PRINT VERSION

Download Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas. Indonesia. Pemimpin .... yang diungkapkan dengan cara gaib (Ism...

0 downloads 1365 Views 720KB Size
ISSN: 1693-167X

ANTROPOLOGI INDONESIA Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology

Makna Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 September-Desember 2012

Kekuasaan Politik dan Adat Para Mosalaki di Desa Nggela dan Tenda, Kabupaten Ende, Flores

Vol. 33 No. 3 September-Desember 2012

Politik Etnisitas dalam Pemekaran Daerah

Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012 Dewan Penasihat

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Pemimpin Redaksi

Tony Rudyansjah

Redaksi Pelaksana

Dian Sulistiawati, Irwan M. Hidayana, Dave Lumenta.

Manajer Tata Laksana

Imam Ardhianto

Administrasi dan Keuangan

Sri Paramita Budi Utami

Sekretaris

Sarah Monica, Shabrina, Astrid Puspitasari

Distribusi dan Sirkulasi

Febrian

Pembantu Teknis

Geger Riyanto, Amira Waworuntu, Muhammad Damm

Dewan Redaksi

Achmad Fedyani Saifuddin, Universitas Indonesia Birgit Bräuchler,, University of Frankfurt Boedhi Hartono, Universitas Indonesia Engseng Ho, Duke University Greg Acciaioli, University of Western Australia Heddy Shri Ahimsa Putra, Gadjah Mada University Martin Slama, Austrian Academy of Sciences Meutia F. Swasono, Universitas Indonesia Kari Telle, Chr. Michelsen Institute Ratna Saptari, University of Leiden Semiarto Aji Purwanto, Universitas Indonesia Suraya Afiff, Universitas Indonesia Timo Kaartinen, University of Helsinki Yasmine.Z. Shahab, Universitas Indonesia Yunita.T. Winarto, Universitas Indonesia

ISSN 1693-167X

ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal

Daftar Isi ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 33 NO. 3 2012

Makna Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten 159 Ayatullah Humaeni Kekuasaan Politik dan Adat Para Mosalaki

di Desa Nggela dan Tenda, Kabupaten Ende, Flores 180 J. Emmed M. Priyoharyono Politik Etnisitas dalam Pemekaran Daerah Fikarwin Zuska Pengelolaan Sumber Daya Laut Kawasan Terumbu Karang Takabonerate dan Paradigma Komunalisme Lingkungan Masyarakat Bajo Masa Lalu Munsi Lampe

203

216

Puisi Lisan Masyarakat Banda Eli Ketahanan Budaya di Maluku setelah Perang Pala 228 Timo Kaartinen

Makna Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten Ayatullah Humaeni, MA1 IAIN Sultan Maulana Hassanudin Banten Abstrak Artikel ini mengkaji tentang berbagai jenis mitos yang tersebar di beberapa daerah di Banten. Masyarakat Banten memahami dan meyakini mitos-mitos yang tersebar dan masih ditradisikan dari generasi ke generasi serta peran dan fungsi mitos bagi masyarakat Banten menjadi fokus utama dalam artikel ini. Artikel ini merupakan hasil penelitian lapangan menggunakan metode etnografi dengan pendekatan antropologis. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan pendekatan fungsional-struktural. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kajian pustaka, pengamatan terlibat, dan wawancara mendalam. Mitos merupakan salah satu bagian dari cerita rakyat yang hampir selalu muncul dalam budaya masyarakat dimana pun, terutama budaya masyarakat tradisional atau masyarakat pre-literate. Berbagai penelitian, terutama yang dilakukan oleh orang-orang Barat, menunjukan betapa mitos muncul dalam berbagai aktivitas sosial keagamaan masyarakat. Mitos juga dianggap mengandung pesan-pesan moral bagi masyarakat yang meyakininya. Keberadaan mitos pada masyarakat Banten, sedikit banyak, berpengaruh terhadap kehidupan sosial keagamaan masyarakat Banten. Mitos, dalam beberapa hal, juga memiliki fungsi dan peran yang cukup signifikan bagi masyarakat Banten seperti untuk mengukuhkan sesuatu, menjaga identitas kultural dan solidaritas masyarakat, serta mempertahankan prestise dan status sosial. Kata kunci: mitos, makna kultural, Banten Abstract This article discusses various myths spread in several areas of Banten. How Bantenese society understands and believes in myths that have spread and are still maintained from generations to generations and how the roles and functions of myths for Bantenese society constitute the main focus of this article. This article is field research using ethnographical methods based on in anthropological perspective. To analyze the data, the researcher uses a structuralfunctional approach. Library research, participant-observation, and depth-interview are methods used to collect the data. Myth is a part of folklore that appear in almost every culture of the world, especially in traditional or pre-literate cultures. Various researches, especially conducted by Western scholars, show how myths appear in various socio-religious activities of the society. Myths are also considered have moral values for the society that believes in them. The existence of myths in Bantenese society has influenced, more or less, the socio-religious life of the Bantenese. Myths, in some cases, also play significant roles and functions for Bantenese society such as strengthening something, maintaing cultural identity and solidarity of the society, and keeping prestige and social status. Key-words: myth, cultural meaning, Banten

1 Ayatullah Humaeni, MA, dosen tetap pada Fakultas Tarbiyah dan Adab IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten dan Pengurus Laboratorium Bantenologi IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. E-mail: [email protected]

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

159

Pendahuluan Mitos merupakan suatu cerita suci yang hampir selalu ada dalam setiap budaya masyarakat dimana pun. Berbagai penelitian, terutama yang dilakukan oleh orang-orang Barat, menunjukan bahwa mitos selalu muncul dalam berbagai aktivitas sosial keagamaan masyarakat, terutama pada masyarakat tradisional atau masyarakat pre-literate. Sebagian besar masyarakat dilingkupi dengan mitos-mitos yang mempunyai nilai sakral bagi penganutnya. Baik masyarakat tradisional (masyarakat preliterate) maupun masyarakat modern2 , selalu 2 Dalam beberapa buku Antropologi klasik, istilah masyarakat tradisional atau masyarakat pre-literate sering disebut dengan masyarakat primitif. Sebagai contoh, Bronislaw Malinowski dalam karyanya Magic, Science, and Religion and Other Essays (Malinowski 1955: 17), menggunakan istilah “primitive man” dalam salah satu sub-judul dalam karyanya. Pada paragraf awal Ia menjelaskan “there are no peoples however primitive withoutreligion and magic.”; Marcell Mauss dalam karyanya A General Theory of Magic. (Mauss 1972: 16), juga menyebut istilah yang sama. Dalam sebuah kalimat Ia menjelaskan “magic is, therefore, the foundationof the whole mystical and scientific universe of primitive man”. Selanjutnya, S.J. George Frazer, dalam The Golden Bough: A Study in Magic and Religion, (London: Macmillan, 1933: x), juga menggunakan istilah primirif. Pada kalimat awal dalam kata pengantar Ia menyatakan “for some time I have been preparing a general work on primitive superstition and religion”. Emile Durkheim dalam karyanya The Elementary Forms of Religious Life, (Durkheim 1995: 1), juga sering menggunakan istilah primitif dalam karyanya. Ia berpendapat dalam sebuah footnote tentang alasan Ia menggunakan istilah ini. Menurutnya “I will call those societies and the men of those societies primitive in the same sense. This term certainly lacks precision, but it is hard to avoid; if care is take to specify its meaning, however, it can safely be used”. Selanjutnya, Edward B. Taylor, Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art, and Custom, 2nd ed., (Taylor 1873), juga menggunakan istilah primitif untuk menyebut masyarakat tradisional. Selanjutnya, Raymond Firth dalam karyanya Human Types, an Introduction to Social Anthropology. (Rev.ed.,), (Firth 1958: 7) pada kata pengantar ia menjelaskan alasan penggunaan istilah ini dalam karyanya. Menurutnya, “For convenience I have used the terms ‘primitive’ and ‘primitive societies’ freely throughout the book. This does not mean to imply that there is a unitary character in such societies all over the world, but merely that they present certain broad differences of technology, social structure, and organization from the types of societies which we ordinarily think of as ‘civilized’.” Dalam hal ini, penulis lebih suka menggunakan istilah ‘masyarakat tradisional’ atau ‘masyarakat pre-literate’ sebagai pengganti istilah primitif karena istilah yang terakhir seringkali bermakna bias dan Barat sentris. Bahkan beberapa antropolog kontemporer sudah meninggalkan istilah ini, dan menggantinya dengan istilah ‘pre-literate societies’ atau ‘traditional societies’. Sementara itu, Koentjaraningrat lebih suka menggunakan istilah ‘suku bangsa’ untuk menggantikan istilah ‘masyarakat primitif’. Baca Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Koentjaraningrat 2010). Istilah masyarakat tradisional dalam KBBI diartikan sebagai ‘masyarakat yang lebih banyak dikuasai oleh adat istiadat yang lama’, sedangkan masyarakat modern adalah ‘masyarakat yang perekonomiannya berdasarkan pasar secara luas, spesialisasi di bidang industri, dan pemakaian teknologi canggih,’ (Tim Penyusun 1998: 635). Istilah ‘masyarakat tradisional’ digunakan oleh Michael V. Angrosino (2004) dalam karyanya The Culture of the Sacred. Exploring the Anthropology of Religion.. Sedangkan istilah masyarakat pre-literate yang penulis maksud adalah masyarakat yang belum mengenal baca-tulis. Istilah ini sering digunakan oleh Brian Morris (2007) dalam karyanya “Antropologi Agama. Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer.

160

menggunakan mitos-mitos yang mempunyai nilai sakral bagi penganutnya. menggunakan mitos-mitos yang disakralkan sebagai simbol pengukuhan dan otoritas. Dalam melakukan beragam aktivitas sosial keagamaan, bahkan aktivitas ekonomi dan politik, selalu ada mitos yang dimunculkan untuk membuat masyarakat yakin bahwa yang dimitoskan mempunyai nilai sakralitas yang tidak boleh diremehkan apalagi diruntuhkan dan dihancurkan. Banyak ahli berpendapat bahwa manusia, baik sebagai individual maupun sebagai kelompok, tidak dapat hidup tanpa mitos atau mitologi. Artinya bahwa keberadaan mitos sangat vital dan penting bagi eksistensi hidup manusia, terutama dalam hal yang berkaitan dengan mitologi yang bersifat keyakinan dan keagamaan. Para ilmuan sosial, terutama para antropolog, mencoba menjelaskan dan mengembangkan berbagai pengertian, makna dan fungsi mitos. Menurut mereka, mitos dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan manusia untuk mencari kejelasan tentang alam lingkungannya, juga sejarah masa lampaunya. Dalam pengertian ini, ‘mitos’ menurut Nurcholis Madjid menjadi semacam ‘pelukisan’ atas kenyataan-kenyataan (yang tak terjangkau, baik relative ataupun mutlak) dalam format yang disederhanakan sehingga terpahami dan tertangkap oleh orang banyak. Sebab hanya melalui suatu keterangan yang terpahami itu, seseorang atau masyarakat dapat mempunyai gambaran tentang letak dirinya dalam susunan kosmis, kemudian berdasarkan gambaran itu pun ia menjalani hidup dan melakukan kegiatan-kegiatan (Madjid 2000: 176). Mitos, menurut Tihami adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa itu sendiri serta mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib (Ismanto 2006: 36). Dari penafsiran ini, kita bisa menganggap bahwa mitos itu berupa cerita-cerita rakyat yang dianggap sakral dan punya nilai magis. Dari penafsiran ini kita juga bisa me-

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

nyimpulkan bahwa asal-usul suatu masyarakat bahkan mungkin suatu bangsa bisa diungkapkan melalui cerita-cerita mitos yang ada dalam masyarakat tersebut. Kita bisa mengetahui sejarah suatu masyarakat tertentu dari cerita-cerita mitos tersebut, walaupun tentunya cerita mitos akan menghasilkan fakta sejarah yang berbeda dengan fakta sejarah yang terungkap berdasarkan data-data bernilai ilmiah dari penelitian sejarah. Hal ini dikarenakan cerita-cerita mitos pada umumnya diungkapkan secara lisan dan serigkali diungkapkan dengan cara atau halhal yang berbau magis, sehingga kandungan ceritanya pun tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dalam hal ini Hunter, seperti dikutip oleh Tihami, berpendapat bahwa mitos adalah “a sacred narrative explaining how the World and people came to be in their present form” (Ismanto 2006: 36). Pengertian yang diungkapkan oleh Hunter ini pada intinya hampir mirip dengan penafsiran Tihami di atas, yang menekankan bahwa mitos merupakan cerita-cerita rakyat yang sakral tentang dunia dan masyarakat sampai pada bentuknya yang sekarang. Antara satu daerah dengan daerah lainnya tentu saja memiliki mitos dengan karakteristik dan keunikan tersendiri. Di Minangkabau mempunyai mitos tentang Malin Kundang, di Jawa Barat mempunyai mitos tentang Sangkuriang, di Banten mempunyai mitos Nyi Buyut Rintik dan Dampu Awang nya. Beragam mitos lokal itu jika diteliti secara ilmiah akan menghasilkan khazanah kebudayaan yang lebih komplit tentang mitos-mitos di seluruh nusantara. Mitos-mitos Indonesia tidak akan pernah ada tanpa eksplorasi tentang mitos-mitos lokal dari berbagai daerah. Jika kita menganalisis beberapa penafsiran tentang mitos dari berbagai daerah, kita dapat melihat pemaknaan mitos oleh masyarakat sebagai sesuatu yang sakral dan seringkali mengandung pesan atau nilai moral yang harus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat. Tujuannya agar dapat mengontrol tindakan dan sikap mereka sesuai dengan budaya dan moral

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

masyarakat setempat. Berdasarkan penjelasan di atas, berbicara tentang mitos dalam budaya Banten menjadi subjek yang menarik untuk dikaji karena beberapa alasan. Pertama, Banten sebagai sebuah daerah multikultural, mayoritas penduduknya berbahasa Sunda dan Jawa Banten, tentu memilki keanekaragaman mitos. Kedua, banyak mitos yang tersebar dalam budaya masyarakat Banten hanya tersimpan sebagai memori orangorang tua yang usianya sudah lanjut. Dengan kondisi ini mitos dikhawatirkan akan punah oleh arus modernisasi yang lebih dominan. Budaya lisan jika tidak segera ditulis dan didokumentasikan niscaya akan hilang dan tidak berbekas. Ketiga, beragam mitos kadangkala diungkapkan dalam bentuk nyanyian, pantun atau lirik, hal ini bisa digunakan sebagai karya sastra lokal Banten untuk bisa dikenang, dipelajari, dan dipahami oleh generasi-generasi Banten yang akan datang. Artikel ini bertujuan mendiskusikan beberapa masalah, yakni: mitos apa saja yang berkembang dalam budaya Banten? Apa makna dan fungsi mitos bagi masyarakat Banten? Dan apa pengaruh mitos dalam aktivitas sosial keagamaan masyarakat Banten? Deskripsi tentang Masyarakat Banten Banten sebagai provinsi ketiga puluh di Indonesia yang terletak di bagian paling barat Pulau Jawa, sejak dahulu dikenal sebagai daerah yang religious dengan Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Banten. Selain dikenal dengan sikapnya yang religius, masyarakat Banten, sebagaimana yang ditulis dalam laporan-laporan kolonial Belanda, juga dinyatakan sebagai masyarakat Muslim paling fanatik kedua di Nusantara setelah masyarakat Aceh. Pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20, masyarakat Banten juga dikenal sebagai masyarakat yang paling memberontak terhadap kolonial Belanda. Dari tahun 1813−1890, tidak kurang dari 80 pemberontakan dan kerusuhan terjadi di dae-

161

rah Banten (Ali 2007: 1). Dua pemberontakan besar paling dikenal dan dianggap sebagai kerusuhan di Banten yang paling mengerikan oleh Belanda adalah pertama, pemberontakan petani tahun 1888 (Kartodirdjo 1966). Kedua, pemberontakan komunis pada tahun 1926 (Williams 1982). Kyai (ulama), jawara, dan para pengikutnya banyak terlibat dan menjadi penggerak dalam dua kerusuhan besar tersebut. Dalam berbagai catatan sejarah baik yang ditulis oleh penulis lokal, nasional, maupun penulis asing, pada abad ke-16 sampai permulaan abad ke-18, Banten selalu disebut-sebut sebagai salah satu kesultanan Islam paling besar dan kuat di Nusantara. Banyak karya, baik yang ditulis oleh penulis Indonesia maupun penulis asing, juga sering menyebut Banten sebagai salah satu pusat perdagangan internasional terbesar dan berkembang di Asia Tenggara pada masa tersebut. Willem Lodewyscksz, seorang berkebangsaan Belanda yang pernah mengunjungi Banten pada tahun 1596, menyebutkan kota pelabuhan Banten sebagai salah satu pusat perdagangan paling maju di Asia Tenggara karena para pedagang dari berbagai bangsa melakukan bisnis di kota pelabuhan Banten tersebut (Brill 2006: 96). Jatuhnya Maluku, sebagai salah satu pusat perdagangan internasional paling besar di Nusantara ke tangan Portugis pada tahun 1511 (Ricklefs 2001: 90-93) dan kesuksesan kesultanan Banten merebut Sunda Kelapa (sekarang Jakarta) pada tahun 1579, sebagai pelabuhan utama kedua kerajaan Pajajaran, telah memberikan keuntungan luar biasa bagi perekonomian Banten. Perluasan daerah kekuasaan Banten hingga ke Sumatera Selatan dan Lampung sebagai daerah penghasil lada pada masa Sultan Hasanuddin (1552-1570), dan daerah Landak (Kalimantan Barat) sebagai daerah jajahan penghasil berlian pada tahun 1661 (masa Sultan Ageng Tirtayasa. 1651-1683) (Brill 2006: 143), akhirnya membawa Banten pada puncak kejayaan dan kemakmuran. Namun, masa kemakmuran Banten, menurut Johan Talens, hanya berlangsung selama dua

162

abad, yakni abad ke-16 dan ke-17 hingga tahun 1750 (Talens 1999: 32). Banten sejak dahulu dikenal sebagai daerah yang dengan masyarakat yang religious. Masyarakat Banten disebut dalam catatan Snouck Hugronje sebagai masyarakat Muslim yang lebih sadar diri dan lebih taat dalam menjalankan ajaran agama dibandingkan dengan daerah lainnya di Pulau Jawa. Bahkan, pada akhir abad ke-19, orang-orang Banten sangat menonjol di antara orang-orang Asia Tenggara yang menetap di Mekkah, baik sebagai guru maupun murid (Bruinessen 1995: 217). Citra positif yang melekat pada masyarakat Banten tentu tidak lepas dari peran para penguasa (Sultan) Banten saat itu yang tidak hanya memperhatikan dalam bidang politik dan ekonomi, tetapi juga memberikan perhatian lebih dalam bidang keagamaan. Dalam catatan Martin van Bruinessen, dikatakan bahwa untuk memperkuat dan mengembangkan bidang keagamaan, Sultan Banten mengundang para ulama nusantara dan ulama dari Timur Tengah, khususnya Mekkah, untuk datang dan menetap selama jangka waktu tertentu di Banten dan mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat (Bruinessen 1995: 223). Hubungan baik yang terjalin antara Kesultanan Banten dengan Mekkah sebagai pusat dan kiblat keIslaman dunia turut membangun peradaban Islam yang cukup kuat di Banten. Bahkan untuk memperoleh legitimasi keagamaan, beberapa Sultan Banten meminta gelar “Sultan” kepada Syarif di Mekkah. Gelar inilah yang menjadikan para Sultan Banten dipandang bukan hanya sebagai penguasa negeri, tetapi juga secara absah dianggap sebagai pemimpin agama (ulama atau wali). Oleh karena kecintaan dan perhatian yang besar dari para sultan kepada ilmu agama, penghargaan dan penghormatan tinggi terhadap para ulama, dalam beberapa catatan orang Eropa yang pernah berkunjung ke kesultanan Banten pada abad ke-16 dan 17, tercatat bahwa kesultanan Banten pada saat itu menjadi pusat kegiatan keilmuan Islam di nusantara.

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

Selain dengan Mekkah, hubungan baik juga terjalin antara kesultanan Banten dengan beberapa kesultanan Islam di daerah lain di Nusantara, seperti: Ternate (Maluku Utara), Ambon (Maluku), Bugis (Sulawesi Selatan), Makassar, Gowa, Malaka, Aceh, Palembang dan lain sebagainya. Hubungan yang terjalin antara Banten dan daerah yang disebutkan di atas bukan hanya sekedar hubungan bisnis dan perdaganngan, tetapi juga hubungan keagamaan (Islam). Dijadikannya Syeikh Yusuf al-Makassari yang berasal dari Gowa-Makasar sebagai patih sekaligus penasihat dan orang kepercayaan Sultan (Sultan Ageng Tirtayasa), menjadi bukti kuat akan hubungan yang terjalin antara Banten dengan beberapa daerah di Nusantara. Oleh karena hubungan-hubungan yang terjalin tersebut, migrasi orang-orang Banten ke daerah-daerah tersebut atau sebaliknya dikatakan cukup tinggi (Michrob dan A. Mudjahid 2011; Brill 2006) sampai terbentuk komunitas tersendiri. Meskipun Islam menjadi simbol peradaban baru bagi masyarakat Banten saat itu, namun para Sultan Banten tidak serta merta menghapus jejak tradisi dan budaya lokal Banten yang sudah ada jauh sebelum Islam masuk dan berkembang. Indikasi bahwa penguasa Banten saat itu masih menghargai dan menghormati tradisi dan budaya lokal adalah cerita dalam ‘Sadjarah Banten’ yang menyatakan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa, sejak belia dan masih menjabat sebagai Sultan Muda, dikenal sebagai putra bangsawan yang sangat menyukai kebudayaan; bahkan Ia seringkali terlibat aktif dalam beberapa tradisi permainan rakyat Banten, seperti: permainan raket (semacam wayang wong), dedewaan, sasaptoan, dan berbagai tradisi lokal lainnya (Tjandrasasmita 2011: 29). Hal ini mengindikasikan bahwa Sultan Banten yang dianggap sebagai pemimpin agama, ulama, bahkan wali, tidak pernah berusaha menghapus jejak tradisi dan budaya lokal yang dianggap tidak merusak aqidah umat Islam. Artinya bahwa bagi masyarakat Banten, ketaatan dalam beragama (Islam) tidak

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

harus menghapus identitas kultural masyarakat Banten. Sikap akomodatif dan toleransi para penguasa Banten pada masa itu terhadap keberadaan tradisi dan budaya lokal masyarakat Banten, seperti tradisi kepercayaan terhadap mitos, magis, tabu dan lain sebagainya, menjadi salah satu alasan Islam dapat diterima secara luas oleh masyarakat Banten dan berkembang cukup pesat pada masa itu. Apresiasi penguasa Banten terhadap keragaman kebudayaan lah yang juga menjadi starting point bagi masyarakat dunia untuk ikut serta meramaikan perniagaan di Banten dan berbaur dengan masyarakat lokal. Sikap toleran penguasa serta masyarakat Banten terhadap keragaman budaya dunia terindikasi melalui bangunanbangunan yang masih terlihat bukti fisiknya hingga kini di area sekitar Surosowan (Banten Lama), juga beberapa daerah yang dijadikan pemukiman warga asing, serta beragam budaya dan tradisi asing yang saat ini masih bisa kita saksikan dalam setiap upacara keagamaan dan tradisi kepercayaan mereka. Tradisi serta budaya lokal dan asing yang terus diwariskan kepada generasi berikutnya hingga saat ini tentu turut memperkaya khazanah tradisi dan kebudayaan masyarakat Banten. Begitu juga kepercayaan terhadap mitos masyarakat Banten juga masih terus diwariskan dari generasi ke generasi. Hingga saat ini, setelah 12 tahun Banten menjadi Provinsi sejak tanggal 4 Oktober 2000 berdasarkan Undang-Undang No.23 tahun 2000 (Lubis 2003), nilai-nilai religiusitas masyarakat Banten masih terpelihara dan dilaksanakan oleh masyarakat Banten, baik secara individual maupun kolektif. Hal ini terindikasi dari masih berjalannya rutinitas pengajian, baik pengajian al-Qur’an maupun kitab kuning, yang dilakukan dirumah-rumah penduduk maupun di majlis ta’lim, madrasah, dan pesantren. Acara ceramah keagamaan, kegiatan merayakan hari besar Islam, kegiatan MTQ tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional juga masih rutin dilaksanakan se-

163

tiap tahun. Hal ini dilakukan karena kesadaran masyarakat Banten akan pentingnya menjaga dan memelihara serta mengajarkan tradisi dan nilai-nilai keagamaan kepada generasi muda Banten. Keseriusan pemerintah dalam memelihara ajaran dan nilai keagamaan juga terlihat dari keterlibatan mereka yang cukup intens dalam berbagai kegiatan keagamaan masyarakat Banten. Perhatian mereka terhadap ulama, pesantren, dan madrasah juga memilki peran penting dalam menjaga identitas religius yang selama ini melekat pada masyarakat Banten. Perhatian pemerintah dan masyarakat Banten terhadap budaya dan tradisi lokal juga cukup intens. Berbagai kegiatan terkait dengan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan warisan kebudayaan Banten juga sudah sering dilakukan oleh masyarakat Banten dan didukung oleh Pemerintah Provinsi Banten melalui Dinas Budaya dan Pariwisata. Sebagai salah satu bukti keseriusan Pemerintah Provinsi Banten dalam upaya pelestarian kebudayaan Banten adalah dengan membentuk tim ahli dari Laboratorium Bantenologi IAIN “SMH” Banten untuk membuat Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah (RIPKD) Provinsi Banten pada tahun 2012 (Tihami, dkk 2012). Salah satu strategi dan rencana aksi yang akan dilakukan dalam tahun pertama setelah RIPKD ini disahkan adalah penelusuran database tradisi lisan, termasuk didalamnya tentang mitos dan folklor. Konsep Teoritis Mitos Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mitos diartikan sebagai “cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa itu sendiri yang mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib” (Tim Penyusun 1998: 660-661). Definisi ini senada dengan definisi yang dijelaskan dalam Dictionary of Religious, dalam kamus ini mitos didefinisikan sebagai, “Narrative, usually traditional, in which, events are described as deeds of god, heroes, or other super-

164

human beings; i.e. events in the realm of nature or history are attributed to causes not acceptable in current scientific or historical explanation” (Hinnells 1984: 225) (cerita-cerita yang bersifat tradisional dimana kejadian-kejadian dijelaskan sebagai perbuatan-perbuatan dewa, pahlawan, ataupun manusia-manusia hebat lainnya; yakni kejadian-kejadian dalam realm alam atau sejarah dihubungkan dengan sebab-sebab yang tidak bisa diterima dalam penjelasan ilmiah maupun penjelasan sejarah).

Salomon Reinach dalam Orpheus: A History of Religions juga mendefinisikan mitos dalam nada serupa, yaitu kumpulan cerita yang tidak ditemukan secara tepat, tetapi dikombinasikan oleh aktor-aktor yang hasilnya tidak dapat dipastikan kebenarannya sebagai bagian dari sejarah (Reinach 2001: 1). Dari penjelasan tentang mitos di atas, dapat disimpulkan bahwa mitos adalah cerita-cerita tentang dewa, alam, orang atau objek-objek tertentu yang tidak bisa dipastikan kebenarannya secara ilmiah, dan tidak bisa diterima kebenarannya untuk menguji sejarah suatu bangsa. Mitos terdiri dari cerita-cerita fiksi yang seringkali mengandung hal-hal gaib, sakral dan sulit dipahami oleh nalar logis. Beberapa literatur yang menjelaskan tentang mitos seringkali memberikan pendapat bahwa mitos adalah suatu cerita yang merujuk pada masa pra-sejarah dengan penulis atau penciptanya disebut anonim, dan sangat umum terjadi pada masyarakat tradisional. Mitos juga seringkali dihubungkan dengan sesuatu yang sakral, dan berbau magis (supernatural), dan berbagai ritual yang dilakukan oleh masyarakat tradisional (masyarakat pre-literate). Padahal sebenarnya, mitos bukan hanya terjadi dan dipercayai oleh masyarakat tradisional saja, masyarakat modern pun, terutama masyarakat yang tinggal di desa, masih mempercayai akan adanya mitos-mitos di lingkungan mereka. Meskipun kebenaran fakta dari mitos ini sulit untuk dianalisis dan diobservasi secara ilmiah, sebagian masyarakat masih meyakini keberadaan dan kesakralan mitos tersebut. Untuk lebih memperjelas beberapa definisi tentang mitos akan saya kutip dari beberapa ahli dan

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

berbagai sumber agar definisi dan makna mitos yang lebih detail and comprehensive bisa saya sajikan dalam artikel ini. Kata mitos yang dalam bahasa Inggris myth berasal dari bahasa Latin mythus atau dari bahasa Yunani kuno mythos atau muthos yang bermakna cerita atau fabel (dongeng). Istilah mitos ini dalam bahasa kita sehari-hari mengandung makna kepalsuan atau sesuatu yang bersifat khayali. Menurut Nurcholis Madjid, penyebutan tentang sesuatu hal yang dianggap sebagai mitos akan mengisyaratkan perendahan nilainya sehingga tidak perlu dipertahankan. Dalam pengertian ini, mitos menurutnya semakna dengan takhayul (dari bahasa Arab takhayul, yang berarti pengkhayalan), dongeng atau superstisi (Madjid 2000: 174). Akan tetapi, mitos bukan hanya sekedar jenis cerita dongeng, tetapi cerita yang melibatkan perbuatan dewa-dewa, nenek moyang (leluhur) atau roh atau makhluk-makhluk religius lainnya. Mitos, singkatnya, adalah cerita-cerita mengenai aktivitas-aktivitas dan petualanganpetualangan dari makhluk-makhluk tersebut. Dalam hal ini, deskripsi tentang mitos yang dijelaskan oleh Mircea Eliade seperti dikutip oleh Jack David Eller dapat menjadi salah satu rujukan tentang definisi mitos. Mircea Eliade menjelaskan mitos sebagai berikut: “Mitos menceritakan sebuah sejarah yang sakral; menghubungkan suatu kejadian yang terjadi di masa purba, zaman permulaan. Dengan kata lain, mitos menceritakan bagaimana, melalui perbuatanperbuatan makhluk supernatural, sebuah realitas menjadi ada, menjadikannnya seluruh realitas, Kosmos, atau hanya suatu fragmen dari realitas- sebuah pulau, suatu spesies tumbuhan, jenis tertentu dari perilaku manusia, sebagai sebuah institusi. Mitos selalu berupa suatu cerita tentang ‘penciptaan’; berkaitan dengan bagaimana sesuatu dibuat atau diciptakan, mulai ada. Mitos hanya menjelaskan dari apa yang betul-betul terjadi, yang memanifestasikan dirinya sendiri secara komplit. Aktor-aktor dalam mitos adalah makhluk-makhluk supernatural […] mitos oleh karenanya menyingkap aktivitas kreatifnya dan mengungkapkan atau menampakan kesakralan (atau sederhananya kesupernaturalan) dari pekerjaan mereka” (Eller 2007: 83).

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

Berbeda dengan pendapat beberapa ahli yang menyatakan bahwa pencipta atau pembuat mitos itu anonim, menurut Eliade, mitos seringkali merupakan cerita-cerita tentang penciptaan atau asal-usul dengan mahlukmahluk spiritual dan supernatural merupakan penciptanya dan pemulanya (the originators). Mitos menceritakan bahwa sesuatu yang terjadi ‘pada permulaan’- tidak selalu atau tidak perlu pada permulaan masa atau zaman, tetapi pada permulaan dari suatu fakta atau fenomena khusus, alam atau sosial. Dengan demikian, mitos diperlakukan sebagai cerita ‘benar’, suatu cerita akurat tentang kejadian-kejadian oleh orang-orang yang menceritakannya. Ada kesepakatan umum di antara para ahli etnologi bahwa mitos berhubungan dengan lingkungan supernatural dan super-indera dari realitas dan merujuk pada suatu masa prasejarah. Berdasarkan asumsi tersebut, mitos didefinisikan oleh Gayley dalam karyanya The Classic Myths in English Literature and in Art yang dikutip oleh David Bidney sebagai “ceritacerita yang asal-usulnya anonim, yang lazim diantara orang-orang primitif dan oleh mereka diterima sebagai sesuatu yang ‘benar’, berkaitan dengan makhluk-makhluk dan kejadiankejadian supernatural, atau makhluk-makhluk dan kejadian-kejadian alam yang dipengaruhi oleh agen-agen supernatural’ (Bidney 1976: 1). Konsepsi ini, jika dianalisis, menghubungkan mitos dengan suatu cerita yang memiliki nilai magis dan supersensuous yang dipercayai ‘benar’ dan dianggap lazim pada masyarakat tradisional. Banyak sekali kita temukan berbagai cerita rakyat yang tersebar, baik pada masyarakat tradisional maupun pada masyarakat modern. Beberapa ahli menganggap bahwa ceritacerita rakyat tersebut, seperti: folk tales, mitos, legenda, alegori dan lain sebagainya adalah sama. Dalam hal ini, Muller, seorang ahli linguistik, menganggap mitos sebagai sebuah cerita yang berkaitan dengan dewa-dewa, dan percaya bahwa semua dongeng rakyat dan cerita dongeng (dongeng peri) asalnya adalah

165

mitos-mitos yang memiliki makna yang sudah kabur karena perubahan-perubahan bahasa. Jadi, Ia memandang tidak perlu memisahkan mitos dari cerita atau dongeng-dongeng lain, kecuali terdapat suatu fakta bahwa mitos berusia jauh lebih tua (Malefijt 1968: 173). Akan tetapi beberapa ahli yang lain menganggap jenis-jenis cerita rakyat tersebut di atas sebagai suatu hal berbeda karena masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Boas, seorang antropolog, menemukan kesulitan untuk mendefinisikan batasan mitos. Boas menyatakan bahwa cerita rakyat ( folk tales) diklasifikasikan sebagai mitos, jika menceritakan asal-usul dunia dan sudah terjadi dalam suatu periode mitos yang berbeda dengan periode sekarang ini. Perbedaan itu dikenali oleh banyak suku, seperti: suku North American Indians, penduduk Andaman, dan penduduk asli Australia (Bidney 1976: 290). Akan tetapi, masalah muncul ketika seseorang mencoba membedakan antara mitos dan cerita rakyat karena cerita atau plot (alur cerita) yang sama muncul pada keduanya. Untuk mengatasi kebingungannya dalam membedakan dua kategori ini, yakni mitos dan folk tales, selanjutnya Boas berusaha mendefinisikan ‘mythological concepts’ untuk dapat membedakan keduanya. Menurut Boas, cara menemukan definisi mythological concepts jauh lebih mudah dibandingkan dengan definisi tentang mythological tales itu sendiri. Mythological concepts adalah pandanganpandangan dasar tentang konstitusi dunia dan asal-usulnya. Pandangan-pandangan ini masuk ke dalam cerita-cerita atau dongeng-dongeng yang merujuk kepada suatu perbuatan luar biasa (supernatural behaviour) dan penderitaan-penderitaan zaman saat ini, yang seringkali diketahui oleh individu-individu. Dalam semua legenda, mythological concepts muncul sebagai bagian hakiki dari dongeng-dongeng tersebut (Bidney 1976: 290). Dari pendapat Boas di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara mitos dan folk tales adalah bahwa mythical tales (cerita

166

mitos) diterima atau digunakan secara serius oleh masyarakat yang meyakininya, sedangkan folk tales tidak ditanggapi secara serius dan dianggap hanya sekedar untuk hiburan semata atau dongeng pengantar tidur saja. Kriteria supernatural untuk membedakan mitos dan cerita rakyat lainnya jelas-jelas tidak cukup. Cerita tentang “sleeping beauty” menjelaskan tujuh makhluk supernatural tentang sebuah cermin kebenaran (truth mirror), dan tentang bangun dari kematian. Tetapi, Orang Kate bukanlah orang yang sakral, cermin bukanlah benda yang suci, dan bangunnya gadis yang cantik bukan berarti menaikkanya pada status dewa. Cerita dongeng ( fairy tale) berkaitan dengan semua jenis makhluk supernatural, yang baik maupun yang jahat, tetapi cerita-cerita semacam itu tidaklah dianggap sakral atau keramat karena tidak dipercayai ‘benar’ oleh orang-orang dewasa. Aspek kepercayaanlah yang memberi mitos kekuatan. Tanpa kepercayaan, mitos tidak dapat berfungsi sebagai a ‘charter of social reality’, tidak juga memperkuat atau menegakkan nilai-nilai moral atau memotivasi perilaku manusia. Kepercayaan membuat mitos menjadi sakral dan menghubungkannya secara langsung dengan dogma. Dogma menarik mitos untuk menjelaskan dan menyucikan atau mengkuduskan kebenarankebenarannya, serta semua cerita yang bukan berakar dari dogma bukanlah mitos (Malefijt 1968: 186). Akan tetapi, mitos bukan hanya sekedar deskripsi simbolik dari dogma, tidak juga semua sistem kepercayaan diungkapkan dalam bentuk mitos. Mitos seringkali didefinisikan oleh beragam referensi merujuk kepada sistemsistem kepercayaan dengan makna kultural dan kemampuannya menjustifikasi institusiinstitusi sosial yang dominan. Folktales (cerita rakyat) seringkali memiliki pesan moral, tetapi tidak membangun prinsip-prinsip nilai masyarakat, meskipun dapat merefleksikan hal semacam itu. Menurut Seznec, seperti yang dikutip oleh Malefijt, relativitas penyebaran mitos dari satu

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

budaya bisa menjadi folktale (cerita rakyat) dari budaya lain. Sebagai contoh, warisan mitologis dari zaman Yunani kuno dapat bertahan sampai saat ini dalam budaya Barat. Mitos-mitos itu diturunkan dari generasi ke generasi, lama setelah mitos itu kehilangan makna religiusnya. Dalam proses transmisi, mitos itu memelihara nilai seni dan literatur Eropa, serta terus melakukan fungsinya, kecuali kesakralan (Malefijt 1968: 186). Dari penjelasan di atas, jelas bahwa suatu cerita dikatakan mitos apabila ada unsur atau nilai kesakralan dalam cerita itu, dan diyakini atau dianggap benar oleh masyarakat atau dianggap pernah terjadi di masa lampau. Artinya bahwa cerita-cerita yang tidak memiliki atau tidak mengandung nilai sakral, dan masyarakat menganggapnya hanya sekedar dongeng atau cerita hiburan saja, tidak lagi dianggap sebagai mitos, tetapi barangkali hanya dianggap sebagai cerita rakyat ( folklore), folktales, atau hanya sekedar legenda. Dari penjelasan di atas, juga bisa disimpulkan bahwa pada suatu masa, suatu cerita dapat dianggap mitos oleh masyarakat tertentu karena masih mengandung nilai sakral dan diyakini benar oleh masyarakat tersebut. Di masa yang lain atau pada kebud aya a n lain, cerita itu tidak lagi dianggap mitos karena nilai kesakralannya sudah memudar atau tidak ada sama sekali dan masyarakat tidak meyakini kebenaran cerita itu, atau paling tidak masyarakat hanya menganggap cerita itu sekedar fiktif untuk tujuan hiburan pengantar tidur saja. Makna dan Kegunaan Mitos Mitos terdiri dari bahasa; mitos muncul dalam bentuk sebuah naratif dengan sebuah alur cerita (plot); memiliki style, indah; mitos memiliki sejarah dan pendistribusian antar budaya (cross-cultural distribution); mitos merupakan institusi kultural dan memiliki fungsi religius, fungsi sosial dan fungsi psikologi. Selanjutnya, seorang linguist biasanya akan menganalisis bahasa mitos, folklorist tertarik

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

membahas tema dan alur-ceritanya, kritik sastra fokus pada style dan nilai estetiknya, psikolog mencari kandungan emosionalnya, ahli teologi menguji hubungannya dengan kebenaran agama dan ilmuan sosial memusatkan pada fungsi dan makna sosialnya (Malefijt 1968: 172). Banyak ahli berpendapat bahwa manusia, baik sebagai individual maupun sebagai kelompok, tidak dapat hidup tanpa mitos atau mitologi. Artinya bahwa keberadaan mitos sangat vital dan penting bagi eksistensi hidup manusia, terutama dalam hal yang berkaitan dengan mitologi yang bersifat keyakinan dan keagamaan. Para ilmuwan sosial, terutama antropolog, mencoba menjelaskan dan mengembangkan berbagai pengertian, makna, dan fungsi mitos. Menurut mereka, mitos dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan manusia untuk mencari kejelasan tentang alam lingkungannya, juga sejarah masa lalunya. Dalam pengertian ini, ‘mitos’ menurut Nurcholis Madjid menjadi semacam ‘pelukisan’ atas kenyataan-kenyataan (yang tak terjangkau, baik relatif ataupun mutlak) dalam format yang disederhanakan sehingga terpahami dan tertangkap oleh orang banyak. Melalui suatu keterangan yang terpahami itu, seseorang atau masyarakat dapat mempunyai gambaran tentang letak dirinya dalam susunan kosmis, kemudian berdasarkan gambaran itu pun Ia menjalani hidup dan melakukan kegiatan-kegiatan (Madjid 2000: 176). Mitos, menurut Malefijt, berguna untuk membentuk opini atau identitas publik dan memperkuat solidaritas sosial. Malefijt mengungkapkan bahwa mitos adalah cerita sastra yang indah dan mempunyai gaya tersendiri, mengandung sejarah dan berperan besar dalam lintas budaya, mengandung institusi budaya, dan mempunyai fungsi serta makna psikologis, sosial dan religius, sehingga menarik perhatian ahli linguistic, psikologi, teologi dan ilmuwan sosial (Malefijt 1968: 177). Pada sebagian masyarakat yang masih mempercayai nilai sakral dari mitos, mitos

167

berfungsi sebagai alat untuk mengontrol moral dan perilaku masyarakat. Berbagai contoh mitos di Indonesia dapat dijadikan contoh seberapa besar fungsi mitos atas tingkah laku, sikap, dan nilai moral yang terkandung di dalamnya. Mitos Malin Kundang yang berasal dari Sumatra Barat, dalam cerita ini, terdapat pesan moral yang ingin disampaikan oleh si pembuat mitos kepada masyarakatnya secara khusus, dan juga kepada semua manusia secara umum, bahwa manusia harus menghormati dan menyayangi orang tuanya, terutama ibunya. Penyimpangan atau pelanggaran dari nilai moral yang terkandung dari mitos tersebut di atas akan membawa konsekuensi berat yang harus ditanggung oleh orang yang melukai hati seorang ibu, dalam cerita ini orang tersebut dikutuk menjadi batu. Mitos-mitos lain yang isinya mengandung pesan moral bagi manusia tersebar di berbagai wilayah di dunia. Berkaitan dengan ini, dapat dikutip pendapat Malinowski yang melakukan penelitian di Melanesia tentang fungsi mitos berdasarkan hasil analisisnya tentang opini, tradisi, dan tingkah laku serta karakter budaya dari masyarakatnya. Dalam paragraf pertama dari bukunya yang membahas tentang Myth in Primitive Psychology, Ia menyatakan “I propose how deeply the sacred tradition, the myth, enters into their pursuits, and how strongly it controls their moral and social behavior’ (Malinowski 1955: 96). Mitos memainkan peran penting dalam kehidupan sosial. Mitos dapat membangun solidaritas sosial masyarakat yang bersangkutan. Dengan adanya mitos yang mereka percayai memiliki sakralitas dan mengandung pesan moral yang diwariskan dari leluhur-leluhur mereka, seseorang yang keluar dari daerahnya untuk merantau atau pindah menetap di daerah lain akan tetap memelihara nilai sakral dan nilai moral mitos tersbut, yang kemudian akan diwariskan kepada anak-anak mereka sebagai generasi berikutnya. Sehingga ketika terdapat suatu ritual yang harus dijalani berdasarkan mitos yang diperoleh dari daerah asalnya, Ia akan mempraktikannya di tempat Ia tinggal

168

sekarang. Selanjutnya, cerita yang ada dalam mitos juga dapat menjelaskan kondisi ekonomi dan kehidupan sosial sebuah suku serta dapat mengungkap beragam bahaya, ketidakberuntungan, serta penyakit yang disebabkan oleh hal-hal gaib. Sehingga, ketika ada suatu ritual yang harus dijalani oleh masyarakat yang bersangkutan untuk menghindari bahaya dan penyakit yang dijelaskan dalam mitos tersebut, mereka akan menjalaninya secara kolektif dengan kesadaran bersama untuk melindungi masyarakatnya dari bahaya-bahaya gaib tersebut. Berkaitan dengan ini, Kluckhon, seperti dikutip oleh Bustanudin yang melakukan penelitian tentang suku Pueblo dan Navajo di kalangan orang Indian, selain menemukan penjelasan tentang ekonomi dan kehidupan sosial pada suku tersebut, juga mengungkap bahaya-bahaya gaib, seperti penyakit yang dipandang sebagai hukuman. Mereka melakukan ritual penting untuk melindungi diri dari penyakit. Ritual itu juga berfungsi untuk mengungkap solidaritas dan respons bersama terhadap bahaya tersebut. Dengan demikian, mitos adalah suatu kekuatan yang membantu melestarikan wujud masyarakat (Bustanudin t.t: 91). Barangkali, pendapat Malinowski dalam sebuah paragraf berikut ini dapat menjelaskan secara komprehensif tentang fungsi dan peran mitos bagi masyarakat. Menurutnya Malinowski: “Studied alive, myth, as we shall see, is not symbolic, but a direct expression of its subject matter; it is not an explanation in subject matter; it is not an explanation in satisfaction of a scientific interest, but a narrative resurrection of a primeval reality, told in satisfaction of deep religious wants, moral cravings, social submissions, assertions, even practical requirements. Myth fulfills in primitive culture an indispensable function: it expresses, enhances, and codifies belief; it safeguards and enforces morality; it vouches for the efficiency of ritual and contains practical rules for the guidance of man. Myth is thus a vital ingredient of human civilization; it is not an idle tale, but a hard worked active force; it is not an intellectual explanation or an artistic imagery, but a pragmatic charter of primitive faith and moral

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

wisdom.” 3

Berdasarkan pandangan Malinowski di atas, jelas bahwa mitos bukan hanya kisah yang diceritakan, tetapi sebuah realitas yang hidup. Itu bukanlah sifat dasar fiksi, seperti pada novel saat ini, tetapi mitos adalah realitas yang hidup, yang dipercayai pernah terjadi pada zaman purba serta terus berlanjut untuk memengaruhi dunia dan nasib manusia. Selanjutnya Malinowski menyimpulkan bahwa mitos tidak seharusnya diperlakukan sebagai penjelasan, atau sebagai simbol, tetapi cara mitos memotivasi orang-orang dan membentuk kehidupan dan realitas mereka daripada dianggap sebagai suatu deskripsi faktual. Mitos adalah sebuah rencana, sebuah model (a ‘model for’ dalam istilah Geertz), atau dalam istilah Malinowski sendiri sebagai ‘charter (piagam)’ atau petunjuk hidup (Eller 2007: 84-85). Jenis-Jenis Mitos di Banten Hubungan antara sesama manusia dalam menjalani kehidupannya, juga dikuasi oleh beragam mitos. Sikap manusia terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri manusia tersebut. Mitos menyebabkan manusia menyukai atau membenci sesuatu. Dengan begitu mitos akan menyebabkan kita mempunyai suatu prasangka tertentu terhadap suatu hal yang dinyatakan dalam mitos. Hanya melalui persentuhan tersebut, kita dapat mengetahui kebenaran ataukah kesalahan dari mitos itu. Persentuhan itu akan memperkuat mitos atau juga dapat meniadakannya. Hal ini 3 “Kajian yang masih hidup, mitos […] bukanlah bersifat simbolik, tetapi suatu ungkapan langsung dari persoalan subjeknya; mitos bukanlah penjelasan untuk memuaskan kepentingan ilmiah, tetapi mitos adalah kebangkitan cerita dari realitas zaman purba yang diceritakan untuk memuaskan keinginan-keinginan dalam memperdalam agama, permohonan-permohonan moral, ketundukan atau kepatuhan sosial, tuntutan, bahkan keperluan-keperluan praktis. Mitos mengisi fungsi yang sangat diperlukan dalam budaya primitif: mitos mengungkapkan, mempertinggi atau memperkuat, dan mengkodifikasi kepercayaan; menjaga dan menjalankan aturan-aturan praktis sebagai pedoman atau petunjuk manusia. Jadi, mitos adalah unsur yang vital bagi peradaban manusia; bukanlah cerita bohong ‘an idle tale’, tetapi sebuah kekuatan aktif yang bekerja keras; mitos bukanlah suatu penjelasan intelektual atau suatu perumpamaan yang artistik, tetapi sebuah piagam pragmatis bagi kebijaksanaan moral dan keyakinan primitif” (Malinowski 1955: 101).

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

selanjutnya akan memungkinkan kita berbeda anggapan dari yang terdapat dalam satu mitos yang pernah kita hidupi, meskipun tidak akan selalu mengambil arah demikian. Namun, perkenalan dengan sesuatu akan dapat menghasilkan mitos-mitos baru yang berbeda dari mitos yang ada sebelumnya, bahkan dapat menentangnya (Junus 1981: 84). Pada bagian ini, akan dijelaskan beberapa jenis mitos yang berkembang dalam budaya masyarakat Banten. Pengklasifikasian mitos ini, dibuat berdasarkan data-data lapangan yang berhasil peneliti kumpulkan, sebagai berikut: • Mitos Tokoh-Tokoh Suci dan Keramat Mitos tentang manusia-manusia suci dan dianggap keramat merupakan tipologi mitos yang paling banyak ditemukan di Banten. Hampir di setiap tempat, ada berbagai jenis cerita (mitos) tentang manusia-manusia atau tokohtokoh yang dianggap memiliki kelebihan luar biasa yang bersifat supera indrawi. Cerita itu ‘diyakini’ pernah terjadi atau disaksikan oleh sebagian masyarakat, baik ketika tokoh-tokoh itu masih hidup maupun setelah meninggal dunia. Banten sebagai sebuah daerah yang dikenal dengan negerinya para ulama (Kyai) dan jawara, tentu saja Kyai menduduki posisi terhormat dalam struktur sosial masyarakat. Kyai juga dianggap sebagai simbol prestise sosial (Kartodirdjo 1966: 84). Penguasa dan penemu pertama Kesultanan Banten, Maulana Makhdum atau dikenal dengan Sunan Gunung Jati, adalah salah satu dari Wali Songo. Selanjutnya tiga penguasa pertama Kesultanan Banten, yaitu Hasanuddin, Yusuf, dan Muhammad, memperoleh gelar maulana sebagai satu pengakuan atas fakta bahwa mereka tidak hanya ahli dalam ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga telah mencapai derajat wali serta memiliki ilmu esoteric dan juga kekuatan gaib (ngelmu) (Bruinessen 1995: 248). Dari buku-buku sejarah Banten, dapat

169

diketahui bahwa Kyai selalu memiliki peran penting bagi masayarakat Banten, baik pada masa kesultanan, masa kolonial, masa kemerdekaan bahkan sampai saat ini. Pada masa kesultanan, para Sultan sangat menghargai dan menghormati Kyai. Sultan Ageng Tirtayasa, sepanjang waktunya, dikatakan selalu ditemani oleh Kyai atau ulama sehingga mampu menjaga reputasi Banten sebagai pusat pendidikan Islam yang penting di Nusantara (Azra 2004: 95-96). Kyai pada masa kini juga mempunyai peran yang sangat penting dan kedudukan yang tinggi dalam birokrasi kesultanan. Qadhi, satu posisi yang diduduki oleh ulama atau Kyai yang ahli dalam hukum Islam, memiliki peran penting dalam mengambil keputusan atas setiap kebijakan yang dibuat oleh sultan. Menurut Martin van Bruinessen, posisi qadhi atau Pakih Najmuddin berada pada kekuasaan tertinggi dari jabatan keagamaan di Banten pada masanya (Azra 2004: 257). Pada masa Kolonial, karena banyak orang Banten percaya bahwa Kyai karismatik memiliki karamah dan barakah, masuk akal jika kemudian Kyai tidak mengalami kesulitan dalam memobilisasi masa untuk menentang penjajahan Belanda. Pada abad ke-19, dengan spirit jihad dan spirit nativisme, revivalisme serta semangat anti-kolonial, para Kyai seringkali menjadi aktor utama dalam berbagai kerusuhan-kerusuhan sosial di Banten (Lubis 2004: 99). Kyai memiliki beragam peran sosialkeagamaan dalam masyarakat Banten. Hudaeri dalam bukunya Tasbeh dan Golok mendeskripsikan berbagai peran sosial-keagamaan Kyai, yaitu sebagai guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu hikmah atau ilmu gaib, dan muballigh (Hudaeni 2003: 66-70; Steenbrink 1984: 152-154). Kyai dengan ilmu agama dan kemampuan ilmu supernaturalnya (ilmu hikmat) menjadi tempat bersandar masyarakat Banten dalam memahami ajaran Islam, sekaligus menjadi tempat meminta pertolongan dan bantuan dalam mengatasi beragam persoalan praktis dengan menggunakan kemampuan supernatu-

170

ral yang dimiliki. Banyak Kyai hikmah dan Kyai karismatik tersebar di beberapa daerah di Banten (Ahmad 2006) yang selalu ramai dikunjungi, baik oleh masyarakat maupun dari luar Banten untuk sekedar bersilaturahmi, meminta do’a, barokah dan juga beragam ilmu magis. Beberapa Kyai yang dianggap sudah pada tingkatan wali, setelah meninggal pun masih dikeramatkan dan dipercaya oleh sebagian masyarakat Banten dapat memberi barokah bagi manusia yang masih hidup. Karena kepercayaan dan keyakinan semacam itulah, kuburan-kuburan dari para tokoh suci tersebut ramai dikunjungi oleh masyarakat, baik yang berasal dari Banten maupun dari luar Banten dengan beragam tujuan dan maksud. Untuk jenis mitos ini, saya ambil satu contoh mitos seorang tokoh keramat yang dianggap sebagai wali di Kampung Terumbu, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang, Banten, bernama Kyai Beji atau lebih dikenal dengan Wali Beji. Wali Beji menikah dengan salah satu putri jin Islam dan dikaruniai beberapa anak yang melahirkan anak-cucu sampai generasi sekarang. “Mitos ini menceritakan tentang perkawinan antara manusia (laki-laki) dan jin (perempuan). Yang laki-laki bernama Kiai Wali Beji, salah satu dari tangan kanan atau orang kepercayaan sekaligus juga muridnya Sultan Maulana Hasanuddin Banten yang ditugaskan dan diutus untuk mengislamkan orang – orang di Kampung Terumbu. Sedangkan yang perempuan adalah jin Islam (tanpa nama) yang harus rela menikah dengan Kiai Wali Beji karena selendang dan pakaian yang Ia lepas sewaktu mandi diambil oleh Kiai Beji, dan Ia tidak bisa kembali tanpa pakaian itu. Akhirnya kesepakatan pun dibuat sebelum pernikahan. Jin perempuan memberi satu syarat kepada calon suaminya bahwa setelah menikah nanti, suaminya tidak boleh ke dapur selama dia masak. Sedangkan Kiai Beji memberi syarat istrinya tidak boleh mengambil sendiri padi yang akan dimasak di lumbung. Setelah mereka sepakat dengan perjanjian itu, mereka pun menikah dan dalam waktu 12 tahun, mereka dikaruniai tiga orang anak yang tampan dan cantik. Sayang

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

sekali, setelah 12 tahun usia pernikahan, Kiai Beji melanggar syarat tersebut. Karena marah, jin itu pun melanggar janjinya dan pergi ke Lumbung Padi. Ternyata, di tempat inilah pakaian dan selendang sang putri jin disimpan oleh Kiai Beji. Setelah dia menemukan kembali pakaiannya, sang putri dengan terpaksa meninggalkan suami dan anak-anaknya, dan kembali ke kahyangan. Di akhir cerita, setelah melakukan berbagai ritual dan tirakat, akhirnya kedua pasangan itu pun bisa bersatu kembali, dan mempunyai keturunan sampai beranak cucu. Konon, disamping mempunyai istri dari bangsa jin, Ki Beji juga mempunyai istri dari bangsa manusia dan mempunyai keturunan dari istri keduanya ini. Ki Beji juga mewariskan sebagian ilmu-ilmu magisnya yang sebagian didapat dari gurunya Wali Terumbu kepada anak keturunannya, di antaranya adalah Ilmu Jaya Sempurna, Ilmu Jaya Nurbi, Ilmu Jaya Ja’far Sidik, Ilmu Jaya Aceh, Ilmu Jaya Sagulijang Jati, Ilmu jaya Timbuk, Ilmu Jaya Runcang, Ilmu Jaya baraja Musti, dll.” (Munawir, 12 November 2010).

• Mitos Tempat-Tempat Keramat Di Banten, banyak tempat-tempat keramat yang disakralkan oleh masyarakat Banten sendiri maupun oleh orang-orang dari luar Banten, salah satunya adalah Banten Lama. di Banten Lama terdapat makam Sultan Hasanuddin dan keluarganya. Di makam tersebut hampir setiap hari, khususnya malam Jum’at, selalu ramai dikunjungi oleh peziarah yang datang dengan beragam tujuan. Di tempat lain, juga terdapat mitos tentang kampung keramat di Kampung Petapan, Kibin, Serang. Secara singkat, diceritakan dalam mitos tersebut bahwa, ”Di kampung Petapan ini, terdapat tempat keramat yang konon katanya di tempat itu pada zaman dahulu digunakan sebagai tempat bertapa (meditasi). Orang yang bertapa itu masih ada dan hidup sampai sekarang, hanya saja hanya orang-orang yang mempunyai ilmu gaib yang dapat melihat orang yang sedang bertapa itu, sedangkan orang-orang biasa tidak dapat melihatnya.

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

Karena itu lah kampung tersebut disebut juga sebagai kampung Petapan karena adanya tempat bertapa. Diceritakan juga bahwa beberapa orang pernah melihat sesuatu yang gaib atau ganjil ketika melintasi tempat itu. Seorang sopir truk ketika sedang melintasi tempat itu melihat keris yang bercahaya terbang mengelilingi tempat bertapa itu. Ada juga yang pernah melihat sebuah makhluk mengerikan berwajah menyeramkan seperti monster dan masih banyak lagi kejadiankejadian ganjil yang pernah disaksikan warga di sekitar tempat itu. Oleh karena itu, tempat itu terlihat angker dan dikeramatkan oleh warga sekitar” (Dari, 13 Oktober 2010).

• Mitos Asal-Usul sebuah Tempat atau Desa Pada beberapa tempat atau desa, banyak mitos-mitos tentang asal-usul nama desa diyakini menjadi sejarah terbentuknya kampung atau desa tersebut. Masyarakat sangat yakin dengan cerita yang sudah diceritakan secara turun temurun itu. Salah satu contohnya adalah mitos tentang asal-usul nama sebuah Kampung Ciputri, di daerah Menes, Pandeglang, Banten, yakni sebagai berikut: ”Pada zaman dahulu kala, di tempat ini ada sebuah tempat pemandian yang airnya bersumber dari dalam tanah, airnya jernih dan sangat enak rasanya. Tempat ini digunakan oleh warga untuk mencuci, memasak, minum, dan untuk mandi. Ada cerita mitos yang berkembang tentang tempat pemandian ini. Diceritakan bahwa setiap hari Jum’at selalu ada bunga-bunga di atas kolam, seperti bekas orang mandi. Tidak ada seorang pun yang mengetahui siapa yang mandi pada malam Jum’at. Suatu hari ada warga yang melihat seorang perempuan cantik seperti putri sedang mandi dengan menggunakan bunga-bunga pada malam Jum’at. Karena takut, warga tersebut memanggil tetanggatetangganya dan menceritakan apa yang dia lihat. Karena penasaran dengan ceritanya, seluruh warga langsung mendatangi tempat itu, tapi sang putri sudah raib. Sejak itu, tempat pemandian itu disebut dengan Ciputri. Dan kolam pemandian itu dimitoskan dapat membuat orang terlihat lebih cantik atau

171

ganteng bagi siapa saja yang mandi di sana. Oleh karena mitos itu, banyak orang dari luar desa itu yang juga datang untuk mandi agar aura kecantikannya muncul” (Tamita, 6 Oktober 2010).

• Mitos Binatang Jadi-Jadian Dalam mitos Banten, ada berbagai mitos tentang binatang jadi-jadian yang dianggap dapat melindungi seseorang atau ba h ka n sebaliknya. Mitos tentang buaya putih, binatang jadi-jadian yang diyakini dapat memangsa siapa saja yang menyeberang di sungai tempat Ia bersemayam. Belum lagi mitos tentang macan atau harimau yang dahulunya menjadi binatang peliharaan atau pelindung Kyai, wali atau tokoh-tokoh keramat semasa hidupnya. Sebagai contoh, mitos harimau gaib yang berasal dari Desa Ciomas berikut: ”Diceritakan bahwa K.H. Halimy (w.1968), seorang Kyai karismatik yang memiliki ribuan santri di Desa Ciomas. Semasa hidupnya dipercaya memiliki harimau dari bangsa jin yang selalu mengikuti kemana pun Ia pergi. Setelah sang Kyai meninggal, diyakini bahwa sang harimau tersebut masih terus hidup dan berada di sekitar makam sang Kyai yang berada di area pesantren. Harimau itu juga diyakini sesekali bisa menampakkan dirinya pada saat-saat tertentu. Salah satu orang yang pernah melihat penampakan dari harimau gaib ini adalah informan yang melihat harimau itu muncul pada malam Jum’at di atas atap atau genteng madrasah yang bersebelahan dengan makam sang Kyai” (Hayati, 20 Agustus 2010).

• Mitos Roh-Roh Halus dan Makhluk Gaib Selalu ada mitos tentang hantu, jin, dan makhluk sejenisnya yang sering diceritakan oleh orang-orang tua pada setiap masyarakat di Indonesia. Cerita tentang wewe, dedemit, jintomang, buto ijo, dan lain sebagainya selalu muncul dalam pembicaraan dan gosip di masyarakat pedesaan. Salah satu contoh jenis mitos ini adalah mitos tentang Nyi Mayanti

172

dari Kecamatan Padarincang, Serang, Banten berikut: “Konon, menurut orang tua dulu, suatu saat nanti seluruh kampung akan mengalami kemarau panjang dan kekeringan. Semua sumur dan sumber air sudah tidak mengeluarkan air sama sekali. Satu-satunya sumber air yang masih mengeluarkan air adalah Cirahab (tempat pemandian di Kec. Padarincang). Maka orang-orang setiap hari berduyun-duyun pergi ke Cirahab untuk membawa air. Di tempat ini katanya ada makhluk penunggu dari bangsa halus yang bernama Nyi Mayanti. Makhluk jadi-jadian ini dipercaya akan menyesatkan warga yang banyak maksiat, dan akan membuat orang tersebut lupa daratan dan lupa untuk pulang, dan Ia akan dibawa ke dunia jin untuk dijadikan tumbal” (Sa’adah, 3 November 2010).

• Mitos Benda-Benda Keramat Di Banten, beberapa benda juga seringkali dimitoskan dan dikeramatkan memiliki kekuatan magis yang bisa dipergunakan untuk tujuan-tujuan praktis sehingga benda-benda semacam itu seringkali dicari orang. Dukundukun dan ahli-ahli hikmah juga kadang menawarkan benda-benda magis tersebut untuk memperoleh keuntungan finansial. Golok Ciomas merupakan contoh nyata sebuah benda yang kemudian mempunyai mitos, nilai sakral, dan dikeramatkan oleh masyarakat Ciomas dan masyarakat Banten pada umumnya, bahkan oleh orang-orang dari luar Banten. Golok itu diyakini hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu, cara pembuatannya pun tidak sembarangan dan harus ditempa dengan palu khusus, yaitu Palu si Denok. ”Alkisah di zaman kesultanan Banten, suatu ketika terjadi kehebohan yang luar biasa di istana. Telah lahir seorang bayi yang memilki sifat aneh. Konon bayi itu lahir dari seorang Ratu Jin Islam. Diceritakan bahwasannya bayi itu tidak bisa berhenti menangis dan tidak ada satu pun pengasuh

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

yang mampu menenangkan sang bayi. Seantero keraton kesaultanan pun dibuat geger dengan berita tersebut. Kemudian dibuatlah sayembara. ”Barang siapa yang bisa menenangkan si jabang bayi, dia lah yang berhak menjadi pengasuh.” Kemudian, banyak orang berbondong-bondong pergi ke keraton mencoba menenangkan si jabang bayi. Namun, tidak satu pun yang berhasil menenangkan sang bayi. Sampai kemudian datang seorang kakek-kakek yang bernama Ki Cengkuk atau Ki Gede, asal Ciomas, yang berhasil menenangkan tangisan sang bayi. Akhirnya sang bayi pun diasuh oleh Ki Cengkuk dengan penuh kasih sayang dan dibawa pulang ke kampung halamannya di Ciomas. Ketika dewasa, sang pemuda pun akhirnya mengetahui asal-usulnya. Dan dia memutuskan untuk mencari orang tua kandungnya di Kesultanan Banten. Sesampainya di istana, Sultan tidak bisa menerima begitu saja pengakuannya. Sultan pun memerintahkan pemuda itu untuk menebang pohon dengan cara meniupnya. Pemuda itu pun melakukan apa yang diperintahkan Sultan dengan mudah, pohon itu tumbang dengan sekali tiup. Orang-orang istana yang menyaksikan hal itu takjub dan heran, begitu juga dengan Sultan. Tetapi Sultan masih mau menguji kemampuan si pemuda itu. Sultan memerintahkannya untuk membangunkan kembali pohon yang sudah rubuh itu dengan posisi sedia kala. Pemuda itu pun kembali meniup pohon itu. Pohon itu pun seketika bisa tegak kembali sebagaimana sebelumnya dengan sekali tiup. Setelah menyaksikan apa yang dilakukan oleh pemuda itu, Sultan pun merangkul pemuda itu dan mengakui bahwa dia betul-betul putra kandungnya yang dulu dia titipkan kepada Ki Cengkuk. Berkat jasa-jasa Ki Cengkuk yang sudah merawat putranya dengan baik dan membekali ilmu kesaktian kepada putranya, Ki Cengkuk yang tinggal di Ciomas kemudian dipanggil ke istana untuk mendapatkan hadiah dari Sultan sebagai tanda terima kasih. Sultan menganugerahi Ki Cengkuk sebuah Godam atau Palu Besar yang dikenal dengan Godam atau Palu si Denok yang bisa dipergunakan untuk menempa besi untuk dijadikan Golok. Godam itu pun sepenuhnya menjadi

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

milik Ki Cengkuk dan keturunannya. Dan sampai saat ini, Godam si Denok ini masih dipegang oleh keturunan Ki Cengkuk, yang dipergunakan untuk membuat Golok Ciomas. Golok Ciomas ini terkenal memiliki kemampuan magis karena dibuat dengan cara dan ritual khusus, dan harus diusap atau ditempa dengan Godam si Denok yang dimiliki oleh keturunan Ki Cengkuk ini” (Numisa dan Mimi, 2 November 2010).

Mitos tentang kehebatan dan daya magis yang dimiliki golok Ciomas ini sangat terkenal, khususnya bagi masyarakat B a n t e n . D i c e r i t a k a n bahwa seseorang yang terluka akibat tebasan atau goresan golok ini tidak akan bisa disembuhkan dengan obat apa pun. Bahkan sekalipun hanya tergores sedikit, luka yang ditimbulkan akan semakin melebar dan ujungnya dapat menyebabkan kematian karena sulit disembuhkan. Oleh karena itu, suatu kebanggaan bagi masyarakat Banten jika memiliki golok Ciomas asli. Karena mitos itu, banyak orang-orang yang menjual golok Ciomas palsu kepada orang-orang yang tidak mengenal golok Ciomas asli. Orang Banten Memaknai Mitos Mitos berkaitan dengan sesuatu yang dipercaya sebagai hal yang sakral sehingga perlakuan terhadap sesuatu yang dianggap sakral, tentu akan berbeda dengan perlakuan terhadap sesuatu yang biasa (profane). Dalam melakukan aktivitas sosial keagamaan, terdapat tata cara tertentu yang harus dilakukan seperti yang tercantum dalam ayat-ayat suci (teks agama), maupun dalam nilai-nilai moral yang terkandung dalam norma masyarakat, norma adat serta cerita-cerita mitos yang mengandung pesan-pesan moral. Sebagian orang Banten, ketika ditanyakan tentang alasan mempercayai mitos, umumnya menjawab bahwa itu adalah cerita-cerita orang tua dulu yang pasti mengandung hikmah. Mereka takut terjadi sesuatu yang buruk jika mereka tidak mempercayai mitos tersebut. Bagi mereka, percaya kepada mitos merupakan

173

bagian dari penghormatan kepada roh-roh orang tua dan leluhur yang sudah meninggal, sekalig us juga di harapkan bisa member i berkah dan keselamatan bagi kehidupan mereka. Menurut mereka, orang-orang tua zaman dulu pada umumnya jujur, oleh karenanya kata-kata atau cerita mereka biasanya ada hikmahnya dan mengandung nasihat yang baik. Meskipun mayoritas masyarakat Banten tidak paham alasan atau rasionalisasi dari mitos-mitos yang mereka yakini, bahkan bagi orang-orang yang berpendidikan tinggi sekalipun, kepercayaan terhadap mitos masih cukup tinggi, terutama pada orang-orang tua yang tinggal di pedesaan. Hal ini bisa terindikasi melalui fenomena ziarah atau pun pergi tirakat ke tempat-tempat keramat pada waktu-waktu tertentu dengan berbagai maksud dan tujuan. Namun, terlepas dari ketidaktahuan mereka tentang makna dibalik mitos-mitos tersebut, keyakinan dan tradisi lisan itu masih terus hidup dalam budaya masyarakat Banten sampai saat ini. Kini, dengan semakin mudahnya akses informasi dan ilmu pengetahuan melalui pendidikan maupu kemajuan teknologi informasi yang semakin canggih, bukan tidak mungkin tradisi lisan ini sedikit demi sedikit hilang, tereliminasi oleh budaya-budaya baru (budaya modern) yang terserap sampai ke masyarakat pedesaan. Contoh konkrit dampak dari pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi bagi masyarakat Banten adalah mulai berkurangnya pengetahuan generasi muda, terutama anak-anak usia sekolah, yang mengetahui berbagai mitos yang ada di sekitar mereka. Mereka lebih suka menikmati berbagai program yang ada di televisi dengan berbagai jenis acara yang lebih mengedepankan hedonisme dan gaya hidup modern, bermain games, facebook dan jejaring sosial lainnya di internet, shopping ke supermarket dan mall yang semakin menjamur di daerah Banten, ketimbang mendengarkan dan mempercayai mitos-mitos dan tradisi-tradisi lainnya yang bersumber dari leluhur. Berbagai pantangan atau larangan atau

174

tabu serta mitos sudah mulai diabaikan dan ditinggalkan oleh sebagian masyarakat Banten karena sudah tidak lagi dianggap perlu dan relevan bagi masyarakat modern. Rasionalitas karena akses informasi, ilmu pengetahuan, dan pendidikan modern yang sudah meresap hingga ke masyarakat pedesaan, mulai membuat menipisnya nilai-nilai budaya lokal yang selama ini sudah menjadi identitas kultural masyarakat Banten. Meskipun di satu sisi perubahan ini cukup positif bagi kemajuan masyarakat Banten, namun di sisi lain perubahan paradigma dan gaya hidup juga dapat membuat masyarakat Banten tercerabut dari akar kulturalnya. Analisis Fungsi dan Peran Mitos di Banten Keberadaan mitos pada budaya Banten, sedikit banyak, mempunyai pengaruh bagi kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Banten. Mitos, dalam beberapa hal, juga memiliki fungsi dan peran yang cukup signifikan bagi masyarakat Banten. Fungsi dan Peran Mitos bagi Masyarakat Banten Dari hasil kajian beragam mitos yang tersebar di berbagai daerah di Banten, terdapat empat fungsi dan peran mitos bagi kehidupan sosial keagamaan masyarakat, yaitu: • Mitos berfungsi untuk mengukuhkan sesuatu Cerita yang ada dalam mitos memiliki peran dan fungsi penting untuk meng u k u h ka n sesuat u. Mitos tent ang Golok Ciomas, misalnya, dapat mengukuhkan citra-citra yang selama ini melekat pada masyarakat Ciomas yang dianggap keras, berani, sangar dan lain sebagainya. Mitos ini juga mengukuhkan image Jawara yang selama ini seringkali dikonotasikan sebagai sosok yang keras, berani, bertutur kata sompral, dan selalu memakai pakaian hitam dan membawa golok yang banyak terdapat di daerah Ciomas.

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

• Mitos berfungsi untuk menjaga identitas kultural dan solidaritas masyarakat Mitos seringkali memunculkan suatu perasaan emosional yang sama di antara masyarakat. Orang-orang yang berasal dari kampung atau desa yang sama, yang memiliki suatu mitos yang dipercaya dan diyakini bersama oleh seluruh masyarakat setempat akan menjunjung tinggi solidaritas dan kesatuan dimana pun mereka tinggal. Bahkan, ketika mereka sudah pindah ke tempat yang lain, mitos-mitos yang sebelumnya pernah mereka dengar dan pernah diceritakan oleh orang tua atau masyarakat dimana mereka sebelumnya tinggal, akan terus mereka bawa dan mereka yakini di tempat tinggal mereka sekarang. Mitos-mitos ini kemudian akan diceritakan ke generasi-generasi berikutnya sebagai bentuk solidaritas terhadap tempat Ia dilahirkan dan dibesarkan dan seringkali juga menjadi simbol identitas yang melekat pada seseorang yang tidak bersedia mengubah identitas kesukuannya sekalipun Ia sudah berpindah tempat ke tempat yang baru. Mitos tentang ilmu-ilmu magis yang banyak tersebar di daerah Banten, yakni mitos tentang kehebatan para Kyai karismatik yang tidak hanya mumpuni dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam ilmu magis. Mitos tentang benda magis seperti Golok Ciomas, semakin memperkuat stigma dan citra yang melekat pada masyarakat Banten yang dikenal berani, keras, neka, suka berantem, dan lain sebagainya. Stigma jawara juga selalu dilekatkan kepada masyarakat Banten. Oleh karena itu, seringkali masyarakat di luar Banten tidak berani berhadapan atau berkonflik dengan warga Banten karena stigma tersebut. Hal demikian, bagi sebagian masyarakat Banten menjadi kebanggaan dan prestige tersendiri yang perlu dipelihara dan dijaga. Identitas kultural yang bersumber dari mitos-mitos tersebut menjadi pengikat solidaritas dan penguat identitas masyarakat Banten. Seorang warga yang sudah bermigrasi ke daerah lain, selalu merasa

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

bangga jika Ia menyebut dirinya sebagai orang Banten. Ia masih merasa dirinya sebagai warga Banten yang memiliki identitas kultural yang khas yang melekat pada diri dan keturunannya. Hal ini seperti dituturkan oleh H.Syahroni Ali (52 tahun) dari Desa Daya Murni, Kecamatan Tulang Bawang, Lampung Utara. Menurutnya, “Saya sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Lampung bersama istri dan anak-anak saya. Tapi saya tidak pernah merasa sebagai orang Lampung karena saya dan istri lahir dan dibesarkan di Serang, Banten. Saya merasa bangga kalau menyebut diri sebagai orang Banten, begitu juga anak-anak saya yang lahir di Lampung lebih merasa bangga menyebut dirinya orang Banten. Oleh karena masyarakat di sekitar saya (di Daya Murni, Tulang Bawang, Lampung) mengetahui bahwa saya berasal dari Banten, mereka sangat menghormati dan segan kepada saya. Saya dianggap sebagai tokoh masyarakat dan sering diminta untuk menjadi imam mesjid, pembaca do’a, guru ngaji, dan bahkan pernah ada beberapa orang yang meminta ilmu magis ke saya. Orang Lampung di desa Daya Murni menganggap bahwa orang Banten itu pintar dalam hal ilmu agama, juga pandai dalam hal ilmu magis” (Syahroni dan Asy’ariah, 3 Juli 2013).4

• Mitos berfungsi untuk mempertahankan prestige dan status sosial Bagi sebagian masyarakat Banten, keberadaan mitos, terutama mitos tentang asalusul kampung serta mitos tokoh-tokoh suci dan sakral yang menjadi leluhurnya, atau mitos tokoh-tokoh keramat yang mempunyai pertalian darah atau hubungan keluarga dengan mereka dianggap dapat menjadi nilai tersendiri bagi mereka. Tidak jarang orang-orang yang berasal dari keturunan tokoh-tokoh sakral yang dimitoskan itu mendapatkan respect dan penghargaan yang lebih dari masyarakat, dan seringkali juga mendapatkan prestige dan sta4 Personal Komunikasi dengan H. Syahroni Ali (52 tahun) dan Hj. Asy’ariah (47 tahun), suami istri yang tinggal di Desa Daya Murni, Kecamatan Tulang Bawang, Lampung Utara. Percakapan ini dilakukan pada saat mereka berkunjung ke Serang Banten untuk menjenguk anak mereka yang kuliah di IAIN “SMH” Banten.

175

tus sosial yang tinggi di masyarakat. Apalagi jika mereka berasal dari keturunan seorang tokoh suci yang sudah mengislamkan masyarakat setempat. Kondisi semacam ini dapat dilihat pada cerita atau Mitos tentang Ki Beji atau Wali Beji di Terumbu di atas, yang keturunannya lah kemudian dipercaya menjadi pengurus makam keramat Ki Beji dan Ia juga dianggap sebagai tokoh terpandang dan orang yang dituakan oleh masyarakat setempat. Kesimpulan Mitos merupakan salah satu bentuk khazanah tradisi lisan yang banyak tersebar dan masih bertahan sampai saat ini di berbagai budaya masyarakat di seluruh dunia, tak terkecuali di Banten. Tradisi lisan ini seringkali dikaitkan dengan sesuatu yang sakral dan suci, dan dihubungkan dengan sesuatu yang bersifat supra-indrawi yang sulit dipahami dan dicerna oleh pemikiran logis, serta sulit dibuktikan dengan metode ilmiah dan penciptanya anonim. Mitos dianggap mengandung pesan dan nilai moral di dalamnya, oleh karena itu mitos dapat berfungsi untuk menjaga moral dan perilaku. Disamping itu, kepercayaan dan keyakinan terhadap kedua hal ini dapat menun-

jukkan bahwa modernitas dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang begitu pesat tidak serta merta mampu mengikis dimensi magis dan mistis dalam pola pemikiran dan pola tingkah laku masyarakat modern. Hal ini bisa diindikasikan berdasarkan fakta bahwa kepercayaan dan keyakinan terhadap mitos bukan hanya diyakini dan dipraktikkan oleh masyarakat awam, tetapi juga oleh masyarakat yang sudah mengenyam pendidikan tinggi. Beragam mitos tersebar dan masih diyakini dan ditradisikan secara turun temurun di sebagian masyarakat Banten. Berbagai kejadian dan aktivitas keseharian masyarakat Banten seringkali diliputi mitos. Mitos tentang tokoh suci dan keramat, tempat-tempat keramat, mitos tentang asal-usul tempat atau desa, mitos tentang bianatang jadi-jadian, mitos tentang makhluk halus, jin, hantu dan sejenisnya, dan mitos tentang benda keramat merupakan jenis-jenis mitos yang sering kita temui pada masyarakat Banten. Mitos sedikit banyak memilki fungsi dan peran tertentu bagi masyarakat Banten. Di antara fungsi dan peran mitos adalah untuk mengukuhkan sesuatu, untuk merombak sesuatu, untuk menjaga solidaritas dan kesatuan masyarakat, serta untuk mempertahankan status dan prestige sosial.

Referensi Ahmad, Athoullah, 2006 “Ilmu Hikmat di Banten”, Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah. Ali, Mufti, dkk. 2007 “Peran Tokoh Tarekat dalam Pemberontakan Muslim Banten 1926: Studi Kasus K.H. Abdul Hamid Ilyas Muhammad Muqri AL-Quty Labuan (1860-1959), tidak dipublikasikan, Serang: IAIN SMH Banten. Angrosino, Michael V., 2004 The Culture of the Sacred. Exploring the Anthropology of Religion, Illinois: Waveland Press,Inc. Azra, Azyumardi 2004 The Origins of Islamic reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries, Leiden: KITLV Press.

176

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

Bidney, David. 1976 Theoritical Anthropology. New York: Schocken Book. Bruinessen, Martin van 1995 Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan. Durkheim, Emile 1995 The Elementary Forms of Religious Life, New York: The Free Press. Eller, Jack David 2007 Introducing Anthropology of Religion. Culture to the Ultimate. New York and London: Routledge. Firth, Raymond 1958 Human Types, an Introduction to Social Anthropology. (peny,), New York: The New American Library,Inc. Frazer, S.J. George 1933 The Golden Bough: A Study in Magic and Religion, London: Macmillan. Hinnells, John R., (peny.). 1984 The Dictionary of Religious, London: Penguin Books Ltd. Hudaeri 2003 “Tasbih and Golok, Studi tentang Kharisma Kyai & Jawara di Banten,” Istiqra, Jurnal Penelitian Islam Indonesia 02(01). Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Islam. Ismanto, Gandung, (peny.). 2006 “Menemukan Kembali Jatidiri dan Kearifan Lokal Banten Bunga Rampai Pemikiran Prof. Dr. HMA. Tihami, MA., MM.” Serang: Biro Humas Setda Prov. Banten. Junus, Umar. 1981 Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan. Kartodirdjo, Sartono 1966 The Peasant Revolt of Banten in 1888: its conditions, course and sequel. (A case study of Social movements in Indonesia). ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Koentjaraningrat 2010 Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press. Lubis, Nina H. 2003 Banten dalam Pergumulan Sejarah. Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta: LP3ES. Madjid, Nurcholis. 2000 Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina. Malefijt, Annemarie de Waal. 1968 Religion and Culture. An Introduction to Anthropology of Religion. N.Y: The Macmillan Company.

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

177

Malinowski, Bronislaw 1955 Magic, Science, and Religion and Other Essays, New York: Doubleday Anchor Books. Mauss, Marcell 1972 A General Theory of Magic. New York: Routledge Classics. Michrob, Halwani, dan A. Mudjahid 2011 Catatan Masa Lalu Banten. cet.ke-2, Serang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten. Morris, Brian 2007 Antropologi Agama. Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer. cet.ke-2, terj. Imam Khoiri (Terj.). Yogyakarta: AK Group. Reinach, Salomon 1931 Orpheus: A History of Religions, London: George Routledge & Sons Ltd. Ricklefs, M.C. 2001 A History of Modern Indonesia since c. 1200, 3rd ed., N.Y.: Palgrave. Steenbrink, Karl A. 1984 Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang. Talens, Johan 1999 Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater: staatvorming, koloniale expansie en economische onderontwikkeling in Banten, West-Java 1600-1750, Hilvershum: Verloren. Taylor, Edward B., 1873 Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art, and Custom, 2nd ed., London: Bradbury,Agnew, & Co. Tjandrasasmita, Uka 2011 Banten Abad XV-XXI: Pencapaian Gemilang, Penorehan Menjelang. Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Tihami, dkk. 2012 Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah (RIPKD) Provinsi Banten. Serang: Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Banten. Tim Penyusun. 1998 Kamus Besar Bahasa Indonesia. cet.10. Jakarta: Balai Pustaka. Williams, Michael C. 1982 Sickle and Crescent: The Communist Revolt of 1926 in Banten, New York:Monograph Series in Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, no.61.

178

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

Wawancara Wawancara dengan Ust. Munawir (50 thn), Kp. Terumbu, Kasemen, Serang, 12 November 2010. Wawancara dengan Bpk. Dari (50 tahun), seorang sesepuh/tokoh masyarakat, Kp. Petapan, Ds. Negara, Kec. Kibin, Serang Banten. Wawancara tanggal 13 Oktober 2010. Wawancara dengan Rizki Yati Tarnita, 24 thn, (mahasiswa), Kp. Ciputri, Menes, Pandeglang, Banten. Wawancara, 6 Oktober 2010. Wawancara dengan Ibu Hayati (52 thn), Kp. Masigit, Ds. Ciomas, Padarincang, Serang, 20 Agustus 2010. Wawancara dengan Ibu Sa’adah, (57 thn), Kp. Sawah, Ds. Ciomas, Serang Banten, 3 November 2010. Wawancara dengan Nurnisa (23 thn), Ciomas, Serang Banten, 2 November 2010. Personal Komunikasi dengan H. Syahroni Ali (52 thn) dan Hj. Asy’ariah (47 thn), Serang, Banten, 3 Juli 2010.

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012

179

• Panduan Penulisan untuk Kontributor

• Guidelines for contributors

Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan budaya di Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari (Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik yang bersifat teoretis, maupun hasil penelitian etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat bagian. Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia; Kedua, Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keterlibatan penulis dengan masyarakat/komunitas, semisal program-program intervensi yang berhubungan dengan relasi kebudayaan, politik, lingkungan, dan pembangunan; Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terhadap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri. Artikel yang masuk masih akan disunting oleh Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi melalui email [email protected] dalam format program MS Word, spasi rangkap, dengan ukuran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor telepon. Sistematika penulisan harus dibuat dengan mencantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan (jika artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada bagian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Anthropologist Association) Style, dengan beberapa modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut abjad sebagai berikut:

Antropologi Indonesia was published to develop and enrich scientific discussion for scholars who put interest on socio-cultural issues in Indonesia. These journals apply peer-reviewed process in selecting high quality article. Editors welcome theoretical or research based article submission. Author’s argument doesn’t need to be in line with editors. the criteria of the submitted article covers the following types of article: first, the article presents the results of an ethnographic/qualitative research in certain topic and is related with ethnic/social groups in Indonesia; second, the article is an elaborated discussion of applied and collaborative research with strong engagement between the author and the collaborator’s subject in implementing intervention program or any other development initiative that put emphasizes on social, political, and cultural issues; Third, a theoretical writing that elaborates social and cultural theory linked with the theoretical discourse of anthropology, especially in Indonesia anthropology; last, the article is a critical review of anthropological reference and other ethnography books that must be published at least in the last 3 years. Submitted article will be selected and reviewed by editorial boards. The submission should be in soft copy format and must be sent to journal.ai@gmail. com in Ms Word file format, double spaces, with letter size paper. The length of the article should not exceed 5000 word. Please also attach abstract with maximum of 250 words length in English and Bahasa, and six keywords. Author should write their institution postal address and also the phone contact in first part of the article. Article should meet the following structures: introduction, supporting data and the ground of author argument (for articles that are theoretical or methodological should include theoretical discussion and literature study), and conclusion. All references in the articles should be neatly put in a proper format. Footnotes should be written on the bottom part of every page, do not put them at the end of article. Bibliography should follow the AAA (American Anthropologist Association) Style, with some adjustment as follow:

Geertz, C. 1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 246–274. Koentjaraningrat. 1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Manoppo-Watupongoh, G.Y.J. 1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia 18(51):64–74.

If it is a chapter in a book, or an article in a journal please give the title of book/journal and the page numbers. In the case of journal please give the Volume and issue number. e.g.

Gilmore, D. 1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of Masculinity. New Haven and London: Yale University Press.

Geertz, C. 1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pp.246–274.

Marvin, G. 1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of the Truly Male’, Anthropological Quarterly 57(2):60–70. copyright © 2010 ANTROPOLOGI INDONESIA Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Lantai 1, Gedung B, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424 Phone/Fax: +62 21 78881032 e-mail: [email protected]

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 33 NO. 3 2012

Makna Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten 159 Ayatullah Humaeni Kekuasaan Politik dan Adat Para Mosalaki

di Desa Nggela dan Tenda, Kabupaten Ende, Flores 180 J. Emmed M. Priyoharyono Politik Etnisitas dalam Pemekaran Daerah Fikarwin Zuska Pengelolaan Sumber Daya Laut Kawasan Terumbu Karang Takabonerate dan Paradigma Komunalisme Lingkungan Masyarakat Bajo Masa Lalu Munsi Lampe

203

216

Puisi Lisan Masyarakat Banda Eli Ketahanan Budaya di Maluku setelah Perang Pala 228 Timo Kaartinen