2015 Agama dan Budaya Lokal di Indonesia Rangkuman hasil serial diskusi Agama dan Budaya Lokal yang diselengarakan oleh LABEL-UIN Sunan Kalijaga dan AIFIS
AIFIS The American Institute for Indonesian Studies 2/16/2015
Rangkuman ini disusun dari beberapa acara serial diskusi ilmiah/akademik yang diselengarakan oleh LABEL UIN Sunan Kalijaga bersama dengan AIFIS dengan topik: Agama dan Budaya Lokal
Topik Asma Luthfie, M.Hum 4 Dadang A. Permana 10
Orang Atoni Pah Meto di Mollo Utara, NTT Orang Oseng di Aliyan dan Alas Malang, Banyuwangi, Jawa Timur
Rr. Siti K. Widyastuti, M.A 16
Pro-Kontra Antara Tradisi dan Agama Dalam Perayaan Halloween
Ahmad Rafiq, Ph.D 20 Muhammad Takbir M 27
Penerimaan Al-Quran di Indonesia Kebahagiaan Menurut Masyarakat Kajang di Sulawesi Selatan
Inayah Rohmaniyah 31
Potret Perempuan Dalam Habitus Kontekstual WAHABI
Ahmad Rafiq, Ph.D 34
Agama Kaharingan di Masyarakat Adat Dayak Meratus
Eliyyil Akbar 40
Politik Sunda Wiwitan
Foto, transkripsi dan tata letak oleh AIFIS Indonesia : Johan Purnama, M.Chozin Amirullah, Faishol Adib, Annas Bentari
Alamat: Mulia Business Park, Sampoerna University, Gedung A, Lt.2 Jl. MT. Haryono Kav. 58-60, Pancoran, Jakarta Selatan 12780 Telp: 021 7942340 ext.7272 Email:
[email protected] Website: www.aifis.org Journal Website: www.aifis-digilib.org
1
Prakata Sejarah panjang akulturasi agama dan budaya lokal di Indonesia mengarah pada satu hal yang sama yaitu akulturasi dengan proses yang santun dan lemah lembut akan lebih diterima dan akan berproses secara alamiah. Kondisi ini ditunjukkan dalam sejarah perang Paderi, yang dimulai oleh kaum ulama yang bermaksud memurnikan ajaran Islam dan kaum adat yang beragama Islam tetapi tetap teguh melaksanakan adat walaupun dalam beberapa hal bertentangan dengan ajaran Islam, perang ini berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya, terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang saudara ini terselesaikan dengan peran Tuanku Imam Bonjol yang merangkul kembali Kaum Adat, sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an. Sejarah Islam di Jawa juga menunjukkan bahwa pendekatan kultural yang dilakukan oleh para ulama, justru sangat diterima oleh masyarakat Jawa. Konsep pemikiran orang Jawa yang mengedepankan harmoni tercermin seperti pada pepatah Memayu Hayuning Bawono, yang berarti : mengusahakan keselamatan dan kebahagiaan, serta hendaknya senantiasa mengusahakan dan menjaga keselamatan hidup kita sendiri dan kehidupan di sekitar kita . Suro Diro Joyo Diningrat, Lebur Dening Pangastuti : segala bentuk kemungkaran dan kejahatan dapat dikalahkan oleh kelembutan hati. Pangastuti sendiri secara khusus adalah sikap kepasrahan atau ketaatan kepada Tuhan YME. Rangkaian secara keseluruhan kata-kata bijak ini bermakna segala bentuk kemungkaran dan kejahatan dapat dikalahkan atau dihilangkan dengan sikap kepasrahan dan ketaatan kepada perintah Allah SWT, karena semua perintah Allah SWT adalah rahmatan lil 'Alamin (kasih sayang kepada alam semesta beserta isinya). Akulturasi sendiri adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Proses yang terlalu cepat akan berarti pemaksaan dan akan menimbulkan pertumpahan darah, proses alamiah akan memerlukan proses saling belajar dan saling menerima dalam waktu yang sangat panjang. Menjadi suatu
2
pertanyaan besar, “Apakah akulturasi ini sudah tuntas?”, mengingat masih banyak terjadi benturan di masyarakat atas nama pemurnian agama. Buku ini merupakan dokumentasi dari acara serial diskusi dengan tema “Agama dan Budaya Lokal” yang diinisiasi oleh Laboratorium Religi dan Budaya Lokal, Fak.Ushuluddin dan Pemikiran Islam-UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan diselenggarakan bersama dengan AIFIS, serta beberapa makalah dari serial diskusi yang dilakukan oleh AIFIS dan Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, dan makalah-makalah akademik lain yang mempunyai tema yang sama.
Johan Purnama Deputy Director-AIFIS Indonesia
3
Orang Atoni Pah Meto di Mollo Utara, Nusa Tenggara Timur Asma Luthfie, M.Hum (Universitas Negeri Semarang) (Disampaikan pada acara Diskusi Publik Agama dan Budaya Lokal di UIN, Sunan Kali Jaga, 14 September 2014)
Masyarakat Atoni Pah Meto di Mollo Utara Lembaga BPS (Badan Pusat Statistik) meluncurkan sebuah indeks yang bernama indeks kebahagiaan Indonesia pada tahun 2013. Hasil dari survey tersebut menunjukkan bahwa 65,11% rakyat Indonesia sudah berada pada zona bahagia dengan indikator seperti bahagia dalam konteks kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, rumah tangga, kondisi lingkungan, keamanan, kehidupan sosial, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, dan kondisi rumah. Persoalannya adalah survey tersebut mungkin menunjukkan kebahagian seseorang apabila dilakukan di perkotaan, namun belum tentu akan mendapat hasil yang sama apabila dilakukan di desa, pedalaman, dan pesisir pantai di wilayah Indonesia. Perbedaan juga mungkin terjadi bila survey dilakukan di luar Jawa karena tiap daerah dapat saja memiliki indikator kebahagiaan sendiri. Contoh kasus yang pernah terjadi adalah persoalan Aceh dan Papua yang pernah memiliki keinginan untuk keluar dari Indonesia. Hal tersebut dapat saja didasari oleh ketidakbahagiaan yang mereka alami sebagai warga negara Indonesia. Sama halnya dengan orang Atoni Pah Meto di Nusa Tenggara Timur, mungkin cara mereka memaknai kebahagiaan juga akan berbeda. Atoni Pah Meto adalah sebutan untuk manusia daratan kering, masyarakat di daerah Timor baik Timor Barat (Kupang) atau Timor-Timor yang biasanya mendapat sebutan Atoni Pah Meto. Pulau Timor sendiri merupakan daerah terkering di Indonesia karena masuk dalam bayang-bayang Australia dimana musim kemarau lebih panjang dari musim hujan. Menurut Profesor dari ITB, kekeringan ini menyebabkan kemiskinan di NTT. Dalam pembahasan ini, kebahagiaan orang Atoni Pah Meto akan berfokus pada salah satu wilayah yang bernama Mollo Utara. Daerah ini merupakan salah satu kecamatan di Timor yang memiliki ketinggian lebih dari 500 dpl dan kemiringan rata-rata 40 derajat. 90,18% dari wilayah Mollo Utara adalah ketinggian
4
karena dibawah kaki gunung Mutis dan gunung Mollo yang merupakan sumber daya alam dan pusat tradisi masyarakat Mollo Utara. Mollo adalah salah satu entitas terbesar dalam kesatuan wilayah adat dari Timor yang disebut Oenam, penduduk Mollo utara juga disebut Atoni Pah Meto yang merupakan ras campuran dari Megrito, Melanesia dan Indonesia. Percampuran tersebut berasal dari orang Ambon, Ternate, Tidore, dan Cina. Hubungan masyarakat Atoni pah meto dengan alam Masyarakat Atoni Pah Meto adalah satu masyarakat adat yang sangat lekat dengan alam. Mereka tidak hanya sekedar menganggap alam sebagai sumber pasokan bahan makanan tetapi juga menganggap adanya relasi stuktural antara manusia dan alam. Relasi tersebut terlihat dengan adanya konsep Paukana yang berarti batu, Haukanaf yang berarti kayu, dan Oe Kanaf yang berarti air. Mollo merupakan masyarakat patrilineal dan kental dengan marga dalam keluarga, setiap desa memiliki marga asli dari desa tersebut dan biasanya masyarakat menganggap bahwa nama keluarga mereka berasal dari salah satu dari tiga konsep paukana, haukanaf, dan oe kanaf, sehingga satu keluarga dapat menganggap bahwa mereka berasal dari batu atau kayu cendana yang akan mempengaruhi nama marga mereka. Berdasarkan klaim tersebut terciptalah suatu organisasi sosial yang berbasis pada keturunan atau kekerabatan, hal tersebut juga menyebabkan tempat-tempat yang mempunyai relasi dengan keturunan tertentu disakralkan dan dijadikan tempat pemujaan karena masyarakat masih menghargai roh-roh nenek moyang di tempat-tempat tersebut dan menganggap bahwa tempat yang berhubungan dengan keluarga mereka adalah sakral. Selain relasi struktural, terdapat relasi fungsional dimana masyarakat menganggap bahwa sumber dari alam memiliki fungsi di kehidupan mereka. Masyarakat menganggap bahwa alam adalah segalanya dan menganalogikan bahwa tanah sebagai daging, air sebagai darah, hutan sebagai rambut, dan batu sebagai tulang punggung. Masyarakat juga terbiasa mendapatkan kebutuhan-kebutuhan dari alam. Selain itu masyarakat juga dapat mendapatkan sumber penghidupan dengan cara menjual hasil alam. Relasi fungsional antara masyarkat dengan alam inilah yang senantiasa melekat di pikiran masyarakat karena selalu ditransisikan ke generasigenerasi selanjutnya.
5
Perubahan pada relasi struktural dan fungsional di Mollo Utara Relasi struktural dan fungsional juga mengalami perubahan karena adanya pengaruhpengaruh yang masuk, contohnya adalah masuknya agama Kristen protestan membawa perubahan dari segi ritual personal dan komunal, ritual yang dulunya berbasis pada agama lokal digantikan dengan agama yang baru yaitu Kristen Protestan sehingga yang dibacakan ketika ritual tertentu adalah Injil. Selain masuknya agama, adanya pembangunan yang digagas oleh pemerintah juga merubah relasi struktural dan rasional yang dimiliki oleh masyarakat Mollo Utara. Pada era Suharto ada jargon pembangunan yang memasukan unsur industrialisasi yang pada dasarnya merupakan bagian dari kapitalisme, program pembangunan seperti kesehatan, pendidikan, dan akses jalan juga masuk ke masyarakat Timor. Perubahan yang terjadi antara lain berubahnya pola pertanian yang dulunya pola ekonomi subsistens yang berbasis pada kebutuhan menjadi pola ekonomi pasar, bahkan diperkenalkan dengan budaya uang, dan hal inilah yang menyebabkan budaya baru masuk ke masyarakat. Perubahan lain yang terjadi adalah penetapan Mollo sebagai wilayah pertambangan marmer. Wilayah Mollo memiliki kawasan dengan batu-batu marmer dengan kualitas tinggi dan oleh karena itu pada tahun 1999 pertambangan mulai marak dan tidak berhasil karena ada penolakan masyarakat. Tahun 2003, PT Sumber Alam Makmur mencoba untuk menambang batu-batu marmer namun hanya berlangsung tiga tahun karena mendapat perlawanan masyarakat. Pada tahun 2004, PT Tiga Sekawan juga mencoba untuk menambang namun tidak berhasil. Penambangan yang dilakukan tidak berjalan karena batu yang akan ditambang adalah salah satu dari benda yang dikeramatkan karena berhubungan dengan Paukana masyarakat setempat. Selain paukana yang terancam, haukanaf dan oe kanaf yang juga merupakan tempat sakral masyarakat harus dikikis untuk proses penambangan sehingga kegiatan penambangan tetap menuai protes. Masyarakat Mollo Utara sebagai masyarakat adat Masyarakat Mollo adalah masyarakat adat berdasarkan karakteristik karena memiliki asal-usul yang sama dalam komunitas dan teritorinya, memiliki sistem hukum adat (nilai budaya dan ideologi sendiri), memiliki kelembagaan, serta menguasai dan memiliki teritori dalam pengelolaan sumber-sumber agraria yang khas. Ternyata masyarakat Mollo menganggap bahwa
6
mereka adalah masyarakat adat karena karaktersitik yang dimiliki sama dengan karakteristik masyarakat adat pada umumnya. Dalam beberapa literatur, munculnya masyarakat adat adalah sebuah bentuk perlawanan pada orde baru karena banyaknya hak-hak adat yang diambil akibat investasi, tambang, dan sebagainya. Penyebutan masyarakat adat juga merupakan strategi karena apabila masyarakat menyebut sebagai masyarakat desa A atau B biasanya akan lebih mudah dipatahkan aksinya oleh pemerintah. Tujuan konsolidasi pembangunan lembaga adat adalah sebagai perlindungan pangan dan alam serta advokasi masyarakat terutama perempuan sebagai pelaku produksi dan pemasaran pangan. Seorang aktivis perempuan dari Mollo Utara bernama Alita Baun yang mendapatkan penghargaan sebagai perempuan pemerhati lingkungan mengatakan bahwa tanah dan batu sama seperti susu ibu karena merupakan sumber kehidupan. Kenyataanya, pertumbuhan penduduk di Mollo tidak diimbangi dengan bertambahnya lahan, apalagi adanya eksploitasi lahan sebagai tempat penambangan juga akan menyebabkan produksi-produksi pertanian menjadi kacau. Tanah adat di Mollo juga banyak diklaim oleh pemerintah daerah padahal tanah tersebut adalah tanah tempat ritual adat dan rumah adat, apabila kita melihat cagar alam Gunung Mutis, sebagian tanah yang dipakai adalah milik masyarakat adat. selain itu GN-RHL (Gerakan Nasional Reboisasi Hutan dan Lahan) juga memakai tanah masyarakat adat. Perubahan konsep kebahagiaan orang Mollo Utara Terjadi perubahan mengenai konsep kebahagiaan masyarakat Mollo, dahulu mereka merasa bahagia ketika bersanding dengan adat dan alam karena alam menyediakan ekonomi subsistensi, religius, kesesuaian ekosistem, dan kelembagaan adat. Misalnya ketika seseorang mencangkul, bukan hanya ekonomi saja yang melatarbelakangi namun religius, ritual atau ada hal lain juga yang melatarbelakangi. Namun, ketika ada pengenalan pembangunan dan transaksi modern serta budaya uang menyebabkan terjadinya pergeseran konsep kebahagiaan karena masyarakat lebih fokus dalam mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan, ekonomi rumah tangga, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Dengan adanya penambangan yang dilakukan di beberapa desa, masyarakat Mollo juga merefleksikan kembali konsep kebahagiaan dengan peristiwa ini, konsep kebahagiaan berubah menjadi pemenuhan kedudukan material. Namun, walaupun adanya konsep bahwa bahagia
7
adalah kedudukan material, masyarakat juga masih mencoba untuk melakukan perlawanan karena mereka menganggap dengan adanya penambangan dan ekonomi pasar dapat menyebabkan tanah yang ada di daerah tersebut menjadi rusak. Perlawanan tersebut menunjukkan masih adanya upaya untuk menjaga keseimbangan adat, religi, dan keseimbangan ekologis mereka. Salah satu alternatif solusi untuk menyeimbangkan kebutuhan material dan kelestarian alam adalah menjadikan wilayah tersebut sebagai objek wisata bukan menjadi wilayah penambangan sehingga ekonomi masih berjalan namun tidak merusak alam. Hal tersebut juga dapat diartikan bahwa masyarakat masih menganggap kebahagiaan tidak hanya dapat diartikan sebagai sesuatu yang sifatnya material, kaku, dan seragam namun kebahagiaan dapat diartikan secara dinamis dan beragam karena kebahagiaan itu ada di hati manusia. Respon tokoh adat terhadap perubahan yang ada di Mollo Utara Tokoh-tokoh adat di Mollo Utara akhirnya terpecah belah karena ada sebagian yang pro dan ada sebagian yang kontra terhadap pertambangan. Posisi Raja/Usik yang sekarang dipegang oleh seorang Oe kanaf ternyata berpihak terhadap investor sehingga memuluskan jalannya investor, sedangkan masyarakat adat Mollo tidak sepakat karena seharusnya raja menjaga sumber daya alam yang dimiliki adat. Akhirnya, para tokoh adat melakukan evaluasi kembali tentang posisi raja dan ternyata posisi raja yang sekarang menjabat dulunya adalah kaki tangan Belanda. Ternyata, posisi raja yang asli tidak dapat berbahasa Indonesia sehingga tidak dapat diajak bernegosiasi. oleh karena itu diciptakanlah raja baru sehingga raja yang dulunya kaki tangan Belanda tersebut akhirnya ditinggalkan. Berdasarkan penemuan tersebut, masyarakat mengeluarkan mosi tidak percaya lagi pada raja yang sekarang, sehingga ketika ada pesta-pesta adat yang dipanggil bukan raja yang sekarang menjabat namun raja yang bukan kaki tangan Belanda. Adanya perpecahan di masyarakat adat dengan cara mengeluarkan mosi tidak percaya pada raja yang mengizinkan investor masuk menjadi salah satu gerakan yang memperkuat resistensi masyarakat adat untuk menolak investor tambang masuk ke daerah mereka.
8
Konsep tentang Kebudayaan Kebudayaan pada dasarnya merupakan konsep sosial, sebenarnya kebudayaan akan selalu berfungsi karena dapat menjadi suatu cara untuk melestarikan kehidupan dan keberlangsungan hidup mereka. Budaya akan mati apabila manusia mati, hal tersebut berkaitan dengan fakta bahwa kebudayaan itu dinamis dan relative. Oleh karena itu pembentukan budaya didasari oleh sejarah, pengalaman, dan lingkungan. Dalam melestarikan kebudayaan, manusia sebenarnya tidak mencoba untuk kembali ke masa lalu apabila ingin melestarikan nilai-nilai yang ada di masa lalu, namun manusia mungkin masih dapat menggunakan nilai-nilai yang ada dimasa lalu karena pada masa ini terdapat situasi yang tidak sesuai sehingga perlu adanya strategi untuk mengembalikan situasi menjadi lebih baik dengan cara melihat ke nilai-nilai yang ada di masa lalu.
9
Orang Oseng di Aliyan dan Alas Malang, Banyuwangi, Jawa Timur Dadang Aji Permana (Universitas Bakti Indonesia Banyuwangi) (Disampaikan pada acara Diskusi Publik Agama dan Budaya Lokal di UIN, Sunan Kali Jaga, 14 September 2014)
Sejarah ritual Kebo-Keboan di Banyuwangi Banyuwangi memang terkenal dengan santet dan mistik meskipun kebenarannya juga masih menjadi pertanyaan. Pada Oktober tahun 2013 muncul isu tentang manusia serigala yang menyerang hewan ternak. Kemudian di bulan yang sama tahun 2014 marak terjadi penculikan organ bayi seperti mata dan organ dalam lainnya dan setelah organ tersebut diambil, bayi akan dikembalikan pada orang tuanya dengan disisipi uang. Fenomena tersebut tidak dapat dikatakan benar atau salah karena banyaknya kemungkinan. Kemungkinan bahwa hal tersebut dilakukan adalah sebagai strategi kebudayaan untuk melestarikan alam dan tradisi, namun tidak menutup kemungkinan bahwa hal tersebut sudah menjadi tradisi yang berbau mistik. Hal-hal mistik yang ada di Banyuwangi tersebut membuat beberapa orang tidak tahu bahwa Banyuwangi memiliki pantai bernama Pelengkung yang merupakan tempat wisata dengan ombak terbesar dan merupakan surga berselancar nomor 2 di dunia setelah Hawaii. Selain Pelengkung, ada juga hutan dimana hewan-hewan buas seperti banteng dan harimau masih hidup dan pulau bernama Pulau Merah yang merupakan miniatur Raja Ampat. Sayangnya nilai wisata yang dimiliki Banyuwangi tersebut belum banyak diketahui publik dan publik lebih mengenal Banyuwangi pada tradisi mistiknya. Berbicara tentang peristiwa mistik di Banyuwangi, terdapat salah satu ritual kebudayaan yang ada di Banyuwangi yaitu ritual adat Kebo-Keboan yang bersifat ekologis dan biasanya dilaksanakan di desa Alas Malang dan Aliyan. Ritual Kebo-Keboan secara historis berasal dari Dusun Krajan yang ada di desa Alas Malang, Kecamatan Singojuruh. Pada dasarnya ritual ini pertama kali digagas oleh tokoh bernama Mbah Karti untuk mengatasi kesulitan pada masa itu. Sejarahnya berawal dari wilayah Banyuwangi yang sebenarnya merupakan wilayah pertanian yang subur tiba-tiba dilanda musim kering yang menyebabkan warga kesulitan air serta semua
10
tanaman mati. Pada saat kondisi kesulitan bahan makanan, ada kecenderungan warga untuk mencuri dan ribut satu sama lain. Situasi tersebut kemudian diperparah oleh wabah Pagebluk yang dapat membunuh orang, dikatakan membunuh karena biasanya ketika pagi terkena wabah sorenya akan meninggal dan ketika sore terkena wabah lalu malamnya meninggal. Dalam kondisi kesulitan, sesepuh dusun Krajan, Alas Malang yang bernama Mbah buyut Karti mendapat wangsit agar bersemedi di Watu Kloso yang merupakan satu dari empat batu yang dikeramatkan di wilayah Dusun Krajan. Biasanya dalam bahasa Jawa, kata „tu’ adalah sesuatu yang keramat dan biasanya diasosiasikan dengan ketuhanan, contohnya penyebutan Tuhan biasanya adalah Sang Hyang Tunggal, selain itu tempat-tempat yang mempunyai mitos tinggi juga pasti akan dinamakan Situ atau Watu. Berdasarkan kegiatan bersemedi yang pada mulanya dilakukan Mbah Karti tersebut, Watu Kloso yang bentuknya seperti kloso (tikar) dijadikan tempat pelaksanaan ritual Kebo-Keboan. Proses ritual Kebo-Keboan dan pelaku Kebo-Keboan Ritual Kebo-Keboan biasanya dibuka dengan acara tasyakuran desa yang disebut Barikan, acara tersebut diadakan sepanjang desa dimana masyarakat disediakan makanan untuk makan bersama-sama. Acara selanjutnya adalah penanaman aneka tanaman yang dilakukan di sepanjang jalan, lalu dilanjutkan dengan acara Ider Bumi, pagelaran wayang yang dimulai dari Petauran yang merupakan tempat berkumpul Kebo-Keboan, ritual mengelilingi empat Watu keramat yang dimulai dari Watu Keja dan diakhiri di Watu Kloso, lalu mengantar Kebo-Keboan ke tempat pemandian untuk melakukan Goyang (dimandikan), penyemaian bibit, dan diakhiri dengan penyadaraan Kebo-Keboan. Ada beberapa pelaku ritual Kebo-Keboan antara lain simbol Dewi Sri yang digambarkan sebagai gadis perawan yang merupakan simbol kesuburan, pawang yang harus berasal dari keturunan Mbah Karti, Kyai sebagai pembaca doa untuk melancarkan ritual tersebut, pengiring Dewi Sri, petani, dan Kebo-Keboan yang konon katanya tidak dapat dipilih sendiri namun akan dipilih secara alami oleh alam. Pada zaman sebelum masuknya agama Islam, tidak ada peran kyai dalam ritual ini namun karena peningkatan nilai keislaman pada abad 19 maka kyai diikutsertakan dalam ritual Kebo-Keboan.
11
Ritual Kebo-Keboan biasanya dilaksanakan setiap tahun pada tanggal 10 Muharram atau dalam kalender Jawa disebut sebagai tanggal 10 Sura, namun sempat berhenti diadakan pada zaman Suharto karena dianggap berhubungan dengan gerakan G 30 S PKI dan dianggap sebagai ritual menyembah batu. Anehnya, ketika ritual ini dihentikan terjadi kesurupan massal dimana orang berubah menyerupai kerbau selama 10 hari sehingga membuat ritual ini dilanjutkan kembali. Berdasarkan fenomena tersebut, timbul pertanyaan mengapa ritual ini harus diadakan secara rutin setiap tahun dan apa yang hendak ingin diajarkan oleh leluhur Banyuwangi kepada masyarakat dengan ritual tersebut. Berdasarkan penelitian, memang bukan ritualnya yang dipermasalahkan, akan tetapi nilai-nilai kesucian yang terkandung dalam ritual inilah yang menjadi pesan utama ritual Kebo-Keboan. Pada dasarnya, leluhur ingin mengajarkan agar manusia menjadi pribadi yang suci dengan cara bersinergi dengan alam dan lingkungan social. Hal tersebut duwujudkan melalui simbol ritual Kebo-Keboan yang diadakan setiap tahun. Nilai yang terkandung pada ritual Kebo-Keboan Menurut masyarakat setempat, nilai adalah kualitas yang harus dikonkritkan dengan tindakan. Oleh karena itu nilai kesucian juga harus dikonkritkan dalam kehidupan masyarakat. Ada tiga pokok permasalahan yang akan dibahas; nilai yang menjadi tanda ritual Kebo-Keboan, nilai kesucian yang dikemas dalam bentuk ritual Kebo-Keboan yang menjadi landasan etika ekologis masyarakat di dusun Krajan, dan relevansi nilai kesucian bagi pembelajaran ekologi masyarakat Banyuwangi. Berdasarkan teori nilai Max Scheler, nilai dan penilaian harus dibedakan. Max Scheler mengatakan bahwa nilai pada dasarnya bersifat objektif yang berada diluar diri kita dan bersifat apriori atau apa adanya. Salah satu strategi untuk mengkonkritkan nilai adalah dengan menjadikannya sebuah kebudayaan, oleh karena itu ritual Kebo-Keboan yang merupakan bagian dari budaya Masyarakat Banyuwangi juga dapat disebut sebagai strategi untuk menanamkan nilai-nilai ekologis pada masyarakat. Dalam ritual Kebo-Keboan, ada beberapa nilai yang terkandung baik dari pelaku maupun prosesi ritual tersebut. Salah satu contoh adalah nilai yang terkandung dalam representasi sosok Dewi Sri. Hampir seluruh masyarakat agraris mempunyai sosok yang menjadi simbol kesuburan walaupun dengan nama yang berlainan di tiap daerah. Dalam masyarakat Jawa kuno, simbol
12
kesuburan direpresentasikan oleh dewi bernama Dewi Sri yang sosoknya juga memiliki banyak interpretasi. Pada umumnya masyarakat Jawa tidak mengenal sebutan untuk tuhan, oleh karena itu banyak diciptakan dewa-dewa yang disimbolkan sebagai perantara antara manusia dan tuhan, Dewi Sri adalah salah satu dewi ciptaan yang menyimbolkan kesuburan. Dewi Sri disini adalah simbol kesucian yang dapat diperoleh dari menyinergikan diri dengan alam dan lingkungan sosial, ada kutipan yang berhubungan dengan Dewi Sri yang berbunyi “Aku merindukan kesucianmu sebagaimana kalian mengharapkan keperawanan atau keperjakaan”, yang artinya kemurnian cinta diperoleh melalui kesucian. Simbol yang terdapat pada ritual Kebo-Keboan Ada beberapa simbol yang direpresentasikan dalam ritual Kebo-Keboan yaitu keikhlasan, kesabaran, keuletan, dan kerja keras. Selain itu pemilihan simbol hewan kerbau juga memiliki dasar yaitu latar belakang masyarakat agraris yang menganggap bahwa hewan kerbau adalah keunggulan karena kerbau dapat membantu membajak sawah sebagai pengganti tenaga manusia. Simbol lain yang terdapat pada ritual ini terletak pada sesaji yang ada pada ritual ini, sesaji tersebut merepresentasikan daur hidup manusia mulai dari kelahiran sampai kematian. Sesaji yang digunakan adalah peras, bermacam-macam beras, lawon, kelapa, ragi pawon, janur kuning, sirih, ragi kinangan, jenang abang, jenang putih, bubur kuning, bubur hitam, bubur hijau, peteteng, kendi, godong, kemenyan, dan beras petung tawar. Pada dasarnya simbol-simbol yang ada di ritual Kebo-Keboan memiliki arti sebagai berikut: 1. Peras – terdiri dari pisang sobo bermakna bahwa sebaiknya ketika manusia meninggal banyak yang melayat dan kematiannya membawa kerinduan. Hal tersebut mengandung pesan bahwa manusia harus meninggal dengan membawa banyak kemuliaan agar banyak yang melayat. 2. Beras putih dan beras kuning - beras putih bermakna bahwa kita harus mengkonsumsi makanan yang halal, sedangkan beras kuning yang diambil dari bahasa oseng “lali lali supaya eling maning” yang bermakna biarpun lupa asal ingat kembali. 3. Lawon/kain kafan - membawa pesan agar kita mensucikan diri sebelum mati. 4. Kelapa - kelapa yang sudah dikupas dan dililit kain putih berarti konsistensi pemikiran manusia harus lurus seperti pohon kelapa.
13
5. Ragi pawon - merupakan kumpulan bumbu dapur berhubungan dengan pandangan bahwa kesucian tidak didapat dengan menyepi tetapi menyelaraskan diri dengan alam dan lingkungan sosial sehingga satu individu dilihat sebagai satu jenis bumbu yang dapat menambah rasa. 6. Janur kuning yang berbentuk lampion - cahaya atau nur ilahi yang harus dimiliki karena itu adalah cahaya kita untuk mengarungi bahtera kehidupan yang ada. 7. Sirih – kata sirih diambil dari ungkapan bahasa Jawa „suruh‟ alias „supoyo weruh’ yang berarti supaya tahu. Hal ini menggambarkan perbedaan antara orang berilmu dan tidak berilmu, oleh karena itu simbol sirih menandakan agar manusia tetap belajar. 8. Ragi kinangan - terdiri dari sirih, jambe, susur, enjat, gambir, warna merah dari ragi kinangan menjadi simbol yang menyertai kelahiran anak dari rahim ibu sehingga merah darah menjadi simbol agar anak berbakti kepada ibu, sedangkan simbol enjat atau kapur yang diberi air di ragi kinangan berarti manusia berasal dari air mani bapak sehingga kita juga harus berbakti kepada ayah. 9. Jenang abang/bubur sengkolo & jenang putih -
jenang abang menyimbolkan nafsu
manusia yang mendorong kepada penguasaan diri yang bersifat duniawi, sedangkan jenang putih menyimbolkan bahwa manusia memilliki hati nurani untuk mengendalikan hawa nafsu. 10. Bubur kuning, bubur hitam, dan bubur hijau – bubur kuning adalah simbol yang menandakan manusia juga dibimbing nur ilahi, bubur hitam adalah simbol bahwa kehidupan manusia selalu dibayangi oleh kegelapan yang selalu merusak keharmonisan alam dan sosial, dan bubur hijau yang menandakan kesuburan bumi 11. Piteteng/pitek yang dieteng-eteng - ayam berwarna putih mulus berkaki kuning yang berarti manusia bekerja keras untuk mencari sandang pangan, keridhoan tuhan dan kesucian diri yang disimbolkan dengan warna putih dan kuning dari ayam tersebut. 12. Kendi - simbol bahwa manusia harus menjadi kendi yang membawa air sehingga menjadi pribadi yang dibutuhkan oleh orang lain. 13. Godong/daun - menunjukkan bahwa manusia harus senantiasa memohon kepada Allah. 14. Kemenyan - sebagai makanan leluhur menunjukkan bahwa manusia harus menjadi diri yang memberikan hal yang positif kepada sesamanya.
14
15. Beras petung tawar - kombinasi beras, kunir, bremo, dan kencur yang merupakan simbol penawar bagi segala penyakit. Simbol-simbol yang direpresentasikan dengan berbagai macam hasil alam tersebut membawa pesan bahwa alam memberikan manusia semua obat tetapi manusia harus tetap mendekatkan diri dengan memohon kepada Gusti Allah. Pada dasarnya simbol Dewi Sri, Kebo-Keboan, dan sesaji adalah nilai yang dikultuskan menjadi mitos untuk selanjutnya dijadikan etika sosial sehingga ritual ini bukan hanya sebagai strategi melestarikan tradisi namun juga sebagai satu cara untuk kembali mensinergikan diri dengan alam. Dewasa ini, ritual Kebo-Keboan juga dijadikan sebagai strategi pemasaran untuk menarik wisatawan ke objek wisata di Banyuwangi seperti Gilen, Watu Godok, dan Pulau Merah dimana terdapat hutan bakau yang murni. Namun sayangnya wisatawan yang datang kebanyakan adalah orang asing dan bahkan pemilik-pemilik hotel juga orang asing. Sedangkan orang Indonesia sendiri belum banyak yang tahu mengenai tempat-tempat wisata yang indah di Banyuwangi tersebut karena beberapa masyarakat indonesia lebih mengenal kekhasan santetnya daripada wisata yang dimiliki Banyuwangi.
15
Pro-Kontra antara Tradisi dan Agama dalam Perayaan Halloween Rr. Siti Kurnia Widyastuti, M.A. (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta) (Disampaikan pada acara Diskusi Publik Agama dan Budaya Lokal di UIN, Sunan Kali Jaga, 14 September 2014)
Sejarah perayaan Halloween Perayaan Halloween biasanya dirayakan pada tanggal 31 Oktober dan merupakan perayaan yang sudah menjadi hari libur nasional di Amerika serikat. Pada perayaan Halloween terdapat simbol yang khas yaitu labu kuning yang diukir menjadi bentuk-bentuk yang menyeramkan. Sejarahnya, Halloween berasal dari kata all hallow’s Eve yang dalam versi Katolik berarti malam sebelum all Saint’s Day. Namun sebenarnya Halloween bukan berasal dari tradisi Katolik melainkan sudah ada bahkan sebelum masa agama Kristen yaitu berasal dari tradisi masyarakat Irlandia guna memperingati perubahan musim sehabis panen di musim panas ke musim dingin. Masyarakat Irish (Irlandia) dan Scottish (Skotlandia) sudah melaksanakan tradisi Halloween terlebih dahulu dan kemudian dibawa ke Amerika Serikat pada abad ke-19 dalam proeses migrasi yang dilakukan oleh orang Eropa. Di Irlandia, Halloween merupakan tradisi bangsa Celtic yang dibawa oleh pendeta Celts pada tahun 1840, bangsa Celtic adalah keturunan bangsa Arya yang berasal dari Asia, oleh karena itu ada kemungkinan bahwa orang Asia yang pertama kali mendarat di Eropa dan membawa tradisi Halloween ke masyarakat Eropa. Ritual Halloween sebelumnya dikenal sebagai Samhain oleh masyarakat Celtic kuno. Ritual ini adalah perayaan akhir musim panen pada musim panas yang kemudian berganti ke musim dingin. Samhain digunakan oleh masyarakat Celtic kuno untuk mengambil stok persediaan dan mempersiapkan diri untuk musim dingin, pada akhir bulan Oktober masyarakat Celtic kuno mempercayai bahwa akan ada batas yang terbuka antara orang hidup dan mati dimana orang yang sudah mati dapat hidup kembali dan diperbolehkan untuk mengunjungi keluarga mereka yang masih hidup. Berdasarkan kepercayaan tersebut, masyarakat mengadakan
16
sebuah festival untuk mencegah kerusakan yang datang dan menghormati arwah leluhur karena biasanya roh akan membawa kerusakan dan malapetaka ketika bergentayangan. Hubungan antara perayaan Halloween dan agama Ada perdebatan apakah perayaan ini merupakan tradisi atau hal yang berhubungan dengan agama. Menurut sejarahnya perayaan ini terkait dengan hal-hal spiritual dan mitos masyarakat Celtic. Namun, pada saat agama Katolik berkembang Halloween kemudian dimasukkan menjadi hari raya terpenting yang ada di gereja karena merupakan hari peringatan orang suci. Hal ini terjadi karena masyarakat pemeluk agama Kristen mencoba untuk menyesuaikan tradisi yang berkembang di masyarakat agar menjadi perayaan agama juga. Salah satu bukti penyesuaian tradisi Halloween masyarakat Celtic dan agama dapat dilihat pada sikap yang diambil Paus Grekolius 4 pada abad ke-9 dengan menempatkan Halloween pada kalender gereja sebagai hari orang-orang suci. Selanjutnya pada akhir abad ke-15 Halloween diyakini sebagai waktu berkumpul roh yang tidak kudus. Perayaan Halloween juga menuai kontroversi antara Kristen ortodoks dan Islam, menurut Kristen ortodoks, Halloween merupakan praktek-praktek penghianatan kepada tuhan sedangkan dalam Islam, Al Qur‟an surat Al Kafirun yang berarti “dimana bagimu agamamu bagiku agamaku” menunjukkan larangan bagi umat Islam untuk meniru ritual yang bukan merupakan budaya Islam. Perkembangan Halloween di masa kini Festival Halloween sangat popular di wilayah Amerika Serikat, Inggris, Irlandia, Puerto Rico, Australia, Selandia Baru, Filipina, Jepang, Arab Saudi, dan Indonesia walaupun terbatas pada artis saja. Salah satu bukti adanya perayaan Halloween di Indonesia dapat dilihat pada hotel-hotel Jakarta atau Jogja yang biasanya menawarkan menu Halloween seperti makanan dan desain ruangan pada bulan Oktober. Pada masa sekarang, aktivitas yang dilakukan di malam Halloween terdiri dari trick or treat, api unggun, pesta kostum, mengunjungi rumah hantu, dan membuat ukiran Jack O’lantern di labu kuning. Dalam aktivitas trick or treat, anak-anak biasanya akan pergi dari satu rumah ke rumah lain dan menawarkan dua pilihan pada penghuni rumah yaitu memberi hadiah atau tidak
17
memberi hadiah namun dapat berakibat diusili oleh anak-anak tersebut. Api unggun biasanya digunakan sebagai penarik serangga dan kelelawar, sedangkan pesta kostum digunakan untuk meniru roh jahat agar dapat menenangkan roh jahat tersebut dan mencegah roh jahat untuk membuat kerusakan. Selain itu juga dilakukan kunjungan ke rumah hantu dan kegiatan mengukir Jack O’lantern di labu kuning. Pada saat perayaan Halloween, terdapat juga pumpkin festival dimana labu disusun tinggi ke atas sebagai penerangan jalannya kegiatan. Perbedaan antara ritual Halloween di masa lalu dan sekarang adalah fakta bahwa dahulu Halloween berkaitan erat dengan agama sedangkan sekarang sudah sedikit bergeser kepada kepuasan materi karena adanya komersialisasi kultur untuk mendapatkan uang dengan adanya bisnis-bisnis kostum. Simbol yang ada pada perayaan Halloween Ada 10 simbol ritual Halloween yaitu labu, jagung, batang gandum, warna oranye dan warna hitam, laba-laba, penyihir, kelelawar, kucing, kerangka dan tengkorak, hantu, dan kostum dimana masing-masing simbol memiliki arti tersendiri. Berikut adalah arti dari simbol-simbol pada perayaan Halloween adalah: 1. Labu – labu biasanya akan diberi lubang dan diberi lilin didalamnya, simbol ini berasal dari tradisi dimana orang miskin (peasant) datang ke satu rumah ke rumah yang lain untuk mendoakan arwah yang meninggal, biasanya setelah mendoakan mereka akan diberi imbalan. Cahaya yang dihasilkan dari ukiran labu tersebut digunakan sebagai cahaya penuntun yang oleh orang-orang miskin saat melakukan kegiatan berdoa. 2. Jagung dan batang gandum - simbol akhir panen. 3. Warna oranye dan hitam- warna oranye menandakan musim gugur dimana daun-daun menjadi oranye dan berguguran sementara pohon terlihat seperti mati, sedangkan simbol warna hitam melambangkan hari-hari gelap pada musim dingin karena matahari terbit hanya sebentar. 4. Laba-laba - simbol siklus alami kehidupan. 5. Penyihir – simbol roh jahat dan harus dibakar. 6. Kelelawar – kelelawar yang dianggap mampu berkomunikasi dengan orang mati dijadikan mediator antara orang hidup dan mati.
18
7. Kucing hitam - jelmaan para penyihir sehingga dalam tradisi masyarakat akan membakar kucing sebagai jelmaan penyihir yang harus dibakar. 8. Kerangka dan tengkorak - simbol kematian. 9. Hantu - simbol bahwa roh-roh dapat berjalan diantara malam Halloween. 10. Topeng dan kostum – simbol yang digunakan untuk menakut-nakuti roh yang gentayangan. Halloween pada dasarnya merupakan salah satu bentuk pelestarian budaya, sama seperti di Indonesia dengan adanya tradisi musim panen seperti Merdi Desa. Namun, sebaiknya sebagai masyarakat Indonesia, kita harus tetap selektif dan berpikir dalam memilih tradisi yang masuk ke Indonesia.
19
Penerimaan Al-Qur'an di Indonesia : Studi Kasus Kedudukan Al-Quran di Masyarakat yang Tidak Berbahasa Arab Ahmad Rafiq, Ph.D (Kepala Laboratorium Budaya dan Religi Lokal (LABEL) UIN Sunan Kalijaga) (Disampaikan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 30 September 2014)
Resepsi Al Qur’an pada zaman nabi Al Qur‟an secara teologis merupakan teks yang bersifat universal karena menggunakan bahasa Arab dan digunakan dimana-mana. Sejak zaman nabi, orang-orang sudah terbiasa berinteraksi dengan Al Qur‟an berbahasa Arab, namun 80% penerima Al Qur‟an saat ini bukan penutur bahasa Arab sedangkan masyarakat yang tidak berbahasa Arab tersebut harus tetap menerima Al Qur‟an dalam bahasa murni yaitu bahasa Arab. Berdasarkan fenomena tersebut, citra Al Qur‟an dapat berbeda di negara selain Arab seperti Indonesia karena selain menerima konteks yang dibawa dari masa lalu, masyarakat juga akan mengaplikasikan pendekatan praktikal yang sesuai dengan kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Pendekatan praktikal sendiri sudah digunakan sejak zaman setelah nabi yang masih berbahasa Arab, salah satu contoh pendekatan praktikal adalah pengamalan Surat Waqia oleh Abdullah Ibnu Mas‟ud. Beliau merupakan seorang sahabat besar Rasulullah dan seorang penghafal Al Qur‟an yang sudah dijamin akan masuk surga. Dalam kisahnya, Abdullah Ibnu Mas‟ud diajak Usman untuk mengumpulkan Al Qur‟an dan dijanjikan dana dari Baitul Mal untuk beliau dan anaknya, namun dana tersebut ditolak karena Abdullah Ibnu Mas‟ud percaya bahwa dia sudah memiliki bekal material dengan membaca Surat Al Waqia setiap hari. Dalam hal ini, Ibnu Mas‟ud percaya bahwa ketika seseorang membaca Surat Al Waqia, maka dia akan murah rezeki. Kisah tersebut menunjukkan bahwa penerimaan praktikal sudah ada bahkan pada zaman setelah nabi.
20
Resepsi Al Qur’an oleh masyarakat Banjarmasin Resepsi Al Qur‟an di Indonesia yang merupakan negara yang tidak berbahasa Arab akan ditelaah lebih lanjut pada pembahasan ini. Dalam menelaah resepsi Al Qur‟an di Indonesia, ada dua masalah utama yang akan dibahas yaitu bagaimana masyarakat Indonesia menerima Al Qur‟an yang berbahasa arab dan bagaimana masyarakat menghubungkan konteks dirinya di masa sekarang dengan konteks Al Qur‟an yang diturunkan sejak zaman nabi. Dalam pembahasan ini, subjek yang akan digunakan sebagai bahan penelitian adalah masyarakat Islam di Banjarmasin. Masyarakat Banjarmasin pada dasarnya merupakan suku Dayak namun karena agamanya Islam maka disebut suku Banjar. Menurut buku “The Real Dayak Queen” ada asumsi bahwa setiap orang Dayak yang masuk Islam maka disebut orang Banjar. Berdasarkan penelitian, masyarakat Banjar yang merupakan suku Dayak memiliki sebuah mistik santet bernama Parung Maya untuk membunuh orang. Dalam prakteknya, masyarakat Banjar yang beragama Islam akan selalu menutup bacaan santetnya dengan bacaan dalam bahasa Arab yang berasal dari Al Qur‟an. Berdasarkan fenomena tersebut, bisa dilihat bahwa ayat Al Qur‟an digunakan dalam praktek-praktek kehidupan masyarakat Banjar dan hal tersebut menujukkan adanya resepsi Al Qur‟an pada masyarakat yang disesuaikan dengan ritual mistik masyarakat Banjar. Pada dasarnya, Al Qur‟an yang diterima di Indonesia akan memiliki dua konteks yaitu konteks Al Qur‟an ketika digunakan pada zaman setelah nabi dan konteks yang disesuaikan dengan perilaku masyarakat setempat. Contoh konteks Al Qur‟an ketika digunakan sejak zaman setelah nabi adalah penerimaan Al Qur‟an oleh orang-orang zaman dahulu untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti pada kasus Abdullah Ibnu Mas‟ud yang membaca Surat Al Waqia agar murah rezeki. Contoh lain adalah kisah Hamka yang membacakan Surat Yasiin pada temannya yang sekarat dan membuat temannya dapat meninggal dengan lembut. Contoh tersebut menunjukkan bahwa ada keutamaan-keutamaan Al Qur‟an yang dipercayai oleh orang-orang di zaman sesudah nabi yang kemudian dijadikan pedoman oleh penerima Al Qur‟an selanjutnya. Disisi lain, masyarakat Indonesia juga harus melihat keadaan di masa kini. Salah satu contoh penerimaan Al Qur‟an di masa kini adalah santet Parung Maya yang dimiliki orang Banjar yang sudah dijelaskan tadi.
21
Masyarakat Banjar menerapkan model Ghazali dimana tiga bidang ilmu Akidah, Fikih, dan Tasawuf dianggap satu kesatuan ajaran Islam. Berdasarkan model ini, prakek Al Qur‟an juga akan terpengaruh karena semuanya menjadi satu, oleh karena itu ada perbedaan Islam di Banjar dan Jawa. Penerimaan Al Qur’an berdasarkan daur hidup manusia Untuk menilai seperti apa Al Qur‟an di kehidupan orang Banjar, kasus yang diambil adalah life cycle (daur hidup) untuk menunjukkan bahwa penerimaan Al Qur‟an akan dipengaruhi oleh identitas pembacanya. Daur hidup disini adalah periode sejak hamil sampai meninggal. Dalam daur hidup manusia, Al Qur‟an biasanya dibaca ketika seseorang membutuhkan perlindungan dan kepastian akan rasa aman. Contoh pertama penggunaan Al Qur‟an dalam daur hidup manusia adalah pembacaan Al Qur‟an bagi ibu hamil. Pada satu konteks, orang akan membacakan Surat Maryam, namun lain halnya dengan orang Banjar yang justru membacakan Surat Al Alaq dengan harapan anak yang akan lahir menjadi rajin membaca buku dan pintar. Contoh kedua penerimaan Al Qur‟an di Banjar adalah pembacaan Al Qur‟an secara komunal. Pada umumnya, Al Qur‟an dibaca secara individual namun masyarakat memiliki tradisi untuk membaca Al Qur‟an sampai selesai sebagai kegiatan bersama. Saat ini, kegiatan membaca Al Qur‟an masih dilaksanakan namun tujuannya sudah berbeda karena sekarang kegiatan ini dilakukan pada saat ada orang yang meninggal. Contoh ketiga, Al Qur‟an dibunyikan atau dituliskan dan ditempel disamping anak yang baru saja lahir, tradisi ini disebut Tasmiyah yang merupakan tradisi memberi nama anak dengan cara mengambil lafadz di Al Qur‟an. Hal ini khas sekali karena harus ada Qari yang membacakan Al Qur‟an didepan anak ketika anak tersebut diberi nama. Al Qur‟an ditaruh dihadapan bayi dan ketika Qari membacakan Al Qur‟an pasti akan membacakan Surat Ali Imran untuk anak perempuan dan Surat Maryam untuk laki-laki. Surat Ali Imran diambil karena ada lafadz Maryam sehingga digunakan untuk anak perempuan sedangkan Surat Maryam digunakan karena ada lafadz Yahya yang dapat digunakan untuk anak laki-laki.
22
Contoh keempat berhubungan dengan kelahiran anak, ada tiga tradisi yang ditemukan ketika seorang anak lahir yaitu penulisan ayat Al Qur‟an yang ditaruh gelas lalu diminumkan, pembacaan Al Qur‟an ketika anak tersebut telanjang, dan pembacaan surat At-takatsur oleh seorang Kyai ke air dan diminumkan ke anak. Alasan pemilihan surat At-takatsur juga bukan didasari hadits melainkan karena adanya kesamaan bunyi antara surat At-takatsur dengan sebuah kata di Banjar yaitu “dusur” yang berarti lancar dimana pembacaan surat At-Takasur agar bayi dilahirkan dengan lancar. Pemberian makna dan keutamaan pada Al Qur‟an yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia banyak sekali ditemukan dan tentu akan mempengaruhi penggunaan Al Qur‟an di masyarakat. Perilaku Kyai dalam membacakan surat At-takatsur merepresentasikan bagaimana orang yang tidak bisa berbahasa Arab juga bisa menangkap bahasa lewat bunyi dan mengasosiasikan dengan maknanya sendiri. Resepsi Al Qur’an menurut model resepsi Jauss Ada tiga model resepsi menurut Jauss yaitu resepsi armatik, estetik, dan sosiokultural. Al Qur‟an yang merupakan kitab suci biasanya akan melalui proses exegetical atau penafsiran dimana sebuah keyakinan baru akan muncul berdasarkan penafsiran tersebut, namun proses penafsiran juga harus melewati banyak level seperti subjektifikasi dan objektifikasi agar dapat diterima sebagai sebuah aturan dan masuk alam bawah sadar. Resepsi selanjutnya adalah resepsi estetis dimana orang menerima Al Qur‟an dengan cara yang indah. Cara yang indah dapat berarti menerima Al Qur‟an sebagai teks yang indah misal dilihat dari sisi sastranya, atau manusia sendiri yang mendekati Al Qur‟an dengan cara yang indah seperti dengan membuat kaligrafi atau melantunkan ayat Al Qur‟an dengan lagu. Ada pula resepsi fungsionalitas yaitu meresepsi Al Qur‟an menurut fungsi dan kebutuhan tertentu, contohnya membaca potongan ayat pada surat At-takatsur yang dilakukan ketika ada orang yang melahirkan. Contoh lain resepsi fungsional Al Qur‟an adalah pembacaan Surat Al Lahab untuk menghentikan air sungai yang sedang pasang yang tidak didasari oleh hadits namun kesamaan bunyi dengan bahasa masyarakat setempat juga.
23
Tradisi lain yang dimiliki oleh masyarakat Banjar adalah Tafaul, contoh Tafaul di zaman nabi adalah memanggil orang sakit dengan sebutan orang yang sembuh dengan harapan orang tersebut akan lekas sembuh. Ada 4 Tafaul yang diyakini masyarakat Banjar yaitu Tafaul dengan bahasa dan bunyi pragmatik Al Qur‟an dimana orang percaya bahwa yang terpenting bukanlah makna tetapi keyakinan, Tafaul berdasarkan pemilihan salah satu surat di Al Qur‟an, Tafaul melalui dibacanya keseluruhan surat di Al Qur‟an, dan Tafaul menggunakan media kaligrafi dan media estetik lainnya. Dalam memaknai Al Qur‟an ada beberapa hal yang dapat dilakukan seperti creative reading, belajar dari para cultural brokers atau ulama-ulama karena ulama biasanya memiliki tugas untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam, dan membaca kitab-kitab Islam dan membentuk piramida pengetahuan sendiri. Tradisi Islam Banjarmasin dilihat dari generasi tahun 1990an dan 2000 Pada generasi yang lahir di tahun 1990an sampai 2000an, tidak bisa dipungkiri bahwa pendekatan positivistik dan legalistik terhadap Al Qur‟an juga mempengaruhi model resepsi masyarakat Banjar terhadap Al Qur‟an. Dulunya, Al Qur‟an yang menjadi bagian dari kehidupan namun dengan adanya banyak godaan seperti televisi dan lain-lain, masyarakat Banjar merasa khawatir dengan posisi Al Qur‟an di masyarakat. Saat ini, pengajian yang dilakukan di kampung tidak lagi hanya memberdayakan masyarakat sendiri namun harus mengundang seseorang dari pesantren. Kesulitan juga dialami pada saat ada yang melahirkan karena sulit mencari orang yang dapat membaca Al Qur‟an. Solusi yang diambil masyarakat adalah dengan mengaplikasikan pendekatan formalistik. Hal ini dibuktikan dengan adanya Perda Al Qur‟an dimana kabupaten Banjar adalah kabupaten pertama yang mempunyai perda pertama khatam Al Qur‟an yang mewajibkan anak tamat sekolah SD, SMP, atau SMA harus mempunyai ijazah khatam Al Qur‟an. Berdasarkan penuturan para orang tua, esensi membaca Al Qur‟an itu adalah sebuah long life education, tradisi yang ada adalah anak datang ke rumah gurunya untuk membaca Al Qur‟an setiap hari, akan tetapi karena ada kegiatan-kegiatan lain yang mulai menggerus perhatian anak terhadap Al Qur‟an maka dibuatlah perda Al Qur‟an tersebut. Aturan ini menggeser tradisi sebelumnya ke model baru, namun sayangnya peraturan ini menggeser tujuan anak karena target anak hanya mendapat ijazah
24
khatam Al Qur‟an untuk melanjutkan pendidikan tanpa memiliki keterikatan lebih terhadap tradisi membaca Al Qur‟an, oleh karena itu mungkin saja masih ada anak yang bacaan Al Qur‟annya masih berantakan walau sudah memiliki ijasah karena setelah mendapat ijasah tidak pernah lagi membaca Al Qur‟an. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi seperti geopolitik, ekonomi, dan satu hal yang justru paling menyebabkan pergeseran itu adalah affirmative action dari pemerintah tentang tradisi membaca Al Qur‟an menggunakan Perda Al Qur‟an. Pembahasan Disertasi oleh Mukhlis Disertasi ini menarik karena sebagai seorang muslim pasti kita sehari-hari mempunyai pengalaman dengan Al Qur‟an. Al Qur‟an sudah berumur lebih dari 14 abad dan sudah melintas batas budaya dan geografi. Hal tersebut menimbulkan banyak pengalaman-pengalaman yang menarik yang patut dikaji, pengalaman tersebut sebetulnya juga adalah pengalaman kita seharihari. Ketika saya di Mesir, saya pernah bertemu dengan seseorang di dalam bis yang sedang membaca Al Qur‟an walaupun pada waktu itu suhu sekitar 40 derajat lebih. Itu adalah merupakan salah satu pengamalan Al Qur‟an. Pada masa kuliah, saya pergi ke Mekah untuk bekerja sebagai orang yang membantu orang Tawaf. Pada waktu itu, karena cuaca panas dan padatnya manusia saya membaca surat Alam Nasyrah, lalu tiba-tiba terbuka jalannya. Padahal, tidak ada dalil yang menganjurkan membaca surat tersebut pada kondisi yang saya alami, tetapi itu bagian dari keyakinan maka terbukalah jalannya. Dalam buku Introduction to The Qur’an, ketika ibunya memasak dia membaca beberapa ayat Al Qur‟an agar makanannya lezat. Banyak sekali cerita yang bisa kita gali mengenai pengamalan Al Qur‟an, oleh karena itu ada indikasi bahwa Al Qur‟an menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan muslim khususnya. Seperti yang kita tahu, Al Qur‟an adalah sebuah teks yang berarti teks itu diam, akan tetapi yang membuat Al Qur‟an berbicara adalah manusianya sendiri. Kitab suci Al Qur‟an adalah sesuatu yang final dan diberikan kepada manusia, sedangkan tugas kita adalah untuk membaca, meresapi, dan mempraktekannya sebagai seorang muslim. Disertasi ini menjadi sangat penting karena dapat melacak tradisi umat Islam di wilayah-wilayah yang berbeda dan bagaimana umat Islam berinteraksi dengan Al Qur‟an. Resepsi paling sederhana adalah secara
25
estetis, yaitu ketika kita berinteraksi dengan Al Qur‟an kemudian diri kita merasa terbawa secara emosionalnya. Saya ingin mencoba membahas tentang urgensi dari disertasi ini, yang saya lihat ini adalah merupakan refleksi atau cerminan ketika Al Qur‟an digunakan oleh umat Islam di Nusantara sehingga ini merupakan salah satu penelitian etnografi karena banyak cerita-cerita unik. Hal ini menarik karena kita dapat mengetahui perbandingan resepsi Al Qur‟an di Nusantara dan negara lain. Disertasi ini juga memberikan informasi mengenai kehidupan umat Islam di tepi-tepi atau pinggiran yang jauh di pusatnya yaitu timur tengah, dan biasanya kalau di daerah pinggiran akan ada perbedaaan informasi yang sampai sehingga itu mempengaruhi cara berpikir, sikap, dan interaksi umat Islam itu sendiri. Urgensi ketiga adalah menghasilkan pemahaman lain tentang interaksi umat Islam di Indonesia karena selama ini biasanya orang terlalu menggunakan pendekatan legalistik yaitu semua harus dipraktekan dalam rangka politik yang berhubungan dengan penggunaan dalam konteks nasional. Padahal, di Banjar Al Qur‟an telah dipraktekan dengan sedemikan jauh dengan resepsi yang sangat unik, ini menjadi tawaran lain dimana umat Islam menjadi model untuk umat Islam di belahan bumi lain.
26
Kebahagiaan Menurut Masyarakat Kajang Di Sulawesi Selatan Muhammad Takbir M. (Disampaikan pada Diskusi Agama dan Budaya Lokal di UIN, Sunan Kali jaga, 18 November 2014)
Opini publik pada umumnya menilai Makassar sebagai tempat sering terjadinya aksi demontrasi yang dilakukan oleh mahasiswa, misalnya penolakan kenaikan BBM yang berakhir ricuh dengan kepolisian. Kedua, opini publik juga melihat Makassar yang selalu lekat dengan tawuran antar pemuda dan geng motor, sehingga opini-opini inilah yang membawa kita untuk berpikir ulang apakah sebenarnya multikulturalisme di Makassar ada.
Memahami Multikulturalisme Masyarakat harus memahami dengan benar mengenai pengerti dari multikulturalisme sendiri. Menurut Syam (2009:79) yang mendefinisikan multikulturalisme sebagai seperangkat ide atau gagasan yang menghasilkan aliran yang berpegangan bahwa terdapat variasi budaya di dalam kehidupan masyarakat, yang terjadi adalah adanya kesetaraan budaya lainnya, sehingga antara satu entitas budaya dengan budaya lainnya tidaklah berada di dalam suasana bertanding untuk memenangkan pertarungan. Selanjutnya, definisi multikulturalisme secara praktis didefinisikan
oleh
Kymlika
(dalam
Haryatmoko,
2010:112)
mengatakan
bahwa
multikulturalisme adalah pengakuan pluralisme budaya yang menumbuhkan kepedulian untuk mengupayakan agar kelompok-kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat dan masyarakat mengakomodasi perbedaan kelompok-kelompok minoritas agar kekhasan identitas mereka diakui. Politik multikulturalisme pun hadir dikarenakan oleh adanya penindasan, masalah minoritas yang selalu dipandang sebagai kelompok yang tidak berguna dan adanya diskriminasi terhadap kaum imigran. Alasan-alasan tersebut menjadikan politik multikulturalisme memiliki tujuan untuk adanya pengakuan identitas dan kesetaraan, adanya dialog secara terbuka antar warga dan antar kelompok.
27
Ciri-ciri Masyarakat Kajang Manusia selalu ingin mencapai kebahagian karena kebahagian merupakan perjalanan tertinggi dari perjalanan hidup manusia. Masyarakat Kajang pun menginginkan kebahagian melalui satu gaya hidup yang disebut Kamase-mase. Kebahagian Kamase-mase dalam masyarakat Kajang dapat dilihat dari gaya hidup mereka yang masih primitive dalam mencapai kebahagian. Ciri-ciri utama dari masyarakat Kajang adalah semua anggota kelompoknya berpakaian hitam, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki seperti memakai baju dan sarung berwarna hitam dengan sehelai kain yang dililitkan pada bagian kepala. Masyarakat Kajang juga menolak hal-hal yang beraroma modernitas, sehingga mereka berusaha untuk menutup diri terhadap dunia modern seperti alat-alat teknologi handphone, listrik dan lain-lain. Kajang secara administrasi merupakan salah satu dari sembilan kecamatan di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan dengan memiliki luas wilayah sebesar 126. 18 k
. Wilayah
Kajang dibatasi oleh beberapa wilayah, sebelah utara Kajang berbatasan dengan Kabupaten Sinjai, sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Bulukumpa dan sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Hero Langge-langge. Masyarakat Kajang memiliki sistem nilai dalam masyarakat yang disebut Pasang. Jika orang islam berbicara tentang sistem nilai, maka mereka tidak bisa dilepaskan dari Quran dan Hadist. Begitu pula pada masyarakat Kajang yang menyandarkan keinginan mereka pada basis Pasang tersebut, yang dikelola secara terus menerus melalui lisan turun temurun. Pada prinsipnya Pasang adalah bentuk Aforisme dalam masyarakat Kajang, Aforisme tersebut dibentuk dalam bentuk refleksif, filosofis dari kondisi yang dialami oleh masyarakat dan para leluhur mereka. Hal tersebut juga merupakan bentuk pengalaman yang di internalisasi manjadi satu pengetahuan yang kemudian diwariskan secara terus menerus dari generasi ke genarasi melalui penuturan lisan atau oral tadi. Pasang Sebagai sistem nilai: Gaya Hidup Akkamase-mase Pasang sebagai sistem nilai menurut Akib (2003) adalah kumpulan pesan-pesan, petuahpetuah, petunjuk-petunjuk dan aturan-aturan bagaimana seseorang menempatkan diri terhadap
28
makro dan mikro kosmos serta menjalin harmonisasi alam, manusia dan Tuhan. Komunitas ini mengkonsepsikan hal-hal yang bernilai dalam kehidupan adalah kehidupan yang akan datang disebut dengan Konjo Mange dan Koasa di hari kemudian adalah tujuan Kaalo anjorengan atau tujuan di alam gaib. Hidup Akkamase-mase atau hidup bersederhana berimplikasi pada satu kehidupan yang layak, istilah ini disebut dengan kalumannyang kalupepeang ri allo ri bokona Tu Riek Akrakna adalah kaya raya di hari kemudian oleh yang Maha Berkehendak. Jadi, spiritual untuk tujuan keduniaan dan membentuk pola hidup Akkamase-mase. Biasanya kelompok ini tidak dimasukkan ke dalam kelompok agama Islam oleh peneliti, tapi mengganggap kepercayaan mereka sebagai kepercayaan Patuntung, meksipun fakta di lapangan masyarakat Kajang mengakui Islam bahkan dalam mantera yang mereka ucapkan sering terdengar Datuk ri Tiro, beliau berasal dari Minangkabau dan datang ke Sulawesi Selatan melakukan islamisasi di sana. Hidup
Kamase-mase
secara
sosiologis
merupakan
bentuk
perlawanan
kepad
kolonialisme, artinya terdapat penolakan dalam masyarakat Kajang untuk menolak mengonsumsi barang-barang pabrik melalui ungkapan mereka yaitu pare’ tau kebo’ yang memiliki arti buatan kulit putih atau kolonial Belanda. Bentuk perlawanan tersebut kemudian diinternalisasi atau ditumbuhkan dalam dirinya, sehingga menjadi satu bentuk perlawanan atau antikolonial dan secara otomatis akan menolak neo-kolonialisme, sehingga Masyarakat Kajang pun sampai sekarang masih menjaga adat istiadat dan habitus-habitus mereka. Hidup sederhana pun merupakan bentuk keutamaan yang terdiri dari bentuk keutamaan teoritik dan keutamaan praktis. Keutamaan teoritik dalam masyarakat Kamase-mase dapat dilihat dari ungkapan Pasang yaitu inne linoa pammari-arianji, ahere’ pammantanggang kara’kang yang berarti dunia ini hanyalah tempat persinggahan dan hari kemudian adalah kehidupan yang kekal/abadi, hal ini menjadi pijakan besar mengenai hal prinsip kehidupan masyarakat Kajang dalam bahasa keseharian mereka. Implikasi dari hal ini juga adalah lahirnya keutamaan praktis, misalnya kehidupan manusia adalah kehidupan yang sementara, sehingga manusia hanya menjalaninya begitu saja dan tidak bisa mengeksploitasi alam. Salah satu keutamaan praktis masyarakat Kajang adalah mereka menjaga kehutanan yang mereka miliki dan bagi seseorang yang menebang 1 pohon maka ada kewajiban baginya untuk menanam 2 pohon, serta bagi mereka yang menebang di hutan lindung masyarakat Kajang maka akan diberikan hukuman adat
29
bahkan dapat dikeluarkan dari komunitas tersebut. Tindakan-tindakan yang diperlihatkan masyarakat Kajang mengantarkan pemahaman kita bawa mereka benar-benar masyarakat yang benar-benar “istiqamah” dan siap satu kehidupan yang jauh dari modernisasi, pendekripsian tersebut ada dalam bentuk praktis mereka yang berbunyi Angganre na rie’, care-care na rie, pammalli juku na rie’, balla situju-tuju, artinya makanan ada, pakaian ada, pembeli ikan ada, tempat produksi ada, dan rumah sederhana saja. Intinya, masyarakat Kajang menginginkan semua yang “berkecukupan” dalam arti sesuai dengan standar mereka bukan standar yang dibangun oleh modernisme.
30
Potret Perempuan dalam Habitus Kontekstual WAHABI Inayah Rohmaniyah (Disampaikan pada Diskusi Agama dan Budaya Lokal di UIN, Sunan Kali jaga, 18 November 2014)
Dalam diskusi ini, ada tiga inti bahasan yaitu mendekonstruksi pemahaman konvensional tentang hubungan kausalitas antara ajaran Wahabbi dengan ekstrimisme, radikalisme kekerasan dan diskriminasi gender. Inti bahasan kedua adalah menunjukkan konteksualisasi Wahhabi karena walaupun ajaran Wahhabi berasal dari Arab namun prakteknya mungkin akan berbeda di negara Indonesia. Ketiga, menunjukkan peran perempuan sebagai agen yang tidak hanya mengikuti struktur, namun ada proses dimana perempuan melakukan pemaknaan ulang struktur patriarki. Pada akhirnya, tujuan dari pembahasan ini adalah untuk menunjukkan bahwa ajaran Wahhabi tidak selalu berhubungan dengan radikalisme atau diskriminasi terhadap perempuan walaupun pada dasarnya sebagian muslim memang radikal karena ingin merubah keyakinan orang lain agar sesuai dengan keyakina mereka. Akan tetapi, banyak organisasi Wahhabi yang sebenarnya menentang kekerasan dan diskriminasi dan mungkin hanya saja fakta ini tidak muncul di permukaan. Subjek penelitian adalah Salafi Wahhabi, perlu diketahui bahwa ajaran Salafi berbeda dengan Wahhabi karena tujuan Salafi adalah untuk mengembalikan tatanan Islam kepada tatanan yang ada pada zaman nabi. Gerakan Wahhabi pertama kali muncul dengan tujuan untuk merekonsruksi masyarakat Arab yang pada waktu itu sangat didominasi oleh politeisme, apabila dianalogikan dengan istilah Karl Marx maka masyarakat Arab bisa digambarkan sebagai masyarakat yang ada pada opium yang kuat. Namun, fakta bahwa gerakan Wahhabi adalah sebuah gerakan reformasi yang sama sekali tidak berhubungan dengan perang jarang sekali diangkat oleh publik. Muhammad bin Abdul Lahab sebagai tokoh gerakan Wahhabi juga tidak bergerak di ranah politik, beliau lebih bergerak melalui ranah dakwah. Asumsi yang mengelilingi gerakan Wahhabi biasanya adalah kekerasan, fanatisme, tidak toleran, dan menolak kultur lokal, oleh karena itu Wahhabi dianggap berbahaya karena
31
mempromosikan kekerasan atas nama agama dan dikecam karena pengaruhnya terhadap masjid, islam, dan madrasah, serta penggerogotan terhadap nasionalisme bangsa. Namun, sebenarnya tidak semua orang Wahhabi melakukan kekerasan, diskriminasi, dan menolak kultur lokal. Secara teori, Pier Bordieu yang mengatakan bahwa seseorang seharusnya dapat keluar dari struktur dan memilih skema kehidupan yang sesuai dengan dirinya. Bordieu juga mengatakan mengenai habitus yang mempengaruhi praktek individual maupun komunal, sedangkan agensi merupakan kekuatan individual. Praktek dan habitus akan saling terkait saat habitus ditambah dengan modal yang dimiliki entah ekonomi, agama, kedudukan, dan sebagainya. Di pesantren yang dijadikan sebagai tempat penelitian, kitab yang dipakai adalah Fahrul Masjid yang didalamnya ada kitab tauhid oleh Abdullah Abdul Lahab, sehingga habitus tauhid sudah benar-benar menguasai kepala dan kehidupan di pesantren. Apabila ditanya mengenai status perempuan, anggota pesantren tidak memungkiri bahwa perempuan memang sumber godaan. Namun walau demikian bukan berarti perempuan harus dikurung dan tidak boleh keluar ke ranah publik karena keterlibatan perempuan juga penting di ranah publik. Habitus yang dimiliki pesantren tersebut sangat berbeda dengan habitus Wahhabi yang ada di Arab. Hal ini juga berbeda dengan teori Bordieu yang sangat pesimistik dimana Bordieu percaya bahwa kaum perempuan hanya untuk melanggengkan habitus patriarki, tetapi berdasarkan penelitian ini ternyata hasilnya tidak demikian dan lebih berwarna. Contoh yang dapat diambil dari penelitian tersebut adalah Nyai yang tidak hanya melanggengkan habitus patriarki namun dapat melakukan interpretasi dan pemahaman ulang terhadap bidang ilmu karena memiliki modal dan pendidikan. Bahkan pada tahun 60an ada Nyai yang menjadi politisi walaupun dengan latar belakang Wahhabi. Contoh lain yang tidak sesuai dengan teori sosial Bordieu adalah keaktifan perempuan di dalam masyarakat walaupun pada dasarnya perempuan diasumsikan menjadi seseorang yang hanya bisa menjadi sumber godaan, lemah, dan second-class creation. Dalam pesantren tersebut, guru-guru yang bertugas juga bukan hanya laki-laki karena perempuan juga berhak menjadi guru dan mengajar santri laki-laki. Ternyata, habitus perempuan sebagai sumber godaan tidak terbukti karena ketika mereka mengajar santri laki-laki dan tidak ada yang berubah. Berdasarkan
32
fenomena tersebut, Bordieu bisa dikatakan keliru. Dalam proses meminimalisir godaan yang mungkin ditimbulkan, wanita biasanya menggunakan strategi seperti menutupi bagian tubuhnya. Temuan yang unik yang didapat adalah digunakannya Tauhid sebagai strategi dimana orang-orang menganggap bahwa pada dasarnya hanya Tuhan yang satu, sementara itu manusia memang diciptakan berbeda, oleh karena itu manusia harus menghargai perbedaan. Selain itu, karena hanya Tuhan yang satu maka posisi laki-laki dan perempuan juga sama. Artinya, karena pesantren tersebut menganut Tauhid dan tidak boleh keluar dari ajaran tauhid maka harus mengaplikasikan apa yang ada dalam kitab Tauhid, salah satunya dengan mengakui bahwa lakilaki dan perempuan itu sama. Tentunya fenomena ini juga berbeda dengan praktek Wahhabi di Arab. Masyarakat Wahhabi sebenarnya juga melakukan kontekstualisasi ajaran agama dengan konteks nasional, contohnya adalah kegiatan upacara bendera dan kegiatan memakai batik di hari jum‟at. Tentu dengan adanya fenomena tersebut, tidak bisa dikatakan bahwa orang Wahhabi mengancam nasionalisme bangsa dan menolak kultur lokal.
33
Eksistensi agama lokal di Indonesia: Agama Kaharingan di masyarakat adat Dayak Meratus Ahmad Rafiq, Ph.D(Kepala Laboratorium Budaya dan Religi Lokal (LABEL) UIN Sunan Kalijaga) (Disampaikan pada Diskusi Publik Agama dan Budaya Lokal, di UIN Sunan Kali Jaga, 02 Desember 2014)
Defininisi Agama Agama secara teoritis memiliki bermacam-macam wajah sehingga sama seperti bola kristal yang pada dasarnya tidak bercahaya tetapi dapat memantulkan cahaya yang berbeda-beda apabila dilihat dari sisi yang berbeda pula. Di sisi lain agama juga memiliki definisi yang terbatas karena tidak ada satu definisi yang dapat mencakup seluruh bagian dari agama. Definisi agama dapat dilihat secara substansial yaitu kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual, lalu ada juga definisi fungsional seperti pandangan Durkheim yang menganggap bahwa agama adalah alat untuk mengikat hubungan social. Selanjutnya ada pula definisi simbolik yang berarti bahwa agama adalah sebuah simbol yang memiliki makna. Keragaman definisi agama tersebut menunjukan bahwa pada dasarnya tidak ada satu definisi yang dapat mencakup seluruh bagian dari agama. Indonesia sebagai sebuah negara mendefinisikan agama lebih kepada ranah definisi politik walaupun pada kenyataannya Indonesia tidak pernah mendefinisikan agama secara formal dan hanya memberikan indikator tentang agama yang sebenarnya. Akan tetapi, indikator yang ada ternyata hanya menjadi sumber masalah yang berhubungan dengan eksistensi keragaman agama di Indonesia. Beberapa indikator agama di Indonesia antara lain adanya afiliasi internasional, memiliki pengikut, memiliki konsep kenabian, memiliki kitab suci, dan memiliki wilayah asal. Indikator tersebut seperti memberikan standar agama yang dapat dipeluk oleh masyarakat dan hal tersebut menimbulkan adanya konsep agama resmi yang sebenarnya tidak ada di definisi formal tentang agama di Indonesia. Dampaknya, terdapat kerancuan tentang status
34
agama di Indonesia terutama status agama lokal yang tentu sudah tidak dapat memenuhi semua indikator seperti misalnya tentang adanya afiliasi internasional. Pada masa setelah reformasi, 6 agama resmi yang diakui negara selalu dibedakan dengan agama lokal yang mulai disebut sebagai aliran kepercayaan. Hal tersebut membuat agama lokal semakin tidak diakui oleh negara karena agama lokal hanya dikategorikan sebagai bagian dari budaya. Salah satu contoh kasus aliran kepercayaan yang tidak diakui negara karena tidak memenuhi indikator agama yang diakui yaitu kasus yang terjadi pada masyarakat adat Dayak Meratus. Agama Kaharingan di Dayak Meratus dan hubungannya dengan indikator agama Dayak Meratus merupakan salah satu penghuni pulau Kalimantan terbanyak selain orang Melayu dan merupakan sebuah kelompok etnis yang kolektif karena memiliki lebih dari 100 sub etnis. Masyarakat Dayak Meratus tinggal di pegunungan benama Gunung Meratus di bagian utara hulu Kalimantan Selatan, penduduk Dayak Meratus kebanyakan memeluk agama lokal Kaharingan yang pada dasarnya memiliki banyak definisi; contohnya definisi Kaharingan yang berarti air adalah sumber kehidupan masyarakat, lalu ada juga yang memaknai “haring” sebagai “tumbuh”, sehingga definisi Kaharingan adalah agama yang tumbuh dari bawah. Kaharingan sebenarnya sudah memenuhi beberapa indikator agama yang dikeluarkan pemerintah, hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa Kaharingan juga memiliki konsep tentang Tuhan karena pemeluk agama Kaharingan percaya bahwa diatas segalanya ada Tuhan yang maha tinggi. Hal selanjutnya adalah para pemeluk Kaharingan memiliki wilayah yang terdiri dari tanah adat dan hutan lindung. Masyarakat sangat menjaga hutan lindung karena adanya mitos-mitos yang berkembang di masyarakat bahwa apabila ada orang yang merusak hutan maka orang tersebut akan terkena denda yang sangat berat seperti kematian. Hal selanjutnya adalah fakta bahwa agama Kaharingan juga memiliki pengikut yang jelas dan dapat dibuktikan dengan data statistik. Indikator lain yang juga dipenuhi oleh agama Kaharingan adalah konsep kenabian, pada agama Kaharingan ada kepercayaan tentang Adam dan Hawa yang memiliki 40 anak namun sedikit berbeda dengan versi Islam, perbedaannya adalah dalam versi Adam dan Hawa di agama Islam, semua anak Adam dan Hawa berpasangpasangan namun dalam versi Kaharingan anak pertama tidak memiliki pasangan sehingga
35
diangkat ke khayangan dan dinikahkan dengan makhluk di sana. Putra pertama Adam dan Hawa kemudian memiliki anak bernama Bambang Basiwara dan Sandayuan Asih yang merupakan orang Dayak yang pertama yang turun dari langit ke pegunungan Meratus dan dibekali dengan kitab suci bernama Barencong agar diajarkan kepada orang di bumi. Kisahnya, pada saat Bambang dan Sandayuan tiba di bumi, terjadi banjir besar dan membuat mereka berdua mencoba untuk menyelamatkan diri dengan tetap menjaga kitab tersebut agar tetap utuh, cara mereka menyelamatkan kitab suci tersebut adalah dengan memotong kitab tersebut menjadi dua dan dipegang masing-masing. Bambang yang mencoba menjaga kitab suci tersebut tidak dapat berpegangan pada apapun sehingga hanyut kebawah, sedangkan Sandayuan memakan kitab tersebut sehingga dapat berpegangan dan dapat bertahan di atas gunung. Pada saat banjir selesai, Bambang yang masih memiliki kitab menurunkan kepada orang-orang Banjar. Sementara Sandayuan meneruskan ajaran yang sama di atas gunung dengan cara lisan. Kisah tersebut merupakan salah satu mitos yang belum pasti kebenarannya, namun yang terpenting dari sebuah mitos bukanlah kebenaran terjadinya sebuah fenomena namun lebih kepada bagaimana masyarakat menggunakan mitos sebagai identitas mereka. Masalah yang dihadapi pemeluk agama Kaharingan di Dayak Meratus Ada beberapa masalah yang dihadapi pemeluk agama Kaharingan ketika berhadapan dengan kebijakan pemerintah atau praktek-praktek yang dilakukan oleh komunitas diluar kelompok agama Kaharingan sendiri. Masalah pertama yang dihadapi adalah kenyataan bahwa masyarakat Dayak Meratus rentan dijadikan objek misi agama yang dilakukan oleh misionarismisionaris agama resmi di Indonesia seperti Islam dan Kristen. Hal tersebut terjadi karena kerancuan kebijakan pemerintah tentang misi agama. Pada kebijakan negara, misi agama hanya dapat dilakukan pada orang yang seagama, contohnya Islam hanya dapat melakukan misi agama kepada orang Islam sedangkan Kristen hanya dapat melakukan misi agama terhadap orang Kristen. Namun, ternyata kebijakan tersebut juga memperbolehkan adanya misi agama yang ditujukan pada orang yang tidak beragama. Hal ini mengakibatkan adanya penafsiran bahwa orang-orang yang tidak memiliki agama “resmi” juga dapat dijadikan objek kegiatan misi agama sehingga para misionaris Islam atau Kristen berpikir bahwa tidak salah apabila mereka melakukan misi agama mereka pada masyarakat Dayak Meratus. Padahal, sebenarnya
36
masyarakat Dayak Meratus juga termasuk golongan yang memiliki agama karena mereka memiliki kepercayaan yang disebut agama Kaharingan. Masalah selanjutnya adalah kesulitan yang dialami masyarakat Dayak Meratus untuk mendapatkan akses pelayanan masyarakat seperti dalam kasus pernikahan atau pendidikan. Kesulitan tersebut dialami karena tidak diakuinya agama Kaharingan yang menyebabkan kolom agama pada KTP tidak dapat diisi atau bahkan tidak mendapatkan KTP sama sekali. Dalam kasus pernikahan, apabila masyarakat yang menikah tidak memiliki KTP maka tidak akan tercatat, sehingga ketika terjadi masalah rumah tangga tidak akan ada departemen negara yang dapat membantu penyelesaian masalah tersebut karena dalam data negara pernikahan tanpa KTP tidak dapat dicatat. Kemudian dalam kasus pendidikan, anak yang tidak memeluk agama resmi juga akan kesulitan dalam mengikuti kegiatan sekolah karena di sekolah hanya disediakan pelajaran agama yang resmi diakui pemerintah, padahal pelajaran agama merupakan pelajaran wajib dan ketika tidak diikuti maka tidak dapat naik kelas karena rapor siswa akan kosong dalam kolom pelajaran agama. Masalah terakhir adalah tentang pemberdayaan sosial masyarakat Dayak Meratus yang tidak relevan dan menyebabkan program-program pemberdayaan sosial tidak efektif atau bahkan tidak dapat dijalankan sama sekali. Salah satu program pemberdayaan sosial yang dilakukan pemerintah pada masyarakat Dayak Meratus adalah program Turun Balai, program ini dilakukan untuk merubah tradisi pertanian masyarakat setempat yang awalnya berpindah-pindah menjadi tetap pada satu tempat saja. Pada dasarnya, masyarakat Dayak Meratus memiliki konsep pertanian yang sifatnya berpindah-pindah dan setiap 8 tahun mereka akan kembali ke petak pertama. Dalam tradisi perpindahan tersebut juga terdapat aturan-aturan menanam, sehingga perpindahan tidak hanya dilakukan secara asal. Salah satu contoh aturannya adalah petak yang pertama ditinggalkan harus ditanami karet, lalu di petak-petak lain juga memiliki aturannya sendiri. Konsep pertanian ini dianggap tidak efektif oleh pemerintah sehingga pemerintah mencoba untuk mengubah konsep pertanian menjadi bertahan di satu tempat saja. salah satu cara untuk mengubah sistem pertanian adalah dengan memberikan fasilitas pertanian seperti cangkul, traktor mesin, dan alat-alat pertanian lain agar masyarakat mau merubah konsep pertanian menjadi tidak berpindah-pindah. Permasalahannya adalah lahan yang digarap oleh masyarakat Dayak Meratus merupakan lahan lereng yang sama sekali tidak bisa menggunakan cangkul,
37
sehingga pemberian fasilitas yang dilakukan oleh pemerintah tidak dapat digunakan oleh masyarakat setempat. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah tidak benarbenar memahami apa yang dibutuhkan masyarakat, selain itu pemerintah juga tidak memahami bahwa tradisi tersebut erat hubungannya dengan keyakinan masyarakat. Sejarah kebijakan negara yang membuat masyarakat Kaharingan semakin tertekan Sejak Tahun 1900 sampai 2003 terdapat berbagai kebijakan negara berimbas dengan agresifnya misi dakwah dan pada saat yang sama semakin menyingkirkan orang-orang Dayak. Ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang dimulai dari masuknya Islam pada tahun 1900. Pada tahun 1965 terdapat peraturan agama secara resmi tidak mengikutsertakan agama lokal yang ada di Indonesia. Kemudian pada tahun 1967 ada operasi Bukit. Lalu adanya kebijakan Turun Balai di tahun 1971, kebijakan SD Kristen, dan munculnya surat dari kementerian agama tahun 1980 yang menyatakan bahwa Kaharingan adalah Hindu tanpa meminta persetujuan masyarkat setempat yang menyebabkan dirubahnya nama Balai adat menjadi Pura. Strategi orang Dayak dalam menghadapi kebijakan pemerintah Ada contoh menarik mengenai calon DPD bernama Zonson Nasri yang berasal dari Dayak. Dalam masa pencalonan, Zonson Nasri meminta agar dalam kolom agama pada KTP beliau ditulis dengan agama Kaharingan. Anehnya, dalam proses pencalonan yang melalui beberapa tingkatan dari tingkat kecamatan, ke kabupaten, dan propinsi ternyata agama Zonson Nasri dituliskan secara berbeda-beda, contohnya dalam data PPK ditulis Kaharingan, dalam KPUD kabupaten ditulis Kristen, dan pada data KPU propinsi ditulis Islam. Dalam kondisi dimana masyarakat Dayak mengalami kesulitan dalam menghadapi kebijakan negara, masyarakat Dayak Meratus akhirnya menerapkan praktek komodifikasi budaya dimana praktek kebudayaan tidak hanya dilakukan sebagai pelestarian tradisi namun juga menjadi cara untuk mendapatkan uang. Contoh komodifikasi budaya yang dilakukan masyarakat Dayak Meratus adalah dengan dijadikannya upacara panen Aruh menjadi objek wisata yang bernilai ekonomi. Sebelumnya, praktek-praktek keagamaan dan kebudayaan yang ada di masyarakat Dayak tidak pernah mendapatkan bantuan dari Kemenag (Kementrian Agama) karena agamanya tidak diakui oleh negara, namun masyarakat Dayak sekarang dapat meminta
38
bantuan dari Deparsenibud (Departemen Kesenian dan Budaya) dengan membawa konteks bahwa mereka akan mengadakan upacara panen yang dapat dijadikan aset wisata.
39
Politik Sunda Wiwitan Eliyyil Akbar (Disampaikan pada Diskusi Publik Agama dan Budaya Lokal, di UIN Sunan Kali Jaga, 02 Desember 2014)
Masyarakat adat Sunda Wiwitan minim mendapat perhatian khususnya dalam hal hak asasi untuk beragama, padahal masyarakat tersebut juga memiliki keyakinan terhadap ritualritual yang mereka percayai. Akan tetapi, keberadaan keyakinan masyarakat Sunda wiwitan justru dituduh sebagai suatu keyakinan yang salah. Tuduhan tersebut tentunya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 2 tentang hak asasi manusia untuk beragama. Ironisnya, negara pada akhirnya juga membatasi keyakinan masyarakat Sunda Wiwitan dengan menentukan agama-agama yang dianggap legal dan diakui oleh negara Indonesia, agama-agama tersebut terdiri dari 6 agama yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Apabila melihat sejarah agama di Indonesia, aliran kepercayaan yang dianut oleh masyarakat sudah ada sebelum agama resmi yang diakui oleh negara ada, dan agama-agama yang sekarang menjadi agama resmi sebenarnya merupakan agama pendatang. Sebagian masyarakat Indonesia memandang bahwa agama sebagai suatu kepercayaan harus memiliki 5 ciri yaitu kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, adanya kitab suci, adanya ajaran kebenaran, adanya umat atau pengikut, dan fakta bahwa agama tidak dapat lekang oleh waktu. Sedangkan, aliran kepercayaan dianggap sebagai suatu kepercayaan yang memiliki ciri-ciri yang berlawanan dengan agama. Padahal sebenarnya kita harus melihat agama dan aliran kepercayaan sebagai pembentukan watak atau moral dan sebagai penentuan falsafah atau pandangan hidup bagi mereka yang menganut agama atau menganut aliran kepercayaan tersebut. Indonesia memiliki banyak aliran kepercayaan seperti Sunda Wiwitan yang ada di Banten, Kejawen yang ada di Jawa, serta Karina dan Tonas yang ada di Kalimantan. Apabila melihat runutannya, sebenarnya aliran kepercayaan memiliki tiga alam seperti juga agamaagama yang ada yaitu; tempat bersemayam tuhan yang letaknya di atas, tempat makhluk hidup yang ada di lapisan tengah, dan neraka yang ada di lapisan bawah.
40
Dalam ajaran Sunda Wiwitan, ada hal penting yang perlu dipahami yaitu ciri-ciri manusia yang berarti unsur-unsur dasar yang ada dalam kehidupan manusia (moral atau etika), pada dasarnya hal tersebut juga ada pada agama-agama namun ada perbedaan antara etika Sunda Wiwitan dengan agama-agama yang lain yang meliputi rupa adat, bahasa, aksara, dan budaya. Faktanya, walaupun Sunda Wiwitan juga merupakan salah satu agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia namun karena hanya dikategorikan sebagai aliran kepercayaan maka dalam kolom agama di KTP akan kosong. Hal tersbut menimbulkan cemooh orang-orang karena kekosongan tersebut biasanya diartikan sebagai simbol bahwa orang tersebut atheis atau tidak memiliki agama. Apabila meninjau lebih dalam tentang apakah Sunda Wiwitan memenuhi lima ciri agama, sebenarnya aliran tersebut sudah memenuhi kelima ciri agama. Dalam aliran Sunda Wiwitan, ada kepercayaan tentang tuhan, kitab suci, ajaran kebenaran, umat atau pengikut, serta fakta bahwa aliran tersebut masih ada sampai saat ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya Sunda Wiwitan juga dapat diakui oleh negara sebagai agama.
41
EPILOG Muhammad Chozin Amirullah M.A (Kemendiknas, Suluh Nusantara)
Setelah membaca semua kumpulan tulisan dalam buku “Agama dan Budaya Lokal di Indonesia” saya mencermati bahwa banyak keragaman bangsa Indonesia terkait dengan keagamaan, kepercayaan, adat dan kebudayaan setiap masing-masing daerah. Sehingga ini menjadi rahmat dan sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menjaga dan mengelola segala perbedaan dan keragaman tersebut. Dilihat dari aspek teologis, penghormatan terhadap keragaman sudah dijelaskan dalam Q.S. AlHujurat Ayat 13 yang menyebutkan bahwa: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal”. Ungkapan “manusia” dalam Surat Al-Hujurat Ayat 13 menunjukkan arti bahwa setiap orang yang mempunyai latar belakang apapun baik yang Islam, Kristen, Hindu, Budha ataupun kepercayaan apapun baik dia yang laki-laki, maupun yang perempuan dan dari asal manapun diciptakan Tuhan tak lain tak bukan diperintahkan untuk saling mengenal. Dalam proses “pengenalan” inilah kemudian orang akan mengerti arti dari segala keragaman tersebut. Begitupula kalau dilihat dari kacamata Konstitusi UUD 1945 juga memberikan penghargaan terhadap keragaman. Dalam Pasal 29 ayat 2 menyebutkan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Sudah jelas dalam konteks politik kenegaraaan kita, legitimasi dasar Teologis dan dasar Konstitusi UUD 1945 secara eksplisit sejalan dan seirama dalam memberikan porsi penghormatan yang tinggi kepada setiap keyakinan orang dalam beragama dan berkepercayaan di Indonesia.
42
Secara sosio-historis, pertemuan antara agama terutama Islam dengan budaya lokal sudah cukup lama mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pertemuan dengan ajaran lain juga terjadi seperti aliran kejawen, animisme dan dinamisme. Pertemuan agama (Islam) dengan budaya lokal ataupun antar ajaran agama menghasilkan pengadopsian, pembuangan dan akulturisasi namun, berlangsung dalam taraf toleransi yang cukup tinggi.Sunan Kalijaga memadukan Islam dengan budaya Jawa (pewayangan). Kaum tradisional mengadopsi konsep Hindu dalam model peng-asramaan santri. Keharmonisan memadukan antara agama (Islam) dan budaya-budaya lokal membawa pengaruh terhadap semangat persaudaraan antara masyarakat Indonesia meskipun berbeda keyakinan dan kepercayaan. Namun, kini fakta dilapangan sebaliknya. Toleransi semakin memudar seiring terjadi penyerangan kepada kelompok tertentu yang dianggap berbeda keyakinan dengan dalih karena menistakan agama, membikin resah masyarakat dan lain-lain. Penyerangan itu seharusnya tidak perlu terjadi jika negara-dengan aparaturnya mampu meredam dan hadir menengahi konflik tersebut. Dan yang paling penting lagi bertindak tegas dengan menghukum siapapun yang melakukan kekerasan. Selama ini negara melalui aparat keamanan terlalu lemah dalam menindak oknum-oknum yang suka melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok yang mempunyai keyakinan yang berbeda sehingga tindakan kekerasan menjalar kedaerah-daerah. Ketegasan negara dalam menghukum siapapun yang melakukan tindakan kekerasan bisa memberikan efek jera bagi pelaku, dan juga memberikan dampak positif bagi stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga tidak ada beban psikis dalam menjalankan keyakinannya. Solusi yang lain yang harus dilakukan adalah negara harus pro aktif memfasilitasi dengan mengajak semua pemuka agama, kepercayaan dan adat di semua daerah berdialog untuk meredam potensi konflik yang sewaktu-waktu bisa meledak. Dengan adanya dialog akan mempermudah mencari titik temu ataupun kearifan-kearifan dalam menghormati segala perbedaan keyakinan.
43
Maka diharapkan kehadiran buku “Agama dan Budaya Lokal di Indonesia” ini bisa memperkaya wawasan kita mengenai banyaknya aliran-aliran dan kepercayaan yang dimiliki masyarakat adat sehingga menumbuhkan kepekaan dalam menerima segala keragaman yang sudah menjadi fitrah bagi bangsa Indonesia.
44