117 MODEL DAN PENDEKATAN PELAYANAN PERAWATAN

Download mendapatkan pelayanan kesehatan, khususnya komunitas anak jalanan (KPAI, 2013). Bahkan, ... keperawatan kesehatan primer dapat dioptimalkan...

0 downloads 495 Views 336KB Size
MODEL DAN PENDEKATAN PELAYANAN PERAWATAN KESEHATAN PRIMER BAGI KOMUNITAS ANAK JALANAN : Understanding the Evidence-Based for Practice Nur Lailatul Masruroh, MNS ABSTRAK Anak jalanan merupakan vulnerable group yang menghabiskan sebagian atau bahkan seluruh waktunya di jalanan karena alasan sosial dan ekonomi. Karakteristik dan gaya hidup di jalanan yang ekstrim penuh dengan resiko menyebabkan komunitas ini beresiko tinggi terhadap berbagai masalah kesehatan baik fisik maupun mental. Ironisnya, anak jalanan memiliki keterbatasan dalam menerima pelayanan kesehatan yang berkualitas. Untuk itu, dengan melakukan study literatur, diharapkan tulisan ini bisa memberikan wawasan tentang bagaimanakah Model dan Pendekatan Pelayanan Perawatan Kesehatan Primer untuk Komunitas Anak Jalanan. Kata Kunci: Anak Jalanan, Pelayanan Perawatan Kesehatan Primer, Komunitas Latar Belakang Masalah Setiap anak tanpa terkecuali pada dasarnya memiliki hak yang sama untuk menikmati kehidupan sejahtera, dalam arti memperoleh kondisi yang layak untuk tumbuh dan berkembang secara sehat. Salah satu cara dalam mencapai kesejahteraan untuk anak, ialah dengan memenuhi hak anak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya tidak semua anak memperoleh kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, khususnya komunitas anak jalanan (KPAI, 2013). Bahkan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang berlaku secara nasionalpun dinilai belum mampu memperhatikan hak anak telantar dan anak jalanan, mengingat sistem pendataan orang miskin dan tidak mampu yang masih carut marut. Sehingga dapat diperkirakan hal ini menyebabkan anak-anak tanpa pendampingan akan terabaikan untuk tercover dalam program ini (Octavianus, F., 2011). Selain itu adanya fakta bahwasanya komunitas anak jalanan merupakan salah satu fenomena sosial yang terjadi di hampir seluruh belahan dunia. Seiring dengan peliknya permasalahan sosial dan ekonomi di suatu negara, hal ini juga memicu semakin meningkatnya populasi anak-anak yang hidup di jalanan dengan berbagai alasan. The International Save the Children Alliance melaporkan pada tahun 2005, bahwa diperkirakan 10 – 12,000 anak-anak di Africa Selatan yang bermigrasi ke jalanan. Hal ini disebabkan karena kemiskinan, kekerasan, penelantaran serta masalah keluarga (STC, 2005). Bahkan di negara adidaya Amerika Serikat, berdasarkan informasi dari Cable News Network (CNN) yang mengutip data dari the National Center on Family Homelessness pada bulan Maret, 2009, menyatakan bahwa dari tahun 20052006, lebih dari 1.5 juta anak-anak di USA tidak memiliki tempat tinggal. Hal ini berarti bahwa 1 dari 50 anak-anak di USA tidak memiliki tempat tinggal setiap tahunnya. Sementara itu, fenomena anak jalanan di Indonesia juga merupakan issue yang memerlukan perhatian khusus dari semua elemen masyarakat. Jumlah anak Indonesia (usia 018 tahun) menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006 mencapai 79,8 juta anak. Mereka yang masuk kategori terlantar dan hampir terlantar mencapai 17,6 juta atau 22,14 117

persen. Terjadi peningkatan yang signifikan terhadap jumlah anak jalanan dari tahun ke tahun. Data dari Kementerian Sosial melaporkan jumlah anak jalanan yang pada tahun 1997 masih sekitar 36.000 anak, meningkat tajam menjadi 104.497 anak pada tahun 2007, dan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2010 menjadi sekitar 232.894 anak (Menegpp RI, 2007; Hamid, A., 2010). Anak jalanan merupakan vulnerable group yang menghabiskan sebagian atau bahkan seluruh waktunya di jalanan karena alasan sosial dan ekonomi. Sementara itu, keterbatasan fisik dan mental sesuai dengan kapasitas usia seorang anak, menjadikan mereka beresiko tinggi untuk terpapar berbagai masalah kesehatan. Hal ini juga disebabkan oleh karena karakteristik dan gaya hidup di jalanan yang ekstrim penuh dengan resiko, seringnya mereka berpindah-pindah tempat serta rendahnya tingkat pendidikan (Ali and de Muynck, 2005; Ribeiro and Ciampone, 2001). Dengan immaturnya kemampuan untuk memahami serta minimnya pengawasan dari orang tua, maka mereka cenderung untuk mengadopsi perilaku negative orang dewasa seperti: penggunaan obat-obatan berbahaya, merokok, mengkonsumsi alkohol, melakukan hubungan sex bebas, bahkan terlibat dalam prostitusi anak dan terjebak dalam berbagai perilaku kekerasan (Guernina, 2004; Ahmadkhaniha et al., 2007; Celik and Baybuga, 2009; Van Jaarsveld et al., 2011). Permasalahan anak jalanan adalah sebagaimana permasalahan yang dihadapi tunawisma pada umumnya, namun mengingat keterbatasan seorang anak secara fisik dan psikologis sehubungan dengan usia yang belum matur, maka dampak yang ditimbulkan akibat hidup dan bekerja di jalanan menjadi jauh lebih buruk lagi. Beberapa hasil penelitian telah memaparkan dampak dari hidup di jalanan terhadap kesehatan fisik dan mental seorang anak, meliputi: gangguan pertumbuhan dan perkembangan, depresi, malnutrisi dan injury, juga berbagai macam penyakit infeksi, termasuk: infeksi kulit, infeksi paru misalnya: TB, serta Penyakit Infeksi Menular Sexual (IMS) dan juga HIV/AIDS (Martins, 2008; Jones, 2009; Van Jaarsveld et al., 2011). Sangat disayangkan, komplesitas permasalahan kesehatan anak jalanan diperparah dengan keterbatasan mereka untuk mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas. Berdasarkan penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa permasalahan dalam pemberian pelayanan kesehatan untuk anak jalanan disebabkan beberapa barrier dalam mengakses layanan kesehatan misalnya: confidentiality issues, kurangnya rasa percaya dari orang dewasa dan agen kesehatan professional, stigma/ inferior status, masalah perwalian dalam prosedur pemeriksaan kesehatan dan kurangnya koordinasi antara lembaga penyelenggara layanan kesehatan (Ali and de Muynck, 2005; Jones, 2009).

Tujuan Penulisan: Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulis bermaksud untuk memaparkan beberapa gagasan berdasarkan study literatur tentang bagaimanakah Model dan Pendekatan Pelayanan Perawatan Kesehatan Primer untuk Komunitas Anak Jalanan ? Manfaat Penulisan: Hasil study literature ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan wawasan serta evidence-based understanding tentang bagaimana pelayanan keperawatan kesehatan primer dapat dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan komunitas anak jalanan. Selain itu tulisan ini juga diharapkan bermanfaat untuk menunjukkan 118

gap yang akan menjadi stimulator bagi penelitian tentang pelayanan perawatan kesehatan primer bagi komunitas remaja dan anak tunawisma. Metode Dalam penulisan artikel ini, ide yang menjadi substansi ditulis berdasarkan hasil review beberapa literatur terkait dengan topik. Sumber literatur terkait berasal dari beberapa jurnal penelitian yang dipublikasikan di data base jurnal internasional, informasi on line maupun beberapa text book keperawatan komunitas. Dalam pencarian informasi, penulis menggunakan batasan kata kunci: anak jalanan, pelayanan kesehatan primer, street/ homeless children dan primary health care. Selain itu penulis juga menggunakan batasan durasi waktu tahun 2000 sampai sekarang dan juga batasan full text. Literatur Review Banyak pihak berusaha untuk mencari formula terbaik tentang bagaimanakah sebaiknya perawatan kesehatan diberikan kepada komunitas anak jalanan. Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan adalah hal yang paling penting bagi komunitas anak jalanan dan pusat pelayanan yang sesuai untuk ini ada di level primer yaitu: Primary Health Care (PHC) Service atau di Indonesia juga dikenal sebagai Puskesmas. Ini merupakan pusat layanan kesehatan di mana petugas kesehatan dapat memberikan perhatian terbaiknya pada pemberian intervensi sejak dini yang dapat mencegah timbulnya masalah kesehatan dan masalah sosial jangka panjang dengan cara kolaboratif, yaitu melibatkan segenap komponen masyarakat dan keluarga (WHO, 2008). Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Kesehatan pada tahun 2010 telah memberikan panduan tentang sistem rujukan dan pelayanan kesehatan bagi anak berkebutuhan khusus, yang di dalamnya termasuk juga anak jalanan. Pelayanan kesehatan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) harus memperhatikan kebutuhan dasar anak. Kebutuhan yang dimaksud meliputi 3 aspek yaitu asuh, asih dan asah. Asuh (Kebutuhan-fisik biologis) antara lain asupan nutrisi. Asih (Ikatan serasi antara ibu & anak) antara lain pemberian rasa aman dan nyaman, perlindungan, perhatian, dukungan, penghargaan, komunikasi yang menyenangkan, lingkungan yang ceria dan menghibur. Asah antara lain Proses belajar (pendidikan/pelatihan) pada anak; stimulasi sedini mungkin Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK), khususnya pengembangan intelegensia, meliputi kecerdasan majemuk, budi luhur, moral dan etika, kepribadian, keterampilan berbahasa, kemandirian, kreatifitas, produktifitas dan lain-lain (Menkes RI, 2010). Adapun langkah-langkah pelayanan kesehatan ABK termasuk di dalamnya anak jalanan, adalah dengan meningkatkan akses anak jalanan terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan pendekatan sesuai kebutuhan, antara lain: melalui rumah singgah/ shelter dan rujukan puskesmas, meningkatkan kapasitas petugas kesehatan pemberi layanan di puskesmas dan RS dalam upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif melalui pelatihan/ orientasi program. Meningkatkan manajemen program kesehatan anak jalanan di institusi pelayanan dasar (Puskesmas), institusi pelayanan rujukan (Rumah Sakit), Kabupaten/Kota dan Dinas Kesehatan Provinsi, meningkatkan jejaring kemitraan dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM dan organisasi profesi terkait dan pihak swasta, meningkatkan sistem informasi, pencatatan pelaporan, monitoring dan evaluasi program kesehatan anak berkebutuhan khusus, menggerakkan dan memberdayakan keluarga/ masyarakat untuk mendukung upaya program kesehatan anak jalanan, meningkatkan pembiayaan pelayanan kesehatan melalui 119

program Jamkesmas, Jamkesda dan sumber pembiayaan lainnya (Menkes RI, 2010). Mekanisme pelayanan kesehatan dan rujukan ABK adalah sebagaimana di gambarkan pada skema berikut ini:

Gambar 1: Alur Pelayanan Kesehatan dan Rujukan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK): Anak Jalanan, Anak korban Kekerasan, Anak dengan kecacatan, Anak di Lembaga Pemasyarakatan, Anak dari kelompok terasing/ minoritas (Menkes RI, 2010) Kompleksitas permasalahan anak jalanan membutuhkan kerjasama yang baik antara petugas kesehatan, pemerintah dan masyarakat melalui partisipasi aktif di berbagai lembaga swadaya masyarakat (Hitchcock et al., 1999). Partnerships antara masyarakat dengan tenaga kesehatan professional penting untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat akan kebutuhan kesehatan. Dalam hal ini, Perawat Kesehatan Masyarakat (Community Health Nurse) memiliki potensi untuk menciptakn hubungan kerjasama yang harmonis serta mengembangkan program dan intervensi yang memberikan dampak positif bagi masyarakat secara menyeluruh, termasuk kelompok anak jalanan (Elizabeth and McFarlane, 2011). Perawat Kesehatan Masyarakat (Community Health Nurse) adalah bagian dari tenaga kesehatan yang memiliki central ethic of caring dan agenda intervensi dini, promosi kesehatan, dan rehabilitasi dalam upayanya untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat. Community Health Nurse juga membuka diri akan masalah anak jalanan sebagi bagian dari community health care issue, tidak hanya menjadikan hal ini sebagai bagian dari domain tanggung jawab pekerja sosial atau para sukarelawan. Untuk itu, Community Health Nurse dapat memberikan layanan kesehatan bagi kelompok anak jalanan dengan menyediakan layanan kesehatan yang berkualitas dengan memastikan bahwa ada cukup pengetahuan, keyakinan, nilai dan sumber daya sosial dan ekonomi di masyarakat yang tersedia untuk menangani permasalahan ini. Disamping bekerja di level primer, sekunder dan tertier, Community Health Nurse juga menyediakan layanan keperawatan yang meliputi lima area, 120

yaitu: identifikasi faktor resiko, mengkaji masalah dan potensi yang ada di masyarakat terkait issue anak jalanan, dokumentasi dan system pelaporan, system rujukan dan rehabilitasi. Dengan demikian, baik secara professional maupun sukarela, Community Health Nurse harusnya terlibat di semua setting permasalahan, termasuk pada fase rehabilitasi di shelter/ rumah singgah atau pusat rehabilitasi, serta dalam setting keluarga untuk memberikan asuhan keperawatan dan pendidikan kepada keluaraga, sehingga menjamin bahwa keluarga dapat menjadi tempat yang memberikan perlindungan dan wadah terbaik bagi pertumbuhan dan perkembangan anak (Clark, 2007; Hitchcock et al., 1999). Selain itu Community Health Nurse juga menjalankan peran sebagai advocate yang melindungi dan mempertahankan hak-hak anak jalanan, sebagai mana dijelaskan dalam modul ke-9 Working with Street Children oleh WHO (2000). Dalam penanganan masalah anak jalanan, perawat merupakan bagian dari Community Advisory Committee (CAC) dengan tugas utama ialah memberikan pengetahuan, tanggung jawab dan sumber-sumber, mendukung semua pihak yang bekerja memberikan pelayanan untuk anak jalanan, dan menjadi penghubung antara lembaga perlindungan anak jalanan dengan komunitas secara keseluruhan dan memberikan pengaruh terhadap masyarakat yang tanggap atau memberikan respon positif terhadap permasalahan anak jalanan (WHO, 2000). Review dari sejumlah literature dan hasil penelitian terkait model dan pendekatan pelayanan kesehatan primer untuk anak jalanan/ tunawisma memberikan informasi sebagaimana berikut ini. Secara konseptual, Primary Health Care (PHC) merupakan layanan kesehatan yang dapat diakses secara universal oleh semua kalangan. Pemberian pelayanan kesehatan berkualitas yang dibentuk oleh system rujukan terintegrasi dalam penyelesaian masalah kesenjangan layanan kesehatan; memaksimalkan peran masyarakat dan individual self-reliance, partisipasi dan kontrol; dan melibatkan kolaborasi dan partnership dengan berbagai sektor untuk mempromosikan kesehatan di masyarakat. Ini meliputi promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan perawatan orang sakit, pengembangan masyarakat, advokasi dan rehabilitasi (APHCRI, 2005). Tujuan utama dari pelayanan perawatan kesehatan primer adalah mencapai kesehatan yang lebih baik untuk semua. WHO (2014) telah mengidentifikasi lima elemen kunci untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu: mengurangi isolasi dan kesenjangan sosial di bidang kesehatan (reformasi cakupan universal), mengatur pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dan harapan (reformasi pelayanan) masyarakat, mengintegrasikan kesehatan ke semua sektor (reformasi kebijakan publik), mencapai model kolaboratif dari dialog kebijakan (reformasi kepemimpinan), dan meningkatkan partisipasi stakeholder. Beer et al. ( 2003 ) telah memberikan uraian tentang model dan pendekatan pelayanan PHC untuk komunitas anak jalanan di berbagai tingkat layanan intervensi yang semuanya dapat diberikan di tingkat Puskesmas/ PHC. Dalam intervensi primer, mencegah seseorang jatuh dalam kondisi homelessness/ menjadi tunawisma dengan menawarkan dukungan dari berbagai sektor sehingga mereka tidak akan jatuh dalam kelompok risiko. Intervensi sekunder menargetkan anak atau remaja yang berisiko tinggi menjadi tunawisma atau bermigrasi ke jalanan dengan memberikan dukungan melalui konseling atau rujukan ke lembaga masyarakat lainnya. Dukungan ini dapat diterapkan dalam berbagai unit yang ada di masyarakat seperti misalnya sekolahan, dengan menggunakan jaringan dukungan teman sebaya (Beer et al., 2003). Sedangkan intervensi tersier melibatkan intervensi ketika kondisi tunawisma telah benar-benar terjadi. Tujuan dari jenis intervensi ini adalah berorientasi pada hasil, program ini 121

membantu pemuda tunawisma/ anak jalanan dalam mengamankan akomodasi yang aman dan independen (Skott – Myhre et al., 2008) sebagaimana dijelaskan pada Tabel 1 berikut ini: Tabel 1: Contoh-contoh Pendekatan PHC dan Intervensi untuk Remaja/ Anak Tunawisma

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memformulasikan model dan pendekatan terbaik dalam pelayanan kesehatan primer (Primary Health Care) bagi komunitas anak jalanan, walaupun belum memberikan jawaban yang memuaskan (Dawson, A., & Jackson, D., 2013). Sebuah literatur mengemukakan model layanan ramah remaja (Youth Friendly Service Model (YFS Model)), yang menjadi salah satu alternatif dalam penyediaan layanan Puskesmas/ PHC walaupun hanya sedikit bukti yang tersedia akan efektifitasnya. Hal ini disebabkan karena belum banyak peneliti yang melakukan evaluasi terhadap model ini disamping komunitas anak jalanan merupakan komunitas yang jarang menjadi bahan pertimbangan dalam pelayanan Puskesmas/ PHC (Tylee et al., 2007). Adapun model lainnya yang juga dapat dipertimbangkan untuk komunitas anak jalanan adalah model perawatan kesehatan berpusat pada remaja (Youth Centric Health Care Model) (Barry et al., 2002 dalam Dawson, A., & Jackson, D., 2013) namun demikian model inipun juga masih membutuhkan kajian lebih lanjut. Hasil dari review beberapa literature menginformasikan bahwa penjangkauan komunitas anak/ remaja tunawisma berbasis pendekatan di jalanan dan kemudian dikaitkan dengan layanan kesehatan di klinik, sampai dengan di unit-unit yang menyediakan layanan manajemen kasus terkait dengan pelayanan kesehatan keluarga, tampaknya lebih menjanjikan sebagai model dan pendekatan PHC untuk anak jalanan. Hal ini menunjukkan bahwa sasaran, jaringan terkoordinasi dari Puskesmas/ PHC dan layanan akomodasi yang memberikan pelayanan berkelanjutan bagi komunitas anak/ remaja tunawisma berpotensi memiliki beberapa manfaat untuk mengatasi masalah kesehatan. Hal ini konsisten dengan hasil dari sejumlah evaluasi program, contohnya: model perawatan untuk komunitas anak jalanan yang terintegrasi dengan pelayanan kesehatan mental yang melibatkan unit layanan psikiatri dan layanan anak jalanan (Hill, 1997 dalam Dawson, A., & Jackson, D., 2013).

122

Sementara itu, hasil penelitian tentang penyediaan layanan kesehatan mental bagi remaja tunawisma dan anak jalanan di Australia merekomendasikan enam prinsip terkait strategi yang ke depan dapat memberikan cara yang bermanfaat untuk desain program layanan kesehatan primer, yaitu: prisip-prinsip aksesibilitas dan keterlibatan, keterlibatan klien dan pengasuh, pendekatan pencegahan dengan fokus pemulihan, kesinambungan perawatan, tenaga kerja dan kinerjanya (NMHWG, 2004). Kualitas dan kinerja mungkin perlu dipertimbangkan bersama-sama dengan dimensi struktural lainnya dari PHC seperti contohnya pemerintah dan perekonomian serta keadilan dalam penerimaan layanan kesehatan (Kringos et al., 2010). Penelitian lainnya juga memberikan wawasan tentang faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penyediaan layanan kesehatan primer bagi untuk kelompok remaja dan anak-anak tunawisma, yaitu: manajemen waktu pelayanan kesehatan sesuai dengan kondisi klien, waktu tunggu yang singkat, lokasi yang mudah diakses, petugas pelayanan kesehatan yang memiliki sikap empati dan positif, layanan gratis yang terkoordinasi dengan baik (Dawson, A., & Jackson, D., 2013). Kesimpulan dan Saran Pembinaan program perlindungan kesehatan bagi anak jalanan perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak untuk mengurangi dan mencegah dampak kesehatan dan psikososial yang dapat berakibat pada kondisi yang lebih parah dan menimbulkan beban bagi keluarga, masyarakat dan negara. Pusat layanan kesehatan primer dalam hal ini puskesmas sebagai pemberi pelayanan kesehatan terdepan diharapkan dapat melakukan pembinaan melalui pelayanan kesehatan secara komprehensif, berkesinambungan dan berkualitas. Hal ini tidak dapat dilakukan sendiri oleh sektor kesehatan, tetapi memerlukan pendekatan multisektoral dan multidisipliner (Menkes RI, 2010). Oleh karena itu, kerjasama dengan semua unsur terkait dalam pelaksanaanya sangat diperlukan. Untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan pembinaan program pelayanan kesehatan anak jalanan, untuk itu penting untuk mengembangkan model pelayanan yang disesuaikan dengan sasaran program khususnya untuk anak jalanan yaitu puskesmas yang mampu membina kesehatan anak jalanan secara komprehensif dan optimal dan melakukan evaluasi dengan menggunakan metodologi penelitian untuk mengetahui efektifitas model tersebut. Daftar Pustaka Ali, M. & A. de Muynck. (2005). Illness incidence and health seeking behaviour among street children in Rawalpindi and Islamabad, Pakistan -- a qualitative study. Child: Care, Health & Development, 31(5): 525-532 Ahmadkhaniha, H., S. Shariat, S. Torkaman-nejad & M. Moghadam. (2007). The frequency of sexual abuse and depression in a sample of street children of one of deprived districts of tehran. Journal of Child Sexual Abuse, 16(4): 23-35. APHCRI. (2005). What is primary health care?. Retrieved from : http://www.anu .edu.au/aphcri/General/phc_defi nition.php Asadi-Lari, M., Packham, C., & Gray, D. (2003). Need for redefining needs. Health and Quality of Life Outcomes, 1(34). doi:10.1186/1477-7525-1-34

123

Beer, A., Delfabbro, P., Natalier, K., Oakley, S., & Verita, F. (2003). Developing models of good practice in meeting the needs of homeless young people in rural areas (pp. 1–42). Melbourne, VIC: Australian Housing and Urban Research Institute. Bradshaw, J. (2005). The conceptualization and measurement of need. A social policy perspective. In J. Popay & G. Williams (Eds.), Researching the people’s health (pp. 45–57). London, England: Routledge. Brechman-Tousaint, M., & Kogler, E. (2010). Review of international and national integrated service models for young people in the preadolescent and adolescent years: Benefits, barriers and enablers. Canberra, ACT: The Australian Research Alliance for Children and Youth. Celik,S.& M. Baybuga. (2009).Verbal, physical and sexual abuse among children working on the street. Australian Journal of Advanced Nursing, 26(4): 14-22 Clark, M.J. (2007). Community Health Nursing: Advocacy for Population Health–Fifth Edition. Prentice Hall New Jersey. USA Dinas Sosial Prov. Jawa Timur (Dinsos).(2012). MATRIK GAP Program Pelayanan & Rehabilitasi Sosial Kegiatan : Pembinaan Anak Jalanan (Anjal). Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur Dawson, A., & Jackson, D. (2013). The primary health care service experiences and needs of homeless youth: A narrative synthesis of current evidence. Contemporary Nurse: A Journal For The Australian Nursing Profession, 44(1), 62-75. doi:10.5172/conu.2013.44.1.62 Elizabeth T.A and J. McFarlane. (2011). Community as Partner: Theory and Practice in Nursing-6th Edition. Wolters Kluwer Health | Lippincott Williams & Wilkins. China Guernina, Z. (2004). The sexual and mental health problems of street children: a transcultural preventative approach in counselling psychology. Counselling Psychology Quarterly, 17(1): 99-105. Hitchcock, J.E., P.E. Schubert & S.A. Thomas S. (1999). Community Health Nursing-Caring in Action. Delmar Publishers. Albany, New York. Hamid, Almisar. (2010). Perlindungan sosial anak dan masalahnya. Copyright: oleh Kementerian Sosial RI. Sumber: http://www.kemsos.go.id /modules.php?name=Content&pa =showpage&pid=16 Jones, A. (2009). Social marginalization and children's rights: HIV-affected children in the Republic of Trinidad and Tobago. Health & Social Work, 34(4): 293-300. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). (2013). Undang – Undang (UU) RI No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Sumber: http://www.kpai.go.id/hukum/undang-undang-uu-ri-no23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak/ Kringos, D. S., Boerma, W., Hutchinson, A.,van der Zee, J., & Groenewegen, P. P. (2010). The breadth of primary care: A systematic review of its core dimensions. BMC Health Services Research, 10,65–77. Martins D.C. (2008). Population at risk across the lifespan: empirical studies experiences of homeless people in the health care delivery system. Public Health Nursing Vol. 25(5): 420–43007371209/r 2008, Wiley Periodicals, Inc.doi: 10.1111/j.1525-1446.2008.00726.x MENEGPP RI (2007). Jumlah Anak Jalanan di Indonesia. Sumber: http://www.menegpp. go.id/v2/index.php/datadaninformasi/perlindungan-anak

124

Menkes RI. (2010). Buku Pedoman Umum untuk Perlindungan Anak Berkebutuhan Khusus Sumber: http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s& source=web&cd= 5&sqi=2&ved=0CFsQFjAE&url=http%3A%2F%2 Fkesehatananak.depkes.go.id%2 . Retrieved 3th of December 2012 NMHWG. (2004). Responding to the mental health needs of young people in Australia: Discussion paper: Principles and strategies. Canberra, ACT: Author. Nyamathi, A., Liu, Y., Marfi see, M., Shoptaw, S.,Gregerson, P., Saab, S., …Gelberg, L. (2009, January/February). Effects of a nurse-managed program on hepatitis A and B vaccine completion among homeless adults. Nursing Research, 58(1),13–22. Octavianus, Fanny (2011). BPJS Kesehatan Belum Perhatikan Anak Jalanan. Copyright Kebijakan http://kebijakankesehatanindonesia.net Kesehatan Indonesia. Sumber: /component/content/article/73-berita/1499-bpjs-kesehatan-belum-perhatikan-anak-jalanan.html Ribeiro, M., & M. Ciampone. (2001). Homeless children: the lives of a group of Brazilian street children. Journal of Advanced Nursing, 35(1): 42-49. doi:10.1046/j.1365-2648.2001.01847.x Skott-Myhre, H. A., Raby, R., & Nikolaou, J. (2008).Towards a delivery system of services for rural homeless youth: A literature review and case study. Child & Youth Care Forum, 37(2), 87–102. doi:10.1007/s10566-008-9052-8 Stewart, J., & Balchin, P. (2002). Community self-help and the homeless poor in Latin America. Journal Of The Royal Society For The Promotion Of Health, 122(2), 99-107. STC (Save the Children). (2005). 10 Essential Learning Points: Listen and Speak out Against Sexual Abuse of Girls and Boys. Published byThe International Save the Children Alliance. Norway. Tylee, A., Haller, D. M., Graham, T., Churchill, R., & Sanci, L. A. (2007). Youth-friendly primary-care services: How are we doing and what more needs to be done? The Lancet, 369(9572), 1565– 1573. U.S CNN. (2009). Report: 1 in 50 U.S. Children Face Homelessness. Retrieved from: http://articles.cnn.com/2009-03-10/us/homeless.children_1_homeless-children-familyhomelessness-child-homelessness?_s=PM:US Van Jaarsveld, M. Vermaak & van Rooven. (2011). The developmental status of street children in Potchefstroom, South Africa. South African Journal of Occupational Therapy, 41(1): 5-9. WHO. (2008). The world health report 2008: Primary health care now more than ever. Geneva, Switzerland:Author. WHO (2014). Primary Health Care. Sumber: http://www.who.int/topics/primary_health_care/en/ WHO.(2000).Working with Street Children-Modul 9 :Involving the Community. GenevaSwitzerland. Available Source : http://whqlibdoc.who.int/hq/2000/WHO_MSD_MDP_00.14_module9.pdf. Retrieved 17th of October 2012.

125