11 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 ULKUS TRAUMATIKUS 2.1.1 DEFINISI

Download KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Ulkus Traumatikus. 2.1.1 Definisi Ulkus Traumatikus. Ulkus atau ulser adalah suatu kerusakan lapisan epitel yang berbat...

0 downloads 401 Views 626KB Size
BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Ulkus Traumatikus 2.1.1 Definisi Ulkus Traumatikus Ulkus atau ulser adalah suatu kerusakan lapisan epitel yang berbatas jelas yang membentuk cekungan, ulkus sering ditemukan di rongga mulut (Regezi dkk., 2008). Namun demikian, kerusakan ulkus dapat dibedakan dengan erosi karena kerusakan ulkus lebih dalam dari erosi (Gandolfo dkk., 2006). Ulkus traumatikus didefinisikan sebagai suatu kelainan yang berbentuk ulkus pada mukosa rongga mulut yang disebabkan oleh paparan trauma (Greenberg, 2008). Ulkus traumatikus merupakan lesi sekunder yang berbentuk ulkus, yaitu hilangnya lapisan epitelium hingga melebihi membrana basalis dan mengenai lamina propria oleh karena trauma (Regezi dkk., 2008). Trauma merupakan penyebab tersering terjadinya ulkus pada membran mukosa. Biasanya pasien dapat memperkirakan kejadian yang menimbulkan ulkus. Pada umumnya ulkus terjadi setelah beberapa kali paparan trauma (Sonis dkk., 2003). 2.1.2 Insidensi Ulkus Traumatikus Ulkus traumatikus dapat terjadi pada mukosa rongga mulut, antara lain: pada lidah, bibir, lipatan mukosa bukal (buccal fold), gingiva, palatum, mukosa labial, mukosa bukal dan dasar mulut, ulkus traumatikus sering terjadi pada mukosa labial dan bukal karena terletak berdekatan dengan daerah kontak oklusi geligi sehingga lebih mudah mengalami gigitan pada waktu gerakan

11

12

pengunyahan. Hampir setiap orang pernah mengalami insidensi pada mukosa rongga mulut (83,6%), dan tidak ada perbedaan bermakna yang terjadi baik antara pria dan wanita. Biasanya pada pria berkisar 81,4% dan pada wanita biasanya berkisar 85%. Ulkus traumatikus merupakan salah satu dari tiga kondisi yang paling sering ditemukan dalam rongga mulut (15,6%), setelah varises dasar mulut (59,6%), dan fissured tongue (28%) (Delong & Burkhart, 2008). Ulkus traumatikus juga sering dijumpai pada lateral lidah pada pemakaian gigi tiruan lepasan di mana sayap atau saddle gigi tiruan lepasannya yang terlalu panjang atau permukaan gigi tiruan yang kasar. Hal ini menjadi alasan ulkus traumatikus banyak dijumpai pada pasien di bidang kedokteran gigi (Regezi dkk., 2008). 2.1.3 Etiologi Ulkus Traumatikus Ulkus traumatikus dapat disebabkan oleh (Scully dkk., 2003; Greenberg, 2008) : 1. Trauma mekanik: makanan yang kasar (tajam), tergigit, terkena sikat gigi, klamer gigi tiruan lepasan, tepi restorasi yang tajam. 2. Trauma kimia: Aspirin, perak nitrat, H2O2, fenol. 3. Thermal: makanan atau minuman panas, CO2 dingin (dry ice). 4. Elektrik: sengatan listrik. Trauma mekanik seperti menggigit bibir, pipi atau lidah, mengonsumsi atau mengunyah makanan keras, gigitan dari tonjolan gigi yang tajam, trauma dari gigi yang patah dan iritasi gigi tiruan serta tumpatan yang tajam (Delong & Burkhart, 2008). Selain itu dapat juga berasal dari iritasi akibat pemasangan gigi tiruan yang tidak stabil, tepi protesa atau klamer gigi tiruan sebagian lepasan

13

(GTSL), gigi yang tajam atau gigi yang tidak rata, trauma oleh karena benda asing seperti penggunaan piranti ortodontik ataupun sikat gigi yang digunakan dengan teknik yang salah sehingga membuat erosi jaringan lunak di sekitarnya, kebiasaan buruk menusuk gingiva atau mukosa dengan tusuk gigi atau kuku jari, kontak dengan makanan tajam, tergigitnya mukosa saat mengunyah, bicara ataupun ketika tidur (Neville dkk., 2002). Dalam perawatan gigi dapat terjadi trauma pada jaringan lunak secara tidak sengaja. Ulkus dapat diakibatkan oleh cotton rolls, tekanan saliva ejector yang tinggi atau instrumen bur yang mengenai jaringan lunak (Regezi dkk., 2008). Trauma kimia dapat diakibatkan oleh penggunaan sejumlah kecil obat misalnya aspirin (chemical burn), yang kontak langsung dengan mukosa, iritasi akibat penggunaan pasta gigi, mouthwash, bahan bleaching dan hidrogen peroksida, yang digunakan untuk mengobati penyakit gusi, juga mampu menyebabkan nekrosis epitel (Delong & Burkhart, 2008). Ada pula ulkus traumatikus yang disebabkan karena thermal. Luka thermal (suhu) disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api, cairan panas atau objek-objek panas lainnya (Regezi dkk., 2008). Ulkus pada rongga mulut juga dapat terlihat pada pasien yang menjalani radiasi untuk kanker pada kepala dan leher. Pada keadaan keganasan tersebut, biasanya adalah kasus karsinoma sel skuamosa yang membutuhkan terapi radiasi dosis tinggi (60 Gy-70 Gy). Ulkus sering muncul pada daerah yang terkena sinar tersebut (Regezi dkk., 2008).

14

2.1.4 Gambaran Klinis Ulkus Traumatikus Ulkus traumatikus tersebut dapat berupa ulkus yang tunggal atau multipel, berbentuk simetris atau asimetris, ukurannya tergantung dari trauma yang menjadi penyebab, dan biasanya nyeri. Kebanyakan merupakan keadaan akut, sedangkan lainnya adalah kronis. Ulkus traumatikus akut memiliki karakter adanya kerusakan pada mukosa dengan batas tepi eritema dan di tengahnya berwarna putih kekuningan, serta menimbulkan rasa nyeri. Sedangkan ulkus traumatikus kronis bisa tanpa disertai rasa nyeri dengan dasar induratif dan tepi yang meninggi. Sehingga ulkus tersebut dapat dibedakan dengan SCC (Squamous Cell Carcinoma) dari dasar lesinya secara klinis (Scully, 2008).

Gambar 2.1 Ulkus Traumatikus Pada Mukosa Bibir Bawah ( Scully, 2008)

15

Gambar 2.2 Gambaran histologi ulkus traumatikus (A) Kerusakan lapisan epitel; (B) Infiltrasi sel-sel radang limfosit, neutrofil, histiosit dan sel plasma (Delong dan Burkhart, 2008) 2.1.5 Diagnosis Ulkus Traumatikus Dengan adanya ulseratif yang akut, hubungan antara penyebab dan akibat dapat terlihat dengan nyata, berdasarkan gambaran klinis dan riwayatnya. ketika didapatkan adanya etiologi yang jelas, menegakkan diagnosis merupakan hal yang mudah. Sedangkan pada kasus ulseratif yang kronis, penyebabnya terkadang tidak dapat diketahui secara pasti. Pada keadaan ini perlu untuk mengembangkan adanya differential diagnosis. Kondisi yang dapat dijadikan differential diagnosis adalah suatu infeksi (sifilis, tuberculosis, infeksi jamur) dan keganasan (malignancy). Jika lesi diduga disebabkan oleh trauma, maka penyebabnya sebaiknya diamati. Observasi dilakukan selama 2 minggu bersamaan dengan pemberian mouth rinse seperti larutan sodium bikarbonat. Jika tidak ada perubahan atau bertambah luas ukurannya, perlu dilakukan biopsi (Regezi dkk., 2008; Lewis, 2004).

16

2.2. Kaitan Luka dengan Ulkus Luka (wound atau vulnus) adalah gangguan kontinuitas struktur jaringan yang umumnya dihubungkan dengan hilangnya struktur jaringan. Jaringan yang hilang atau rusak perlu dikembalikan kontinuitasnya lewat proses perbaikan, baik dengan cara regenerasi sel atau pembentukan jaringan parut atau sikatrik. Ke dua jenis perbaikan ini bertujuan mengisi daerah yang rusak agar integritas jaringan kembali normal (Permatasari dkk, 2013). Istilah vulnus seringkali digunakan oleh para ahli bedah untuk menyebutkan lesi yang disebabkan oleh trauma mekanik (Perdanakusuma, 2007). Ulkus dalam bahasa latin pada Kamus Kedokteran disebut dengan Ulcus merupakan luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir atau mukosa. Proses penyembuhan yang terjadi pada ulkus dan luka memiliki prinsip yang sama yaitu melalui tahap inflamasi, proliferasi dan remodeling yang akan dibahas pada subbahasan di bawah (Suryadi dkk, 2013). 2.3 Penyembuhan Luka Penyembuhan luka adalah reaksi dari organisme untuk mengembalikan kontinuitas dan fungsi dari jaringan atau organ yang mengalami jejas (Mackay dan Miller, 2003; Gottrup dkk., 2007). Penyembuhan luka merupakan proses yang dinamis, dan melibatkan aktivitas beberapa macam sel dan matriks ekstraseluler di mana proses ini tergantung pada faktor lokal dan sistemik. Tujuan utama pada penyembuhan luka setelah terjadi jejas adalah untuk mengembalikan kontinuitas dan fungsi jaringan. Jejas dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah

17

dan ekstravasasi sel darah. Proses penyembuhan luka dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling (Gottrup dkk., 2007). Penyembuhan luka merupakan sebuah proses transisi yang merupakan salah satu proses paling kompleks dalam fisiologi manusia yang melibatkan serangkaian 18 reaksi dan interaksi kompleks antara sel dan mediator. Fase inflamasi bertujuan untuk membuang jaringan mati dan mencegah infeksi (Prasetyono, 2009). Tubuh memiliki respon fisiologis terhadap luka yakni proses penyembuhan luka. Proses penyembuhan luka terdiri dari berbagai proses yang kompleks untuk mengembalikan integritas jaringan. Selama proses ini terjadi pembekuan darah, respon inflamasi akut dan kronis, neoangiogenesis, proliferasi sel hingga apoptosis. Proses ini dimediasi oleh berbagai sel, sitokin, matriks, dan growth factor.

Gambar 2.3 Fase penyembuhan luka. Penyembuhan luka pada kulit orang dewasa dan sel yang mendominasi pada masing-masing fase (Gurtner, 2007)

18

2.3.1 Tahapan Penyembuhan Luka Menurut Eslami dkk., (2009) ada beberapa proses pada penyembuhan luka (wound healing), yaitu : A. Fase hemostasis Kerusakan

pada

permukaan

mukosa

seringkali

menyebabkan

kerusakan pembuluh darah dan terjadi pendarahan. Hal ini menyebabkan deposisi fibrin, agregasi platelet dan koagulasi. Sesaat setelah luka, bekuan darah yang terbentuk merupakan barier yang menghubungkan luka dan melindungi jaringan yang terbuka. Lingkungan rongga mulut yang lembab dan aliran saliva menyebabkan koagulan mudah lepas. Beberapa menit kemudian, terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler yang menyebabkan plasma protein masuk ke area luka dan memicu migrasi leukosit. Integritas barier proteksi telah terganggu, mikroorganisme, toksin dan antigen masuk ke dalam jaringan mukosa, sehingga menimbulkan respon inflamasi (Nanci, 2008). B. Fase inflamasi Respon inflamasi ini bertujuan untuk mengeliminasi benda asing dan mengendapkan matriks ekstra seluler. Pada tahap ini, sel radang akut serta neutrofil akan menginvasi daerah radang dan menghancurkan semua debris dan bakteri. Dengan adanya neutrofil maka dimulailah respon keradangan yang ditandai dengan cardinal symptoms, yaitu tumor, kalor, rubor, dolor dan functio laesa. Pada ulkus traumatikus, tahap inflamasi ini berlangsung pada hari pertama sampai hari ke-3 (Gottrup dkk., 2007).

19

Fase inflamasi terjadi setelah vasokonstriksi dan vasodilatasi pada daerah luka. Proses ini membantu migrasi sel inflamasi menuju ke daerah luka. Pada fase ini, terjadi koagulasi sel darah di mana prothrombin berubah menjadi thrombin, fibrinogen menjadi fibrin, dan clot menjadi fibrin clot. Aktivitas fibrinolotik terjadi pada fase awal penyembuhan luka. Fibrin memiliki peran utama dalam dalam mengawali angiogenesis dan mengembalikan struktur vaskuler. Netrofil, limfosit dan makrofag adalah sel yang pertama kali mencapai daerah luka. Fungsi utamanya adalah melawan infeksi dan membersihkan debris matriks seluler dan benda-benda asing (Gottrup dkk., 2007). Fase inflamasi ditandai dengan terjadinya pembekuan darah (clotting) untuk mempertahankan hemostasis, pelepasan bermacam-macam faktor untuk menarik sel-sel yang akan memfagosit debris, bakteri, dan jaringan yang rusak, serta pelepasan faktor yang akan memulai proliferasi jaringan (Grab dan Smith 2006). Agen kemotaktik seperti produk bakteri, complement factor, histamin, prostaglandin, leukotriene dan platelet derived growth factor (PDGF) menstimulasi leukosit untuk berpindah dari sel endotel. Leukosit yang terdapat pada luka di dua hari pertama adalah neutrofil. Sel ini membuang jaringan mati dan bakteri dengan fagositosis. Netrofil juga mengeluarkan protease untuk mendegradasi matriks ekstraseluler yang tersisa. Setelah melaksanakan fungsi fagositosis, neutrofil akan difagositosis oleh makrofag atau mati. Meskipun neutrofil memiliki peran dalam mencegah infeksi, keberadaan neutrofil yang persisten pada luka dapat menyebabkan luka sulit untuk mengalami proses

20

penyembuhan. Hal ini bisa menyebabkan luka akut berprogresi menjadi luka kronis (Pusponegoro, 2005; Webster dkk., 2012). Pada saat jaringan terluka, maka darah akan kontak dengan kolagen. Hal ini memacu platelet untuk mensekresi faktor-faktor inflamasi. Platelet atau dikenal juga dengan trombosit, juga mengekspresi glikoprotein pada membran sel sehingga platelet tersebut dapat menempel satu sama lain , beragregasi, dan membentuk massa (Grab dan Smith 2006). Platelet akan melepaskan berbagai faktor pertumbuhan yang potensial (Transforming Growth Factor-β, Platelet Derived Growth Factor, Interleukin-1), sitokin dan kemokin. Mediator ini sangat dibutuhkan pada penyembuhan luka untuk memicu penyembuhan sel, diferensiasi dan mengawali pemulihan jaringan yang rusak (Nanci, 2008). Pada hari ke dua – ke tiga luka, monosit / makrofag masuk ke dalam luka melalui mediasi monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1). Makrofag sebagai sel yang sangat penting dalam penyembuhan luka memiliki fungsi fagositosis bakteri dan jaringan mati. Makrofag mensekresi proteinase untuk mendegradasi matriks ekstraseluler (ECM) dan penting untuk membuang material asing, merangsang pergerakan sel, dan mengatur pergantian ECM. Makrofag merupakan penghasil sitokin dan growth factor yang menstimulasi proliferasi fibroblast, produksi kolagen, pembentukan pembuluh darah baru, dan proses penyembuhan lainnya (Gurtner, 2007). Makrofag akan menggantikan peran polimorfonuklear sebagai sel predominan. Platelet dan faktor-faktor lainnya menarik monosit dari pembuluh

21

darah. Ketika monosit mencapai lokasi luka, maka ia akan dimatangkan menjadi makrofag. Peran makrofag adalah (Grab dan Smith 2006): 1. Memfagositosis bakteri dan jaringan yang rusak dengan melepaskan protease. 2. Melepaskan growth factors dan sitokin yang kemudian menarik sel-sel yang berperan dalam fase proliferasi ke lokasi luka. 3. Memproduksi faktor yang menginduksi dan mempercepat angiogenesis 4. Memstimulasi sel-sel yang berperan dalam proses reepitelisasi luka, membuat jaringan granulasi, dan menyusun matriks ekstraseluler. 5. Fase inflamasi sangat penting dalam proses penyembuhan luka karena berperan melawan infeksi pada awal terjadinya luka serta memulai fase proliferasi. Walaupun begitu, inflamasi dapat terus berlangsung hingga terjadi kerusakan jaringan yang kronis.

C. Fase Proliferasi Fase ini dimulai hari ke dua setelah trauma jaringan dan berlanjut dua sampai tiga minggu setelah trauma (Gottrup dkk., 2007). Fase proliferasi ditandai dengan terbentuknya jaringan granulasi yang disertai kekayaan jaringan pembuluh darah baru, fibroblas, dan makrofag dalam jaringan penyangga yang longgar (Prasetyono, 2009).

22

Gambar 2.4 Fase proliferasi (Gurtner dkk., 2007) Fase ini disebut fase fibroplasia atau fase regenerasi, merupakan kelanjutan dari fase inflamasi ditandai dengan proliferasi dan migrasi fibroblas, serta produksi jaringan ikat. Terdapat tiga proses utama dalam fase proliferasi, antara lain: a. Neoangiogenesis Angiogenesis merupakan pertumbuhan pembuluh darah baru yang terjadi secara alami di dalam tubuh, baik dalam kondisi sehat maupun patologi (sakit). Kata angiogenesis sendiri berasal dari kata angio yang berarti pembuluh darah dan genesis yang berarti pembentukan. Pada keadaan terjadi kerusakan jaringan, proses angiogenesis berperan dalam mempertahankan kelangsungan fungsi berbagai jaringan dan organ yang terkena. Terjadinya hal ini melalui terbentuknya pembuluh darah baru yang menggantikan pembuluh darah yang rusak (Frisca dkk., 2009). Pada angiogenesis pembentukan pembuluh darah baru berasal dari kapiler-kapiler yang muncul dari pembuluh darah kecil di sekitarnya

23

(Kalangi, 2011). Pembuluh darah kapiler terdiri atas sel-sel endotel dan perisit. Ke dua jenis sel ini memuat seluruh informasi genetik untuk membentuk pembuluh darah dan cabang-cabangnya serta seluruh jaringjaring kapiler. Molekul-molekul angiogenik khas akan mendorong terjadinya proses ini, tetapi ada pula molekul-molekul penghambat bersifat khusus untuk menghentikan proses angiogenesis. Molekul-molekul dengan fungsi yang berlawanan tersebut nampaknya seimbang dan serasi dalam bekerja terus menerus mempertahankan suatu sistem pembuluh darah kecil yang konstan (Kalangi, 2011). Pada proliferasi terjadi angiogenesis disebut juga sebagai neovaskularisasi, yaitu proses pembentukan pembuluh darah baru, merupakan hal yang penting sekali dalam langkah-langkah penyembuhan luka. Jaringan di mana pembentukan pembuluh darah baru terjadi, biasanya terlihat berwarna merah (eritem) karena terbentuknya kapilerkapiler di daerah itu (Grab dan Smith 2006). Selama

angiogenesis,

sel

endotel

memproduksi

dan

mengeluarkan sitokin. Beberapa faktor pertumbuhan terlibat dalam angiogenesis antara lain Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), angiopoetin, Fibroblast Growth Factor (FGF) dan TGF-β. Setelah pembentukan jaringan cukup adekuat, migrasi dan proliferasi sel-sel endotelial menurun, dan sel yang berlebih akan mati dalam dengan proses apoptosis (Gurtner, 2007).

24

Pembuluh darah kapiler dibentuk dari penonjolan pembuluh darah yang ada. Pada awalnya sel-sel endotel berproliferasi dan bermigrasi membentuk untaian padat sel yang meluas ke lateral dari pembuluh darah induknya.

Penyusunan

kembali

sel-sel

menghasilkan

lumen,

memungkinkan sel-sel darah masuk. Arteri dan vena yang kecil dan sedang mula-mula dibentuk sebagai kapiler, kemudian berkembang melalui proliferasi sel-sel endotel dan dindingnya menebal dengan menambah sel otos polos dan berbagai unsur ekstrasel (Bloom dan Fawcett, 2002). Angiogenesis meliputi urutan peristiwa sebagai berikut (Bloom dan Fawcett, 2002): 1. Terdapat degradasi lokal dari lamina basal pada kapiler yang telah ada. 2. Migrasi sel-sel endotel ke tempat pertumbuhan baru. 3. Proliferasi dan diferensiasi untuk membentuk kuncup kapiler. 4. Penyusunan kembali sel-sel endotel untuk membentuk lumen. 5. Anastomosis kuncup-kuncup yang berdekatan untuk membentuk jalinan pembuluh darah. 6. Pengaliran darah melalui pembuluh darah baru. Proses Angiogenesis. Proses angiogenesis tersusun dari beberapa tahapan yang dimulai dari proses inisiasi yaitu dilepaskannya enzim protease dari sel endotel yang teraktivasi, pembentukan pembuluh darah vaskular, antara lain terjadinya degradasi matriks ekstraseluler (Extra Cellular Matrix/ECM), migrasi dan

25

proliferasi sel endotel, serta pembuatan ECM baru yang kemudian dilanjutkan dengan maturasi/ stabilisasi pembuluh darah yang terkontrol dan demodulasi untuk memenuhi kebutuhan jaringan (Plank dan Sleeman, 2004). Menurut Frisca dkk. (2009), tahapan-tahapan angiogenesis dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Pelepasan faktor stimulus angiogenik. Kumpulan sel pada jaringan yang mengalami kerusakan (luka) atau mengalami hipoksia, akan melepaskan faktor angiogenik (berupa faktor pertumbuhan dan protein rantai pendek lainnya) yang dapat berdifusi ke sel-sel pada jaringan sekitarnya. Menyusul proses tersebut, terjadi pula proses inflamasi. Pada proses inflamasi, pembuluh darah kecil yang terdapat secara lokal memegang peranan penting dalam proses yang terjadi selanjutnya karena pembuluh darah merupakan suatu jaringan yang dilapisi oleh sel endotel, yang akan berinteraksi dengan faktor peradangan dan angiogenik. Faktor-faktor angiogenik ini dapat menarik dan mendorong proliferasi sel endotel dan sel radang. Menjelang proses migrasi, sel-sel radang juga mensekresi molekul-molekul yang juga berperan sebagai stimulus angiogenik. 2. Pelepasan enzim protease dari sel endotel yang teraktivasi. Faktor angiogenik berupa faktor pertumbuhan kemudian berikatan dengan reseptor yang spesifik terdapat pada reseptor sel endotel (EC) di sekitar lokasi pembuluh darah lama. Ketika faktor angiogenik berikatan dengan reseptornya, sel endotel akan teraktivasi dan menghasilkan signal yang kemudian dikirim dari permukaan sel ke nukleus. Organel-organel sel endotel kemudian mulai

26

memproduksi molekul baru antara lain adalah enzim protease yang berperan penting dalam degradasi matriks ekstraseluler untuk mengakomodasi percabangan pembuluh darah. 3. Disosiasi sel endotel dan degradasi ECM yang melapisi pembuluh darah lama Disosiasi sel endotel dari sel-sel di sekitarnya, yang distimulasi oleh faktor pertumbuhan angiopoetin, serta aktivitas enzim-enzim yang dihasilkan oleh sel endotel yang teraktivasi, seperti urokinase-plasminogen activator (uPA) dan matrix metalloproteinase (MMPs), dibutuhkan untuk menginisasi terbentuknya pembuluh darah baru. Melalui sistem enzimatik tersebut, sel endotel dari pembuluh darah lama akan mendegradasi ECM dan menginvasi stroma dari jaringan-jaringan di sekitarnya sehingga sel-sel endotel yang terlepas dari ECM ini akan sangat responsif terhadap signal angiogenik. 4. Migrasi dan proliferasi sel endotel Degradasi proteolitik dari ECM segera diikuti dengan migrasinya sel endotel ke matriks yang terdegradasi. Proses tersebut kemudian diikuti dengan proliferasi sel endotel yang distimuli oleh faktor angiogenik, yang beberapa di antaranya dilepaskan dari hasil degradasi ECM, seperti fragmen peptida, fibrin atau asam hialuronik. 5. Pembentukan lumen dan pembuatan ECM baru. Sel endotel yang bermigrasi tersebut kemudian mengalami elongasi dan saling menyejajarkan diri dengan sel endotel lain untuk membuat struktur percabangan pembuluh darah yang kuat. Proliferasi sel endotel meningkat sepanjang percabangan vaskular. Lumen kemudian terbentuk dengan

27

pembengkokan (pelengkungan) dari sel-sel endotel. Pada tahap ini kontak antar sel endotel mutlak dibutuhkan. 6. Fusi pembuluh darah baru dan inisiasi aliran darah. Struktur pembuluh darah yang terhubung satu sama lain akan membentuk rangkaian atau jalinan pembuluh darah untuk memediasi terjadinya sirkulasi darah. Pada tahap akhir, pembentukan struktur pembuluh darah baru akan distabilkan oleh sel mural (sel otot polos dan pericytes) sebagai jaringan penyangga dari pembuluh darah yang baru terbentuk. Tanpa adanya sel mural, struktur dan jaringan antar pembuluh darah sangat rentan dan mudah rusak. Faktor-faktor Angiogenesis Availibilitas sel endotel aktif (hasil degradasi ECM pada pembuluh darah lama), migrasi dan proliferasi sel endotel merupakan komponen utama angiogenesis. Interaksi yang terjadi antara faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya angiogenesis sangat kompleks dan hal ini mendorong para peneliti untuk melakukan pengisolasian dan purifikasi hormon pertumbuhan sel endotel. Faktor-faktor angiogenik ini memiliki dampak berbeda-beda pada pergerakan dan proliferasi sel endotel, yang termasuk tahap penting dalam angiogenesis. Beberapa faktor angiogenik menstimulasi pergerakan atau proliferasi sel endotel atau ke dua-duanya, bahkan terdapat pula faktor angiogenik yang tidak memiliki efek atau menghambat proliferasi sel endotel. Selain memiliki aksi yang berbeda, masing-masing faktor juga memiliki target sel yang berbeda (Frisca dkk, 2009).

28

Menurut Frisca dkk (2009), faktor-faktor angiogenik dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok yaitu : 1. Kelompok faktor angiogenik yang memiliki target sel endotel, untuk menstimulasi proses mitosis. Contohnya faktor angiogenik vaskular endothelial growth factor (VEGF) dan angiogenin yang dapat menginduksi pembelahan pada kultur sel endotel. 2. Kelompok ke dua merupakan molekul yang mengaktivasi sel target secara luas selain sel endotel. Beberapa sitokin, kemokin dan enzim angiogenik termasuk dalam kelompok ini. Fibroblast growth factor (FGF)-2 merupakan sitokin kelompok ini yang pertama kali dikarakterisasi. 3. Kelompok ke tiga merupakan faktor yang bekerja tidak langsung. Faktor-faktor angiogenik pada kelompok ini dihasilkan dari makrofag, sel endotel atau sel tumor. Kelompok faktor yang paling banyak dipelajari adalah tumor necrosis factor alfa (TNF-α) dan transforming growth factor beta (TGF-β) yang menghambat proliferasi sel endotel in vitro. Secara in vivo, TGF-β menginduksi angiogenesis dan menstimuli ekspresi TNF-α, FGF-2, Platelet Derived Growth Factor (PDGF), dan VEGF dengan menarik sel-sel inflamatori. TNF-α diketahui meningkatkan ekspresi VEGF dan reseptornya, interleukin-8 dan FGF-2 pada sel endotel. Aktivitas TNF-α ini menjelaskan peranannya dalam angiogenesis secara in vivo.

29

Beberapa kemungkinan mekanisme stimulasi angiogenesis oleh faktor angiogenik tipe ini antara lain : a Mobilisasi makrofag dan mengaktivasi sel tersebut untuk mensekresi hormon pertumbuhan atau faktor kemotaktik sel endotel pembuluh darah, atau bahkan mensekresi keduanya. b. Menyebabkan terjadinya pelepasan nitrogen sel endotel (contohnya bFGF) yang dapat disimpan di ECM. c. Menstimulasi pelepasan penyimpanan intraseluler faktor pertumbuhan sel endotel. b. Reepitelialisasi Secara simultan, sel-sel basal pada epitelium bergerak menuju daerah luka dan menutupi daerah luka (Gottrup dkk., 2007). Pada tepi luka, keratinosit akan berproliferasi setelah kontak dengan ECM dan kemudian bermigrasi dari membran basal ke permukaan yang baru terbentuk. Ketika bermigrasi, keratinosit akan menjadi pipih dan panjang dan juga membentuk tonjolan sitoplasma yang panjang. Pada ECM, mereka akan berikatan dengan kolagen tipe I dan bermigrasi menggunakan reseptor spesifik integrin. Kolagenase yang dikeluarkan keratinosit akan mendisosiasi sel dari matriks dermis dan membantu pergerakan dari matriks

awal.

Keratinosit

juga

mensintesis

dan

mensekresi

Matrixmetalloproteinase lainnya ketika bermigrasi (Schultz, 2007).

30

c. Fibroplasia Fibroblas mulai memasuki daerah luka 2 - 5 hari setelah fase inflamasi luka berakhir, dan jumlahnya mencapai puncak pada 1 - 2 minggu setelah terjadinya luka. Pada akhir minggu pertama, fibroblas adalah sel utama dalam luka. Fibroplasia berakhir 2 sampai 4 minggu setelah luka terjadi (Gurtner, 2007). Fibroblas berproliferasi dan bermigrasi, sehingga nantinya menjadi sel utama yang menjadi matrix kolagen di dalam area luka. Fibroblas dari jaringan normal bermigrasi ke dalam area luka. Awalnya fibroblas menggunakan benang fibrin pada fase inflamasi untuk bermigrasi, melekat ke fibronektin. Lalu fibroblas mengendapkan substansi dasar ke dalam area luka yang selanjutnya akan ditempati oleh kolagen (Grab dan Smith 2006). D. Fase Maturasi dan Remodeling Sekitar 1 minggu setelah terjadinya penyembuhan luka, fibroblas berdiferensiasi menjadi miofibroblas dan luka mulai menyusut. Pada luka yang dalam puncak penyusutan terjadi dalam 5 - 15 hari setelah terjadinya luka. penyusutan dapat berakhir dalam beberapa minggu, dan berlanjut bahkan setelah luka mengalami reepitelisasi. Jika pengerutan berlanjut terlalu lama, hal ini akan menuju pada kerusakan dan malfungsi. Pengerutan terjadi untuk mengurangi bentuk yang berlebihan dari penyembuhan luka. Luka yang besar akan menjadi 40 - 80 % lebih kecil setelah terjadinya pengerutan. Pada awalnya, pengerutan terjadi tanpa keterlibatan miofibroblas. Miofibroblas yang mirip sel otot polos bertanggung jawab pada kontraksi. Miofibroblas

31

mengandung aktin yang serupa ditemukan di dalam sel otot polos (Grab dan Smith 2006). Fase ini dimulai 2-3 minggu setelah penutupan luka. Selama fase ini, jaringan granulasi mengalami remodeling dan maturasi untuk membentuk jaringan scar, ketika jaringan granulasi telah ditutupi epitelium. Fase ini ditandai dengan penurunan densitas sel, jumlah kapiler dan aktivitas metabolik. Fibril kolagen membentuk serabut kolagen yang tebal (Gottrup dkk., 2007). Fase terakhir dalam penyembuhan luka merupakan fase maturasi yang ditandai keseimbangan antara proses pembentukan dan degradasi kolagen. Setidaknya terdapat tiga prasyarat kondisi lokal agar proses penyembuhan luka dapat berlangsung dengan normal, yaitu: 1) semua jaringan di area luka dan sekitarnya harus vital, 2) tidak terdapat benda asing, 3) tidak disertai kontaminasi eksesif atau infeksi (Prasetyono, 2009). Saat kadar produksi dan degradasi kolagen mencapai keseimbangan, maka mulailah fase maturasi dari penyembuhan jaringan luka. Fase ini dapat berlangsung hingga 1 tahun lamanya atau lebih, tergantung dari ukuran luka dan metode penutupan luka yang dipakai. Selama proses maturasi, kolagen tipe III yang banyak berperan saat fase proliferasi akan menurun kadarnya secara bertahap, digantikan dengan kolagen tipe I yang lebih kuat. Serabut-serabut kolagen ini akan disusun, dirangkai, dan dirapikan sepanjang garis luka (Grab dan Smith 2006). Fase remodelling jaringan parut adalah fase terlama dari proses penyembuhan. Pembentukan kolagen akan mulai menurun dan stabil.

32

Meskipun jumlah kolagen sudah maksimal, kekuatan tahanan luka hanya 15 % dari kulit normal. Proses remodelling akan meningkatkan kekuatan tahanan luka secara drastis. Proses ini didasari pergantian dari kolagen tipe III menjadi kolagen tipe I. Peningkatan kekuatan terjadi secara signifikan pada minggu ke tiga hingga minggu ke enam setelah luka. Kekuatan tahanan luka maksimal akan mencapai 90% dari kekuatan kulit normal (Webster dkk., 2012). 2.3.2 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyembuhan luka Faktor-faktor ini secara garis besar dibagi menjadi 2 kelompok yaitu faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor lokal meliputi besarnya luka, jenis jaringan yang mengalami luka, lokasi, bersih dan kotornya luka (kontaminasi) serta kecepatan penatalaksanaannya. Faktor sistemik meliputi keadaan umum penderita beserta kelainan kronik sebelumya yang telah diderita, keadaan gizi, penyakit sistem imun dan lain-lain (Cotran dkk., 1999; Grab dan Smith 2006). Faktor sistemik: 1. Nutrisi, merupakan pengaruh yang cukup menonjol. Kekurangan vitamin C dan protein akan mempengaruhi sintesis kolagen serta memperpanjang waktu penyembuhan. 2. Status metabolik, misalnya penyakit diabetes melitus di mana pada penyakit ini penderita mengalami gangguan metabolik. 3. Status sirkulasi darah. 4. Status imunitas, gangguan dan defisiensi sistem imun menyebabkan luka mudah terinfeksi dan mengganggu penyembuhan luka.

33

5. Hormonal, hormon glukokortikoid mempunyai pengaruh sebagai antiinflamasi, dapat mempengaruhi proses inflamasi dan proliferasi, sehingga dapat mempengaruhi sintesis kolagen. Faktor-faktor lokal; 1. Infeksi luka 2. Faktor mekanik, misalnya mobilisasi awal, pergerakan di atas luka akan proses penyembuhan luka. 3. Benda asing, misalnya benang jahit yang tidak terabsorbsi dan kotoran. 4. Macam, ukuran, dan lokasi luka. 5. Oksigenasi, merupakan faktor terpenting yang berpengaruh pada kecepatan penyembuhan luka. 2.4 Peranan Angiogenesis pada Penyembuhan Luka Jaringan pada penyembuhan luka memerlukan suplai oksigen dan nutrisi supaya dapat berproliferasi dengan baik, oleh karena itu diperlukan suatu proses yang dapat memfasilitasi hal tersebut yaitu angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru). Angiogenesis merupakan salah satu proses yang terjadi dalam penyembuhan luka pada fase proliferasi yaitu antara 2 hari sampai 3 minggu setelah injuri. Proses ini merupakan proses alami yang penting dan diperlukan pada penyembuhan luka untuk mengembalikan aliran darah pada jaringan setelah terjadi injuri, sehingga jaringan-jaringan yang baru mendapatkan suplai nutrisi yang cukup untuk berproliferasi (Permatasari dkk., 2013).

34

Proses pada penyembuhan luka, kapiler-kapiler baru membawa metabolit-metabolit vital seperti asam amino dan oksigen menuju sel-sel luka yang terlibat dalam suatu rangkaian kompleks dari proses perbaikan luka tersebut. Unsur pokok sel yang penting dari kapiler-kapiler baru ini adalah sel endotel. Sel endotel ini berinteraksi dengan zat biokimia cair dan protein matriks ekstrasel. Pada orang dewasa normal, dalam keadaan non-patologik sel endotel mengalami pergantian (turn over) dalam waktu bertahun-tahun, namun sel-sel endotel tersebut berproliferasi dengan cepat (5 hari) pada saat terjadi rangsangan

angiogenesis,

misalnya

selama

regenerasi

jaringan

pada

penyembuhan luka (Kalangi, 2011). 2.5 Reepitelialisasi pada Penyembuhan Luka Proses epitelialisasi terjadi selama fase proliferasi. Lapis sel-sel yang mati karena trauma, melindungi sel-sel hidup di lapisan yang lebih dalam dari epitel. Lapis-lapis perbaikan luka terbentuk dengan adanya integrasi antara kolagen yang disintesis oleh fibroblast dengan substansi dasar. pemulihan

luka,sel-sel

pada

tepian

luka

menggepang

Selama menjadi

lembaran tipis yang menyebar menutupi celah dalam epitel. Sedangkan pada tepi luka, pembelahan sel dimulai agak belakangan untuk menyediakan sel yang diperlukan untuk pemulihan epitel sampai tebalnya normal (Martyarini, 2011).

35

Secara simultan, sel-sel basal pada epitelium bergerak menuju daerah luka dan menutupi daerah luka (Gottrup dkk., 2007). Pada tepi luka, keratinosit akan berproliferasi setelah kontak dengan ECM dan kemudian bermigrasi dari membran basal ke permukaan yang baru terbentuk. Ketika bermigrasi, keratinosit akan menjadi pipih dan panjang dan juga membentuk tonjolan sitoplasma yang panjang. Pada ECM, mereka akan berikatan dengan kolagen tipe I dan bermigrasi menggunakan reseptor spesifik integrin. Kolagenase yang dikeluarkan keratinosit akan mendisosiasi sel dari matriks dermis dan membantu pergerakan dari matriks awal. Keratinosit juga mensintesis dan mensekresi Matrixmetalloproteinase lainnya ketika bermigrasi (Schultz, 2007).

2.6 Buah Adas Adas (Foenicullum vulgare Mill) suku adas-adasan atau apiaceace telah lama dikenal sebagai salah satu komponen pengobatan tradisional. Adas berasal dari daerah laut tengah timur (Italia ke timur hingga Suriah), tetapi secara luas telah mengalami naturalisasi di banyak belahan dunia terutama pada tanah kering di dekat pantai laut dan di tepi sungai. Tumbuhannya berbentuk herba yang berbau harum, berwarna hijau terang, tegak, dan dapat mencapai dua meter tingginya. Daun tumbuh sehingga 40 sentimeter, panjang berbentuk pita, dengan segmen terakhir dalam bentuk rambut, kira-kira selebar 0,5 mm. Bunga yang dihasilkan ujung tangkai adalah bunga majemuk yang berdiameter 5 hingga 15 cm. Setiap bagian umbel mempunyai 20-50 kuntum bunga kuning yang amat kecil pada pedikel-pedikel yang pendek. Buahnya adalah biji kering dari 4 hingga 9

36

milimeter panjangnya, dan mempunyai alur. Bijinya yang dikeringkan dikenali sebagai biji adas (Sudarsono dkk., 2002 ; Diaaz-Maroto dkk., 2006). 2.6.1 Klasifikasi Ilmiah Buah Adas

Gambar : 2.5 Buah Adas (Andajani dan Maharddika, 2003). Klasifikasi ilmiah tanaman adas adalah (Mimica dkk., 2003) : Kingdom

: Plantae ( tumbuhan )

Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh ) Superdivisio : Spermatophyta ( menghasilkan biji ) Divisio

: Magnoliophyta ( berbunga )

Kelas

: Magnoliopsida ( berkeping dua / dikotil )

Ordo

: Apiales

Familia

: Apiaceace ( suku bellimbing-belimbingan)

Genus

: Foeniculum

Spesies

: F. vulgare

37

2.6.2 Kandungan Kimia dan Manfaat Buah Adas Buah adas bermanfaat sebagai obat batuk, mulas, sariawan, pelega tenggorokan, dan penghangat badan (Setyaningsih, 2002). Fungsi buah Adas sebagai tanaman obat berkaitan erat dengan kandungan kimiawinya yang terdiri atas minyak atsiri, flavonoid, saponin, glikosidastilben funikulosida I, II, III, IV, stigmasterin, minyak lemak, protein, asam-asam organik, pentosan, pectin, trigonelin, kolin, dan iodine. (Sudarsono dkk., 2002). Minyak atsiri memiliki fungsi sebagai penghambat pertumbuhan mikroba maupun memberikan aroma harum (Arini dkk., 2003). Flavonoid telah lama diakui memiliki aktivitas antiinflamasi, antioksidan, antialergi, hepatoprotektif, antitrombotik, antiviral, dan antikarsinogenik (Nijveldt dkk., 2001). Saponin memiliki fungsi sebagai antiinflamasi, antibakteri, dan antikarsinogenik (Andajani dan Maharddika, 2003). Komponen saponin menurut (Froschle dkk., 2004) terbukti mampu menstimulasi sintesis fibroblast oleh fibronektin (Kanzaki dkk, 1998) menyebutkan bahwa fungsi saponin berkaitan erat dengan aktivasi TGF-β. 2.6.3. Penggunaan Adas dalam Bidang Kuliner adas adalah herbal yang sangat aromatik dan memiliki rasa yang kuat, sering digunakan dalam bidang kuliner dan pengobatan. Biji adas digunakan sebagai perasa pada makanan yang dipanggang, daging dan ikan, es krim, minuman beralkohol dan campuran herbal umbi, daun dan biji tanaman adas banyak digunakan dalam banyak kuliner tradisional dunia. Biji adas kering adalah bersifat aromatik, adas berwarna coklat atau hijau ketika segar, perlahan-lahan berubah kusam abu-abu sesuai usia biji.

38

Biji adas yang berwarna hijau merupakan pilihan terbaik jika digunakan untuk memasak . umbinya garing, akarnya yg kuat dapat dibuat sayur dan dapat tumis, direbus, dipanggang atau dimakan mentah. Adas sering digunakan terutama dalam masakan Mediterania, di mana umbi dan daun yang digunakan, baik mentah dan dimasak, dalam lauk, salad, pasta, masakan sayuran. Banyak budaya di anak benua India dan Timur Tengah menggunakan biji adas dalam masakan mereka. Adas merupakan salah satu rempah-rempah yang paling penting dalam masakan Kashmiri Pandit dan Gujarati (Diaaz-Maroto dkk., 2005). 2.6.4. Pengunaan Adas dalam Pengobatan Lokal dan Tradisional Secara medis adas sering digunakan sebagai campuran pencahar untuk menghilangkan efek sampingnya. campurannya dibuat dlm bentuk bubuk senyawa manis. Adas dicampur dengan natrium bikarbonat dan sirup digunakan untuk mengobati perut kembung pada bayi. Teh adas, juga digunakan sebagai karminatif, dibuat dengan menuangkan air mendidih pada satu sendok teh biji adas memar. Di anak benua India, biji adas dimakan mentah, kadang-kadang dengan beberapa pemanis untuk meningkatkan penglihatan. Dalam beberapa penilitian pada studi hewan ekstrak biji adas terbukti memiliki potensi untuk digunakan dalam pengobatan glaukoma, sebagai diuretik dan obat yang potensial untuk pengobatan hipertensi. adas telah digunakan sebagai galactagogue yaitu meningkatkan pasokan susu ibu menyusui. Hal tersebut disebabkan kehadiran fitoestrogen yang terkandung dalam adas yang mendorong pertumbuhan jaringan payudara (Agarwal dkk., 2008).

39

2.6.5. Fitokimia Buah Adas F. vulgare telah dilaporkan mengandung 6,3% pelembab, protein 9,5%, 10% lemak, 13,4% mineral, serat 18,5% dan 42,3% karbohidrat. Mineral dan vitamin yang terkandung dalam F. vulgare adalah kalsium, kalium, natrium, besi, fosfor, tiamin, riboflavin, niasin, dan vitamin C. Komponen utama dari minyak essensial dalam biji F. vulgare minyak esensial antara lain : trans-anethole, fenchone, estragol (methyl chavicol), dan α-phellandrene, struktur molekul mereka ditunjukkan pada Gambar. 2.6. Konsentrasi relatif senyawa ini bervariasi tergantung pada negara fonologi dan asal adas (Diaaz-Maroto dkk., 2006). Komposisi minyak esensial dari F. vulgare menunjukkan chemodiversity cukup tergantung pada metode ekstraksi dan asal geografis. Akumulasi senyawa volatil terdapat dalam bagian-bagiannya yaitu. akar, batang, tunas, bunga dan buah-buahan (Diaaz-Maroto dkk., 2006 dan Gross dkk., 2009). Dalam satu penelitian dilaporkan bahwa kandungan minyak atsiri dan komposisi bervariasi selama tahap pematangan berbeda F. vulgare. Kandungan minyak atsiri dilaporkan menurun dengan tingkat kematangan buah. Kandungan trans-anethole, komponen utama, bervariasi antara 81,63% dan 87,85% (Telci dkk., 2009). Studi lain melaporkan bahwa phenylpropenes estragol dan trans-anethole yang merupakan konstituen utama dari oleoresin dari bagian aerial F. vulgare bervariasi selama pengembangan tanaman. Efek farmakologis dari buah F. vulgare umumnya dikaitkan dengan minyak esensial mereka. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa minyak esensial dan konstituen individu menunjukkan aktivitas farmakologi baru. (+) Fenchone dan P-anisaldehida diidentifikasi

40

sebagai agen acaricidal besar terhadap Dermatophagoides farinae dan Dermatoghagoides pteronyssinus. Oleh karena itu senyawa ini dapat digunakan sebagai agen potensial pengendali tungau pada debu rumah. Dalam studi lain, anethole telah dilaporkan untuk menjadi agen estrogen aktif. Namun, dalam beberapa studi telah menunjukkan bahwa polimer anethole yaitu dianethole dan photoanethole adalah agen estrogenik yang sebenarnya. Anethole telah juga dilaporkan menjadi agen antitrombotik aman karena aktivitas antiplatelet, efek destabilisasi gumpalan dan aktivitas vaso-relaksan (Tognolini dkk., 2007).

Gambar 2.6 Struktur Molekul Bioaktif Utama dari Komponen Esesensial Oil Foeniculum vulgare (Tognolini dkk., 2007). Kelas-kelas lain dari phytochemical yang terkandung dalam F. vulgare adalah fenol dan glikosida fenolik. F. vulgare telah dilaporkan mengandung asam fenolik seperti 3-O-Caffeoylquinic, asam 4-O-caffeoylquinic, 5-O Asam caffeoylquinic, 1,3-O-di caffeoylquinic asam, 1,4-O-di caffeoylquinic asam, 1,5-

41

O-di caffeoylquini. Flavonoid seperti eriodictyol-7-rutinosida, quercetin-3rutinosida dan asam rosmarinic juga telah diisolasi dari F. vulgare (Faudale dkk., 2008). Quercetin-3-O-galactoside, kaempferol-3-O-rutinosida dan kaempferol-3O-glukosida juga telah dilaporkan terdapat di ekstrak air F. vulgare. Quercitin-3O-glukuronida, kampferol-3-O-glukuronida, isoquercitin dan isorhamnetin-3-Oglukosida juga telah diisolasi dari F. vulgare (Parejo dkk., 2004). Senyawa fenolik hadir dalam F. vulgare dianggap terkait dengan pencegahan penyakit yang dianggap disebabkan oleh stress oksidatif seperti penyakit jantung, kanker dan peradangan. Senyawa fenolik ini telah mendapat perhatian luar biasa di kalangan ahli gizi, ilmuwan makanan dan konsumen karena peran mereka dalam kesehatan manusia. Diglucoside trimer stilbene dan turunannya benzoisofuranone juga telah diisolasi dari buah F. vulgare bersama dengan cis-miyabenol C, trans-miyabenol C, trans-resveratrol-3-O-β-D-glucopyranoside, glukosida sinapyl, syringin-4-Oβ-glukosida, asam oleanolic, 7α-hydroxycampesterol, (3β, 5α, 8α, 22E) 5,8epidioxy-ergosta-6,22-dien-3-ol, (Marino dkk., 2007).

dan

2,3-dihydropropylheptadec-5-onoate

42

Gambar 2.7 Struktur Molekuler dari Komponen Bioaktif Ekstrak Buah Adas (Foeniculum. Vulgare). (Marino dkk., 2007).

43

2.6.5

Efek Farmakologis Buah adas

A. Aktivitas antibakteri Minyak atsiri dari buah F. vulgare menunjukkan efek antibakteri terhadap patogen bawaan makanan seperti Escherichia coli, Bacillus megaterium dan Staphylococcus aureus (Mohsenzadeh, 2007), E. coli 0157: H7, Listeria monocytogenes dan S. aureus (Dadalioglu dan Evrendilek 2004; Cantore dkk., 2004). Ekstrak air dan organik F. vulgare telah dilaporkan menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap beberapa strain bakteri (Kaur dan Arora, 2008). Biji minyak atsiri F. vulgare juga telah dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri terhadap beberapa bakteri patogen manusia. Etanol dan air ekstrak F. vulgare telah menunjukkan aktivitas terhadap Campylobacter jejuni dan Helicobacter pylori (Mahady dkk., 2005). Dalam studi lain, minyak esensial F. vulgare telah menunjukkan potensi kontrol infeksi multidrug resistant Acinetobacter baumannii. Beberapa kandungan kimia dari F. vulgare seperti fenil turunan propanoid – Dillapional telah diidentifikasi sebagai antimikroba aktif. Molekul lain yaitu Scopoletin yang merupakan turunan kumarin telah diisolasi dari F. vulgare dan dilaporkan memiliki efek antimikroba marginal (Kwon dkk., 2002).

44

B. Efek Anti Jamur Minyak esensial adas telah dilaporkan menunjukkan efek anti jamur. Adas minyak esensial dan ekstrak biji yang telah dilaporkan menunjukkan aktivitas antimycobacterial dan anticandidal (Abed, 2007). Berbagai ekstrak kulit F. vulgare juga telah dilaporkan memiliki aktivitas anti jamur terhadap Candida albicans (Pai dkk., 2010). Minyak esensial dari F. vulgare juga telah dilaporkan untuk mengurangi pertumbuhan miselia dan perkecambahan Sclerotinia sclerotiorum dan dengan demikian dapat digunakan sebagai alternatif bio fungisida untuk fungisida sintetik melawan jamur fitopatogenik (Soylu dkk., 2007). Minyak esensial dari F. vulgare telah dilaporkan menunjukkan zona lengkap penghambatan terhadap Aspergilum niger, Aspergilum flavus, Fusarium graminearum dan Fusarium moniliforme pada 6 dosis ml (Singh dkk., 2006). C. Aktivitas Antibiotik Efek aktivitas antioksidan yang kuat, aman dikonsumsi pada negaranegara Mediterania yang berbeda telah dibuktikan. (Faudale dkk., 2008). Ekstrak metanol buah F vulgare. juga telah dilaporkan menunjukkan aktivitas antioksidan dengan menurunkan tingkat malondialdehid pada kelompok ekstrak methanol buah F. vulgare dibandingkan dengan kelompok kontrol. Minyak dan aseton ekstrak penting dari F. vulgare telah dilaporkan menunjukkan aktivitas antioksidan yang kuat dibandingkan dengan Butylated hydroxyanisole (BHA) dan butylated hydroxytoluene (BHT) (Ruberto dkk., 2000).

45

Aksi inhibisi minyak dan ekstrak aseton dalam sistem asam linoleat dipelajari dengan memantau akumulasi peroksida dalam emulsi selama inkubasi melalui metode tiosianat besi. F. vulgare ekstrak buah dan senyawa murni yaitu cis-miyabenol C 11a-O-β-D-glucopyranosyl- (1 → 6) -β-d-glucopyranoside, cismiyabenol C, trans-miyabenol C, glukosida sinapyl dan syringing 4-O-βglukosida telah dilaporkan menunjukkan aktivitas antioksidan. Ekstrak Buah F. vulgare menunjukkan aktivitas moderat dalam uji peroksidasi lipid tetapi aktivitas yang kuat pada konsentrasi tinggi. Senyawa murni yang diisolasi dari F. vulgare menunjukkan aktivitas antioksidan lebih tinggi dari ekstrak kasar (Marino dkk., 2007). Senyawa fenolik yang diisolasi dari residu bagian bunga dari adas yang dihasilkan dari distilasi untuk minyak esensial telah dilaporkan memiliki aktivitas yang kuat yang dapat memberikan kontribusi pada interpretasi efek farmakologis dari F. vulgare. Senyawa hasil isolasi dicirikan sebagai 3-caffeoylquinic asam, 4caffeoylquinic asam, asam 1,5-O-dicaffeoylquinic, asam rosmarinic, eriodictyol7-rutinosida,

quercetin-3-O-galactoside,

kaempferol-3-O-rutinosida

dan

kaempferol-3-O-glukosida. (Parejo dkk., 2004). Dalam ekstrak etanol biji F. vulgare telah dilaporkan untuk menampilkan aktivitas antioksidan. 100 mg air dan ekstrak etanol menunjukkan 99,1% dan 77,5% penghambatan peroksidasi dalam sistem asam linoleat masing-masing dan lebih besar dari dosis yang sama dari αtokoferol (36,1%). Kedua ekstrak dilaporkan memiliki kekuatan yang efektif mengurangi, radikal bebas dan anion radikal superoksida, (Shahat dkk., 2011).

46

D. Aktivitas Antitrombotik Minyak esensial dari F. vulgare dan komponen utamanya telah terbukti memiliki aktivitas antitrombotik aman karena aktivitas antiplatelet spektrum luas , efek destabilisasi gumpalan dan aktivitas vasorelaksan. Anethole yang merupakan salah satu komponen minyak adas diuji dalam guinea plasma babi dapat menghambat asam arakidonat, kolagen-ADP dan agregasi U46619 diinduksi. Anethole juga mencegah trombin disebabkan gumpalan reaksi pada konsentrasi yang mirip dengan minyak adas. Minyak adas telah diuji pada aorta tikus dengan atau tanpa endotelium dan ditampilkan aktivitas vasorelaksan independen sebanding dengan konsentrasi antiplatelet yang telah terbukti bebas dari efek sitotoksik in vitro. Selain itu, minyak esensial F. vulgare dan anethole (100 mg / kg oral) memberikan perlindungan yang signifikan terhadap lesi lambung pada tikus (Tognolini dkk., 2007). E. Aktivitas anti-inflamasi Ekstrak methanol buah adas yang diberikan secara oral (200 mg / kg) dilaporkan menunjukkan efek penghambatan terhadap penyakit inflamasi akut dan subakut dan reaksi alergi tipe IV dan memberikan efek analgesic, serta meningkatkan dismutase superoksida plasma dan aktivitas katalase serta meningkatkan densitas kolesterol lipoprotein. Ekstrak methanol buah adas dapat menurunkan lipid peroksidase secara signifikan dibanding kelompok kontrol, hasil tersebut menunjukkan bahwa buah adas dapat mengurangi inflamasi. Selain itu Pemberian secara oral ekstrak kering etanol 80% dari buah adas yang

47

diberikan secara oral pada dosis 200 mg/kg, menghambat oedem tikus yang diinduksi oleh carrageenan 69% setelah 3 jam (p<0,05). Dosis ini juga menghambat oedem pada telinga mencit yang telah diinduksi dengan asam arakidonat 70 % selama 3 jam (p<0,05) (Choi dan Hwang, 2004). F. Aktivitas Estrogenik F. vulgare telah digunakan sebagai agen estrogen selama berabad-abad. Telah

dilaporkan

mempermudah

meningkatkan

kelahiran,

sekresi

meringankan

susu,

gejala

mendorong klimakterik

menstruasi,

laki-laki

dan

meningkatkan libido. Bahan utama minyak esensial adas yaitu, anethole telah dianggap sebagai agen estrogen aktif. (Albert dan Puleo, 2001). G. Aktivitas hepatoprotektif Minyak esensial adas telah dilaporkan memiliki aktivitas hepatoprotektif. Dalam sebuah penelitian, hepatotoksisitas yang dihasilkan oleh administrasi CCl4 akut ditemukan dihambat oleh minyak esensial adas dengan bukti penurunan kadar serum aspartat aminotransferase (AST), SGPT (ALT), alkaline phosphatase (ALP) dan bilirubin (Ozbek dkk., 2003).

2.7 Povidone Iodine 2.7.1 Pengertian Povidone Iodine Povidone iodine ialah suatu iodovor dengan polivinil pirolidon berwarna coklat gelap dan timbul bau yang tidak menguntungkan. Povidone Iodine merupakan agens antimikroba yang efektif dalam desinfeksi dan pembersihan kulit baik pra maupun pascaoperasi, dalam penatalaksanaan luka traumatik yang

48

kotor pada pasien rawat jalan, dan untuk mengurangi sepsis luka pada luka bakar (Tjay dan Rahardja, 2002). Povidone Iodine merupakan salah satu antiseptik dari golongan halogen. Senyawa ini merupakan kompleks antara iodin dengan polivinilpirolidon. Bentuk kompleks ini merupakan bentuk iodofor, yaitu campuran iodin dengan surfaktan yang bekerja sebagai pembawa dan pelarut iodin. Golongan ini berdaya aksi dengan cara oksidasi, namun tidak efektif untuk membunuh beberapa jenis bakteri. Povidone Iodine merupakan polimer larut air yang mengandung sekitar 10% Iodine. Povidoen Iodine ditoleransi kulit dengan baik, tidak memperlambat penyembuhan luka, dan dapat meninggalkan deposit iodin aktif yang dapat menciptakan efek berkelanjutan. Keuntungan antiseptik berbasis iodin adalah memiliki cakupan aktivitas antimikroba yang luas. Iodin dapat membunuh semua patogen utama berikut spora-sporanya, yang sulit diatasi oleh desinfektan dan antiseptik lain (Sneader, 2005). 2.7.2 Struktur Kimia Povidone Iodine Povidine Iodine adalah senyawa larut air yang merupakan komplek senyawa iodine dengan polyvinylpyrrolidone, dengan konsentrasi iodine mulai dari 9 5 sampai dengan 12 % dihitung berdasarkan berat kering. Povidone Iodine mempunyai rumus bangun (C6H9NO)n.xl (Kapten, 2013).

49

Gambar 2.8 Struktur Kimia Povidone Iodine (Kapten, 2013) 2.7.3 Mekanisme Kerja Povidone Iodine Povidone Iodine bekerja dengan menghancurkan dinding sel Povidone Iodine bersifat bakteriostatik dengan kadar 640 μg/ml dan bersifat bakterisid pada kadar 960 μg/ml. Mikobakteria tuberkulosa bersifat resisten terhadap bahan ini. Povidon Iodine memiliki toksisitas rendah pada jaringan, tetapi detergen dalam larutan pembersihnya akan lebih meningkat toksisitasnya. Dalam 10% povidone iodine mengandung 1% iodiyum yang mampu membunuh bakteri dalam 1 menit dan membunuh spora dam waktu 15 menit (Peter, 2002). 2.7.4 Keuntungan dan Kerugian Povidone Iodine Povidone Iodine memiliki aktivitas antimikroba yang paling luas karena dapat membunuh semua pathogen yang penting, bahkan dapat membunuh spora di mana spora merupakan salah satu bentuk dari mikroorganisme yang paling sulit dibunuh oleh desinfektan dan antiseptik. Povidone Iodine merupakan antiseptik golongan Iodine yang menyebabkan sedikit iritasi kulit dan jarang menimbulkan reaksi alergi jika dibandingkan dengan antiseptik iodine lainnya, namun lebih sering menyebabkan dermatitis kontak iritan jika digunakan untuk pencuci tangan (Kapten, 2013). 2.7.5 Cara Pemakaian Povidone Iodine Povidone Iodine diformulasikan dalam bentuk antiseptik topikal, antara lain larutan (dengan surfaktan dan atau alcohol), aerosol atau salep pada konsentrasi mulai 7,5% sampai dengan 10%. Zat tersedia dijual bebas dan digunakan untuk membersihkan dan desinfektan pada kulit. Menyiapkan kulit

50

sebelum operasi dan mengobati infeksi yang peka terhadap iodine. Povidone Iodine harus digunakan secara hati-hati pada penderita yang alergi terhadap iodine. Jika terjadi iritasi, kemerahan dan bengkak penggunaan zat harus dihentikan (Kapten, 2013). Larutan Povidone Iodine dapat digunakan beberapa kali dalam sehari, dan digunakan dengan konsentrasi penuh baik untuk mengoles maupun kompres (James dan Joise, 2007).

2.7.6 Manfaat Povidone Iodine Tjay dan Rahardja (2002) berpendapat bahwa : a. Povidone iodine 10% merupakan antiseptik solution yang digunakan: 1) Untuk pengobatan pertama dan mencegah timbulnya infeksi pada lukaluka seperti : lecet, terkelupas, tergores, terpotong atau terkoyak. 2) Untuk mencegah timbulnya infeksi pada luka khitan. 3) Untuk melindungi luka-luka operasi terhadap kemungkinan timbulnya infeksi. b. Sebagai obat kumur dengan konsentrasi 1%. c. Sebagai pencuci tangan sebelum operasi 10%, dapat mengurangi populasi kuman hingga 85% dan kembali ke posisi normal setelah 8jam. d. Sebagai larutan pembersih 2%, salep 2% , sebagai lotion 0.75%.

51

2.8 Tikus Putih ( Rattus Norvegicus) Tikus putih atau mencit adalah tikus rumah adalah binatang asli Asia, India, dan Eropa Barat. Jenis ini sekarang ditemukan di seluruh dunia karena pengenalan oleh manusia. Klasifikasi dari tikus putih (Kusumawati, 2004): Kingdom

: Animalia

Phylum

: Chordata

Subphylum : Vertebrata Class

: Mammalia

Order

: Rodentia

Family

: Muridae

Genus

: Rattus

Species

: norvegicus

Tikus laboratorium adalah spesies tikus rattus norvegicus yang dibesarkan dan disimpan untuk penelitian ilmiah. Tikus laboratorium telah digunakan sebagai model hewan yang penting untuk penelitian di bidang psikologi, kedokteran dan bidang lainnya. Selama bertahun-tahun, tikus telah digunakan dalam banyak penelitian eksperimen, yang telah menambah pemahaman kita tentang genetika, penyakit, pengaruh obat-obatan dan topik lain dalam kesehatan dan kedokteran. Para ilmuwan telah memunculkan banyak strain atau galur tikus khusus untuk eksperimen. Sebagian besar berasal dari tikus Wistar albino, yang masih digunakan secara luas (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).