacognosy Rev 1: 7-18. Moestofa. 1976. Isolasi Oleoresin Lada Hitam. Di dalam Proceeding Seminar Minyak Atsiri II. 20-22 April 1976. Departemen Perindustrian. Balai Penelitian Kimia, Bogor. Photitirat W, Wandee G. 2004. Variation of Bioactive component in Curcuma longa in Thailand. Current Sci 91:1397-1400 Pothitirat W, and Gritsanapan W. 2006. Variation of Bioactive Components in Curcuma longa in Thailand. Current Science, 91(10), 1397-1400. Purseglove JW, Brown EG, Green GL dan Robbins SRG. 1981. Spices Vol.II. Longman. New York. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Sabel W dan Waren. 1973. Theory and Practice of Oleoresin Extraction. Di dalam. Proceeding of the Conference of Spices. Tropical Product Institute. London Scheflan L, Jacob MB. 1953. The Handbook of Solvents. D. Van Nostrand Co. New York. Sidik, Moelyono MW dan Ahmad Muhtadi. 1995. Temulawak (Curcuma xanthorriza). Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phytomedica. Sinambela JM. 1985. Fitoterapi, Fitostandar dan Temulawak. Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Universitas Padjajaran. Bandung Somaatmadja D. 1981. Prospek Perkembangan Industri Oleoresin di Indonesia. BBIHP no. 201. Supriadi D. 2008. Optimalisasi Ekstraksi Kurkuminoid Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) [skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sutianik. 1999. Pengaruh Suhu Pengeringan dan Ukuran Bahan Terhadap Rendemen dan Mutu Oleoresin Jahe (Zingiber officinale, Roscoe). Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suwiyah. 1991. Pengaruh Perlakuan Bahan dan Jenis Pelarut yang Digunakan Pada Pembuatan Temulawak Instant (Curcuma xanthorriza Roxb) Terhadap Rendemen dan Mutunya. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Tonnesen HH, Karlsen J. 1985. Studies on Curcumin and Curcuminoids Alkaline Degradation of Curcumin. Z. Lebens. Forcsh. 180:132-134 Widyasari EM. 2000. Pengaruh Proses Pengeringan Terhadap Aktivitas Antibakteri Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb). Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor Wijayakusuma MH. 2002. Rempah, Rimpang, dan Umbi. Tumbuhan Berkhasiat Khas Indonesia. Jilid II. Milenia Populer. Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat kadar air, abu, dan serat kasar 1.
Penentuan Kadar Air (AOAC, 1970) Pinggan porselin kosong dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 oC selama 1 jam, kemudian pinggan didinginkan dalam eksikator. Setelah itu, pinggan ditimbang. Sebanyak ± 2 gram sampel dimasukkan ke dalam pinggan porselin, lalu dimasukkan ke dalam oven selama 3 jam pada suhu 105oC. setelah selesai pinggan didinginkan di dalam eksikator, setelah dingin pinggan beserta sampel ditimbang. Perlakuan dilakukan sampai bobot pinggan yang berisi sampel konstan pada saat penimbangan.
Keterangan:
2.
a = bobot sampel sebelum pengeringan b = bobot sampel setelah pengeringan
Penentuan Kadar Abu (AOAC 1984)
Kadar abu diukur dengan metode tanur. Sebanyak 2 sampai 3 gram sampel dipanaskan di cawan porselen yang sudah diketahui bobotnya sampai sampel tidak berasap. Kemudian cawan dipindahkan ke dalam tanur dan dipanaskan pada suhu 550 oC sampai semua karbon berwarna keabuan, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu dihitung dengan menggunakan persamaan :
3.
Penentuan Kadar Serat Kasar (AOAC 1970)
Sebanyak 1 gram sampel yang telah dihilangkan lemaknya, dimasukkan ke dalam labu berdasar bulat, kemudian ditambah 50ml NaOH dan selanjutnya dipanaskan selama 30 menit. Setelah selesai labu didinginkan, kemudian di saring dan dicuci berturut-turut dengan 50 ml air panas, 50 ml asam sulfat 0.3 N, 50 ml air panas dan 25 ml aseton. Kertas saring dan residu dimasukkan ke dalam cawan porselen, lalu dikeringkan dalam oven 105˚C, didinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang
Lampiran 2. Prosedur analisis proksimat pati, protein, lemak, minyak atsiri. 1.
Penentuan Kadar Pati (AOAC, 1970)
Sampel sebanyak 1 g ditimbang dalam gelas piala 250 ml, lalu ditambahkan 50 ml akuades dan diaduk selama 1 jam, kemudian suspensi disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan akuades sampai volume filtrat 250 ml. Residu dipindahkan secara kuantitatif dari kertas saring ke dalam erlenmeyer dengan pencucian oleh 200 ml akuades dan ditambahkan 20 ml HCl 25% lalu didestruksi pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah dingin, larutan dinetralkan dengan NaOH 45% dan diencerkan sampai volume 250 ml, kemudian disaring. Sebanyak 25 ml larutan yang telah disaring dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan 25 ml larutan Luff-Schoorl. Dibuat juga percobaan untuk blanko yaitu 25 ml larutan Luff-Schoorl ditambahkan 25 ml akuades, kemudian direfulks selama 10 menit, didinginkan, dan dinetralkan dengan H2SO4, stelah itu ditambahkan 2 g KI. Iodium yang dibebaskan dititrasi dengan larutan Na-Tiosulfat 0.1 N memakai indikator amilum sebanyak 2-3 ml. Untuk memperjelas perubahan warna pada akhir titrasi sebaiknya indikator pati ditambahkan pada saat titrasi hampir mendekati titik akhir. 2.
Penentuan Kadar Lemak (AOAC, 1984)
Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi soklet yang akan digunakan, dikeringkan dalam oven. Labu tersebut selanjutnya didinginkan di dalam eksikator dan ditimbang. Sampel sebanyak 3 g diletakkan dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas wol yang bebas lemak. Kertas saring tersebut selanjutnya diletakkan ke dalam alat ekstraksi soklet, kemudian dipasang alat kondensor diatasnya dan labu lemak dibawahnya. Pelarut petroleum eter dituangkan secukupnya sesuai dengan ukuran soklet yang digunakan. Tahap selanjutnya adalah memanaskan soklet diatas penangas sampai terjadi refluks selama minimum 5 jam atau sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih. Hasil destilasi pelarut yang ada di dalam labu lemak kemudian di tampung. Tahap berikutnya adalah memanaskan labu lemak yang berisi pelarut tadi di dalam oven pada suhu 105 oC untuk beberapa lama dan kemudian dikeringkan sampai beratnya tetap. Setelah labu memiliki berat yang tetap, kemudian didinginkan di dalam eksikator untuk selanjutnya ditimbang beserta lemak yang ada didalamnya. Penentuan persentase kadar lemak dihitung dengan persamaan berikut:
Keterangan:
3.
a = bobot ekstrak hasil sokletasi b = bobot sampel yang disokletasi
Penentuan Kadar Protein Semi Makro Kjeldahl (AOAC, 1990)
Contoh sebanyak 0.1 gram dimasukkan ke dalam labu kjeldahl, ditambahkan 2.5 ml H 2SO4 pekat dan 1 gram katalis. Kemudian contoh dididihkan sampai cairan menjadi jernih. Labu beserta isinya didinginkan lalu dipindahkan ke dalam alat distilasi dan ditambahkan 15 ml larutan NaOH 50%, kemudian dibilas dengan air suling. Erlenmeyer berisi 25 ml HCl 0.02 N diletakkan dibawah kondensor, sebelumnya ditambahkan ke dalamnya 2 – 4 tetes indikator mengsel. Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan
HCl, kemudian dilakukan distilasi sampai sekitar 25 ml destilat dalam erlenmeyer. Ujung kondensor dibilas sedikit dengan air destilata dan ditampung di dalam erlenmeyer kemudian dititrasi dengan NaOH 0.02 N sampai terjadi perubahan warna hijau menjadi ungu. Penetapan blanko dilakukan dengan cara yang sama.
Keterangan:
4.
Y = ml NaOH titer untuk blanko Z = ml NaOH titer untuk contoh N = Normalitas NaOH W = bobot contoh (gram)
Penentuan Kadar Minyak Atsiri (AOAC, 1984)
Sampel ditimbang sebanyak 10 g dan dimasukkan ke dala labu didih 1 liter, lalu ditambahkan 500 ml air dan dihubungkan dengan alat penyuling minyak atsiri. Labu dididihkan selama 3 jam. Volume minyak atsiri yang tertampung dalam alat penampung minyak atsiri dicatat.
Keterangan:
v = minyak atsiri yang tertampung (ml) w = bobot contoh (gram) ka = kadar air (%)
Lampiran 3. Data rendemen metode maserasi
waktu (h)
bobot (g)
labu (g)
4"
10.0011
93.6663
6"
10.0023
102.0729
8"
10.0012
93.6663
10"
10.0017
12" 14"
Ulangan 1 ekstrak (g)
rendemen (g)
rendemen (%b/b)
94.9085
1.2422
12.4206
103.3219
1.249
12.4871
94.8822
1.2159
12.1575
102.0729
103.3494
1.2765
12.7628
10.0023
102.0729
103.4092
1.3363
13.3599
10.0024
93.6663
94.9478
1.2815
12.8119
16"
10.0003
102.0729
103.3265
1.2536
12.5356
18"
10.0025
93.6663
94.9324
1.2661
12.6578
20"
10.0021
102.0729
103.3315
1.2586
12.5834
22"
10.0032
93.6663
94.9575
1.2912
12.9079
24"
10.001
107.2257
108.5065
1.2808
12.8067
waktu (h)
bobot (g)
labu (g)
rendemen (g)
rendemen (%b/b)
4"
10.0015
106.8622
108.0691
1.2069
12.0672
6"
10.0019
102.803
104.0104
1.2074
12.0717
8"
10.0025
102.803
104.0326
1.2296
12.2929
10"
10.0028
106.8622
108.0352
1.173
11.7267
12"
10.0024
106.8622
107.9868
1.1246
11.2433
14"
10.0013
102.803
104.0159
1.2129
12.1274
16"
10.0003
102.803
104.0518
1.2488
12.4876
18"
10.001
106.8622
108.1042
1.242
12.4188
20"
10.0011
106.8622
108.1034
1.2412
12.4106
22"
10.0004
102.803
104.0151
1.2121
12.1205
24"
10.0036
106.8622
108.0997
1.2375
12.3705
Ulangan 2 ekstrak (g)
Lampiran 4. Data rendemen metode remaserasi
waktu (h)
bobot (g)
labu (g)
4"
10.0038
106.8622
6"
10.0016
8"
10.0013
10"
Ulangan 1 ekstrak (g)
rendemen (g)
rendemen (%b/b)
108.4279
1.5657
15.6511
106.8622
108.4325
1.5703
15.7005
102.803
104.3557
1.5527
15.5250
10.0028
106.8622
108.4514
1.5892
15.8876
12"
10.001
102.803
104.4311
1.6281
16.2794
14"
10.0024
102.803
104.4241
1.6211
16.2071
16"
10.0019
106.8622
108.4885
1.6263
16.2599
18"
10.0023
102.803
104.4531
1.6501
16.4972
20"
10.0016
106.8622
108.4871
1.6249
16.2464
22"
10.0006
102.803
104.4851
1.6821
16.8200
24"
10.0015
106.8622
108.5413
1.6791
16.7885
waktu (h)
bobot (g)
labu (g)
Ulangan 2 ekstrak (g)
rendemen (g)
rendemen (%b/b)
4"
10.0021
102.803
104.3712
1.5682
15.6787
6"
10.0018
106.8622
108.4846
1.6224
16.2211
8"
10.0026
102.803
104.4344
1.6314
16.3098
10"
10.0006
106.8622
108.5167
1.6545
16.5440
12"
10.0014
102.803
104.4749
1.6719
16.7167
14"
10.002
106.8622
108.5624
1.7002
16.9986
16"
10.0025
102.803
104.4928
1.6898
16.8938
18"
10.0017
106.8622
108.5188
1.6566
16.5632
20"
10.0002
102.803
104.4881
1.6851
16.8507
22"
10.0028
106.8622
108.5131
1.6509
16.5044
24"
10.0013
106.8622
108.521
1.6588
16.5858
Lampiran 5. Data rendemen metode perkolasi
waktu (h)
bobot (g)
labu (g)
4"
10.0009
106.8622
6"
10.0001
8"
10.001
10"
Ulangan 1 ekstrak (g)
rendemen (g)
rendemen (%b/b)
108.1051
1.2429
12.4279
106.8622
108.165
1.3028
13.0279
106.8622
108.1826
1.3204
13.2027
10.0019
106.8622
108.2017
1.3395
13.3925
12"
10.0033
106.8622
108.3101
1.4479
14.4742
14"
10.0025
106.8622
108.3386
1.4764
14.7603
16"
10.0008
102.803
104.2851
1.4821
14.8198
18"
10.0033
106.8622
108.3463
1.4841
14.8361
20"
10.0003
102.803
104.2883
1.4853
14.8526
22"
10.0008
106.8622
108.3501
1.4879
14.8778
24"
10.0019
106.8622
108.3578
1.4956
14.9532
waktu (h)
bobot (g)
labu (g)
rendemen (g)
rendemen (%b/b)
4"
10.0018
106.8622
108.1402
1.278
12.7777
6"
10.0021
102.803
104.1322
1.3292
13.2892
8"
10.0008
93.6641
95.0067
1.3426
13.4249
10"
10.0024
102.803
104.2009
1.3979
13.9756
12"
10.0026
93.6641
95.1007
1.4366
14.3623
14"
10.0012
93.6641
95.1078
1.4437
14.4353
16"
10.0014
102.803
104.2368
1.4338
14.3360
18"
10.0019
102.803
104.2496
1.4466
14.4633
20"
10.0023
93.6641
95.1106
1.4465
14.4617
22"
10.0021
93.6641
95.1489
1.4848
14.8449
24"
10.002
102.803
104.2896
1.4866
14.8630
Ulangan 2 ekstrak (g)
Lampiran 6. Data rendemen reperkolasi
waktu (h)
bobot (g)
labu (g)
Ulangan 1 ekstrak (g)
4"
10.0023
102.803
6"
10.0017
8"
10.0007
10"
rendemen (g)
rendemen (%b/b)
104.3319
1.5289
15.2855
106.8622
108.4267
1.5645
15.6423
102.803
104.3416
1.5386
15.3849
10.0021
106.8622
108.4581
1.5959
15.9556
12"
10.0003
106.8622
108.4298
1.5676
15.6755
14"
10.0008
106.8622
108.4572
1.595
15.9487
16"
10.0002
102.803
104.3512
1.5482
15.4817
18"
10.0011
106.8622
108.4035
1.5413
15.4113
20"
10.0001
106.8622
108.43
1.5678
15.6778
22"
10.0017
107.2186
108.8046
1.586
15.8573
24"
10.0015
102.803
104.3495
1.5465
15.4627
waktu (h)
bobot (g)
labu (g)
Ulangan 2 ekstrak (g)
rendemen (g)
rendemen (%b/b)
4"
10.0017
106.8622
108.3525
1.4903
14.9005
6"
10.0024
93.6641
95.1478
1.4837
14.8334
8"
10.0026
106.8622
108.3696
1.5074
15.0701
10"
10.0008
93.6641
95.1794
1.5153
15.1518
12"
10.0021
106.8622
108.4163
1.5541
15.5377
14"
10.0023
93.6641
95.2137
1.5496
15.4924
16"
10.0019
106.8622
108.4197
1.5575
15.5720
18"
10.0014
93.6641
95.2209
1.5568
15.5658
20"
10.0015
106.8622
108.3927
1.5305
15.3027
22"
10.0017
93.6641
95.2101
1.546
15.4574
24"
10.0023
106.8622
108.4215
1.5593
15.5894
Lampiran 7. Hasil analisis pengaruh perlakuan terhadap respon
The GLM Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
faktor1
4
maserasi perkolasi remaserasi reperkolasi
faktor2
11
10" 12" 14" 16" 18" 20" 22" 24" 4" 6" 8"
Number of Observations Read
88
Number of Observations Used
88
Dependent Variable: respon Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
43
211.5073615
4.9187758
31.73
<.0001
Error
44
6.8214922
0.1550339
Corrected Total
87
218.3288537
Berdasarkan hasil diatas karena p value kurang dari alpha 5% maka tolak H0 artinya perlakuan berpengaruh terhadap respon R-Square
Coeff Var
Root MSE
Respon Mean
0.968756
2.699240
0.393743
14.58720
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
3
195.1847644
65.0615881
419.66
<.0001
faktor2
10
10.3982010
1.0398201
6.71
<.0001
faktor1*faktor2
30
5.9243961
0.1974799
1.27
0.2286
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
3
195.1847644
65.0615881
419.66
<.0001
faktor2
10
10.3982010
1.0398201
6.71
<.0001
faktor1*faktor2
30
5.9243961
0.1974799
1.27
0.2286
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon 0.05
Alpha
44
Error Degrees of Freedom
0.155034
Error Mean Square
Number of Means Critical Range
2
3
4
.2393
.2516
.2597
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Metode
A
16.3513
22
Remaserasi
B
15.4662
22
Reperkolasi
C
14.1299
22
Perkolasi
D
12.4013
22
Maserasi
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
Waktu
14.9275
8
24"
14.9238
8
22"
14.8477
8
14"
14.8017
8
18"
14.7983
8
16"
14.7982
8
20"
A A A B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
14.7061
8
12"
C
14.4246
8
10"
14.1710
8
8"
14.1592
8
6"
13.9011
8
4"
B B
C D
C
D
C
D
C
D D
Lampiran 8. Data penentuan kurva standar kurkumin Kadar kurkumin (ppm)
Luas area puncak
10
1656016
20
3490036
40
6765735
80
13345552
200
26630337
y = 129,940.19x + 1,281,722.02 R² = 0.99
30,000,000
luas area
25,000,000 20,000,000
Area
15,000,000
Linear (Area)
10,000,000 5,000,000 0 0
100
200
konsentrasi (ppm) Kurva standar kurkumin
300
Lampiran 9. Hasil analisis kromatogram HPLC kurkumin standar Kurkumin 10 ppm K-2501 Kurkuminoid dan ekstrak Temulawa
200000
Kurkumin 10 ppm
6.0
200000
Retention Time
150000
150000
125000
125000
100000
100000
75000
75000
50000
50000
25000
25000
5.6
5.0
1.7
uAU
175000
uAU
175000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
Kurkumin 20 ppm
Retention Time
400000
Kurkumin 20 ppm
350000
350000
300000
300000
250000
250000
200000
200000
150000
150000
100000
100000
uAU
uAU
6.0
K-2501 Kurkuminoid dan ekstrak Temulawa
400000
7.0
5.6
5.4
5.0
4.6
50000
1.7
50000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
Kurkumin 40 ppm K-2501 Kurkuminoid dan ekstrak Temulawak
800000
6.0
800000
Retention Time
Kurkumin 40 ppm
600000
600000
500000
500000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
5.6
5.4
5.0
4.6
1.7
uAU
700000
uAU
700000
0
0
0
1
2
3
4
5 Minutes
6
7
8
9
10
Kurkumin 80 ppm K-2501 Kurkuminoid dan ekstrak Temulawak
1600000
6.0
1600000
Retention Time
Kurkumin 80 ppm
1200000
1200000
1000000
1000000
800000
800000
600000
600000
400000
400000
200000
200000
7.5
5.6
5.4
5.0
4.6
3.8
1.7
uAU
1400000
uAU
1400000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
Kurkumin 200 ppm
6.1
K-2501 Kurkuminoid dan ekstrak Temulawak
Retention Time
2500000
Kurkumin 200 ppm
2500000
1500000
1500000
1000000
1000000
500000
500000
5.7
5.5
5.0
4.6
uAU
2000000
uAU
2000000
0
0
0
1
2
3
4
5 Minutes
6
7
8
9
10
Lampiran 10. Hasil analisis kromatogram HPLC kurkumin metode maserasi M4 10 1
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
Ekstraksi 4
900000
jam
900000
700000
600000
600000
500000
500000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.3
5.8
5.4
5.1
4.7
4.3
1.7
1.4
uAU
800000
700000
uAU
800000
0
0
-100000
-100000 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
M6 10 0 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
350000
6.1
350000
Retention Time
Ekstraksi 6
300000
jam
300000
200000
200000
150000
150000
100000
100000
50000
50000
7.3
5.7
5.1
4.3
4.6
1.7
1.3
uAU
250000
uAU
250000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
M8 10 1 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
250000
6.2
250000
Retention Time
Ekstraksi 8
jam
150000
150000
100000
100000
50000
50000
7.3
5.7
5.5
5.1
4.3
4.7
3.8
1.6
1.4
uAU
200000
uAU
200000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
M10 10 2 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
140000
6.1
140000
Retention Time
Ekstraksi 10
120000
jam
120000
80000
80000
60000
60000
40000
40000
1.4
uAU
100000
uAU
100000
7.2
5.6
5.4
5.0
4.3
4.6
20000
1.6
20000
0
0
0
1
2
3
4
5 Minutes
6
7
8
9
10
M12 10 0
6.1
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
Ekstraksi 12
1000000
jam
1000000
600000
600000
400000
400000
200000
200000
7.2
5.8
5.5
5.1
4.7
4.3
1.7
1.4
uAU
800000
uAU
800000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
M14 10 2b
6.1
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
Ekstraksi 14
250000
jam
250000
150000
150000
100000
100000
50000
50000
7.2
5.6
5.0
4.2
4.6
3.8
1.6
1.4
uAU
200000
uAU
200000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
M16 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
50000
6.1
50000
Retention Time
Ekstraksi 16
jam 40000
30000
30000
uAU
uAU
1.4
40000
20000
1.6
20000
5.6
7.2
5.0
4.6
10000
4.3
10000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
M18
180000
180000
6.1
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
Ekstraksi 18
jam
160000
120000
100000
100000
80000
80000
60000
60000
20000
7.3
5.7
5.4
4.3
3.8
20000
5.1
40000
4.7
40000
uAU
140000
120000
1.4
140000
1.6
uAU
160000
0
0
-20000
-20000 0
1
2
3
4
5 Minutes
6
7
8
9
10
M20
6.1
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
Ekstraksi 20
100000
jam
100000
60000
60000
40000
40000
1.4
uAU
80000
uAU
80000
20000
5.6
5.0
4.2
3.8
4.6
1.6
20000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
M22
6.1
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
180000
Ekstraksi 22
jam
180000
140000
120000
120000
100000
100000
80000
80000
60000
60000
40000
40000
20000
7.3
5.7
5.1
5.4
4.3
20000
4.7
1.6
1.4
uAU
160000
140000
uAU
160000
0
0
-20000
-20000 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
M24
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
Ekstraksi 24
140000
jam
140000
100000
100000
80000
80000
60000
60000
40000
40000
1.4
uAU
120000
uAU
120000
7.3
5.7
5.1
5.4
4.3
3.8
2.4
4.7
20000
1.6
20000
0
0
0
1
2
3
4
5 Minutes
6
7
8
9
10
Lampiran 11. Hasil analisis kromatogram HPLC kurkumin metode remaserasi RM 4
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
jam
Ekstraksi 4
1000000
1000000
600000
600000
400000
400000
200000
200000
7.5
5.8
5.4 5.6
5.2
4.8
4.4 4.5
1.7
1.4
uAU
800000
uAU
800000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
RM 6 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
500000
6.2
500000
Retention Time
jam
Ekstraksi 6
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.4
5.8
5.5
5.1
4.4
4.7
1.4
1.6
uAU
400000
uAU
400000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
RM 8
6.3
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
300000
250000
250000
200000
200000
150000
150000
100000
100000
uAU
uAU
jam
Ekstraksi 8
300000
50000
7.5 7.5
5.8
5.2
4.4
4.7
1.6
1.4
50000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
RM 10 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
180000
6.2
180000
Retention Time
160000
140000
120000
120000
100000
100000
80000
80000
60000
60000
40000
40000
20000
5.8
5.5
4.4
5.2
20000
4.7
1.4
uAU
140000
1.6
uAU
jam
Ekstraksi 10
160000
0
0
-20000
-20000 0
1
2
3
4
5 Minutes
6
7
8
9
10
RM 12
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
jam
Ekstraksi 12
350000
350000
250000
250000
200000
200000
150000
150000
100000
100000
50000
50000
7.4
5.8
5.5
5.2
4.4
4.7
1.4
1.6
uAU
300000
uAU
300000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
RM 14
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
900000
Retention Time
900000
jam
Ekstraksi 14
700000
600000
600000
500000
500000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.4
5.8
5.6
5.4
5.1
4.8
4.4
1.7
1.4
uAU
800000
700000
uAU
800000
0
0
-100000
-100000 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
RM 16
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
Ekstraksi 16
jam
300000
250000
200000
200000
150000
150000
100000
100000
50000
50000
uAU
250000
7.4
5.8
5.1
4.4
4.7
1.6
1.4
uAU
300000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
RM
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
Ekstraksi 18
jam
160000
140000
120000
120000
100000
100000
80000
80000
60000
60000
40000
40000
20000
5.8
5.2
5.5
3.9
4.7
20000
4.4
1.4
uAU
140000
1.6
uAU
160000
0
0
-20000
-20000 0
1
2
3
4
5 Minutes
6
7
8
9
10
RM 20 160000
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
160000
jam
Ekstraksi 20
120000
120000
100000
100000
80000
80000
60000
60000
40000
40000
1.4
uAU
140000
uAU
140000
7.4
5.8
5.2
4.4
4.7
5.5
20000
1.6
20000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
RM 22
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
Ekstraksi 22
jam
120000
100000
80000
80000
60000
60000
40000
40000
uAU
100000
1.4
uAU
120000
7.4
5.8
5.1
4.4
4.7
20000
1.7
20000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
RM 24
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time 100000
jam
Ekstraksi 24
100000
60000
60000
40000
40000
1.4
uAU
80000
uAU
80000
7.5
5.8
5.2
4.4
4.7
20000
1.6
20000
0
0
0
1
2
3
4
5 Minutes
6
7
8
9
10
Lampiran 12. Hasil analisis kromatogram HPLC kurkumin metode perkolasi P 4 10.2 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time Width Width at 50% height
700000
Ekstraksi 4
jam
700000
500000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
0.88 0.00
0.34 0.00
0
6.190
0
100000
7.370
1.23 0.00
0.32 0.00
5.778
0.45 0.00
5.527
5.123
0.29 0.00
0.48 0.00 4.357
4.698
1.642
1.375
100000
0.26 0.00
0.65 0.00
uAU
600000
500000
uAU
600000
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
P6
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
900000
6.2
900000
Retention Time
Ekstraksi 6
800000
700000
600000
600000
500000
500000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.3
5.8
5.1
4.7
4.3
1.4
uAU
700000
1.6
uAU
800000
jam
0
0
-100000
-100000 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
P8
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
1000000
6.2
1000000
Retention Time
Ekstraksi 8
jam
600000
600000
400000
400000
200000
200000
7.4
5.8
5.5
5.4
5.1
4.7
4.3
1.7
1.4
uAU
800000
uAU
800000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
P10
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
900000
Ekstraksi 10
jam
900000
700000
700000
600000
600000
500000
500000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.3
5.8
5.4 5.5
5.1
4.8
4.3
1.7
1.4
uAU
800000
uAU
800000
0
0
-100000
-100000 0
1
2
3
4
5 Minutes
6
7
8
9
10
P12 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
600000
6.2
600000
Retention Time
jam
Ekstraksi 12 400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.3
5.8
5.4
5.1
4.7
4.3
1.4
1.7
uAU
500000
uAU
500000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
M14 10 2 700000
700000
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
Ekstraksi 14
jam
600000
500000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.3
5.8
5.3
5.1
4.3
4.7
1.4
uAU
500000
1.7
uAU
600000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
P16 700000
700000
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
600000
500000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.4
5.8
5.1
4.7
4.3
1.4
uAU
500000
1.6
uAU
jam
Ekstraksi 16
600000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
P18 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
900000
6.2
900000
Retention Time
Ekstraksi 18
jam
800000
700000
600000
600000
500000
500000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.4
5.8
5.4 5.5
5.1
4.8
4.4
1.4
uAU
700000
1.7
uAU
800000
0
0
-100000
-100000 0
1
2
3
4
5 Minutes
6
7
8
9
10
P20 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
600000
6.2
600000
Retention Time
Ekstraksi 20
jam
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.4
5.8
5.5
5.1
4.4
4.7
1.4
1.7
uAU
500000
uAU
500000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
P22
Ekstraksi 22
jam
800000
700000
600000
600000
500000
500000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.4
5.8
5.5
5.1
4.3
4.7
1.4
uAU
700000
1.6
uAU
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
800000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
jam
900000
Minutes
P24
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time 900000
Ekstraksi 24
700000
700000
600000
600000
500000
500000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.3
5.8
5.1
4.3
4.7
1.6
1.4
uAU
800000
uAU
800000
0
0
-100000
-100000 0
1
2
3
4
5 Minutes
6
7
8
9
10
Lampiran 13. Hasil analisis kromatogram HPLC kurkumin metode reperkolasi RP 4 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
800000
6.2
800000
Retention Time
jam
Ekstraksi 4
700000
600000
500000
500000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.4
5.8
5.4
5.1
4.4
4.7
1.4
uAU
600000
1.7
uAU
700000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
RP 6 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
700000
6.2
700000
Retention Time
jam
Ekstraksi 6
600000
600000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.3
5.8
5.1
4.7
4.3
1.4
1.7
uAU
500000
uAU
500000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
RP 8 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
800000
6.2
800000
Retention Time
Ekstraksi 8
jam
700000
600000
500000
500000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.4
5.8
5.4
5.1
4.8
4.4
1.4
uAU
600000
1.7
uAU
700000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
RP 10 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
700000
6.3
700000
Retention Time
Ekstraksi 10
jam
500000
500000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.5
5.8
5.4 5.6
5.2
4.7
4.4
1.4
1.7
uAU
600000
uAU
600000
0
0
0
1
2
3
4
5 Minutes
6
7
8
9
10
RP 12
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
Ekstraksi 12
jam
800000
700000
600000
600000
500000
500000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.4
5.8
5.4 5.6
5.2
4.4
4.7
1.4
uAU
700000
1.7
uAU
800000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
RP 14
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
Ekstraksi 14
700000
jam
700000
500000
500000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.4
5.8
5.1
4.3
4.7
1.4
1.7
uAU
600000
uAU
600000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
RP 16
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
Ekstraksi 16
500000
jam
500000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.4
5.8
5.6
5.4
5.1
4.8
4.4
1.4
uAU
400000
uAU
400000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
RP 18 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
700000
6.2
700000
Retention Time
Ekstraksi 18
jam
500000
500000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.5
5.8
5.4
5.2
4.7
4.4
1.4
1.7
uAU
600000
uAU
600000
0
0
0
1
2
3
4
5 Minutes
6
7
8
9
10
RP 20
6.2
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
1000000
Ekstraksi 20
jam
1000000
600000
600000
400000
400000
200000
200000
7.4
5.8
5.4 5.5
5.1
4.8
4.4 4.5
1.7
1.4
uAU
800000
uAU
800000
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
RP 22 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time
Ekstraksi 22
jam 800000
700000
700000
600000
600000
500000
500000
400000
400000
300000
300000
200000
200000
100000
100000
7.3
5.8
5.1
4.7
4.3
1.4
uAU
800000
1.7
uAU
900000
6.2
900000
0
0
-100000
-100000 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
RP 24 K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
1000000
6.3
1000000
Retention Time
Ekstraksi 24
jam
600000
600000
400000
400000
200000
200000
7.4
5.9
5.6
5.4
5.2
4.9
4.4 4.5
1.7
1.4
uAU
800000
uAU
800000
0
0
0
1
2
3
4
5 Minutes
6
7
8
9
10
Lampiran 14. Data kadar kurkumin
Waktu (jam)
Area maserasi
remaserasi
Perkolasi
Reperkolasi
4
8283509
9739242
6509782
6857647
6
3018736
4245295
7445282
5910467
8
2219609
2960284
8315677
7087451
10
1281740
1623154
8312753
6038089
12
10038432
3329600
5063243
7170504
14
2518115
8136590
5836470
6411725
16
484245
2935420
5745096
4840396
18
1591854
1585309
7893424
6099834
20
1101505
1499176
5145750
9097911
22
1710834
1234091
7049717
7755429
24
1414729
1000783
7996805
8672539
Kadar Kurkuminoid, ppm
Waktu (jam) maserasi
remaserasi
Perkolasi
Reperkolasi
4'
53.8847
65.0878
40.2344
42.9115
6'
13.3678
22.8072
47.4338
35.6221
8'
7.2178
12.9180
54.1323
44.6800
10'
0.0001
2.6276
54.1097
36.6043
12'
67.3903
15.7602
29.1020
45.3192
14'
9.5151
52.7540
35.0526
39.4797
16'
-6.1373
12.7266
34.3494
27.3870
18'
2.3867
2.3364
50.8827
37.0795
20'
-1.3869
1.6735
29.7370
60.1522
22'
3.3024
-0.3666
44.3896
49.8207
24'
1.0236
-2.1621
51.6783
56.8786
Kadar kurkuminoid (%)
Waktu(jam) Maserasi
Remaserasi
Perkolasi
Reperkolasi
4'
5.388
6.509
4.023
4.291
6'
1.337
2.281
4.743
3.562
8'
0.722
1.292
5.413
4.468
10'
0.000
0.263
5.411
3.660
12'
6.739
1.576
2.910
4.532
14'
0.952
5.275
3.505
3.948
16'
0.614
1.273
3.435
2.739
18'
0.239
0.234
5.088
3.708
20'
0.139
0.167
2.974
6.015
22'
0.330
0.037
4.439
4.982
24' 0.102 0.216 5.168 Lampiran 15. Hasil perhitungan analisis kurkuminoid dengan SPSS 16
5.688
Ranks perlakua n kurkuminoid
N
Mean Rank
1.00
1
43.00
2.00
1
18.00
3.00
1
15.00
4.00
1
10.00
5.00
1
17.00
6.00
1
37.00
7.00
1
14.00
8.00
1
8.00
9.00
1
7.00
10.00
1
4.00
11.00
1
2.00
12.00
1
38.00
13.00
1
16.00
14.00
1
12.00
15.00
1
5.00
16.00
1
44.00
17.00
1
13.00
18.00
1
1.00
19.00
1
9.00
20.00
1
3.00
21.00
1
11.00
22.00
1
6.00
23.00
1
28.00
24.00
1
33.00
25.00
1
40.00
26.00
1
39.00
27.00
1
20.00
28.00
1
23.00
29.00
1
22.00
30.00
1
35.00
31.00
1
21.00
32.00
1
30.00
33.00
1
36.00
34.00
1
29.00
35.00
1
24.00
36.00
1
31.00
37.00
1
25.00
38.00
1
32.00
39.00
1
27.00
40.00
1
19.00
41.00
1
26.00
42.00
1
42.00
43.00
1
34.00
44.00
1
41.00
Total
44
Test Statisticsa,b kurkuminoid Chi-Square df Asymp. Sig.
43.000 43 .471
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: perlakuan Karena p value lebih besar dari alpha 5% maka tidak tolak H0 artinya tidak ada perbedaan.