PERKEMBANGAN ANAK DAN REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI

Download serta Implikasinya bagi Pendidikan Agama Kristen di Konteks Gereja1. Mariska Lauterboom ... saja, tapi semua dimensi kehidupan manusia, bai...

0 downloads 479 Views 709KB Size
Perkembangan Anak dan Remaja serta Implikasinya bagi Pendidikan Agama Kristen di Konteks Gereja1 Mariska Lauterboom ([email protected]) Bila seorang anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan , ia belajar untuk mencintai dunia (Dorothy L. Nolte)

Pendahuluan Pendidikan manusia sejak usia anak adalah sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan dan seharusnya menjadi tugas bersama semua pihak, baik itu keluarga, institusi agama, dan masyarakat. Pendidikan ini sendiri merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara sadar, sistematis dan berkesinambungan untuk mengarahkan manusia keluar dari keadaan yang lama menuju keaadan yang baru. Ini berarti ada perubahan pikiran, pengetahuan dan perilaku dalam sebuah usaha pendidikan. Itu sebabnya dalam “Learning the Treasures Within,” UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) telah mendeklarasikan empat pilar penting dari pendidikan itu sendiri yaitu “learning to know, learning to do, learning to be, and learning to live together.”2 Jadi pendidikan itu bukan hanya menyangkut aspek kognitif saja, tapi semua dimensi kehidupan manusia, baik itu kognitif, afektif, maupun konatif. Pendidikan bukan hanya untuk menambah wawasan seseorang, tapi juga untuk pembentukan karakter dan bagaimana hidup bersama di tengah masyarakat. Untuk mencapai tujuan mulia dari pendidikan ini, maka pendidikan tersebut haruslah berangkat dari kebutuhan atau konteks nyata peserta didik, termasuk psikologi perkembangan. Perlu dilakukan apa yang disebut sebagai “needs assessment,” yaitu pendataan kebutuhan peserta didik secara koheren. Dari sinilah baru dirancang dan ditetapkan kurikulum pembelajaran. Salah satu wujud dari needs assessment ini adalah dengan mengenal dan mendalami perkembangan dari para peserta didik. Perkembangan yang dimaksudkan di sini, tentunya adalah perkembangan yang bersifat holistik yaitu meliputi aspek fisik, mental, moral, emosional, dan iman. Semua perkembangan ini, baik secara terpisah maupun bersama-sama 1

Makalah ini disampaikan pada seminar sehari “Sekolah Minggu dan Remaja” yang diselenggarakan oleh Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga 27 Mei 2014. 2 International Commission on Education, “Learning the Treasure Within: Report to UNESCO of the International Commission on Education for the Twenty First Century,” accessed May 23, 2014, http://unesdoc.unesco.org/images/0010/001095/109590eo.pdf.

1

akan memberikan corak khas tersendiri bagi usaha pendidikan yang dilakukan, termasuk di konteks atau setting gereja. Pendidikan agama Kristen di setting gereja, secara khusus yang diberikan kepada anak dan remaja, tentunya harus memperhatikan aspek atau psikologi perkembangan anak dan remaja. Hal ini menjadi penting bagi pendidik atau pelayan gereja, dalam rangka menyelenggarakan pendidikan yang menjawab konteks kebutuhan peserta didik. Inilah yang hendak dicapai melalui makalah ini. Untuk maksud tersebut, makalah ini dibagi dalam beberapa bagian. Yang pertama adalah tentang pentingnya memahami perkembangan manusia. Selanjutnya pada bagian kedua dijelaskan tentang perkembangan anak dan remaja yang kompleks dengan menggunakan teori para ahli. Di sini perkembangan anak dan remaja akan dilihat menurut pandangan Erik Erikson, Jean Piaget, Lawrence Kohlberg dan James Fowler. Pada bagian yang ketiga akan dijelaskan tentang implikasi perkembangan anak dan remaja bagi usaha PAK di setting gereja. Akhirnya, makalah ini akan ditutup dengan kesimpulan yang potensial untuk dikembangkan dalam menjawab tantangan dan pergumulan PAK di Indonesia.

Pentingnya Memahami Perkembangan Manusia Manusia adalah insan yang mengalami perkembangan dalam berbagai aspek atau dimensi kehidupan, seperti psikososial, kognitif, moral, dan iman. Perkembangan diartikan sebagai proses tertentu yang menuju ke depan (bersifat progresif) dan tidak begitu saja dapat diulang kembali. Dalam perkembangan tersebut terjadi perubahan yang bersifat tetap. Jadi perkembangan dapat diartikan sebagai suatu proses tetap yang dialami seorang individu menuju suatu pengorganisasian perilaku pada tingkat integrasi yang lebih tinggi berdasarkan proses pertumbuhan, kemasakan, dan belajar dari lingkungan (nature and nurture). Dalam proses tersebut seorang individu harus menyelesaikan apa yang disebut sebagai tugas perkembangan pada setiap tingkat kategori usia tertentu. Hal ini sejalan dengan pandangan Havighurst, bahwa perjalanan hidup seseorang ditandai oleh adanya tugas-tugas yang harus dipenuhi.3 Tugas-tugas inilah yang disebut sebagai “developmental task,” yaitu tugas-tugas yang harus dilakukan seseorang dalam masa hidup atau kategori usia tertentu 3

Robert Havighurts, “Developmental Task and Education,” accessed May 22, 2014, http://nongae.gsnu.ac.kr/~bkkim/won/won_117.html.

2

sesuai dengan norma masyarakat dan kebudayaan di mana ia tinggal. Namun yang paling utama adalah bahwa pelaksanaan tugas tersebut harus sesuai dengan potensi pribadi seseorang. Misalnya, pada periode bayi dan anak, seseorang individu belajar berjalan dan belajar bahasa. Lalu pada usia sekolah, ia belajar ketangkasan fisik dan sikap hidup sehat. Pada masa pubertas atau masa remaja, ia belajar menerima keadaan jasmaniah, dan seterusnya. Dengan pemahaman seperti ini, psikologi perkembangan manusia berperan sebagai petunjuk dan pendukung keberhasilan perkembangan optimal peserta didik.4 Dengan memahami psikologi perkembangan, maka pendidik mampu menghadapi peserta didik secara tepat dan benar, serta mampu mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan keadaan peserta didik. Oleh sebab itu juga, pelayanan yang dilakukan oleh pihak gereja harus berdasarkan kategori usia, karena tiap kategori mencirikan perkembangan tertentu dari seorang individu yang tentunya berbeda dari individu yang lainnya.

Perkembangan Anak dan Remaja Pelayanan yang dilakukan gereja harus mempertimbangkan kehidupan manusia yang berbeda tiap kategori usia. Perbedaan kategori berarti perbedaan tugas-tugas perkembangan yang berujung pada masalah, minat dan kebutuhan yang berbeda-beda pula. Secara khusus menyangkut perkembangan anak dan remaja, perlu disadari juga bahwa kategori inipun memiliki sub-sub kategori. Artinya usia anak bisa bervariasi, dari bayi yang baru lahir, balita, sampai pada usia 12 tahun. Begitu juga dengan kategori remaja, yang terdiri dari remaja tahap awal yaitu usia 13-15 tahun dan remaja tahap akhir yaitu usia 16-18/19 tahun. Hal ini tentunya memberikan tantangan tersendiri bagi para pendidik, yaitu bagaimana memahami tiap kategori secara umum, tapi sekaligus mempertimbangkan secara spesifik masing-masing sub kategori. Berikut ini saya akan menjelaskan perkembangan anak dan remaja, secara umum dan khusus, berdasarkan pemahaman beberapa tokoh. Erik Erikson terkenal dengan pendekatan psikososial. Kalau Sigmund Freud memusatkan perhatiannya pada perkembangan psikoseksual yang berbasis zona tubuh, maka Erik Erikson justru berpusat pada “akulturasi kematangan biologis dan psikologis dengan kehidupan 4

Dien Sumiyatiningsih, Mengajar dengan Kreatif dan Menarik (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), 116.

3

sosialnya.”5 Anak tak hanya membawa masuk dunia luar melalui mulut, tetapi juga melalui mata dan indera-indera lain yang ada pada dirinya. Tahap yang paling umum pada setiap periode, terdiri dari suatu perjumpaan umum antara ego anak yang semakin dewasa dengan dunia sosial. Jadi ada semacam konflik atau krisis antara dua gejala yang bersifat positif dan negatif. Anak dalam hal ini berada dalam satu tugas untuk mengatasi konflik/krisis tersebut supaya mampu berkembang secara sehat. Menyangkut perkembangan kognitif anak, Jean Piaget membagi masa anak-anak menjadi masa infancy, masa pra-sekolah, masa anak-anak, dan masa remaja.6 Baginya, masingmasing tahap dicirikan oleh struktur kognitif umum yang mempengaruhi pemikiran anak. Masing-masing tahap mewakili pemahaman sang anak tentang realitas pada masa itu. Perkembangan dari satu tahap ke tahap berikutnya disebabkan oleh akumulasi kesalahan di dalam pemahaman sang anak tentang lingkungannya, akumulasi ini pada akhirnya menyebabkan suatu tingkat ketidakseimbangan kognitif yang perlu ditata ulang oleh suatu struktur pemikiran. Menurut Piaget, ada 4 tahap perkembangan moral anak, yaitu tahap sensorimotor (0-2 tahun), anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi objek; tahap pra-operasional (2-6 tahun), anak mulai memilki kecakapan motorik; tahap operasional konkrit (7-12 tahun), anak mulai berpikir secara logis; tahap operasional formal (13-17 tahun), adanya perkembangan penalaran abstrak.7 Piaget mengakui bahwa anak melewati tahapan ini dengan kecepatan yang tak sama, karena itu usia terkait tidaklah mutlak; tetapi setiap orang bergerak dalam urutan yang sama (invariant sequence). Tahapan tersebut mewakili perkembangan suatu cara berpikir yang menyeluruh. Anak secara tetap melakukan eksplorasi, manipulasi, dan berusaha memahami lingkungan sekitarnya. Dalam proses ini anak secara aktif mengkonstruksi struktur yang baru dan lebih luas dalam berurusan dengan lingkungan. Perkembangan bukan dituntun oleh kedewasaan internal atau pengajaran eksternal, melainkan merupakan proses mengkonstruksi secara aktif, yaitu bagaimana anak melalui aktivitasnya membangun struktur kognitifnya.

5

Peter Feldmeier, The Developing Christian: Spiritual Growth Through the Life Cycle (New York/Mahwah, NJ: Paulis Press: 2007), 56. 6 Feldmeier, The Developing Christian, 40. 7 Feldmeier, The Developing Christian, 40.

4

Lawrence Kohlberg secara khusus menyelidiki tentang perkembangan moral manusia. Ia memusatkan diri pada “moral reasoning” atau penalaran moral yaitu menyangkut apa yang dipikirkan seorang individu tentang yang benar dan yang salah, yang baik dan yang jahat, dan sebagainya.8 Kohlberg mengidentifikasi tiga (3) level atau divisi utama dan enam (6) sub divisi atau tingkatan dari perkembangan penalaran moral manusia, yang dimulai dari level prekonvensional (2-10 tahun), konvensional (9-15 tahun) dan post-konvensional (14 tahun ke atas). Pada tingkat awal, anak biasanya akan menghindari hukuman, lalu berubah menjadi “jika anda baik, maka saya pun akan baik.” Pada level konvensional, seorang anak akan cenderung memainkan peran sebagai anak yang baik dan kemudian berkembang di seputar hukum dan ketertiban. Pada level yang terakhir yaitu post-konvensional, moral anak akan didasarkan pada demokrasi, hati nurani dan persetujuan sukarela. Setelah itu moral anak akan berkaitan dengan nilai kebenaran dan kesakralan hidup akan dilihat sebagai suatu nilai yang universal.9 Berkaitan dengan perkembangan iman atau kepercayaan, mengikuti pandangannya James Fowler, anak-anak sedang berada dalam tiga (3) tahapan kepercayaan awal, yang dimulai dari kepercayaan awal dan elementer, lalu menuju kepercayaan intuitif-proyektif, dan mitisharafiah.10 Remaja sudah masuk pada tahapan perkembangan kepercayaan yang keempat dari tujuh tahapan kepercayaan Fowler, yaitu kepercayaan sintetis-konvensional.11 Melalui pemahaman atau teori para ahli ini, dapat disimpulkan bahwa usia anak-anak adalah masa yang sangat krusial. Masa ini sering disebut juga sebagai masa emas atau golden age. Masa anak-anak adalah masa di mana seorang anak menghasilkan rasa kenyamanan dan kepercayaan bahwa dunia ini baik adanya dan bisa dipercaya.12 Melalui pandangan Erikson, pendidik harus menyadari bahwa tantangan masa toddler (2-5 tahun/masa anak-anak awal) adalah menuju pada kemandirian atau otonomi, yang mana mereka mengembangkan kontrol awal atas keinginan (impulses) mereka dan bahkan lingkungan mereka pada level tertentu.13 Masa ini juga adalah masa play age. Anak juga akan menjadi egosentris, khususnya yang 8

Daniel Nuhamara, PAK (Pendidikan Agama Kristen) Remaja (Bandung: Jurnal Info Media, 2008), 67. Nuhamara, PAK, 68. 10 Agus Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995), 95-134. 11 Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan, 134. 12 Feldmeier, The Developing Christian, 90. 13 Feldmeier, The Developing Christian, 91. 9

5

berkaitan dengan penalaran moralnya. Secara kognitif, anak mulai belajar bicara dan mengambil alih perbendaharaan kata orang dewasa, meskipun belum memahaminya (2-4/5 tahun). Perlahan pada usia 4-7 tahun, anak mulai berpikir intuitif. Lingkungan mereka akan mulai diperluas, lebih dari sekedar lingkungan keluarga dan perkembangan ego mulai berkaitan dengan dunia selain dengan diri sendiri. Anak mulai terobsesi dengan peraturan-peraturan yang ada di sekitarnya (usia sekolah 6-12 tahun).14 Semuanya diidentifikasi sebagai hitam atau putih. Nilai-nilai dalam keluarga juga penting untuk diperhatikan, mengingat anak melihat keluarga sebagai perpanjangan dari dirinya sendiri dan cenderung mengasimilasi dan menginternalisasi nilai-nilai tersebut.15 Dengan kata lain, keluarga adalah referensi utama bagi sang anak. Itu sebabnya melalui banyak cara, gambaran anak tentang Tuhan bagaikan orang tua atau guru mereka. Gambaran tentang Tuhan ini begitu kuat dan jelas. Tuhan punya wajah dan kepribadian.16 Tuhan juga merupakan perwujudan dari kuasa atau kekuatan. Secara khusus menyangkut perkembangan remaja, harus dipahami bahwa masa remaja adalah masa perkembangan yang unik dan kompleks. Sangat penting sekali untuk memahami perkembangan remaja, mengingat masa remaja adalah masa transisi, masa bertanya, maka keterbukaan dan masa mengambil keputusan.17 Secara fisik, remaja sedang mengalami pubertas atau akil balig. Tentunya ini akan berpengaruh pada terbentuknya kesadaran baru tentang tubuh remaja tersebut. Seorang remaja lalu mencampuradukkan hal-hal yang bersifat biologis dengan yang bersifat spiritual, serta mengacaukan yang fisik dengan yang spiritual.18 Secara kognitif, remaja berada dalam tahap operasi formal. Secara ego, ia berada dalam situasi ingin memiliki identitas pribadi namun juga ingin menyisihkan rasa kekaburan identitasnya. Secara sosial, remaja akan sangat diliputi oleh dorongan untuk mandiri (independence). Itu sebabnya peer group dan clique merupakan kelompok yang sangat penting bagi remaja. Keduanya berfungsi sebagai jembatan menuju kemandirian. Sahabat atau teman adalah sesuatu yang sangat berharga bagi para remaja yang layak dipertahankan lebih daripada imannya. Secara emosional, remaja sedang mengalami perkembangan kepribadian yang 14

Feldmeier, The Developing Christian, 98. Feldmeier, The Developing Christian, 98. 16 Feldmeier, The Developing Christian, 101. 17 Nuhamara, PAK, 10-15. 18 Nuhamara, PAK, 38-39. 15

6

membuat mereka akan sering berhadapan dengan apa yang disebut sebagai trial and error. Emosinya juga sangat intens dan bisa melibatkan fisik. Apa yang dirasakan oleh remaja pada suatu saat tertentu busa dirasakan sebagai perasaan yang sangat mendalam.19 Penting juga diingat bahwa segala sesuatu yang kelihatannya “abnormal” justru itulah yang normal bagi remaja. Artinya, remaja akan memberontak jika dikekang, membangkang pada figur otoritatif dalam keluarga karena ingin mandiri, remaja memiliki mood yang berubah-ubah secara drastis dan dramatis, yang oleh orang dewasa atau orang tua akan dilihat sebagai sesuatu yang tidak wajar, tapi justru hal-hal inilah yang sedang menandakan perkembangan seorang remaja. Menyangkut dimensi spiritual kehidupan remaja, harus disadari bahwa hal ini tidak terpisahkan dari dimensi-dimensi yang lainnya. Ada beberapa hal penting yang harus dimengerti menyangkut dimensi spiritual remaja, yaitu adanya keraguan dan ketidakpercayaan, adanya komitmen dan kegagalan, iman diperhadapkan pada dunia yang riil, dan adanya idealisme yang ekstrim. Memahami semua perkembangan ini, baik anak maupun remaja, pada akhirnya akan sangat membantu pelaksanaan PAK di konteks gereja.

Implikasi Perkembangan Anak dan Remaja bagi Pelaksanaan PAK di Gereja Dengan memahami perkembangan baik anak maupun remaja secara holistik, sangat diharapkan pelayan atau pendidik di gereja mampu mengaplikasikannya dalam penyusunan kurikulum, termasuk bagaimana bersikap di sekitar anak dan remaja. Artinya bahwa pengetahuan akan perkembangan anak dan remaja secara holistik, harus juga didukung dengan perilaku sebagai teladan yang diberikan oleh pelayan anak-anak dan remaja dalam pelaksanaan Pendidikan agama Kristen di setting gereja. Seorang pelayan Sekolah Minggu yang melayani anak-anak harus menyadari bahwa anak-anak sedang berada dalam usia keemasan mereka. Anak-anak sedang mengeksplorasi, mengimitasi, mengasimilasi dan menginternalisasi lingkungan sekitar mereka. Itu sebabnya, anak-anak harus dilayani dengan kesabaran dan kasih saying. Seorang pelayan harus mampu menjadi role model bagi anak-anak yang dilayani. Dalam berhadapan dengan anak, seorang

19

Nuhamara, PAK, 77.

7

pelayan Sekolah Minggu juga harus mampu menerapkan metode dan media yang menarik, kreatif dan relevan dengan usia perkembangan anak yang dilayani. Berkaitan dengan pelayanan bagi remaja, ada beberapa kualifikasi seorang pemimpin atau pelayan kategori remaja. Pertama, ia harus mampu mengidentifikasikan kebutuhan, masalah, dan perasaan remaja.20 Hal ini sangat penting sebagai syarat mutlak penyusunan kurikulum. Kedua, ia adalah seseorang yang menyukai remaja. Ia mampu menempatkan dirinya sebagai seorang remaja dan menerima remaja apa adanya mereka. Ketiga, seorang pemimpin remaja harus memberikan waktu yang cukup bagi remaja, sehingga ia mengenal mereka satu per satu. Secara khusus seorang pemimpin remaja haruslah sabar, disiplin dan tidak mempermainkan emosi remaja. Seorang pemimpin atau pelayan remaja juga harus meyakinkan remaja bahwa iman tidak bergantung pada perasaan. Pendidik bukan hanya seorang penulis kurikulum, tapi ia harus mampu menjadi sahabat remaja.21 Yang paling penting seorang pemimpin remaja harus mampu menjadi model bagi para remaja yang dilayaninya.

Penutup Memahami perkembangan anak dan remaja adalah kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi oleh para pelayan di gereja. Pelayan sebagai pendidik perlu menyadari bahwa anak dan remaja harus mendengarkan Injil dengan cara yang relevan sehingga pesannya dapat tersampaikan. Itu sebabnya mengetahui perkembangan anak dan remaja sangat signifikan, supaya pendidikan yang diberikan bisa sesuai sasaran atau mencapai tujuan. Jadi kurikulum yang disusun, baik itu implisit, eksplisit, maupun null, haruslah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan peserta didik. Pendidik juga harus memahami bahwa kekuatan membentuk pribadi seseorang pada usia anak dan remaja cenderung lebih besar dan permanen. Ini semua menjadikan PAK anak dan remaja adalah tugas penting gereja yang tidak dapat diabaikan atau dinomorduakan. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa “kualitas gereja di masa yang akan datang sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan yang diberikan kepada anak pada masa kini.”

20 21

Nuhamara, PAK, 19. Sumiyatiningsih, Mengajar dengan Kreatif, 40.

8

Daftar Pustaka Cremers, Agus. Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995. Feldmeier, Peter. The Developing Christian: Spiritual Growth Through the Life Cycle. New York/Mahwah, NJ: Paulis Press: 2007. Havighurts, Robert. “Developmental Task and Education.” Accessed May 22, 2014. http://nongae.gsnu.ac.kr/~bkkim/won/won_117.html. International Commission on Education. “Learning the Treasure Within: Report to UNESCO of the International Commission on Education for the Twenty First Century.” Accessed May 23, 2014, http://unesdoc.unesco.org/images/0010/001095/109590eo.pdf. Nuhamara, Daniel. PAK (Pendidikan Agama Kristen) Remaja. Bandung: Jurnal Info Media, 2008. Sumiyatiningsih, Dien. Mengajar dengan Kreatif dan Menarik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006.

Tentang Penulis Pdt. Mariska Lauterboom, S.Si.Teol, MATS, adalah tenaga utusan Gereja Protestan Maluku (GPM) yang bergabung pada jajaran staf pengajar Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga. Tahun 2005 menyelesaikan studi S1 pada Fakultas Teologi UKSW. Sejak tahun 2006 mengajar matakuliah Teologi Praktika, yaitu Homiletika, Liturgika, Teologi dan Komunikasi, serta Pendidikan Agama Kristen. Pada tahun 2011, lulus dari ATESEA Teacher’s Academy. Kemudian tahun 2013 yang lalu telah menyelesaikan studi Master di San Francisco Theological Seminary, California-USA dengan memperoleh gelar Master of Arts in Theological Studies (MATS). Saat ini menjabat sebagai Koordinator Praktek Pendidikan Lapangan pada Fakultas Teologi UKSW.

9