AGENDA PERTANIAN UNTUK MENCAPAI KEDAULATAN

Download 2 Jun 2012 ... Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi ... digunakan adalah data sekunder yang berasal dari literatur, jurnal, sura...

0 downloads 516 Views 443KB Size
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Juni, 2012

AGENDA PERTANIAN UNTUK MENCAPAI KEDAULATAN PANGAN Lukman Adam Tim Asistensi RUU tentang Pangan dan RUU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani & Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik 1 Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI Gedung Nusantara I Lantai 2 Jl. Jenderal Gatot Subroto, Senayan, Jakarta 10270 * Email: [email protected].

ABSTRAK Sektor pertanian Indonesia, khususnya pangan mengalami permasalahan kronis yang tidak pernah bisa diselesaikan, impor yang meningkat, ketergantungan impor, petani yang berkendala, permasalahan pembiayaan, dan kebijakan yang tidak bisa dilaksanakan. Indonesia harus keluar dari permasalahan tersebut melalui dua agenda besar, yaitu: (1) agenda internal petani melalui: reforma agraria dan cadangan pangan, dan (2) agenda eksternal petani melalui: kelembagaan, pengendalian harga, dan peraturan perundang-undangan. Instrumen kebijakan yang ada harus dikaji agar dapat dilaksanakan di tingkat petani, dan dapat mengeluarkan Indonesia dari permasalahan pangan. Reforma agraria dilakukan melalui pemberian hak guna usaha kepada petani penggarap yang merupakan mayoritas petani Indonesia. Peningkatan cadangan pangan dilakukan melalui pemberian kuasa kepada Bulog untuk membeli pangan pokok di tingkat masyarakat, sedangkan peran kelembagaan dilakukan oleh pemerintah melalui pembentukan Kementerian Pangan dan mengembalikan Bulog sebagai lembaga pemerintah non-kementerian. Pengendalian harga dilakukan dengan menetapkan harga pokok pembelian pemerintah diatas harga pasar untuk pangan strategis. Sedangkan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan melakukan perubahan dan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kedaulatan pangan. Keywords: kedaulatan pangan, reforma agraria, cadangan pangan, kelembagaan PENDAHULUAN Sektor pertanian memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional, sebagai penyerap tenaga kerja, memberikan kontribusi terhadap PDB, sumber devisa, bahan baku industri, sumber bahan pangan dan gizi, serta mendorong bergeraknya sektorsektor ekonomi riil lainnya. Pengalaman menunjukkan bahwa sektor pertanian terbukti mampu menjadi penyangga perekonomian nasional saat terjadi krisis ekonomi. Saat ini sektor pertanian masih menghadapi banyak permasalahan, diantaranya keterbatasan petani dalam memperoleh modal, input pertanian, lahan, dan akses pasar. Keterbatasan tersebut menyebabkan petani sulit untuk keluar dari jurang kemiskinan. Padahal PDB sektor pertanian berdasarkan harga berlaku mempunyai peran sangat strategis. Data BPS dari tahun 2006 sampai tahun 2011, sektor pertanian berada pada peringkat ketiga sesudah sektor industri pengolahan, dan perdagangan, hotel dan restoran. Penyumbang terbesar bagi sektor pertanian adalah sub sektor tanaman bahan makanan, perikanan dan tanaman perkebunan. Fakta yang ada menunjukkan bahwa Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012

Juni, 2012

Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

neraca perdagangan sektor pertanian sangat bias ke impor produk pertanian. Sebagai contoh: ekspor Indonesia ke Australia dan Selandia Baru ternyata kecil, yaitu tiga persen dari total ekspor. Impor Indonesia dari Australia dan Selandia Baru juga tidak terlalu besar. Namun, Indonesia terus bergantung pada impor produk pertanian dari Australia, terutama gandum/terigu (serealia), kapas, susu, serta ternak hidup, terutama sapi. Gandum dan kapas merupakan peringkat pertama dan kedua impor Indonesia yang berasal dari Australia (Nuryanti, 2010). Arifin (2005) menyebutkan bahwa kombinasi kelalaian kebijakan pembangunan pertanian dan langkah pemihakan berlebihan pada sektor industri padat modal sedikit banyak telah berkontribusi pada kondisi sektor pertanian umumnya. Atas dasar tersebut, diperlukan perubahan kebijakan sektor pertanian agar dapat memberikan pangan dalam jumlah yang cukup, harga yang terjangkau bagi konsumen, dengan tetap berpihak kepada petani. Permasalahan sektor pertanian terutama terkait dengan ketersediaan lahan dan pangan, pengendalian harga, kelembagaan, dan perundang-undangan. METODE KAJIAN Kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan menjelaskan kebijakan pertanian yang perlu dijadikan fokus bagi pencapaian kedaulatan pangan nasional sekaligus mengidentifikasi permasalahan sektor pertanian. Data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari literatur, jurnal, surat kabar, internet, dan sumber informasi lainnya. Data kemudian diinterprestasi dan dianalisis untuk menentukan kebijakan pertanian yang sesuai. HASIL DAN PEMBAHASAN Reforma Agraria Permasalahan yang dihadapi oleh petani dan sektor pertanian terkait dengan lahan. Lahan pertanian cenderung berkurang akibat alih fungsi lahan. Berdasarkan data BPS tahun 20031, rumah tangga petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar sebanyak 39,2 persen dan luas lahan di antara 0,5 – 1,0 hektar sebanyak 18,4 persen. Sedangkan hasil penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) Kementerian Pertanian pada tahun 2008 menunjukkan bahwa rataan kepemilikan lahan petani di perdesaan sebesar 0,41 hektar di Pulau Jawa dan sebesar 0,96 hektar di luar Pulau Jawa. 2 Indonesia dapat mencontoh Amerika Serikat dengan melakukan redistribusi lahan kepada petani. Pada 20 Mei 1862, Amerika Serikat menciptakan landasan untuk kuatnya pertanian di AS, yaitu Homestead Act 1862. Dalam undang-undang ini, negara memberikan 160 acres atau sekitar 165 hektar lahan kepada penduduk AS atau yang

1

Tambunan, T. 2006. Apakah Pertumbuhan di Sektor Pertanian Sangat Krusial bagi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia? Hal. 8. 2 Kementerian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Th 2010-2014. Hal. 31.

2

Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012

Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Juni, 2012

akan menjadi warga AS. Per acre lahan dibayar dengan 1,25 US$ dan dana yang terkumpul digunakan untuk membangun jalan kereta api yang menghubungan ujung AS yang dekat Pasifik dan Atlantik. Saat ini, luas lahan per petani di AS mencapai 200 hektar.3 Pada tahun 1862, potensi minimal luasan lahan per petani di AS mencapai sekitar 65 hektar. Sesuai dengan perkembangan yang ada pada tahun 1940, per petani di AS mengolah 78 hektar. Tahun 1950 menjadi 96 hektar per petani, tahun 1960 menjadi 135 hektar per petani; kemudian dalam setiap tahun luas lahan yang diolah per petani di AS meningkat menjadi: 170 hektar pada 1970, 193 hektar pada 1980, dan 214 hektar pada 1997. Sedangkan jumlah petani di AS terus menurun. Pada tahun 1940, jumlah petani di AS lebih dari 6 juta orang, sedangkan tahun 1997 hanya sekitar 2 juta orang. 4 Gambaran ini menunjukkan transformasi sektor pertanian ke industri berjalan beriringan, saling terkait satu sama lain. Sementara di Indonesia, pertanian dan industri bertemu dalam konflik dan salah satunya harus dikorbankan. 5 Di Jepang, porsi lahan pertanian yang hanya 25% dari total wilayahnya yang sebagian besar berupa pegunungan, namun mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian Jepang. Salah satu kebijakan yang diambil dan manfaatnya dirasakan sampai saat ini adalah Peraturan Nasional tentang Konsolidasi (Penyatuan) Lahan tahun 1961. Kebijakan ini diambil karena kepemilikan lahan pertanian saat itu terpecah-pecah dan luasannya kecil sehingga tidak efektif. Untuk mendukung kebijakan ini, Pemerintah Nasional dan Pemerintah Lokal juga memprioritaskan pembangunan infrastruktur sekitar kawasan pertanian seperti jalan usaha tani, saluran air, dan lain-lain. Tidak heran bila saat ini kepemilikan lahan pertanian berkisar antara 10 – 30 hektar/petani dan berada sekitar jalan raya (yang notabene merupakan jalan usaha tani). Dengan luas kepemilikan lahan yang besar dan terpusat pada satu lokasi, membuat produktivitas pertanian Jepang tinggi. Reforma agraria bagi petani Indonesia dapat diartikan sebagai upaya untuk memperluas lahan usaha tani bagi petani pemilik atau memberikan lahan untuk usaha tani bagi petani penggarap. Bagi petani pemilik yang mempunyai lahan kurang dari dua hektar diberikan kemudahan untuk memperoleh tanah negara yang peruntukannya untuk pertanian. Sedangkan bagi petani yang menggarap lahan pertanian selama lima tahun berturut-turut berhak memperoleh lahan pertanian seluas maksimal empat hektar. Lahan pertanian tersebut bisa lahan yang sedang digarap atau lahan di kawasan pertanian lain. Namun, lahan tersebut harus dikelola secara bersama-sama oleh kelompok petani, dan berupa hak pakai atau hak guna usaha.

3

Pakpahan, A. 2004. Petani Menggugat. Hal. 191. Ibid. Hal. 209 – 210. 5 Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan. Hal. 46. 4

Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012

Juni, 2012

Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Kelembagaan Lembaga yang mengatur mengenai urusan pertanian dan pangan dibatasi hanya pada: kementerian yang mengurusi produksi, dalam hal ini adalah Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan; Badan Ketahanan Pangan; Dewan Ketahanan Pangan; dan Perum Bulog. Walaupun sudah terbentuk cukup lama, lembaga ini tidak mampu mencapai kedaulatan pangan nasional. Impor pangan selalu meningkat, harga pangan tinggi, ketidaktersediaan pangan, dan petani yang miskin merupakan indikasi dari ketidakberdaulatan pertanian dan pangan nasional. Pengelolaan pertanian dan pangan bersifat lintas sektor dan memerlukan tindakan nyata dalam pengelolaan pangan secara nasional. Perum Bulog tidak bisa ditempatkan sebagai Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perusahaan Umum, mengingat Perusahaan Umum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Permasalahannya adalah Perum juga bertujuan untuk mengejar keuntungan, sementara pangan sebagai kebutuhan dasar rakyat harus dapat diperoleh dengan harga terjangkau. Semestinya Perum Bulog dalam melakukan kegiatannya adalah untuk pelayanan publik bukan untuk mengejar keuntungan. Oleh karena itu, kehendak untuk membentuk Kementerian Pangan dengan menyatukan Badan Ketahanan Pangan dan Dewan Ketahanan Pangan diharapkan bisa menjawab permasalahan tersebut. Bulog dikembalikan menjadi Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, keterlibatan swasta dalam kelembagaan pangan diperlukan, terutama untuk pengelolaan cadangan pangan. Menurut Syahyuti (2011), swasta memiliki dua ciri pokok, yaitu semangat mengejar keuntungan dan posisinya yang bebas dari control negara. Swasta selalu dapat hidup dan bertahan bahkan di negara sosialis-komunis sekalipun. Persepsi terhadap peranan swasta dalam ketahanan dan kedaulatan pangan selama ini cukup beragam. Khusus di Indonesia, berbagai persepsi negatif berkembang terhadap swasta, misalnya berkaitan dengan perannya sebagai pengimpor beras illegal yang merusak pasar beras dalam negeri, pedagang beras besar yang sering mempermainkan harga, dan menjatuhkan harga yang diterima petani. Dengan kemampuannya yang besar secara ekonomi dan politik, swasta dikhawatirkan akan menyingkirkan petani terutama petani kecil. Pengendalian Harga Harga merupakan sinyal bagi petani untuk memasuki pasar atau melakukan produksi. Sedangkan dari sisi konsumen, harga adalah nilai yang tepat untuk melakukan pembelian terhadap produk atau jasa. Dalam produk pertanian terdapat barang substitusi, tetapi apabila tidak ada pilihan, maka konsumen tetap harus membeli. Oleh karena itu, tetap harus dilihat titik keseimbangan yang tepat. Pada komoditas padi dan beras, pemerintah telah menerapkan kebijakan harga dasar, harga atap, dan harga pembelian pemerintah. Namun demikian dalam 4

Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012

Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Juni, 2012

pelaksanaannya cenderung tidak tepat sasaran dan banyak dimanfaatkan oleh rent seeker. Oleh sebab itu paradigma menentukan harga komoditas pertanian sebenarnya mulai banyak ditinggalkan dan hal yang lebih realistis bagi pemerintah saat ini adalah menciptakan kodisi harga yang menguntungkan khususnya bagi petani dan harga yang realistis bagi konsumen. Menurut Ellis (1992), salah satu tujuan kebijakan harga pertanian adalah menstabilkan harga untuk mengurangi ketidakpastian usahatani, menjamin harga pangan stabil bagi konsumen, dan stabilitas harga di tingkat makro. Selanjutnya dikatakan, kebijakan harga pertanian dapat dilakukan melalui berbagai instrumen, yaitu kebijakan perdagangan, kebijakan nilai tukar, pajak dan subsidi, serta intervensi langsung. Secara tidak langsung stabilisasi harga dapat juga dilakukan melalui kebijakan pemasaran output dan kebijakan input. Kebijakan input antara lain berupa subsidi harga sarana produksi yang diberlakukan Pemerintah terhadap pupuk, benih, pestisida, dan bunga kredit. Cadangan Pangan Produksi pangan pada saat ini tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan saja namun juga digunakan sebagai salah satu alternatif pembuatan bahan bakar. Pemerintah harus mengutamakan produksi pangan untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Jika kondisi ketersediaan pangan sudah tercukupi, produksi pangan baru dapat digunakan untuk kepentingan yang lain. Sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri, cadangan pangan, dan pemasukan pangan dari luar negeri. Cadangan pangan nasional merupakan jumlah pangan yang harus tersedia setiap saat di Wilayah Negara Republik Indonesia, dan dapat segera dikonsumsi dengan harga yang wajar dan terjangkau masyarakat. Cadangan pangan Pemerintah terdiri atas cadangan pangan pemerintah desa, cadangan pangan pemerintah kabupaten/kota, cadangan pangan pemerintah provinsi, dan cadangan pangan pemerintah pusat. Cadangan pangan Pemerintah dikelola oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Cadangan pangan daerah khususnya cadangan pangan pemerintah desa yang dilaksanakan beberapa provinsi dan kabupaten/kota didasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2008 (Dewan Ketahanan Pangan, 2011). Cadangan pangan yang dikuasai oleh pemerintah, pedagang maupun rumah tangga masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Cadangan pangan yang dikuasai pemerintah berfungsi untuk: 1) melakukan operasi pasar murni dalam rangka stabilisasi harga, 2) memenuhi kebutuhan pangan akibat bencana alam atau kerusuhan sosial, 3) memenuhi jatah beras golongan berpendapatan tetap dalam hal ini TNI/Polri, dan 4) memenuhi penyaluran pangan secara khusus seperti program Raskin. Cadangan pangan yang dikuasai pedagang umumnya berfungsi untuk: 1) mengantisipasi terjadinya lonjakan permintaan, dan 2) mengantisipasi terjadinya keterlambatan pasokan pangan. Sementara itu, cadangan pangan yang dikuasai oleh rumah tangga baik secara individu maupun secara kolektif berfungsi untuk: 1) mengantisipasi terjadinya kekurangan bahan pangan pada musim paceklik, dan 2) mengantisipasi ancaman gagal panen akibat Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012

Juni, 2012

Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

bencana alam seperti serangan hama dan penyakit, anomaly iklim, dan banjir (Rachman, et al. 2005). Bulog sebagai penyangga pangan nasional harus mampu menyerap beras di tingkat petani. Harga yang ditetapkan oleh Pemerintah harus terjangkau oleh Bulog, sehingga Bulog dengan sukarela membeli beras petani. Peraturan Perundang-Undangan Kedaulatan pangan harus dijadikan tujuan dari pembentukan undang-undang di bidang pertanian. Konsep kedaulatan pangan lebih mengutamakan bagaimana pangan ditentukan oleh komunitas secara mandiri, berdaulat, dan berkelanjutan. Kedaulatan pangan adalah hak setiap orang, kelompok-kelompok masyarakat dan setiap negara untuk menentukan sendiri kebijakan pertanian, ketenagakerjaan, pangan, dan tanah yang berwawasan ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya yang sesuai dengan kondisi khas dan kedaerahan mereka. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum mengarah kepada pencapaian kedaulatan pangan, antara lain : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria 2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan UndangUndang Nomor 38 Prp. Tahun 1960 tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk Tanaman-Tanaman Tertentu 3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan 5. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman 6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian) 7. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 8. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan 9. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura Pada masa persidangan IV Tahun Sidang 2011 – 2012, DPR dan Pemerintah sedang membahas RUU tentang Pangan, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, dan sedang menunggu pembahasan RUU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Kedua RUU ini memberikan perubahan besar untuk mengatasi permasalahan pertanian Indonesia, terutama terhadap ketidakberdaulatan pangan dan ketidakberdaulatan petani. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Reforma agraria merupakan redistribusi lahan kepada petani, berupa lahan yang tidak digunakan pemanfaatannya. Tahapan dalam redistribusi lahan ini adalah:

6

Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012

Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Juni, 2012

identifikasi terhadap lahan kosong, identifikast kelompok petani, dan pembangunan infrastruktur pertanian. Kelompok petani tersebut hanya diberikan hak guna usaha, dan tidak bisa dijaminkan untuk kepentingan diluar pengusahaan sektor pertanian. Peningkatan cadangan pangan dilakukan melalui pemberian kuasa kepada Bulog untuk membeli pangan pokok di tingkat masyarakat, sedangkan peran kelembagaan dilakukan oleh pemerintah melalui pembentukan Kementerian Pangan dan mengembalikan Bulog sebagai lembaga pemerintah non-kementerian. Pengendalian harga dilakukan dengan menetapkan harga pokok pembelian pemerintah diatas harga pasar untuk pangan strategis. Perlu dilakukan perubahan dan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kedaulatan pangan. DAFTAR PUSTAKA Arifin, B, 2005. Ekonomi Kelembagaan Pangan. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Dewan Ketahanan Pangan, 2011. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010 – 2014. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan. Ellis, F, 1992. Agricultural Policies In Developing Countries. Cambridge: Cambridge University Press. Ilham, N. dan H. Siregar, 2007. “Dampak Kebijakan Harga Pangan dan Kebijakan Moneter Terhadap Stabilitas Ekonomi Makro”. Jurnal Agro Ekonomi. Mei 2007. 25 (1): 55 – 83. Kementerian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta: Kementerian Pertanian. Khudori, 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan. Yogyakarta: Resist Book.

Nuryanti, S, 2010. “Peluang dan Ancaman Perdagangan Produk Pertanian dan Kebijakan Untuk Mengatasinya: Studi Kasus Indonesia dengan Australia dan Selandia Baru”. Analisis Kebijakan Pertanian. September 2010. 8 (3): 221 – 240. Pakpahan, A, 2004. Petani Menggugat. Bogor: Penerbit Max Havelaar Indonesia Foundation dan Gapperindo. Rachman, H.P.S., A. Purwoto, dan G. S. Hardono, 2005. “Kebijakan Pengelolaan Cadangan Pangan pada Era Otonomi Daerah dan Perum Bulog”. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Desember 2005. 23 (2): 73 – 83. Syahyuti, 2011. “Paradigma Kedaulatan Pangan dan Keterlibatan Swasta: Ancaman Terhadap Pendekatan Ketahanan Pangan (?)”. Analisis Kebijakan Pertanian. Maret 2011. 9 (1): 1 – 18. Tambunan, T, 2006. Apakah Pertumbuhan di Sektor Pertanian Sangat Krusial bagi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia? Jakarta: Kadin Indonesia-JETRO.

Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012