7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 STATUS GIZI ORANG DEWASA STATUS

Download 2.1 Status Gizi Orang Dewasa. Status gizi pada orang dewasa dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah kebiasaanya dalam mengkons...

0 downloads 341 Views 769KB Size
7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Status Gizi Orang Dewasa Status gizi pada orang dewasa dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah kebiasaanya dalam mengkonsumsi makanan sehari-hari. Kebiasaan makan tidak dipengaruhi oleh zat-zat gizi yang terkandung dalam makanan. Namun banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya kebiasaan makan, salah satunya adalah lingkungan. Orang dewasa cenderung kurang memperhatikan asupan makanan. Umumnya orang dewasa lebih suka mengkonsumsi makanan berlemak, berenergi gurih dan manis. Sementara makanan kaya serat seperti sayur dan buah diabaikan. Akibatnya, asupan energi (kalori) yang masuk ke dalam tubuh berlebih (Kurniasih dkk, 2010). Padahal pada usia ini dianjurkan mengkonsumsi makanan yang tinggi serat namun rendah lemak, ini dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan tidak lagi terjadi dan hendaknya pemenuhan zat gizi dipusatkan untuk pemeliharaan kesehatan agar terbentuk status gizi yang baik. Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan penggunaannya (Cakrawati & Mustika, 2012). Menurut Almatsier (2003) status gizi merupakan suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal dan gizi lebih.

7

Universitas Sumatera Utara

8

2.2 Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Status Gizi Orang Dewasa 1.

Usia Semakin bertambahnya umur maka akan semakin meningkat pula

kebutuhan zat tenaga bagi tubuh. Zat tenaga diperlukan untuk membantu tubuh melakukan beragam aktivitas fisik. Namun kebutuhan zat tenaga akan berkurang saat usia mencapai 40 tahun ke atas. Setiap 10 tahun setelah usia seseorang mencapai 25 tahun, kebutuhan energi per hari untuk pemeliharaan dan metabolisme sel-sel tubuh berkurang atau mengalami penurunan sebesar 4 persen setiap 10 tahunnya. Berkurangnya kebutuhan tersebut dikarenakan menurunnya kemampuan metabolisme tubuh, sehingga tidak membutuhkan tenaga yang berlebihan karena dapat menyebabkan terjadinya penumpukan lemak di dalam tubuh. Penumpukan lemak di dalam tubuh dapat menimbulkan terjadinya obesitas (Putri, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati dan Sudikno (2007) terhadap orang dewasa di Depok menunjukkan hasil bahwa persentase status

gizi

obesitas

yaitu

sebesar 21,7

tertinggi persen.

terjadi pada kelompok umur

Selain itu terdapat

31-40

tahun,

kecenderungan peningkatan

kejadian obesitas sampai dengan umur 50 tahun. 2.

Jenis kelamin Jenis kelamin menentukan besar kecilnya asupan nutrisi yang dikonsumsi.

Umumnya perempuan lebih banyak memerlukan keterampilan dibandingkan tenaga, sehingga kebutuhan gizi perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki (Apriadji dalam Putri, 2012).

Universitas Sumatera Utara

9

Menurut Depkes (1994) kelebihan berat badan lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini terjadi karena setelah pubertas, perempuan akan cenderung memiliki proporsi massa lemak tubuh yang lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati dan Sudikno (2007) terhadap orang dewasa di Depok bahwa persentase status gizi obesitas pada perempuan diketahui sebesar 21,6 persen lebih tinggi dibandingkan persentase status gizi obesitas pada laki-laki yaitu 10,8 persen. 3.

Pendapatan Pendapatan mempengaruhi daya beli terhadap makanan. Semakin baik

pendapatan maka akan semakin baik pula makanan yang dikonsumsi baik dari segi

kualitas

maupun

kuantitas.

Sebaliknya,

pendapatan

yang

kurang

mengakibatkan menurunnya daya beli terhadap makanan secara kualitas maupun kuantitas. Penduduk yang berpendapatan cukup masih banyak yang tidak memanfaatkan bahan makanan bergizi dalam menyediakan makanan keluarga. Hal ini disebabkan karena (Kartasapoetra dan Marsetyo, 2010) : a.

Kurangnya pengetahuan akan bahan makanan yang bergizi

b.

Pantangan-pantangan secara tradisional masih diberlakukan

c.

Atau keengganan untuk mengkonsumsi bahan makanan murah walaupun mereka tahu banyak mengandung gizi.

Universitas Sumatera Utara

10

4.

Pendidikan Pendidikan dalam hal ini biasanya dikaitkan dengan pengetahuan, akan

berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan pemenuhan kebutuhan gizi. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin baik status gizinya. Ini dikarenakan seseorang yang mengenyam pendidikan biasanya lebih memahami dalam menerima informasi-informasi mengenai gizi. Hasil penelitian Asriah dan Putri (2006) menunjukkan bahwa secara statistik terdapat hubungan antara pendidikan dan pengetahuan dengan status gizi ibu hamil di Bidan Praktek Swasta Banda Aceh. 5.

Sosial budaya Budaya memiliki pengaruh besar dalam pemilihan dan pengolahan pangan

menjadi makanan. Budaya juga mempengaruhi kebiasaan makan seseorang. Salah satu contohnya, pada suku Melayu mempunyai kebiasaan mengkonsumsi makanan yang berkuah santan. Berdasarkan hasil penelitian Handayani (2012) menunjukkan bahwa pola makan pada keluarga suku melayu di Desa Selemak Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang lebih cenderung mengonsumsi makanan bersantan dengan frekuensi lebih dari 4 kali per minggu. 6.

Perilaku makan Perilaku makan merupakan suatu wujud tindakan seseorang dalam

memilih dan mengkonsumsi makanan yang terbentuk melalui pengetahuan dan sikap. Jika keadaan ini terus-menerus berlangsung maka akan menjadi kebiasaan makan dan akan membentuk pola makan. Perilaku makan yang tidak seimbang akan mengakibatkan masalah gizi.

Universitas Sumatera Utara

11

7.

Aktivitas fisik Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem

penunjangannya (Almatsier, 2003). Aktivitas fisik dapat mempengaruhi status gizi. Aktivitas fisik yang kurang akan mengakibatkan terjadinya penumpukan lemak dan dapat menyebabkan obesitas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widiantini dan Zarfiel pada tahun 2013 terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Sekretariat Jenderal Kementrian Kesehatan RI menunjukkan bahwa terdapat 36,5 persen PNS memiliki aktivitas sedang dan 48 persen mengalami obesitas. Hasil penelitiannya memperlihatkan adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian obesitas. 8.

Lingkungan Faktor lingkungan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap

pembentukan perilaku makan yang selanjutnya akan mempengaruhi status gizi. Lingkungan disini adalah lingkungan keluarga, sekolah, serta adanya promosi melalui media elektronik maupun cetak. 2.3 Perilaku Konsumsi Makanan Orang Dewasa Terbentuknya suatu perilaku konsumsi makanan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah pengetahuan, sikap dan tindakan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang mempengaruhi perilaku manusia disebabkan oleh lingkungan (Notoatmodjo, 2011). 1.

Pengetahuan Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui seseorang di mana hal yang

diketahui tersebut diperoleh secara formal maupun non formal. Perilaku yang

Universitas Sumatera Utara

12

didasari pengetahuan melalui pengetahuan formal akan lebih mudah dilaksanakan daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan non formal. Pengetahuan berperan penting dalam pembentukan sikap dan tindakan. Pengetahuan tentang gizi seimbang bermanfaat dalam menentukan apa yang dikonsumsi setiap harinya. Dengan adanya pengetahuan tentang gizi seimbang, maka kebutuhan zat gizi dapat disesuaikan dengan kebutuhan yang seharusnya, sehingga dapat tercapai kesehatan yang optimal. Tingkat pengetahuan tentang gizi seseorang akan mempengaruhi kebiasaannya dalam memilih makanan. 2.

Sikap Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap sangat tergantung dari pengetahuan, semakin baik pengetahuan maka akan semakin baik pula sikapnya. Sikap sangat penting dalam pemenuhan zat gizi, karena tanpa adanya sikap yang baik maka apa yang diperoleh dari pengetahuan akan sia-sia dan tindakan tidak akan tercapai. 3.

Tindakan Sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan. Jika pengetahuan

mengenai gizi sudah baik maka kemungkinan untuk melakukan tindakan akan baik pula. Tapi jika pengetahuan baik namun sikap bertolak belakang dengan pengetahuan itu sendiri, maka tindakan tidak akan pernah tercapai seperti yang dikehendaki. Melalui tindakan seseorang terhadap mengkonsumsi makanan, dapat dinilai perilaku makannya baik atau tidak. Menurut

Susanto (1997) dalam Paramita (2002) perilaku konsumsi

makanan adalah cara-cara atau tindakan yang dilakukan oleh individu, keluarga,

Universitas Sumatera Utara

13

atau masyarakat di dalam pemilihan makanannya yang dilandasi oleh pengetahuan dan sikapnya terhadap makanan tersebut. Perilaku konsumsi makanan pada orang dewasa cenderung jauh dari konsep gizi seimbang. Umumnya, orang dewasa kurang memperhatikan asupan nutrisi yang dikonsumsi. Mereka cenderung menyukai makanan yang tinggi lemak, manis dan gurih namun kurang serat. 2.4 Hubungan Perilaku Konsumsi Makanan dengan Status Gizi Orang Dewasa Perilaku konsumsi makanan pada orang dewasa perlu diperhatikan. Karena makanan yang dikonsumsi akan mempengaruhi status gizi. Status gizi terbentuk dari makanan apa yang dikonsumsi. Kekurangan maupun kelebihan nutrisi yang dikonsumsi akan mempengaruhi proses metabolisme di dalam tubuh. Jika asupan nutrisi yang dikonsumsi kurang maka akan menyebabkan tubuh lemas karena kekurangan energi, daya tahan tubuh menurun sehingga mudah sakit serta dapat mengalami gizi kurang . Sebaliknya, jika asupan nutrisi yang dikonsumsi berlebih akan menyebabkan penumpukan energi yang dapat memicu terjadinya gizi lebih. Ini dapat dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Paramita (2002) terhadap peragawati menunjukkan bahwa frekuensi makan per hari mereka adalah > 2 kali per hari sebanyak 55 persen, tidak sarapan pagi sebanyak 72,5 persen, mengkonsumsi sayuran hijau sebanyak 90 persen dan mengkonsumsi buah-buahan sebanyak 77,5 persen, tidak mengkonsumsi makanan selingan sebanyak 70 persen. Menurut data yang diperoleh rata-rata tingkat konsumsi energi mereka berada pada kategori defisit tingkat berat yaitu sebanyak 60 persen dan 57,5 persen peragawati mengalami gizi kurang. Hasil penelitian menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

14

bahwa belum terdapat keseimbangan antara konsumsi energi dan pengeluaran energi, dimana energi yang dikonsumsi lebih rendah daripada energi yang dikeluarkan. Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan, terdapat hubungan antara tingkat konsumsi energi dengan status gizi peragawati. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Amir (1996) pada orang dewasa di Kotamadya Bandung menunjukkan hasil bahwa rata-rata konsumsi total energi pada orang dewasa adalah 1885 kalori dengan persentase karbohidrat terhadap total energi sebesar 58,7 persen dan persentase lemak terhadap total energi sebesar 28,30 persen. Disamping itu diketahui juga bahwa prevalensi gizi kurang pada orang dewasa adalah sebanyak 10,7 persen sedangkan gizi lebih sebanyak 29,4 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan total energi dengan Indeks Massa Tubuh orang dewasa di Kotamadya Bandung. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Rahmawati dan Sudikno terhadap orang dewasa di Kota Depok pada tahun 2007 menunjukkan bahwa persentase status obesitas tampak lebih tinggi pada orang dewasa yang sering mengkonsumsi gorengan seperti pisang goreng, tempe goreng, tahu goreng, bakso yaitu sebesar 20,7 persen, sedangkan

menurut

makanan

kesukaan/kegemaran, diketahui bahwa persentase obesitas lebih tinggi pada orang dewasa yang menyukai

makanan gorengan (18,1 persen), makanan berlemak

(23,4 persen), dan makanan manis (20,4 persen). Data status gizi yang diperoleh sebesar 16,4 persen orang dewasa di Kota Depok mengalami obesitas. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat pengaruh antara keseringan mengkonsumsi gorengan dan mengkonsumsi makanan kesukaan/kegemaran (makanan gorengan,

Universitas Sumatera Utara

15

makanan berlemak, makanan manis) dengan status gizi obesitas pada orang dewasa di Kota Depok. Menurut hasil penelitian Humayrah (2009) pada orang dewasa di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta dan Gorontalo menunjukkan hasil bahwa prevalensi kegemukan tertinggi terjadi di Sulawesi Utara dan DKI Jakarta pada sampel yang jarang mengonsumsi makanan manis dengan persentase 34,6 persen dan 28.3%. Sementara itu di Gorontalo prevalensi kegemukan sama pada sampel yang jarang dan sering yaitu sebesar 24,6 persen. Namun hasil uji statistik menunjukkan hanya kebiasaan mengkonsumsi makanan manis di Sulawesi Utara yang berhubungan dengan kegemukan. Selanjutnya prevalensi kegemukan tertinggi terjadi di Sulawesi Utara terjadi pada sampel yang sering mengonsumsi makanan berlemak dengan persentase 34,7 persen. Sama halnya dengan Sulawesi Utara, prevalensi kegemukan di DKI Jakarta dan Gorontalo tertinggi terjadi pada sampel yang sering mengkonsumsi makanan berlemak dalam 1 bulan terakhir dengan persentase 28,8 persen dan 26,3 persen. Namun hasil uji statistik menunjukkan hanya kebiasaan mengkonsumsi makanan berlemak di Sulawesi Utara yang berhubungan dengan kegemukan. Selain itu,

prevalensi kegemukan tertinggi

terjadi di Sulawesi Utara pada sampel yang sering mengkonsumsi jeroan seperti usus, ampela, otak, paru, dan sebagainya yaitu sebesar 35,5 persen. Berbeda dengan Sulawesi Utara, prevalensi kegemukan di DKI Jakarta dan Gorontalo tertinggi pada sampel yang jarang mengonsumsi makanan jeroan dengan persentase sebesar 27,2 persen dan 24,6 persen. Hasil uji statistik menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

16

terdapat hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi jeroan pada orang dewasa di Sulawesi Utara dan DKI Jakarta, namun tidak dengan orang dewasa di Gorontalo. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Saputra (2014) terhadap wanita usia 25-25 tahun di Kelurahan Gedanganak Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang menggambarkan sebagian besar responden mengkonsumsi gorengan dengan kategori selalu (≥ 6 kali seminggu) sebesar 76,5 persen, sisanya masuk dalam kategori sering (3-5 kali seminggu) sebesar 12,9 persen dan kategori kadang-kadang (1-2 kali seminggu) sebesar 10,6 persen. Data status gizi yang diperoleh adalah 76,5 persen responden mengalami obesitas sentral. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi konsumsi gorengan dengan obesitas sentral pada wanita usia 25-45 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Roselly (2008) pada pria (40-55 tahun) di Kantor Direktorat Jenderal Zeni TNI-AD menunjukkan hasil bahwa 41 persen TNI mengkonsumsi lemak tidak sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi yang di anjurkan, selain itu 57,9 persen TNI mengkonsumsi protein dalam jumlah lebih. Data status gizi yang diperoleh adalah sebanyak 25,7 persen mengalami gizi lebih berdasarkan persen lemak tubuh. Hasi uji statistik menunjukkan ada hubungan antara konsumsi lemak dan protein dengan obesitas pada TNI. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Martaliza terhadap Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor pada tahun 2010 diperoleh bahwa status gizi lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi karbohidrat ≥ 60 persen dari total konsumsi energi sebesar 54,3 persen daripada polisi yang mengkonsumsi karbohidrat < 60 persen dari total konsumsi energi yaitu sebesar 26,3 persen.

Universitas Sumatera Utara

17

Sedangkan status gizi tidak lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi karbohidrat < 60 persen dari total konsumsi energi sebesar73,7 persen daripada polisi yang mengkonsumsi karbohidrat ≥ 60 persen dari total konsumsi energi yaitu sebesar 45,7 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat konsumsi karbohidrat dengan status gizi polisi. Selain itu didapatkan hasil bahwa status gizi lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi protein ≥ 15 persen dari total konsumsi energi sebesar 42,3 persen daripada polisi yang mengkonsumsi protein < 15 persen dari total konsumsi energi yaitu sebesar 38,3 persen. Sedangkan status gizi tidak lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi protein < 15 persen dari total konsumsi energi sebesar 61,7 persen daripada polisi yang mengkonsumsi protein ≥ 15 persen dari total konsumsi energi yaitu sebesar 57,7 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat konsumsi protein dengan status gizi polisi. Sedangkan status gizi lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi makanan kudapan seperti bakwan, singkong goreng, tahu goreng, tempe goreng dan pisang goreng ≥ 250 kkal adalah sebesar 53,1 persen daripada polisi yang mengkonsumsi makanan kudapan < 250 kkal yaitu sebesar 29,3 persen. Sedangkan status gizi tidak lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi makanan kudapan < 250 kkal dari total konsumsi energi sebesar 70,7 persen daripada polisi yang mengkonsumsi protein ≥ 250 kkal dari total konsumsi energi yaitu sebesar 46,9 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat konsumsi makanan kudapan dengan status gizi

Universitas Sumatera Utara

18

Penelitian yang dilakukan oleh Zahra M (2012) mengenai Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik dan Status Gizi pada Karyawan UD Alfa STAR Busana dan PLS Ervina Medan menggambarkan bahwa pola makan karyawan masih kurang baik , karyawan selalu mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung tinggi kalori, energi, garam dan gula setiap hari. Umumnya mereka mengkonsumsi roti, keripik, bakso, gorengan, teh manis, kopi, minuman kemasan dan susu. Aktivitas fisik yang dilakukan tergolong sedang yaitu sebanyak 84 persen. Selain itu terdapat 39 persen karyawan kelebihan berat badan dan 5 persen mengalami obesitas. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa perilaku makan karyawan yang tidak seimbang serta diimbangi dengan aktivitas fisik yang kurang mempengaruhi status gizinya, ini terlihat sebagian karyawan mengalami gizi lebih. Penelitian lain yang dilakukan oleh Keviena (2013) pada karyawan shift PT. Akebono Brake Astra Indonesia menunjukkan bahwa berdasarkan uji statistik yang dilakukan diketahui bahwa karyawan yang mengasup energi lebih dari yang dibutuhkan memiliki peluang 27,025 kali lebih besar mengalami status gizi lebih dibandingkan dengan karyawan yang mengasup energi cukup. Begitu pula dengan protein diketahui bahwa karyawan yang mengasup protein lebih dari yang dibutuhkan memiliki peluang 1,622 kali lebih besar mengalami status gizi lebih dibandingkan dengan karyawan yang mengasup protein cukup. Serta lemak diketahui bahwa karyawan yang mengasup lemak lebih dari yang dibutuhkan memiliki peluang 10,847 kali lebih besar mengalami status gizi lebih dibandingkan dengan karyawan yang mengasup lemak cukup. Data status gizi

Universitas Sumatera Utara

19

yang didapat menunjukkan bahwa terdapat 34 persen karyawan memiliki status gizi lebih. Hasil uji statistik mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara asupan energi, karbohidrat, protein dan lemak dengan status gizi lebih. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nadimin (2011) pada pegawai Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa pola makan masih kurang baik yaitu sebesar 62 persen. Sebagian besar pola konsumsi pegawai terhadap sayuran dan buah masih kurang. Selain itu frekuensi konsumsi terhadap makanan pokok dan lauk pauk juga kurang baik. Mereka juga cenderung mengkonsumsi makanan siap saji yang banyak mengandung karbohidrat dan lemak atau tinggi kalori. Data status gizi pegawai terdapat 50 persen mengalami obesitas. Terlihat bahwa pola makan yang kurang baik menyebabkan status gizi tidak baik pula. Sedangkan menurut hasil penelitian yang dilakukan Dewi dan Trias (2013) mengenai Hubungan Pola Makan, Aktivitas Fisik, Sikap dan Pengetahuan tentang Obesitas dengan Status Gizi PNS di Kantor Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa sumber karbohidrat yang dikonsumsi pegawai adalah nasi sebesar 59,8 persen dengan frekuensi terbanyak pada laki-laki 3 kali per hari sebesar 39,1 persen dan perempuan 2 kali per hari sebesar 21,8 persen. Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pegawai yang mengkonsumsi bakso adalah sebesar 29,8 persen dengan frekuensi terbanyak pada laki-laki 2 kali/minggu sebesar 13,8 persen dan pada perempuan 1 kali/minggu sebesar 7,2 persen. Menurut data yang didapat dari 87 sampel, terdapat 56,3 persen pegawai memiliki status gizi yang tidak baik, yaitu mengalami obesitas sentral. Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan terdapat hubungan antara frekuensi

Universitas Sumatera Utara

20

mengkonsumsi nasi dan bakso keliling dengan status gizi pegawai negeri sipil di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. 2.5 Konsep Dasar Gizi Seimbang Orang Dewasa Gizi seimbang merupakan susunan pangan sehari-hari yang mengandung zat dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, dengan memperhatikan prinsip keanekaragaman pangan, aktivitas fisik, perilaku hidup bersih dan memantau berat badan secara teratur dalam rangka mempertahankan berat badan normal untuk mencegah masalah gizi. Konsep dasar gizi seimbang pada orang dewasa tercantum dalam 10 Pesan Gizi Seimbang Tahun 2014 adalah sebagai berikut

(Departemen Kesehatan RI,

2014) : 1.

Syukuri dan nikmati anekaragam makanan Kualitas atau mutu gizi dan kelengkapan zat gizi dipengaruhi oleh

keragaman jenis pangan yang dikonsumsi. Konsumsi anekaragam pangan merupakan

anjuran

penting

untuk

mewujudkan

gizi

seimbang.

Cara

mewujudkannya adalah dengan menerapkan prinsip mengkonsumsi lima kelompok pangan setiap hari atau setiap makan. Kelima kelmpok pangan tersebut adalah makanan pokok, lauk pauk, sayuran, buah-buahan dan minuman. Mengkonsumsi lebih dari satu jenis untuk setiap kelompok makanan (makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah-buahan) setiap kali makan akan lebih baik. Selain itu diharapkan selalu bersyukur dan menikmati makanan yang dikonsumsinya. Dengan bersyukur dan menikmati makan anekaragam maknaan dan tidak tergesa-gesa akan mendukung terwujudnya cara makan yang baik.

Universitas Sumatera Utara

21

2.

Banyak makan sayuran dan cukup buah-buahan Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber berbagai vitamin, mineral

dan serat pangan. Konsumsi sayuran dan buah-buahan merupakan salah satu indikator sederhana gizi seimbang. Sayuran dan buah-buahan berperan sebagai antioksidan, menjaga kenormalan tekanan darah, kadar gula dan kolesterol serta menurunkan resiko sulit buang air besar dan kegemukan. Pada orang dewasa dianjurkan mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan sebanyak 400-600 gram per hari atau setara dengan 2½ porsi atau 2½ gelas sayur setelah dimasak dan 3 buah pisang ambon ukuran sedang, ½ potong pepaya ukuran sedang atau 3 buah jeruk ukuran sedang. 3.

Biasakan mengkonsumsi lauk pauk yang mengandung protein tinggi Lauk pauk terdiri dari pangan hewani dan nabati. Pangan hewani terdiri

dari daging ruminansia (daging sapi, daging kambing, daging rusa,dll), daging unggas (daging ayam, daging bebek, dll), ikan dan seafood. Pangan nabati terdiri dari kacang-kacangan dan hasil olahannya seperti kedelai, tahu, tempe, dan lainlain. Mewujudkan gizi seimbang, kedua kelompok pangan ini perlu dikonsumsi bersama kelompok pangan lainnya setiap hari agar jumlah dan kualitas zat gizi yang dikonsumsi lebih sempurna. Pada orang dewasa dianjurkan mengkonsumsi pangan hewani dan pangan nabati sebanyak 2-4 porsi per hari. 4.

Biasakan mengkonsumsi anekaragam makanan pokok Cara mewujudkan pola konsumsi makanan pokok yang beragam adalah

dengan mengkonsumsi lebih dari satu jenis makanan pokok dalam sehari.

Universitas Sumatera Utara

22

5.

Batasi konsumsi pangan manis, asin dan berlemak Anjuran mengkonsumsi gula pada orang dewasa adalah 4 sendok makan,

natrium tidak lebih dari 1 sendok teh dan lemak/minyak tidak lebih dari 5 sendok makan per orang per hari. 6.

Biasakan sarapan Sarapan berperan dalam memenuhi 15- 30 persen kebutuhan gizi harian.

Tidak sarapan dapat menyebabkan kegemukan pada orang dewasa sera meningkatkan resiko jajan yang tidak sehat. Sarapan diperlukan untuk berfikir, bekerja, dan melakukan aktivitas fisik secara optimal setelah bangun pagi. Membiasakan sarapan dapat mencegah makan berlebihan dikala makan kudapan atau makan siang. Bagi orang yang tidak biasa makan kudapan pagi dan kudapan siang, porsi makanan saat sarapan sekitar 1/3 dari total makanan siang. Sedangkan bagi orang yang biasa makan kudapan pagi dan makanan kudapan siang, jumlah porsi makanan sarapan sebaiknya seperempat dari makanan harian. 7.

Biasakan minum air putih yang cukup dan aman Air berperan sebagai pengatur proses biokimia, pengatur suhu,

pelarut, pembentuk atau komponen sel dan organ, media transportasi zat gizi dan pembuangan sisa metabolism, pelumas sendi dan bantalan organ. Gangguan terhadap keseimbangan air di dalam tubuh dapat meningkatkan resiko berbagai gangguan atau

penyakit, antara lain: konstipasi, infeksi saluran kemih, batu

saluran kemih, gangguan ginjal dan obesitas. Oleh karena itu dianjurkan meminum air sekitar dua liter atau delapan gelas sehari.

Universitas Sumatera Utara

23

8.

Biasakan membaca label pada kemasan Label pada kemasan makanan membantu konsumen untuk mengetahui

bahan-bahan yang terkandung didalamnya serta memperkirakan bahaya yang mungkin terjadi pada konsumen yang memiliki penyakit tertentu. Oleh karena itu dianjurkan membaca label pada kemasan makanan seperti informasi kandungan gizi dan tanggal kadaluarsa sebelum membei atau mengkonsumsi makanan tersebut. 9.

Cuci tangan pakai sabun dengan air bersih mengalir Sebelum

mengkonsumsi

makanan

dianjurkan

mencuci

tangan

menggunakan sabun dan air mengalir agar terhindar dari kuman penyebab penyakit 10. Lakukan aktivitas fisik yang cukup dan pertahankan berat badan normal Pada orang dewasa dianjurkan melakukan latihan fisik atau olahraga selama 30 menit setiap hari atau minimal 3-5 hari dalam seminggu. Bagi orang dewasa salah satu indikator yang menunjukkan bahwa telah terjadi keseimbangan zat gizi di dalam tubuh adalah tercapainya berat badan normal, yaitu berat badan yang sesuai dengan tinggi badannya. Oleh karena itu, pemantauan BB normal merupakan hal yang harus menjadi bagian dari „Pola Hidup‟ dengan„ Gizi Seimbang‟ 2.6 Kebutuhan Gizi Orang Dewasa Kebutuhan gizi orang dewasa berbeda-beda bagi setiap orang. Kebutuhan zat-zat gizi bergantung pada berbagai faktor yaitu umur, tinggi badan, berat

Universitas Sumatera Utara

24

badan, jenis kelamin, dan aktivitas fisik. Oleh karena itu, dalam pemenuhan zat gizi harus disesuaikan dengan kebutuhannya. 1.

Kebutuhan energi Kebutuhan energi pada usia dewasa menurun sesuai dengan bertambahnya

usia, ini dikarenakan menurunnya metabolisme basal dan berkurangnya aktivitas fisik. Kebutuhan asupan energi akan menyebabkan kenaikan berat badan. Kebutuhan energi berbeda-bebeeda bagi setiap orang. Anjuran kebutuhan energi ditetapkan dalam Angka Kecukupan Gizi (AKG). 2.

Kebutuhan karbohidrat Konsumsi karbohidrat dianjurkan 50-60 persen dari total kebutuhan

energi, terutama dalam bentuk karbohidrat kompleks seperti yang terdapat dalam padia-padian (beras, jagung, gandum dan hasil olahannya seperti roti) dan umbiumbian (kentang, singkong dan ubi). Sedangkan untuk karbohidrat sederhana seperti gula maksimum dikonsumsi 5 persen dari kebutuhan energi total atau paling banyak 4-5 sendok sehari (Almatsier dkk, 2013). 3.

Kebutuhan protein Konsumsi protein dianjurkan 15-30 persen atau dari kebutuhan total

energi. Kebutuhan konsumsi protein pada kelompok usia dewasa digunakan untuk menggantikan protein yang hilang akibat rutinitas sehari-hari melalui urin, feses, kulit dan rambut, serta untuk mengganti sel-sel yang rusak. Konsumsi protein yang terlalu tinggi dapat meningkatkan hilangnya kalsium melalui urin, sehingga resiko menderita osteoporosis bertambah. Asupan protein lebih dari 2 kali jumlah yang dianjurkan dapat meningkatkan terjadinya penyakit jantung koroner

Universitas Sumatera Utara

25

terutama sebagai akibat dari tingginya asupan lemak jenuh dan kolesterol yang terdapat dalam makanan hewani Asupan lemak jenuh dianjurkan mengkonsumsi protein yang berasal dari makanan nabati seperti tahu, tempe dan sebagainya (Almatsier dkk, 2013). 4.

Kebutuhan lemak Konsumsi lemak dianjurkan 25 persen dari total kebutuhan energi.

Konsumsi lemak pada usia dewasa dianjurkan mengkonsumsi daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, ikan, susu tanpa lemak (skim) serta mengurangi santan dan goreng-gorengan (Almatsier dkk, 2013). 5.

Kebutuhan mineral Angka kebutuhan mineral pada usia dewasa umumnya dapat dipenuhi

apabila makanan sehari-hari sesuai dengan Pesan Gizi Seimbang (PGS). Beberapa mineral yang perlu diperhatikan yaitu garam natrium, besi dan kalsium. Garam natrium terdapat dalam garam dapur (NaCl) dan monosodium glutamat (MSG). Konsumsi garam natrium dibatasi hingga 6 g per hari ( 2400 mg per hari). Selain itu dianjurkan untuk membatasi makanan yang diawetkan menggunakan garam seperti ikan asin, ikan asap, makanan kaleng, serta acar begitupula dengan MSG. AKG besi pada perempuan dewasa muda lebih tinggi dibandingkan dewasa setengah tua karena pada usia tersebut perempuan kehilangan besi setiap bulan melalui menstruasi. Makanan sumber zat besi yang dianjurkan adalah daging merah, hati, kuning telur, sayuran hijau, serta

kacang-kacangan dan hsil

olahannya sepertu tahu dan tempe. Kalsium penting untuk pembentukan tulang dan menjaga agar tulang tetap kuat. Asupan kalsium yang cukup setiap hari dapat

Universitas Sumatera Utara

26

mencegah terjadinya osteoporosis dikemudian hari. Makanan kaya kalsium yang dianjurkan untuk dikonsumsi adalah susu dan hasil olahannya (Almatsier dkk, 2013). 6.

Kebutuhan vitamin Angka kebutuhan vitamin pada kelompok usia dewasa umumnya dapat

dipenuhi apabila makanan sehari-hari sesuai dengan Pesan Gizi Seimbang (PGS). Angka Kecukupan Gizi (AKG) dianjurkan untuk digunakan sebagai standar guna mencapai status gizi yang optimal. Angka Kecukupan Gizi (AKG) atau Recommended Dietary Allowances (DRA) merupakan kecukupan rata-rata zat gizi sehari bagi hampir semua orang sehat (97,5 persen) menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh aktifitas fisik, genetik dan keadaan fisiologis. AKG ini mencerminkan asupan rata-rata sehari yang dikonsumsi oleh populasi dan bukan merupakan perorangan/individu (Amelia, 2014). Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan bagi orang dewasa umur 30-64 tahun Indonesia disajikan pada tabel berikut : Tabel 2.1 Angka Kecukupan Gizi per orang per hari umur 19-64 tahun Kelompok Umur Jenis Zat Gizi Karbohidrat (gr) Protein (gr) Lemak (gr) Vitamin - Vitamin A (mg) - Vitamin D (mg) - Vitamin E (mg) - Vitamin B1 (mg) - Vitamin B2 (mg) - Vitamin B3 (mg) - Vitamin C (mg)

19-29 tahun 375 62 91 600 15 15 1,4 1,6 15 90

Pria 30-49 tahun 394 65 73 600 15 15 1,3 1,6 14 90

50-64 tahun 349 65 65 600 15 15 1,2 1,4 13 90

19-29 tahun 309 56 75 500 15 15 1,1 1,4 12 75

Wanita 30-49 50-64 tahun tahun 323 285 57 57 60 53 500 15 15 1,1 1,3 12 75

500 15 15 1,0 1,1 10 75

Universitas Sumatera Utara

27

Lanjutan Tabel 2.1 Kelompok Umur Jenis Zat Gizi Mineral - Kalsium (mg) - Zat besi (mg)

19-29 tahun

Pria 30-49 tahun

50-64 tahun

19-29 tahun

Wanita 30-49 50-64 tahun tahun

1100 35

1000 35

1000 30

1100 26

1000 26

1000 12

Sumber : Departemen Kesehatan RI Tahun 2013 2.7 Penilaian Status Gizi Dewasa Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif maupun subjektif, kemudian dibandingkan dengan baku yang telah tersedia. Data objektif dapat diperoleh dari data pemeriksaan laboratorium perorangan, serta sumber lain yang dapat diukur oleh anggota tim “penilai” (Arisman, 2010). Penilaian status gizi dibagi menjadi dua, yaitu penilaian secara langsung dan penilaian secara tidak langsung. Penilaian secara langsung meliputi antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Sedangkan penilaian secara tidak langsung meliputi survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Penilaian status gizi orang dewasa pada prinsipnya adalah berdasarkan pengukuran fisik atau antropometri, yaitu menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). Pengukuran Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan antara protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa dkk, 2001).

Universitas Sumatera Utara

28

IMT dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : IMT =

Berat Badan (kg) Tinggi Badan (m)2

Intepretasi nilai IMT untuk Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2.2 Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia Kategori Kurus Normal Overweight Obesitas Sumber : Departemen Kesehatan RI Tahun 2014

IMT <17,0 >18,5-25,0 >25,0 – 27,0 >27,0

Pengukuran survei konsumsi makanan adalah untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan perorangan serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut. Metode yang digunakan dalam mengukur konsumsi makanan dibagi atas dua metode yaitu metode kualitatif dan metode kuantitif (Supariasa dkk, 2001). Metode kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan. tersebut. Salah satunya adalah frekuensi makan (food frequency). Tujuannya adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu setiap hari, minggu, bulan, tahun. Kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar bahan makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut pada periode tertentu. Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi

Universitas Sumatera Utara

29

yang cukup sering oleh responden. Sedangkan metode kuantitatif adalah untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi. Salah satunya adalah Recall 24 jam. Penggunaan recall 24 jam dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu (Supariasa dkk, 2001). 2.8 Kerangka Konsep Mengetahui hubungan perilaku konsumsi makanan meliputi pengetahuan, sikap dan konsumsi makanan dengan status gizi dapat dilihat pada bagan di bawah ini : Pengetahuan

Sikap Status Gizi Konsumsi makanan - Susunan makanan - Frekuensi makanan - Kuantitas makanan Gambar 2.1. Kerangka Konsep Perilaku konsumsi makanan terbentuk melalui pengetahuan,sikap dan konsumsi makanan. Pengetahuan mengenai gizi sembang akan memengaruhi sikap, selanjutnya membentuk konsumsi makanan. Baik buruknya perilaku konsumsi makanan yang terbentuk akan mempengaruhi status gizi.

Universitas Sumatera Utara