Document not found! Please try again

perkerasan jalan adalah lapisan perkerasan yang terlet

Panas (2004), agregat diklasifikasikan berdasarkan proses terjadinya, proses pengolahannya dan berdasarkan ukuran butirnya. 2.2.1.1 Klasifikasi Agrega...

5 downloads 747 Views 822KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Perkerasan Jalan Menurut Sukirman (2003), perkerasan jalan adalah lapisan perkerasan

yang terletak di antara lapisan tanah dasar dan roda kendaraan, yang berfungsi memberikan pelayanan kepada transportasi, dan selama masa pelayanannya diharapkan tidak terjadi kerusakan yang berarti.

2.1.1

Jenis Konstruksi Perkerasan Berdasarkan Sukirman (1999), berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi

perkerasan jalan dapat dibedakan menjadi: 1. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. 2. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikat. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan di atas tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton. 3. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa perkerasan lentur di atas perkerasan kaku, atau perkerasan kaku di atas perkerasan lentur.

2.1.2

Struktur Perkerasan Jalan Lentur Struktur perkerasan jalan lentur dibuat secara berlapis dan terdiri atas

lapisan permukaan (surface course) yaitu lapisan aus dan lapis antara. Lapisan dibawahnya ialah lapisan pondasi yang terdiri dari lapisan pondasi atas (base course) dan pondasi bawah (subbase course). Lapisan ini diletakkan di atas tanah dasar yang dipadatkan (subgrade). Masing-masing elemen lapisan di atas termasuk tanah dasar secara bersama-sama memikul beban lalu lintas. Tebal struktur perkerasan dibuat sedemikian rupa sampai batas kemampuan tanah dasar memikul beban lalu lintas, 5

atau dapat dikatakan tebal struktur perkerasan sangat tergantung pada kondisi atau daya dukung tanah dasar.

Gambar 2.1 Lapis perkerasan Sumber: Sukirman (2003)

1. Elemen Tanah dasar (sub-grade) Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Tidak semua jenis tanah dapat digunakan sebagai tanah dasar pendukung badan jalan secara baik, karena harus dipertimbangkan beberapa sifat yang penting untuk kepentingan struktur jalan, seperti: daya dukung dan kestabilan tanah yang cukup, komposisi dan gradasi butiran tanah, sifat kembang susut tanah, kemudahan untuk dipadatkan, kemudahan meluluskan air (drainase), plastisitas dari tanah, sifat ekspansif tanah dan lain-lain. Pemilihan jenis tanah yang dapat dijadikan tanah dasar melalui penyelidikan tanah menjadi penting karena tanah dasar akan sangat menentukan tebal lapis perkerasan di atasnya, sifat fisik perkerasan di kemudian hari dan kelakuan perkerasan seperti deformasi permukaan, dan sebagainya. 2. Elemen Lapis Pondasi Bawah (sub-base course) Lapis pondasi bawah (sub-base) adalah suatu lapisan yang terletak antara lapis tanah dasar dan lapis pondasi atas (base), yang berfungsi sebagai bagian perkerasan yang meneruskan beban di atasnya, dan selanjutnya menyebarkan tegangan yang terjadi ke lapis tanah dasar.

6

Lapis pondasi bawah dibuat di atas tanah dasar yang berfungsi di antaranya sebagai: A. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan beban roda. B. Menjaga efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisanlapisan selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya konstruksi). C. Untuk mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi. D. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan dapat berjalan lancar. Bermacam-macam material setempat (CBR > 20 %, PI < 10 %) yang relatif lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan pondasi bawah. Ada berbagai jenis lapis pondasi bawah yang sering dilaksanakan, yaitu: A. Pondasi bawah yang menggunakan batu pecah, dengan balas pasir. B. Pondasi bawah yang menggunakan sirtu yang mengandung sedikit tanah. C. Pondasi bawah yang menggunakan tanah pasir. D. Pondasi bawah yang menggunakan agregat. E. Pondasi bawah yang menggunakan material ATSB (Asphalt Treated Sub-Base) atau disebut Laston Bawah (Lapis Aspal Beton Pondasi Bawah). F. Pondasi bawah yang menggunakan stabilisasi tanah. 3. Elemen Lapis Pondasi Atas (base course) Lapis Pondasi Atas (LPA) adalah suatu lapisan perkerasan jalan yang terletak antara lapis permukaan dan lapis pondasi bawah (sub-base), yang berfungsi sebagai bagian perkerasan yang mendukung lapis permukaan dan beban-beban roda yang bekerja di atasnya dan menyebarkan tegangan yang terjadi ke lapis pondasi bawah, kemudian ke lapis tanah dasar. Lapis pondasi atas dibuat di atas lapis pondasi bawah yang berfungsi di antaranya: A. Sebagai bagian perkerasan yang menahan beban roda. B. Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan. C. Meneruskan limpahan gaya lalu lintas ke lapis pondasi bawah.

7

Bermacam-macam bahan alam/bahan setempat (CBR > 50%, PI <4 %) dapat digunakan sebagai bahan lapis pondasi atas, antara lain: batu pecah, kerikil pecah, dan/atau stabilisasi tanah dengan semen atau kapur. Secara umum dapat berupa: A. Pondasi atas yang menggunakan pondasi Telford B. Pondasi atas yang menggunakan material agregat C. Pondasi atas yang menggunakan material ATB (Asphalt Treated Base) atau disebut Laston (Lapisan Aspal Beton) Atas D. Pondasi atas yang menggunakan stabilisasi material 4. Elemen Lapis Permukaan (surface course) Fungsi lapis permukaan antara lain: A. Sebagai bahan perkerasan untuk menahan beban roda. B. Sebagai lapis kedap air, yaitu lapisan yang melindungi lapisan di bawahnya dari resapan air yang jatuh di atas permukaan perkerasan. C. Sebagai lapisan aus (wearing course) yaitu lapisan yang langsung menderita gesekan akibat rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus. Bahan untuk lapis permukaan umumnya adalah campuran bahan agregat dan aspal, dengan persyaratan bahan yang memenuhi standar. Penggunaan bahan aspal diperlukan sebagai bahan pengikat agregat dan agar lapisan dapat bersifat kedap air, di samping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda lalu lintas. Adapun jenis lapisan permukaan (surface course) yang umum dipergunakan di Indonesia antara lain: 1. Lapisan bersifat nonstruktural, yang berfungsi sebagai lapisan aus dan kedap air yang meliputi: A. Burtu (laburan aspal satu lapis), merupakan lapisan penutup yang terdiri dari lapisan aspal yang ditaburi dengan satu lapis agregat bergradasi seragam, dengan tebal maksimum 2 cm. B. Burda (lapisan aspal dua lapis), merupakan lapis penutup yang terdiri dari lapisan aspal yang ditaburi agregat, yang dikerjakan dua kali secara berurutan dengan tebal maksimum 3,5 cm.

8

C. Latasir (lapis tipis aspal pasir), merupakan lapis penutup yang terdiri dari lapisan aspal dan pasir alam bergradasi menerus, dicampur dihampar dan dipadatkan pada suhu tertentu dengan tebal padat maksimum 1-2 cm. D. Buras (laburan aspal), merupakan lapis penutup terdiri dari lapisan aspal taburan pasir dengan ukuran butir maksimum 3/8 inch. E. Latasbum (lapis tipis asbuton murni), merupakan lapis penutup yang terdiri dari campuran asbuton dan bahan pelunak dengan perbandingan tertentu yang dicampur dalam keadaan dingin dengan ketebalan maksimum 1 cm. F. Lataston (lapis tipis aspal beton), dikenal dengan nama Hot Rolled Sheet (HRS) merupakan lapis penutup yang terdiri dari campuran agregat bergradasi timpang/senjang, filler dan aspal keras dengan perbandingan tertentu, yang dicampur, dihampar dan dipadatkan pada suhu panas dengan tebal padat maksimum 2,5-3 cm. 2. Lapisan bersifat struktural, berfungsi sebagai lapisan yang menahan dan menyebarkan beban roda, yaitu antara lain: A. Penetrasi Macadam (lapen), merupakan lapis perkerasan yang terdiri atas agregat pokok dan agregat pengunci bergradasi terbuka seragam yang diikat oleh aspal dengan cara disemprotkan di atasnya dan dipadatkan lapis demi lapis dengan ketebalan maksimum 4-10 cm. B. Lasbutag merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri atas campuran agregat asbuton dan bahan pelunak yang dihampar dan dipadatkan dalam keadaan dingin dengan ketebalan padat pada tiap lapisan antara 3-5 cm. C. Laston (lapis aspal beton) merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri atas campuran aspal keras dan agregat bergradasi menerus, dicampur, dihampar dan dipadatkan pada suhu panas. D. Campuran Emulsi bergradasi rapat (CEBR) dan campuran emulsi bergradasi terbuka (CEBT).

9

5. Lapis Resap Pengikat (prime coat) Lapis resap pengikat merupakan bagian dari struktur perkerasan lentur yang tidak mempunyai nilai struktur akan tetapi mempunyai fungsi yang sangat besar terhadap kekuatan dan keawetan struktur terutama untuk menahan gaya lateral atau gaya rem. Lapis resap pengikat dilaburkan diantara lapisan material tidak beraspal dengan lapisan beraspal yang berfungsi untuk menyelimuti permukaan lapisan tidak beraspal. 6. Lapis Perekat (tack coat) Sama halnya dengan lapis resap pengikat, lapis perekat dilaburkan diantara lapis beraspal lama dengan lapis beraspal yang baru (yang akan dihampar diatasnya), yang berfungsi sebagai perekat diantaranya.

2.2

Bahan Campuran Aspal Porus Bahan Campuran Aspal Porus terdiri dari agregat kasar, agregat halus,

bahan pengisi (filler), dan aspal. Bahan-bahan tersebut sebelum digunakan harus diuji terlebih dahulu untuk mengetahui sifat-sifat dari bahan tersebut. Guna mendapatkan lapis perkerasan yang baik dan memenuhi persyaratan haruslah yang tepat antara agregat dengan kadar aspal optimum.

2.2.1

Agregat Agregat atau batuan didefinisikan secara umum sebagai formasi kulit bumi

yang keras dan solid. Agregat merupakan komponen utama dari lapisan perkerasan jalan yaitu mengandung 90% - 95% agregat berdasarkan persentase berat atau 75% - 85% agregat berdasarkan persentase volume (Sukirman, 1999). Dengan demikian kualitas perkerasan jalan ditentukan juga dari sifat agregat dan hasil campuran agregat dengan material lain. Pemilihan jenis agregat yang sesuai untuk digunakan pada konstruksi perkerasan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu gradasi, kekuatan, bentuk butir, tekstur permukaan, kelekatan terhadap aspal serta kebersihan dan sifat kimia. Jenis dan campuran agregat sangat mempengaruhi daya tahan atau stabilitas suatu perkerasan jalan (Kerbs and Walker, 1971).

10

Menurut Depkimpraswil dalam Manual Pekerjaan Campuran Beraspal Panas (2004), agregat diklasifikasikan berdasarkan proses terjadinya, proses pengolahannya dan berdasarkan ukuran butirnya.

2.2.1.1

Klasifikasi Agregat Berdasarkan Proses Terjadinya Menurut Silvia Sukirman (1999), klasifikasi agregat berdasarkan asal

kejadiannya dapat dibedakan atas batuan beku (igneous rock), batuan sedimen, dan batuan metamorf (batuan malihan). 1. Batuan beku Batuan beku terbentuk dari membekunya magma cair yang terdesak ke permukaan pada saat gunung berapi meletus. Batuan beku ini dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Batuan beku luar (extrusive igneous rock), berasal dari material yang keluar dari bumi saat gunung meletus kemudian akibat dari pengaruh cuaca mengalami pendinginan dan membeku. Pada umumnya batuan beku jenis ini berbutir halus, contoh batuan jenis ini adalah rhyolite, andesit, dan basalt. b. Batuan beku dalam (intrusive igneous rock), berasal dari magma yang tidak dapat keluar dari bumi kemudian mengalami pendinginan dan membeku secara perlahan. Pada umumnya batuan beku jenis ini bertekstur kasar dan dapat ditemui di permukaan bumi karena proses erosi dan gerakan bumi, contoh batuan jenis ini adalah granit, gabbro, dan diorit. 2. Batuan sedimen Batuan sedimen berasal dari campuran mineral, sisa-sisa hewan, dan tanaman. Batuan jenis ini terdapat pada lapisan kulit bumi, hasil endapan di danau, laut, dan sebagainya. Berdasarkan cara pembentukannya batuan sedimen dapat dibedakan atas: a. Batuan sedimen yang dibentuk secara mekanik, seperti breksi, konglomerat, batu pasir, dan batu lempung. Batuan jenis ini banyak mengandung silika.

11

b. Batuan sedimen yang dibentuk secara organis, seperti batu bara, dan opal. c. Batuan sedimen yang dibentuk secara kimiawi, seperti batu gamping, garam, gift, dan flint. 3. Batuan metamorf Batuan ini umumnya berasal dari batuan sedimen ataupun batuan beku yang mengalami proses perubahan bentuk akibat adanya perubahan tekanan dan temperatur kulit bumi, contoh batuan jenis ini adalah marmer, kwarsit, dan batuan metamorf yang berlapis, seperti batu sabak, filit, dan sekis.

2.2.1.2

Klasifikasi Agregat Berdasarkan Proses Pengolahannya Menurut The Asphalt Institute (1983) dan Silvia Sukirman (1999),

berdasarkan proses pengolahannya, agregat dapat dibedakan menjadi agregat alam, agregat yang mengalami proses pengolahan, dan agregat buatan. 1. Agregat alam Agregat alam merupakan agregat yang diambil dari alam dengan sedikit proses pengolahan. Agregat alam terbentuk melalui proses erosi dan degradasi

sehingga

bentuk

partikelnya

ditentukan

oleh

proses

pembentukannya. Agregat yang mengalami proses erosi yang diakibatkan oleh air biasanya terjadi di sungai mempunyai bentuk partikel yang bulatbulat dengan permukaan yang licin. Agregat yang mengalami proses degradasi biasanya terjadi dibukit-bukit mempunyai bentuk partikel yang bersudut dengan permukaan yang kasar. Agregat alam yang sering dipergunakan yaitu pasir dan kerikil. kerikil adalah agregat dengan ukuran partikel > 1/4 inch (6,35 mm) sedangkan pasir adalah agregat dengan ukuran partikel < 1/4 inch tetapi lebih besar dari 0,075 mm (saringan no. 200). 2. Agregat yang melalui proses pengolahan Agregat yang melalui proses pengolahan merupakan agregat biasa berasal dari bukit-bukit maupun sungai yang karena bentuknya yang besar-besar melebihi ukuran yang diinginkan harus melalui proses pemecahan terlebih

12

dahulu dengan menggunakan mesin pemecah batu (stone crusher) atau secara manual agar diperoleh: a. Bentuk partikel yang bersudut, diusahakan berbentuk kubus. b. Permukaan partikel kasar sehingga mempunyai gesekan yang baik. c. Gradasi sesuai yang diinginkan. Hasil dari proses pemecahan ini biasanya disebut dengan split dan mempunyai ukuran mulai dari 5 mm sampai 40 mm. 3. Agregat buatan Agregat buatan adalah agregat yang diperoleh dengan memecah batuan yang masih berbentuk bongkahan-bongkahan besar. Bongkahan batuan ini dapat diperoleh di bukit-bukit (gunung-gunung) maupun di sungai. Sebelum batuan ini digunakan sebagai agregat maka batuan ini dipecah terlebih dahulu menjadi material yang lebih kecil sesuai dengan ukuran yang diinginkan

dengan

menggunakan

Stone

Crusher.

Agregat

buatan

mempunyai ukuran partikel < 0,075 mm.

2.2.1.3

Klasifikasi Agregat Berdasarkan Ukuran Butirnya Ditinjau dari ukuran butirnya agregat dapat dibedakan atas agregat

kasar, agregat halus, dan bahan pengisi (filler). Menurut American Society for Testing and Material (ASTM): a. Agregat kasar, mempunyai ukuran > 4,75 mm (saringan No.4). b. Agregat halus, mempunyai ukuran < 4,75 mm(saringan No.4). c. Abu batu/mineral filler merupakan agregat halus yang lolos saringan No. 200. Menurut AASHTO: a. Agregat kasar, mempunyai ukuran > 2 mm. b. Agregat halus, mempunyai ukuran < 2 mm dan > 0,075. c. Abu batu/mineral filler merupakan agregat halus yang lolos saringan No. 200. Menurut Spesifikasi Campuran Beraspal Panas DPU (2010) Rev.2, agregat juga dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

13

a. Agregat kasar, agregat dengan ukuran butir lebih besar dari saringan No.4 (4,75 mm) b. Agregat halus, agregat dengan ukuran butir lebih halus dari saringan No.4 (4,75 mm) c. Bahan pengisi ( filler ), bagian dari agregat halus yang minimum 85 % lolos saringan No.200 (0,075 mm), non-plastis, tidak mengandung bahan organik, tidak menggumpal, kadar air maksimum 1%. 2.2.1.4

Sifat Agregat Adapun sifat-sifat agregat yang perlu diperiksa antara lain (Sukirman,

S. 2003): 1. Gradasi Gradasi mempengaruhi rongga antar butir yang akan menentukan stabilitas dan kemudahan dalam proses pelaksanaan. Gradasi agregat diperoleh dari hasil analisis saringan. Gradasi agregat dapat dibedakan atas: a. Gradasi Seragam (Uniform Graded) atau Gradasi Terbuka Adalah gradasi agregat dengan ukuran yang hampir sama. Gradasi seragam disebut juga gradasi terbuka (open graded) karena hanya mengandung sedikit agregat halus, sehingga terdapat banyak rongga/ruang kosong antar agregat. Agregat dengan gradasi seragam menghasilkan lapisan perkerasan dengan sifat permeabilitas tinggi, stabilitas kurang dan berat volume kecil. b. Gradasi Rapat (Dense Graded) atau Gradasi Baik (Well Graded) Merupakan

campuran agregat kasar dan halus dalam porsi yang

berimbang dan akan menghasilkan lapisan perkerasan dengan stabilitas tinggi. c. Gradasi Buruk (Poorly Graded) atau Gradasi Senjang Adalah campuran agregat yang tidak memenuhi dua kategori diatas. Agregat begradasi buruk yang umum digunakan yaitu gradasi celah (gap graded) yang merupakan campuran agregat dengan satu fraksi sedikit sekali.

14

100 Berat Agregat yang Lolos (%)

90

Gradasi Rapat Gradasi Senjang Gradasi Seragam

80 70 60 50 40 30 20 10 0 0,01

0,1

1

10

100

Ukuran Saringan (mm)

Gambar 2.2 Contoh tipikal macam-macam gradasi agregat Sumber: Silvia Sukirman (2007)

2. Ukuran maksimum agregat Ukuran maksimum agregat adalah satu saringan atau ayakan yang lebih besar dari ukuran nominal maksimum, dapat dinyatakan dengan mempergunakan: a. Ukuran Maksimum Agregat Menunjukkan ukuran saringan terkecil bilamana agregat yang lolos saringan tersebut sebanyak 100%. b. Ukuran Nominal Maksimum Agregat Menunjukkan ukuran saringan terbesar bilamana agregat tertahan tidak lebih dari 10%. 3. Kebersihan agregat Kebersihan agregat ditentukan dari banyaknya butir-butir halus yang lolos saringan No.200 seperti adanya lempung, lanau, ataupun adanya tumbuhtumbuhan pada campuran agregat. 4. Daya tahan agregat Daya tahan agregat merupakan ketahanan agregat terhadap adanya penurunan mutu akibat proses mekanis dan kimiawi. Agregat dapat mengalami degradasi, yaitu perubahan gradasi akibat pecahnya butir-butir agregat. Kehancuran agregat dapat disebabkan oleh proses mekanis, seperti gaya-gaya yang terjadi selama proses pelaksanaan jalan, pelayanan terhadap beban lalu lintas, dan proses kimiawi, seperti pengaruh 15

kelembaban, kepanasan, dan perubahan suhu sepanjang hari. Nilai keausan/degradasi > 40%: agregat kurang kuat, < 30%: untuk lapis penutup, < 40%: untuk lapis permukaan dan lapis pondasi atas (LPA), < 50%: untuk lapis pondasi bawah (LPB). Ketahanan agregat terhadap degradasi diperiksa dengan pengujian abrasi menggunakan alat abrasi Los Angeles, sesuai dengan SNI 2417-2008 atau AASHTO 96-87. 5. Bentuk dan tekstur permukaan agregat Berdasarkan bentuknya, partikel atau butir agregat dikelompokkan menjadi berbentuk bulat, lonjong, pipih, kubus, tak beraturan, atau mempunyai bidang pecahan. 6. Daya lekat terhadap aspal Faktor yang mempengaruhi lekatan aspal dan agregat dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu: a. Sifat mekanis yang tergantung dari: -

Pori-pori dan absorpsi

-

Bentuk dan tekstur permukaan

-

Ukuran butir agregat

b. Sifat kimiawi dari agregat. 7. Berat jenis agregat Dalam kaitan perencanaan campuran aspal, berat jenis adalah suatu rasio tanpa dimensi, yaitu rasio antara berat suatu benda terhadap berat air yang volumenya sama dengan benda tersebut. Sebagai standar dipergunakan air pada suhu 4ºC karena pada suhu tersebut air memiliki kepadatan yang stabil. Berat jenis agregat dapat digambarkan seperti gambar dibawah ini (Krebs and walker, 1971).

16

Vs = volume solid Vi = volume yg

impermeable

thd air dan aspal Vp = total volume permeable Vc = volume yg permeable thd

Vs

Vi

Vc

Vp-Vc

air tapi impermeable thd aspal

Vp

Vp-Vc = volume yg permeable thd air dan aspal

Gambar 2.3 Pertimbangan Volume Pori Agregat untuk Penentuan SG Sumber: Krebs and Walker (1971) dalam Thanaya (2008)

Ada beberapa jenis berat jenis agregat, yaitu: a. Berat jenis bulk (bulk specific gravity) Bila aspal diasumsikan hanya menyelimuti agregat di bagian permukaan saja, tidak meresap ke bagian agregat yang permeable, volume yang diperhitungkan adalah: Bulk SG =

Ws Ws  Vs  Vi  Vp    w Vtot  w

(2.1)

Keterangan : γw = berat volume air = 1 gr/cc = 1 t/m3. Sehingga Bulk SG adalah rasio antara berat agregat dan berat air yang volumenya = Vs + Vi + Vp.

b. Berat jenis semu (apparent specific gravity) SG ini didasarkan atas asumsi bahwa aspal meresap ke dalam agregat dengan tingkat resapan yang sama dengan air, yaitu sampai Vc atau ke dalam seluruh Vp. Karenanya volume yang dipertimbangkan adalah: Vs + Vi Apparent SG =

Ws Vs  Vi   w

(2.2)

17

c. Berat jenis efektif (effective specific gravity) SG Bulk dan SG Apparent didasarkan atas dua kondisi ekstrem. Asumsi yang realistis adalah bahwa aspal dapat meresap sampai ke (Vp – Vc). Oleh karena itu SG atas asumsi ini disebut SG efektif. Effective SG =

Ws Vs  Vi  Vc   w

Keterangan: Vp

(2.3)

= volume pori yang dapat diresapi air

V

= volume total dari agregat

Vi

= volume pori yang tidak dapat diresapi air

Vs

= volume partikel agregat

Ws

= berat kering partikel agregat

γw

= berat volume air

2.2.1.5 Pencampuran Agregat (Blending) Agregat yang terdapat di lapangan kemungkinan besar mempunyai gradasi/ukuran yang beraneka ragam. Untuk mendapatkan agregat yang sesuai dengan spesifikasi, maka perlu dilakukan pencampuran agregat. Pencampuran agregat dapat dilakukan dengan cara: 1. Cara mencoba-coba (Trial and Error) Adalah cara pencampuran agregat dengan mencoba kemungkinan berbagai proporsi

agregat,

kemudian

mengadakan

analisa

saringan

yang

dibandingkan dengan spesifikasi yang disyaratkan. 2. Cara Analitis Pada cara ini didasarkan atas penggabungan agregat dengan menggunakan rumus pendekatan. Dari rumus ini diperoleh prosentase agregat kasar, agregat halus dan filler. Rumus yang digunakan menurut cara Bambang Ismanto, 1993 adalah X 

Keterangan:

S C  100% F C

(2.4)

X = % agregat halus S = % titik tengah spec limit dari saringan yang dikehendaki F = % agregat halus lewat saringan tertentu C = % agregat kasar lewat saringan tertentu

18

3. Cara Grafis 3.1 Cara Grafis Cara ini adalah penggabungan agregat yang dilakukan dengan menggambarkan grafik hubungan antara prosentase butir-butir lolos saringan dari setiap agregat yang digunakan dengan prosentase lolos saringan spesifikasi limit. -

Pencampuran 2 jenis agregat.

-

Pencampuran 3 jenis agregat.

3.2 Cara Diagonal Penggunaan agregat dengan menggunakan gambar empat persegi panjang, dengan ukuran (10 x 20) cm pada kertas milimeter blok. Dengan menarik garis diagonal dari sisi kiri bawah ke kanan atas, berdasarkan data persentase lolos saringan dan spesifikasi ideal dari masing-masing agregat akan diperoleh persentase proporsi masing-masing agregat.

2.2.2

Aspal Aspal adalah bahan alam dengan komponen kimia hidrokarbon, hasil

eksplorasi dengan warna hitam bersifat plastis hingga cair, tidak larut dalam larutan asam encer dan alkali atau air, tapi larut sebagian besar dalam aether, CS2 bensol dan chloroform (Saodang,2005). Fungsi aspal dalam perkerasan beraspal adalah sebagai bahan pengikat agar agregat tidak mudah lepas akibat lalu lintas dan lingkungan. Selain itu aspal juga berfungsi sebagai lapis kedap yang melindungi agregat dan material lain di bawahnya dari pengaruh air. Agar aspal dapat dapat berfungsi seperti yang diharapkan maka aspal diantaranya harus memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Aspal harus dapat melapisi agregat dan mengisi rongga antar agregat hingga perkerasan cukup rapat dan kedap air 2. Aspal harus memberikan lapisan yang elastis sehingga perkerasan tidak mudah retak 3. Aspal tidak peka terhadap perubahan suhu dilapangan 4. Aspal mempunyai adhesi yang baik terhadap agregat yang dilapisi

19

5. Aspal mempunyai kohesi yang baik 6. Aspal tidak cepat rapuh atau lapuk 7. Aspal mudah dikerjakan 8. Asspal aman saat pengerjaan 9. Aspal homogeny dan tidak berubah selama penyimpanan 10. Aspal memberikan kinerja yang baik terhadap campuran

2.2.2.1 Jenis Aspal Aspal yang digunakan untuk bahan perkerasan jalan (Saodang,2005), terdiri beberapa jenis : 1. Aspal Alam Aspal alam terbentuk apabila deposit minyak mentah dalam perut bumi terdestilasi secara alami. Aspal ini bias muncul ke permukaan bumi melalui celah/retakan. Apabila aspal yang muncul ke permukaan yang berupa lembah maka terbentuk deposit aspal alam yang disebut aspal danau. Sedangkan apabila aspal yang muncul ke permukaan bumi dan meresap kedalam batuan porus akan terbentuk aspal gunung. Di Indonesia terdapat aspal alam yang disebut aspal batu buton atau asbuton. Aspal alam ini terjadi karena adanya minyak bumi yang mengalir keluar melalui retakretak kulit bumi. Setelah minyak menguap, maka tinggal aspal yang melekat pada batuan yang dilalui. 2. Aspal minyak (Petroleum Asphalt) Berbentuk padat atau semi-padat sebagai cikal bakal bitumen, yang diperoleh dari penirisan minyak. Aspal minyak dibedakan menjadi : a. Aspal Keras-panas (Asphaltic-Cement,AC) Aspal ini berbentuk padat pada temperature ruangan. Di Indonesia aspal semen dibedakan dari nilai penetrasinya, misal : AC dengan penetrasi 40/50, 60/70, 85-100) Aspal dengan penetrasi rendah digunakan didaerah cuaca panas atau lalulintas dengan volume tinggi, sedangkan aspal dengan penetrasi

20

tinggi digunakan ditempat bercuaca dingin atau lalu lintas dengan volume rendah. b. Aspal dingin-cair (Cut-back Asphalt) Aspal ini digunakan dalam keadaan cair dan dingin. Aspal dingin adalah campuran pabrik antara aspal panas dengan bahan pengencer dari hasil penyulingan minyak bumi. Berdasarkan bahan pengencer dan kemudahan menguap, bahan pelarutnya, aspal dingin dibedakan menjadi : -

Jenis RC (Rapid Curing) : Bahan pengencer bensin dengan RC0 sampai RC5)

-

Jenis MC (Medium Curing) : bahan pengencer minyak tanah (kerosene) dengan MC0 sampai MC5.

-

Jenis SC (Slow Curing) : bahan pengencer solar dengan SC0 sampai SC5.

c. Aspal emulsi (Emulsion Asphalt) Disediakan dalam bentuk emulsi, dapat digunakan dalam keadaan dingin. Dibedakan dua jenis emulsi : -

kationik (aspal emulsi asam), emulsi bermuatan arus listrik positip.

-

Anionik (aspal emulsi alkali), emulsi bermuatan arus listrik negatip.

Berdasarkan bahan emulsifier ditambah air, dibedakan : - Tipe RS (rapid setting):RS1 - Tipe MS (medium setting):MS1 sampai MS3 - Tipe SS (slow setting): SS1

2.2.2.2 Sifat Aspal Aspal mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: a. Daya tahan (Durability) Daya tahan aspal adalah kemampuan aspal mempertahankan sifat asalnya akibat pengaruh cuaca selama masa pelayanan jalan. b. Adhesi dan kohesi Adhesi yaitu ikatan antara aspal dan agregat pada campuran aspal beton. Sifat ini dievaluasi dengan menguji sepesimen dengan test stabilitas

21

Marshall. Kohesi adalah ketahanan aspal untuk tetap mempertahankan agregat tetap di tempatnya setelah terjadi pengikatan. c. Kepekaan terhadap temperatur Aspal adalah bahan yang termoplastis, berarti akan menjadi keras atau lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak jika temperatur bertambah. d. Kekerasan aspal Aspal pada proses pencampuran dipanaskan dan dicampur dengan agregat sehingga dilapisi aspal atau disiramkan ke permukaan agregat yang telah disiapkan pada proses pelaburan. Pada proses pelaksanaan, terjadi oksidasi yang menyebabkan aspal menjadi getas. Peristiwa perapuhan terus berlangsung selama masa pelaksanaan. jadi, selama masa pelayanan, aspal mengalami proses oksidasi yang besar yang dipengaruhi oleh ketebalan aspal yang menyelimuti agregat. Semakin tipis lapisan aspal, semakin besar tingkat kerapuhan yang terjadi.

2.2.2.3 Pemeriksaan Aspal Sifat-sifat aspal harus selalu diperiksa dan aspal yang memenuhi syarat yang telah ditetapkan dapat dipergunakan sebagai bahan pengikat perkerasan lentur. Pemeriksaan yang dilakukan untuk aspal keras adalah sebagai berikut: 1. Pemeriksaan Penetrasi Aspal Pemeriksaan penetrasi aspal bertujuan untuk memeriksa tingkat kekerasan aspal. Pengujian dilaksanakan pada suhu 25ºC dan kedalaman penetrasi diukur setelah beban dilepaskan selama 5 detik. 2. Pemeriksaan Titik Lembek (Softening Point Test) Pemeriksaan titik lembek bertujuan untuk mengetahui kepekaan aspal terhadap temperatur. Suhu pada saat aspal mulai menjadi lunak tidaklah sama pada setiap hasil produksi aspal walaupun mempunyai nilaipenetrasi yang sama.Titik lembek adalah suhu rata-rata (dengan beda suhu ≤ 1ºC) pada saat bola baja menembus aspal karena leleh dan menyentuh plat dibawahnya (sejarak 1 inch = 25,4mm). Pengujian dilaksanakan denga alat

22

‘Ring and Ball Apparatus’. Manfaat dari pengujian titik lembek ini adalah digunakan untuk menentukan temperatur kelelehan dari aspal. 3. Pemeriksaan Titik Nyala dan Titik Bakar Pemeriksaan titik nyala dan titik bakar bertujuan untuk menentukan suhu pada aspal terlihat nyala singkat di permukaan aspal (titik nyala) dan suhu pada saat terlihat nyala sekurang-kurangnya 5 detik. Titik nyala dan bakar perlu diketahui untuk memperkirakan temperatur maksimum pemanasan aspal sehingga aspal tidak terbakar. 4. Pemeriksaan Kehilangan Berat Aspal Pemeriksaan dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengurangan berat akibat penguapan bahan-bahan yang mudah menguap dalam aspal. Penurunan berat menunjukkan adanya komponen aspal yang menguap yang dapat berakibat aspal mengalami pengerasan yang eksesif/berlebihan sehingga menjadi getas (rapuh) bila pengurangan berat melebihi syarat maksimalnya. Pengujian ini dilanjutkan dengan pengujian nilai penetrasi aspal, untuk mengetahui peningkatan kekerasannya (dalam % penetrasi semula). 5. Pemeriksaan Daktilitas Aspal Tujuan dari pemeriksaan ini untuk mengetahui sifat kohesi dalam aspal itu sendiri yaitu dengan mengukur jarak terpanjang yang dapat ditarik antara dua cetakan yang berisi aspal keras sebelum putus, pada suhu 25ºC dan kecepatan tarik 5 cm/menit. Aspal dengan daktilitas yang lebih besar mengikat butir-butir agregat yang lebih baik tetapi lebih peka terhadap perubahan temperatur. 6. Pemeriksaan Berat Jenis Aspal Berat jenis aspal adalah perbandingan antara berat aspal dan berat air suling dengan isi yang sama pada suhu tertentu, 25oC. Data berat jenis aspal dipergunakan untuk perhitungan dalam perencanaan dan evaluasi sifat campuran aspal beton (perhitungan SGmix dan porositas).

23

2.2.2.4 Karakteristik Aspal Keras Aspal keras dibedakan atas tingkat penetrasinya (ukuran kekentalan aspal keras), misalnya AC 60/70, AC 80/100, AC 200, AC 300. Dalam hal ini disajikan beberapa persyaratan aspal keras, antara lain: aspal keras penetrasi 60/70 seperti yang disyaratkan pada Tabel 2.1 Tabel 2.1 Persyaratan Aspal Keras Penetrasi 60/70 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Jenis Pengujian

Metode Pengujian

Aspal Pen. 60-70 60-70 160-240 ≥300 ≥48 ≥100 ≥232 ≥99 ≥1,0

Penetrasi pada 25°C (0,01 mm) SNI 06-2456-1991 Viskositas Dinamis 60°C (Pa.s) SNI 06-6441-2000 Viskositas Kinematis 135°C (cSt) SNI 06-6441-2000 Titik lembek (°C) SNI 2434-2011 Daktilitas pada 25°C, (cm) SNI 2432-2011 Titik nyala (°C) SNI 2433-2011 Kelarutan dalam trichloroethylene (%) AASHTO T44-03 Berat jenis SNI 2441:2011 Stabilitas Penyimpanan: Perbedaan Titik ASTM D 5976 part 6.1 Lembek (°C) Partikel yang lebih halus dari 150 micron (µm) (°C) Pengujian Residu Hasil TFOT (SNI-06-2440-1991) atau RTFOT (SNI-03-6835-2002) Berat yang hilang (%) SNI 06-2441-1991 ≤0,8 Viskositas Dinamis 60°C (Pa.s) SNI 03-2441-1991 ≤800 Penetrasi pada 25°C (%) SNI 06-2456-1991 ≥54 Daktilitas pada 25°C (cm) SNI 2432-2011 ≥100 Keelastisan setelah pengembalian (%) AASHTO T301-98 -

Sumber: Kementerian PU RI-Ditjen Bina Marga, (2010) Rev. 3

Catatan : 1. Hasil pengujian adalah untuk bahan pengikat (bitumen) yang diektraksi dengan menggunakan metode SNI 2490:2008. Kecuali untuk pengujian kelarutan dan gradasi mineral dilaksanakan pada seluruh bahan pengikat termasuk kadar mineralnya. 2. Untuk pengujian residu aspal Tipe II dapat mengajukan metode pengujian alternatif untuk viskositas bilamana sifat-sifat elastometrik atau lainnya didapati berpengaruh terhadap akurasi pengujian penetrasi atau standar lainnya. 3. Viscositas diuji juga pada temperatur 100oC dan 160 oC untuk tipe I, untuk tipe II pada temperatur 100oC dan 170 oC.

24

4. Jika untuk pengujian viskositas tidak dilakukan sesuai dengan AASHTO T201-03 maka hasil pengujian harus dikonversikan ke satuan cSt. 5. Contoh bahan aspal harus diekstraksi dari benda uji sesuai dengan caa SNI 03-3640-1994 (metode soklet) atau SNI 03-6894-2002 (metode sentrifus) atau AASHTO T 164-06 (metode tungku pengapian). Jika metode sentrifus digunakan, setelah konsentrasi larutan aspal yang terekstraksi mencapai 200 mm, partikel mineral yang terkandung harus dipindahkan ke dalam suatu alat sentrifugal. Pemindahan ini dianggap memenuhi bilamana kadar abu dalam bahan aspal yang diperoleh kembali tidak melebihi 1% (dengan pengapian). Jika bahan aspal diperlukan untuk pengujian lebih lanjut maka bahan itu harus diperoleh kembali dari larutan sesuai dengan prosedur SNI 03-6894-2002. 6.

Aspal Tipe I dan Tipe II harus diuji pada setiap kedatangan dan sebelum dituangkan ke tangki penyimpanan AMP untuk penetrasi pada 25oC (SNI 06-2456-1991) Tipe II juga harus diuji untuk stabilitas penyimpanan sesuai dengan ASTM D5976 part 6.1 dan dapat ditempatkan dalam tangki sementara sampai hasil pengujian tersebut diketahui. Tidak ada aspal yang boleh digunakan sampai aspal tersebut telah diuji dan disetujui.

2.3

Campuran Aspal Porus Campuran Aspal Porus ini pada prinsipnya adalah open graded macadam

dengan porositas tinggi, yang banyak dipakai berporositas antara 20-25%. Aspal Porus harus diletakkan diatas lapisan pondasi (base course) yang kuat dan kedap air (dengan tack coat tebal) . Penggunaan konstruksi Aspal Porus dimaksudkan untuk: -

mengurangi genangan air (water ponding/aquaplanning) dan cipratan (splash) air pada permukaan perkerasan.

-

mengurangi pantulan cahaya lampu kendaraan (glare).

-

mengurangi kebisingan akibat gesekan roda kendaraan dan perkerasan, dimana suara bising diserap oleh porositas Aspal Porus (Gambar 2.4).

-

memiliki gesekan permukaan yang baik pada saat hujan.

25

Gambar 2.4 Gesekan roda kendaraan pada Aspal Porus

Aspal Porus adalah campuran beton aspal dengan kadar pasir yang rendah untuk mendapatkan kadar rongga udara yang tinggi. Aspal Porus dipergunakan untuk lapisan permukaan jalan dan selalu dihampar di atas lapisan kedap air. Dipromosikan efektif untuk meningkatkan keselamatan lalu-lintas pada musim hujan, mengurangi percikan air dan mempunyai kekesatan permukaan yang baik bagi kendaraan berkecepatan tinggi.(Diana, 2000). Aspal Porus sesuai digunakan pada jalan bebas hambatan dengan kecepatan tinggi seperti pada jalan tol dan pada daerah yang padat penduduknya seperti komplek sekolah, rumah sakit, terowongan sehingga mengurangi gangguan kebisingan dan slip karena permukaan perkerasan kasar. Peningkatan rongga dalam campuran pada Aspal Porus sangat berpengaruh terhadap nilai permeabilitas. Umumnya peningkatan proporsi agregat kasar dan mengurangi agregat halus dapat meningkatkan nilai rongga dalam campuran Aspal Porus (Cabrera et al, 1996). Aspal Porus merupakan konstruksi perkerasan lentur. Aspal Porus merupakan lapisan tidak kedap air (permeable) yang berfungsi mengurangi beban drainase pada permukaan perkerasan bersamaan dengan kemiringan permukaan. Lapisan Aspal Porus membolehkan air meresap kedalam lapisan atas (surface course) secara vertical dan horizontal. Dengan demikian sebagai konsekuensinya, lapisan dibawah Aspal Porus harus lapisan kedap air (impermeable) seperti geluh, napal dan lempung untuk melindungi lapisan dibawahnya dari air seperti disajikan pada Gambar 2.5

26

Lapisan Aspal Porus Bahu jalan

Drainase air pada sisi jalan Lapis Pondasi atas : Lapis Kedap Air Lapis Pondasi Bawah Tanah dasar Drainase

Gambar 2.5 Sistem drainase Aspal Porus Sumber: Sarwono Wardhani (2007)

Belakangan ini Aspal Porus semakin jarang dipergunakan untuk ruas jalan umum, antara lain karena: -

Memerlukan pemeliharaan rutin supaya rongga yang diharapkan dapat mereduksi air permukaan tidak tersumbat.

-

Pelaksanaan pekerjaan Aspal Porus memerlukan kecermatan pelaksanaan yang baik.

-

Pada musim dingin, konstruksi Aspal Porus memerlukan jumlah grit salt (sejenis garam untuk menurunkan titik beku air, supaya tidak licin) yang lebih banyak dari jenis perkerasan lain.

-

Kekuatan Aspal Porus kurang optimal dan berumur sekitar 3-4 tahun, lebih pendek dari jenis perkerasan aspal lain sehingga perlu lebih sering di daur ulang (recycling).

-

Adanya alternative jenis campuran aspal yang lain, misalnya Stone Mastic Asphalt (SMA).

-

Biayanya besar khususnya di daerah perkotaan karena membutuhkan drainase.

Tergantung dari prioritas, Aspal Porus masih banyak digunakan pada: - Daerah perkotaan yaitu pada jalan bebas hambatan dengan kecepatan tinggi. - Areal yang padat penduduk seperti pemukiman, perkantoran, dan rumah sakit yang curah hujannya tinggi sehingga dapat mengurangi kebisingan dan slip.

27

- Daerah yang ada kecendrungan air mennggenang, seperti daerah yang terjadi perubahan ketinggian, jalan yang lebar dan lingkungan dengan profil yang membujur dari jalan-jalan di daerah berbukit. - Pada jalan setapak untuk mengurangi kelicinan (Gambar 2.5). - Pada areal tempat bermain bagi anak-anak atau landasan untuk kegiatan olah raga.

Aspal Porus tidak cocok digunakan pada area dengan kondisi: - Kekuatan struktur perkerasan di bawah standar. - Terdapat kecenderungan untuk melakukan akselerasi mendadak, pengereman dan membelok misalnya pada persimpangan utama. - Tikungan kecil, jari-jari tikungan <75 m. - Sudut kemiringan permukaan > 10 %. - Pengaliran bebas tidak dapat dilakukan sepanjang bahu jalan. - Terdapat fleksibilitas yang tinggi misalnya di atas jembatan. - Volume lalu lintas melebihi 4.000 smp/lajur/hari saat pembukaan. - Lalu lintas lambat, kecepatan di bawah 40 km/jam. - Daerah pertanian karena kemungkinan tanah akan menutup pori.

Gambar 2.6 Penggunaan Aspal Porus Pada Jalan Setapak

28

Gambar 2.7 Aspal Porus dan Aspal Standar

2.3.1

Syarat Teknis Agregat pada Campuran Aspal Adapun persyaratan agregat yang diisyaratkan untuk campuran aspal

adalah sebagai berikut : 1. Agregat Kasar a. Tertahan ayakan No.4 (4,75 mm) b. Mempunyai angularitas sesuai syarat. Angularitas agregat kasar didefinisikan sebagai persen terhadap berat, jumlah agregat yang lebih besar dari 4,75 mm dengan muka bidang pecah satu atau lebih. Tabel 2.2 Ketentuan Agregat Kasar Pengujian natrium sulfat

Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan Abrasi dengan mesin Los Angeles

Standar magnesium sulfat

Campuran AC Modifikasi

100 putaran 500 putaran

Semua jenis campuran 100 putaran aspal bergradasi 500 putaran lainnya Kelekatan agregat terhadap aspal Butir Pecah pada agregat kasar Partikel Pipih dan Lonjong

SNI 3407 : 2008

Nilai Maks. 12% Maks. 18% Maks. 6% Maks. 30%

SNI 2417 : 2008

Maks. 8% Maks. 40%

SNI 2439 : 2011

Min. 95%

SNI 7619:2012

95/901

ASTM D4791 perbandingan 1 : 5

Maks. 10%

Material lolos Ayakan No. 200 SNI 03-4142-1996 Sumber: Kementerian PU RI-Ditjen Bina Marga, (2010) Rev. 3

Maks. 2%

29

Catatan: -

95/90 menunjukkan bahwa 95% agregat kasar mempunyai muka bidang pecah satu atau lebih dan 90% agregat kasar mempunyai muka bidang pecah dua atau lebih.

2. Agregat halus Agregat halus adalah agregat yang lolos saringan No.4 (4,75mm) dan tertahan pada saringan No.200 (0,075 mm). Agregat yang digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: - Agregat halus harus terdiri dari pasir alam atau pasir buatan atau pasir terak atau gabungan dari bahan-bahan tersebut yang keadaannya bersih, kering, kuat, bebas dari gumpalan-gumpalan lempung dan bahan-bahan lain yang mengganggu. - Mempunyai angularitas sesuai syarat. Angularitas agregat halus didefinisikan sebagai persen rongga udara pada agregat lolos ayakan No.4 (4,75mm) yang dipadatkan dengan berat sendiri - Pasir alam dapat digunakan dalam campuran AC sampai suatu batas yang tidak melampaui 15% terhadap berat total campuran. Tabel 2.3 Ketentuan Agregat Halus

Pengujian Nilai Setara Pasir Angularitas dengan Uji Kadar Rongga Gumpalan Lempung dan Butir-butir Mudah Pecah dalam Agregat Agregat Lolos Ayakan No.200

Standar SNI 03-4428-1997 SNI 03-6877-2002

Nilai Min. 60% Min. 45

SNI 03-4141-1996

Maks. 1%

SNI ASTM C117:2012

Maks. 10%

Sumber: Kementerian PU RI-Ditjen Bina Marga, (2010) Rev. 3

3. Filler Bahan pengisi atau filler adalah bagian dari agregat halus yang minimum 85 % lolos saringan No.200 (0.075 mm). -

Bahan pengisi yang ditambahkan (pada agregat hasil pemecahan yang mengandung filler), bisa terdiri atas debu batu kapur (limestone dust), kapur padam (hydrated lime), semen atau abu terbang yang sumbernya disetujui.

30

-

Bahan pengisi yang ditambahkan harus kering dan bebas dari gumpalan-gumpalan dan bila diuji dengan pengayakan sesuai SNI 031968-1990 harus mengandung bahan yang lolos ayakan No.200 (75 micron) tidak kurang dari 75 % terhadap beratnya.

-

Bilamana kapur tidak terhidrasi atau terhidrasi sebagian, digunakan sebagai bahan pengisi yang ditambahkan maka proporsi maksimum yang diijinkan adalah 1,0% dari berat total campuran beraspal. Kapur yang seluruhnya terhidrasi yang dihasilkan dari pabrik yang disetujui, dapat digunakan maksimum 2% terhadap berat total agregat.

2.3.2

Gradasi Agregat Campuran Aspal Porus Pada umumnya agregat yang tersedia di lapangan, baik hasil produksi

mesin pemecah batu maupun sebagaimana bentuk dan ukurannya dialam belum memenuhi gradasi sebagaimana disyaratkan didalam spesifikasi pekerjaan. Untuk itu diperlukan pencampuran dari berbagai ukuran agregat seperti yang tersedia di lapangan. Adapun syarat gradasi-gradasi agregat untuk campuran Aspal Porus adalah sebagai berikut : Tabel 2.4 Gradasi Agregat Campuran Aspal Porus Ukuran Ayakan (mm) 19,00 12,50 9,5 4,75 2,36 1,18 0,6 0,3 0,15 0,75 Total Kadar Aspal

% Berat Yang Lolos Ag. Maks. 10 mm 100 100 85-100 20-45 10-20 6-14 5-10 4-8 3-7 2-5 100 5,0-7,0

Sumber : Australian Asphalt Pavement Association, 2004

Penggunaan Aspal Porus biasanya digunakan untuk lalu lintas sedang karena memiliki nilai stabiltas minimum 500 kg dengan 2x50 tumbukan. Sedangakan untuk lalu lintas tinggi nilai stabilitas minimum 800 kg dengan 2x75 tumbukan, sehingga Aspal Porus kurang optimal digunakan untuk lalu lintas

31

tinggi dikarenakan tidak kuat menahan beban diatas 800 kg yang mengakibatkan umur Aspal Porus lebih pendek dibanding jenis perkerasan lain. 2.3.2

Spesifikasi Campuran Aspal Porus Kinerja Aspal Porus diperoleh melalui hasil pengujian karakteristik

campuran beraspal. Spesifikasi untuk Aspal Porus dibatasi pada nilai-nilai sebagai berikut: Tabel 2.5 Ketentuan Campuran Aspal Porus No.

Kriteria Perencanaan

Nilai

1

Nilai Cantabro loss (%)

Maks.35

2

Koefisien Permeabilitas (cm/s)

0,1-0,5

3

Kadar Rongga di Dalam Campuran ( VIM %)

18-25

4

Stabilitas Marshall (kg)

5

Kelelehan Marshall (mm)

6

Kekakuan Marshall (kg/mm)

Maks. 400

7

Jumlah Tumbukan Perbidang

50

Min.500 2-6

Sumber : Australian Asphalt Pavement Association, 2004

2.3.3

Sifat - Sifat Campuran Aspal Porus Sifat – sifat campuran Aspal Porus sebagai lapis perkerasan jalan antara

lain: 1. Stabilitas Stabilitas adalah kemampuan suatu lapis keras untuk menerima beban lalu lintas tanpa terjadinya perubahan bentuk (deformasi) seperti gelombang, alur maupun bleeding. Stabilitas pada Aspal Porus lebih rendah dibandingkan dengan HRA (Hot Rolled Asphalt) atau AC (Asphalt Concrete) dikarenakan banyaknya pori. 2.

Flow Flow adalah keadaan perubahan bentuk suatu campuran yang terjadi akibat suatu beban sampai batas runtuh, dimana pengujiannya dilakukan bersamaan dengan pengukuran stabilitas (dinyatakan dalam mm atau 0.01 inch) vertikal yang terjadi.Pengukuran flow bersamaan dengan pengukuran nilai stabilitas Marshall. Nilai flow yang tinggi mengindikasikan campuran

32

bersifat elastis dan lebih mampu mengikuti deformasi akibat beban. Sedangkan nilai flow yang rendah menandakan bahwa campuran tersebut sangat potensial terhadap retak, hal ini mungkin disebabkan karena banyak rongga kosong yang tidak terlapisi aspal. Nilai flow dipengaruhi oleh kadar aspal dan viskositas aspal, gradasi, suhu dan jumlah pemadatan. 3.

Keawetan (Durabilitas) Durabilitas adalah kemampuan lapis perkerasan dalam mempertahankan diri dari kerusakan yang terjadi selama umur rencana. Kerusakan dapat terjadi karena pengaruh lalu lintas serta pengaruh buruk dari lingkungan dan iklim (udara, air dan temperatur). Umur pelayanan Aspal Porus lebih pendek dibandingkan dengan perkerasan yang lain. Hal ini terjadi karena adanya pori-pori udara yang lebih banyak, sehingga stabilitasnya kecil.

4.

Kekesatan/Tahanan Geser (skid resistance) Kekesatan adalah kemampuan lapis permukaan pada lapis perkerasan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya selip pada kendaraan baik saat cuaca kering dan terutama pada saat hujan. Hal ini terjadi karena pada saat terjadi hujan kekesatan pada lapis permukaan akan berkurang walaupun tidak sampai terjadi genangan air (aquaplanning). Pada kecepatan tinggi, Asplal Porus yang basah mempunyai kekesatan (skid resistance) yang lebih besar nilainya daripada jenis permukaan yang lainnya.

5.

Void in Mix (VIM) / Porositas Porositas adalah kandungan udara yang terdapat pada campuran perkerasan. Aspal porous berfungsi untuk mengalirkan air permukaan secara sempurna bersamaan dengan kemiringan perkerasan sehingga dapat mengurangi beban drainase yang terjadi di permukaan, sehingga kadar pori aspal porous lebih dari 20 % (Khalid dan Jimenez,1994). Porositas yang besar ini didapat karena dominannya jumlah agregat kasar dalam campuran Aspal Porus.

6.

Permeabilitas Permeabilitas pada Aspal Porus adalah kemampuan lapis perkerasan untuk mengalirkan air ke bawah dan ke samping permukaan sehingga didapat permukaan yang kering. Karena rongga udara yang ada pada Aspal Porus

33

umumnya bersifat interconecting maka permabilitasnya tinggi untuk mendapatkan permukaan yang tidak mengandung genangan air walaupun masih dalam keadaan lembab. 2.4

Perencanaan Campuran Aspal Panas (Hot Mix) Perencanaan suatu campuran aspal panas (Hot Mix) termasuk Aspal Porus

dilaksanakan dengan mengacu kepada spesifikasi yang ditentukan. Secara umum dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut: 2.4.1

Pengujian Material Sebelum

merencanakan

campuran

aspal,

terlebih

dahulu

harus

melaksanakan pengujian material : agregat kasar, agregat halus, filler dan aspal. Sifat-sifat material harus memenuhi spesifikasi yang ditentukan. 2.4.2

Penentuan Gradasi Agregat Gradasi masing-masing jenis agregat (kasar, halus dan filler) mungkin saja

ditentukan dalam spesifikasi suatu jenis campuran aspal panas. Demikian pula gradasi agregat gabungannya. Gradasi agregat gabungan bisa diperoleh dengan mencampur (blending) agregat kasar, halus dan filler. Perencanaan gradasi agregat untuk campuran aspal di laboratorium, bisa dilaksanakan tanpa mencampur agregat, yaitu berdasarkan gradasi ideal (batas tengah) spesifikasi gradasi agregat gabungan yang ditentukan. Masing-masing ukuran butir agregat diperoleh dengan mengayak agregat sesuai ukuran saringan yang ditentukan. Kemudian proporsi agregat dicari berdasarkan komulatif persentase lolos gradasi ideal.

2.4.3

Penentuan Proporsi Agregat Pengelompokkan agregat diperoleh dari hasil pengayakan. Agregat kasar

adalah agregat yang tertahan saringan No. 4 = 4,75 mm. Untuk agregat halus (lolos saringan No. 4 = 4,75 mm dan tertahan saringan No. 200 = 0,075 mm) dapat langsung menggunakan pasir halus. Sedangkan filler adalah material nonplastis yang lolos saringan No. 200 = 0,075 mm. Filler dapat berupa abu batu, abu kapur, fly ash, semen, dan lain-lain.

34

2.4.4

Estimasi Kadar Aspal Awal Setelah proporsi masing-masing agregat diketahui, maka dilakukan

perhitungan kadar aspal optimum perkiraan. Adapun perhitungannya menurut (Depkimpraswil, 2004) sebagai berikut: Pb = 0,035 (%CA) + 0,045 (%FA) + 0,18 (%FF) + konstanta

(2.5)

Keterangan: Pb

= % kadar aspal awal terhadap berat total campuran

%CA = % agregat kasar (coarse aggregate) terhadap berat total agregat %FA = % agregat halus (fine aggregate) terhadap berat total agregat %FF

= % filler terhadap berat total agregat

K

= Nilai konstanta kira-kira 0,5 sampai 1,0 untuk Laston dan 2,0 sampai 3,0 untuk Lataston. Untuk jenis campuran lain digunakan nilai 1,0 sampai 2,5.

2.4.5

Penentuan Prosentase Material Terhadap Berat Total Campuran Prosentase proporsi agregat dihitung berdasarkan berat total agregat.

Karena dalam campuran terdapat kandungan aspal, maka perlu dihitung prosentase material terhadap berat total campuran. Untuk membuat sebuah sampel umumnya diperlukan sekitar 1000 gram agregat yang proporsinya sesuai dengan ukuran butir agregat. Prosentase terhadap berat total campuran akan berubah sesuai dengan variasi prosentase kadar aspal.

2.4.6

Perhitungan Jumlah Material Yang Dibutuhkan Proporsi agregat kasar disesuaikan dengan prosentase ukuran butirnya

yang sudah dipersiapkan (di ayak) terlebih dahulu. Untuk agregat halus sudah bisa langsung menggunakan pasir halus lolos 4,75 mm (ayakan No. 4) dan tertahan 0,075 mm (ayakan No. 200).

2.4.7

Pemanasan Material Dan Mould Agregat yang sudah diproporsikan, ditempatkan dalam wadah dari metal

(misalnya waskom aluminium). Demikian juga aspal ditempatkan dalam kaleng dengan ukuran yang cukup. Kemudian dipanaskan (sebaiknya) dalam oven.

35

Ketentuan temperatur aspal untuk pemanasan, pencampuran dan pemadatan didasarkan atas rentang temperatur pada saat viskositas aspal akan memberikan hasil yang optimal. Hal ini didasarkan atas hasil studi dan data-data yang sudah ada. Sebagai pedoman umum, ketentuan dan temperatur aspal untuk pencampuran dan pemadatan material campuran aspal sesuai dengan Tabel 2.6 adalah sebagai berikut: Tabel 2.6 Ketentuan viskositas & temperatur aspal untuk pencampuran pemadatan Rentang No.

Prosedur Pelaksanaan

Viskositas Aspal

Temperatur

(PAS)

Aspal Tipe I (0C)

1

Pencampuran benda uji Marshall

0,2

155  1

2

Pemadatan benda uji Marshall

0,4

145  1

3

Pencampuran, rentang temperatur

0,2 - 0,5

145 - 155

 0,5

135 – 150

0,5 – 1,0

130 – 150

sasaran 4

Menuangkan campuran aspal dari alat pencampur ke dalam truk

5

Pemasokan ke alat penghampar

6

Pemadatan awal (roda baja)

1-2

125 – 145

7

Pemadatan antara (roda karet)

2 - 20

100 – 125

8

Pemadatan akhir (roda baja)

< 20

> 95

Sumber: Kementerian PU RI-Ditjen Bina Marga, (2010) Rev. 3

Mould (cetakan sampel) dengan diameter 4 inch (101,6 mm) dan tinggi 3 inch (75 mm) dilengkapi colar mould ( mould tambahan), dan alat pencampur (mixer) atau sendok pengaduk metal, dan batang besi perojok/ penusuk juga perlu dipanaskan (dapat dipanaskan pada temperatur sama dengan temperatur pemanasan aspal). 2.4.8

Jumlah Sampel dan Pemanasan Untuk setiap variasi kadar aspal, idealnya dibuat minimal 3 sampel,

kemudian karakteristik campuran diambil dari nilai rata-rata dua sampel yang

36

memberi hasil terbaik. Bila pencampuran dilaksanakan secara manual, agregat ditempatkan dalam waskom metal dan diaduk rata sebelum dipanaskan. Setelah panas, kemudian dituangi aspal sejumlah yang diperlukan, lalu diaduk dengan sendok metal serata mungkin. Untuk mengurangi kehilangan temperatur, yang bisa berakibat agregat tidak terselimuti aspal dengan merata maka material campuran dipanaskan lagi beberapa saat (2-5 menit), kemudian diaduk kembali sampai rata.

2.4.9

Pemadatan sampel Sebaiknya semua peralatan dipanaskan untuk mempertahankan temperatur

dan kemudahan pelaksanaan (workability). Pemadatan dilakukan sesuai dengan jumlah tumbukan sebagai berikut: a) Pemadatan campuran Aspal Porus : 2 x 50 b) Berat alat tumbuk : 4,5 kg c) Tinggi jatuh

2.5

: 18” = 45,7 cm

Pengukuran Volumetrik Sampel Campuran beraspal panas pada dasarnya terdiri dari aspal dan agregat.

proporsi masing-masing bahan harus dirancang sedemikian rupa agar dihasilkan aspal beton yang dapat melayani lalu lintas dan tahan terhadap pengaruh lingkungan selama masa pelayanan. Ini berarti campuran beraspal harus: 1. Mengandung cukup kadar aspal agar awet. 2. Mempunyai stabilitas yang memadai untuk menahan beban lalu lintas. 3. Mengandung cukup rongga udara (VIM) agar tersedia ruangan yang cukup untuk menampung ekspansi aspal akibat pemadatan lanjutan oleh lalu lintas dan kenaikan temperatur udara tanpa mengalami bleeding atau deformasi plastis. 4. Rongga udara yang ada harus juga dibatasi untuk membatasi permeabilitas campuran. 5. Mudah dilaksanakan sehingga campuran beraspal dapat dengan mudah dihampar dan dipadatkan sesuai dengan rencana dan memenuhi spesifikasi.

37

Dalam Pedoman Teknik No. 028/T/BM/1999, kinerja campuran beraspal ditentukan oleh volumetrik campuran (padat) yang terdiri atas: a.

Berat Jenis Bulk Agregat Karena agregat total terdiri atas fraksi-fraksi agregat kasar, agregat halus dan bahan pengisi (filler) yang masing-masing mempunyai berat Jenis yang berbeda maka berat jenis bulk (Gsb) agregat total dapat dihitung sebagai berikut: Gsb =

P1 + P2+ … + Pn P1 P2 P + +⋯+ n G1 G2 Gn

(2.6)

Keterangan: 𝐺𝑠𝑏

= Berat jenis bulk total agregat

𝑃1 , 𝑃2 , 𝑃3 = Presentase masing-masing fraksi agregat 𝐺1 , 𝐺2 , 𝐺3 = Berat jenis bulk masing-masing fraksi agregat Berat jenis bulk bahan pengisi sulit ditentukan dengan teliti. Namun demikian, jika berat jenis nyata (apparent) bahan pengisi dimasukkan, maka penyimpangan yang timbul dapat diabaikan. b.

Berat Jenis Efektif Agregat Berat Jenis efektif campuran (Gse), rongga dalam partikel agregat yang menyerap aspal, dapat ditentukan dengan rumus Gse =

P1 + P2 + ⋯ + Pn P1 P2 Pn + + ⋯+ Gse1 Gse2 Gsen

(2.7)

Keterangan:

c.

Gse

= Berat jenis efektif agregat

P1, P2, P3,

= Presentase masing-masing fraksi agregat

Gse1, Gse2, Gse3,

= Berat jenis efektif masing-masing fraksi agregat

Berat Jenis Maksimum Campuran Berat jenis maksimum campuran, Gmm pada masing-masing kadar aspal diperlukan untuk menghitung kadar rongga masing-masing kadar aspal. Ketelitian hasil uji terbaik adalah bila kadar aspal campuran mendekati kadar aspal optimum. Sebaiknya pengujian berat Jenis maksimum dilakukan dengan benda uji sebanyak minimum dua buah (duplikat) atau tiga buah (triplikat). Selanjutnya Berat Jenis Maksimum (Gmm) campuran 38

untuk masing-masing kadar aspal dapat dihitung menggunakan berat jenis efektif (Gse) rata-rata sebagai berikut: Gmm =

Pmm Ps P + b Gse Gb

(2.8)

Keterangan:

d.

Gmm

= Berat Jenis Maksimum Campuran, Rongga Udara nol

Pmm

= Persen berat total campuran (= 100)

Ps

= Kadar agregat, persen terhadap berat total campuran

Pb

= Kadar aspal, persen terhadap berat total campuran

Gse

= Berat jenis efektif agregat

Gb

= Berat jenis aspal

Penyerapan Aspal Penyerapan aspal dinyatakan dalam persen terhadap berat agregat total, tidak terhadap berat campuran. Perhitungan penyerapan aspal (Pba) adalah sebagai berikut: Pba = 100

Gse − Gsb G Gsb. Gse b

(2.9)

Keterangan:

e.

Pba

= Penyerapan aspal, persen total agregat

Gsb

= Berat jenis bulk agregat

Gse

= Berat jenis efektif agregat

Gb

= Berat jenis aspal

Kadar Aspal Efektif Kadar aspal efektif (Pbe) Campuran beraspal adalah kadar aspal total dikurangi jumlah aspal yang terserap oleh partikel agregat. Kadar aspal efektif ini akan menyelimuti permukaan agregat bagian luar yang pada akhirnya akan menentukan kinerja perkerasan beraspal. Rumus kadar aspal efektif adalah: Pbe = Pb −

Pba P 100 s

(2.10)

39

Keterangan:

f.

Pbe

= Kadar aspal efektif, persen total campuran

Pb

= Kadar aspal, persen total campuran.

Pba

= Penyerapan aspal, persen total agregat

Ps

= Kadar agregat, persen total campuran.

Rongga di antara Mineral Agregat (VMA) VMA (Voids in Mineral aggregate) adalah ruang di antara partikel agregat pada suatu perkerasan beraspal, termasuk rongga udara dan volume aspal efektif (tidak termasuk volume aspal yang diserap agregat). VMA dihitung berdasarkan Berat Jenis Bulk (Gsb) agregat dan dinyatakan sebagai persen volume Bulk campuran yang dipadatkan. VMA dapat dihitung pula terhadap berat campuran total atau terhadap berat agregat total (Lihat Rumus 2.11). Perhitungan VMA terhadap campuran total adalah dengan rumus berikut: 1.

Terhadap Berat Campuran Total VMA = 100 −

Gmb xPs Gsb

(2.11)

Keterangan:

2.

VMA

= Rongga di antara Mineral Agregat, persen volume bulk

Gsb

= Berat jenis bulk agregat

Gmb

= Berat jenis bulk campuran padat

Ps

= Kadar agregat, persen total campuran

Terhadap Berat Agregat Total VMA = 100 −

Gmb 100 x 100 Gsb (100 + Pb )

(2.12)

Keterangan: VMA

= Rongga di antara Mineral Agregat, persen volume bulk

Gsb

= Berat jenis bulk agregat

Gmb

= Berat jenis bulk campuran padat

Pb

= Kadar aspal, persen total campuran

40

g.

Rongga di Dalam Campuran (VIM) VIM (Voids In Mix) dalam campuran perkerasan beraspal terdiri atas ruang udara di antara partikel agregat yang terselimuti aspal. Volume rongga udara dalam persen dapat ditentukan dengan rumus berikut: 𝑉𝐼𝑀 = 100𝑥

𝐺𝑚𝑚 − 𝐺𝑚𝑏 𝐺𝑚𝑚

(2.13)

Keterangan:

h.

VIM

= Ronga udara campuran, persen total campuran

Gmb

= Berat jenis bulk campuran padat

Gmm

= Berat Jenis Maksimum Campuran

Rongga Terisi Aspal (VFB) VFB ( Voids Filled with Bitumen) adalah persen rongga yang terdapat di antara partikel agregat (VMA) yang terisi oleh aspal, tidak termasuk aspal yang diserap oleh agregat. Rumus VFB adalah sebagai berikut: VFB =

100( VMA − VIM ) VMA

(2.14)

Keterangan: VFB

= Rongga Terisi Aspal, persen VMA

VMA = Rongga di antara Mineral Agregat, persen volume bulk. VIM

= Rongga di dalam campuran, persen total campuran

Volumetrik campuran beraspal dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Gambar 2.8 Volumetrik campuran beraspal Dimana: VMA

= volume rongga diantara agregat

VMB

= volume bulk campuran padat

VMAE

= volume agregat padat tanpa rongga

41

2.6

VFB

= volume rongga terisi aspal

VIM

= volume rongga dalam campuran

VB

= volume aspal

VBA

= volume aspal yang diserap agregat

VMAB

= volume agregat tanpa rongga

VVM

= volume agregat + volume aspal

Test Stabilitas Marshall dan Flow Kinerja campuran aspal dapat diperiksa dengan

menggunakan alat

pemeriksa Marshall. Pemeriksaan Marshall mengikuti prosedur SNI 06-24891991, atau AASHTO T 245-90, atau ASTM D 1559-76. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk menentukan ketahanan (stabilitas) yang optimum dikaitkan dengan kategori lalu lintas (lalu lintas ringan, lalu lintas sedang, lalu lintas berat) terhadap kelelehan plastis (flow) dari campuran aspal dan agregat. Kelelehan plastis adalah keadaan perubahan bentuk suatu campuran yang terjadi akibat suatu beban sampai batas runtuh yang dinyatakan dalam 0,01 inch. Alat Marshall merupakan alat tekan yang berbentuk silinder berdiameter 4 inci (10,2 cm) dan tinggi 2,5 inci (6,35 cm) serta dilengkapi dengan proving ring (cincin penguji) yang berkapasitas 22,2 KN dan flow meter. Proving ring dilengkapi dengan arloji pengukur yang berguna untuk mengukur nilai stabilitas campuran. Pembacaan arloji tekan ini dilkalikan dengan hasil kalibrasi cincin penguji serta angka korelasi beban menggunakan Tabel 2.7. Disamping itu terdapat arloji kelelehan (flow meter) untuk mengukur kelelehan plastis (flow). Selanjutnya dari perhitungan diperoleh Rongga Diantara Agregat (VMA), Rongga Dalam Campuran Beraspal (VIM), Rongga terisi aspal (VFB), dan Marshall Quetient (MQ).

42

Tabel 2.7 Konversi pembacaan dial gauge stabilitas ke kN untuk alat uji tekan Marshall model H-4454.100 KN 0.000 0.089 0.178 0.267 0.356 0.444 0.533 0.622 0.711 0.800 0.889 0.978 1.067 1.156 1.245 1.333 1.422 1.511 1.600 1.689 1.778 1.867 1.956 2.045 2.134 2.222 2.311 2.400 2.489 2.578 2.667 2.756 2.845 2.934 3.023 3.111 3.200 3.289 3.378 3.467 3.556 3.645 3.734 3.823 3.911 4.000 4.089 4.178 4.267 4.356

DEFL 1.5 6.7 11.9 17.2 22.4 27.6 32.8 38.1 43.3 48.5 53.8 59.0 64.2 69.5 74.7 79.9 85.2 90.4 95.6 100.9 106.1 111.3 116.6 121.8 127.1 132.2 137.5 142.8 148.0 153.3 158.5 163.8 169.0 174.2 179.5 184.7 190.0 195.2 200.5 205.7 211.0 216.2 221.5 226.7 232.0 237.3 242.5 247.8 253.0 258.3

KN 4.445 4.667 4.889 5.112 5.334 5.556 5.778 6.001 6.223 6.445 6.667 6.890 7.112 7.334 7.556 7.779 8.001 8.223 8.445 8.668 8.890 9.112 9.334 9.556 9.779 10.001 10.223 10.445 10.668 10.890 11.112 11.334 11.557 11.779 12.001 12.223 12.446 12.668 12.890 13.112 13.335 13.557 13.779 14.001 14.224 14.446 14.668 14.890 15.113 15.335

DEFL 263.5 276.7 289.8 303.0 316.2 329.3 342.5 355.7 368.9 382.1 395.2 408.4 421.6 434.8 448.0 461.3 474.5 487.7 500.9 514.1 527.4 540.6 553.9 567.1 580.4 593.6 606.9 620.1 633.4 646.7 660.0 673.2 686.5 699.8 713.1 726.4 739.7 753.0 766.4 779.7 793.0 806.3 819.7 833.0 846.3 859.7 873.0 886.4 899.7 913.1

KN 15.557 15.779 16.002 16.224 16.446 16.668 16.891 17.113 17.335 17.557 17.780 18.002 18.224 18.446 18.669 18.891 19.113 19.335 19.557 19.780 20.002 20.224 20.446 20.669 20.891 21.113 21.335 21.558 21.780 22.002 22.224 22.447 22.669 22.891 23.113 23.336 23.558 23.780 24.002 24.225 24.447 24.669 24.891 25.114 25.336 25.558 25.780 26.003 26.225 26.447

DEFL 926.5 939.8 953.2 966.6 980.0 993.4 1006.8 1020.2 1033.6 1047.0 1060.4 1073.8 1087.2 1100.7 1114.1 1127.5 1141.0 1154.4 1167.8 1181.3 1194.8 1208.2 1221.7 1235.2 1248.6 1262.1 1275.6 1289.1 1302.6 1316.1 1329.6 1343.1 1356.6 1370.1 1383.6 1397.1 1410.7 1424.2 1437.7 1451.3 1464.8 1478.4 1491.9 1505.5 1519.0 1532.6 1546.2 1559.8 1573.3 1586.9

KN 26.669 26.892 27.114 27.336 27.558 27.781 28.003 28.225 28.447 28.669 28.892 29.114 29.336 29.558 29.781 30.003 30.225 30.447 30.670 30.892 31.114 31.336 31.559 31.781 32.003 32.225 32.448 32.670 32.892 33.114 33.337 33.559 33.781 34.003 34.226 34.448 34.670 34.892 35.115 35.337 35.559 35.781 36.004 36.226 36.448 36.670 36.893 37.115 37.337 37.559

DEFL 1600.5 1614.1 1627.7 1641.3 1654.9 1668.5 1682.1 1695.8 1709.4 1723.0 1736.7 1750.3 1763.9 1777.6 1791.2 1804.9 1818.6 1832.2 1845.9 1859.6 1873.2 1886.9 1900.6 1914.3 1928.0 1941.7 1955.4 1969.1 1982.8 1996.6 2010.3 2024.0 2037.7 1051.5 1065.2 2079.0 2092.7 2106.5 2120.2 2134.0 2147.8 2161.5 2175.3 2189.1 2202.9 2216.7 2230.5 2244.3 2258.1 2271.9

KN 37.781 38.004 38.226 38.448 38.670 38.893 39.115 39.337 39.559 39.782 40.004 40.226 40.448 40.671 40.893 41.115 41.337 41.560 41.782 42.004 42.226 42.449 42.671 42.893 43.115 43.338 43.560 43.782 44.004 44.227 44.449 44.671 44.893 45.116 45.338 45.560 45.782 46.005 46.227 46.449 46.671 46.894 47.116 47.338 47.560 47.782 48.005 48.227 48.449 48.671

DEFL 2285.7 2299.5 2313.3 2327.1 2341.0 2354.8 2368.6 2382.5 2396.3 2410.2 2424.0 2437.9 2451.8 2465.6 2479.5 2493.4 2507.3 2521.2 2535.1 2548.9 2562.9 2576.8 2590.7 2604.6 2618.5 2632.4 2646.4 2660.3 2674.2 2688.2 2702.1 2716.1 2730.0 2744.0 2757.9 2771.9 2785.9 2799.8 2813.8 2827.8 2841.8 2855.8 2869.8 2883.8 2897.8 2911.8 2925.8 2939.9 2953.9 2967.9

Sumber: Humboldt (2010)

43

Tabel 2.8 Rasio faktor koreksi stabilitas Isi

benda Tebal Benda Faktor

uji (cm²)

Uji (mm)

Koreksi

200–213

25,4

5,56

214-225

27,0

5,00

226-237

28,6

4,55

238-250

30,2

4,17

251-264

31,8

3,85

265-276

33,3

3,57

277-289

34,9

3,33

290-301

35,5

3,03

302-316

38,1

2,78

317-328

39,7

2,50

329-340

41,3

2,27

341-353

42,9

2,08

354-367

44,4

1,92

368-379

46,0

1,79

380-392

47,6

1,67

393-405

49,2

1,56

406-420

50,8

1,47

421-431

52,4

1,39

432-443

54,0

1,32

444–456

55,6

1,25

457–470

57,2

1,19

471–482

58,7

1,14

483–495

60,3

1,09

496–508

61,9

1,04

509–522

63,5

1,00

523–535

65,1

0,96

536–546

66,7

0,93

547–559

68,3

0,89

44

Tabel 2.8 (lanjutan) 560–573

69,9

0,86

574–585

71,4

0,83

586–598

73,0

0,81

599–610

74,6

0,78

611–625

76,2

0,76

Sumber: RSNI M-01-2003 (2003)

2.7

Penentuan Kadar Aspal Optimum Penentuan Kadar aspal optimum pada Aspal Porus ditentukan dengan

merata-ratakan kadar aspal yang memberikan stabilitas maksimum, dan VIM (porositas) yang diisyaratkan serta persyaratan campuran lainnya seperti Marshall Quotient dan kelelehan campuran (flow). Kadar aspal optimum dapat ditentukan dengan menggunakan Metode bar- chart seperti pada Gambar 2.9. Nilai kadar aspal optimum ditentukan sebagai nilai tengah dari rentang kadar aspal maksimum dan minimum yang memenuhi spesifikasi.

Gambar 2.9 Contoh penentuan kadar aspal optimum Sumber: Dir. Jen Bina Marga (2010)

45

2.8

Pengujian Cantabro Pengujian cantabro ini dimaksudkan untuk mengevaluasi campuran

beraspal terhadap disitegrasi yaitu pelepasan butir agregat akibat menurunnya kelekatan aspal karena gesekan roda kendaraan secara berulang. Pengujian ini dilakukan dalam kondisi normal tanpa rendaman. Peralatan uji yang dipakai adalah mesin Los Angeles dengan 300 rotasi dan dijalankan dengan kecepatan 3033 rpm tanpa bola baja. (CAL) Cantabro Abration Loss dihitung dengan membandingkan berat benda uji semula dengan berat sisa setelah diadakan pengujian. Nilai CAL yang diperoleh menurut spesifikasi adalah maks. 35% untuk uji normal tanpa rendaman (Australian Asphalt Pavement Association, 2004). Kehilangan berat dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Woodside, 1997): 𝑚1−𝑚2

CAL = (

𝑚1

) × 100%

(2.15)

Dimana : CAL = Cantabro Abration Loss (%) m1 = Berat benda uji semula (gr) m2 = berat benda uji setelah dirotasi 300 putaran (gr).

2.9

Pengujian Permeabilitas Permeabilitas adalah sifat yang menunjukan kemampuan material untuk

meloloskan zat alir (fluida) baik udara maupun air. Pengujian permeabilitas ini merupakan sarana yang sangat penting untuk Aspal Porus. Dalam penelitian ini, permeabilitas vertikal dan horisontal keduanya akan dihitung. Tipe dari tes permeabilitas ini yaitu falling head water permeability test. Besarnya koefisien permeabilitas dihitung rumus sebagai berikut (Putranto, 2011): k = 2,3

aL h1 [ Log ( )] At h1

(2.16)

Dimana : k =

Koefisien permeabilitas air

(cm/detik)

a =

Luas penampang tabung

(cm2)

L =

Tinggi benda uji

(cm)

A =

Luas penampang benda uji

(cm2)

t

Waktu yang dibutuhkan untuk mengalirkan air dari h1 ke h2

=

(detik)

46

h1 =

Tinggi batas air paling atas

(cm)

h2 =

Tinggi batas air paling bawah

(cm)

2.10

Uji Kuat Tarik Tidak Langsung (Indirect Tensile Strength Test) Kuat tarik ialah kemampuan untuk menahan gaya luar yang cenderung

menarik elemen benda uji secara bersamaan. Indirect Tensile Strength Test adalah sebuah pengujian gaya tarik tidak langsung yang bertujuan mengetahui karakter tensile dari campuran perkerasan. Pada pengujian ini, Indirect tensile strength test digunakan dalam pengujian Aspal Porus. Sifat uji ini adalah untuk memperkirakan potensi retakan pada campuran aspal. Besarnya kuat tarik tidak langsung dihitung dengan rumus sebagai berikut (Dwiraharjo, 2010): ITS =

2𝑥𝑃𝑖 Лxdxh

(2.17)

Dimana : ITS

: Nilai kuat tarik secara tidak langsung ( kg/m2 = 9,81.10-3 Kpa )

Pi

: Nilai beban ( kg )

h

: Tinggi benda uji ( m )

d

: Diameter benda uji ( m )

2.11

Uji Kuat Tekan Bebas (Unconfined Compressive Strength Test) Kuat tekan adalah suatu metode untuk mengetahui nilai gaya tekan dari

suatu campuran perkerasan. Kuat tekan adalah kemampuan lapisan perkerasan untuk menahan beban yang ada secara vertikal yang dinyatakan dalam kg atau lb. Besarnya kuat tekan dihitung dengan rumus sebagai berikut (SNI 03-6758-2002):

F=

Pu A

(2.18)

Dimana : F : kuat dasak ( kg/m2 = 9,81.10-3 Kpa ) Pu : Nilai beban ( kg ) A: luas permukaan benda uji ( m² )

47

2.12

Hasil-Hasil Penelitian Campuran Aspal Porus

Berikut ini hasil-hasil penelitian yang menyangkut campuran Aspal Porus yaitu : 1. Pengaruh penggunaan Rubberized Asphalt terhadap karakteristik campuran Aspal Porus. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan Presentase penambahan Resiprene 35 yang mengasilkan performa terbaik untuk campuran Aspal Porus adalah sebanyak 6%. Pada penambahan ini didapat nilai VIM sebesar 19,03%, nilai stability sebesar 545 kg, nilai flow sebesar 5,20 mm, nilai MQ sebesar 105 kg/mm, nilai cantabro loss sebesar 14,46%, nilai asphalt flow down sebesar 0,259%, dan nilai koefisien permeabilitas sebesar 0,2829 cm/s (Alfriady, 2013). 2. Hasil penelitian dari Campuran dingin Aspal Porus menggunakan pengikat cutback crumb rubber asphalt RC-800 dengan kadar aspal optimum 7,47 % mempunyai nilai karakteristik Marshall yaitu, nilai porositas sebesar 19,317%, densitas sebesar 1,948 gr/cm3, specific grafity sebesar 2,4231 gr/cm3, stabilitas Marshall campuran sebesar 424,350 kg dan Marshall Quotient sebesar 101,371 kg/mm. Sedangkan dari pengujian Indirect Tensile Strenght, campuran dingin Aspal Porus dengan cutback crumb rubber asphalt RC-800 dapat menahan beban sebesar 134,422 kPa, regangan sebesar 0,01781 dan modulus elastisitas sebesar 765,34813 KPa. Dari pengujian Unconfined Compressive Strength, campuran dingin Aspal Porus dengan cutback crumb rubber asphalt RC-800 dapat menahan beban sebesar 591,3215 kPa. Dan dari pengujian Permeabilitas diperoleh nilai koefisien permeabilitas Horizontal sebesar 0,2082 cm/dt dan koefisien permeabilitas vertikal sebesar 0,1806 cm/dt (Dwiraharjo, 2010). 3. Hasil penelitan dari campuran Aspal Porus dengan agregat Koripan dengan kadar aspal optimum sebesar 3,7% mempunyai nilai karakteristik Marshall yaitu, nilai stabilitas sebesar 271,04 kg, nilai porositas sebesar 34,33%, Densitas 1,58 gr/cm3 , Flow 2,71 mm, dan Marshall Quotient sebesar 104,73 kg/mm. Dari pengujian Unconfined Compressive Strength diketahui campuran Aspal Porus dengan agregat Koripan dapat menahan beban sebesar 1517 kPa, dan dari pengujian Indirect Tensile Strength campuran aspal dapat menahan beban sebesar 177,42 kPa. Sedangkan pada pengujian

48

permeabilitas diperoleh nilai koefisien permeabilitas horisontal sebesar 0,2911 cm/dt dan koefisien permeabilitas vertikal 0,4029 cm/dt (Putranto, 2011). 4. Hasil penelitian dari campuran aspal berongga menggunakan batu karang dan buton natural asphalt diperoleh nilai cantabro berkisar antara 9,7 % sampai 77,1%, porositas dari 15,60% sampai 19,65%, koefisien permeabilitas dari 0,09 cm / detik sampai 0, 16 cm / detik. Stabilitas Marshall mulai dari 1.031 kg sampai 1.249 kg (Jauhari, 2013). 2.13

Pengembangan Campuran Aspal Porus Ada berbagai pengembangan baru tentang penelitian yang berhubungan

dengan Aspal Porus, salah satunya

yaitu dengan perkerasan semi lentur.

Perkerasan semi lentur adalah perkerasan yang memiliki gradasi terbuka dan sedikit sekali mengandung agregat halus. Oleh sebab itu perkerasan semi lentur memiliki pori-pori udara antara 15% - 28%. Pori-pori udara ini kemudian diisi pasta semen (cement slurry). Dengan demikian perkerasan ini mengkombinasikan kekuatan semen (sebagai perkerasan kaku) dan aspal (sebagai perkerasan lentur), sehingga kekuatan inilah yang membedakan dengan perkerasan konvensional lainnya. Stabilitas perkerasan semi lentur diharapkan akan bertambah besar dengan adanya penggabungan dua kekuatan tersebut (Sundahl dan Hede, 2002). Perkerasan semi lentur saat ini dapat diklasifikasikan sebagai sebuah metode baru dan cukup baik dalam memecahkan masalah kerusakan perkerasan jalan raya. Penelitian di Inggris mendapatkan hasil yang cukup baik. Demikian juga para peneliti Jepang telah menerapkan perkerasan semi lentur di beberapa tempat pada jalan-jalan di lokasi khusus seperti tempat penyeberangan jalan raya, terminal bus, pintu tol, pemberhentian bus dan pelabuhan penyeberangan kapal laut. Perkerasan semi lentur mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan perkerasan konvensional biasa antara lain: 1. lebih tahan terhadap alur 2. Tidak menimbulkan efek yang menyilaukan/menyerap cahaya 3. Lebih nyaman 4. Tahan terhadap kelelehan 5. Tahan terhadap keausan (Nakanishi H, 2001). 49

Perkerasan semi lentur ini juga mengkombinasikan kualitas yang sangat baik antara perkerasan kaku dan perkerasan lentur, sehingga perkerasan ini sangat tahan terhadap beban yang berat dan tahan terhadap keausan akibat beban roda (Zoorob, 2002). Perkerasan semi lentur mempunyai hasil yang sangat bagus pada uji coba yang telah dilakukan dibeberapa tempat yang ada di Denmark seperti lapangan terbang, pelabuhan kapal laut, fasilitas industri dan terminal bus. Bahkan di Belanda, Jerman dan Amerika uji coba perkerasan ini juga dilakukan di lapangan udara dan pelabuhan kapal laut dengan hasil yang sangat baik (Sundahl dan Hede, 2002).

50