1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG KOTAK AMAL KINI

Download Kembali lagi dalam persoalan kotak amal. Kotak amal adalah alat. Lebih dari itu, amal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. 3. (KBBI) memil...

0 downloads 329 Views 290KB Size
BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Kotak amal kini mengisi hampir di setiap warung makan, baik warung

makan berskala kecil (warung burjo) hingga warung makan besar. Tidak hanya di warung makan, keberadaan kotak amal kini pun mulai menghiasi teras-teras toko serba ada hingga kotak amal yang diedarkan di jalan-jalan oleh beberapa orang dengan tujuan kemanusiaan. Kotak amal tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan lembaga amal. Hal ini disebabkan karena kotak amal tersebut pastilah berpemilik, yaitu lembaga amal. Pesatnya perkembangan kotak amal mengindikasikan bahwa pesat pula perkembangan organisasi amal. Lembaga amal kini terkesan berkembang sangat pesat. Pada beberapa kesempatan, lembaga amal mampu beriklan di media penyampaian berita seperti radio, surat kabar, dan televisi guna mendapatkan sumbangan. Sejarah mencatat bahwa lembaga amal sebelumnya juga pernah mengalami kemajuan pada periode 1870 sampai dengan 19001. Pada periode tersebut, Leiby (1984) menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang memengaruhi kebangkitan lembaga amal. Lembaga amal yang mengaitkan diri dengan sisi-sisi religi dengan mengambil simbolsimbol dan doktrin keagamaan dalam praktiknya mendapat simpati dari masyarakat, lebih lanjut, menurut Leiby, semangat yang ditonjolkan oleh lembaga 1

James Leiby, Charity Organization Reconsidered, Social Service Review, Vol. 58, No. 4 (Desember 1984), hlm. 523

1

amal adalah semangat kepedulian sehingga tidak sedikit dijumpai kata “love” atau “cinta sesama” dalam jargon-jargon lembaga amal. Kepedulian itu sendiri masih dibingkai dalam rasa religi yang kental. Hal ini dapat dilihat dari semangat kepedulian terhadap sesama yang diusung oleh lembaga amal merupakan cermin dari cinta terhadap Tuhan. Sehingga dapat dilihat bahwa keberadaan lembaga amal seolah-olah adalah upaya merealisasikan perintah keagamaan dan bentukbentuk ini sangatlah mencerminkan tradisionalitas. Leiby juga memberikan catatan bahwa lembaga amal yang dijumpainya berusaha membedakan amal dengan sedekah. Amal tidak dilihat seperti sekadar sedekah yang memberikan barang atau sesuatu yang memiliki nilai tukar. Amal dinilai sebagai sesuatu yang luas, lebih pada kepedulian untuk berbuat saling membantu dan saling berbagi. Akan tetapi, Jones2 (1911) memberikan kritik terhadap keberadaan lembaga amal. Keberadaan lembaga amal membuat masyarakat menjadi kurang produktif. Jones melihat lembaga amal dengan segala caranya menggunakan kemiskinan sebagai alat yang dapat digunakan untuk menarik simpati masyarakat yang memiliki kelebihan dalam urusan finansial untuk membantu mereka yang kekurangan. Keberadaan lembaga amal ini menyebabkan masyarakat memiliki etos kerja yang sangat rendah karena mereka hanya berharap pada bantuanbantuan yang berasal dari orang-orang yang memberikan sebagian hartanya melalui lembaga amal. Menurutnya, tingkat produktivitas masyarakat ini berdampak pada berkurangnya devisa negara. Ketika hal ini berlangsung terus2

Thomas Jones, Charity Organization, International Journal of Ethics, Vol. 21 No. 2 (Januari 1911) hlm. 165-178

2

menerus dan menjadi sebuah siklus, akan terjadi kerusakan sistemik dalam sistem perekonomian suatu negara sehingga negara gagal meningkatkan kemampuan ekonomi rakyatnya. Kembali lagi dalam persoalan kotak amal. Kotak amal adalah alat. Lebih dari itu, amal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia3 (KBBI) memiliki arti perbuatan (baik atau buruk). Lebih lanjut, menurut KBBI beramal adalah (1) suatu kegiatan memberikan sumbangan atau bantuan kepada orang yang tidak mampu dan organisasi sosial; (2) melakukan sesuatu yang baik; (3) berdoa, memohon kepada Tuhan. Pada pemahaman Islam, amal erat kaitannya dengan sedekah. Menurut Himawan dan Suriana (2013) setidaknya ada tiga pengertian sedekah yaitu bukti kebenaran iman, pemberian, dan harta yang dikeluarkan di jalan Allah. Mengenai bukti kebenaran iman, Himawan dan Suriana menjelaskan sebuah pendapat Imam Besar bernama Imam Nawawi yang menyatakan bahwa sedekah merupakan kebenaran imannya secara lahir dan batin sehingga sedekah disebutkan sebagai pembenaran dan kebenaran iman. Makna sedekah yang berarti pemberian, pada dasarnya sedekah adalah sesuatu yang diberikan pada orang lain, baik berupa barang maupun bukan barang, dan bersifat memberikan ketenangan dan kesenangan bagi si penerima. Sedangkan mengenai harta yang dikeluarkan di jalan Allah, Himawan dan Suriana menjelaskan dari sebuah pernyataan Raghib Al Asfahani yang menyamakan sedekah dengan zakat yaitu harta yang dikeluarkan dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah, namun berbeda dari segi hukum

3

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online kbbi.web.id/amal

3

dan cakupan harta yang tidak disebutkan secara spesifik, sedekah bersifat sunnah sedangkan zakat bersifat wajib. Senada dengan yang diutarakan oleh Himawan dan Suriana, Mawaddah (2013) mengatakan bahwa sedekah adalah mendermakan harta di jalan Allah. Harta di sini menurut Mawaddah lebih luas dari sekedar zakat. Menurut Mawaddah berdasar amal perbuatan baik, sedekah dapat berupa apa saja yang memberikan kebahagiaan pada orang lain. Mawaddah juga memberikan bentukbentuk sedekah yang menurutnya lebih luas dibandingkan zakat. Macam-macam sedekah itu antara lain, (1) tasbih, tahlil, dan tahmid; (2) amar ma’ruf nahi munkar yang artinya melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan; (3) hubungan suami istri; (4) bekerja dan memberi nafkah pada keluarga; (5) membantu urusan orang lain; (6) mendamaikan perselisihan; (7) menjenguk orang sakit; (8) berwajah manis atau memberikan senyuman; dan (9) berlomba-lomba dalam kebajikan. Berdasarkan KBBI, Himawan dan Suriana, Leiby, maupun Mawaddah dapat dilihat amal dan sedekah tidak hanya berarti sekadar materi. Lebih dari itu, jika disimpulkan amal dan sedekah adalah tatacara berperilaku yang baik dan berbagi dalam arti luas. Akan tetapi, kembali pada kotak amal, amal dan sedekah hanya dipandang sebatas persoalan sumbang-menyumbang. Kotak amal kini sangat mudah dijumpai di warung-warung makan, tempat pencucian baju komersial, hingga toko serba ada yang tersebar di Yogyakarta. Kotak amal tersebut berasal dari lembaga amal4, baik lembaga sedekah dan

4

Leiby membagi lembaga amal menjadi tiga ketegori yaitu lembaga amal sektarian, lembaga amal

4

lembaga sosial yang berasal dari masjid-masjid dan pesantren yang tidak berada di sekitar lokasi di mana kotak amal tersebut ditemukan. Lembaga amal keagamaan Islam kini sudah menjelma menjadi sebuah kotak. Kenyataannya, kotak amal yang dahulu keberadaannya terbatas pada lokasilokasi tempat ibadah kini sudah tersebar di ruang publik dengan tulisan-tulisan mengenai kepedulian atas sesama dan tidak jarang menulis janji-janji Tuhan pada labelnya. Selain itu, akhir-akhir ini marak pula muncul buku-buku bertemakan sedekah dan amal yang ditulis oleh banyak orang dari yang berstatus ustaz, enterpreneur, hingga guru ngaji. Buku-buku tersebut memistifikasi sedekah dengan mengaitkan sumber-sumber kitab suci dan melulu tentang masalah perekonomian yang menyatakan bahwa dengan bersedekah akan meningkatkan dan membuat penghasilan si penyedekah bertambah berkali-kali lipat. Sedekah seolah-olah menjadi janji pamungkas dari Tuhan untuk memberikan tambahan rezeki bagi mereka yang ingin mapan secara finansial. Hal ini bisa saja memberikan legitimasi posisi kotak amal yang berada di ruang publik. Dengan gambaran seperti itu, kotak amal menemui ruang permasalahannya. Kotak amal yang dahulu diedarkan di dalam ruang-ruang peribadatan, kini diedarkan di ruang-ruang publik. Kotak amal yang dahulu diisi dan digunakan oleh jamaah di dalam tempat peribadatan dengan transparansi yang jelas melalui mekanisme pengumuman diawal sebelum melakukan ibadah, kini diisi oleh orang yang entah di mana diisinya, dari mana datangnya, dan digunakan oleh siapa tanpa ada transparansi yang jelas. Maraknya kotak amal yang beredar di ruang-

sentimentalis, dan lembaga amal dengan motif politik.

5

ruang publik menjadi perhatian bagi Adnan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Adnan5, uang kotak amal yang beredar di Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar Rp. 269,9 Milyar. Menurutnya, dana kotak amal yang banyak itu menjadi tidak produktif karena tidak ada yang memanfaatkan.

1.2.

Rumusan Masalah Studi ini difokuskan pada kotak amal yang diedarkan oleh lembaga sosial

keagamaan Islam. Berdasarkan uraian yang sudah ditulis di atas, melalui penelitian ini saya mengajukan rumusan masalah sebagai berikut. 1. Mengapa lembaga-lembaga sosial keagamaan Islam menggalang pengumpulan dana sosial melalui kotak amal yang disebarkan di ruang publik yang bersifat inklusif? 2. Bagaimana strategi lembaga sosial keagamaan Islam menyebarkan kotak amal untuk mendapatkan dana sosial? 3. Bagaimana penggunaan dana sosial dari kotak amal? Mengambil lokasi di lembaga sosial keagamaan di Yogyakarta, penelitian ini ingin menjawab beberapa pertanyaan tersebut.

5

Muhammad Akhyar Adnan mengenai hasil penelitiannya berjudul “An Investigation of the Management Practises of the Mosque In The Special Region of Yogyakarta Province, Indonesia”, dimuat dalam Koran Republika 6 Februari 2013.

6

1.3.

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dengan kajian ekonomi

politik keberadaan kotak amal yang disebarkan oleh lembaga keagamaan Islam yang berada di ruang publik di Yogyakarta. Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan tentang kecenderungan keberadaan kotak amal yang disebarkan oleh lembaga keagamaan Islam di ruang publik. 2. Mengembangkan konsep yang bisa menjelaskan gejala meluasnya penggunaan kotak amal untuk mendapatkan dana-dana guna kepentingan sosial.

1.4.

Tinjauan Pustaka Menyimak berbagai kajian pustaka dapat diketahui bahwa masih sedikit

studi yang memperhatikan tentang penggalangan dana melalui kotak amal. Belum banyak peneliti yang tergerak untuk meneliti mengenai kotak amal, terutama untuk menjelaskan fenomena apa yang melatarbelakangi maraknya kemunculan kotak amal di ruang publik. Beberapa studi bahkan hanya membicarakan yang sifatnya umum. Sehingga kita mencoba menarik kajian pustaka dari kecenderungan lembaga mencari dana publik. Dalam lingkup yang lebih besar, kotak amal merupakan alat dari lembaga amal dalam mendapatkan donasi untuk dapat membantu orang yang membutuhkan. Penelitian yang cukup komprehensif mengenai lembaga amal sudah dilakukan oleh James Leiby dalam tulisannya yang berjudul “Charity

7

Organization Reconsidered” (1984). Dalam analisisnya, Leiby mencoba melihat motif ekonomi politik yang melatarbelakangi munculnya lembaga amal. Lebih dalam, Leiby “menelanjangi” gerakan amal melalui cara-cara yang digunakan untuk mendapatkan simpati sehingga dapat menarik sumbangan sebesarsebesarnya guna membantu sesama. Lembaga amal memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan sisi-sisi religi (nilai-nilai keagamaan). Hubungan yang erat antara lembaga amal dengan nilai-nilai religius tidak terlepas dari simbol-simbol dan doktrin keagamaan yang digunakan lembaga amal dalam praktiknya mencari simpati masyarakat. Meskipun menggunakan simbol-simbol keagamaan, lembaga amal mencoba membedakan amal dengan sedekah. Amal dilihat tidak sekadar seperti sedekah yang memberikan barang atau sesuatu yang bernilai tukar. Amal adalah sesuatu yang luas, kepedulian untuk berbuat saling membantu, hubungan saling berbagi antara si subyek penolong dan yang dibantu. Merunut pada semangat beramal yang merupakan kepedulian, maka lebih dalam organisasi amal melihat ada “cinta” dalam amal. Cinta itu sendiri dalam analisis Leiby tidak terlepas dari nilai-nilai religi keagamaan. Hal ini dapat dilihat dari argumen yang disampaikan oleh Leiby mengenai kecintaan terhadap Tuhan hendaknya dinyatakan dalam kecintaan terhadap sesama. Leiby membagi lembaga amal yang memiliki fungsi spesifik tersebut ke dalam tiga kategori, yaitu lembaga amal sektarian, lembaga amal sentimentalis, dan lembaga amal politik. Ketiganya dibedakan berdasarkan doktrin yang digunakan dalam menjalankan lembaga amal. Lembaga amal sektarian lebih menekankan dalam dakwah dan pertemuan-pertemuan untuk saling membantu

8

sesama anggota yang sealiran/sesekte. Lembaga amal sentimentalis lebih bersifat plural dengan menekankan pada siapa saja yang butuh bantuan wajib dibantu tanpa pandang latar belakang. Sedangkan lembaga amal politik sepertinya gabungan antara sektarian dengan sentimentalis, dengan dasar pandangan politik yang sama tanpa melihat latar belakang suku, agama, ras, dan golongannya. Akan tetapi, ketiganya tetap memiliki kesamaan yaitu motif ekonomi politik yang melatarbelakanginya. Kesemuanya berusaha meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan ekonomi dengan subsidi silang dari si mampu kepada yang membutuhkan. Inilah yang menurut Leiby menjadi kekuatan dari lembaga amal. Dengan meningkatkan rasa saling memiliki dan ingin berbagi, lembaga amal mampu menciptakan relasi-relasi yang lebih kuat sekaligus tidak kaku baik pada tingkat keluarga maupun komunitas. Permasalahan mengenai amal yang dikemukakan Leiby menyangkut tingkat keimanan, etika, dan agama dari suatu sistem masyarakat. Berbeda dengan Leiby, pada tulisannya yang berjudul “The Role of Religiosity in Business and Consumer Ethics: A Review of The Literature”, Scott J. Vitell (2009) mencoba menjelaskan keimanan dan hubungannya dengan persoalan

etika.

Vitell

mencoba

menjelaskan

hal

tersebut

dengan

mengomparasikan teori-teori mengenai keimanan, etika, dan agama yang sudah terlebih dahulu ada dan ditulis para ahli. Vitell mencoba mengemukakan pandangannya dengan membaginya pada empat bahasan yaitu, pengertian keimanan dan moral; penentuan tingkat keimanan; pengaruh keimanan terhadap filosofi moral, norma, dan intensitas moral; dan pengaruh keimanan terhadap etika

9

berpendapat. Pada bahasan ini, keimanan dan agama dinilai sangat memengaruhi konstruksi moral dan etika dalam berperilaku. Berdasarkan hasil komparasi teori, Vitell berpendapat bahwa dalam keimanan terbagi menjadi dua, yaitu keimanan intrinsik dan keimanan ekstrinsik (Allport dalam Vitell, 1950). Keimanan intrinsik yaitu keimanan yang berpatokan pada suatu agama tertentu untuk hubungan spiritual (bersifat vertikal). Keimanan ekstrinsik yaitu keimanan yang berpatokan pada suatu agama tertentu dengan tujuan mendapatkan kehidupan keduniawian dalam bidang sosial atau dalam bidang perekonomian (bersifat horisontal). Kedua jenis

keimanan

tersebut

ternyata

memiliki

dampak

terhadap

dimensi

internasionalisasi dan dimensi simbolisasi (Aquino dan Reed dalam Vitell, 2002). Dimensi internasionalisasi adalah upaya untuk mementingkan diri sendiri, sedangkan dimensi simbolisasi adalah berdasar atas moral sosial. Keimanan intrinsik akan mewujudkan dimensi internasionalisasi dan dimensi simbolisasi dari identitas moral, sedangkan keimanan ekstrinsik akan mewujudkan dimensi internasionalisasi dan arah negatif. Korelasi pendapat Vitell dengan perilaku beramal yaitu terletak bagaimana keimanan, agama, dan moralitas bekerja dalam membentuk masyarakat yang sadar akan pentingnya menyisihkan sebagian dari harta mereka untuk membantu sesama. Keimanan, agama, dan moralitas mengkonstruksikan pemikiran masyarakat bahwa “cinta” kepada Tuhan yang diwujudkan dengan membantu sesama dibentuk dari suatu konsep ketaatan. Ketaatan tersebut baik merupakan bagian dari keimanan ekstrinsik maupun ketaatan yang bersumber pada keimanan intrinsik.

10

Mengenai mekanisme pemberian bantuan, Harold J. Lloyd dan Harold F. Breimyer memiliki sebuah pandangan. Dalam tulisannya yang berjudul “Food Donation” (1969), Lloyd dan Breimyer melakukan analisis kritik terhadap kebijakan sosial pada pemerintahan Presiden John F. Kennedy mengenai donasi makanan kepada sesama. Menurutnya, secara semangat donasi makanan dinilai sangat baik. Semangat berbagi dan kepedulian sesama terhadap masyarakat yang tidak seberuntung dari kelas lainnya. Akan tetapi, muncul permasalahan ketika negara melakukan kebijakan ini (memberikan donasi berupa makanan) dan ternyata tidak semua masyarakat yang perlu dibantu memerlukan bantuan makanan. Hal ini didasari atas kebutuhan setiap manusia berbeda-beda dan tidak semua kekurangan berada pada kekurangan makanan. Meskipun dalam hal pemerataan gizi dan kesehatan (mencegah penyakit), bantuan makanan masih yang terbaik. Hal selain makanan juga perlu mendapat kepastian, seperti jaminan atas rasa aman, kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Oleh sebab itu, dalam pandangan mereka kebijakan donasi makanan ini dirasa kurang tepat. Mereka berpendapat, lebih baik memberikan donasi berupa uang yang mampu dipergunakan sebagaimana kebutuhan yang mendesak bagi masyarakat miskin ini. Karena kembali lagi pada kebutuhan hidup manusia berbeda-beda. Amal diartikan sendiri dalam Islam. Sedekah adalah sebutan yang paling erat dengan amal. Lu’lu’ Mawaddah menjelaskan amal dalam bentuk sedekah dalam pemahaman Islam pada bukunya yang berjudul The Power of Sedekah (2013). Sedekah diartikan secara luas dalam bentuk perbuatan baik. Perbuatan

11

baik yang dimaksud adalah berbuat yang menyenangkan dan dapat membantu orang lain yang sedang mendapatkan kesusahan. Mawaddah memaparkan bentukbentuk sedekah6 (2013:14-18) dan etika bersedekah7 (2013:69-74) yang menegaskan bahwa sedekah adalah representasi seseorang atau kelompok memiliki tanggung jawab moral dan material terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya dalam pemahaman Islam. Untuk dapat mengikat bahwa seseorang atau kelompok tersebut memiliki tanggung jawab moral dan material terhadap lingkungannya, sedekah dikaitkan sebagai jalan menuju nasib yang lebih baik sesuai janji Tuhan. Secara tidak langsung, sedekah dalam pemahaman Islam menurut penjelasan Mawaddah adalah bentuk dari upaya-upaya memerbaiki nasib secara komunal dengan pola menabung dalam jangka waktu yang lama. Candra Himawan dan Neti Suriana dalam bukunya yang berjudul “Sedekah, Hidup Berkah Rezeki Melimpah” memiliki pandangan sedikit berbeda dari Mawaddah (2013). Secara garis besar, Himawan dan Suriana sepaham dengan Mawaddah yaitu sedekah sebagai perwujudan perbuatan yang baik. Akan tetapi, Himawan dan Suriana lebih memusatkan bahwa sedekah harus diwujudkan dalam bentuk material. Himawan dan Suriana menilai sedekah lebih baik berbentuk material karena langsung dapat dimanfaatkan oleh yang menerima sedekah. Lebih

6

Bentuk-bentuk sedekah tersebut adalah Tasbih, Tahmid, dan Tahlil; Amar Ma’ruf Nahi Munkar; hubungan suami istri; bekerja dan memberi nafkah pada sanak keluarga; membantu urusan orang lain; mendamaikan perselisihan; menjenguk orang sakit; berwajah manis atau memberikan senyuman; dan berlomba-lomba dalam kebaikan. 7 Etika bersedekah tersebut adalah meluruskan niat; harus dari harta yang halal; sedekah dengan harta yang paling dicintai; mendahulukan kerabat dekat; jangan sembarangan memberi kepada orang lain; menyembunyikan sedekah; keluarkan sedekah walaupun sedikit; tunaikan zakat yang wajib; lembut kepada fakir miskin dan jangan diungkit-ungkit; dan jangan rakus dengan harta.

12

dalam, Himawan dan Suriana membahas mengenai pentingnya bersedekah dengan material terutama uang (2013:40-43). Uang dianggap penting dalam bersedekah karena uang bersifat universal, paling mudah dan memiliki bentuk yang paling efisien, dan alat tukar yang sah. Hal ini senada dengan pandangan Lloyd dan Breimyer (1969). Himawan dan Suriana menguatkan argumennya dengan memperlihatkan bagaimana sedekah membuat seseorang yang melakukannya tidak akan jatuh miskin akan tetapi menjadi lebih memiliki kekuatan ekonomi dengan menampilkan cerita-cerita keberhasilan bersedekah. Upaya ini seperti mencoba membangun konstruksi alam bawah sadar supaya kesadaran bersedekah bisa muncul tanpa harus diminta atau tanpa paksaan dan merupakan tanggung jawab moral dari seseorang atau kelompok atas keadaan ekonomi masyarakat di sekitarnya karena setiap perbuatan akan mendapat timbal balik (resiprositas) sebagai konsekuensi atas perbuatan yang dilakukan. Berdasarkan pandangan-pandangan yang ditemukan dalam karyanya, tulisan Himawan dan Suriana ini lebih memunculkan aspek ekonomi yang dijadikan landasan berpikir dalam melakukan kegiatan bersedekah. Studi mengenai ruang publik sudah dilakukan oleh Jurgen Habermas dalam bukunya yang berjudul “The Structural Transformation of The Public Sphere: An Inquiry into a category of Bourgeois Society”8. Ruang publik dikatakan sebagai ruang (kondisi-kondisi) yang memungkinkan para warga negara (privat sphere) datang bersama-sama mengartikulasikan kepentingan-kepentingannya untuk membentuk opini dan kehendak bersama yang diskursif (1993:27,176). Habermas 8

Jurgen Habermas. 1993. The Structural Transformation of The Public Sphere: An Inquiry into a category of Bourgeois Society. Cambridge. MITT Press.

13

menjelaskan lebih lanjut mengenai kondisi-kondisi yang dimaksud adalah (1) semua warga negara yang mempu berkomunikasi, memiliki hak yang sama dalam berpartisipasi di ruang publik; (2) semua yang ikut berpartisipasi di ruang publik memiliki peluang yang sama untuk mencapai kesepakatan yang adil dan memperlakukan rekan komunikasi sebagai pribadi yang otonom dan bertanggung jawab, bukan sebagai alat yang dipakai untuk kepentingan tertentu; (3) adanya aturan bersama yang melindungi proses dalam berkomunikasi dari tekanan, gangguan, dan diskriminasi, sehingga argumen lebih otonom dapat dijadikan sebagai dasar diskusi (1993:36-37). Konsep ruang publik yang diajukan oleh Habermas memang sangat mengakomodir penjelasan mengenai ruang dalam perspektif politis. Akan tetapi secara keseluruhan berdasarkan konsep ruang publik yang diajukan oleh Habermas, dapat dilihat bahwa ruang publik memiliki ciri yang inklusif, egaliter (setiap orang yang berpartisipasi memiliki kedudukan yang sama dan memiliki kesempatan yang sama dalam menyampaikan pendapat), dan bebas dari tekanan baik dari luar maupun dari dalam. Ruang publik inilah yang dimanfaatkan oleh lembaga keagamaan Islam dalam penyebaran kotak amal untuk mengumpulkan dana sebagai perwujudan dari upaya redistribusi. Ruang publik muncul dalam bentuk ruang-ruang untuk berkumpul dan bertemu untuk berkomunikasi seperti warung makan, salon, teras toko serba ada, hingga di jalan-jalan. Penelitian mengenai kotak amal dijelaskan oleh Yoram Bar-Gal dalam tulisannya yang berjudul “The Blue Box and JNF Propaganda Maps, 1930-1947” (2003). Tulisan ini menjelaskan bagaimana kotak amal yang dimotori oleh Jewish

14

National Fund (JNF) menjadi alat untuk mengumpulkan sumbangan sekaligus menjadi alat propaganda dan hegemoni yang dilakukan orang-orang Yahudi dalam perjuangannya mendapatkan tanah untuk mendirikan negara Israel. Kotak amal yang disebut blue box ini dijadikan alat propaganda dengan cara disebarkan ke seluruh negara di Eropa dan Amerika yang menjadi domisili masyarakat Yahudi. Kekuatan dari kotak amal ini adalah desain luarnya yang digambarkan peta rekaan wilayah Israel di daerah yang berdampingan dengan Palestina. Tujuan dari propaganda gambar peta yang ada di kotak amal tersebut adalah (1) menasionalisasikan lahan, (2) menandai lahan Israel. Propaganda ini berhasil menghegemoni keberadaan Israel di mata dunia9 dan mendatangkan investor (kaum Yahudi kaya) untuk membeli lahan masyarakat yang kini menjadi wilayah Israel. Keberadaan kotak amal yang dipelopori oleh JNF tersebut dan penyebarannya ke seluruh daerah yang didiami orang-orang Yahudi memiliki kemiripan dengan pola penyebaran kotak amal yang dilakukan oleh lembagalembaga amal di Indonesia saat ini. Selain itu, untuk dapat menyerap dana yang besar perlu adanya penyebarluasan informasi. Jika melihat pada masa blue box, penyebarluasan informasi melalui kotak amalnya sendiri yang diberikan peta wilayah Israel, sedangkan pada masa sekarang dilakukan berbagai cara. Penyebarluasan kotak amal pada tempat-tempat umum hingga memasang iklan di media cetak maupun elektronik dengan pesan moral kepedulian untuk membantu sesama dan pembangunan rumah ibadah adalah cara pengenalan yang menjadi 9

Memenangkan berbagai perundingan mengenai sengketa lahan karena hanya peta tersebut yang menjadi rujukan.

15

andalan. Penelitian yang melihat adanya hubungan kuat antara kemiskinan dengan keberadaan lembaga amal dilakukan oleh Thomas Jones melalui tulisannya yang berjudul “Charity Organization” (1911). Bahwa keberadaan lembaga amal tidak terlepas dari kemiskinan. Jones menjelaskan bahwa amal juga dapat menyebabkan kemiskinan. Dikatakannya, beramal yang membabi buta dapat membuat kemalasan masyarakat yang jika berlangsung terus menerus akan menjadikannya sebuah sistem. Kemiskinan kini menjadi komoditi yang dapat diperdagangkan melalui hukum dan amal. Amal, menurut Jones adalah salah satu penyebab kemunduran moral dari suatu masyarakat. Masyarakat juga memiliki etos kerja yang sangat rendah sehingga mereka hanya bergantung pada rumah-rumah penampungan. Dengan kata lain, maraknya lembaga amal yang menyalurkan bantuan secara cuma-cuma kepada masyarakat membuat masyarakat malas untuk berkembang sehingga mengakibatkan penurunan etos kerja yang berdampak pada kemunduran suatu negara. Menurut Jones, negara sebaiknya menegakkan hukum yang mengatur keberadaan lembaga amal dan atau pemberian amal, lebih membuat stimulus-stimulus supaya masyarakat meningkatkan produksinya, dan pemberian hak-hak yang sepadan pada minoritas. Secara umum, studi-studi mengenai amal dan ruang publik di atas dapat menuntun arah penelitian. Studi-studi tersebut di atas menjelaskan cara lembaga amal menggalang dana di ruang publik dengan melekatkan upaya mereka dengan simbol-simbol keagamaan supaya dapat menarik keinginan masyarakat untuk

16

menyumbang. Lebih lanjut, simbol-simbol keagamaan tersebut tercermin dalam hubungan antara moral, keimanan, dan etika dari suatu sistem masyarakat. Persoalan moral, keimanan, dan etika yang terkonstruksi dalam suatu sistem masyarakat yang diidentikkan dengan keagamaan inilah yang disasar oleh lembaga amal untuk mendapatkan legitimasi dalam meneguhkan kedudukannya sebagai perantara dalam mewujudkan cinta kasih terhadap Tuhan. Lembaga amal bertransformasi menjadi religius dalam melaksanakan misinya. Seperti di Jawa, lembaga amal lebih dikenal sebagai lembaga keagamaan Islam. Amal yang disumbangkan berupa dana-dana segar meskipun secara harfiah dan dalam keagamaan Islam amal berarti perbuatan. Amal yang menyumbangkan bantuan di dalam Islam lebih dikenal sebagai sedekah meskipun dalam praktiknya uang menjadi hal pokok dalam pemberian sedekah. Hal ini dijelaskan dalam beberapa studi bahwa kebutuhan setiap orang berbeda-beda sehingga cara termudah untuk dapat berbuat untuk meringankan penderitaan seseorang adalah dengan menyumbangkan dana segar untuk dapat dimanfaatkan dan diolah menjadi sesuatu yang penting demi memenuhi kebutuhan mereka. Uang dianggap penting dalam bersedekah karena uang bersifat universal, paling mudah dan memiliki bentuk yang paling efisien, dan alat tukar yang sah. Penarikan sumbangan oleh lembaga amal bukannya tanpa kritik. Pada sebuah studi, kritik dilancarkan sangat keras mengenai penarikan sumbangan karena dinilai tidak mendidik dan justru mempertahankan kemiskinan itu sendiri bahkan meningkatkan jumlah orang miskin. Argumennya yaitu beramal yang membabi buta dapat membuat kemalasan masyarakat bertambah yang jika berlangsung

17

terus menerus akan menjadikannya sebuah sistem. Pola lembaga amal dalam mencari sumbangan bervariasi. Sebuah studi menjelaskan pencarian sumbangan melalui kotak amal sudah pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi untuk dapat membeli tanah yang wilayahnya kini menjadi negara Israel. Orang-orang Yahudi menyebarkan kotak amal dengan bergambar peta wilayah Israel ke sesama orang Yahudi di berbagai negara di Eropa dan Amerika. Peristiwa ini mungkin yang menginspirasi maraknya kotak amal yang disebarkan di ruang publik oleh lembaga keagamaan Islam di Indonesia. Jika dirangkum dan diintisarikan, studi-studi tersebut akan sangat menarik jika dibahas, sayangnya studi-studi tersebut berdiri secara otonom. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan guna menjelaskan mengenai gejala yang terjadi dan kecenderungan dari maraknya kotak amal yang disebarkan di ruang publik oleh lembaga sosial keagamaan Islam dengan pandangan dari berbagai studi yang tergabung dalam tinjauan pustaka yang menjadi dasar menentukan arah penelitian.

1.5.

Landasan Teori Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi ekonomi dalam

membahas fenomena penyebaran kotak amal di ruang publik. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori hegemoni dan teori agen dan struktur. Diawali dari pendapat Gramsci bahwa kelas sosial akan mendapatkan keunggulan melalui dua cara, yaitu paksaan atau dominasi dan kepemimpinan intelektual dan moral. Kepemimpinan intelektual dan moral ini yang disebut Gramsci sebagai hegemoni. Jika pemerintahan ingin langgeng dan efektif, maka

18

jalan yang ditempuh adalah meminimalisir resistensi dari rakyat. Oleh sebab itu, pemerintah haruslah menciptakan ketaatan yang spontan dari rakyat kepadanya. Hegemoni secara sederhana adalah dapat dilihat sebagai upaya yang dilakukan untuk menggiring orang atau masyarakat supaya menilai dan memandang problematika sosial dengan kerangka yang sudah ditentukan. Secara prinsip, hegemoni lebih menekankan pada kemenangan yang dilakukan melalui konsensus. Hal ini berbeda dengan konsep dominasi yang lebih menekankan pada paksaan terhadap kelas sosial lainnya. Pada konsepnya ini, Gramsci merujuk pada pengertian tentang situasi sosial politik, dalam terminologinya “momen”, dimana praktik sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang (Patria dan Arief, 2009). Dominasi dijelaskan sebagai realitas yang menyebar melalui masyarakat baik lembaga maupun perseorangan, pengaruhnya adalah pembentukan moralitas yang ada di relasi sosial. Sedangkan hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai kelas diktator dan merujuk pada kedudukan ideologi satu atau lebih kelompok atas kelas dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi dari lainnya. Hegemoni dibangun atas konsensus-konsensus. Konsensus, oleh Gramsci dikaitkan kepada sesuatu spontanitas dalam hal penerimaan terhadap peraturanperaturan yang bersifat sosiopolitis. Hal ini disebabkan hegemoni tidaklah perlu dilembagakan, melainkan berdasar atas totalitarianisme dalam arti ketat. Ada tiga penyesuaian dalam hegemoni, yaitu karena terbiasa, karena terbiasa dan kesadaran, dan persetujuan. Kemunculan konsensus bukan karena kelas yang terhegemoni menganggap struktur sosial yang ada sebagai keinginan mereka,

19

sebaliknya hal tersebut bisa terjadi karena kurangnya basis konseptual yang membentuk kesadaran yang memungkinkan mereka memahami realitas sosial secara efektif (Patria dan Arief, 2009;126-127). Dua hal yang bisa memperkuat kedudukan hegemoni suatu kelas terhadap kelas lainnya, yaitu pendidikan dan mekanisme kelembagaan. Pendidikan dianggap salah satu cara memperkuat hegemoni karena dianggap tidak memberikan peluang berpikir kritis, sedangkan mekanisme kelembagaan seperti (lembaga keagamaan, partai, dan media massa) menjadi “tangan-tangan” pihak berkuasa untuk menentukan ideologi yang digunakan. Melalui dua hal tersebut kaum yang berkuasa mencoba membuat konsensus yang samar-samar guna menghegemoni. Pada tataran yang lebih lanjut, intelektual memiliki peran sentral dalam upaya penghegemonian. Peran intelektual ini dalam hegemoni meliputi fungsi “organisasional dan konektif” baik dalam masyarakat sipil maupun dalam lingkup masyarakat politik (Sassoon dalam Patria dan Arief, 2009). Gramsci membagi dua keterlibatan intelektual dalam penghegemonian, yaitu intelektual organik dan intelektual tradisional. Intelektual organik adalah intelektual yang berasal dari kalangan organik, hal ini dicontohkan Gramsci dalam pola produksi. Intelektual organik muncul dari kalangan yang memiliki keterlibatan langsung dengan proses produksi. Sedangkan intelektual tradisional adalah intelektual yang berdiri secara independen dari pengaruh kelompok sosial yang dominan. Intelektual tradisional meliputi pemuka agama, artis, dan seniman. Dalam teori agen dan struktur, praktik sosial merupakan bentuk konkrit dari

20

habitus, modal, ranah. Bourdieu mengkuasi-matematika secara singkat teorinya tersebut dalam hubungan (habitus x modal) + ranah = praktik sosial. Untuk bisa menjelaskan praktik sosial, perlu membahas mengenai habitus, modal, dan ranah. Habitus secara literer adalah salah satu kata dalam bahasa Latin yang mengacu pada kondisi, penampakan atau situasi yang tipikal atau habitual, khususnya pada tubuh10. Habitus adalah struktur mental seseorang yang dengannya mereka saling berhubungan11. Pada posisi ini, habitus muncul karena adanya proses internalisasi struktur sosial ke dalam diri seseorang. Proses internalisasi ini muncul sebagai akibat dari dialektik seseorang dengan lingkungannya dalam waktu yang lama sebagai pemeran dalam struktur sosial. Oleh karena tidak terlepas dari waktu yang lama dalam proses internalisasinya dengan lingkungan dan dipengaruhi oleh kedudukan sosial di masyarakat, habitus dapat dilihat sebagai produk sejarah yang menciptakan tindakan individu ataupun kolektif. Ada tujuh elemen yag berperan dalam habitus. “Kleden12 membagi tujuh elemen penting dalam habitus, yaitu: (1) produk sejarah, (2) struktur yang distrukturkan, (3) struktur yang menstrukturkan, (4) dapat beralih dari suatu kondisi ke kondisi lain (transposable), (5) bersifat pra-sadar, (6) bersifat teratur dan berpola, tidak hanya the state of mind tetapi juga the state of body dan the site of incorporated history, (7) habitus dapat terarah kepada hasil atau tindakan tertentu tanpa ada maksud secara sadar untuk mencapai hasil-hasil tersebut.”

Lebih lanjut, ranah merupakan wilayah-wilayah sosial yang berbeda meski saling tumpang tindih dan beririsan. Tiap ranah saling berhubungan dengan ranah yang lain, namun memiliki otonomi relatif satu sama lain. Ranah dalam 10

Richard Jenkins. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta. Kreasi Wacana (2004). Hlm. 107. 11 Muhammad Adib. Agen dan Struktur dalam Pandangan Pierre Bourdieu: Jurnal BioKultur, Vol. I/No.2/ Juli-Desember 2012. Surabaya. Universitas Airlangga (2012). Hlm. 96-97. 12 Dalam Muhammad Adib. Ibid. Hlm. 97-98.

21

pandangan Bourdieu lebih bersifat relasional dibandingkan secara struktural. Secara umum, ranah membentuk ruang sosialnya sendiri yaitu masyarakat yang memiliki logika, aturan-aturan, hukum, dan kekhasanya masing-masing. Pada beberapa kesempatan, Bourdieu menyebut ranah sebagai pasar atau permainan. Hal ini memunculkan logika modal untuk dapat bermain di dalamnya. Modal adalah sumber daya yang menjadi bekal agen dalam melakukan praktik, sekaligus adalah sesuatu yang dihargai, dikejar, dan diperebutkan dalam sebuah ranah.

Bagi

Bourdieu,

manusia

hidup

dan

melakukan

praktik

untuk

mengumpulkan modal. Modal yang dimaksud Bourdieu bukanlah dalam bentuk uang atau ekonomi saja. Bourdieu membagi modal menjadi empat, yaitu modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik13. Meski berbeda, keempat bentuk modal ini bisa saling dipertukarkan, dengan nilai tukar dan tingkat kemudahan yang berbeda-beda. Dan masing-masing didapat dan dikembangkan dengan saling diinvestasikan dalam bentuk-bentuk modal lain. Pada posisi ini, agen dengan segala modal yang dimilikinya akan melakukan praktik sosial di dalam setiap ranahnya masing-masing. Kepemilikan modal dan komposisi modal menentukan posisi agen dalam ranah-ranah tertentu, juga dalam ruang sosial secara keseluruhan. Kelompok yang memiliki modal yang hampir sama menempati posisi yang juga kurang lebih sama dan membentuk kelas. Terdapat irisan antara hegemoni dengan praktik sosial. Hegemoni yang dilakukan

dalam

waktu

yang

lama

melalui

“tangan-tangannya”

dapat

mempengaruhi habitus. Hal ini berdampak terhadap praktik sosial yang ada dalam

13

Muhammad Adib. Ibid. Hlm. 105.

22

setiap ranah. Kembali menilik habitus muncul dari pengalaman-pengalaman dan berdasarkan tujuh elemen yang dijelaskan Kleden, maka hegemoni yang bersifat membentuk struktur dan mengarahkan praksis menjadi faktor utama dalam pembentukan praktik sosial. Melalui kolaborasi dua mata pisau analisis ini, saya mencoba memahami dan menjelaskan kecenderungan penyebaran kotak amal di ruang publik oleh lembaga sosial keagamaan Islam dalam upayanya mendapatkan dana sosial.

1.6.

Metode Penelitian

1.6.1. Penentuan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada ruang publik yang ditemukan adanya kotak amal, dan lembaga-lembaga amal keagamaan Islam yang berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengeluarkan produk berupa kotak amal dalam upayanya mengumpulkan sumbangan. Lembaga-lembaga sosial keagamaan Islam yang menjadi subjek penelitian adalah Rumah Yatim dan Rumah Zakat. Ruang publik yang dimaksud adalah tempat makan, toko serba ada, dan jalan umum yang ditemukan keberadaan kotak amal. 1.6.2. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa observasi dan wawancara. Observasi difokuskan untuk mengetahui di mana saja kotak amal ditempatkan dan bagaimana proses hingga kotak amal bisa menjaring donasi. Wawancara mendalam dilakukan dengan informan untuk mengumpulkan data yang mampu menjelaskan kecenderungan keberadaan kotak amal di ruang publik.

23

Setelah kecenderungan keberadaan kotak amal di ruang publik mampu dijelaskan, tahapan selanjutnya adalah mengembangkan konsep yang dapat menjawab meluasnya penggunaan kotak amal untuk mendapatkan dana-dana sumbangan keagamaan Islam. Selain observasi dan wawancara, saya juga menggunakan data tertulis yang saya dapatkan dari literatur baik buku maupun jurnal yang menunjang kegiatan penelitian ini baik cetak maupun yang didapatkan melalui laman di internet. 1.6.3. Teknik Analisis Data Unit analisis data pada penelitian ini terdiri dari dua aspek, yaitu, aspek kecenderungan keberadaan kotak amal yang disebarkan di ruang publik, dan aspek mengenai gejala meluasnya penggunaan kotak amal untuk mendapatkan dana-dana sumbangan keagamaan. Penelitian ini menganalisis peran lembaga sosial keagamaan Islam Rumah Yatim dan Rumah Zakat dalam penyebaran kotak amal di ruang publik yang didasarkan pada pola-pola hegemoni dan praktik sosial yang ada di lapangan.

24