1 KONSEP SOSIAL POLITIK TAN MALAKA DAN

Download 5 Harry poese, Tan Malaka; Pergulatan Menuju Repoblik I, ..., hal. 257. 6 Taufik Adi Susilo,Tan Malaka Biografi singkat, Grasi Yogyakarta 2...

0 downloads 650 Views 69KB Size
1

KONSEP SOSIAL POLITIK TAN MALAKA DAN RELEVANSINYA BAGI HAK ASASI MANUSIA Oleh: Zul Helmi

ABSTRACT This research aims to depict Tan Malaka’s socio-political thought relaterd to the issues on human rights. This is qualitative research based on philosophical approcahes. It uses library research method to gather the data on Tan Malakas’s thought on the concept of individual and societal rights. The research argued that Tan Malakas has differ concept on individual and societal rights, individual rights are the rights of living as the free human being, and societal rights are the right of society to determine their faith and indepence without collonialization. . Keywords: Tan Malaka, human rights Pendahuluan Tan Malaka adalah seorang tokoh yang berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan manusia terutama di Indonesia, dan telah banyak melahirkan ide dan pemikiran yang orisinil. Tan Malaka lahir di sebuah nagari Pandan Gadang Suliki Kecamatan Gunung Emas Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat pada tanggal 2 Juni tahun 1897 (Susilo, 2008: 12). Tan Malaka dilahirkan dari pasangan; ayahnya bernama HM. Rasad dan ibunya bernama Rangkayo Sinah, yang di beri nama Ibrahim1. Setelah mulai masuk dewasa Ibrahim diberi gelar pusaka Datuk Tan Malaka. Sebagai seorang datuk (penghulu) yang di tuakan selangkah dan di tinggikan seranting, tentu tidak sembarangan orang, artinya orang yang mempunyai kelebihan dari segi individu diantara anggota suku yang lain, dan dipandang mampu untuk mengepalai kaum atau suku. Tan Malaka adalah orang yang dipandang oleh kaum atau sukunya mampu untuk itu, karena itulah diberi gelar Datuk Tan Malaka2. Tan Malaka pada mulanya masuk Sekolah Rakyat (SR) di Suliki kemudian pindah ke Tanjung Ampalu, karena ayahnya bekerja sebagai seorang Vaksinator di Alahan Panjang dan Tanjung Ampalu. Para Vaksinator bekerja sebagai pegawai pemerintah daerah. Setelah itu Tan Malaka melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool di Bukit Tinggi, sekolah ini termasuk

1

2

Tan Malaka,

Madilog, (Materialisme Dialektika Logika,) Widjaja, Djakarta. 1951, hal. 208

Harry A. Poeze, Tan Malaka; Pergulatan Menuju Republik I, Pustaka Utama Grafik, Jakarta.1988 hal. 12

2 perguruan tertinggi satu-satunya buat seluruh Sumatera di masa itu. Setelah selesai pendidikan di kweekschool tahun 1913 Tan Malaka mendapat regumendasi oleh gurunya G.H. Horensma melanjutkan pendidikan ke

Rijkskweekschool (sekolah guru) di Harleem Belanda, dengan

bantuan dana engku di Suliki (kampung asal Tan Malaka). Berhubung banyaknya calon yang ingin masuk ke Rijkskweekschool , ujian masuk cukup selektif, Tan Malaka termasuk salah satu dari tiga orang yang di terima dari 200 sampai 300 calon. Para murid Rijkskweekschool dididik untuk menjadi guru anak Belanda 3. Tan Malaka umur 16 tahun

mengalami banyak hal di luar, ketika masuk ke sekolah

pelatihan guru (Rijkskweekachool) di Haarlem Negeri Belanda Tan Malaka mengalami penyakit paru-paru. Ia harus pindah dari Haarlem ke Bussum, selama lima bulan lamanya, akibat tidak punya pakaian hangat di musim dingin, sementara ia harus belajar dengan keras. Tan Malaka juga menghadapi rintangan lain seperti, biaya hidup yang meningkat dan kebutuhan untuk beli buku, dan juga kecurigaan pemerintah belanda terhadap gerakan komunisme di kalangan pelajar Indonesia di Belanda. Hambatan seperti itu bukan tidak membimbangkan Tan Malaka. Tetapi semuanya itu menjadikan Tan Malaka lebih teruji dan bersemangat untuk tetap ingin menamatkan sekolah4. Dalam mengatasi biaya hidupnya Ia mengajarkan bahasa Melayu di kalangan orang-orang Belanda yang akan bertugas di Hindia Belanda, dengan kesulitan hidup yang dialami, Tan Malaka pernah berfikir untuk menjadi pedagang saja, dan pada waktu lain ia ingin masuk akademi meliter. Karena nasehat teman-teman Belandanya agar membatalkan niatnya, dan disamping itu surat dari kampung mengabarkan bahwa ekonomi orang tuanya mulaik menurun, sehingga mempengaruhi pikiran Tan Malaka, tetapi keinginannya untuk mendapatkan ijazah sekolah guru tetap bergelora, sebab jika ia pulang ada sesuatu yang dihasilkan dari rantau5. Di Belanda, Tan Malaka menyerap idiologi yang menjadi titik perjuangannya sampai akhir hayatnya. Tan Malaka bertemu dengan Herman

(pemuda perlarian dari Belgia) dan seorang

Belanda bernama Van Der Mey sedikit membuka mata Tan Malaka terhadap politik. Watak Tan Malaka terbentuk dari; membaca, belajar dan dilengkapi oleh penderitaan hidup. Dia pernah mencalonkan diri untuk Tweede Kamer (parlemen) Belanda mewakili negeri jajahan6. 3 4

Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara,Garasi Yogyakarta 2008, hal.38-39

Zulhasril Nasir,Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau, Ombak Yogyakarta 2007 hal. 27 5 Harry poese, Tan Malaka; Pergulatan Menuju Repoblik I, ..., hal. 257 6 Taufik Adi Susilo,Tan Malaka Biografi singkat, Grasi Yogyakarta 2008 hal. 13-15

3 Tan Malaka berkenalan dengan teori revolusioner, sosialisme, dan Marxisme- komunisme melalui berbagai buku dan brosur. Tan Malaka sempat diminta Suwardi suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) mewakili Indische Vereeniging dalam kongres pemuda Indonesia dan pelajar Indologie di Kota Deventer. Setelah berinteraksi dengan mahasiswa Indonesia dan Belanda, dia semakin yakin bahwa melalui jalan revolusi, Indonesia harus bebas dari penjajahan Belanda. Keyakinan itu dia pegang secara konsisten. Itulah masa awal dalam pengembangan politiknya 7. Dalam keadaan terbatas Tan Malaka membentuk dan membangun Ideologi dalam perjalanan panjang dari Belanda, Jerman, Rusia, naik kereta api Trans-Siberia melalui gurun es hingga Vladivostok di Timur, terus bolak-balik ke Amoy, Shanghai, Manila, Canton, Bangkok, Singapura, Semenanjung

Malaya, dan Burma. Di kota-kota ini Tan Malaka membangun

kekuatan anti penjajahan, dia melahirkan pemikirannya melalui buku, brosur, di antara bayangbayang intelijen Inggris, Amerika, Belanda8. Pada Nopember 1919, Tan Malaka pulang ke Indonesia dan menjadi guru di sekolah yang didirikan oleh perusahaan perkebunan Eropa. Di sana dia mengajar anak-anak kuli kontrak perkebunan tembakau milik orang Jerman dan Swiss, di Deli Sumatera Utara sejak Desember 1919 sampai Juni 1921. Dia di gaji setaraf dengan gaji guru orang Belanda. Semangat radikalnya tumbuh ketika menyaksikan ketimpangan sosial antara kaum buruh dan tuan tanah. Dalam bukunya, Dari Penjara kepenjara, Tan Malaka menulis: “Kekayaan bumi iklimnya Deli menjadi alat adanya satu golongan kaum modal penjajah yang paling kaya, paling sombong ceroboh dan paling kolot pada satu kutup. Di kutup yang lain berada satu golongan bangsa dan pekerja Indonesia yang paling terhisap, tertindas, dan terhina, yaitu kuli kontrak9.

I. Gerakan Sosial-Politik Tan Malaka Tan Malaka tidak tahan melihat penindasan yang diderita oleh para kuli perkebunan yang di datangkan dari Jawa, Ia minta berhenti dan pindah ke Semarang. Perjuanganhya tidak hanya mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tetapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan. Tan Malaka mendukung aksi-aksi yang dilakukan para buruh terhadap pemirintahan Hindia Belanda melalui Serikat Staf Kereta Api dan trem (VSTP) dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat 7

Susilo, Tan Malaka Biografi singkat,... hal.15. Taufik Adi Susilo,Tan Malaka Biografi singkat,... hal. 15 9 Tan malaka, Dari Penjara ke Penjara,Garasi Yogyakarta 2008, hal.64 8

4 agar rakyat dapat melihat adanya ketidak adilan yang diterima oleh kaum buruh. Tan Malaka dalam pidatonya di depan para buruh: “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti mengalami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”10. Pada tahun 1921 Tan Malaka juga terlibat dalam politik dengan menjadi anggota Indische Sociaal Democratische Vereenging (ISDV) yang kemudian menjadi partai Komunis Indonesia (PKI). PKI sendiri berlindung di belakang Serikat Islam (SI) sambil melakukan kegiatan agitasinya. Peranan Tan Malaka sebagai agitator komunis menjadi mencolok bagi polisi rahasia Hindia Belanda. Dengan keputusan gubernur jenderal, Tan Malaka dikenakan hukuman buangan. Tan Malaka memilih Belanda sebagai tempat pengasingannya pada Maret 1922. Dari Belanda Tan Malaka pergi ke Moskow di sana mengikuti pendidikan partai komunis, dan aktif mengunjungi pabrik-pabrik dan berkenalan dengan para buruh. Ketika Komunis Internasional (Komintern) sibuk mempersiapan kongres keempat, Tan Malaka melapor sebagai wakil Indonesia dan diajak ikut rapat persiapan, tetapi Tan Malaka hadir sebagai penasehat, bukan anggota yang punya hak suara. Tan Malaka lalu menghadiri Kongres Komentern di Moskow pada Nopember 1922, di sana Tan Malaka ketemu dengan tokoh-tokoh komunis tingkat dunia yaitu Vladimir Illich Lenin, Joseph Stalin, dan Leon Trotsky11. Pada Kongres Komintren IV yang berlangsung 5 November – 5 Desember 1922, Tan Malaka bertemu dengan para pemimpin revolusi Asia, termasuk Ho Chi Minh dari Vietnam, semua wakil Asia mendapat kesempatan berbicara lima menit, Tan Malaka mendapat giliran pada hari ketujuh. Pada saat itulah dia menyampaiakan gagasan revolusioner tentang kerja sama antara komunis dengan Islam. Menurut Tan Malaka komunis tidak boleh mengabaikan kenyataan bahwa saat itu ada 250 juta Muslim di dunia. Pan-Islamisme

sedang berjuang

melawan imperealisme, perjuangan yang sama dengan gerakan komunisme, gerakan itu perlu mereka dukung12. Gagasan Tan Malaka mengenai koalisi komunisme dengan Pan-Islamisme mendapat dukungan penuh dari delegasi Asia. Namun kenyataan itu tidak terlalu disukai oleh Karl Radek, pemimpin Komentern yang membawahi urusan Asia. Setelah kongres usai dan para utusan 10

Taufik Adi Susilo,Tan Malaka Biografi singkat..., hal.116 Taufik Adi Susilo,Tan Malaka Biografi singkat,.. hal.17 12 Taufik Adi Susilo,Tan Malaka Biografi singkat, ... hal. 18 11

5 kembali ke negeri masing-masing, Tan Malaka bingung harus kemana. Dia tidak ingin kembali ke Belanda, kembali ke Indonesia tak mungkin. Tan Malaka sempat meminta Komentern menyekolahkannya, tetapi ditolak. Untuk mengisi waktu luang, Radek meminta Tan Malaka menulis buku, bahan-bahan untuk menulis dipesan dari Belanda. Tan Malaka dibebaskan menulis apa saja, yang penting tentang Indonesia. Pada tahun 1924 terbitlah buku yang berjudul Indonezija; ejo mesto na proboezdajoesjtsjemsja Vostoke ( Indonesia dan tempatnya di Timur yang sedang bangkit). Tan Malaka melakukan pertualangan lebih kurang 20 tahun, dikejar-kejar polisi rahasia di Manila, Hong Kong, Bangkok, Singapura, dan kota-kota lainnya. Selama dalam pelariannya dia menulis brosur dan di terbitkan di Canton pada tahun 1924 yang berjudul Naar Repoebliek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) dalam bahasa Belanda dan Melayu dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ratusan jilid buku tersebut lantas diseludupkan ke Hindia Belanda dan diterima oleh para tokoh pergerakan, termasuk Soekarno ( Susilo, 2008: 19). Buku inilah yang menjadi bukti bahwa Tan Malaka adalah pencetus gagasan Indonesia merdeka jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945. Dengan Menuju Republik Indonesia merupakan konsep pertama kalinya “Republik Indonesia” dicanangkan. Gagasan Tan Malaka ini disampaikan sembilan tahun sebelum Soekarno menulis Menuju Indonesia Merdeka tahun 1933, dan juga lebih dahulu dari Muhammad Hatta menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai Pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag tahun 1928. Bahkan buku Massa Actie tahun 1926 yang ditulis Tan Malaka dari tanah pelarian, kemudian menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Dalam usia 27 tahun, Tan Malaka sudah mencanangkan kemerdekaan Indonesia dan kejelasan perihal bentuk negara Indonesia yang merdeka kelak, yakni republik. Dalam buku Menuju Republik Indonesia dia juga memperkirakan kemungkinan terjadinya Perang Pasifik yang tentu saja mengakibatkan kelemahan pihak Jepang sehingga Indonesia bisa lepas dari Jepang. Tan Malaka tidak sekedar mencetuskan gagasan, pada Juli 1927 Tan Malaka dengan beberapa temannya mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok Thailan dan juga berusaha mendirikan cabang-cabang PARI di beberapa tempat di Indonesia, namun mudah ditumpas oleh polisi rahasia Hindia Belanda. Tan Malaka lalu meneruskan pengembaraannya hingga ke Cina Selatan. Pada tahun 1936 Tan Malaka pendiri dan guru di Foreign Language

6 School, Amoy Cina dari tahun 1936 sampai 1937, guru bahasa Inggris dan matematika di Nanyang

Chinese Normal School di singapura dari tahun 1939 sampai 1941, juru tulis

pertambangan batu bara di Bayah Indonesia dari tahun 1942 sampai 1945, dan juga sebagai tukang jahit di Kalibata tahun 194513. Pada tahun 1936, Tan Malaka kembali ke Amoy, di sana dia mengajar bahasa Inggris, Jerman dan teori Marxis, hingga tahun 1937 sekolah itu menjadi sekolah bahasa terbesar di Amoy. Pada bulan Agustus 1937 Tan Malaka pergi ke Rangon, Birma lewat Singapura selama satu bulan. Karena tabungannya habis terkuras, Tan Malaka kembali ke singapura melalui Penang, dan bekerja sebagai guru. Kemudian dia menyeberang ke Sumatera, mengunjungi Medan, Padang dan beberapa kota lain di Sumatera14. Ketika Jepang menduduki jazirah Melayu dan Indonesia pada tahun 1942, Tan Malaka memutuskan pulang ke Tanah Air. Setelah masuk kembali ke Indoneisa. Pada tahun 1943 Tan Malaka masuk ke Bayah dan bekerja di pertambangan Bayah, Banten dengan nama samaran Hussein, penyamaran itu di lakukan karena dia menguasai bahasa-bahasa setempat dengan baik. Selama di Bayah Tan Malaka banyak berbincang-bincang dengan para pemuda sehingga dia sempat ditunjuk sebagai wakil daerah Banten untuk ikut kongres Angkatan Muda di Jakarta. Dari Bayah pula Tan Malaka mengikuti perkembangan politik yang berlangsung di Jakarta. Tan Malaka sempat tinggal di Jakarta untuk menulis dan riset di perpustakaan untuk kepentingan menulis buku Madilog dan Aslia (Asia- Australia). Pada bulan September 1945 Tan Malaka menggerakan rapat raksasa di Lapangan Ikada (sekarang kawasan Monas) Jakarta. Pada 1Januari 1946 Tan Malaka mengadakan kongres Persatuan Perjuangan untuk mengambil alih kekuasaan dari tentara sekutu. Pada 17 Maret 1946 Tan Malaka dan Sukarni ditangkap di Madiun, karena Persatuan Perjuangan dituduh akan mengkodeta Soekarto-Hatta. Sejak itu keduanya hidup dari penjara ke penjara di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Beberapa catatan tentang Bagian biografi Tan Malaka. Pertanyaan besar agaknya: Kenapa dia tidak berperan pada periode menuju Proklamasi 17 Agustus 1945 dan pada awal RI berdiri? Tan Malaka sudah berumur 51 tahun ketika Proklamasi, lebih tua dari tokoh-tokoh politik

13 14

Taufik Adi Susilo,Tan Malaka Biografi singkat, ... hal.32 Taufik Adi Susilo,Tan Malaka Biografi singkat ,... hal.51

7 lainnya. Ia baru muncul di Jakarta (dari persembunyian di Banten Selatan) seminggu setelah Proklamasi pada 25 Agustus 1945 di rumah Mr Subardjo di Jalan Cikini, Jakarta. Pada bulan Juni 1948, keduanya dipindahkan ke penjara Magelang. Kemudian Tan Malaka menulis buku Dari Penjara ke Penjara. Pada 16 September 1948 dibebaskan. Pada 7 Nopember 1948 Tan Malaka dan Sukarni mendirikan Partai Murba. 15 Beberapa catatan Harry Poeze tentang profil Tan Malaka agaknya membantu, karena pada saat-saat bersejarah selama tahun-tahun awal RI itu, Tan Malaka seperti dilewati oleh dinamika politik dan tidak menonjol di panggung peristiwa. Pada halaman 39 ditulis "betapa selama bertahun-tahun Tan Malaka hidup sebagai orang perburuan sehingga sebenarnya dia tidak mampu lagi hidup secara normal...". Kemudian dicatatnya di halaman 866 bahwa "kecenderungan merahasiakan segala sesuatunya dan sikap terlalu hati-hati mendominasi karakter Tan Malaka". "Ia seorang revolusioner yang kesepian (een eenzame revolutioner), menurut Poeze dalam bab Penutup16. Ia ditangkap pada Maret 1946 di Madiun oleh pendukung PM Sutan Syahrir, karena dituduh mengorganisir agitasi terhadap Kabinet Syahrir, yang menyulitkan diplomasi yang sedang berlangsung dengan pihak Belanda. Pada bulan Juni 1948, keduanya dipindahkan ke penjara Magelang. Kemudian Tan Malaka menulis buku Dari Penjara ke Penjara. Tan Malaka baru dibebaskan pada 16 September 1948 sebagai pengimbang terhadap gerakan PKI-Muso. Pada 7 Nopember 1948 Tan Malaka dan Sukarni mendirikan Partai Murba. Setelah serangan umum Belanda 19 Desember 1948 ketika Yogya diduduki, maka sebagai keputusan politik, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh Hatta dan sejumlah anggota kabinet tidak meninggalkan ibu kota. Mereka menjadi tahanan militer Belanda. Tan Malaka yang bergerak di Jawa Timur, di daerah sebelah barat Kota Kediri, seberang Kali Brantas yang dianggap melakukan agitasi bahwa kepemimpinan Soekarno-Hatta sudah berakhir. Pada 9 Februari 1949 di Desa Tegoran, menurut undangan diacarakan rapat koordinasi para komandan yang bergerilya di daerah itu. Ternyata, rapat itu menjadi ajang agitasi politik bagi Tan Malaka (dengan nama samaran Pak Usin) yang berpidato selama lebih sejam. Pada

15

Taufik Adi Susilo,Tan Malaka Biografi singkat, ... hal. 61 Harry Poese, Tan Malaka Gerakan Kiri dan Revolusi IndonesiaJilid Iagustus 1945-Maret 1946,Obor Yogyakarta 2008 hal. 205. 16

8 malam itulah tanpa dinyatakan secara formal dibentuk Gabungan Pembela Proklamasi. Ia juga rajin mengedarkan pamflet-pamflet politik yang ditulisnya sendiri dengan alamat "Markas Murba Terpendam". Salah satu pamflet itu mencerci para perwira TNI, antara lain nama Kol Sungkono disebut, komandan Jawa Timur, "yang lari terbirit-birit ke Gunung Wilis diuber pasukan Belanda". Di periode perang gerilya menghadapi Belanda pada belahan pertama tahun 1949 di mana hukum militer berlaku, sikap komandan setempat menghadapi agitasi yang diorganisir oleh Tan Malaka, termasuk menyusun kekuatan bersenjata, dan tidak mengakui lagi kepemimpinan Soekarno-Hatta ataupun PRRI di Sumatera, sudah dapat diramalkan. Letkol Surachmad, komandan "Wehrkreisse" di daerah tersebut mengeluarkan surat perintah rahasia yang mencap gerakan Tan Malaka sebagai mengancam eksistensi RI. Ia lapor kepada Kol Sungkono bahwa tindakan keras akan dilakukan terhadap Tan Malaka dan pengikutnya. Pada 21 Pebruari 1949, Letnan Dua Sukotjo dan anak buahnya menangkap Tan Malaka atas nama tentara Republik Republik Indonesia dan Tan Malaka bersama anak buahnya bernama Suradi Tekebek dieksikusi di desa Selopanggung dekat Tonggoel Gunung Wilis, Kediri, karena dituduh melawan Soekarto-Hatta, waktu itu Tan Malaka bersama Soedirman yang berjuang di Yogyakarta sedang melawan agresi Belanda17. Poeze berhasil menggali fakta-fakta itu setelah bertahun-tahun melakukan penelitian dan mengunjungi lokasinya. Ia ungkapkan emosinya sedikit dan tinggalkan objektivitasnya sebagai ilmuwan sejarah ketika di catatan kaki halaman 1466 ia memakai istilah "pembunuh Tan Malaka" (moordenaar) dan kata "schuld" (rasa bersalah). Padahal di bagian lainnya, penulis akui bahwa hukum militer berlaku dalam situasi perang melawan Belanda. Tan Malaka dan Hak Asasi Manusia

Konsep Hak Asasi Manusia 1. Pengertian dan Landasan Hak Asasi Manusia (HAM ).

17

Taufik Adi Susilo,Tan Malaka Biografi singkat, Grasi Yogyakarta 2008 hal. 61

9 Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia Pada tataran internasional, wacana hak asasi manusia telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Sejak diproklamirkannya The Universal Declaration of Human Right tahun 1948, telah tercatat dua tonggak historis lainnya dalam petualangan penegakan hak asasi manusia internasional. Pertama, diterimanya dua kovenan (covenant) PBB, yaitu yang mengenai Hak Sipil dan Hak Politik serta Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dua kovenan itu sudah dipemaklumkan sejak tahun 1966, namun baru berlaku sepuluh tahun kemudian setelah diratifikasi tiga puluh lima negara anggota PBB. Kedua, diterimanya Deklarasi Wina beserta Program Aksinya oleh para wakil dari 171 negara pada tanggal 25 Juni 1993 dalam Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia PBB di Wina, Austria. Deklarasi yang kedua ini merupakan kompromi antar visi negara-negara di Barat dengan pandangan negara-negara berkembang dalam penegakan hak asasi manusia. Di Indonesia, diskursus tetang penegakan hak asasi manusia juga tidak kalah gencarnya. Keseriusan pemerintah di bidang HAM paling tidak bermula pada tahun 1997, yaitu semenjak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) didirikan setelah diselenggarakannya Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 1991. Sejak itulah tema tentang penegakan HAM di Indonesia menjadi pemebicaraan yang serius dan berkesinambungan. Kesinambungan itu berwujud pada usaha untuk mendudukkan persoalan HAM dalam kerangka budaya dan sistem politik nasioanal sampai pada tingkat implementasi untuk membentuk jaringan kerjsama guna menegakkan penghormatan dan perlindungan HAM tersebut di Indonesia. Meski tidak bisa dipungkiri adanya pengaruh internasional yang menjadikan hak asasi manusia sebagai salah satu isu global, namun penegakan hak asasi manusia di Indonesia lebih merupakan hasil dinamika intrenal yang merespon gejala internasional secara positif. Pada tahun 1999 lah, Indonesai memiliki sistem hukum yang rigid dan jelas dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan pelangaran HAM di Indonesia. Diberlakukannya UU No. 39 tahun

10 1999 tentang Hak Asasi Manusia kendati agak terlambat merupakan langkah progresif dinamis yang patut dihargai dalam merespon isu internasional di bidang hak asasi manusia walaupun masih perlu dilihat dan diteliti lebih jauh isinya. 2. Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999 Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM). Dalam Undang-undang ini pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998. Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari: 1) Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.

11 2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak yang bebas. 3) Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. 4) Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar. 5) Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masingmasing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia. 6) Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. 7) Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya. 8) Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan. 9) Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.

12 10) Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum. Hak Asasi Manusia Menurut Tan Malaka Antonio cassesse (1994: viii-x) menjelaskan; sebelum Perang Dunia I berakhir ada dua pemimpin keliber dunia yaitu Lenin dan Wilson, yang melontarkan semboyan baru, yaitu hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri. Namun keduanya juga ada perbedaan pandangan. Bagi Lenin, kekuasaan internasional perlu ditata kembali sesuai dengan garis-garis yang baru, di mana rakyat-rakyat daerah jajahan diberi hak untuk merdeka dan dengan begitu hak untuk mengadakan negara. Selain itu diberikan pula kesempatan kepada rakyat suatu bangsa yang tunduk kepada kekuasaan pusat yang dimiliki bangsa-bangsa lain untuk memperoleh kemerdekaan. Berbeda dari Lenin, Wilson mengusulkan perlunya dipertimbangkan kembali tapal-tapal batas negaranegara yang ada setelah berakhirnya perang dunia I, sambil memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih kedaulatan yang mereka tentukan sendiri. Sedangkan mengenai rakyat jajahan Wilson setuju terhadap perlunya memperhatikan aspirasi-aspirasi mereka. Tetapi tuntutan negara-negara penjajah perlu pula di perhatikan. Berarti pada satu sisi memberikan bentuk pemerintahan sendiri pada rakyat-rakyat terjajah, dan pada sisi lain tetap dalam kerangka pengawasan negara penjajah. Terlepas dari perbedaan pandangan Lenin dan Wilson tersebut gagasan hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) telah mengilhami gerakan-gerakan kemerdekaan di kawasan Asia da Afrika. Gagasan hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri tidak bisa kita sangkal mengilhami tokoh-tokoh perintis kemerdekaan di Indonesia, India, cina, Vietnam, Aljazair. Tan Malaka sangat terdorong untuk memperjuangkan hak rakyat ini. Salah satu sumbangan terpenting dari gagasan hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri adalah merupakan ideologi baru yang menjadi legitimasi

untuk menggugat keabsahan kedudukan

politik dan hukum dari pemerintah jajahan yang didirikan oleh negara-negara penjajah. Itu berarti dalam perspektif hubungan internasional ideologi hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri menuntut adanya perubahan-perubahan pada hukum internasional lama yang telah mapan melestarikan kepentingan-kepentingan negara penjajah.

13 Perjuangan rakyat Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda, kemudian Jepang, dan perjuangan untuk mengusir masuknya kembali Belanda ke Indonesia, disebabkan kehendak untuk menentukan nasib sendiri, yaitu kehendak untuk mempunyai pemerintahan dan negara sendiri yang diharapkan dapat melindungi kepentingan-kepentingan rakyat di bidang-bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya.Tampa perlu mengecilkan arti perjuangan bersenjata dari rakyat Indonesia, kita harus berani mengakui, bahwa ideologi baru yang dikenal dengan nama hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) yang mulai diterima oleh negara-negara Barat dan negara-negara Asia itu memberikan dukungan ideologi dan politis kepada rakyat Indonesia dalam usaha untuk memperoleh pengakuan internasional berkenaan dengan proklamasi kemerdekaan negerinya. Hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai nilai dan norma tetap relevan untuk terus dipertahankan hingga sekarang ini. Sebagai hak yang melekat pada suatu bangsa dan juga individu anggota bangsa ia tetap penting sebagai ideologi yang mengabsahkan setiap usaha untuk menjaga, meningkatkan, dan memelihara kepentingan dan hak-hak bersama bangsa. Setelah usai Perang Dunia II, kedudukan pribadi manusia memperoleh pengakuan yang lebih luas dan kokoh dalam hubungan internasional. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa memuat tiga gagasan utama, yaitu hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, hak asasi manusia, dan gagasan tentang perdamaian. Melalaui perdebatan yang panjang di antara angotaangota PBB terutama antara Blok Barat dan Blok Sosialis, akhirnya pada tahun

1948 di

proklamirkan Deklarasi Universal tentang hak-Hak asasi Manusia. Deklarasi ini didirikan di atas empat tonggak utama. Yang pertama ialah, hak-hak pribadi antara lain; hak persamaan, hak hidup, kebebasan, keamanan dan sebagainya, yang termuat dalam pasal 3 sampai pasal 11; kedua hak-hak yang dimiliki oleh individu dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok sosial di mana ia ikut serta, yaitu hak kerahasiaan kehidupan keluarga dan hak untuk kawin; kebebasan bergerak di dalam atau di luar negara nasional; untuk memiliki kewargaannegaraan; untuk mencari tempat suaka dalam keadaan adanya penindasan; hak untuk mempunyai hak milik dan untuk melaksanakan agama, yang semuanya di atur dalam pasal 12 sampai pasal 17; ketiga, ialah kebebasan-kebebasan sipil dan hak-hak politik yang dijalankan untuk memberikan kontribusi bagi pembentukan instansi-instansi pemerintahan atau ikut serta dalam proses pembuatan keputusan, yang meliputi kebebasan berkesadaran, berfikir dan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat dan berkumpul, hak memilih dan dipilih, hak untuk menghubungi pemerintah dan

14 badan-badan pemerintahan umum, diatur dalam pasal 18 sampai dengan pasal 21; dan keempat berkenaan dengan hak-hak ekonomi dan sosial, yaitu hak-hak dalam bidang hubungan-hubungan perburuhan, produksi dan pendidikan; hak untuk bekerja dan mendapatkan jaminan sosial dan hak untuk memilih pekerjaan dengan bebas, untuk mendapatkan upah yang sama atas kerja yang sama, hak untuk membentu dan ikut-serta dalam serikat-serikat buruh, hak untuk beristirahat dan bersenang-senang, memperoleh jaminan kesehatan, pendidikan dan hak untuk ikut-serta secara bebas dalam kehidupan budaya masyarakat, yang diatur dalam pasal 22 sampai dengan pasal 27 (Cassese, 1994: xi-xii). Pada tahun 1966 PBB mengesahkan dua kovenan internasional untuk hak asasi manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-Hak sipil dan Politik, dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Dengan demikian kini ada tiga dokumen tentang hak-hak asasi manusia, yaitu Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak sipil dan Politik, dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang secara moral dan politik mengikat negara-negara anggota PBB. Ketiga dokumen tersebut bisa dikatakan merupakan perangkat normatif internasional hak-hak asasi manusia yang setiap negara anggota PBB diminta, bahkan didesak oleh masyarakat dunia untuk mematuhinya(xii). Secara normatif, kedudukan pribadi manusia dengan segala hak-haknya yang paling asasi telah memperoleh pengakuan dalam Deklarasi dan Kovenan-kovenan internasional. Tan Malaka sangat terdorong untuk memperjuangkan hak rakyat ini. Salah satu sumbangan terpenting dari gagasan hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri adalah merupakan ideologi baru yang menjadi legitimasi

untuk menggugat keabsahan kedudukan

politik dan hukum dari pemerintah jajahan yang didirikan oleh negara-negara penjajah. Itu berarti dalam perspektif hubungan internasional ideologi hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri menuntut adanya perubahan-perubahan pada hukum internasional lama yang telah mapan melestarikan kepentingan-kepentingan negara penjajah. Perjuangan rakyat Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda, kemudian Jepang, dan perjuangan untuk mengusir masuknya kembali Belanda ke Indonesia, disebabkan kehendak untuk menentukan nasib sendiri, yaitu kehendak untuk mempunyai pemerintahan dan negara sendiri yang diharapkan dapat melindungi kepentingan-kepentingan rakyat di bidang-bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya.Tampa perlu mengecilkan arti

15 perjuangan bersenjata dari rakyat Indonesia, kita harus berani mengakui, bahwa ideologi baru yang dikenal dengan nama hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) yang mulai diterima oleh negara-negara Barat dan negara-negara Asia itu memberikan dukungan ideologi dan politis kepada rakyat Indonesia dalam usaha untuk memperoleh pengakuan internasional berkenaan dengan proklamasi kemerdekaan negerinya. Hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai nilai dan norma tetap relevan untuk terus dipertahankan hingga sekarang ini. Sebagai hak yang melekat pada suatu bangsa dan juga individu anggota bangsa ia tetap penting sebagai ideologi yang mengabsahkan setiap usaha untuk menjaga, meningkatkan, dan memelihara kepentingan dan hak-hak bersama bangsa.

Kesimpulan Pertama; Setelah berkenalan dengan teori revolusioner, sosialisme, dan Marxismekomunisme. Inilah masa awal dalam pengembangan politiknya Tan Malaka. Setelah berinteraksi dengan mahasiswa Indonesia dan Belanda, dia semakin yakin bahwa melalui jalan revolusi, Indonesia harus bebas dari penjajahan Belanda. Keyakinan itu dia pegang secara konsisten. . Tan Malaka mewakili Indische Vereeniging dalam kongres pemuda Indonesia dan pelajar Indologie di Kota Deventer. Kedua; Perjuangan Tan Malaka tidak hanya dalam usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tetapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan. Tan Malaka mendukung aksi-aksi yang dilakukan para buruh terhadap pemirintahan Hindia Belanda melalui Serikat Staf Kereta Api dan trem (VSTP) dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidak adilan yang diterima oleh kaum buruh. Tan Malaka dalam pidatonya di depan para buruh: “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti mengalami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.Tan Malaka terlibat dalam politik dengan menjadi anggota Indische Sociaal Democratische Vereenging (ISDV) yang kemudian menjadi partai Komunis Indonesia (PKI). PKI sendiri berlindung di belakang Serikat Islam (SI) sambil melakukan kegiatan agitasinya. Peranan Tan Malaka sebagai agitator komunis menjadi menjadi perhatian polisi rahasia Hindia Belanda. Dengan keputusan gubernur jenderal, Tan Malaka dikenakan hukuman buangan. Tan Malaka memilih Belanda sebagai tempat

16 pengasingannya, dari Belanda Tan Malaka pergi ke Moskow di sana mengikuti pendidikan partai komunis, dan aktif mengunjungi pabrik-pabrik dan berkenalan dengan para buruh. Ketiga; Tan Malaka memperjuangkan hak rakyat. Salah satu sumbangan terpenting dari gagasan hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri adalah merupakan ideologi baru yang menjadi legitimasi untuk menggugat keabsahan kedudukan politik dan hukum dari pemerintah jajahan yang didirikan oleh negara-negara penjajah. Dalam perspektif hubungan internasional ideologi hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri menuntut adanya perubahan-perubahan pada hukum internasional yang telah mapan melestarikan kepentingan-kepentingan negara penjajah. Keempat; Perjuangan rakyat Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda, kemudian Jepang, dan perjuangan untuk mengusir masuknya kembali Belanda ke Indonesia, untuk menentukan nasib sendiri, yaitu kehendak untuk mempunyai pemerintahan dan negara sendiri diharapkan dapat melindungi kepentingan-kepentingan rakyat di bidang-bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya.Tanpa perlu mengecilkan arti perjuangan bersenjata dari rakyat Indonesia, kita harus berani mengakui, bahwa ideologi baru yang dikenal dengan nama hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) yang mulai diterima oleh negara-negara Barat dan negara-negara Asia itu memberikan dukungan ideologi dan politis kepada rakyat Indonesia dalam usaha untuk memperoleh pengakuan internasional berkenaan dengan proklamasi kemerdekaan negerinya. Hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai nilai dan norma tetap relevan untuk terus dipertahankan hingga sekarang ini.

DAFTAR PUSTAKA Abdulgani,Ruslan.dkk.,2004, Soedirman Tan Malakadan Persatuan Perjuangan, Restu Agung Abdullah, Taufik., dkk., 1979, Manusia dalam kemelut Sejarah, Jakarta LP3ES. Engels, Frederick., 2005, Dialektika Alam, terj. Oey Hay Djoen, Jakarta, Hosta Mitra. Fromm, Erick., 2004, Konsep Manusia Menurut Marx, terj. Agung Prihartono, Cet. Ketiga,

17 Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Gunawan, Restu., 2005, Muhammad Yamin dan cita-cita Persatuan, Yogyakarta, Ombak. Hatta, Muhammad., 1975, Ajaran Marx atau kepintaran seorang murid membeo,Jkarta, Bulan Bintang. Hardiman.,F.Budi, 2011,Hak-hak Asasi Manusia; Poemik dengan Agama dan Kebudayaan, Kanisius Yogyakarta. Hery, Yunior Hafidh., 2007, Tan Malaka dibunuh,Yogyakarta, Resist Book. Kymlicka, Will., 2004,Pengantar Filsafat Politik Kontemporer, Kajian khusus atas teori-teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Lubis. Todung Mulya,1993, In search of Human Rights, PT. Gramdeia Pustaka Utama Jakarta. Malaka, Tan.,1951, Madilog, Materialisme Dialektika Logika. Jakarta Widjaja. Malaka, Tan., 2008, Dari Penjara ke Penjara, Yogyakarta, Garasi. Malaka, Tan., 1964, Gerpolek; Gerilja- Politik- Ekonomi,Cet. Kedua Djakarta, Jajasan Massa. Malaka, Tan., 1950, Akal dan Muslihat Burdjuis serta Kaum Opportunis Menipu Rakyat, Jakarta. Marx, Karl. And Frederick Engels, 1974, The German Idiology, New York, International Publesher. Mustofa, Sumono.,Penyunting, 1986, Sukarni dalam kenangan teman-teman, Jakarta, Sinar Harapan Mufti. M.ahmad, 2009, Ham menurut Barat Ham Menurut Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Jakarta. Nasir, Zulhasril., 2007, Tan malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau, Yogyakarta, ombak Poeze, Harry A., 1988, Tan malaka; Pergulatan menuju Republik I,Jakarta, Pustaka Utama Grafik. Poeze, Harry A.,1999, Pergulatan Menuju Republik; Tan Malaka 1925-1945, Jakarta, Temprint. Poeze, Harry A., 2008, Tan malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jild. 1, Agustus 1945 –Maret 1946 Jakarta, yayasan Obor Poeze, Harry A. , 2009, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jilid 2, Maret 1946 – Maret 1947, Jakarta, Yayasan Obor Ramly, Andi Muawiyah., 2000, Peta PemikiranKarl Marx, Materialisme, Dialektik dan Materialisme Historis, Yogyakarta LKIS. Rambo, Safrizal., 2003,Pemikiran Politik Tan Malaka, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Satiardja. A. Gunawan, 1993, Hak-hak Asasi Manusia berdasarkan Ideologi Pancasila,Kanisius Yogyakarta. Suseno, Frans Magnis., 1999, Pemikran Karl Marx, Dari Sosialis utopis ke Perselisihan Revisonisme, Jakarta, Gramedia Susilo, Taufik Adi., 2008, Tan Malaka; Biografi Singkat, Yogyakarta, Grasi Suwarto, Wasid., 2006, Mewarisi Gagasan Tan Malaka, Jakarta Penerbit LPPM Tan Malaka Editor Pandu., Ydha, 2010,Undang-Undang Ham, Karya Gemilang, Jakarta.