Pertarungan Politik antara Kekuatan Militer, Islam, dan

Hubungan antara Islam dan negara mempunyai dua kemungkinan, ... Majelis Permusyawaratan Rakyat ... tampilnya Megawati sebagai presiden, dan terpilihny...

14 downloads 464 Views 159KB Size
Pertarungan Politik antara Kekuatan Militer, Islam, dan Nasionalis di Indonesia Suparjo∗ Abstrak Pertarungan antara kekuatan militer, nasionalis dan Islam untuk memperoleh kekuasaan sah dalam memerintah Indonesia telah terjadi sejak masa awal kemerdekaan hingga era reformasi. Terdapat beberapa penjelasan historis yang dapat dilihat misalnya kontroversi antarbadan konstituante pada tahun 1950-1959 berkaitan dengan landasan dasar negara hingga kemunculan Dekrit Presiden 1959, beberapa kebijakan rezim Orde Baru terhadap partai Islam dan organisasi sosial, kemunculan beberapa partai Islam di era reformasi, dan kemunculan Poros Tengah di MPR. Tulisan ini hanya memfokuskan kepada analisa tiga momen berturut-turut berkaitan dengan pemilu presiden di era reformasi yakni pendirian Poros Tengah (representasi kekuatan Islam) dan gerakan politiknya yang sukses mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai presiden, pemilihan Megawati (representasi kekuatan nasionalis) dan pemilihan SBY (representasi kekuatan militer). Gerakan-gerakan tersebut merepresentasikan dinamika gerakan politik Indonesia antara kekuatan Islam, nasionalis dan militer. Kata kunci: Islam, militer, naSionalis, kekuatan politik, reformasi. A. Pendahuluan Hubungan antara kekuatan Islam dan nasionalis mengalami pasang surut dalam sejarah Indonesia yang bergeser di antara tiga kemungkinan, yakni konflik, independen, dan simbiotik.1 Hubungan independen terjadi ketika beberapa kekuatan Islam menarik dirinya dari dunia politik sebagaimana yang diperankan oleh beberapa tokoh organisasi sosial umat Islam masa Orde Baru (ORBA), meskipun dua organisasi Islam terbesar ∗

Sekolah Tinggi Agama Islam Purwokerto, Jawa Tengah. Ketiga tipologi tersebut merupakan adopsi dari pemikiran Nurkholis Madjid, Abdurrahman Wahid dan Kuntowijoyo dalam memandang hubungan antara Islam dan negara. Hubungan antara Islam dan negara mempunyai dua kemungkinan, yakni rivalitas dan simbiotik atau akomodatif. Penulis kemudian menerjemahkan kedua hubungan tersebut secara bebas dan memberikan satu lagi model hubungan, yakni independen. Dua tipologi hubungan yang pertama dideskripsikan dalam buku Ahmad A. Sofyan dan M. Roychan Madjid, Gagasan Cak Nur tentang Negara dan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003), pp . 12-15. Tipologi model ketiga diperkuat dari teorisasi hubungan Islam dan negara dari Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), pp. 21-58. 1

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

998 Suparjo: Pertarungan Politik antara Kekuatan Militer, Islam, dan Nasionalis di Indonesia

di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tetap menjaga hubungan yang baik dengan pemerintah. Hubungan simbiotik terjadi ketika kekuatan Islam berkolaborasi secara politik dengan para elit penguasa karena umat Islam juga bagian dari kekuatan politik sebagaimana yang terjadi pada era menjelang dan awal kemerdekaan dan era awal pasca reformasi yang diindikasikan dengan munculnya partai Islam dan terbentuknya poros tengah. Hubungan antara nasionalis dan kekuatan Islam tersebut diperumit dengan masuknya militer sebagai kekuatan yang akhirnya berperan sangat dominan dalam perjalanan sejarah politik Indonesia. Akhirnya, kekuatan politik di Indonesia terbagi ke dalam tiga elemen besar, yakni kekuatan Islam, nasionalis, dan militer. Masing-masing kekuatan tersebut mengklaim loyalitas nasionalismenya dan kontribusinya yang besar dalam membangun Indonesia sehingga masing-masing menuntut hak paling besar dalam mengelola negara. Hanya saja, pada akhirnya kekuatan Islam menjadi kekuatan yang paling diragukan nasionalismenya sedangkan para elit penguasa, baik pada masa Orde Lama (ORLA) maupun Orde Baru (ORBA), dengan dukungan militer mengklaim sebagai garda depan dalam memelihara nasionalisme. Untuk mempertahankan status quo, para elit penguasa dan militer berhasil memojokkan kekuatan Islam sehingga muncul stigma bahwa kekuatan Islam mengancam nasionalisme.2 Sejarah mencatat banyak tonggak-tongak pergolakan pertarungan kekuasaan tersebut, antara lain sidang-sidang di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dan Badan Konstituante yang membahas dasar negara Indonesia; dukungan militer atas Dekrit Presiden 5 Juli 1959, peristiwa kudeta yang dikenal Gerakan 30 September oleh Partai Komunis Indonesia (G/30/S/PKI), pemberlakuan Kamtibmas berdasarkan Supersemar yang memunculkan Soeharto, politik Orde Baru untuk menekan kekuatan Islam, terjadinya reformasi, munculnya banyak partai-partai Islam, terbentuknya Poros Tengah, gagalnya dekrit presiden Abdurrahman Wahid, tampilnya Megawati dengan dukungan penuh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maupun tampilnya Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sang jendral sebagai presiden melalui pemiilihan langsung. Tulisan ini memfokuskan pada momen pasca reformasi. Momen politik yang dipilih adalah terbentuk poros tengah dan proses politiknya, 2 Maswadi Rauf, “Dilema Politik Umat islam Indonesia” sebuah pengantar dalam Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam di Indonesia, (Yogyakarta dan Jakarta: Pustaka Pelajar dan Pusat Penelitian Politik LIPI, 2006), pp. 810.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

Suparjo: Pertarungan Politik antara Kekuatan Militer, Islam, dan Nasionalis di Indonesia 999

tampilnya Megawati sebagai presiden, dan terpilihnya SBY sebagai presiden melalui pilihan langsung. Ketiga momen tersebut dapat dipandang sebagai tanda dari peralihan kekuatan atau kemenangan secara berturut-turut dari kekuatan Islam, ke kaum nasionalis, dan selanjutnya kepada kekuatan militer. Jadi, tulisan ini hendak menganalisis makna dari masing-masing momen tersebut serta akar historis maupun dampaknya bagi perpolitikan Indonesia. B. Pasang Surut Hubungan antara Islam, Nasionalis, dan Militer Pada masa perjuangan untuk merebut kemerdekaan Republik Indonesia (RI), hubungan seluruh elemen bangsa Indonesia sangat solid. Hampir tidak ada friksi yang berakibat pada konflik internal antar elemen bangsa.3 Semua koordinasi perjuangan, baik yang bersifat fisik maupun diplomasi, dikendalikan di bawah satu komando yang terdiri dari para tokoh nasional yang umumnya sipil. Hal itu tidak terlalu diperdebatkan karena ketika itu semua pejuang adalah sipil sekaligus militer. Pejuang militer yang terdiri dari bekas pasukan bentukan Belanda Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) yang dibentuk oleh Jepang, maupun pasukan nasional berbasis organisasi sosial, seperti Hizbullah dan Hizbul Wathan (HW), bahu-membahu dengan rakyat sipil untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.4 Faktor kesatuan dan kesatuan antar seluruh elemen bangsa itulah yang memungkinkan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya. Setelah Indonesia mencapai kemerdekaan, setidaknya hingga tahun 1950, hubungan solid tersebut masih tetap terjaga karena bangsa Indonesia, di samping menghadapi pemberontakan dari dalam negeri, mengahadapi agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda dan Inggris yang berkeinginan untuk menjajah Indonesia kembali. Kubu yang disebut nasionalis dan Islam bekerja sama secara solid sehingga mereka dapat dengan mudah mencapai kesepakatan untuk menetapkan Pancasila dan UUD 1945 dengan menghilangkan tujuh kata pada tanggal 18 Agustus 1945.5 Demikian juga, militer sebagai bagian dari komponen utama perjuangan Indonesia bahu-membahu dengan para pejuang secara umum maupun rakyat sipil. Bahkan militer tunduk di bawah kepemimpinan Soekarno, seorang sipil. 3 Kholid O. Santosa, Paradigma Baru Memahami Pancasila dan UUD 1945: Sebuah Rekonstruksi Sejarah atas Gagasan Dasar Negara RI, Konsensus Nasional, dan Demokrasi di Indonesia, Cet. II, (Bandung dan Yogyakarta: Sega Arsy dan AK Group, 2005), pp. 79-82. 4 Abdul Fattah, Demiliterisasi, pp. 45-51. 5 Ibid.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

1000Suparjo: Pertarungan Politik antara Kekuatan Militer, Islam, dan Nasionalis di Indonesia

Setelah tahun 1950-an mulai muncul gejala hegemoni kekuasaan antar elemen bangsa. Kekuatan Islam yang merasa sebagai mayoritas menghendaki ditetapkannya dasar negara Islam bagi Indonesia sehingga mereka berseberangan dengan kubu nasionalis yang berusaha mempertahankan dasar negara sekuler. Konflik antara kubu Islam dan nasionalis tersebut terjadi di badan konstituante dan berjalan selama tujuh tahun (atau efektifnya dua tahun yaitu 1957-hingga 1959) dengan tanpa hasil kesepakatan.6 Akhirnya, Presiden Soekarno dengan didukung oleh kekuatan militer mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran badan konstituante dan kembali kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dekrit tersebut pada akhirnya telah melahirkan hegemoni militer terhadap kepemimpinan sipil karena dekrit tidak mungkin terjadi tanpa dukungan militer. Sebenarnya, hegemoni militer sudah mulai muncul ketika Presiden Soekarno memanfaatkan kekuatan militer sebagai kekuatan penyeimbang dari kekuatan Islam. Untuk mengikat loyalitas militer, Soekarno mengeluarkan kebijakan pribumisasi perusahaan asing sehingga semua perusahaan asing direbut dan dikuasasi oleh negara dan pengelolaannnya diserahkan pada personel-personel militer. Melihat fenomena tersebut, militer, utamanya A.H. Nasution, membangun doktrin “dwifungsi”, sebuah doktrin yang melegitimasi peran militer dalam bidang kemiliteran maupun sipil, utamanya politik dan ekonomi. Doktrin ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa sipil dipandang kurang nasionalis dan tidak mampu mengurus negara.7 Berdasarkan pola pikir di atas, kembalinya Indonesia pada dasar negara Pancasila dan UUD 1945 melalui dekrit presiden atas dukungan militer yang dapat dianggap sebagai kembali kepada nasionalisme murni bangsa Indonesia sebenarnya menegaskan kedudukan militer sebagai elemen penjaga nasional yang paling utama. Fenomena ini seolah-olah melegitimasi kebenaran stigma bahwa para pemimpin sipil tidak mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi. Lebih dari itu, fenomena ini juga mengabsahkan stigma bahwa kekuatan Islam sebagai kekuatan sipil terbesar dipandang sebagai kekuatan yang mengancam nasionalisme Indonesia. Akibatnya, pada masa demokrasi terpimpin Partai Masyumi sebagai pembela utama dasar negara Islam dibubarkan dan banyak tokohnya maupun tokoh lain yang sealiran dengannya dipenjarakan.8 Soekarno nampaknya terlalu dekat dengan PKI sehingga umat Islam tetap 6

Muhammad Sirazi, Catatan Kritis, pp. 22-23. Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics under Suharto: The Rise and Fall of the New Order, 3rd Edition, (London and New York, Routledge, 1998), pp. 61-62, 68. 8 Muhammad Sirazi, Catatan Kritis, pp. 24-26. 7

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

Suparjo: Pertarungan Politik antara Kekuatan Militer, Islam, dan Nasionalis di Indonesia1001

menjaga jarak dengan pemerintah.9 Pada era ini dapat dikatakan bahwa yang paling berperan dalam pergulatan politik adalah nasionalis kerakyatan ala Soekarno, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan berbagai macam fragmentasi politiknya baik kepada PKI ataupun nasionalisme murni, dan PKI. Adapun kekuatan Islam, saat itu hampir dapat dikatakan terpinggirkan untuk tidak mengatakan tidak ada. Peristiwa G/30/S/PKI membuka peluang eksperimen politik Islam untuk bahu-membahu dengan ABRI untuk tugas penumpasan PKI. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk membangun hubungan baik antara Islam dengan ABRI ataupun pemerintah. Akan tetapi, begitu keamanan telah pulih, maka Islam menjadi kekuatan yang dicurigai karena dianggap akan menggangu stabilitas kekuasaan Orde Baru yang notabene dipegang oleh ABRI.10 Bahkan ketika Soeharto menjadi Presiden, kontrol terhadap umat Islam sangat ketat melalui berbagai macam mekanisme, baik berupa indoktrinasi idiologi, penerbitan kebijakan politik maupun mekanisme pembagian kekuasaan kepada personel-personel militer yang pro Soeharto dan dalam batas tertentu kurang respek terhadap Islam dan nasionalis kerakyatan. Saat itu, dibangun sebuah ideologi Pancasila yang membawa implikasi bahwa kekuatan Islam dianggap sebagai bahaya laten ekstrim kanan yang dianggap sama bahayanya dengan ekstrim kiri, komunisme, yang seolah-olah ditujukan untuk nasionalis kerakyatan. Mekanisme pembagian kekuasaan dilakukan oleh Soeharto dengan mengangkat para pemimpin mulai dari Menteri, Gubernur, dan Bupati atau Walikota berasal dari militer. Kontrol terhadap masyarakat, utamanya Muslim, dilakukan sampai tingkat kecamatan dan desa melalui pembentukan berbagai lembaga keamanan. Kekuatan Islam juga terlemahkan oleh imbas dari kebijakan politik ORBA, seperti fusi partai, asas tunggal Pancasila, dan perijinan untuk sekedar pengajian umum.11 Kebijakan politik tersebut membawa konsekuensi politik terkait dengan loyalitas terhadap nasionalisme Indonesia. Sebagai misal, kebijakan fusi partai tersebut seolah-olah menegaskan bahwa tiga elemen negara, yakni Golongan Karya yang di-back up oleh ABRI dan penguasa (termasuk pegawai negeri sipil/PNS) adalah partai yang paling nasionalis. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dianggap kurang nasionalis. 9

Lili Romli, Islam Yes, pp. 3-4. Anders Uhlin, Indonesian and the Third Wave of Democratization: the Indonesian ProDemocracy Movement in a Changing World, (New York: Curson Press, 1997), p. 65. 11 Douglas E. Romage, Politics in Indonesia: Democracy, Islam, and the Idiology of Tolerance, (London and New York: Routledge, 2003), pp. 122 dan 124 ; dan Michael R.J. Vatikios, Indonesian Politics, pp. 61-62, 65, dan 70. 10

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

1002Suparjo: Pertarungan Politik antara Kekuatan Militer, Islam, dan Nasionalis di Indonesia

Namun, tampak ada pergeseran kebijakan politik—meskipun bersifat eksoterik saja. Sejak tahun 1990-an, Soeharto tampak berusaha menunjukkan wajah bersahabat dengan Islam sebagaimana terlihat dari banyaknya pejabat termasuk presiden dan keluarganya yang beribadah haji, mulai memberikan kursi mentri untuk wakil umat Islam maupun membentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Hal itu mungkin dikarenakan Soeharto mulai merasa kurang mendapatkan pengaruh di kalangan ABRI sehingga membutuhkan kekuatan pendukung tandingan atau ia sengaja ingin meluaskan pengaruhnya terhadap umat Islam.12 Hal tersebut tidak dapat menghapuskan upaya penguasa dengan dukungan ABRI untuk melemahkan kekuatan Islam. Banyak kejadian di tahun 1990-an yang masih menunjukkan sikap represif aparat militer terhadap kekuatan Islam.13 Pada tahun 1998, rakyat Indonesia sudah tidak percaya lagi dengan ORBA yang otoriter-militeristik. Di satu sisi, karena reformasi dapat difahami sebagai upaya umat Islam untuk melepaskan diri dari kooptasi politik dari ORBA, maka keberhasilan reformasi dapat difahami sebagai kemenangan kekuatan Islam.14 Hal itu dapat dipahami karena rakyat yang tertindas oleh pemerintahan ORBA dalam kebanyakan adalah umat Islam. Di sisi lain, karena gerakan reformasi sebenarnya juga merupakan perlawanan terhadap hegemoni militer, maka keberhasilan reformasi berarti kemenangan sipil atas militer. Pada era pasca reformasi, pengalaman tersebut setidaknya memberikan referensi pada para elit Muslim yang duduk di MPR untuk membentuk poros tengah dengan berbagai sepak terjang dan akibatnya. Mereka menyadari bahwa kekuatan Islam yang menyebar sehingga untuk memenangkan pertarungan mereka harus bersatu. Melihat pengalaman kegagalan umat Islam dalam mengusung berbagai program di masa ORLA maupun sempitnya ruang geraknya pada masa ORBA, maka para elit Muslim berusaha untuk menjemput bola kemenangan tersebut. Hanya saja, bola tersebut tidak dioperkan kepada orang yang tepat juga tidak disertai mekanisme kontrol yang efektif. Karena mekanisme kontrol belum disiapkan, bola bagus tersebut tidak membuahkan gol untuk visi

12

Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics, p. 69. Anders Uhlin, Indonesia, p. 66. 14 Lili Romli, Islam Yes, pp. 115-116; Valina Singka Subekti, “Wacana Reformasi Politik: Rekonstruksi dari Diskusi Publik” dalam Mengubur Sistem Politik Orde Baru, (Jakarta dan Bandung: LIPI bekerja sama dengan Mizan, 1998), p. 23; dan Muhammad Sirazi, Catatan Kritis, pp. 29-34. 13

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

Suparjo: Pertarungan Politik antara Kekuatan Militer, Islam, dan Nasionalis di Indonesia1003

dan misi Islam.15 Bola akhirnya jatuh ke tangan Megawati yang sebenarnya pada awalnya berseberangan dengan poros tengah—meskipun keduanya akhirnya berdiri di satu kubu, yakni kubu sipil. Selanjutnya, pemainpemain sipil pada akhirnya dikalahkan oleh pemain militer sebagaimana terlihat pada tampilnya SBY sebagai presiden melalui pemilihan langsung. C. Makna Kepresidenan Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudoyono Poros Tengah muncul sebagai cara elit kekuatan Islam untuk memenangkan politik Islam. Kekuatan tersebut terbukti tangguh dengan keberhasilannya mengusung Abdurrahman Wahid menjadi Presiden. Hanya saja, pilihan Poros Tengah terhadap Abdurrahman nampaknya bukanlah pilihan yang tepat karena sikap dan kepribadiannya yang cenderung sulit dikontrol sebagai akibat dari sistem kekiaian yang melekat kuat dalam dirinya. Syamsuddin Haris menduga bahwa Abdurrahman Wahid mungkin sekali menganggap Indonesia sebagai sebuah pesantren yang besar dengan dirinya sebagai kyai pengasuh utamanya sehingga ia mengambil kebijakan politik ala kiai pesantren yang cenderung otoriter. Begitu otoriternya, ia sampai kurang memperhatikan aspirasi basis poros tengah yang telah mengusungnya. Dapat dikatakan pula bahwa kepemimpinan Abdurahman menampakkan kecenderungan primordialisme seperti terlihat dari penguatan terhadap kubu NU atas organisasi sosial keagamaan lainnya. Bahkan kepemimpinannya cenderung diktator seperti terlihat dari mekanisme bongkar pasang menteri kabinet tanpa alasan yang jelas dan memuncak dengan dekrit yang dikeluarkannya—meskipun tidak mempunyai implikasi politik karena tidak didukung militer.16 Kegagalan poros tengah karena memilih presiden yang tidak tepat dan tidak mampu lagi memunculkan figur pengganti dari kekuatan Islam sebenarnya mengindikasikan kelemahan poros tengah. Oleh karena itu, untuk menunjukkan nasionalismenya yang tinggi poros tengah berkolaborasi dengan kekuatan nasionalis melengserkan Abdurrahman dan sebagai gantinya mereka mengangkat Megawati. Terpilihnya Megawati sebagai berkah tak terduga tersebut sebenarnya tidak sekedar mengindikasikan kelemahan poros tengah tetapi juga kelemahan dan ketidaksolidan kekuatan Islam.17 15

Syamsuddin Haris, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 2007), pp. 88-96. 16 Ibid., pp. 97-127. 17 Ibid., pp. 169-186. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

1004Suparjo: Pertarungan Politik antara Kekuatan Militer, Islam, dan Nasionalis di Indonesia

Selanjutnya, kegagalan Dekrit Presiden Abdurraman sebenarnya mengindikasikan betapa kuatnya peranan militer bagi tegaknya bangsa Indonesia. Presiden Abdurrahman yang secara otomatis merupakan panglima tertinggi ABRI (TNI dan POLRI) ternyata tidak mempunyai kekuatan formal dan karisma di hadapan militer.18 Lebih jauh, hal ini dapat dipahami kebenaran stigma Vatikiotis, “siapapun presidennya, militer adalah penguasanya.”19 Selama kepemimpinan Megawati yang notabene partai nasionalis kerakyatan, poros tengah sebenarnya mengindikasikan berakhirnya masa kolaborasi longgar antar elemen dalam poros tengah. Artinya, kekuatan Islam yang mewujud dalam koalisi politik longgar poros tengah di MPR sudah tamat riwayatnya. Yang berkembang selanjutnya adalah penguatan masing-masing partai Islam sehingga tidak ada lagi perjuangan atas nama kekuatan Islam. Fenomena ini dapat dipahami melalui dua alternatif pemahaman. Pertama, kekuatan Islam di DPR-RI telah terdiversifikasi ke dalam kekuatan-kekuatan kecil fraksi keislaman. Masing-masing kekuatan Islam berjuang untuk citra positif partainya di hadapan masyarakat secara umum maupun kostituennya secara khusus. Hal itu mengindikasikan bahwa elit politik Islam mulai skeptis dengan persatuan dan kesatuan Islam. Kedua, kekuatan Islam telah mengubah orientasi politiknya untuk menjadi nasionalis tanpa identitas keislaman. Masing-masing partai Islam menyadari bahwa figur nasionalis pragmatis atau nasionalis kerakyatan merupakan karakter yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia secara luas. Kesadaran atas fenomena ini mengakibatkan beberapa partai Islam yang berusaha mengubah partainya agar nampak lebih nasionalis, seperti Partai Keadilan (PK) menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dalam pengertian ini, partai-partai Islam sebenarnya dapat dipandang sebagai partai sekuler atau tersekulerkan. Maksudnya, masing-masing elit figur partai memahami urusan partai sebagai urusan politik yang membawa konsekuensi pada ekonomi dan sama sekali tidak terkait dengan urusan keagamaan. Dengan demikian, ajaran atau nilai-nilai Islam tidak perlu dikaitkan dengan urusan partai ataupun kenegaraan. Lebih dari itu, kekuatan Islam sekali lagi kalah telak dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sebagai presiden melalui proses pemilihan secara langsung. Terpilihnya SBY sebenarnya cukup memberikan interpretasi politik yang unik sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam. Setidaknya ada empat implikasi yang dapat ditarik dari fenomena tersebut. 18 19

Ibid., pp. 156-167. Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics, p. 63.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

Suparjo: Pertarungan Politik antara Kekuatan Militer, Islam, dan Nasionalis di Indonesia1005

Pertama, partai Islam memperoleh suara karena menjual pertalian emosional dan patronase bukan pada program pembangunan maupun pertalian politik yang ideal dan profesional. Hal ini dibuktikan dari perolehan suara partai-partai Islam yang jika digabungkan masih cukup tinggi. Hanya saja, tidak adanya figur dari partai Islam yang bernilai jual politik tinggi dan dapat diterima oleh semua umat setidaknya mengindikasikan bahwa umat Islam memilih partai terkait dengan sikap emosional kompulsif, bukan rasionalits obyektif. Keadaan ini tentunya menguntungkan figur dari partai nasionalis pragmatis, yakni SBY untuk Partai Demokrat dan Jusuf Kalla (JK) untuk Golkar—yang keduanya mempunyai keunggulan komparatif (Jawa-non Jawa, militer-sipil, birokratpengusaha, dan keduanya tentu muslim yang nasionalis dan pluralis), sehingga dapat memenangkan pemilihan presiden secara langsung. Kedua, fenomena kemenangan SBY-JK sebenarnya juga dapat difahami sebagai ketidakpercayaan publik pada figur nasionalis Islam maupun nasionalis kerakyatan model Parta Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Masyarakat nampak lebih percaya pada kepemimpinan nasionalis pragmatis yang diperankan Golkar melalui JK dan militer yang direpresentasikan oleh SBY. Fenomena ini mengisyaratkan bahwa masyarakat pada dasarnya menghendaki pemimpin yang mempunyai basis dukungan kuat untuk persatuan dan kesatuan nasional, yakni SBY sebagai representasi militer yang pasti diakui jiwa nasionalisme dan JK sebagai representasi sipil yang nasionalis. Dalam waktu yang sama fenomena tersebut mengindikasikan kekalahan nasionalis kerakyatan yang mungkin dipandang agak condong pada politik kiri dan nasionalis Islam yang boleh jadi dipandang condong ke politik kanan. Lebih jauh, hal ini dapat difahami sebagai kembalinya ORBA dengan versinya yang baru. Jika asumsi ini benar, maka telah terjadi titik balik dari gerakan reformasi yang didambakan—meskipun Golkar maupun partai yang seafiliasi dengannya sudah melakukan reformasi seiring tuntutan masyarakat pacsareformasi. Ketiga, kemenangan SBY sebagai representasi nasionalis yang berbasis militer sebenarnya juga merupakan kekalahan kekuatan Islam. Meskipun SBY juga seorang Muslim akan tetapi sejarah menunjukkan bahwa kekuatan militer selalu berkolaborasi dengan penguasa untuk menindas kekuatan Islam yang danggap sebagai ektrim kanan sehingga peran politiknya selalu dimarjinalkan. Lebih dari itu, keempat, dapat dikatakan bahwa kemenangan SBYJK mengindikasikan semakin melemahanya citra kepemimpinan dan kekuatan sipil. Bahkan hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa dua dari lima capres berasal dari kalangan militer, yakni SBY dan Wiranto. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

1006Suparjo: Pertarungan Politik antara Kekuatan Militer, Islam, dan Nasionalis di Indonesia

Tampilnya SBY dapat dianggap sebagai kemenangan nasionalis yang berbasis militer yang berarti hilangnya atau melemahnya kekuatan nasionalis sipil. Kekalahan sipil oleh militer di banyak negara biasanya menunjukkan kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat yang masih terbelakang. Sinyalemen tersebut juga terjadi di Indonesia pascareformasi—meskipun kondisinya tidak separah pada sekitar tahun 1965. Dalam kondisi tersebut, kepemimpinan militer menjadi pilihan rakyat karena dianggap mampu menciptakan stabilitas nasional, baik ekonomi, politik, dan sebagainya. Dalam artian ini, militer dipandang lebih nasionalis daripada sipil. D. Akibat Pertentangan Militer, Islam, dan Nasionalis Setidaknya, ada dua fenomena yang dapat ditarik dari fenomena munculnya poros tengah, tampilnya Megawati, dan kemenangan SBY melalui pilihan presiden secara langsung dengan memperhatikan latar historis. Pertama, kekuatan Islam, yang sebenarnya juga nasionalis, selalu dihadapkan, baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan kekuatan yang disebut nasionalis. Kedua, “konspirasi” militer dengan elit penguasa selalu berlindung dibalik nasionalisme atau mengkalim sebagai elemen bangsa yang paling nasionalis. Dua asumsi tersebut memerlukan pembuktian sosio-historis sehingga jawabannya dapat menyentuh hingga akar permasalahan. Pertama, mengapa kekuatan Islam selalu dikonfrontirkan dengan nasionalisme? Jawaban terhadap masalah tersebut dapat ditelusuri dari realitas sejarah Indonesia. Kubu nasionalis dan Islam berdebat untuk memutuskan dasar Negara Indonesia sehingga, teks Piagam Jakarta yang menjadi cikal bakal mukadimah UUD 1945 yang di dalamnya terdapat dasar negara Pancasila dilakukan revisi lagi dengan menghilangkan tujuh kata dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Penghilangan tujuh kata tersebut merupakan hasil kompromi antara kubu Islam dan nasionalis. Sidang-sidang dalam Badan Konstituante juga terjadi ketegangan antara kubu nasionalis yang menghendaki dasar negara dan konstitusi dasar sekuler dengan kekuatan Islam yang menghendaki dasar negara dan konstitusi dasar Islam. Buntut dari persitiwa itu adalah dikeluarkannya dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali pada Pancasila dan UUD 1945 serta pembubaran konstituante. Dekrit tersebut berakibat pula dilarangnya partai Masyumi dan pembatasan gerak figur-figur Muslim yang dianggap menentang nasionalisme. Selain itu, pemberontakan DI/TII di Aceh dan Bandung juga memunculkan pandangan bahwa Islam berseberangan dengan nasionalisme—meskipun NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

Suparjo: Pertarungan Politik antara Kekuatan Militer, Islam, dan Nasionalis di Indonesia1007

Islam terbesar tidak mempertentangkan agama dengan nasionalisme. Represi dari pemerintah terhadap golongan Islam melalui fusi partai maupun keharusan penggunaan asas tunggal Pancasila yang kemudian di respon secara dinamis oleh elit dan umat Islam dianggap sebagai indikasi bahwa Islam belum dapat menerima nasionalisme secara bulat. Akibatnya, kekuatan Islam sebagai umat mayoritas selalu dicurigai oleh pemerintah karena dianggap dapat mengganggu status quo. Fenomena-fenomena tersebut pada akhirnya membawa konsekuensi bahwa apapun bentuk challenge and response dari umat Islam terhadap pemerintah selalu ditanggapi “miring” oleh penguasa sebagai pemegang otoritas kebenaran. Pemerintah yang berkuasa selalu meragukan nasionalisme organisasi sosial Islam. Akhirnya, perspektif demikianlah yang ditanamkan ORBA kepada masyarakat selama 40 tahun sehingga masyarakat sering menanggapi fenomena gerakan politik Islam sebagai anti nasionalisme. Bahkan beberapa masyarakat membaca fenomena munculnya banyak partai Islam di era pasca reformasi sebagai menguatnya kembali Islam politik yang cenderung kurang nasionalis. Dengan demikian, baik penguasa maupun sebagian masyarakat berkecenderungan mengkonfrontasikan Islam dengan nasionalisme. Kedua, mengapa militer dan penguasa selalu berkonspirasi dan berlindung di balik nasionalisme atau mengklaim sebagai elemen bangsa yang paling nasionalis? ABRI merupakan institusi di Indonesia yang berkedudukan paling tinggi karena merupakan tulang punggung stabilitas politik nasional. Ia bukan sekedar sekedar kekuatan yang mempunyai struktur komando rapi dan kuat, tetapi ia merupakan jiwa atau nyawa dari negara dan organisasi politik terbesar di negeri ini.20 Hanya saja, peran militer dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia sangat kuat sekali. Meskipun jumlahnya hanya sekitar 533.000 personil atau 0,15 persen dari penduduk, lebih kecil jika dibandingkan dengan komposisinya di negaranegara tetangga, misalnya Singapura mempunyai rasio sebesar 2.06 persen, Thaland sebesar 0.4 persen, dan Malaysia sebesar 0.68 persen, namun peranannya dalam menentukan arah negara paling besar di antara negara Asia Tenggara (Asean). Ia bahkan menjadi elit yang harus memimpin negara dan tidak mau dipimpin oleh sipil sehingga dalam batas tertentu sudah masuk dalam sistem pemerintahan diktator.21 Keterlibatan militer di luar bidang kemiliteran, utamanya di bidang politik dan ekonomi, mungkin dipicu dari rendahnya anggaran pendanaan militer. Sebagai sekedar gambaran perbandingan, anggaran ABRI adalah 20 21

Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics, p. 60. Ibid., p. 62.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

1008Suparjo: Pertarungan Politik antara Kekuatan Militer, Islam, dan Nasionalis di Indonesia

sebesar 1.96 persen dari Pendapatan Nasional Bruto (GNP), sedangkan Singapura sebesar 5.48 persen dan Thailand sebesar 3.26 persen. Akibatnya, gaji personel militer dianggap rendah sehingga mereka mencari peluang untuk terlibat dalam dunia sipil yang ternyata terbuka untuk mereka, baik pada masa ORLA pasca tahun 1950-an maupun pada masa ORBA yang didirikan oleh dan atas dukungan penuh dari militer.22 Untuk melegitimasi keterlibatan militer di dunia sipil, ABRI membangun opini bahwa keterlibatan terhadap dunia sipil tersebut sebagai bentuk tingginya nasionalisme ABRI sebagaimana tercermin dalam doktrin “dwi fungsi ABRI” yang pada awalnya dikembangkan pada masa ORLA dan kemudian dipertegas lagi pada masa ORBA. Doktrin tersebut hendak menegaskan bahwa militer sangat layak dan absah memegang peran-peran penting nasional, baik bersifat sipil ataupun militer.23 Pada masa ORLA, doktrin tersebut digunakan Soekarno untuk merebut simpati militer yang digunakannnya untuk mengimbangi kekuatan Islam. Pada masa ORBA, doktrin tersebut digunakan sebagai senjata militer untuk menguasai negara. Militer melegetimasi doktrin tersebut dengan argumentasi historis, yakni militer berjasa dalam mengamankan Pancasila, menyatukan bangsa, dan mempertahankan keutuhan kedaulatan negara dari rongrongan yang datang dari dalam maupun luar. Baik pada masa ORLA maupun ORBA, doktrin tersebut memunculkan stigma bahwa orang sipil tidak becus dan kurang loyal pada nasionalisme dan, sebaliknya, militer adalah elemen yang paling nasionalis dan paling mampu dan berhak mengelola negara.24 Dengan selalu mengedepankan jasa-jasanya pada negara, militer meminta dianggap paling sah menduduki jabatanjabatan publik dan administrasi penting yang sebenarnya wilayah sipil.25 Klaim di atas seolah-olah menutupi kenyataan bahwa militer telah menjadi biang kerenggangan bahkan ancaman bagi kesatuan dan persatuan nasional. Sebagai contoh, kasus DI/TII maupun APRA sebenarnya sebagai bukti bahwa ABRI sebenarnya juga mempunyai kemungkinan mengganggu nasionalisme karena pelaku semua kelompok tersebut adalah anggota tentara yang kecewa karena tidak diakomodir sebagai tentara nasional. Pemberontakan G/30/S/PKI sebenarnya juga merupakan bagian dari persoalan internal ABRI yang selanjutnya melibatkan masyarakat sipil. Di masa ORBA, ABRI telah menjadi alat penguasa untuk melakukan tindakan otorier terhadap rakyat dengan alasan pembangunan dan nasionalisme, seperti pemberlakuan Daerah Operasi 22

Ibid. Ibid., p. 61. 24 Ibid., pp. 62-64. 25 Ibid., p. 68. 23

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

Suparjo: Pertarungan Politik antara Kekuatan Militer, Islam, dan Nasionalis di Indonesia1009

Militer(DOM) di Aceh, penangkapan aktivis di Semanggi tahun 1998, dan peristiwa Tanjung Priok. Banyak oknum militer yang terlibat dalam skandal bisnis illegal atau setidaknya menjadi backing dari para cukong yang sudah pasti berlawanan dengan tuntuan rakyat dan nasionalisme. Contohcontoh kasus di atas setidaknya menunjukkan bahwa klaim ABRI sebagai elemen bangsa paling nasionalis perlu dipertanyakan kembali. Jika dilihat dari sisi historis yang lebih awal lagi, maka nasionalisme militer sebenarnya juga patut dipertanyakan. Sejarah menunjukkan bahwa sebagian anggota yang masuk menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada awalnya merupakan anggota pasukan tentara yang dibentuk dan digaji Belanda sehingga rerangka pemikiran “penguasa yang dibela militer berhadapan kepentingan dengan rakyat” bisa jadi berakar dari sini. Sebagian lagi dari TNI berasal dari PETA yang dibentuk Jepang dan pernah membantu angkatan perang Jepang untuk melawan Sekutu. Personel dari dua badan itu secara otomatis direkrut menjadi tentara nasional Indonesia pada saat pembentukan TNI.26 Adapun tentara yang tumbuh dari rakyat, seperti Hizbullah, Hizbul Wathon, dan sebagainya justru kurang mendapatkan porsi yang proporsional untuk diakui sebagai tentara nasional. Dengan evidensi historis tersebut terimplikasikan bahwa wajar jika pada akhirnya militer bersikap elitis dan mengkooptasi rakyat. Untuk memperkuat posisi militer di pemerintahan, militer berkolaborasi dengan penguasa. Pada masa ORLA konspirasi terjadi pada saat militer mendukung Dekrit Presiden sehingga memunculkan demokrasi terpimpin yang pada hakekatnya merupakan nama lain dari pemerintahan monarki absolut dengan dukungan penuh dari militer. Pada saat itu, militer juga dijadikan alat oleh Soekarno untuk menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kekuatan Islam. Sebagai balasan, Soekarno memberikan porsi jabatan yang besar bagi orang-orang militer, baik dalam bidang politik maupun ekonomi yang sebenarnya hal itu telah dilakukannya jauh sebelum dikeluarkannya dekrit. Di bidang politik, banyak jabatan pemerintahan yang mulai diserahkan kepada militer. Di bidang ekonomi, militer diberikan kekuasaan untuk mengelola perusahaan-perusahaan yang telah dipribumisasi. Jatuhnya Soekarno dan penumpasan PKI oleh ABRI sebenarnya juga melegitimasi kekuasaan militer. Soeharto sebagai seorang militer dengan dukungan penuh militer mengklaim harus menduduki jabatanjabatan publik.27 Sebenarnya, komposisi pembagian kekuasaan pada masa ORBA sangat tidak proporsional karena ABRI yang hanya sekitar 0,15 per 26 27

Ibid., p. 66. Ibid., p. 69.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

1010Suparjo: Pertarungan Politik antara Kekuatan Militer, Islam, dan Nasionalis di Indonesia

sen menduduki lebih dari separuh jabatan penting.28 Untuk meningkatkan hubungan antara ABRI dengan penguasa, ABRI mendirikan partai Golkar sebagai kendaraan politik untuk menyokong pemerintahan ORBA. Dengan demikian, dapat dengan mudah difahami bahwa ABRI sangat dekat dengan penguasa karena karena penguasa didukung oleh partai yang didirikan oleh ABRI.29 E. Penutup Berdasarkan analisis di atas, maka penulis mempunyai tiga kesimpulan utama. Pertama, pertarungan antara kekuatan nasionalis, Islam dan militer mempunyai sejarah politik yang panjang dan mengakar di dalam perpolitikan di Indonesia sehingga memungkinkan masing-masing menunggu dan memanfaatkan momen-momen yang memungkinkan hegemoni salah satunya menguat atas kekuatan yang lainnya. Dalam perkembangannya, elit penguasa berkolaborasi dengan militer, yang biasanya disertai klaim sebagai paling nasionalis, untuk berhadapan dengan Islam. Kedua, pada era pasca reformasi, umat Islam yang telah kehilangan kekuatan dan pamornya pada era pemerintahan sebelumnya mulai membangun kekuatan dengan mendirikan partai-partai Islam. Ketiga, setelah proses reformasi berjalan lama, maka SBY yang berlatar belakang militer didampingi JK yang berlatar belakang Golkar terpilih menjadi presiden dan wakil presiden melalui pilihan langsung. Saran yang penulis berikan yaitu: Pertama, Islam sebagai kekuatan yang besar seharusnya membangun orientasi politik dan sosial yang dapat diterima oleh masyarakat secara luas sehingga tidak mudah konflik dengan elemen bangsa yang lain. Kedua, sipil dan militer seharusnya mengambil peran masing-masing secara proporsional tanpa saling mengecilkan peran satu dari yang lainnya. Ketiga, semua elemen bangsa dengan berbagai varian dan dinamika nasionalitasnya tidak perlu saling mengklaim sebagai paling nasionalis.

Daftar Pustaka Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.

28 29

Ibid. Ibid., p. 78.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

Suparjo: Pertarungan Politik antara Kekuatan Militer, Islam, dan Nasionalis di Indonesia1011

Fattah, Abdul, Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, Yogyakarta: LKiS, 2005. Haris, Syamsuddin, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta: Grafiti, 2007. Kingsbury, Damien, The Politics of Indonesia, 3rd Oxford University Press, 2005.

Edition, New York:

Rauf, Maswadi, “Dilema Politik Umat islam Indonesia” pengantar dalam Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan PartaiPartai Islam di Indonesia, Yogyakarta dan Jakarta: Pustaka Pelajar dan Pusat Penelitian Politik LIPI, 2006. Romage, Douglas E., Politics in Indonesia: Democracy, Islam, and the Idiology of Tolerance, London and New York: Routledge, 2003. Romli, Lili, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam di Indonesia, Yogyakarta dan Jakarta: Pustaka Pelajar dan Pusat Penelitian Politik LIPI, 2006. Santosa, Kholid O., Paradigma Baru Memahami Pancasila dan UUD 1945: Sebuah Rekonstruksi Sejarah atas Gagasan Dasar Negara RI, Konsensus Nasional, dan Demokrasi di Indonesia, Cet. II, Bandung dan Yogyakarta: Sega Arsy dan AK Group, 2005. Sirozi, Muhammad, Catatan Kritis Politik Islam Era Reformasi, Yogyakarta: AK Group, 2004. Sofyan, Ahmad A. dan M. Roychan Madjid, Gagasan Cak Nur tentang Negara dan Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003. Subekti, Valina Singka, “Wacana Reformasi Politik: Rekonstruksi dari Diskusi Publik” dalam Mengubur Sistem Politik Orde Baru, Jakarta dan Bandung: LIPI bekerja sama dengan Mizan, 1998. Uhlin, Anders, Indonesian and the Third Wave of Democratization: the Indonesian Pro-Democracy Movement in a Changing World, New York: Curson Press, 1997. Vatikiotis, Michael R.J., Indonesian Politics under Soeharto: The Rise and Fall of the New Order, 3rd Edition, London and New York: Routledge, 1998.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010