6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BIDARA ( ZIZIPHUS MAURITIANA LAM

Download diameter batang 40 cm atau lebih. Kulit batang abu-abu gelap atau hitam, pecah- pecah tidak beraturan. Daun tunggal dan berselang-seling, m...

0 downloads 367 Views 259KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Bidara (Ziziphus mauritiana Lam.) Bidara yang memiliki nama latin Ziziphus mauritiana Lam. dikenal dengan

beberapa nama daerah yaitu Widara (Jawa, Sunda), Rangga (Bima), Kalangga (Sumba) dan Bekul (Bali) (Heyne, 1987). Adapun klasifikasi dari tanaman ini adalah sebagai berikut: Kingdom

: Plantae

Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Ordo

: Rosales

Famili

: Rhamnaceae

Genus

: Ziziphus

Spesies

: Ziziphus mauritiana Lam. (Backer and Brink, 1965)

2.1.1 Morfologi Z. mauritiana adalah semak atau pohon berduri dengan tinggi hingga 15 m, diameter batang 40 cm atau lebih. Kulit batang abu-abu gelap atau hitam, pecahpecah tidak beraturan. Daun tunggal dan berselang-seling, memiliki panjang 4-6 cm dan lebar 2,5-4,5 cm. Tangkai daun berbulu dan pada pinggiran daun terdapat gigi yang sangat halus. Buah berbiji satu, bulat sampai bulat telur, ukuran kirakira 6x4 cm, kulit buah halus atau kasar, mengkilap, berwarna kekuningan sampai

6

7

kemerahan atau kehitaman, daging buah putih, renyah, agak asam hingga manis (Goyal et al., 2012).

a

b

Gambar 2.1. Tanaman Z. mauritiana (a), daun tanaman Z. mauritiana (b)

2.1.2 Distribusi Z. mauritiana tumbuh liar di seluruh Jawa dan Bali pada ketinggian di bawah 400 meter dari permukaan laut. Tanaman ini tumbuh pada daerah dengan suhu ekstrim dan tumbuh subur pada daerah dengan kondisi kering (Steenis dkk., 2005;(Heyne, 1987). 2.1.3 Khasiat Tanaman Z. mauritiana banyak memiliki kegunaan. Secara tradisional tanaman ini digunakan sebagai tonik. Biji dari Z. mauritiana dilaporkan memiliki efek sedatif dan direkomendasikan sebagai obat tidur. Selain itu juga digunakan untuk menghentikan mual, muntah dan untuk meredakan nyeri dalam kehamilan dan untuk penyembuhan luka. Daun dari Z. mauritiana digunakan untuk

8

mengobati diare, penurun panas dan sebagai antiobesitas. Dalam ayurveda, dekoksi dari akar Z. mauritiana digunakan untuk mengobati demam, dan serbuknya digunakan untuk mengobati luka dan tukak. Kulit batang digunakan untuk pengobatan diare dan bisul. Buah Z. mauritiana memiliki efek laksatif ringan (Sharma and Gaur, 2013; Goyal et al., 2012). 2.1.4 Kandungan kimia Tanaman Z. mauritiana mengandung berbagai senyawa seperti pektin A, glikosida, alkaloid, asam triterpenoat dan lipid. Z. mauritiana mengandung asam triterpenoat

seperti

asam

kolubrinat,

asam

alpitolat,

asam

3-O-cis-p-

kumaroilapitolat, asam 3-O-trans-p-kumaroilapitolat, 3-O-cis-p-kumaroilmaslinat, 3-O-trans-p-kumaroilmaslinat, asam oleanolat, asam betulonat, asam oleanonat, asam zizyberenalat dan asam betulinat. Saponin diisolasi dari biji Z. mauritiana termasuk jujubosida A, B, A1, B1, C dan asetiljujubosida B. Protojujubosida A, B, B1 dan ziziphin terdapat dalam daun Z. mauritiana. Perikarp dan biji Z. mauritiana mengandung fosfatidikolin, fosfatidilgliserol dan asam lemak seperti asam linoleat, oleat dan stearat (Goyal et al., 2012).

2.2

Radikal Bebas dan Stres Oksidatif Sebuah atom biasanya tersusun dari inti dengan elektron yang berpasangan

mengorbit di sekitar inti tersebut. Namun, beberapa atom dan molekul memiliki elektron yang tidak berpasangan dan atom ini disebut radikal bebas. Molekul oksigen mengalami reduksi empat elektron ketika dimetabolisme secara in vivo. Selama proses ini metabolit oksigen reaktif dibentuk oleh eksitasi elektron.

9

Metabolit oksigen reaktif yang dibentuk jauh lebih reaktif dibandingkan dengan molekul oksigen awal. Metabolit reaktif ini disebut dengan Reactive Oxigen Species (ROS) (Yoshikawa and Naito, 2002). Yang termasuk dalam ROS adalah radikal anion superoksida, oksigen singlet, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil (Waris and Ahsan, 2006). Keberadaan ROS dalam tubuh diproduksi selama metabolisme sel normal dan apabila jumlahnya berlebihan, maka akan menimbulkan kondisi stres oksidatif. Stres oksidatif didefinisikan sebagai keadaan dimana jumlah oksidasi melebihi sistem antioksidan dalam tubuh (Yoshikawa and Naito, 2002). ROS dapat menyerang molekul biologis seperti lipid, protein, enzim, DNA dan RNA yang kemudian dapat menyebabkan kerusakan sel atau jaringan dan dihubungkan dengan penyakit degeneratif (Amarowicz et al., 2004).

2.3

Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menangkal dampak negatif

dari oksidan dalam tubuh seperti ROS dan radikal bebas lainnya (Winarsi, 2007). Tubuh manusia memiliki antioksidan alami di dalamnya yang dapat di kategorikan menjadi antioksidan enzimatik dan antioksidan nonenzimatik. Antioksidan enzimatik memanfaatkan sistem enzim dalam menangkal radikal bebas di dalam tubuh, contohnya SOD (superoxide dismutase) dan enzim katalase lainnya. Sedangkan antioksidan nonenzimatik melibatkan senyawa mikronutrien seperti vitamin C dan vitamin E (Birben et al., 2012).

10

Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Mehta et al. (2012), vitamin C pada dosis 100 mg/kg BB memiliki aktivitas antioksidan sekaligus aktivitas adaptogenik pada mencit. Sehingga adanya aktivitas adaptogenik suatu senyawa dapat dikaitkan dengan kemampuan antioksidan dalam menangkal radikal bebas seperti radikal anion superoksida, radikal hidroksil dan hidrogen peroksida yang dihasilkan selama stres oksidatif terjadi.

2.4

Adaptogen Adaptogen didefinisikan sebagai senyawa yang dapat meningkatkan

adaptasi/toleransi terhadap stres. Adaptogen mempunyai mekanisme kerja sebagai efek stimulasi dan perlindungan stres (stress-protection) atau anti stres. Efek stimulasi dari adaptogen merupakan efek yang ditimbulkan setelah terjadinya efek perlindungan stres. Dalam kerja adaptogen sebagai perlindungan stres, adaptogen memodulasi respon terhadap stres dan menjaga homeostasis (Panossian and Wikman, 2010). Dalam kondisi stres, terjadi pengaktivan protein/enzim seperti JNK yang dapat menghasilkan peningkatan pembentukan radikal bebas NO. NO dapat menghambat respirasi mitokondria dengan inhibisi sitokrom P450 dan glikolisis, sehingga dapat menurunkan produksi ATP. Selain itu NO juga dapat merusak protein fungsional dalam sel sehingga protein tersebut tidak dapat bekerja. Hal tersebut kemudian menyebabkan gejala kelelahan. Mekanisme adaptogen secara molekular yaitu adaptogen menghambat radikal NO sehingga produksi ATP kembali normal dan dapat mencegah terjadinya kerusakan protein oleh NO

11

(Panossian and Wikman, 2010). Dilihat dari mekanisme tersebut, diduga adanya keterkaitan antara aktivitas adaptogen dengan aktivitas antioksidan. Panossian et al. (1999) berpendapat bahwa senyawa dalam tanaman yang memiliki sifat adaptogenik terdiri dari tiga golongan senyawa yaitu triterpen, fenilpropanoid dan oksilipin. Senyawa golongan fenol termasuk fenilpropanoid pada tanaman adaptogen (misalnya flavonoid dan lignan) disintesis dari tirosin, secara struktural mirip dengan katekolamin (Vinod and Shivakumar, 2012; Panossian and Wikman, 2010). Senyawa golongan fenilpropanoid memiliki aktivitas antioksidan (Korkina, 2007), sehingga kemungkinan yang berkontribusi terhadap aktivitas adaptogenik adalah senyawa antioksidan.

2.5

Metode Uji Adaptogenik pada Hewan Metode yang sering digunakan pada uji adaptogenik adalah Swimming

Endurance Test (SET). Metode ini dilakukan dengan mengamati hewan yang dipaksa berenang dalam air hingga pada akhirnya hewan uji mengalami keadaan immobile (diam) yang menandakan keadaan kelelahan atau berkurangnya stamina. Bertambahnya waktu berenang hewan uji dari mulai berenang hingga immobile telah dilaporkan pada hewan yang diberi perlakuan agen yang memiliki aktivitas adaptogenik (Kothiyal and Ratan, 2011; Habbu et al. 2010). Aktivitas berenang lebih banyak digunakan untuk mempelajari perubahan fisiologis dan kapasitas organisme dalam merespon stres. Penggunaan aktivitas berenang pada pengujian respon terhadap stres memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan penggunaan treadmill. Jumlah aktivitas yang dilakukan

12

selama berenang jauh lebih besar dibandingkan dengan menggunakan treadmill (Kothiyal and Ratan, 2011). Aktivitas renang dapat menyebabkan aktivasi aksis HPA (Hypothalamic Pituary Adrenal) yang ditunjukkan dengan hipertrofi kelenjar adrenal pada hewan uji (Habbu et al., 2010). Aktivasi aksis HPA ini berhubungan dengan kondisi stres oksidatif di dalam tubuh hewan uji yang dipicu oleh molekul radikal, contohnya NO (Nitric Oxide) (Vinod and Shivakumar, 2012). Berdasarkan hal tersebut, pengujian dengan metode Swimming Endurance Test (SET) dapat digunakan sebagai permodelan untuk pengujian aktivitas adaptogenik pada hewan uji yang melibatkan stres oksidatif.

2.6

Ekstrak Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif

dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995a).

2.7

Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu cara penarikan kandungan kimia yang terdapat dalam

suatu simplisia yang dapat larut pada pelarut tertentu, sehingga dapat dipisahkan dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Proses ekstraksi menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu maserasi, perkolasi, refluks, sokletasi dan digesti. Maserasi merupakan suatu proses

13

ekstraksi simplisia menggunakan pelarut yang sesuai dengan menggunakan bejana dalam waktu tertentu dengan sesekali pengadukan. Metode ini cocok digunakan untuk mengekstraksi senyawa aktif yang tidak tahan pemanasan (Depkes RI, 2000; Tiwari et al., 2011).

2.8

Penentuan Aktivitas Penangkapan Radikal DPPH Pengujian aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan metode penggunaan

radikal bebas, dimana penggunaan radikal bebas ini merupakan salah satu metode yang paling populer. Apabila sampel uji yang mempunyai kemampuan untuk menangkap radikal, maka sampel tersebut memiliki aktivitas antioksidan (Rohman dkk., 2009). Salah satu radikal bebas yang digunakan adalah radikal DPPH (Gaikwad et al., 2010). DPPH digunakan sebagai radikal dalam metode ini karena memiliki beberapa keuntungan, yaitu mudah digunakan, mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi dan dapat menganalisis sejumlah besar sampel dalam jangka waktu yang singkat (Kim et al., 2002;(Rohman dkk., 2009). Senyawa DPPH (2,2-Diphenyl-1-picrylhydrazyl) stabil pada suhu kamar dan sering digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam. Antioksidan yang berinteraksi dengan DPPH dapat menetralkan karakter radikal bebas DPPH. Elektron yang tidak berpasangan pada atom nitrogen pada struktur molekul radikal DPPH distabilkan dengan menerima atom hidrogen yang berasal dari senyawa antioksidan (Kedare and Singh, 2011). Apabila semua elektron pada radikal bebas DPPH menjadi berpasangan, maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang (Suratmo, 2009).

14

Data uji penangkapan radikal DPPH ini dinyatakan dalam IC50, yaitu konsentrasi antioksidan yang dibutuhkan untuk menangkap 50% radikal DPPH dalam rentang waktu tertentu (Pokorny et al., 2001). Nilai IC50 ini diperoleh dari persamaan regresi linier yang menggambarkan hubungan antara konsentrasi senyawa uji dan persen penangkapan radikal. Suatu senyawa uji dikatakan semakin aktif sebagai antioksidan apabila mempunyai nilai IC50 yang semakin kecil (Rohman dkk., 2009).

2.9

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah teknik kromatografi yang digunakan

untuk pemisahan campuran senyawa. Prinsip dari pemisahan dengan KLT adalah suatu analit yang bergerak naik atau melintasi lapisan fase diam (berupa gelas, plastik atau aluminium foil yang dilapisi dengan adsorben seperti silika gel, aluminium oksida atau selulosa), dibawah pengaruh fase gerak (pelarut atau campuran pelarut organik) yang bergerak melalui fase diam oleh kerja kapiler. Jarak pemindahan oleh analit tersebut ditentukan oleh afinitas relatifnya terhadap fase diam dan fase gerak (Watson, 2009; Bele et al., 2011). Fase gerak yang umum digunakan untuk identifikasi kandungan kimia yang terdapat dalam tumbuhan dapat dilihat pada tabel 2.1., dengan fase diam yaitu plat silika gel. Kelebihan dari teknik KLT ini adalah sebagai berikut: 1. Deteksi melalui reaksi kimia dengan menggunakan reagen penampak dapat dilakukan, yang berarti bahwa kurang lebih setiap jenis senyawa dapat dideteksi jika menggunakan reagen deteksi yang sesuai. 2. Mantap (robust) dan murah.

15

3. Dikombinasikan dengan deteksi densitometri, metode ini dapat digunakan sebagai teknik kuantitatif untuk senyawa-senyawa yang sulit dianalisis dengan metode-metode kromatografi lain karena tidak adanya kromofor. (Watson, 2009)

Tabel. 2.1 Sistem Pelarut yang Digunakan untuk Identifikasi Kandungan Kimia Tumbuhan (Reich and Blatter, 2003) Golongan Kandungan Kimia Tumbuhan Alkaloid Purin Derivat Antrasena Minyak atsiri Flavonoid Arbutin, Derivat Hidrokuinon Saponin

Tanin

Karbohidrat Asam Amino

Sistem Pelarut atau Fase Gerak Toluen, etil asetat, dietil amin atau amonia (70:20:10 v/v) Etil asetat, metanol, air (100:13,5:10 v/v) Etil asetat, metanol, air (100:13,5:10 v/v) atau n-propanol, etil asetat air, asam asetat (40:40:29:1 v/v) Etil asetat atau metanol dan toluen atau heksan pada berbagai konsentrasi, atau diklorometan Etil asetat, asam formiat, asam asetat, air (100:11:11:26 v/v) atau asam formiat, air, etil asetat pada berbagai konsentrasi, dengan atau tanpa etil metil keton Etil asetat, metanol, air (100:13,5:10 v/v) Asam formiat, air, etil asetat (6:6:88 v/v) Kloroform, metanol, air (70:30:4 v/v) Asam asetat, air, 1-butanol (10:40:50 v/v) atau amonia, air, etanol, etil asetat (1:9:25:65 v/v) atau etil asetat, air, 1butanol (25:50:100 v/v) Asam formiat, air dan eti asetat pada berbagai konsentrasi, dengan atau tanpa asam asetat, atau etil asetat, toluen (2:98 v/v) atau asam asetat, eter, heksan, etil asetat (20:20:20:40 v/v) Air, asetonitril (10:85 v/v) atau natrium dihidrogen fosfat 1,6%, 1-butanol, aseton (10:40:50 v/v) 1-butanol, air, asam asetat, asam formiat (28:8:9:2 v/v)

Senyawa dalam KLT dapat dikarakterisasi dengan menentukan nilai Rf. Nilai Rf dihitung dengan rumus sesuai persamaan 1. Jarak spot dari titik awal

Rf = Jarak pelarut dari titik awal..............................................................(1)

16

Nilai Rf konstan untuk masing-masing senyawa apabila di bawah kondisi eksperimental yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sifat adsorben, fase gerak, temperatur, ketebalan lapisan plat, tangki pengembangan, massa sampel dan teknik kromatografi (ascending, descending, horizontal dan lain-lain) (Bele et al., 2011).