1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG HAMPIR 20

Download A. Latar Belakang. Hampir 20% penduduk di dunia adalah perokok. Pada tahun 2009, jumlah rokok yang dikonsumsi mencapai 5,9 triliun batang, ...

0 downloads 277 Views 71KB Size
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Hampir 20% penduduk di dunia adalah perokok. Pada tahun 2009, jumlah rokok yang dikonsumsi mencapai 5,9 triliun batang, meningkat sebesar 13% dalam dekade terakhir. Sekitar 800 juta laki-laki dan 200 juta perempuan adalah perokok (Eriksen et al., 2012). Temuan Jha & Peto (2014) menyatakan bahwa perokok akan kehilangan 10 tahun masa hidupnya dan kematian di antara perokok 2 sampai 3 kali lebih besar dari orang yang bukan perokok. Setiap tahun, diperkirakan 600.000 orang meninggal di dunia akibat rokok dan 75% dari kematian ini terjadi di kalangan perempuan dan anak-anak. Pada tahun 2011, sekitar 6 juta orang meninggal akibat rokok, 80% dari kematian tersebut terjadi di negara-negara

berpenghasilan

rendah

dan

menengah.

Merokok

dapat

menyebabkan penyakit kanker paru-paru yang memberikan kontribusi kematian sebesar 80% pada laki-laki dan 50% pada perempuan di seluruh dunia. Merokok juga meningkatkan risiko infeksi tuberkulosis (TB) dan 40 juta perokok dengan TB diperkirakan meninggal antara tahun 2010 dan tahun 2050. Pada tahun 2030, diperkirakan 8 juta orang akan meninggal setiap tahun akibat mengonsumsi rokok (Eriksen et al., 2012). Merokok juga dapat menurunkan kualitas hidup, partisipasi di tempat kerja yang rendah dan peningkatan biaya perawatan kesehatan (Ng et al., 2014). Bahaya rokok tidak hanya pada orang yang merokok, tetapi juga orang di sekitarnya yang disebut secondhand smoker (SHS)/perokok pasif. Di Amerika Serikat hampir 2,5 juta perokok pasif meninggal karena penyakit jantung dan kanker paru-paru dan hilangnya produktivitas karena paparan asap rokok diperkirakan sekitar USD 5,6 miliar per tahun (U.S. Department of Health and Human Services, 2014). Indonesia merupakan negara keempat dengan konsumsi rokok terbesar di dunia setelah China, Amerika Serikat dan Rusia. Jumlah batang rokok yang dikonsumsi di Indonesia cenderung meningkat, dari 182 miliar batang pada tahun 2001 menjadi 260,8 miliar batang pada tahun 2009 (TCSC-IAKMI, 2012), bahkan 1

2

menurut temuan Widiyani pada tahun 2013, konsumsi rokok Indonesia sudah mencapai 302 miliar batang per tahun. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan jumlah perokok di Indonesia mencapai sekitar 90 juta jiwa atau 36,3%, naik 2,1% dibandingkan dengan tahun 2007. Prevalensi perokok berdasarkan jenis kelamin juga meningkat cukup signifikan. Pada tahun 2013, prevalensi perokok pada laki-laki sebesar 68,8% dan perempuan 6,9%. Prevalensi tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2007, yaitu 65,6% pada laki-laki dan 5,2% pada perempuan. Adapun proporsi perokok terbanyak berada pada kelompok umur 30-34 tahun dengan jumlah konsumsi rata-rata adalah satu bungkus rokok (12 batang) per hari. Dibandingkan dengan penelitian Global Adults Tobacco Survey (GATS) pada penduduk kelompok umur di atas 15 tahun, proporsi perokok laki-laki 67,0% dan pada Riskesdas 2013 sebesar 64,9%, sedangkan pada perempuan menurut GATS adalah 2,7% dan 2,1% menurut Riskesdas 2013. Proporsi mengunyah tembakau menurut GATS 2011 pada laki-laki 1,5% dan perempuan 2,7%, sementara Riskesdas 2013 menunjukkan proporsi laki-laki 3,9% dan 4,8% pada perempuan. Pada tahun 2010, diperkirakan 61,8% laki-laki dan 38,2% wanita di Indonesia menderita penyakit terkait dengan konsumsi rokok. Dari seluruh kematian pada tahun 2010, 12,7% di antaranya akibat konsumsi rokok. Sebesar 50% dari orang yang terkena penyakit terkait dengan rokok mengalami kematian dini. Penyebab kematian terbanyak adalah penyakit stroke, jantung koroner, kanker trakhea, bronkhus, dan paru-paru (TCSC-IAKMI, 2013). Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi dengan jumlah konsumsi rokok terbanyak di Indonesia. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi perokok umur ≥ 15 tahun mengalami penurunan dalam 5 tahun terakhir, yaitu 35,2% tahun 2007, 33,1% tahun 2010 dan 26,64% tahun 2013. Namun, prevalensi tersebut selalu lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi nasional, bahkan di tahun 2007 Sumatera Barat menempati urutan ke-3 sebagai provinsi dengan konsumsi rokok terbanyak. Kota Padang Panjang merupakan daerah dataran tinggi di Sumatera Barat yang berada di ketinggian antara 550-900 mdpl, terletak pada kawasan

3

pegunungan yang berhawa sejuk dengan suhu udara maksimum 26,1°C dan minimum 21,8°C, dengan curah hujan yang cukup tinggi, yaitu rata-rata 3.295 mm/tahun. Di bagian utara berjejer 3 gunung, yaitu Gunung Marapi, Singgalang dan Tandikat (Pemkot Padang Panjang, 2014). Di daerah ketinggian, umumnya rokok dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk menghangatkan badan. Berdasarkan Riskesdas 2007, ditemukan sebesar 25,3% penduduk Kota Padang Panjang merokok setiap hari dan sebagian besar (91,9%) merokok di dalam rumah (melebihi angka provinsi, yaitu sebesar 89,2%). Hal ini berarti akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain menjadi perokok pasif. Ditemukan juga beberapa penyakit pada masyarakat Kota Padang Panjang yang berhubungan dengan rokok, di antaranya adalah hipertensi (34,6%), stroke (12,7%), asma (1,7%), jantung (6,9%) dan diabetes melitus (1,5%). Jika dibandingkan berdasarkan jenis kelamin, proporsi laki-laki dan perempuan yang menderita penyakit terkait dengan rokok hampir sama. Setelah beberapa tahun penerapan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR), masih banyak ditemukan penyakit yang berhubungan dengan rokok. Pada tahun 2013, ditemukan nasofaringitis sebesar 26,03% menempati urutan pertama dari 10 penyakit terbanyak di Kota Padang Panjang, diikuti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) sebesar 25,74%, dan hipertensi primer sebesar 12,54% (Dinkes Kota Padang Panjang, 2013). Upaya pengendalian konsumsi tembakau perlu dilakukan secara bertahap dan terintegrasi, melibatkan sektor pemerintah dan non pemerintah. Dalam upaya pengendalian konsumsi tembakau, diperlukan fakta terkini di sektor kesehatan, industri dan pertanian. Meskipun secara internasional Indonesia belum menunjukkan komitmen pengendalian tembakau yang kuat, karena belum menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), namun Indonesia telah menerapkan beberapa program pengendalian, termasuk kawasan tanpa rokok dan strategi MPOWER yang mencakup strategi pengendalian dampak negatif konsumsi rokok dari aspek kesehatan maupun ekonomi. Indonesia telah mempunyai dasar hukum yang mendukung pengendalian konsumsi tembakau yang tercakup dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36/2009 tentang

4

Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan tersebut, telah dibuat juga Peraturan Pemerintah, peraturan bersama Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri dan peraturan daerah di beberapa provinsi yang mencakup kawasan tanpa rokok (TCSC-IAKMI, 2012). Kawasan tanpa rokok (KTR) memberikan bukti bahwa KTR merupakan salah satu cara yang cukup efektif dalam mengendalikan kebiasaan merokok atau mempengaruhi dampak rokok terhadap kesehatan, mengurangi konsumsi rokok dan meningkatkan keinginan untuk berhenti merokok (Bauer et al., 2005, Borland et al., 1992 & 1990). Kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah terkait dengan kawasan tanpa rokok sudah dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Kota Padang Panjang. Kebijakan Pemerintahan Daerah Kota Padang Panjang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kota Padang Panjang No.8 Tahun 2009 yang berisi tentang kawasan tanpa asap rokok dan kawasan tertib rokok. Kemudian dijabarkan lagi dengan Peraturan Walikota Padang Panjang No 10 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Asap Rokok dan Kawasan Tertib Rokok (Gafar, 2011). Penerapan KTR di beberapa negara telah berhasil menurunkan prevalensi perokok. Seperti di Saudi Arabia, setelah 8 tahun penerapan kebijakan kampus bebas asap rokok sekitar setengah dari perokok (53,7%) di lingkungan universitas berusaha untuk berhenti merokok (Almutairi, 2014). Hal ini sejalan dengan temuan Sonu et al. (2012) di India, yaitu tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan area bebas asap rokok yang dikenal dengan “Section 4 of Cigarettes and Other Tobacco Products Act (COTPA 2003) sebesar 92,3%. Menurut survei tersebut, sebesar 94,2% tidak ditemukan lagi masyarakat yang merokok di tempat-tempat umum setelah 8 tahun penerapan kebijakan tersebut. Di Indonesia, beberapa studi terkait dengan evaluasi penerapan Perda KTR sudah pernah dilakukan, di antaranya adalah hasil penelitian Kaufman et al. (2014) di Palembang dan Bogor yang menunjukkan bahwa baik perokok maupun bukan merokok mendukung penerapan Perda KTR. Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Azka (2013) di Provinsi Sumatera Barat, hasilnya menunjukkan

5

sebesar 60% responden mendukung penerapan Perda KTR dan 51% responden mengatakan KTR cukup efektif untuk mengurangi perokok aktif. Namun, evaluasi tersebut belum dilakukan secara komprehensif. Evaluasi kebijakan merupakan kegiatan untuk menilai keefektifan sebuah kebijakan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, yang bisa dilihat dari aspek input, process, output dan outcome. Input adalah jenis barang, jasa, dana, tenaga manusia, teknologi dan sumber daya lainnya yang diperlukan untuk terlaksananya suatu program/kegiatan untuk mencapai tujuan. Process merupakan rangkaian kegiatan dalam pelaksanaan suatu program. Output ialah produk atau jasa tertentu yang diharapkan dihasilkan oleh kegiatan dari input yang tersedia, untuk mencapai tujuan kegiatan dan outcome adalah hasil yang diperoleh dari efek suatu program pada tingkat yang lebih luas dan menjadi proyek jangka panjang. Evaluasi sangat penting dilaksanakan karena beberapa hal; 1) untuk menentukan tingkat kinerja/pencapaian suatu kebijakan, 2) mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan, 3) mengukur keluaran (outcome) dari suatu kebijakan dan 4) untuk memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan agar lebih baik (Mulyadi, 2015). Berdasarkan hal tersebut, peneliti merasa ada beberapa hal yang perlu dikaji lebih lanjut. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan evaluasi penerapan kebijakan peraturan daerah tentang kawasan tanpa rokok di Kota Padang Panjang tahun 2015. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimanakah penerapan Perda KTR dilihat dari aspek input, process dan output di Kota Padang Panjang? C. Tujuan Penelitan 1. Tujuan umum Mengevaluasi penerapan kebijakan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok di Kota Padang Panjang Provinsi Sumatera Barat tahun 2015.

6

2. Tujuan khusus a. Mengetahui gambaran tentang aspek input (tenaga, dana dan saran prasaran) dalam penerapan Perda KTR di Kota Padang Panjang. b. Mengetahui gambaran tentang aspek process (pelaksanaan dan pengawasan) dalam penerapan Perda KTR di Kota Padang Panjang. c. Mengetahui gambaran tentang aspek output (sikap dan perilaku) dalam penerapan Perda KTR di Kota Padang Panjang. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak, antara lain: 1. Bagi Pemerintah Kota Padang Panjang, dapat dijadikan sebagai informasi tambahan dan bahan evaluasi dalam penerapan Perda KTR agar lebih efektif dan efisien serta menjadi dasar dalam merumuskan kebijakan-kebijakan baru untuk menekan angka prevalensi perokok dan dampaknya. 2. Bagi masyarakat Kota Padang Panjang, sebagai bentuk sosialisasi dan edukasi tentang Perda KTR dan bahaya merokok pada masyarakat Kota Padang Panjang. 3. Bagi akademisi kesehatan, sebagai bahan bacaan atau referensi untuk mengkaji lebih lanjut tentang kawasan tanpa rokok.

7

E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian ditemukan yang berkaitan dengan evaluasi kebijakan peraturan kawasan tanpa rokok, seperti pada Tabel 1. Namun, hal mendasar yang membedakannya adalah dari rancangan penelitian, yaitu penelitian ini menggunakan disain mixed methods dan lokasi penelitian. Tabel 1. Persamaan dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya No

1

Nama peneliti dan tahun

Judul penelitian

Hasil penelitian

Fong et al., 2007

Reductions in Tobacco Smoke Pollution and Increases in Support for Smoke-free Public Places Following the Implementation of Comprehensive Smoke-free Workplace Legislation in The Republic of Ireland.

Penurunan merokok di tempat-tempat umum, di antaranya: tempat kerja (62% sampai (14%), restoran (85% sampai 3%), dan bar (98% sampai 5%), sebesar 83% perokok mendukung undangundang kawasan tanpa rokok, serta sebesar 46% perokok berhenti merokok.

2

Gafar, 2011

3

Azka, 2012

Persamaan

Variabel penelitian

Terlaksananya penerapan kebijakan Evaluasi Penerapan Kebijakan dengan baik karena adanya dukungan Kawasan Tanpa Rokok di Lokasi dari tokoh masyarakat dan organisasi Kota Padang Panjang masyarakat Studi Efektivitas Penerapan Kebijakan Perda Kota tentang Berdasarkan data kuantitatif di 3 1. Variabel Kawasan Tanpa Rokok (KTR) kabupaten, prevalensi perokok sebesar penelitian dalam Upaya Menurunkan 59% dan sebesar 60% masyarakat 2. Rancangan Perokok Aktif di Sumatera mendukung Perda KTR. penelitian Barat Tahun 2013

Perbedaan

1. Rancangan penelitian 2. Lokasi

1. Rancangan penelitian 2. Variabel penelitian 1. Lokasi 2. Jumlah sampel 3. Cara pengumpulan data

8

Tabel 1 (Lanjutan) No

4

5

Nama peneliti dan tahun Kaufman et al., 2014

Almutairi, 2014

Judul penelitian

Hasil penelitian

“Excuse me, sir. Please don’t smoke here”. A Qualitative Study of Social Enforcement of Smoke-free Policies in Indonesia Attitudes of Students and Employees towards the Implementation of A Totally Smoke Free University Campus Policy at King Saud University in Saudi Arabia: A Cross Sectional Baseline Study on Smoking Behavior Following the Implementation of Policy

Di Palembang dan Bogor, baik perokok maupun bukan perokok mendukung penerapan Perda KTR. Namun, masih ragu-ragu menegakkan kebijakan dalam norma sosial. Setengah dari perokok (53,7%) di lingkungan universitas berusaha untuk berhenti merokok. Mayoritas dari responden (89,6%) mendukung kebijakan bebas rokok yang tegas terutama di tempat-tempat umum, dan hasil lainnya menunjukkan perokok lebih mendukung kebijakan KTR jika tidak ada sanksi.

Persamaan

Perbedaan

Variabel penelitian

1. Rancangan penelitian 2. Lokasi

Variabel penelitian

1. Rancangan penelitian 2. Lokasi