POSISI AGAMA DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA DI ZAMAN

Download Posisi Agama dalam Membangun Karakter Bangsa di Zaman Keblinger. ( Perspektif Dualisme Kultural). Oleh. I Ketut Suda. Dosen FIA UNHI. ABSTRA...

0 downloads 430 Views 482KB Size
Posisi Agama dalam Membangun Karakter Bangsa di Zaman Keblinger (Perspektif Dualisme Kultural) Oleh I Ketut Suda Dosen FIA UNHI ABSTRACT Religion in character developer have an important position because it’s have transformative purpose that neutralize some process in community, such as social, culture, and economy. Therefore, the development, construction, and expansion of religion become an important program in the character development especially Indonesia which has multiculture. In fact, the development of religion is being unimportant because indonesian people trapped in excessive hedonismkonsumtifism modern life.

Keyword: religion, national character, multiculture

I. Pendahuluan Abad ke-21 telah dan tengah berlangsung dengan ciri utama terjadinya revolusi informasi yang sangat cepat dan menyebabkan perubahan mendasar dalam proses politik, gaya hidup, dan harapan di hampir semua negara. Dalam konteks ini tidak ada satu pun negara di dunia yang dapat menghindar dari revolusi informasi ini dengan segala implikasinya. Kondisi demikian membuat agama menempati posisi strategis untuk menghindari masyarakat salah arah, keterasingan kaum muda, dan untuk menjauhkan diri dari berbagai perilaku anomik. Dikatakan strategis karena agama secara umum mempunyai fungsi untuk menyadarkan dan meningkatkan kemampuan umat manusia untuk menghubungkan titik asal mula dan titik tujuan kehidupan menjadi satu garis lurus eksistensi kehidupan. Artinya, semakin lurus garis eksistensi kehidupan, semakin efektif peran dan fungsi agama dalam kehidupan manusia, dan

1

semakin tinggi pula tingkat keselarasan kehidupan metafisis-idealistis dan dunia fisis-materialistis (Anom Kumara dan Sukarma dalam Agus S. Mantik dkk., 2009:17). Terkait dengan peran ideal agama sebagaimana dijelaskan di atas, dan di sisi lain jika meminjam gagasan Gidens (2000) yang mengatakan dunia seakan lari tunggang langgang (runway word), maka posisi agama menjadi sangat dilematis. Pasalnya, agama yang menekankan keselarasan antara kehidupan metafisis-idealistis dengan dunia fisis-materialistis akan saling bertabrakan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang oleh manusia dewasa ini diposisikan sebagai dewa pujaan. Dengan kondisi demikian posisi Tuhan yang menurut ajaran agama diyakini sebagai kekuatan adikodrati yang dapat memberikan rasa aman dan nyaman, perlindungan hidup, dan memperoleh segala pembenaran atas realitas kehidupan di dunia ini malah dipinggirkan. Ilmu pengetahun dan teknologi yang dijargonkan sebagai obat mujarab untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia dalam aplikasinya bukan tanpa sisi negatif. Apalagi di zaman seperti sekarang ini yang menurut Doni Koesoema, (2009) diebut zaman keblinger. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi malah bersifat ambivalen, dalam arti di satu sisi kesejahteraan hidup manusia memang bersumber dari situ, akan tetapi di sisi lain ancaman terhadap kemusnahan

hidup manusia di bumi ini pun berasal dari situ pula. Dari

gambaran tersebut maka munculah pertanyaan (1) Bagaimanakah posisi agama dalam membangun karakter bangsa di zaman keblinger? (2) Bagaimanakah membangun karakter bangsa dengan menjadikan agama sebagai perekat sosial sehingga tidak terjebak pada ideologi konsumerisme? (3) Benarkah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bersifat dualisme kultural?

2

II. Pembahasan 2.1 Peran Agama dalam Membangun Karakter Bangsa di Zaman Keblinger

Karakter bangsa dimaksudkan di sini adalah jati diri atau identitas bangsa, yang dalam hal ini dimaksudkan adalah bangsa Indonesia. Menurut Tilaar (2007:32) karakter bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang pelik. Sebab di satu sisi ada yang beranggapan sebagai bangsa Indonesia harus melepaskan

identitasnya

yang

bersifat

kesukuan

(primordial)

atau

keanggotaannya dalam berbagai kehidupan sosial kemasayarakatan. Hal ini penting untuk membangun rasa solidaritas bersama dan memperkuat rasa persatuan di dalam menghadapi era dunia yang diformat menjadi satu dalam konteks sosial, budaya, politik, dan ekonomi, yang lazim disebut era globalisasi. Namun, di sisi lain kenyataan menunjukkan bahwa di era dunia yang semakin menyatu ini, justru yang terjadi adalah semakin menguatnya sifat-sifat primordialisme, eksluisfisme, dan sikap individualisme di kalangan masyarakat. Bukan hanya itu, sikap fanatisme terhadap suku, ras, etnis, dan agama yang rentan memicu munculnya konflik, baik vertikal maupun horisontal pun tidak pelak mewarnai kehidupan masyarakat dewasa ini. Dalam kondisi demikian

agama seharusnya

memiliki peran

transformatif yang dapat menetralitas berbagai proses dalam masyarakat, seperti proses sosial, kultural, politik, dan ekonomi. Oleh karenanya pembangunan, pembinaan, dan pengembangan agama menjadi agenda penting dalam membangun karakter bangsa, khususnya bangsa Indonesia yang sangat multikultur. Akan tetapi dalam kenyataannya peran agama malah dipinggirkan karena manusia Indonesia dewasa ini terjebak pada kehidupan modern yang hedonisme-konsumtifisme berlebihan. Padahal agama bila diparalelkan dengan fenomena budaya di dalamnya dapat berlangsung sebuah proses pendidikan yang secara hakiki merupakan suatu wujud budaya dalam arti luas. Dalam konteks ini posisi para agamawan, cendekiawan, dan tokoh masyarakat lainnya

3

sebagaimana diistilahkan Kleden (1988:185—186) bila diklasifikasi dapat dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama, bisa disebut ‘’pasien budaya’’ yakni mereka yang termasuk pendukung budaya kemampanan yang justru merasa tidak aman bila apa yang telah diwarisinya digugat. Kalupun mereka mau atau mampu membuat perubahan budaya maka apa yang terjadi tidak lebih dari apa yang menurut Geertz disebut ‘’involusi budaya’’ (Kleden, 1988:192). Kemudian kategori kedua adalah mereka yang disebut ‘’agen budaya’’, yakni kelompok yang menyadari tanggung jawabnya untuk mendorong transformasi budaya bila terlihat unsur-unsur krisis dalam kehidupan budaya lingkungannya.

Jadi, kelompok kedua inilah yang secara teoritis mampu

membuat pembaharuan termasuk atas jebakan kesadaran palsu yang mungkin tidak disadari lingkungannya (Wija,t.t :7). Jika kembali menoleh posisi agama dalam membangun karakter bangsa, lebih-lebih di zaman keblinger seperti sekarang ini bisa bermuara pada dualisme kultural. Dikatakan demikian karena sebagaimana banyak dibicarakan oleh para ahli bahwa revolusi di bidang teknologi informasi telah membuat intensitas komunikasi dan interaksi antar manusia menjadi semakin intensif dan efektif. Hal demikian berakibat pula sekat-sekat spasial dan temporal atas ruang dan waktu dalam kehidupan manusia menjadi semakin lentur bahkan kabur. Dalam kehidupan demikian agama yang seharusnya diposisikan sebagai barometer yang dapat dijadikan sebagai wahana untuk meresapi bidang-bidang kehidupan lainnya, malah semakin luluh bersama kehidupan non-religius dan non-spiritual. Hal demikian bukan tidak mungkin dapat menggiring kehidupan manusia tergelincir ke arah kehidupan yang justru berlawanan dengan ranah kehidupan agama. Memang sulit dipahami, di era yang penuh kegalauan yang disebut zaman keblinger ini, masyarakat seakan tidak mampu melepaskan diri dari jeratan sistem ekonomi kapitalisme global, dengan salah satu cirinya adalah pelampiasan hawa nafsu secara tidak terbatas. Manusia sebagai mesin hasrat

4

dirangsang

agar

terus-menerus

melampiaskan

hawa

nafsunya

untuk

mengonsumsi suatu barang baik barang karnal maupun libinal. Hal demikian menurut Atmadja (2005:76) mengakibatkan manusia tidak hanya menotemkan barang tetapi melahirkan pula manusia hedonisme dan konsumtivisme. Dalam kondisi seperti ini manusia mulai kehilangan kendali, bahkan agama yang seharusnya diposisikan sebagai pengendali perilaku manusia pun tidak pelak menjadi korban dari sebuah sistem dunia yang meluluhkan dimensi spasial dan temporal ke dalam ukuran yang tanpa ukuran. Untuk memenuhi segala hasrat manusia untuk mengonsumsi barang, tentu dibutuhkan uang, sehingga manusia bisa kecanduan akan uang. Hidup pun tidak pelak diajak menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan uang. Bahkan Nadesul (2005:5) menggambarkan kondisi ini dengan mengatakan ‘’otak gelisah kalau tidak berbuat serong, dan mata semakin hijau bila melihat uang’’. Ironisnya, sistem pendidikan yang secara ideal diharapkan mampu membangun karakter bangsa yang bersifat humanis, sehingga dapat menghindarkan masyarakat dari kondisi-kondisi abnormal sebagaimana digambarkan di atas justru ikut tergelincir bahkan terseret ke dalam sistem ekonomi politik (baca:sistem ekonomi kapitalis). Terkaitnya sistem pendidikan dengan sistem ekonomi kapitalisme oleh kalangan posmodernis disebut ‘’merkantilisme pengetahuan dalam bidang pendidikan’’. Artinya, sistem pendidikan yang seharusnya dijadikan landasan penguasaan ilmu dalam rangka pemantapan jiwa menuju sistem kebijaksanaan (virtue) malah menjelma menjadi sistem pendukung upaya pencarian keuntungan (profit) (lihat Pilliang, 2004:355—368). Kondisi ini oleh Foucault (dalam Wija, t.t:5) dikatakan pengetahuan tidak bisa lepas dari hubungannya dengan kekuasaan untuk melegitimasi pencarian keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan yang lebih menyedihkan adalah fenomena ini tampak

telah melanda pula sistem pendidikan di

Indonesia pada umumnya, dan Bali khususnya. Seperti tampak dari hasil

5

penelitian yang dilakukan Suda (2009) di sebuah sekolah dasar di Denpasar. Dari hasil penelitian itu terungkap bahwa dalam konteks sistem persekolahan pendidikan tidak saja dijadikan sebagai alat untuk mencari keuntungan, tetapi pendidikan itu sendiri telah diperlakukan sebagai barang komoditas (sebagai objek yang layak diperjual-belikan). Ketika merkantilisme pengetahuan dalam bidang pendidikan telah terjadi dalam sistem persekolahan kita, maka hal demikian dapat membawa sistem pendidikan ke arah berbagai bentuk pendangkalan, pemassalan, dan popularisme, sebagai nilai-nilai dasar komersialisme. Sistem pendidikan demikian dapat menggiring munculnya model-model pemikiran pendidikan yang menekankan dimensi-dimensi pragmatis, strategis, dan ekonomis yang pada gilirannya semakin menjauhkan watak pendidikan dari watak humanis, sosiologis, dan spiritualis (Pilliang, 2004:356—368).

2.2

Globalisasi sebagai Fenomena Zaman Bersifat Dualisme Kultural Dualisme kultural sebagaimana ditulis Atmadja (Bali Post, 2010:6)

berintikan pada ide yang memilah sesuatu menjadi dua hal yang berlawanan, oleh orang Bali disebut rwa bhineda.

Dualisme kultural juga merupakan

padanan dari oposisi biner (binary oposition) atau cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkhis dikotomis. Kecenderungan utama oposisi biner sebagaimana dikatakan Kuta Ratna (2004:222) adalah anggapan bahwa unsur yang pertama merupakan pusat, asal-usul, dan prinsip, dengan konsekuensi logis unsur yang lain menjadi sekunder, marginal, manifes, dan padanan pelengkap lainnya. Gagasan ini sebenarnya tersimpan dalam pikiran manusia, sehingga bersifat nirnyata. Meski pun bersifat nirnyata, namun dualisme kultural teramati pada representasinya, baik dalam bentuk ucapan maupun dalam bentuk tindakan. Terhadap gagasan ini manusia sering tidak menyadarinya sebab suatu ide (ideologi) tersimpan di alam bawah sadar (Althuser, 2004).

6

Terkait dengan apa yang dimaksud dualisme kultural di atas, dan jika dikaitkan dengan globalisasi sebagai fenomena zaman maka masyarakat harus mampu melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang berdimensi dualisme. Artinya, di satu sisi proses global harus dipandang sebagai sesuatu yang telah menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kelimpahruahan materi yang menakjubkan sehingga kondisi demikian benar-benar dapat meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia di muka bumi ini. Namun, di sisi lain proses global yang telah melanda hampir seluruh lapisan masyarakat dunia, mau tidak mau, suka tidak suka

juga harus dilihat sebagai sesuatu yang telah

memunculkan segudang permasalahan sosial yang dapat mengancam kelangsungan peradaban umat manusia. Selain itu, patut pula disadari bahwa inti globalisasi adalah semakin intensipnya komunikasi dan interaksi antar manusia, baik di satu wilayah bangsa maupun manusia antar bangsa. Kondisi ini dapat berakibat relevansi batas antara ruang dan waktu ala newtonian menjadi terhapus, yang berakibat pula semakin lentur dan kaburnya sekat-sekat spasial dan temporal yang memisahkan manusia satu dengan lainnya dan antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lainnya. Dalam sekat-sekat spasial dan temporal yang semakin kabur ini, agama yang seharusnya mampu berdiri tegak menjadi batas pemisah antara sikap religius-spiritual masyarakat, dengan sikap non-religius-spiritual malah ikut luluh dalam berbagai kepentingan non-religius-spritual. Akibatnya, pembangunan karakter bangsa semakin tidak terarah, bahkan tergerus mengikuti derasnya arus globalisasi. Menurut Nugroho (2001:30) globalisasi merupakan sebuah proses kebudayaan, di mana ada kecenderungan wilayah-wilayah di dunia dibuat menjadi satu dalam format sosial-politik-ekonomi. Dalam proses global tidak ada satu negara pun di muka bumi ini yang mampu menghindarkan diri dari proses ini. Ibarat air bah globalisasi melanda siapa saja, tua/muda, laki/perempuan, orang sehat/sakit, dan menciptakan situasi dilematis, dalam

7

arti apakah mengadopsi nilai-nilai global secara penuh ataukah membuat sebuah revitalisasi agar kelangsungan hidup sebuah kebudayaan dapat terjaga. Dalam implementasinya globalisasi ditandai dengan ekspansi pasar dari negaranegara industri tahap lanjut ke negara-negara berkembang yang didukung oleh budaya ‘’konsumerisme’’ sebagai tiang penyangga ekspansi itu.

Artinya,

negara-negara industi maju sengaja menciptakan pasar bersama regional untuk kepentingan pemasaran hasil-hasil industri yang dihasilkannya secara melimpah ruah. Kondisi ini tentu dapat merangsang sikap konsumerisme masyarakat negara berkembang untuk mengonsumsi berbagai macam produk industri yang ditawarkan lewat pasar. Sikap konsumerisme yang sengaja diciptakan oleh negara-negara industri pada masyarakat negara-negara berkembang sebenarnya berkaitan pula dengan persoalan gaya hidup (life style). Konsep gaya hidup yang dikondisikan melalui teknik komunikasi pemasaran adalah suatu model dari pembentukan budaya konsumerisme

di dalam masyarakat konsumer

Indonesia, termasuk Bali. Menurut Piliang (2004:307) dalam budaya konsumerisme konsumsi tidak lagi diartikan sebagai satu lalu lintas kebuadayaan benda semata, tetapi juga menjadi sebuah panggung sosial, yang di dalamnya makna-makna sosial diperebutkan di samping terjadi perang posisi di antara masyarakat yang terlibat. Selain itu, kehidupan masyarakat kontemporer akhir-akhir ini juga ditandai oleh tingginya tempo kehidupan sosial masyarakat, sebagai akibat dari globalisasi ekonomi dan informasi.

Peningkatan tempo ini didukung oleh

penggunaan secara luas teknologi komunikasi seperti, TV, Hp, internet, dan lain-lain. Hal ini tentu berimplikasi pula pada intensitas penggunaan simbolsimbol status, prestise, kelas sosial, dan citraan-citraan yang bentuk dan jenisnya semakin beraneka ragam dengan tempo pergantian yang semakin cepat pula. Dalam kondisi masyarakat demikian lagi-lagi terjadi dualisme kultural dalam masyarakat, dalam arti di satu sisi kualitas kehidupan, citraan,

8

dan status sosial masyarakat meningkat, sementara di sisi lain fungsi adat, budaya, tabu, ideologi, bahkan agama sebagai perekat sosial masyarakat mulai dipinggirkan. Namun, ada dimensi menarik yang perlu dipahami dari perkembangan ekonomi kapitalistik dewasa ini. Seperti dikatakan Piliang (2004:308) ketika wacana ekonomi dan industrialisasi gagal memberikan iklim yang sehat bagi berkembangnya rasionalisme di kalangan masyarakat, maka dunia mistik, supranatural yang bersifat irasional pun mendapatkan tempat kembali di hati masyarakat. Dalam kondisi demikian masyarakat akan semakin antusias terhadap sensasi dunia supranatural. Atau dengan kata lain ketika sikap rasionalisme masyarakat mengalami kemandegan akibat dijejali oleh duniadunia

materi,

maka

ketika

itu

pula

akan

berkembang

semacam

neospiritualisme, yakni kecenderungan masyarakat mencari kepuasan spiritual melalui bentuk-bentuk yang baru. Misalnya, dunia paranormal kini menjadi dunia citra, bahkan tidak jarang dikemas sebagai sebuah komoditi. Hal demikian mulai nampak menggejala dalam masyarakat kita dewasa ini yang ditandai betapa banyak masyarakat yang lebih percaya pada ramalan mistik ketimbang

analisis rasional (ilmiah). Bahkan fenomena ini telah

menyebar ke berbagai aspek kehdupan masyarakat termasuk dalam kehidupan dunia politik. Begitu pula dunia bisnis yang menjadikan sektor mistik ini sebagai satu komoditi yang laris, sehingga memungkinkan mereka (baca:paranormal) membuka office di perkantoran modern, dengan fasilitas internet, hand phone, dan alat-alat teknologi modern lainnya.

2.3

Agama sebagai Perekat Sosial Pembangunan Karakter Bangsa Agama adalah sebuah entitas yang di dalamnya berisi ajaran tentang

bagaimana membangun dan menata kesadaran manusia mengenai hidup dan kehidupan di dunia ini. Berangkat dari gambaran tersebut maka agama sepatutnya dapat menjadi perekat sosial dalam pembangunan karakter bangsa.

9

Meski pun keberadaan agama diduga seusia dengan keberadaan umat manusia, tetapi perkembangan kesadaran agama pada diri manusia tidak selalu seiring dan berbanding lurus dengan bertambahnya usia manusia. Artinya, pengetahuan manusia akan kehidupan keagamaan tidak serta merta disertai pula dengan kesadaran mereka akan kehidupan beragama itu sendiri. Akibatnya, banyak orang yang memiliki pengetahuan agama yang tinggi tetapi tidak disertai dengan kesadaran keagamaan yang tinggi pula, sehingga dalam kehidupannya tidak mampu mencapai titik keseimbangan (titik equilibrium). Bahkan mereka dapat merusak keindahan dan kegembiraan kehidupan agama dan keagamaan itu sendiri. Bilamana agama tidak mampu lagi berperan sebagai perekat sosial dalam kehidupan masyarakat, karena banyak orang yang berpengetahuan agama, tetapi tidak disertai kesadaran akan kehidupan keagamaan, maka hal ini dapat membawa bencana bagi kehidupan umat manusia. Fakta telah menunjukkan bahwa banyak kejadian menakutkan dan mengerikan terjadi karena ulah manusia yang berpengetahuan tetapi tidak berkesadaran. Bahkan tidak sedikit kehancuran atau kemusnahan ras manusia di muka bumi ini disebabkan oleh mereka yang berpengetahuan agama tanpa kesadaran agama. Oleh karena itu, dalam konteks membangun karakter bangsa agama sebagai sebuah entitas sosial dapat dikatakan mempunyai posisi yang sangat stratetegis. Dalam arti, berbagai teori agama dapat memberikan rumusan mengenai proses dan perkembangan perasaan kegamaan pada anak-anak yang secara pedagogis dapat membantu para guru agama dalam membimbing peserta didik di bidang keagamaan. Dari gambaran di atas dapat dipahami betapa strategisnya posisi agama dalam rangka membangun karakter bangsa. Dalam kaitan hubungan antara rakyat dengan suatu bangsa atau negara ada sebuah buku yang ditulis oleh Zainuddin Maliki (1999) dengan judul ‘’Penaklukan Negara atas Rakyat’’. Dari judul buku ini seakan ada kesan, bahwa negara dan rakyat adalah dua kekuatan yang terpisah dan berhadapan,

10

bahkan saling bermusuhan. Padahal negara dan seluruh kekuasaan yang melekat padanya ada dari, oleh, dan untuk rakyat. Artinya, karena ada rakyat maka ada negara, oleh kakuatan rakyat negara diadakan, dan untuk rakyat pula negara dibangun. Sebaliknya, keberadaan dan makna dari kehidupan rakyat tidak dapat dilepaskan dari eksistensi negara (Darwin dalam Maliki, 1999:xiii). Sesuai judul buku di atas, jika kemudian negara melawan dan menaklukan rakyatnya siapakah kemudian yang bernama negara? Atas nama siapa dan untuk apa perlawanan dan penaklukan itu dilakukan? Akan tetapi begitulah yang terjadi ketika negara direduksi menjadi rezim penguasa. Kekuasaan politik yang aslinya merupakan kekuasaan rakyat telah beralih menjadi kekuasaan rezim penguasa dan rakyat menjadi tunakuasa. Dalam kondisi demikian penguasa dapat mematahkan kekuatan oposisi rakyat dengan mengatasnamakan negara. Sebaliknya, rakyat tidak dapat mengatasnamakan negara untuk melawan kesewenang-wenangan penguasa. Dalam kondisi disequilibrium seperti inilah lagi-lagi posisi agama dalam membangun karakter bangsa menjadi semakin strategis. Dalam arti, bagaimana membangun dan menata kesadaran manusia tentang hidup dan kehidupan, termasuk tatakrama dalam kehidupan bernegara, maka agama kemudian menjadi sesuatu yang sangat penting. Sebab melalui ajaran agama inilah, baik penguasa maupun rakyat negara, selain dapat mengakses berbagai teori-teori agama yang mampu memberikan pencerahan juga dapat meningkatkan kesadaran akan tata krama kehidupan, termasuk dalam kehidupan bernegara. Dengan demikian di dalam menjalankan kehidupan bernegara antara rakyat dan negara (baca:penguasa) dapat saling memposisikan diri sesuai dengan hak dan kewajibannya (swadharma) masing-masing. Ketika agama tidak lagi menjadi bagian yang dianggap penting dalam proses pembentukan karakter bangsa, maka hubungan antara rakyat dan negara bukan tidak mungkin dapat bersifat hegemonik, eksploitatif, dan alienatif. Jika ini yang terjadi maka buku yang ditulis oleh Maliki (1999)

11

realitasnya mendekati kebenaran. Dalam arti antara rakyat dan negara saling berahadapan, bahkan negara telah menganggap rakyat sebagai musuhnya. Padahal secara realitas rakyat memerlukan negara sebagai perekat kesatuan di antara mereka, negara seharusnya memberi identitas kolektif, dan melalui negara gerakan kolektif dapat diadakan untuk tujuan kolektif pula. Dengan demikian tentu akan menjadi seuatu yang bersifat paradoksal ketika ada negara yang melawan dan menaklukan rakyatnya. Padahal negara seharusnya mampu memberi jaminan keamanan, ketentraman, dan kesejahteraan melalui hak-hak rakyat yang diberi oleh negara kepada rakyat melalui undang-undang negara. Jadi, dalam konteks ini, negara harus mampu berperan sebagai protektor yang dapat memproteksi atau memberi jaminan terhadap hak-hak sipil

rakyatnya.

Tidak

justru

sebaliknya,

negara

menghegemoni,

mengeksploitasi, dan bahkan mengalienasi rakyatnya sendiri. Jika hal ini yang terjadi, maka dapat dikatakan bahwa negara telah menjadi semacam korporasi yang berstruktur piramidal, maksudnya dalam suatu negara di mana tidak satupun orang atau kekuatan politik dalam bangunan negara tersebut yang lepas dari kontrol pusat kekuasaan. Artinya, kekuasaan negara berpusat di satu tangan, yakni penguasa dan penguasa menjadi sosok pemimpin yang maha kuasa dan tak terlawan oleh siapapun. Bila kondisi ini terjadi, lagi-lagi agama mempunyai posisi yang amat penting dalam pembangunan karakter bangsa.

III. Simpulan Dari gambaran di atas, dapat ditarik simpulan bahwa agama mempunyai posisi sentral dalam pembangunan karakter bangsa, lebih-lebih di era yang disebut zaman keblinger dewasa ini. Betapa pentingnya posisi agama dalam pembangunan karakter bangsa dapat dilihat dari bagaimana agama itu mengajarkan nilai-nilai kebenaran, kebijaksanaan, dan hakikat dari hidup dan kehidupan di dunia ini. Selain itu, melalui ajaran agama manusia sebagai

12

mahluk religius (homo religios) dapat menyadari bahwa dirinya memiliki hubungan dengan sesuatu yang adikodrati (supranatural)—Illahi.

Dalam

kehidupan empiris agama mencoba melihat hubungan tersebut dari sudut pandang keagamaan. Dengan demikian agama dapat dikatakan selain sebagai entitas yang dapat menyadarkan manusia akan adanya hubungan dengan sesuatu yang bersifat adikodrati, agama juga dapat diposisikan sebagai perekat sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu posisi agama menjadi sangat strategis dalam proses pembangunan karakter bangsa.

Namun, suatu

hal yang perlu disadari bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bersifat dualisme kultural, yang bukan tidak mungkin dapat membuat manusia terjabak pada berbagai bentuk perilaku yang justru berlawanan dengan ranah kehidupan agama. Dengan demikian sekali lagi agama menjadi sangat penting terutama dalam membangun kesadaran manusia akan kehidupan keagamaan dan bukan hanya membuat manusia memiliki pengetahuan yang tinggi tentang agama.

13

Daftar Pustaka Althusser, Louis, 2004. Tentang Ideologi: Maxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. (penerjemah Olsy Vinoli Arnof). Yogyakarta: Jala Sutra. Atmadja, Nengah Bawa, 2005. Bali pada Era Globalisasi, Pulau Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya. (draf buku). Atmadja, Nengah Bawa, 2010. ‘’Lulus SD Jadi PRT dan Dakocan Perspektif Dualisme Kultural’’. Dalam Harian Bali Post, edisi Sabtu, 17 juli 2010. Halaman 6. Darwin, Muhadjir, 1999. Dalam Maliki ‘’Penaklukan Negara atas Rakyat. Studi Resistensi Petani Berbasis Religio Politik Santri terhadap Negaranisasi’’. (Kata Pengantar) Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Giddens Antony, 2000. Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives. New York Ruotledge. Kleden, Ignas, 1988. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES. Kuta Ratna, 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Koesoema, Doni, 2009. Pendidik Karakter di Zaman Keblinger. Jakarta: PT Grasindo. Maliki Zainuddin, 1999. Penaklukan Negara atas Rakyat Studi Petani Berbasis Religio Politik Santri terhadap Negaranisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Nadesul, H., 2005. ‘’Tikus Juga Doyan Uang’’. Harian kompas, Kamis, 14 April 2005. Halaman 5. Nugroho, Heru, 2001. Negara, Pasar, dan Keadilan sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Piliang, Yasraf Amir, 2004. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jala Sutra. Suda, I Ketut, 2009. Merkantilisme Pengetahuan dalam bidang Pendidikan. Surabaya: Paramita.

14

Sukarma I Wayan, dan A.A Anom Kumara, t.t. Dalam Agus S. Mantik dkk. (ed.) PHDI Setengah Abad sebuah Retrospeksi Bhinake Tunggal Ika Tan Hana Dharma Magrwa. Tilaar, H.A.R. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Tinjauan dari Perspektif Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Widja, I Gede. t.t. Membangun Kembali Jiwa Pendidikan dalam Sistem Persekolahan Kita. Artikel.

15