1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Download 4 bahwa anak indigo cerdas, berbakat dalam hal apapun, mandiri sekaligus sensitif. Kekurangpahaman mengenai kondisi dan kebutuhan anak indi...

0 downloads 379 Views 137KB Size
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Setiap individu pasti memiliki pengalaman dan jalan hidup yang berbeda. Pengalaman demi pengalaman yang dialami akan memberikan efek yang berbeda ketika seseorang belajar mengenai hal-hal baru. Hal baru bisa berupa makna baru dalam tiap pengalaman. Oleh Krauss (2005) manusia dianggap memiliki kecenderungan secara insting untuk memahami dan membuat makna terhadap kehidupan dan pengalaman mereka. Pemaknaan bersumber dari pengalaman pada peristiwa yang dianggap negatif maupun peristiwa yang dianggap positif. Namun bagaimana halnya dengan individu yang mempunyai pengalaman-pengalaman khusus, misalnya pengalaman metafisis, pengalaman mistis atau pengalaman spiritual dan bahkan pengalaman tersebut sudah dialami sejak kecil. Umumnya individu yang memiliki problematika hidup yang berat dan kompleks menginginkan kondisi yang lebih ideal, kebahagiaan, sejahtera secara materi dan psikologis. Value atau nilai dari sebuah pengalaman akan problematika yang pernah dihadapi mempengaruhi kehidupan individu. Kennedy dan Kanthamani (1995) mengungkapkan bahwa dari 120 orang yang setidaknya tiap orang mempunyai satu pengalaman spiritual, menunjukkan bahwa pengalaman spiritual tersebut meningkatkan kesejahteraan dan kepercayaan akan hal transenden. Secara khusus pengalaman spiritual meningkatkan kepercayaan akan kehidupan setelah mati, keyakinan akan kehidupan yang dipandu dan diawasi oleh kekuatan

1

2

yang lebih besar, ketertarikan akan tema-tema spiritual dan agama, relasi dengan orang lain lebih berkualitas, kesejahteraan, rasa percaya diri tinggi, optimisme tentang masa depan dan makna akan hidup. Membahas mengenai pengalaman spiritual, metafisis dan mistis erat kaitannya dengan fenomena anak indigo mengenai kemampuan-kemampuan ESP (Extra Sensory Perception). Suatu konsensus ilmiah dalam bidang parapsikolog terdiri dari fenomena psikis yang disebut ESP, yang diartikan sebagai kemampuan menerima informasi dari suatu lingkungan atau seseorang tanpa bantuan kelima alat indera yang lain (Irwin & Watt, 2007). Rahma (2012) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa seseorang yang memiliki kemampuan ESP memiliki perasaan takut, beban akan minimnya dukungan sosial yang didapat. Arifiana (2016) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki kemampuan ESP akan bermasalah ketika penerimaaan diri akan kemampuannya sangat rendah, terlepas dari penilaian positif atau negatif dari masyarakat. Khusus tanggapan masyarakat bisa dilihat dari animo pemberitaan dan pembuatan acara khusus di televisi yakni “indigo” pada kisaran tahun 2012 dan pembuatan acara film lepas berjudul Isyarat. Kemampuan ESP anak indigo dalam acara-acara tersebut diantaranya seperti menyembuhkan orang sakit, meramal masa depan, melihat masa lalu, telepati. Ada juga yang menampilkan anak indigo dengan kemampuan melihat energi dari “dunia lain” misalnya roh, jin, malaikat, dll. Citra anak indigo selama ini diartikan secara tidak proporsional oleh masyarakat (Arifiana, 2016; Hardiansyah, 2008; Jayati, 2011; Rahma, 2012; Maningrum, 2015). Tidak proporsional dalam artian ada ketidaktepatan informasi dan penanganan yang

3

tepat oleh mereka-mereka yang dianggap indigo. Kecenderungan dari hasil penelitian mengenai anak indigo bahwa subjek yang diteliti memiliki pengalaman mendapat dukungan sosial yang rendah di lingkungannya (Jayati 2011; Arifiana, 2016; Rahma, 2012). Ada pihak yang peduli namun ada pula yang apatis dan cenderung mempertanyakan keberadaan mereka. Sebagai anak yang dianggap indigo, kecenderungan dianggap anak yang mengalami gangguan sangat besar, padahal mereka anak-anak yang secara khusus justru dianggap membawa perubahan (Whedon, 2009). Pemberitaan anak indigo di situs media elektronik semacam kompas.com, kompasiana.com dan beberapa situs media lain menginformasikan bahwa sekalipun anak indigo memiliki kemampuan ESP namun tidak terbatas hanya hal tersebut. Media kompas.com memberitakan terkait keberadaan anak indigo di Palembang bernama DL. DL memiliki riwayat relasi dengan teman sebaya yang buruk (Bullying) dan putus sekolah sejak SMP. Namun mampu menemukan potensi dalam bidang yang

lain,

yakni

menjadi

penulis

novel

(http://regional.kompas.com/read/2014/10/24/16241291/Kisah.Anak.Indigo.Palemba ng.Jadi.Penulis.Novel.Terlaris, diakses tanggal 17 agustus 2016). Edukasi dan informasi yang menyeluruh terkait anak indigo masih kurang, tercatat hanya ada beberapa literatur dan buku mengenai anak indigo. Literatur mengenai problem yang dihadapi sehari-hari, interaksi dengan masyarakat, dan pengetahuan bagi orang tua dalam mendidik anak dengan kecenderungan indigo masih sedikit. Oleh karenanya masyarakat masih banyak yang menilai bahwa anak indigo sama halnya dengan cenayang atau paranormal. Trotta (2012) justru menilai

4

bahwa anak indigo cerdas, berbakat dalam hal apapun, mandiri sekaligus sensitif. Kekurangpahaman mengenai kondisi dan kebutuhan anak indigo disoroti oleh beberapa ahli kesehatan mental di Amerika Serikat. Mereka takut orang tua memberi label “indigo” pada anaknya hanya karena mereka tidak ingin percaya anaknya memiliki problem perilaku terkait ADHD seperti emosional, mudah tersinggung, sulit menyesuaikan diri dengan peraturan di sekolah. Oleh karenanya David Stein, seorang profesor psikologi Longwood University di Farmville memilih untuk menyebut mereka individu yang cerdas dengan perilaku berlebih dan bukan menyebutnya anak indigo. Namun perlu digarisbawahi bahwa sikap skeptis bukan sebuah

pendekatan

yang

tepat

terkait

keberadaan

mereka

(http://usatoday30.usatoday.com/news/religion/2005-05-31-indigo-kids_x.htm, diakses tanggal 15 agustus 2016). Fenomena indigo pertama kali diungkapkan sekitar tahun 1980-an oleh Nancy Ann Tappe (Carroll & Tober, 2006). Buku pertamanya yang berjudul Understanding Your Life Through Color berisi mengenai banyaknya anak yang lahir dengan aura warna indigo. Tappe (dalam Yong & Arip, 2015) menggambarkan anak indigo sebagai sebuah kumpulan anak spesial berwarna aura indigo yang menjadi pelopor dan mencerahkan di masa depan. Namun pernyataannya pada waktu itu telah diartikan oleh banyak peneliti dan pendidik sebagai “mental illness” atau “mental disorder” (Yong & Arip, 2015). Anak indigo atau anak nila (indigo children) adalah sebuah istilah yang awalnya digunakan untuk memudahkan pengkategorian anak yang diyakini memiliki kemampuan dan sifat yang spesial, tidak biasa. Pada sisi lain Leland (2006) tidak setuju dengan pelabelan indigo, diagnosis dan

5

penanganan yang keliru justru membuat perjalanan hidup seorang anak indigo akan penuh dengan problem. Memahami satu sama lain adalah suatu hal penting dalam konteks komunikasi yang sehat. Seseorang akan bingung jika tidak memahami orang lain. Hal ini juga berlaku pada anak indigo. Jika kita dapat memahaminya, maka kita akan semakin mudah untuk menerima, berdiskusi dan menghilangkan segala persepsi buruk tentang mereka (Tappe, 2009). Justine Turner menceritakan kisahnya bahwa anak indigo sangat tertarik tentang tema ke-Tuhan-an. Mereka sangat sensitif terhadap energi, kemampuan “melihat” dan merasakan hal-hal yang tidak lazim serta memiliki pendapat tersendiri mengenai Tuhan dan mengenai siapa sebenarnya dirinya (Carrol & Tobber, 2001). Anak indigo merupakan sebuah kriteria spesial yang mempunyai kemampuan bawaan dengan tujuan mengubah sistem baik politik, pendidikan, keluarga dan “mindset” manusia agar mampu meraih potensi yang sesungguhnya menjadi lebih natural dan intuitif (Virtue, 2001). Anak-anak ini berjuang menghadapi ketidakadilan atas perlakuan dan anggapan prematur dari lingkungan. Mereka merasakan yang belum tentu orangtua rasakan. Mereka berjuang menjadi berbeda (Carrol & Tobber, 2001). Berikut ini karakteristik anak indigo secara lengkap yang disampaikan oleh Chapman (2005): 1) memiliki penghargaan yang begitu tinggi, 2) mereka tahu bahwa mereka harus ada di dunia ini, 3) mempunyai rasa kepemilikan yang nyata, 4) mendapat kesulitan dengan kedisiplinan otoritas, 5) menolak mengikuti perintah, 6) mudah frustasi dengan sistem ritual yang diorientasikan menurut kreativitas kecil, 7) sering melihat cara-cara yang lebih baik dalam melakukan sesuatu di rumah maupun sekolah, 8)

6

kebanyakan non konformis, 9) tidak memberi respon atas kesalahan, menginginkan alasan yang tepat, 10) mudah bosan dengan PR yang diperintahkan, 11) cukup kreatif, 12) mudah berpindah-pindah, 13) dapat melakukan banyak hal dalam satu waktu, 14) memperlihatkan intuisi yang kuat, 15) mempunyai rasa empati yang besar atau tidak empati sama sekali, 16) mengembangkan pemikiran abstrak di usia muda, 17) sangat berbakat, 18) sering teridentifikasi atau diduga mengidap ADD (Attention Deficit Disorder) atau ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder), 19) memiliki bakat pelamun (pengkhayal) dan visioner, 20) mempunyai pandangan dewasa dan arif, 21) sulit mengelola kemarahan, serta 22) mempunyai kecerdasan spiritual dan keahlian psikis. Hasil wawancara yang dilakukan oleh Jan Tobber pada Nancy Ann Tappe perihal misi anak indigo adalah sebagai berikut (Carroll & Tober, 2006) : “Pada usia kira-kira 26 atau 27 tahun, anda akan melihat sebuah perubahan besar pada anak-anak indigo. Perubahan itu mengenai tujuan mereka akan ‘ada’ di sini. Anak-anak yang lebih tua akan menjadi benar-benar yakin dengan apa yang sedang mereka lakukan dan anak-anak yang lebih muda akan mendatanginya dengan memperoleh kejelasan tentang apa yang akan mereka lakukan dalam kehidupan.” Pernyataan diatas juga peneliti temukan saat pra wawancara dengan NN individu dengan kecenderungan indigo. Dalam obrolan singkat, dikatakan bahwa seseorang yang lebih muda (remaja) dan terindikasi indigo mendatangi NN tanpa disengaja. Pertemuan dengan remaja tersebut menjadi awal perjalanan NN dalam membimbing seseorang yang memiliki kemampuan lebih. Mereka diajarkan bagaimana mengelola, mengontrol dan mengarahkan kemampuan ESP untuk memberi kualitas kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri juga orang lain.

7

Sebuah contoh potret kehidupan pada individu indigo diatas memberi pertanyaan lanjutan mengenai jalan hidup yang ditempuh setelah menyadari apa saja kemampuan diri dan untuk apa kemampuan tersebut. Seiring bertambahnya usia sekaligus pengalaman, tantangan kehidupan seorang anak akan berbeda saat remaja bahkan dewasa. Berbagai problem kehidupan muncul diiringi pilihan solusi yang akan diambil. Carrol dan Tober (2006) melihat adanya perubahan tujuan hidup anak indigo yang telah dewasa seiring bertambahnya pengalaman (spiritual, metafisik, mistis). Proses pemaknaan dari sesuatu yang dialami dapat disebut sebuah pengalaman spiritual. Proses tersebut mengarah atau menginspirasi seseorang untuk berfikir, merasakan dan melakukan sesuatu dilandaskan oleh spirit ke-Tuhan-an (Cahyono, 2013). Anak indigo yang telah berproses dalam perjalanan hidup menjadi dewasa tentu bertambah pemahaman spiritualnya. Konteks spiritual lebih cocok memakai pendekatan aliran transpersonal (Gumiandari, 2012). Psikologi transpersonal sebagai cabang dari aliran psikologi mengakui dan menerima spiritualitas sebagai dimensi penting dari jiwa manusia. Aliran ini mempelajari isu kritis mengenai pengalaman kesadaran yang tidak biasa, contohnya adalah reaksi spontan hal mistis, krisis psikospiritual, terapi psychedelic, hipnosis, experiential psychotherapy, near-death situations (NDE) dan pengalaman meditasi atau semacam bentuk lain dari latihan spiritual. Contoh-contoh tersebut juga dilakukan oleh anak indigo. Oleh psikiater dan psikolog fenomena seperti ini sudah diketahui, namun hal tersebut banyak dianggap sebagai patologis otak (manifestations of mental disease). Alasannya bahwa fenomena tersebut susah dijelaskan dalam konteks kerangka

8

konseptual tradisional dari tiga aliran utama keilmuan psikologi (psikoanalis, behavioris dan humanis) (Grof, S: 2007). Pengalaman spiritual yang masuk dalam kajian aliran transpersonal memiliki tiga elemen utama, yakni bersifat transenden, bersifat inner empiricism dan bersifat universal (Ferrer, 2002). Sifat transenden dalam pengalaman spiritual melampaui batasan-batasan pikiran, kategorisasi rasio dan logika biasa (Grof, 1988). Bersifat inner empiricsm berarti pengalaman spiritual terjadi dalam batin manusia, dan bersifat universal berarti seluruh tradisi-tradisi mistik dan ajaran keagamaan pada hakikatnya memiliki kondisi pengalaman spiritual yang sama (Ryandi, 2016). Pemahaman mengenai pengalaman spiritual dapat diawali dari pendekatan/tuntunan keagamaan maupun tidak seperti meditasi, near-death situations namun selalu mengarah pada rasa kebergantungan yang sangat pada Tuhan. Spiritualitas

dalam

berbagai

literatur

dibedakan

dengan

religiusitas.

Religiusitas diartikan konteks keagamaan dan lebih bersifat inklusif sedangkan spiritualitas sebagai manifestasi keagamaan cakupannya lebih luas dibanding keagamaan

(Thorenson

&

Harris,

2002).

Spiritualitas

adalah

konsep

multidimensional yang kompleks (Cook et al 2009; Moberg 2002). Spiritualitas telah digambarkan sebagai suatu cara dimana orang mengerti dan menjalani hidup dengan pemaknaan dan nilai-nilai tinggi (Muldoon & King 1995), sebagai pengalaman subyektif yang sakral (Vaughan 1991) dan sebagai sebuah kualitas yang menginspirasi sebuah tindakan, melampaui ketaatan beragama, makna dan tujuan (Murray & Zenter, 1989)

9

Spiritualitas itu sendiri bukanlah sesuatu yang berdiri pada dirinya akan tetapi merupakan suatu hal yang dialami. Pengalaman inilah yang disebut pengalaman spiritual (Cahyono, 2013). Spiritualitas merujuk pada pribadi, sisi subyektif dari pengalaman religius. Religius itu sendiri erat kaitannya dengan agama menurut William James (dalam Hill & Pargament, 2008). Spiritualitas dipahami sebagai pencarian suci, proses menemukan bahkan mengubah sesuatu untuk mendekat ke yang suci (Pargament, 1999). Tart (1975) mengatakan bahwa istilah spiritual menyiratkan perihal pengalaman seseorang yang didalamnya berisi arti hidup, tuhan, tujuan hidup dan lainnya. Spiritual adalah sebuah alam besar yang berisi hubungan tujuan hidup manusia dengan kasih sayang, penciptanya (Tuhan) dan dengan kehidupan secara luas. Mimi Doe & Marsha Walch (2001) mengungkapkan bahwa tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral dan rasa memiliki didasari oleh sisi spiritual yang tinggi. Sisi spiritual manusia memberi arah dan arti kehidupan bahwa kekuatan non fisik yang lebih besar daripada diri kita suatu hal yang mutlak adanya. Kesadaran ini terhubung langsung dengan kekuatan atau apapun yang kita namakan sebagai sumber keberadaan kita. Spiritual itu sendiri meliputi kejiwaan, rohani, batin, mental serta moral. Spiritualitas merupakan sebuah konsep berisi makna dekat dengan religiusitas, akan tetapi spiritualitas cakupannya lebih luas, universal. Penggunaan istilah religiusitas dan agama erat dengan perilaku-perilaku yang tampak dan memiliki susunan organisasi yang nyata, sedangkan spiritualitas bersifat sebaliknya. Semua agama memiliki sebutan/nama untuk menyebut “Tuhan” berikut tuntunan

10

bagaimana para pemeluk agama berhubungan dengan “Tuhan-nya”. Pada sisi yang lain, spiritual tidak ada membahas tentang hal tersebut, spiritual fokus pada perasaan dan privasi seseorang serta perilaku dalam hubungannya dengan sesuatu yang lebih tinggi, luas dan berkuasa (Belzen, 2004). Banyaknya definisi terkait dengan tema spiritual, penulis menilai keluasan tema spiritual sulit untuk menentukan definisi singkatnya. Pengembangan spiritual dikemukakan oleh Benson et al (2003) sebagai proses tumbuh kembang kapasitas manusia dalam konsep diri-transenden, yang mendorong pencarian keterhubungan, makna, tujuan dan kontribusi. Proses tersebut bisa dipengaruhi oleh religiusitas (doktrin agama), aliran kepercayaan dan praktek-praktek khusus lain. Beberapa uraian terkait spiritualitas dapat diambil kesimpulan bahwa spiritualitas adalah sebuah kesadaran kehidupan seseorang terkait dengan diriya, orang lain, alam dan Tuhan. Kesadaran tersebut menjadikan seseorang dapat merumuskan tujuan, tata nilai dan kebermaknaan dalam kehidupannya (Samiyanto, 2011). Dimensi spiritual berdasarkan studi literatur Elkins et al, (1988) yaitu : 1) Dimensi transenden. 2) Dimensi makna dan tujuan hidup. 3) Dimensi misi hidup. 4) Dimensi kesucian hidup. 5) Dimensi kepuasan spiritual. 6) Dimensi Altruisme. 7) Dimensi Idealisme. 8) Dimensi kesadaran akan adanya penderitaan. 9) Hasil dari spiritualitas. Wahyuningsih (2009) menilai bahwa inventori yang dibuat oleh Elkins diatas dibuat berdasarkan pada model humanistik (nonreligious) dan tidak berafiliasi pada agama. Spiritualitas meskipun sangat pribadi, dianggap sebagai sesuatu yang universal tidak peduli berapa usianya atau tahapan perkembangannya (Kenny,

11

1999). Oldnall (1996) menegaskan bahwa integritas spiritual merupakan kebutuhan dasar manusia. Hal ini menjadi sumber motivasi yang dirasakan oleh tiap individu dalam memberikan arti pada hidupnya Walaupun mayoritas literatur mengenai spiritual banyak berfokus pada isu-isu yang berkaitan dengan orang dewasa bahkan orang tua, namun Hay berpendapat bahwa tidak ada seorangpun tanpa spiritualitas, bahkan anak-anak bisa menyentuh kesadaran spiritual daripada banyak orang dewasa (Hufton, 2006). Spiritualitas pada anak lebih pada kemampuan untuk mendapatkan nilai personal melalui hubungannya dengan orang lain (Kamper, Van Cleve & Savedra, 2010). Keingin tahuan anak yang besar diekspresikan dalam berbagai bentuk, pada sesuatu yang universal, alam, hewan, tumbuhan, manusia bahkan apapun. Spiritual yang berbasis pada pengalaman pribadi memberi pengaruh pada individu untuk mengetahui tujuan hidupnya, mampu berinteraksi terhadap orang lain dengan mudah, mampu menentukan pilihan hidupnya dan mampu mengambil keputusan (Schreurs, 2001). Hal ini diutarakan oleh Spalding (2003) bahwa seorang anak indigo mempunyai optimisme yang tinggi terhadap kelangsungan hidup manusia di masa depan. Sekalipun kondisi di dunia sekarang banyak peperangan, kejahatan, kekhawatiran bahkan perubahan iklim yang drastis, namun anak indigo meyakini semua yang terjadi di dunia pada jalur yang benar. Selain

memiliki

pengalaman

spiritual,

individu

indigo

juga

memiliki

pengalaman mistis. Mistisisme itu sendiri oleh W. R. Inge adalah suatu kesadaran akan realitas Yang Melampaui, Yang Maha (consciousness of the beyond) yang tampak sebagai sumber prinsip aktif yang independen. Dia juga berasumsi bahwa

12

kehidupan yang kontemplatif yang mewadahi persaksian langsung antara manusia dan Tuhan serta melebur dengan-Nya adalah langkah akhir yang menjadi tujuan dalam pengalaman mistis (Zarrabizadeh, 2011). William James (1985) memberikan ciri-ciri dalam penentuan pengalaman mistis, yakni tidak terbahasakan (ineffability), kualitas bermuatan intelektual (noetic quality), bersifat sementara (transciency) dan kepasifan (passivity). Underhill (2012) menekankan pengalaman mistis menyatu dengan Yang Esa sebagai proses aktif yang mengalir dan berkelanjutan bukannya sebuah pengakuan akan suatu kebenaran sejati yang hanya terjadi sesekali. Maka dapat disimpulkan bahwa pengalaman mistis adalah sebuah pengalaman istimewa akan perjumpaan dengan Tuhan (transenden) dengan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Setelah pengalaman spiritual dan mistis ada juga istilah mengenai pengalaman metafisis. Istilah metafisika yang dikenal selama ini berasal dari bahasa Yunani: ta meta ta physica, artinya “yang datang setelah fisika”. Istilah tersebut banyak dibahas dalam ranah keilmuan kefilsafatan. Menurut Nicolai Hartman, metafisika adalah tempat khusus bagi pengetahuan-pengetahuan transenden, daerah spekulatif bagi tanggapan-tanggapan tentang Tuhan, kebebasan dan jiwa serta segala sesuatu yang eksistensinya di luar dimensi fisik-empirik (Salam, 1988). Oleh Immanuel Kant hal-hal yang bersifat transenden berada dalam ranah metafisika (Bagus, 1996). Maka pengalaman metafisis dalam konteks metafisika adalah segala segala sesuatu yang berujung pada transendensi. Anak indigo yang memiliki bermacam pengalaman, mulai dari pengalaman metafisis, mistik dan spiritual tentu memiliki berbagai macam makna dalam setiap

13

pengalamannya. Makna hidup merupakan manifestasi dari spiritualitas, yakni berupa penghayatan intrapersonal yang bersifat unik, ditunjukkan dalam hubungan sosial (interpersonal) yang bermanfaat, menginspirasi dan mewariskan sesuatu yang bernilai bagi kehidupan manusia (Pasiak, 2012). Bentuk-bentuk penghayatan seperti itulah yang belum ada dalam penelitian-penelitian lain dalam konteks individu indigo. Untuk dapat memahami individu indigo secara utuh maka terlebih dahulu mengetahui

bagaimana

mereka

memaknai

pengalaman

spiritualitasnya.

Pengalaman spiritual individu indigo menjadi suatu hal yang penting karena mencakup perjalanan hidupnya. Tidak hanya problem yang mereka hadapi selama ini namun juga perihal bagaimana mereka menghadapinya, solusinya dan apa makna yang didapatkan. B. Rumusan Permasalahan Berbagai penjelasan dalam sub bab sebelumnya terkait kehidupan anak indigo di masyarakat maupun pandangan beberapa tokoh telah melatar belakangi beberapa rumusan masalah, yakni : 1. Bagaimana makna pengalaman spiritual individu indigo? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan serta menggambarkan secara utuh pemaknaan pada pengalaman spiritual individu indigo.

14

D. Originalitas Penelitian Penelitian ini menggali lebih dalam mengenai kajian individu indigo. Khususnya mengenai tema pengalaman spiritual individu indigo. Terkait dengan penelitian individu indigo, umumnya dilakukan dengan metode kualitatif dikarenakan ketersediaan narasumber terbatas. Penelitian yang dilakukan terkait anak indigo di Fakultas Psikologi UGM yakni : Jayati (2011) melakukan penelitian pada individu indigo berusia dewasa awal terkait penyesuaian diri terhadap permasalahan atau tantangan hidup yang dihadapi. Pristisari (2010) melakukan penelitian dengan melihat regulasi emosi negatif pada anak indigo. Agustia (2009) melakukan penelitian dinamika emosi pada individu indigo terkait dengan kemampuan persepsi ekstrasensori. Pada penelitiannya yang dimaksud emosi-emosi yang muncul dalam diri individu indigo diantaranya reaksi fisiologis, faktor kognitif dan situasional, perasaan serta perilaku individu terhadap pengalaman kejadian sehari-hari. Okita dan khotimah (2015) meneliti tentang anak indigo usia enam tahun terkait proses sosialisasinya di lingkungan teman sebaya. Hasil dari penelitiannya menunjukkan sosialisasi anak indigo menggunakan pola sosialisasi partisipatif yang didorong dengan teman sebaya agar mampu bersosialisasi dan tidak bersikap anti sosial terhadap lingkungan yang disebabkan atas ketakutan tidak diterimanya indigo dalam kehidupan bermasyarakat. Maningrum (2015) melakukan penelitian pada anak indigo berusia lima tahun yang memiliki bakat seni. Kreativitas hasil lukisannya menjadi bahan kajian, khususnya pada aspek simbol, bentuk dan warna. Hasilnya adalah ide dan gagasan

15

yang tertuang dalam lukisan anak indigo memiliki keunikan. Kebebasan melukis yang diberikan pada anak indigo di sekolah maupun di rumah menjadi modal anak untuk mengeksplorasi ide, gagasan dan kepekaannya. Lukisan anak indigo tersebut memiliki simbol, bentuk dan warna yang merupakan visualisasi dari apa yang diinginkan, dirasakan dan dialami. Disertasi Grobler (2009) fokus pada pembuatan pedoman terapi gestalt berdasar perspektif Kristen untuk membantu orang tua dalam mengasuh anak dengan kecenderungan indigo. Para orang tua seringkali kesulitan membesarkan anak-anak mereka terlebih anaknya terindikasi indigo. Pengetahuan tentang anak indigo menjadi sangat penting bagi orang tua. Mengakui anak indigo mempunyai kelebihan, kemampuan yang tidak dipunyai anak lain menjadi awal membangun relasi yang baik bagi orang tua. Dengan demikian orang tua merasa lebih dekat dengan si anak, sedangkan si anak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan yang bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Psikologi Perkembangan dan Sosial di Indonesia. Secara khusus diharapkan dapat memperjelas dan mempertegas konsep mengenai individu dengan kebutuhan khusus (indigo). 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa masukan bagi para orang tua atau penggiat/pemerhati anak berkebutuhan khusus (indigo). Agar dapat memahami secara utuh proses pemaknaan pengalaman spiritual mereka.