22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB

Download Menurut Abdulkadir Muhammad yang dimaksud dengan tanggung jawab pengangkut adalah “Kesediaan membayar ganti kerugian kepada penumpang ata...

0 downloads 382 Views 63KB Size
22

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB, BARANG, DAN PENGANGKUTAN

2.1 Tanggung Jawab 2.1.1 Pengertian tanggung jawab Tanggung jawab menurut kamus umum bahasa indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya.1 Menurut kamus umum bahasa indonesia bertanggung jawab

adalah

berkewajiban

menanggung,

memikul

jawab,

menanggung segala sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Menurut Abdulkadir Muhammad yang dimaksud dengan tanggung jawab pengangkut adalah “Kesediaan membayar ganti kerugian kepada penumpang atau pengirim atau penerima atau pihak ketiga yang timbul akibat penyelenggaraan pengangkutan bermutu undang-undang atau perjanjian pengangkutan”.2 Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang bertanggung jawab.Disebut demikian karena manusia, selain merupakan makhluk individual dan makhluk sosial, juga merupakan makhluk Tuhan. Manusia memiliki tuntutan yang besar untuk bertanggung jawab mengingat ia mementaskan sejumlah peranan dalam konteks

1

https://herujulianto89.wordpress.com/2013/12/12/pengertian-dari-tanggung-jawabyang-baik-antara-manusia/ , Di akses pada tanggal 8 mei 2015. 2 Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad III), hal. 340.

22

23

sosial, individual ataupun teologis. Dalam konteks sosial manusia merupakan makhluk sosial. Ia tidak dapat hidup sendirian dengan perangkat nilai-nilai secara sendiri. Nilai-nilai yang diperankan seseorang dalam jaminan sosial harus dipertanggungjawabkan sehingga tidak mengganggu konsensus nilai yang telah disetujui bersama. Masalah tanggung jawab dalam konteks individual berkaitan dengan konteks teologis. Manusia sebagai makhluk individual artinya manusia harus bertanggung jawab terhadap dirinya (keseimbangan jasmani dan rohani) dan harus bertanggung jawab terhadap Tuhannya (sebagai penciptanya). Tanggung jawab manusia terhadap dirinya akan lebih kuat intensitasnya apabila ia memiliki kesadaran yang mendalam. Tanggung jawab manusia terhadap dirinya juga muncul sebagai akibat keyakinannya terhadap suatu nilai. Demikian pula tanggung jawab manusia terhadap Tuhannya, manusia sadar akan keyakinan dan ajarannya. Oleh karena itu manusia harus menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya agar manusia dijauhkan dari perbuatan keji dan mungkar. Tanggung jawab dalam konteks pergaulan manusia adalah keberanian. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang berani menanggung resiko atas segala yang menjadi tanggung jawabnya. Ia jujur terhadap dirinya dan jujur terhadap orang lain, tidak pengecut dan mandiri. Dengan rasa tanggung jawab, orang yang bersangkutan akan berusaha melalui seluruh potensi dirinya. Selain itu juga orang yang bertanggung jawab adalah orang yang mau berkorban demi kepentingan orang lain. Tanggung jawab juga berkaitan dengan kewajiban. Kewajiban adalah sesuatu yang dibebankan terhadap seseorang. Kewajiban merupakan bandingan

24

terhadap hak dan dapat juga tidak mengacu kepada hak. Maka tanggung jawab dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap kewajibannya. Kewajiban dibagi menjadi 2 macam, yaitu : 1. kewajiban terbatas. Kewajiban ini tanggung jawab diberlakukan kepada setiap orang. Contohnya

undang-undang

larangan

membunuh,

mencuri

yang

disampingnya dapat diadakan hukuman-hukuman. 2. kewajiban tidak terbatas. Kewajiban ini tanggung jawabnya diberlakukan kepada semua orang. Tanggung

jawab terhadap kewajiban ini nilainya lebih tinggi, sebab

dijalankan oleh suara hati, seperti keadilan dan kebajikan. Orang yang bertanggung jawab dapat memperoleh kebahagiaan, karena orang tersebut dapat menunaikan kewajibannya. Kebahagiaan tersebut dapat dirasakan oleh dirinya atau orang lain. Sebaliknya, jika orang yang tidak bertanggung jawab akan menghadapi kesulitan karena ia tidak mengikuti aturan, norma, atau nilai-nilai yang berlaku. Problem utama yang dirasakan pada zaman sekarang sehubungan dengan masalah tanggung jawab adalah berkaratnya atau rusaknya perasaan moral dan rasa hormat diri terhadap pertanggungjawaban. Orang yang bertanggung jawab itu akan mencoba untuk berbuat adil. Tetapi adakalanya orang yang bertanggung jawab tidak dianggap adil karena runtuhnya nilai-nilai yang dipegangnya dan runtuhnya keimanan terhadap Tuhan. Orang yang demikian tentu akan mempertanggungjawabkan segala sesuatunya kepada Tuhan. Karena hanya Tuhan lah yang bisa memberikan hukuman atau cobaan

25

kepada manusia agar manusia mau mempertanggungjawabkan atas segala perbuatannya.

2.1.2 Bentuk – bentuk tanggung jawab Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dapat dijelaskan sebagai berikut: a. kesalahan (liability based on fault). Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata, khususnya pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini di pegang secara teguh. b. praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability Principle). Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability Principle), sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah, jadi beban pembuktian ada pada si penggugat. c. praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption nonliability Principle) Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip untuk selalu bertanggung jawab. Prinsip untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption nonliability Principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

26

d. prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolute (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminilogi di atas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab

yang

menetapkan

kesalahan

tidak

sebagai

faktor

yang

menentukan.Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk

dibebaskan

dari

tanggung

jawab,

misalnya

keadaan

force

majeur.Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualian. e. prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle). Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.3

2.2 Barang 2.2.1 Pengertian barang Secara umum barang merupakan setiap benda baik yang berwujud maupun tidak berwujud, bergerak atau pun tidak bergerak, yang mempunyai banyak tujuan seperti diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen. Barang juga dapat disebut dengan istilah lain yaitu komoditas.4 Jadi jika ada orang

3

Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Celina Tri Siwi Kristiyanti II), hal. 92. 4 http://www.anneahira.com/pengertian-barang-dan-jasa.htm

27

yang mengatakan komoditas maka yang ia maksud adalah barang. Barang dan komoditas adalah dua hal yang sama. Barang juga dapat diartikan sebagai suatu hal yang mempunyai nilai. Nilai yang dimiliki oleh barang inilah yang menjadi penentu untuk menjadikan barang tersebut sebagai pemenuhan kebutuhan manusia. Nilai yang dimiliki oleh barang ini juga dapat disebut dengan manfaat dari barang tersebut. Nilai atau manfaat barang ini dapat dirasakan oleh manusia khususnya konsumen pada saat dipergunakan dalam memenuhi kebutuhan. Nantinya setelah barang tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, maka nilai atau manfaat yang dimiliki ini akan berkurang atau habis. Tentang Kebendaan dalam Kitab Undang-Undang Perdata diatur dalam buku Kedua. yaitu Bab I dan Bab II serta Bab XIX sampai dengan Bab XXI. Bab Pertama mengatur apa yang diartikan dengan benda. Yang dimaksudkan sebagai benda ialah semua barang yang berwujud dan hak (kecuali hak milik).5Jadi semuanya yang dapat kita lihat dan pegang merupakan suatu benda.Contoh : kursi, meja, pensil, dan mobil.

2.2.2 Ciri – ciri barang Barang yang sering kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita diantaranya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 

berwujud



tidak tidak berwujud



barang bergerak sendiri 5

Sudiman Kartohadiprodjo, 1974, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 77.

28



barang tidak bergerak



memiliki nilai dan manfaat yang dapat dirasakan saat digunakan



bila digunakan, nilai, manfaat dan bendanya sendiri dapat berkurang atau bahkan habis.6

2.2.3 Macam – macam barang Macam – macam barang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: menurut cara memperolehnya Menurut cara memperolehnya, barang dapat dikelompokan menjadi: 

barang bebas, yakni barang yang untuk memperolehnya tidak diperlukan pengorbanan. contohnya, cahaya matahari dan udara.



barang ekonomi, yakni barang yang untuk memperolehnya diperlukan pengorbanan. contohnya, makanan dan minuman yang mana diperlukan uang untuk membelinya.



barang elit, yakni barang yang jika terlalu banyak keberadaannya justru merugikan. contohnya, air dalam peristiwa banjir.

menurut kegunaan Menurut kegunaannya, barang dikelompokkan menjadi: 

barang produksi, yakni barang yang digunakan untuk proses produksi lebih lanjut. contohnya, kain yang akan digunakan untuk dijahit menjadi pakaian. 6

2015.

http://id.wikipedia.org/wiki/Barang#Ciri-ciri_Barang, Di akses pada tanggal 8 mei

29



barang konsumsi, yakni barang yang dapat langsung digunakan dan dikonsumsi oleh seseorang. contohnya, pakaian yang bisa langsung digunakan.

menurut proses pembuatan Menurut proses pembuatannya, barang dikelompokan menjadi: 

barang mentah, yakni barang yang belum mengalami proses produksi. contohnya, kapas, kayu, rotan, padi, tembakau, kulit.



barang setengah jadi, yakni barang yang sudah melalui proses produksi akan tetapi belum siap pakai. contohnya, benang yang dibuat dari kapas untuk dibuat menjadi kain.



barang jadi, yakni barang yang sudah melalui proses produksi dan siap pakai untuk memenuhi kebutuhan. contohnya, sepatu, pakaian, roti dan sebagainya.

hubungan dengan barang lain Menurut hubungannya, barang dibagi menjadi: 

barang Substitusi, yakni barang yang dapat mengganti fungsi barang yang lain. contohnya, lampu neon yang dapat menggantikan fungsi dari lampu pijar sebagai penerangan.



barang komplementer, yakni barang yang dapat melengkapi fungsi dari barang lainnya. Contohnya, bensin yang dapat melengkapi mobil sebagai alat transportasi, tanpa bensin mobil tidak bisa dijalankan.

2.2.4 Jenis – jenis barang

30

Jenis – jenis barang dalam konteks barang muatan dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu: a. general cargo, yaitu berbagai jenis barang yang dimuat dengan cara pembungkusan/ pengepakan dalam bentuk unit-unit kecil ( peti, koli ). b. bulk cargo, yaitu satu macam barang dalam jumlah besar yang dimuat dengan cara mencurahkannya ke dalam kapal atau tanki, misalnya, pengepalan 500.000 barel minyak mentah, pengangkutan dengan tanki 5.000 liter premium. c. homogenous cargo, yaitu satu macam barang dalam jumlah besar yang dimuat dengan cara pembungkusan/pengepakan, misalnya, pengepalan 100.000 zak semen. Barang muatan terdiri atas berbagai jenis menurut keperluannya yaitu : a. barang sandang, yaitu, tekstil, kain, dan baju. b. barang pangan, yaitu, beras, gula, dan buah-buahan. c. barang rumah tangga, yaitu, mebel, lemari, dan alat dapur. d. barang pendidikan, yaitu, buku, alat peraga, dan komputer. e. barang pembangunan, yaitu, kayu, besi, dan semen. f. hewan perdagangan, yaitu, sapi potong, ikan hias, dan burung peliharaan. Secara fisik barang muatan dibedakan menjadi enam golongan, yaitu: a. barang berbahaya, yaitu, racun, carbide, dan binatang buas. b. barang tidak berbahaya, yaitu, besi, kayu,dan tekstil. c. barang cair, yaitu, minyak tanah, minyak sawit, dan bensin.

31

d. barang berharga, yaitu, emas, perak, dan mutiara. e. barang curah, yaitu, kacang, dan minyak mentah. f. Barang khusus, yaitu. ikan dingin, tembakau, dan obat-obatan Dilihat dari sifat alamiah, barang muatan dibedakan menjadi empat golongan yaitu: a. barang padat, yaitu, besi, kayu balok, dan suku cadang. b. barang cair, yaitu, minyak tanah, bensin, air mineral. c. barang gas, yaitu LNG, LPG, dan amoniak. d. barang rongga, yaitu, mobil, boneka, dan televisi.7 2.3 Pengangkutan 2.3.1 Pengertian pengangkutan Secara umum, dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Indonesia tidak dijumpai definisi pengangkut, kecuali dalam pengangkutan laut.Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengangkut adalah pihak yang mengikat diri untuk menyelenggarakan pengangkutan orang (penumpang) dan / atau barang.Singkatnya, pengangkut adalah penyelenggara pengangkutan.8 Pengangkutan merupakan kegiatan transportasi dalam memindahkan barang dan penumpang dari satu tempat ke tempat lain atau dapat dikatakan sebagai kegiatan ekspedisi. Purwosutjipto berpendapat bahwa “pengangkutan adalah perjanjian timbal-balik antara pengangkut dengan pengirim, di mana 7

Abdulkadir Muhammad II , 2013, Hukum Pengangkutan Niaga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad IV), hal. 116. 8

Ibid, hal. 54.

32

pengangkut mengikat diri untuk menyeleggarakan pengangkutan barang dan / atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan”. Selain itu, menurut pendapat R. Soekardono juga menjelaskan bahwa pengangkutan pada pokoknya berisikan perpindahan tempat baik mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang, karena perpindahan itu mutlak perlu untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi.9Adapun proses dari pengangkutan itu merupakan gerakan dari tempat asal dari mana kegiatan angkutan dimulai ke tempat tujuan dimana angkutan itu diakhiri. Sedangkan menurut Abdul Kadir Muhammad Pengangkutan adalah proses kegiatan memuat barang atau penumpang ke dalam alat pengangkutan, membawa barang atau penumpang dari tempat pemuatan ke tempat tujuan/ dan menurunkan barang atau penumpang dari alat pengangkutan ke tempat yang ditentukan. Secara umum dapat didefinisikan bahwa pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar angkutan. Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa pihak dalam perjanjian pengangkut adalah pengangkut dan pengirim. Sifat dari perjanjian pengangkutan adalah perjanjian timbal balik, artinya masing-masing pihak mempunyai kewajibankewajiban

sendiri-sendiri.

Pihak

pengangkut

berkewajiban

untuk

menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat ketempat 9

R. Soekardono, 1981, Hukum Dagang Indonesia, Rajawali, Jakarta, hal. 39.

33

tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengiriman berkewajiban untuk membayar uang angkutan Di samping itu, sebagai suatu kegiatan jasa dalam memindahkan barang atau pun penumpang dari suatu tempat ke tempat lain, pengangkutan berperan sekali dalam mewujudkan terciptanya pola distribusi nasional yang dinamis. Praktik penyelenggaraan suatu pengangkutan harus dapat memberikan nilai guna yang sebesar-besarnya dalam dunia perdagangan, serta dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dan lebih mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat.

2.3.2 Fungsi dan tujuan pengangkutan Fungsi pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Disini jelas, meningkatnya daya guna dan nilai merupakan tujuan dari pengangkutan, yang berarti bila daya guna dan nilai ditempat baru itu tidak naik, maka pengangkutan tidak perlu diadakan, sebab merupakan suatu perbuatan yang merugikan bagi si pedagang. Fungsi pengangkutan yang demikian itu tidak hanya berlaku di dunia perdagangan saja, tetapi juga berlaku di bidang pemerintahan, politik, sosial, pendidikan, hankam dan lain-lain.10 Secara umum dinyatakan tujuan dari pengangkutan adalah bahwa setiap pengangkutan bertujuan untuk tiba di tempat tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna bagi penumpang ataupun barang yang diangkut. Tiba di tempat tujuan artinya proses pemindahan 10

H.M.N. Purwosutjipto, 1987, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta, (selanjutnya disingkat H.M.N. Purwosutjipto II), hal. 1.

34

dari satu tempat ke tempat tujuan berlangsung tanpa hambatan dan kemacetan, sesuai dengan waktu yang direncanakan. Dengan selamat artinya penumpang dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya yang mengakibatkan luka, sakit, atau meninggal dunia, jika yang diangkut itu barang, selamat artinya barang yang diangkut tidak mengalami kerusakan, kehilangan, kekurangan, atau kemusnahan. Meningkatkan nilai guna artinya nilai sumber daya manusia dan barang di tempat tujuan menjadi lebih tinggi bagi kepentingan manusia dan pelaksanaan pembangunan.11

2.3.3 Pihak-pihak dalam pengangkutan Pihak-pihak dalam penyelenggaraan pengangkutan ialah pengangkut, pengirim, dan penerima. Yang dimaksudkan dengan pengangkut tersebut bukanlah sopir pada mobil, nahkoda pada kapal atau pilot pada pesawat terbang, tetapi majikan dari sopir, nahkoda atau pilot tersebut, dan pengirim bisa dikatakan sebagai konsumen atau pengguna jasa angkutan tersebut.12Adapun sifat perjanjian pengangkutan adalah timbal-balik, artinya kedua belah pihak baik pengangkut maupun

pengirim

masing-masing

mempunyai

kewajiban

sendiri-sendiri.

Kewajiban pengangkut ialah menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan kewajiban pengirim ialah membayar uang angkutan sebagai kontraprestasi dari penyelenggaraan pengangkutan yang dilakukan oleh pengangkut. Sedangkan penerima adalah pihak ketiga yang berkepentingan terhadap terlaksananya 11 12

Abdulkadir Muhammad IV, op.cit, hal. 15. H.M.N. Purwosutjipto I, op.cit, hal. 2.

35

perjanjian pengangkutan tersebut, dalam hal ini penerima bisa dikatakan sebagai pengirim atau orang lain. Perantara pengangkutan adalah ekspeditur yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan. Mengenai ekspeditur ini diatur dalam KUHD, Buku I, Bab V, Bagian II, Pasal 86 sampai dengan 90. Disini jelas bahwa ekspeditur menurut undang-undang hanya seorang perantara yang bersedia mencarikan pengangkut bagi pengirim dan tidak mengangkut sendiri barang-barang yang telah diserahkan kepadanya itu. Perjanjian yang dibuat antara ekspeditur dan pengirim disebut perjanjian ekspedisi, sedangkan perjanjian yang dibuat antara ekspeditur atas nama pengirim dengan pengangkut disebut perjanjian pengangkutan.13 -

Kewajiban dan hak ekspeditur adalah : a. sebagai pemegang kuasa. Ekspeditur melakukan perbuatan hukum atas nama pengirim diatur dalam Pasal 1792-1819 BW Tentang Pemberian Kuasa. b. sebagai Komisioner diatur dalam Pasal 76 KUHD. c. sebagai penyimpan barang diatur dalam Pasal 1694 KUHD. d. sebagai penyelenggara urusan diatur dalam Pasal 1354 BW. e. register dan surat muatan f.

-

hak Retensi

Tugas dan tanggung jawab ekspeditur adalah : a. mencarikan pengangkut yang baik bagi si pengirim. b. menyelenggarakan pengiriman selekas-lekasnya dengan rapi pada barangbarang yang telah diterimanya. 13

121.

Andi Sri Rezky Wulandari, 2014, Hukum Dagang, Mitra Wacana Media, Jakarta, hal.

36

c. menjamin keselamatan barang.

2.3.4 Jenis-jenis pengangkutan dan peraturannya Jenis-jenis pengangkutan ialah : a. pengangkutan darat. Pengangkutan darat dapat dilakukan dengan beberapa jenis yaitu dengan kendaraan bermotor di jalan raya maupun kereta api. Adapun yang dapat diangkut melalui angkatan darat yaitu barang dan orang, sedangkan Sifatnya dari pengangkutan darat itu sendiri adalah fleksibel dan praktis serta tidak banyak formalitasnya. Peraturan pengangkutan barang secara umum melalui darat di atur dalam : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), buku I, Bab V, Bagian 2 dan 3, mulai pasal 90 sampai dengan 98. Dalam bagian ini diatur sekaligus pengangkutan darat dan pengangkutan perairan darat, tetapi hanya khusus mengenai pengangkutan barang. 2) Peraturan-peraturan khusus lainya, misalnya : a) S. 1927-262, tentang pengangkutan dengan kereta api; b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1965 (LN 1965-25), tentang “Lalu-lintas dan Angkutan Jalan Raya”; c) S. 1936-451 bsd. PP No. 28 Tahun 1951 (LN 1951-47) yang telah dirubah dan ditambah dengan pp No. 44 Tahun 1954 (LN 1954-76) dan PP No. 2 Tahun 1964 (LN 1964-5),

37

tentang

“Peraturan

Lalu-Lintas

Jalan

(Wegverkeersverordening);14 b. Pengangkutan laut Pengangkutan laut dapat melintasi lintas batas negara, tetapi peruntukannya lebih luas seperti ekspor impor minyak, hukum pengangkutan laut itu mempunyai banyak macam dan bidang yang beraneka warna, tidak hanya dalam hubungan nasional, tetapi juga dalam hubungan internasional. Peraturan tentang pengangkutan laut diatur dalam. 1) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Buku II, Bab V, tentang “Perjanjian carter kapal”; 2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Buku II, Bab VA: tentang “Pengangkutan Barang-barang”; 3) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Buku II, Bab VB: tentang “Pengangkutan Orang”; 4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran; 5) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 Tentang Angkutan di Perairan. c. Pengangkutan udara Pengangkutan udara merupakan sarana transportasi yang mengangkut barang dan penumpang melalui lalu lintas udara, yang melintasi batas

14

H.M.N. Purwosutjipto I, op.cit, hal. 2-3.

38

wilayah negara. Pengangkutan udara ini dengan menggunakan pesawat udara atau pesawat terbang. Peraturan yang mengatur tentang pengangkutan udara diatur dalam : 1) Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 (LN 1958-159 dan TLN No. 1687, Tentang “Penerbangan”; 2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan; 3) Luchtverkeersverordening (S. 1936-425); 4) Verordening Toezicht Luchtvaart (S. 1936-426); 5) Luchtvaartquarantine Ordonnantie (S. 1939-149, jo S.1939-150); 6) Luchtvervoerordonnantie (S. 1939-100).15 d. Pengangkutan perairan darat, diatur dalam : 1) Binnenschepen-ordonnantie 1927 (S. 1927-289 jo 1929-111); 2) Binnenaanvaringsreglement (S. 1914-226, yang telah diubah dan ditambah yang terakhir dengan S. 1947-50); 3) Surat Keputusan Menteri Perhubungan, tanggal 4 Agustus 1964, No kab. 4/12/25; 4) Surat Kpeutusan Menteri Perhubungan, tanggal 15 April 1970, No SK/117/M/70; 5) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Buku I, Bab V, Bagian III, Pasal 91 sampai 98 tentang “Pengangkutan Barang melalui Jalan Darat dan Perairan Darat”;

15

H.M.N. Purwosutjipto, op.cit, hal. 90

39

6) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Buku II, Bab XIII, Pasal 748 sampai dengan 754, mengenai “Kapal-Kapal yang melalui Perairan Darat.”16

16

H.M.N. Purwosutjipto, op.cit, hal. 107.