16 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Perdarahan Saluran Cerna

resiko perdarahan ulang yang lebih banyak (Cagir, 2010). Berikut adalah etiologi dari perdarahan saluran cerna bagian bawah : 2.1.1. Divertikulosis. P...

39 downloads 569 Views 491KB Size
16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah Perdarahan saluran cerna bagian bawah memiliki gejala yang cukup bervariasi dari hematokezia sampai perdarahan yang masif dengan syok. Perdarahan saluran cerna bagian bawah akut didefinisikan sebagai perdarahan yang berasal dari bagian bawah ligamentum treitz dan menyebabkan ketidakstabilan dari tanda vital dan terkadang ditandai dengan anemia dengan atau tanpa transfusi darah (Cagir, 2011). Perdarahan saluran cerna bagian bawah yang memerlukan rawat inap kurang dari 1% dari semua data yang diterima oleh rumah sakit di Amerika Serikat. Dalam sebuah penelitian, tingkat kejadian perkiraan tahunan adalah 20,5% per 100.000 pasien. Namun bagi orang yang berusia dekade kesembilan, tingkat kejadian perdarahan saluran cerna bagian bawah meningkat lebih dari 200 kali lipat. Perdarahan saluran cerna bagian bawah lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita, yang dikarenakan penyakit pembuluh darah dan divertikulosis lebih sering terjadi pada pria (Permanente, 2007 ). Perdarahan saluran cerna bagian bawah memiliki mortalitas sekitar 10-20% pada pasien lansia dan pasien dengan kondisi komorbiditas. Pada orang lansia dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah lebih sering terjadi apabila menderita penyakit divertikulosis dan penyakit vaskular lainnya. Dan perdarahan saluran cerna bagian bawah juga lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan perempuan (Cagir, 2011). Pemahaman tentang patogenesis, diagnosis, dan perawatan perdarahan saluran cerna bagian bawah telah mengalami kemajuan yang pesat. Pada pertengahan awal abad ke-20. Neoplasma pada usus besar diketahui merupakan penyebab perdarahan saluran cerna bagian bawah. Pada tahun 1950-an, hal tersebut diketahui bahwa perdarahan saluran cerna bagian bawah disebabkan oleh divertikulosis, tindakan

Universitas Sumatera Utara

17

pembedahan dengan cara reseksi bowel segmen menghasilkan hasil yang mengecewakan. Pasien yang telah mengalami prosedur ini menderita peningkatan resiko perdarahan ulang yang lebih banyak (Cagir, 2010). Berikut adalah etiologi dari perdarahan saluran cerna bagian bawah : 2.1.1. Divertikulosis Penyakit divertikular di sebelah kanan jarang ditemukan di dunia belahan barat. Frekuensi penyakit ini dilaporkan kira-kira sebanyak 1-2% dari sampel di Eropa dan Amerika, tetapi di Asia dijumpai sebanyak 43-50%. Kontroversi pun muncul sebenarnya dari manakah asal mula divertikel tersebut. Divertikula di sebelah kanan terjadi lebih sering pada pasien yang lebih muda. Kebanyakan divertikula kolon didapat dari lingkungan. Kelainan ini ditandai dengan hernisiasi dari mukosa dan mukosa muskularis ke dinding usus. Biasanya akan tampak suatu lapisan submukosa yang tipis yang mendesak bagian yang terlemah dari muskulus propia dan berakhir di usus bagian subserosa. Titik yang lemah ini merupakan tempat masuknya pembuluh nutrisi dari mukosa usus. Divertikula secara umum dihubungkan dengan peningkatan tekanan intraluminal. Patologi dapat dilihat dari penebalan muskularis propia dengan mukosa kolon yang normal atau yang telah mengalami inflamasi. Divertikula sekal memiliki sedikit sekali muskular yang mengalami hipertropi. Suatu penelitian terakhir menunjukkan bahwa ada suatu aktivitas dari matriks metaloproteinase yang berperan penting dalam perubahan ratio dari kolagen tipe 1 dan 2 dalam kasus-kasus divertikulitis dan juga kanker yang dapat memproduksi metaloproteinase yang memicu terjadinya pengrusakan matriks ekstraselular, yang mana hal ini berperan dalam perkembangan dari penyakit divertikular (Radhi, 2011). Kebanyakan pasien dengan divertikula di sebelah kanan memiliki gejala asymptomatik. Namun demikian, pasien bisa juga mengeluhkan adanya tanda-tanda komplikasi dari divertikulosis. Sebagai contoh adanya perdarahan, divertikulitis, peridivertikular abses, dan perforasi dengan formasi fistula. Pasien dengan divertikula sekal pada umumnya terjadi pada kelompok usia yang lebih muda. Mereka akan

Universitas Sumatera Utara

18

mengeluhkan adanya rasa nyeri pada kuadran kanan bawah dan sering didiagnosis sebagai apendiksitis. Lebih dari 70% pasien dengan divertikulitis sekal dioperasi dengan diagnosis apendiksitis akut. Diagnosis preoperatif bisa difasilitasi dengan menggunakan USG dan CT (Radhi, 2011). 2.1.2. Crohn’s disease Pada pemeriksaan endoskopis, sebuah lesi yang tampak kecil dan dangkal dengan tanpa vili yang disebut ulkus aphtoid. Secara patologis, lesi tersebut adalah erosi atau ulkus yang kecil yang dibentuk oleh folikel limfoid dan epitelium. Ini merupakan pertanda awal dari penyakit crohn. Dan biasanya lesi juga terlihat merah disekelilingnya. Jika dilihat dari jarak yang dekat akan tampak seperti vili yang membesar. Para penulis juga berspekulasi bahwa warna merah perifer tersebut dan pembesaran vili adalah merupakan akibat dari vasodilatasi dan pembengkakan yang berasal dari proses inflamasi. Lesi tampak di lipatan keckring dengan karakteristik lesi yang depresi dan kecil (Sunada, 2009). Lesi bentuk lain adalah ulkus longitudinal, yang mana lesi tersebut dikarakteristikan dengan inflamasi yang kecil di mukosa dan cenderung berbaris secara longitudinal. Bentuk dari ulkus ini bervariasi dari yang bulat hingga berbentuk irregular (Sunada, 2009). Bentuk cobblestone terjadi akibat dari perubahan inflamasi dan edema di mukosa sebelah kiri dengan ulkus yang tidak beraturan. Bentuk cobblestone ini terlihat sering di kolon tetapi jarang di usus halus kecuali dekat ileum terminalis (Sunada, 2009). 2.1.3.

Kolitis Ulseratif Pada pemeriksaan endoskopi untuk kasus yang seperti kolitis ulseratif

biasanya terfokus pada usus kuadran kanan bawah dan juga berdasarkan atas penjelasan pasien sebelumnya. Biasanya pasien dengan penyakit Crohn juga mengalami kelainan di lambung dan usus halus maka perlu endoskopi untuk

Universitas Sumatera Utara

19

pencernaan bagian atas temuan endoskopi dan radiologis, yang memusatkan perhatian kita pada kuadran kanan bawah dan didukung juga oleh penjelasan gejala pasien. Pada pemeriksaan upper endoscopy akan menemukan duodenitis, jika kerongkongan dan lambung tidak normal. Sering kali, pasien yang menderita penyakit Crohn atau kolitis ulseratif akan memiliki peningkatan resiko lesi di perut, meskipun temuan ini tidak spesifik. Sekitar 60% dari remaja dengan penyakit Crohn akan memiliki penyakit ileokolon. radang horisontal lebih khas dari tuberkulosis bila dibandingkan dengan penyakit crohn (Danese, 2011). 2.1.4. Angiodisplasia Pelebaran pembuluh darah mukosa dan submukosa yang berkelok-kelok paling sering ditemukan di sekum atau kolon kanan biasanya setelah usia 60–an. pembuluh darah ini mudah ruptur dan mengeluarkan darah ke lumen. Kelainan ini merupakan penyebab perdarahan sebanyak 20% pada saluran cerna bagian bawah. Dan angiodisplasia merupakan kelainan diperkirakan terbentuk selama bertahuntahun akibat faktor mekanis yang bekerja pada dinding kolon. Karena lapisan otot, vena penetrans mengalami oklusi saat kontraksi peristaltik tetapi arteri berdinding tebal tetap paten (Cotran, 2004). 2.1.5. Hemoroid Hemoroid adalah dilatasi pembuluh darah vena pleksus submukosa anus dan perianus. Dilatasi pembuluh ini sering terjadi setelah usia 50 tahun yang berkaitan dengan peningkatan tekanan vena didalam pleksus hemorroidhalis. Varises vena hemorroidalis superior dan media yang muncul diatas garis anorektum dan ditutupi oleh mukosa rektum disebut hemoroid interna. Varises yang muncul dibawah garis anorektum mencerminkan pelebaran pleksus hemoroidalis inferior dan ditutupi mukosa anus disebut hemoroid eksterna. Keduanya merupakan pembuluh darah vena yang melebar, berdinding tipis dan mudah berdarah kadang-kadang menutupi perdarahan dari lesi proksimal yang lebih serius (Cotran, 2004).

Universitas Sumatera Utara

20

2.1.6. Diare Kebanyakan kasus dari diare adalah akut, sembuh tanpa diobati dan disebabkan oleh infeksi atau obat-obatan. Diare kronis (berlangsung hingga 6 minggu atau lebih) lebih sering disebabkan oleh primary inflammatory atau gangguan absorpsi. Secara umum, diare jenis ini perlu penilaian langsung untuk menegakkan diagnosis. Pasien yang menderita diare kronis atau diare akut yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya pada umumnya menjalani pemeriksaan endoskopi apabila tidak ditemukan mikroorganisme pada feses. Pemilihan endoskopi tergantung gejala klinis yang ditemukan (Topazian, 2004). Pasien dengan gejala dan temuan pada kolon seperti diare berdarah, tenemus, demam, atau leukosit di feses pada umumnya akan menjalani pemeriksaan sigmoidoskopi atau kolonoskopi untuk melihat ada atau tidaknya kolitis. Sigmoidoskopi biasanya sudah cukup untuk menegakkan diagnosis pada kebanyakan pasien seperti itu. Dilain pihak, pasien dengan gejala atau temuan seperti kelainan dari usus halus seperti feses yang berair banyak, berat badan menurun, malabsorpsi besi, kalsium, atau lemak dapat menjalankan pemeriksaan upper endoscopy dengan biopsi duodeni (Topazian, 2004). Kebanyakan pasien dengan diare kronis tidak merasa segar ataupun bugar. Jika ada riwayat konstipasi dan diare yang berkepanjangan yang terjadi pada dewasa muda, tanpa di sertai darah di feses ataupun anemia diagnosis irritable bowel síndrome dapat ditegakkan. Steatorrea dan nyeri pada abdomen bagian atas mungkin saja disebabkan penyakit pada pankreas daripada saluran cerna. Pasien yang memiliki diare kronis yang sulit dikategorikan sering dianjurkan pemeriksaan kolonoskopi untuk memeriksa usus secara keseluruhan (dan ileum terminal) untuk menemukan tanda-tanda inflamasi ataupun neoplastik (Topazian, 2004). 2.1.8. Adenoma Adenoma adalah polip neoplastik yang berkisar dari tumor kecil yang sering bertangkai hingga lesi besar. Prevalensi adenoma kolon adalah 20%-30% sebelum

Universitas Sumatera Utara

21

usia 40 tahun, dan meningkat menjadi 40% hingga 50% setelah usia 60 tahun. Polip adenomatosa memiliki tiga subtipe yaitu : Adenoma tubular, adenoma vilosa, adenoma tubulovilosa (Cotran, 2004). Adenoma tubular berukuran kecil dengan ukuran 0,3 cm dan ada juga yang berukuran 2,5 cm sebagian besar memiliki tangkai ramping dengan panjang 1 sama 2 cm dan kepala mirip buah frambus. Secara histologis tangkai terbungkus oleh mukosa kolon normal tetapi kepala terdiri dari epital neoplastik yang membentuk kelenjar yang bercabang dilapisi oleh sel jangkung , hiperkromatik sedikit acak dan mungkin mengeluarkan musin (Cotran, 2004). Adenoma vilosa adalah polip epitel yang lebih besar dan lebih merugikan. Polip ini cenderung timbul pada usia lanjut. Terutama di rektum dan rektosigmoid. Lesi pada umumnya terdapat dimana saja. Lesinya berupa massa yang tidak bertangkai bergaris tengah hingga 10 cm dan seperti beledu atau kembang kol yang menonjol 1 sampai 3 cm diatas mukosa normal (Cotran, 2004). Adenoma tubulovilosa memperlihatkan campuran daerah tubular dan vilosa. Adenoma ini merupakan bentuk intermediet antara lesi tubulkat dan vilosa dalam hal frekuensi memiliki tangkai atau tidak bertangkai. Ukuran, derajat displasia dan risiko mengandung karsinoma intramukosa atau invasif (Cotran, 2004). 2.1.9. Karsinoma kolorektal Pada dasarnya karsinoma kolorektal dibagi menjadi 2 bagian, yakni polip kolon dan kanker kolon. Polip adalah tonjolan diatas permukaan mukosa. Polip kolon dapat dibagi dalam 3 tipe yakni neoplasma epitelium, non-neoplasma dan submukosa. Secara epidemiologis kanker kolorektal didunia menempati urutan ke-4, dengan jumlah pasien laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan 19,4 dan 15,9 per 100.000 Di AS. Pada umumnya rata-rata pasien kanker kolorektal adalah berusia 67 tahun dan lebih dari 50% kematian terjadi pada mereka yang berumur 55 tahun. Di Indonesia seperti yang terdapat pada laporan registrasi kanker nasional yang dikeluarkan oleh Direktorat Pelayanan Medik Departemen Kesehatan

Universitas Sumatera Utara

22

bekerja sama dengan Perhimpunan Patologi Anatomi Indonesia, didapati angka yang berbeda. Hal yang menarik disini adalah umur yang lebih muda cenderung lebih banyak dibandingkan dengan laporan dari negara Eropa dan AS. Untuk usia dibawah 40 tahun data dari Bagian Patologi Anatomi FKUI didapati angka 35,26% (Abdullah, 2009). Sekitar 25% karsinoma kolorektal terletak di sekum atau kolon asendens dengan proporsi setara direktum dan sigmoid distal. Sebanyak 25% lainnya terletak dikolon asendens dan sigmoid proksimal dan sisanya tersebar dikolon bagian lainnya. Dan walaupun karsinoma kolorektal awalnya hanya karsinoma in situ tetapi dapat memiliki morfologi yang berbeda-beda. Tumor di kolon proksimal cenderung tumbuh sebagai massa polipoid eksofitik yang meluas disepanjang salah satu dinding sekum dan kolon asendens, akan tetapi jarang menyebabkan obstruksi. Bila terletak di distal karsinoma cenderung berbentuk lesi anular melingkar yang menimbulkan apa yang disebut sebagai napkin-ring usus (Cotran, 2004). 2.2. Definisi kolonoskopi Kolonoskopi adalah prosedur yang dilakukan oleh seorang pemeriksa (biasanya seorang gastroenterologis) untuk mengevaluasi bagian dalam kolon (usus besar). Ujung kolonoskop dimasukkan ke dalam anus dan melalui usus besar dan berakhir di sekum (Marks, 2010). Kolonoskopi juga dapat melakukan biopsi pada lesi yang mencurigakan. Pemeriksaan kolon yang lengkap dapat mencapai >95% pasien. Rasa tidak nyaman yang timbul sangat bergantung pada operator. Untuk mengatasi kendala tersebut diperlukan obat penenang intravena akan sangat membantu meskipun ada resiko perforasi dan perdarahan, akan tetapi kejadian seperti ini sekitar <0,5%. Kolonoskopi dengan enema barium bertujuan untuk mendeteksi lesi kecil seperti adenoma. Kolonoskopi merupakan prosedur terbaik untuk memperkirakan ada polip kolon. Kolonoskopi mempunyai sensitivitas 95% dan spesifitas 99% paling tinggi

Universitas Sumatera Utara

23

dibandingkan dengan modalitas yang lain dalam mendeteksi polip adematosa. Disamping itu, dapat melakukan biopsi dan tindakan polipektomi untuk mengangkat polip. Akan tetapi kolonoskopi tidak dapat membedakan jenis-jenis polip secara histologi, oleh karena itu biopsi dan polipektomi penting untuk menegakkan diagnosis secara histologi (Abdullah, 2009). 2.3. Anatomi Kolon Pencernaan bagian bawah merupakan bagian dari usus transversum dan hal ini masih banyak diperdebatkan. Sekum terletak pada kuadran kanan bawah dan bagian paling proksimal dan terluas dari saluran pencernaan bagian bawah. Jika dilakukan pembedahan, sekum biasanya terletak di bagian bawah dan lebih rendah daripada ileocecal. Lapisan lemak yang dikenal sebagai lapisan omentum yang melekat pada usus besar. Saluran pencernaan bagian bawah disuplai oleh arteri mesenterika superior ke bagian kolik kanan dan cabang kolik menengah. Dan arteri mesenterika inferior menyuplai darah ke bagian kolik kiri, sigmoid, dan dubur (hemoroid). Arteri iliaka internal memperdarahi bagian tengah dubur cabang dubur dan inferior. Cabang terminal dari arteri memasuki dinding usus besar disebut vasa rekta (Kapoor, 2011). 2.4. Pemeriksaan Endoskopi 2.4.1. Bagian-bagian instrument. Semua endoskopi dapat dibagi dalam 3 bagian: insertion tube, yaitu bagian kolonoskopi yang dimasukkan ke dalam tubuh pasien yang melalui anus, instrument control head, suatu bagian kolonoskopi yang berguna untuk endoskopis agar kolonoskopi dapat bermanuver/ digerakkan dan memiliki suatu akses air atau udara apabila diperlukan. Dan yang terakhir adalah universal cord and plug, yang menghubungkan unit instrument dengan unit suplai (Messmann, 2006). 1. Insertion tube adalah suatu bagian kolonoskopi yang dilengkapi video terdiri dari serat optik, wayar digital, udara dan air. Kanal instrument dan

Universitas Sumatera Utara

24

kabel bowden untuk mempermudah pergerakan kolonoskopi itu sendiri. Diujung dari kolonoskopi terdapat lensa dan video yang berfungsi untuk mengambil gambar yang nanti ditampilkan di layar monitor agar endoskopis mengetahui bagian usus mana yang memiliki lesi. Dan pada bagian 15 cm yang terakhir dari bagian insertion tube dirancang lebih fleksibel sehingga dapat diatur ke 4 arah yang berbeda untuk manuver dari kolonoskopi itu sendiri. Derajat fleksi dari kolonoskopi adalah 180° untuk ke atas dan ke bawah dan 160° untuk ke kiri dan kanan (Messmann, 2006). 2. Instrument control head. Memiliki fungsi penting untuk manuver dan mengontrol ujung dari kolonoskopi itu sendiri seperti membantu dalam hal pengisapan, pembersihan, insuflasi udara yang semuanya dikontrol di bagian ini. Didalam kanal instrument kita mendapati adanya silinder udara dan air tetapi sebelumnya kanal air dan udara bersatu di kanal suctions. Diameter di dalam kanal instrumen antara 2,8 mm dan 3,7 mm yang mempermudah masuknya aksesoris endoskopi seperti forsep biopsi atau senar polipektomi. Tombol-tombol yang terdapat di bagian ini digunakan untuk mengambil gambar, merekam video dan mencetak gambar yang tertangkap oleh video tersebut dan mengatur intensitas pencahayaan (Messmann, 2006). 3. Universal cord. Bagian ini menghubungkan endoskopi dengan sumber pencahayaan, suplai air, pompa isap, dan prosesor video. Prosesor video menampilkan gambar ke layar monitor (Messmann, 2006).

2.5. Jenis-jenis Endoskopi 1. Sigmodoskopi Fleksibel Sigmodoskopi fleksibel memiliki persamaan dengan kolonoskopi tetapi gambaran yang diberikan hanya terbatas sampai rektum saja dengan

Universitas Sumatera Utara

25

porsio kolon sebelah kiri yang mana panjang yang dapat dicapai dari alat tersebut biasanya 60 cm dari anal verge. Prosedur ini menyebabkan kram abdomen. Tetapi hal ini tidak terjadi bila diberikan sedasi. Sigmodoskopi fleksibel digunakan untuk skrining gejala asimptomatik. Perangkat ini juga digunakan untuk menilai diare dan hematokezia (Topazian, 2004). 2. Kolonoskopi virtual Kolonoskopi virtual dikenal juga sebagai computed tomography (CT). Selain itu, dapat digunakan juga spiral CT Scanning ke computer untuk mendapatkan resolusi yang tinggi multidimensi dari seluruh penampilan kolon sehingga gambaran yang didapat lebih jelas. Pada kolonoskopi konvensional, persiapan untuk membersihkan bowel sebelum pemeriksaan harus dilakukan. Sedangkan pada CT scan rectal tube dimasukan dan kolon diisi dengan udara. Glukagon diinjeksikan yang berguna untuk merelaksasi otot-otot polos di usus (Stein, 2012). Virtual kolonoskopi lebih aman karena kurang invasif dibandingkan kolonoskopi konvensional dan memiliki keakuratan yang lebih tinggi dalam menentukan ukuran, bentuk dan lokasi lesi. Pemeriksaan dengan virtual kolonoskopi juga disarankan untuk menentukan staging dari karsinoma kolorektal ( Stein, 2012). 3. High-definition colonoscopy Perangkat ini memungkinkan untuk mendeteksi polip kolorektal lebih teliti dibandingkan kolonoskopi konvensional. Pada studi retrospektif, Buchner et al membandingkan High-definition colonoscopy (n=1204) dengan kolonoskopi standard dengan pencahayaan putih (n=1226) untuk mendeteksi adenoma. Investigator menemukan angka ketelitian

untuk mendeteksi

adenoma dan angka ketelitian untuk mendeteksi polip lebih tinggi pada pasien yang menjalani pemeriksaan High-definition colonoscopy. Dan mereka

Universitas Sumatera Utara

26

menyimpulkan bahwa angka untuk adenoma yang terlewati akan berkurang sehingga mengurangi resiko terjadi kanker kolorektal (Stein, 2012). Pada prospektif, studi acak membandingkan kolonoskopi dengan highdefinition, kolonoskopi dengan sudut lebar (n=193) dibandingkan dengan kolonoskopi standard (n=197) dalam mendeteksi polip. Tribonias et al menunjukkan perbedaan yang signifikan 2 metode dari kedua prosedur tersebut. Rata-rata dapat polip hiperplastik yang kecil (<5 mm, P= .003) tetapi tidak ditemukan perbedaan antara kedua teknik dalam mendeteksi lesi dengan ukuran besar (10 mm atau lebih besar), medium (antara 5 mm dan 10 mm) dan polip yang kecil (<5mm). Tribonians et al juga menemukan tidak perbedaan yang signifikan antara high-definition, kolonoskopi dengan sudut lebar dan kolonoskopi standard untuk mendeteksi ukuran adenoma dan polip hiperplastik baik ukuran yang kecil, medium, dan besar ( Stein, 2012).

2.6. Indikasi kolonoskopi a. Skrining kanker kolorektal pada umur yang beresiko. b.Menilai dan mengangkat polip. c. Membantu manajemen penyakit inflamasi bowel. d.Menentukan tempat perdarahan. e. Melakukan dekompresi usus (Cagir, 2011).

2.7. Fungsi Kolonoskopi (lower endoscopy) 1. Pemeriksaan penunjang apabila terjadi anemia disertai dengan darah di feses baik yang tersamar atau yang tampak. Anemia defisiensi besi mungkin ada hubungannya dengan jeleknya absorpsi besi (seperti pada celiac sprue) atau lebih sering karena diakibatkan oleh perdarahan kronik. Perdarahan usus diduga kuat pada pria dan wanita yang postmenopausal apabila diduga adanya anemia

Universitas Sumatera Utara

27

defisiensi besi, kolonoskopi diindikasikan seperti pasien-pasien tersebut walaupun tidak darah yang tersamar didalam feses. Sekitar 30% diduga adanya polip dikolon, 10% akibat kanker

kolorektal dan selebihnya

mungkin dikarenakan adanya lesi pada vaskular kolon. Endoskopi saluran cerna atas juga direkomendasikan apabila tidak dijumpai perdarahan disaluran cerna bagian bawah. Jika lesi tidak ditemukan, biopsi duodenal harus dilakukan untuk menyingkirkan sprue. Penilaian usus halus juga harus sesuai jika EGD dan kolonoskopi tidak dapat menunjukkan adanya lesi (Topazian, 2004). Tes untuk darah tersamar di feses yang mendeteksi hemoglobin dan heme merupakan tes yang sensitif untuk memperkirakan ada atau tidaknya darah pada feses. Walaupun terkadang tes itu dapat juga mendeteksi perdarahan pada saluran cerna bagian atas. Pasien dengan darah tersamar harus menjalani pemeriksaan kolonoskopi untuk menyingkirkan adannya neoplasia. Usus halus mungkin merupakan penyebab perdarahan intestinal khususnya jika kolonoskopi dan upper endoscopy tidak dapat menegakkan diagnosis. Kegunaan dari penilaian usus halus dari gejala klinis dan yang paling penting pada pasien yang memiliki perdarahan yang menyebabkan anemia kronik. Padahal dengan radiografi usus halus dapat ditemukan dalam batas normal pada 50 % pasien yang mengalami perdarahan tersebut. Temuan yang paling sering adalah telangiaktasis (Topazian, 2004). 2. Untuk skrining kanker kolorektal Kebanyakan kanker kolorektal berkembang dari adenoma kolon yang ada sebelumnya dan kanker kolrektal bisa dicegah dengan pendeteksian dini dan pengangkatan polip kolon yang adematosa. Deteksi dini pada polip, kanker yang asimptomatik bisa dilakukan dengan pengujian spesimen feses untuk menemukan darah tersamar disertai dengan

Universitas Sumatera Utara

28

pengujian kolon secara langsung. Sejak tes untuk darah tersamar tidak sensitif lagi, yang dikarenakan tes ini hanya dapat mendeteksi seperempat kanker kolorektal dan polip yang berukuran besar (Topazian, 2004). Pemilihan skrining untuk pasien asimptomatik tergantung pada kemauan dan riwayat keluarganya. Adanya riwayat pernah menderita inflamatory bowel disease

atau polip kolorektal. Rekomendasi untuk

pemeriksaan ini apabila adanya riwayat keluarga yang mengidap polip adematosa sekitar dua atau lebih anggota keluarga. Sindrom kanker tertentu atau ditemukan adanya darah tersamar di feses. Seorang individu tanpa faktor ini pada umumnya juga dipertimbangkan juga skrining sigmodoskopi pada usia 50 tahun dan dianjurkan setiap 5 tahun . Akan tetapi, ada perdebatan apakah pasien yang memiliki hanya satu keluarga yang menderita kanker kolorektal apakah perlu dilakukan skrining (Topazian, 2004). Sigmoidoskopi fleksibel adalah skrining yang efektif memiliki 2 alasan : 1. Kebanyakan kanker kolorektal pada umumnya terjadi di daerah rektum dan kolon sebelah kiri. 2. Kebanyakan juga kanker kolorektal pada sisi kanan terjadi dengan adanya adenoma disebelah kiri juga (Topazian, 2004). Pendeteksian akan adenoma selama pemeriksaan sigmodoskopi pada umumnya membutuhkan pemeriksaan kolonoskopi secara menyeluruh dan mendeteksi adanya kanker pada sisi kanan kolon. Pada beberapa dekade belakangan ini, ada perubahan secara gradual yang terjadi pada distribusi kanker kolon dengan proporsi rektal lebih sedikit. Oleh karena alasan ini penilaian kolon secara keseluruhan dianjurkan. Barium enema telah dianjurkan juga tetapi masih dibutuhkan pemeriksaan sigmoidoskopi fleksibel. Dewasa ini, telah ditemukan adanya teknik baru yaitu virtual

Universitas Sumatera Utara

29

kolonoskopi yang cukup menjanjikan untuk mendeteksi lesi secara akurat (Topazian, 2004). 3. Hematokezia minor. Jika terdapat darah merah segar di atas feses biasanya berasal dari anal, rektum atau sigmoid distal. Pasien bahkan memiliki kemungkinan lainnya sehingga sigmoidokopi fleksibel harus dilakukan untuk menyingkirkan polip yang berukuran besar atau kanker di kolon bagian distal. Pasien yang mengaku bahwa adanya darah hanya pada tisu toilet dan tidak terdapat pada feses atau di toilet mungkin terjadi perdarahan pada anal kanal. Pemeriksaan DRE (Digital Rectal Examinations) dan diinspeksi secara seksama atau dengan bantuan alat seperti anoskopi sudah cukup untuk menegakkan diagnosis pada kebanyakan kasus (Topazian, 2004). 2.8. Teknik Scope kolonoskopi terus masuk ke dalam kolon dan digerakan secara manuver disepanjang luminal dan dinding usus besar yang divisualisasikan ke layar monitor. Kolonoskopi mempunyai kanal sehingga memungkinkan untuk dimasukan berbagai macam instrumen seperti instrumen biopsi yang bertujuan untuk mengangkat polip atau menghentikan pendarahan. Udara, air dan pengisapan bisa diaplikasikan untuk membantu pemeriksaan agar gambar yang dihasilkan lebih jelas (Stein, 2012). Pemeriksaan lengkap biasanya harus mencapai sekum. Dan untuk beberapa kasus harus sampai ileum terminal. Penandaan juga dibutuhkan untuk menentukan apabila pemeriksaan telah mencapai orifisium apendiks atau valvula ileosekal. Akan tetapi, terkadang hal ini tidak selalu dapat dikerjakan karena adanya penyakit atau keadaan tertentu sehingga endoskopis sangat sulit mencapai valvula ileosekal atau orifisium apendiks. Contohnya divertikulitis, operasi pelvis sebelumnya, stenosis post-prosedur, ulseratif kolitis. Untuk beberapa kasus juga dibutuhkan kontras ganda

Universitas Sumatera Utara

30

seperti barium enema untuk melengkapi pemeriksaan. Walaupun prosedur kurang sensitif daripada kolonoskopi dalam mendeteksi polip dan tumor ( Stein, 2012). 2.9. Persiapan Pemeriksaan Kolonoskopi. Persiapan yang baik memiliki penting untuk keberhasilan pemeriksaan kolonoskopi. Namun, persiapan usus tetap menjadi penghalang utama, yang mana semuanya tergantung pada kepatuhan pasien dengan pedoman skrining karsinoma kolorektal. Peningkatan pendidikan dan kepatuhan pasien terhadap penggunaan rejimen pencahar usus dapat meningkatkan kemungkinan prosedur kolonoskopi aman dan lengkap. Sebuah komponen penting adalah hidrasi yang cukup. Terlepas dari persiapan diberikan, bahwa ada peristiwa buruk yang terkait dengan pencahar usus sering dikaitkan dengan dehidrasi. Penyedia layanan kesehatan perlu melihat pasiennya dari segi pendidikan pasien maupun dengan pencahar yang akan digunakan pasien nantinya bahwa pentingnya hidrasi yang cukup sebelum, selama dan setelah persiapan usus dan kolonoskopi. Langkah-langkah ini dapat mengurangi risiko deplesi volume intravaskular yang berhubungan dengan komplikasi selama persiapan usus dan memberikan persiapan yang lebih aman, lebih efektif untuk kolonoskopi (Lichtenstein, 2007). Pasien harus disarankan juga untuk melakukan pengosongan isi usus besar karena hal ini merupakan syarat yang harus dipenuhi agar pemeriksaan kolonoskopi ini berhasil. Jika usus sangat penuh dari sisa makanan maka dapat menganggu pemeriksaan. Mungkin saja polip dan lesi tidak dapat terdeteksi.

Pemeriksaan

kolonoskopi yang berlama-lama dapat menyebabkan risiko komplikasi yang lebih tinggi. Dan semua proses ini akan di ulang atau di jadwalkan kembali di lain waktu. Itulah konsekuensi yang dihadapi apabila pasien tidak tahu/ patuh terhadap apa yang dimaksud dengan pengosongan usus besar ini. Pasien diwajibkan untuk berpuasa makan padat sehari sebelum pemeriksaan kolonoskopi. Dan pada malam sebelum prosedur tersebut, pasien harus diwajibkan untuk meminum obat atau zat yang dapat memicu pembersihan usus dan instruksi yang baik (Harvard, 2008).

Universitas Sumatera Utara