AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH

Download Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Ekstrak .... adalah daunnya, kandungan daun sirih antara lain saponin, polifeno...

0 downloads 686 Views 2MB Size
AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH HIJAU (Piper betle Linn.)DALAM MEMPERCEPAT PROSES PERSEMBUHAN LUKA PADA TIKUS

TIZANI QISTHINA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.) dalam Mempercepat Proses Persembuhan Luka pada Tikus adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2013 Tizani Qisthina NIM B04080087

ABSTRAK TIZANI QISTHINA. Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.) dalam Mempercepat Proses Persembuhan pada Tikus. Dibawah bimbingan BAYU FEBRAM PRASETYO dan MAWAR SUBANGKIT. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji aktivitas ekstrak daun sirih hijau untuk proses persembuhan luka eksisional kulit pada tikus Sprague-Dawley berdasarkan pengamatan makroskopis dan mikroskopis (termasuk histopatologi dan preparat sentuh). Dalam keadaan aseptis,empat buah luka paravertebral dengan luas 1cm2 dilakukan pada punggung 9 ekor tikus jantan. Setiap luka diobati dengan perlakuan yang berbeda. Perlakuan yang diberikan adalah kontrol, plasebo, salep komersial, dan ekstrak etanol daun sirih hijau. Potongan histopatologi dari spesimen jaringan diwarnai oleh hematoxylindan eosin dan dievaluasi pada hari ketujuh minggu pertama dan hari ketujuh minggu kedua setelah operasi. Preparat sentuh diwarnai oleh Giemsa dan dievaluasi pada hari ketiga dan kesepuluh setelah operasi. Parameter dari histopatologi adalah reepitelisation, fibroblas, kongesti, perdarahan, pembentukan keropeng, infiltrasi sel radang, pembentukan folikel rambut, dan edema. Setelah itu, specimen dikelompokkan dalam fase persembuhan luka. Parameter dari preparat sentuh adalah kehadiran sel-sel radang. Data disajikan secara deskriptif sebagai data kuantitatif. Pengamatan makroskopis menunjukan bahwa diameter luas luka ekstrak etanol daun sirin hijau mengecil lebih cepat dibandingkan perlakuan lainnya. Hasil skoring pada luka ekstrak etanol daun sirih hijau pada hari ketujuh minggu pertama dan hari ketujuh minggu ke dua menunjukan luka telah memasuki fase maturasi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Preparat sentuh menunjukan bahwa luka yang diobati dengan ekstrak etanol daun sirih hijau menghadirkan sel radang pada hari pertama. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa luka yang diobati dengan ekstrak etanol daun sirih hijau sembuh lebih cepat dari pada pengobatan lainnya. Kata kunci: ekstrak etanol daun sirih hijau, tikus, persembuhan luka.

ABSTRACT TIZANI QISTHINA. Activity of Betel Leaf Extract (Piper betle Linn.) in Accelerating Wound Healing Process of Rats. Under the direction of BAYU FEBRAM PRASETYO and MAWAR SUBANGKIT. The aim of this study was to examine the activity of betel ethanol extract for abration skin wound healing process in Sparague-Dawley rats based on gross and microscopic observation (including histopatological and touch specimen). Under aseptic conditions four paravertebral full thickness skin incision performed on the back of 9 male rats. Every wounds were treated with different treatments. The treatments were control, placebo, commercial ointment, and extract betel. Histopatological section from tissue specimens were stained by hematoxylin and eosin and evaluated on first seven days and second seven days after surgery. Touch specimens were stained by Giemsa and evaluated on fourth and tenth day after surgery. The parameters of histopatological are reepitelization, fibroblas, congestion, bleeding, scrab formation, infiltration of inflammatory cell, hair follicle formation, and edema. Afterward, the specimens were grouped in phase of wound healing. Specimens touch parameter was the presence of inflammatory cells. The data were presented descriptively as quantitative data. Macroscopic appearances show that diameter extensive of betel ethanol extract wounds were decrease faster than other treatments. Scoring results of wounds who treated with betel ethanol extract in first seven days and second seven days show that wounds have entered maturation phase compared to other treatment. The specimens touch show that wounds who treated with betel ethanol extract were presenting inflammatory cells in first seven days. The results of this study show that wounds who treated with betel ethanol extract were recover faster than other treatment. Keywords: betel ethanol extract, rats, wound healing.

AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH HIJAU (Piper betle Linn.) DALAM MEMPERCEPAT PROSES PERSEMBUHAN LUKA PADA TIKUS

TIZANI QISTHINA

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

JudulSkripsi :Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.) dalam Mempercepat Proses Persembuhan Luka pada Tikus Nama : Tizani Qisthina NIM : B04080097

Disetujui oleh

Bayu Febram P Msi Ssi Apt Pembimbing I

drh Mawar Subangkit Pembimbing II

Diketahuioleh

drh H Agus Setyono MS PhD APVet Wakil Dekan FKH IPB

Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Aktivitas Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn) dalam Mempercepat Proses Persembuhan Luka pada Tikus”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Rasa terima kasih penulis berikan kepada Bapak Bayu Febram P MSi SSi Apt dan drh Mawar Subangkit sebagai dosen pembimbing atas segala bimbingan, masukan, ilmu, dan kesabaran yang diberikan selama penelitian dan penyusunan skipsi ini. Disamping itu, penulis juga berterima kasih kepada drh Dewi Ratih Agungpiyono PhD APVet selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan arahan selama ini. Ucapan terimakasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada keluarga tercinta (mama, papa, Senna, Reizel, dan bude Ira) atas segala dukungan, kasih sayang, dan semangat yang selalu diberikan setiap saat. Terima kasih kepada Pak Kasnadi, Pak Endang, Pak Soleh, dan Bibi atas waktu, bantuan, ilmu, dan kebersamaan selama penelitian dan penulisan skipsi ini dilakukan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pkan dan sahabat-sahabat tercinta yakni: Irene (yang juga sebagai teman sepenelitian), Eva, Keisya, Cece, Arini, Vivit, Ayu, Yayuk, Anita, d’Kandang 186 (Adya, Ismi, Gadiez).temanteman serumah tersayang (Haney, Dhia, Afifah, Kak Fiza, Nisa, Kak Timi), dan teman-teman Avenzoar 45 atas segala kebersamaan. Skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, Penulis terbuka menerima kritik dan saran yang membangun guna penulisan selanjutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk kita semua.

Bogor, Januari 2013 Tizani Qisthina

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Daun sirih hijau Persembuhan Luka MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Hewan Percobaan dan Perlakuan Ekstraksi Daun sirih hijau Pembuatan Histopatologi dan Preparat Sentuh Pengamatan Patologi Anatomi dan Histopatologi Analisa Data HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan Minggu Pertama Pengamatan Minggu Kedua SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP

vi vi vi 1 1 1 1 2 2 3 4 4 4 5 5 5 6 6 6 7 12 16 16 16 17 19

DAFTAR TABEL 1 Tabel Hasil Pengamatan Minggu Pertama pada Tikus 2 Tabel Hasil Pengamatan Minggu Kedua pada Tikus

8 12

DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Daun sirih hijau hijau Fase persembuhan luka Jadwal perlakuan pada tikus Kandang modifikasi Elisabeth collar Luka pada punggung tikus Preparat sentuh Grafik presentasi fase persembuhan luka minggu pertama Grafik skoring persembuhan luka minggu pertama Histopatologi keberadaan sel radang minggu pertama Histopatologi persembuhan luka minggu pertama Grafik presentasi fase persembuhan luka minggu kedua Grafik skoring persembuhan luka minggu kedua Histopatologi fase persembuhan luka minggu kedua

2 4 6 7 7 7 7 8 8 9 11 13 13 14

1  

PENDAHULUAN Latar Belakang Persembuhan luka merupakan salah satu masalah dalam bidang kesehatan yang dari waktu ke waktu terus berkembang. Perlukaan banyak terjadi di bagian permukaan tubuh yakni kulit. Hal ini dikarenakan kulit merupakan lapisan terluar dari tubuh yang berfungsi sebagai pelindung tubuh. Kerusakan kulit atau jaringan yang menimbulkan bekas permanen merupakan masalah yang membutuhkan penanganan serius. Berbagai jenis obat dengan berbagai jenis merek dagang telah memberikan solusi terhadap penanganan luka. Obat luka yang beredar di pasaran merupakan obat yang berasal dari bahan kimia yang dapat menimbulkan efek samping yang kurang menguntungkan seperti alergi. Obat luka tersebut tidak jarang pula menimbulkan efek tidak nyaman dan rasa perih ketika digunakan. Obat-obatan yang sering digunakan umumnya berupa desinfektan yakni iodine dan sediaan salep yang berisi antibiotik seperti neomycin sulfat. Harganya yang relatif mahal dengan ukuran yang minimalis dari obat luka tersebut sangat memberatkan masyarakat. Sejak dulu masyarakat Indonesia banyak menggunakan bahan alam sebagai obat untuk berbagai penyakit termasuk persembuhan luka. Tanaman sirih (Piper betle Linn.) sudah lama digunakan sebagai obat. Bagian tanaman yang digunakan adalah daunnya, kandungan daun sirih antara lain saponin, polifenol, minyak atsiri, dan flavonoid (Widiastuti 2001). Saponin, flavonoid, alkaloid, dan tanin merupakan senyawa yang diperlukan dalam menunjang proses persembuhan luka. Manfaat sirih sebagai obat persembuhan luka sendiri belum banyak dilakukan. Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian mengenai peran sirih dalam mempercepat persembuhan luka. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara ilmiah manfaat ekstrak daun sirih terhadap proses persembuhan luka melalui pengamatan patologi anatomi dan histopatologi, serta membandingkan efektifitasnya terhadap sediaan komersil terhadap kecepatan persembuhan luka.

Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan membuktikan bahwa sirih memiliki efektivitas untuk mempercepat proses persembuhan luka. Selain itu, diharapkan ekstrak daun sirih ini dapat menjadi obat alternatif yang efektif, aman bagi lingkungan, dan terjangkau masyarakat umum dalam menangani luka.

2   

TINJAUAN PUSTAKA Daun Sirih Sirih (Piper betle Linn.) merupakan tanaman herbal paranial, berdaun tunggal dengan letak daun alternet, bentuk bervariasi dari bundar telur sampai oval, ujung runcing, pangkal daun berbentuk jantung, dan agak bundar asimetris (Rosman dan Suhirman 2006). Berdasarkan Pallavi et al. (2012), sirih (Piper betle Linn.) adalah tanaman yang termasuk dalam keluarga Piperaceae, subordo Nymphaeiflloraea, ordo Piperale, dan genus Piper. Genus piper terdiri dari sekitar 10 genus, dan 2000 spesies. Genus Piper sebagian besar tersebar di daerah tropis dan subtropis. Syukur dan Hernani (2002) mendeskripsikan tanaman sirih sebagai tanaman yang berbatang lunak, bentuk bulat, beruas-ruas, beralur-alur, dan berwarna hijau abu-abu. Daun berbentuk tunggal, letak daun berseling, bentuk bervariasi dari bundar sampai oval, ujung runcing, pangkal berbentuk jantung atau bundar asimetris, tepi rata, permukaan rata, dan pertulangan menyirip. Warna bervariasi dari kuning, hijau sampai hijau tua, dan bau aromatis.

Gambar 1 Daun sirih hijau yang digunakan sebagai sediaan ekstrak (sumber: http://www.fay-potatos.co.cc/2010/09/manfaat-daun-sirih.html)

Piper betle Linn. dibudidayakan di India, Srilanka, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Afrika Timur. Bagian dari tanaman sirih yang digunakan adalah daun, akar, batang, tangkai, dan buah (Vikash et al. 2012). Di Indonesia terdapat beberapa jenis sirih yaitu sirih jawa, sirih kuning, sirih banda, sirih cengkih, dan sirih hitam atau sirih keling (Moeljanto dan Damayanti 2003). Daun sirih mengandung minyak atsiri yaitu fenol (eugenol, kavikol, estragol), kavibetol, dan alkaloid (Teo dan Banka 2000). Selain itu daun sirih juga mengandung tanin, gula, dan amilum (Syukur dan Hernani, 2003). Daun sirih memiliki aktivitas seperti antidiabetes, antiulcer, agregasi antiplatelet, antifertilitas, kardiotonik, antitumor, antimutagenik, depresant pernapasan, dan anthelmentik, segala macam yang dibutuhkan dalam persembuhan luka (Vikash et al. 2012). Saponin dalam sirih berfungsi sebagai pemacu pembentukan kolagen, sedangkan flavonoid dalam sirih berfungsi sebagai antiinflamasi dan antibakteri (Prahastuti dan Tambunan 2004). Flavonoid juga berfungsi menurunkan permeabilitas kapiler sehingga perdarahan kapiler dapat dicegah serta kerapuhan dan kerusakan kapiler dapat diperbaiki (Wardhana et al. 2001). Peningkatan jumlah makrofag dapat disebabkan oleh kandungan flavonoid yang berfungsi meningkatkan sistem imun tubuh (imunostimulator) (Mills dan Bone 2000) dan juga karena kandungan saponin adalah senyawa surfaktan yang mempunyai sifat imunostimulator

3  

(Widowati 2004). Flavonoid mempunyai respon biologi secara alami. Flavonoid juga dapat berfungsi juga sebagai anti inflamasi (peradangan) dan antioksidan yang dapat melindungi tubuh dari radikal bebas. Selain itu flavonoid juga dilaporkan dapat meningkatkan fungsi sel pertahanan (Middelton et al. 2000).

Persembuhan Luka Persembuhan luka melibatkan serangkaian komplek interaksi antara jenis sel yang berbeda, seperti sitokin mediator, dan matriks ekstraseluler (MacKay dan Miller 2003). Persembuhan luka dimulai dari saat cedera dan dapat berlanjut menjadi berbagai periode waktu, tergantung pada derajat perlukaan. Pada setiap kejadian luka, normalnya mekanisme tubuh akan mengupayakan mengendalikan komponen-komponen jaringan yang rusak tersebut dengan membentuk struktur baru dan fungsional sama dengan keadaan sebelumnya. Namun banyak faktor yang mempengaruhi proses persembuhan luka antara lain : (1) kemampuan tubuh untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh luasnya kerusakan dan keadaan umum kesehatan tiap orang; (2) respon tubuh pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap dijaga; (3) respon tubuh secara sistemik pada trauma; (4) aliran darah kedalam dari jaringan yang luka; (5) keutuhan kulit dan mukosa membran disiapkan sebagai garis pertama untuk mempertahankan diri dari mikroorganisme; dan (6) penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka bebas dari benda asing tubuh termasuk bakteri. Persembuhan luka dapat diganggu oleh adanya benda asing atau jaringan nekrotik di dalam luka, adanya infeksi pada luka, dan perpindahan serta pendekatan tepi luka yang tidak sempurna (Tawi 2008). Tujuan dalam manajemen luka adalah untuk mempercepat proses persembuhan luka, meminimalkan rasa sakit dan ketidaknyamanan, dan menghilangkan jaringan parut pada pasien. Dalam proses persembuhan luka, gizi berperan dalam proses persembuhan dan penting bagi persembuhan luka. Berbagai penelitian dilakukan mengenai berbagai nutrisi pendukung bagi persembuhan luka. Nutrisi pendukung yang terlibat dalam regenerasi jaringan yaitu, vitamin A, vitamin C, vitamin E, seng, arginin, glutamin, dan glukosamin (MacKay dan Miller 2003). Proses persembuhan luka dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu inflamasi, proliferasi, dan akhirnya tahap renovasi (maturasi) yang menentukan potensi dan penampilan yang disembuhkan jaringan (Enoch dan Leaper 2008). Tahap inflamasi dimulai segera setelah cedera yang biasanya berlangsung antara 24 dan 48 jam dan mungkin bertahan sampai 2 minggu dalam beberapa kasus. Fase ini ditandai dengan vasokonstriksi dan agregasi platelet untuk mendorong darah pembekuan dan kemudian vasodilatasi dan fagositosis untuk menghasilkan peradangan pada situs luka (Alam et al. 2011). Respon inflamasi meningkatkan permeabilitas vaskular, sehingga menyebabkan migrasi netrofil dan monosit ke jaringan sekitarnya. Netrofil menelan sel debris dan mikroorganisme, memberikan garis pertahanan pertama terhadap infeksi. Netrofil migrasi berhenti setelah beberapa hari pertama pasca-cedera jika luka tidak terkontaminasi (MacKay dan Miller 2003).

4   

Gambar 2 Fase Persembuhan Luka. (Sumber: Gradisa 2011)

Tahap kedua adalah fase fibroblas atau proliferasi yang berlangsung selama 2 hari sampai 3 minggu setelah fase inflamasi. Fase ini terdiri dari tiga langkah yaitu, granulasi, kontraksi, dan epitelisasi. Pada tahap granulasi, fibroblas membentuk kolagen dasar dan kapiler baru (Alam et al. 2011). Faktor kemotaktik dan pertumbuhan yang dilepaskan dari trombosit dan makrofag merangsang migrasi dan aktivasi fibroblas yang menghasilkan berbagai zat penting untuk perbaikan luka, termasuk glycosaminoglycans (terutama asam hyaluronic, chondroitin- 4-sulfat, sulfat dermatan, dan sulfat heparan) dan kolagen (MacKay dan Miller 2003). Tahap terakhir adalah maturasi. Tahap terakhir ini berlangsung selama 3 minggu sampai 2 tahun. Kolagen baru terbentuk dalam fase ini. Kekuatan regangan jaringan ditingkatkan dari kolagen melalui vitamin-C bergantung hidroksilasi. Bekas luka merata dan jaringan bekas luka menjadi 80% sekuat aslinya (Alam et al. 2011).

MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2012 sampai dengan bulan Agustus 2012 di Laboratorium Patologi dan Laboratorium Farmasi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan antara lain kandang panggung disertai kawat penutup, peralatan bedah minor, dan kertas film untuk Elizabeth collar. Peralatan untuk membuat sediaan histopatologi yaitu automatic tissue processor, pencetak parafin, blok parafin, tissue cassette, penangas air, gelas objek, gelas penutup, dan mikrotom. Pengamatan histopatologi dilakukan dengan menggunakan mikroskop. Bahan-bahan yang digunakan adalah ekstrak daun sirih yang diperoleh melalui metode ekstraksi dengan pelarut etanol 70%, sediaan komersial berisi klorampenikol, plasebo dari akuades, rivanol, eter untuk euthanasia, larutan

5  

buffered neutral formalin (BNF) 10% untuk fiksasi kulit, ketamin dan xylazine untuk anastesi, dan kapas. Bahan yang digunakan untuk membuat sediaan histopatologi yaitu larutan Mayer’s Haematoksilin, larutan Eosin, xylene, etanol dengan konsentrasi bertingkat, larutan lithium carbonate, dan parafin.

Hewan Percobaan dan Perlakuan Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus jantan dengan strain Sparague-Dawley (SD) sebanyak 9 ekor yang berumur ± 2 bulan dan memiliki bobot badan 200-250 g. Sebanyak 9 ekor tikus dibagi dalam 3 kandang. Sebelum perlukaan, seluruh tikus dibebaskan dari bakteri dan parasit dengan memberikan obat antibiotik, antiprotozoa, dan anthelmentik. Pada hari pertama tikus diberikan albendazole secara peroral melalui minuman kemudian diberikan kembali pada hari kedelapan. Pada hari kedua sampai dengan hari keenam tikus diberikan amoxan® yang juga diberikan secara peroral melalui air minum. Pada hari ketujuh tikus diberikan metronidazole kemudian diistirahatkan selama seminggu dan kemudian diberikan ivermectin. Perlukaan dilakukan dengan menganastesi tikus menggunakan ketamin dan xylazine terlebih dahulu, kemudian rambut di punggung tikus digunting sampai bersih. Perlukaan dilakukan dengan menggunting kulit dengan pola persegi berukuran 1 cm2 hingga subkutan. Masing-masing tikus dilukai sebanyak 4 buah luka yakni 2 buah luka di bagian kiri dan kanan. Perlukaan dilakukan pada kulit punggung dengan tujuan sulit dijangkau tikus, sedikit jumlah otot, pembuluh darah, dan saraf sehingga perlukaan dapat diorientasikan pada kulit karena umumnya luka pada otot memiliki waktu persembuhan yang lebih lama dari pada kulit. Kemudian tikus diberikan Elizabeth collar. Keempat luka diberikan perlakuan yang berbeda. Luka pada bagian kiri atas merupakan kontrol. Luka pada kanan atas diberikan plasebo berupa akuades. Obat komersial diberikan pada luka bagian kiri bawah sedangkan ekstrak etanol daun sirih diberikan pada luka bagian kanan bawah. Obat diberikan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore secara topikal di bagian luka selama 2 minggu. Pengambilan sampel dilakukan pada hari ke7 sebanyak 4 ekor tikus dan ke 14 sebanyak 5 ekor tikus. Preparat sentuh diambil pada hari ke 3 dan ke 10.

Ekstraksi Daun Sirih Ekstraksi daun sirih hijau dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro). Pembuataan sediaan ekstrak daun sirih meliputi proses sortasi, penjemuran daun sirih hingga kering, maserasi menggunakan pelarut etanol 70%, dan evaporasi. Ekstrak didapat sebanyak 31 g/20ml (atau setara dengan 1,55 g/ml) dari 1 kg daun sirih kering. Pembuatan Histopatologi dan Preparat Sentuh Pembuatan histopat dilakukan melalui tiga tahap yakni fiksasi, dehidrasi, dan pewarnaan. Fiksasi dilakuan dengan merendam potongan organ kedalam BNF

6   

10% selama kurang lebih 24 jam. Kemudian dilakukan dehidrasi menggunakan etanol bertingkat, xylene, dan dimasukan kedalam paraffin dan diblok. Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan pewarnaan haematoxylin and eosin. Preparat sentuh diambil dengan menekankan object glass pada setiap luka kemudian direndam dalam metanol selama 5 menit dan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa. Pengambilan preparat ini bertujuan untuk mengamati keberadaan netrofil pada setiap luka.

Gambar 3 Jadwal Perlakuan pada Tikus

Pengamatan Patologi Anatomi dan Histopatologi Pengamatan patologi anatomi dilakukan setiap hari mulai dari hari ke 1 hingga hari ke 14 setelah perlukaan pada semua tikus perlakuan dan kontrol dengan metode deskriptif semikuantitatif. Kondisi luka diamati dengan parameter luka kering atau basah. Pengamatan dilakukan dengan mengukur luas persembuhan luka pada hari ke 14, mengamati kondisi luka, dan pengamatan mikroskopis yang meliputi pengamatan histopatologi dan kehadiran netrofil. Pengamatan histopatologi menggunakan metode skoring dengan mengelompokan proses persembuhan yang telah dilewati oleh luka tersebut.

Analisis Data Data pengamatan patologi anatomi dan histopatologi dianalisis dengan metode deskriptif semikuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan hewan coba tikus jantan strain Sprague-Dawley. Pemilihan tikus sebagai hewan coba dilakukan berdasarkan pertimbangan utama yaitu tikus merupakan hewan coba laboratorium yang mudah diperoleh dan relatif mudah dalam pemeliharaannya. Selain itu tikus memiliki daya tahan yang tinggi terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan. Sedangkan penggunaan tikus jantan dilakukan untuk menghindari adanya pengaruh siklus estrus dan hormonal terhadap persembuhan luka. Tikus kemudian dipelihara dalam kandang panggung dengan bagian bawah

7  

panggung diberi sekam. Hal ini bertujuan agar tikus tidak berkontak langsung dengan urin atau kotoran yang mungkin akan mengkontaminasi luka yang akan mempengaruhi hasil penelitian. Masing-masing tikus diberikan Elizabeth Collar untuk mencegah tikus menjilati luka. Luka yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis luka terbuka. Luka diberikan dengan bentuk persegi berukuran 1 cm2 pada punggung sebanyak 4 buah yakni 2 buah luka di bagian kiri dan kanan. Perlukaan dilakukan pada kulit punggung dengan tujuan sulit dijangkau tikus, sedikit pembuluh darah, dan saraf sehingga perlukaan dapat diorientasikan pada kulit. Bentuk luka berupa kotak dilakukan untuk memperjelas luas persembuhan luka. Luka pada masing-masing tikus diberikan sebanyak empat buah bertujuan untuk mencegah respon individual.

Gambar 5 (A) Kandang tikus yang telah dimodifikasi menggunakan panggung, (B) penggunaan Elisabeth collar untuk mencegah tikus menjilati punggungnya, (C) tikus yang telah dilukai di punggung sebanyak 4 buah, dan (D) pengambilan preparat sentuh.

Pengamatan Minggu Pertama Pengamatan pada minggu pertama dilakukan dengan mengamati patologi anatomi, keberadaan netrofil, dan pengamatan mikroskopis. Patologi Anatomi dilakukan dengan menghitung luas luka pada hari pertama dengan menggunakan aplikasi MacBiophotonic ImageJ® dan kondisi luka. Keberadaan netrofil dilihat dengan menggunakan preparat sentuh yang diambil pada hari ke 3. Metode ini digunakan karena luka yang terjadi tidak sistemik. Sedangkan gambaran makroskopis dilakukan dengan mengamati histopatologi. Parameter yang diamati adalah keberadaan netrofil, makrofag, edema, kerusakan epitel, fibroblas, neovaskularisasi, reepitelisasi, dan kontraksi luka. Kemudian hasil pengamatan

8   

tiap kelompok perlakuan dihitung dan dikelompokan dalam fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase maturasi. Hasil pengelompokan kemudian diberikan skor. Tabel 1 Hasil Pengamatan Minggu Pertama pada Tikus Gambaran Mikroskopis3 (%)

Patologi Anatomi Perlakuan

Rataan Luas1 (mm2)

Basah

Kering

Keberadaan Netrofil2

Inflamasi

Proliferasi

Maturasi

Skoring4

Kontrol 100±0 9/9 0/9 0/9 100 1.00 Sirih 100±0 9/9 0/9 9/9 25 75 2.75 Salep 100±0 9/9 0/9 0/9 100 1.00 Plasebo 100±0 9/9 0/9 0/9 25 75 1.75 Keterangan : (1) Rataan luas luka dihitung pada hari pertama perlukaan dengan menggunakan aplikasi MacBiophotonic ImageJ® (National Institute of Mental Health), (2) Keberadaan Netrofil dilakukan dengan mengamati preparat sentuh yang diambil pada hari ke 3; (3) Gambaran mikroskopis dilakukan dengan mengamati preparat histopatologi yang diambil pada hari ke 7; dan (4) Skoring diberikan berdasarkan standar 0 ≤ x ≤ 0.5 untuk belum sembuh, 0.6 ≤ x ≤ 1.5 untuk inflamasi, 1.6 ≤ x ≤ 2.5 untuk proliferasi, dan 2.6 ≤ x ≤ 3 untuk maturasi.

Secara normal proses persembuhan luka segera dimulai setelah terjadi perlukaan (Nayak 2006). Proses persembuhan luka dimulai dengan pembentukan fibrin untuk menutup luka serta infiltrasi sel radang terutama netrofil. Netrofil akan membersihkan area luka dari benda asing, sel- sel mati, dan bakteri serta mengeluarkan sitokinin seperti Epidermal Growth Factor (EGF), Plateledderived Growth Factor (GDGF), dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang mengaktifasi fibroblas lokal dan keratinosit. Infiltrasi netrofil hanya berlangsung beberapa hari, kemudian netrofil mati dan digantikan oleh makrofag. Makrofag berfungsi mempercepat persembuhan luka yang menyebabkan penurunan jumlah netrofil dan peningkatan jumlah makrofag (McGavin dan Zachary 2007). 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0

120% 100% 80% 60% 40% 20% 0% Inflamasi Proliferasi Maturasi Kontrol

Sirih

Salep

Placebo

Skoring Kontrol

Sirih

Salep

Maturasi

Grafik 1 Grafik kiri menggambarkan persentasi tahapan persembuhan luka kulit pada tikus di minggu pertama untuk setiap kelompok percobaan, sedangkan gambar kanan menggambarkan skoring dari setiap kelompok percobaan.

Proses netrofil memfagositosis adalah kemotaksis, perlekatan, penelanan, dan pencernaan. Netrofil masuk dalam jaringan yang luka dalam waktu yang sangat cepat dengan cara diapedesis dan bergerak melewati jaringan dengan

9  

gerakan ameboid dan gerakan netrofil ke area jaringan yang meradang di bawah pengaruh rangsangan kimiawi. Rangsangan kimiawi ini tidak hanya datang dari growth factors released yang berasal dari degranulasi platelets tetapi dari rangsangan yang dilepaskan oleh protein bakteri, dan rangsangan produk yang bersala dari proteolysis fibrin dan semua komponen matriks. Pada hasil pengamatan minggu ke 1, netrofil pada kelompok kontrol, plasebo, dan salep komersil sudah tidak terlihat. Hal ini dikarenakan luka telah memasuki fase proliferasi. Pada masa ini jumlah netrofil dan makrofag telah berkurang. Namun hasil berbeda nyata pada kelompok ekstrak etanol daun sirih. Pada kelompok ini keberadaan netrofil dapat ditemukan pada kesembilan pengulangan sediaan namun luka telah memasuki fase maturasi. Hal ini terjadi karena pada ekstrak etanol daun sirih terdapat flavonoid yang berfungsi dalam meningkatkan sistem imun (imunostimulator) yang ditandai dengan peningkatan jumlah netrofil dan makrofag (Mills dan Bone 2000) dan juga karena kandungan saponin adalah senyawa surfaktan yang mempunyai sifat imunostimulator (Widowati 2004). Kedua senyawa ini mempengaruhi rangsangan migrasi netrofil ke luka. Selain itu, kehadiran netrofil pada daerah luka dapat dipengaruhi oleh adanya produkproduk yang dilepaskan oleh bakteri dan sel- sel yang rusak atau mati (Kalangi 2004).

Gambar 7 Gambaran preparat sentuh pada tikus di minggu pertama (hari keempat). (A) Tidak ditemukan adanya netrofil pada kontrol, (B) hasil negatif juga ditemukan pada plasebo, (C) terdapat infiltrasi sel radang yang di dominasi oleh netrofil pada sirih, dan (D) tidak ditemukan adanya infiltrasi sel radang pada salep. (1) Miofibrin, (2) netrofil, dan(3) makrofag. (Pewarnaan Giemsa, Bar = 200 µm).

Hasil pengamatan HP pada minggu pertama didapati kelompok kontrol dan salep komersil berada dalam fase inflamasi. Pada kedua kelompok perlakuan ini

10   

masih ditemukan kongesti, perdarahan, dan netrofil. Netrofil mempunyai fungsi memfagositosis benda-benda asing seperti bakteri, fungi, protozoa, virus, dan selsel yang rusak atau mati. Netrofil mempunyai sifat memfagositosis secara cepat, tetapi cepat lelah (mati setelah memfagositosis) sehingga sering dianggap garis pertahanan pertama (McGavin dan Zachary 2007). Tahap inflamasi dimulai segera setelah cedera yang biasanya berlangsung antara 24 dan 48 jam dan mungkin bertahan sampai 2 minggu dalam beberapa kasus. Fase ini ditandai dengan vasokonstriksi dan agregasi platelet untuk mendorong pembekuan darah dan kemudian vasodilatasi dan fagositosis untuk menghasilkan peradangan pada situs luka (Alam et al. 2011). Kelompok kontrol merupakan kelompok perlakuan yang mengalami persembuhan luka secara fisiologis sehingga memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kelompok perlukaan lainnya. Sedangkan pada kelompok salep komersil, salep yang digunakan adalah salep antibakteri sehingga pada minggu pertama salep ini berperan dalam menghambat kontaminasi yang mungkin terjadi. Respon inflamasi meningkatkan permeabilitas vaskular, sehingga menyebabkan migrasi netrofil dan monosit ke jaringan sekitarnya. Netrofil menelan sel debris dan mikroorganisme, memberikan garis pertahanan pertama terhadap infeksi. Netrofil migrasi berhenti setelah beberapa hari pertama pasca-cedera jika luka tidak terkontaminasi (MacKay dan Miller 2003). Pada kelompok perlakuan plasebo dan ekstrak etanol daun sirih, masing masing telah memasuki fase proliferasi dan maturasi. Pada plasebo terlihat gambaran HP luka yang mulai menutup dan peningkatan jumlah fibroblas. Fase fibroblas atau proliferasi secara normal berlangsung selama 2 hari sampai 3 minggu setelah fase inflamasi. Fase ini terdiri dari tiga langkah yaitu, granulasi, kontraksi, dan epitelisasi. Pada tahap granulasi, fibroblas membentuk kolagen dasar dan kapiler baru (Alam et al. 2011). Faktor kemotaktik dan pertumbuhan yang dilepaskan dari trombosit dan makrofag merangsang migrasi dan aktivasi fibroblas yang menghasilkan berbagai zat penting untuk perbaikan luka (MacKay dan Miller 2003). Pada kelompok plasebo, tahap proliferasi yang terjadi adalah awal dari tahapan kontraksi. Kontraksi luka berasal dari miofibroblas yang merupakan sel kontraktil. Miofibroblas memperantarai kontraksi pada jaringan yang terlihat seperti otot (Kalangi 2004). Sedangankan pada kelompok perlakuan ekstrak etanol daun sirih, persembuhan luka terjadi sangat cepat. Hal ini diduga karena kandungan sirih yakni saponin dan flavonoid yang berperan dalam persembuhan luka. Saponin memiliki fungsi sebagai immunostimulator bagi persembuhan luka. Sedangkan flavonoid mempunyai respon biologi secara alami. Flavonoid juga dapat berfungsi juga sebagai antiinflamasi (peradangan) dan anti oksidan yang dapat melindungi tubuh dari radikal bebas. Selain itu flavonoid juga dilaporkan dapat meningkatkan fungsi sel pertahanan (Middelton et al. 2000). Flavonoid juga berfungsi menurunkan permeabilitas kapiler sehingga perdarahan kapiler dapat dicegah serta kerapuhan dan kerusakan kapiler dapat diperbaiki (Wardhana et al. 2001).

11  

Gambar 5 Gambaran hiistopatologi persembuhan luka l kulit padda tikus di miinggu pertamaa (hari ke-7). (A) Gambaran G HP dengan perb besaran 40 paada kelompokk perlakuan kontrol k mengalami fase f inflamasi, (B) gambarran HP dengaan perbesaran 40 pada kelo ompok perlakuan plaasebo mengalaami fase proliferasi, (C) gam mbaran HP deengan perbesaaran 40 pada kelomppok perlakuann ekstrak etan nol daun sirihh mengalami fase maturassi, (D) gambaran HP P dengan perbbesaran 40 paada kelompok salep mengalami fase infllamasi, (E) gambarann HP dengan perbesaran 20 00 pada kelom mpok plaseboo, dan (F) gam mbaran HP dengan perbesaran p 2000 pada kelom mpok ekstrak etanol daun sirih. (1) Kerropeng yang menutuupi epitel yaang hilang, (2) ( koloni neetrofil yang terdapat di bagian b subepidermall kulit, (3) pennebalan epitel (epitelisasi),, (4) perdarahhan pada epiteel yang hilang, (5) akkumulasi daraah di pembuluh darah (konggesti), (6) akuumulasi jaringaan ikat (fibroblas), (7) ( pembentukan pembulu uh darah baruu (neovaskulaarisasi). (Pewarnaan hematoxylin and a eosin, Baar = 200 µm).

12   

Pengamatan Minggu Kedua Pada minggu kedua, pengamatan Patologi Anatomi dilakukan dengan menghitung luas persembuhan luka pada hari ke 14 dengan menggunakan aplikasi MacBiophotonic ImageJ® dan kondisi luka. Keberadaan netrofil dilihat dengan menggunakan preparat sentuh yang diambil pada hari ke 10. Gambaran makroskopis dilakukan dengan mengamati histopatologi. Parameter yang diamati sama seperti minggu pertama. Tabel 1 Hasil Pengamatan Minggu Kedua pada Tikus Gambaran Mikroskopis3 (%)

Patologi Anatomi Perlakuan

Rataan Luas1 (mm2)

Basah

Kering

Keberadaan Sel Radang2

Inflamasi

Proliferasi

Maturasi

Skoring4

Kontrol 23.39±4.15 0/5 5/5 0/5 66,67 33,33 2.33 Sirih 10.12±3.51 0/5 5/5 0/5 11,11 88,89 2.89 Salep 19.19±0.45 0/5 5/5 0/5 40 60 2.60 Plasebo 8.54±2.98 0/5 5/5 0/5 50 50 2.50 Keterangan : (1) Rataan luas luka dihitung pada hari ke 14 perlukaan dengan menggunakan aplikasi MacBiophotonic ImageJ® (National Institute of Mental Health); (2) Keberadaan Netrofil dilakukan dengan mengamati preparat sentuh yang diambil pada hari ke 10; (3) Gambaran mikroskopis dilakukan dengan mengamati preparat histopatologi yang diambil pada hari ke 14; dan (4) Skoring diberikan berdasarkan standar 0 ≤ x ≤ 0.5 untuk belum sembuh, 0.6 ≤ x ≤ 1.5 untuk inflamasi, 1.6 ≤ x ≤ 2.5 untuk proliferasi, dan 2.6 ≤ x ≤ 3 untuk maturasi.

Berdasarkan perhitungan rataan luas luka hasil panen minggu kedua (hari ke 14), didapati bahwa keempat kelompok perlukaan menunjukkan terjadinya penutupan luka. Semakin kecil hasil perhitungan luas persembuhan luka menunjukkan penutupan luka yang semakin baik. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan luas luka awal dengan luas luka minggu ke 2. Luas luka pada kontrol minggu ke 2 menunjukkan nilai yang cukup besar dibandingkan dengan luas persembuhan luka kelompok yang lain, yakni 23.39mm2. Hal ini dikarenakan pada kelompok kontrol persembuhan luka terjadi secara fisiologis tanpa bantuan obat-obatan yang dapat mempercepat proses persembuhan luka. Menurut Tawi (2008), Pada setiap kejadian luka, normalnya mekanisme tubuh akan mengupayakan mengendalikan komponen-komponen jaringan yang rusak tersebut dengan membentuk struktur baru dan fungsional sama dengan keadaan sebelumnya.

13  

100%

3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0

80% 60% 40% 20% 0% Inflamasi Proliferasi Maturasi Kontrol

Sirih

Salep

Placebo

Skoring Kontrol

Sirih

Salep

Placebo

Grafik 2 Grafik kiri menggambarkan persentasi tahapan persembuhan luka kulit pada tikus di minggu kedua untuk setiap kelompok percobaan, sedangkan gambar kanan menggambarkan skoring dari setiap kelompok percobaan.

Luas luka dipengaruhi oleh kepadatan jaringan ikat yang akan membantu kontraksi luka untuk membuat kedua sisi luka tertarik dan luka menjadi semakin mengecil. Menurut Ama (2011) fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk jaringan baru (connective tissue matrix). Produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka (Tawi 2008). Pada luka kelompok plasebo, luas persembuhan menunjukkan persembuhan terbaik dari keempat kelompok lainnya, yakni 8.54 mm2. Namun penampakan luas luka secara makroskopis tidak menjamin kualitas dari persembuhan luka itu sendiri. Sehingga perlu ditinjau lebih lanjut dengan preparat histopatologi untuk mengetahui fase persembuhan yang telah dicapai. Selain itu, kualitas persembuhan luka juga dipengaruhi berbagai faktor seperti, jaringan yang terlibat, vaskularisasi, infeksi, gizi, umur, suhu, dan ukuran jaringan yang rusak. Vaskularisasi yang cukup merupakan hal yang penting dalam reaksi radang dan persembuhan, sedangkan daerah yang terhambat pasokan darahnya akan mengalami hambatan persembuhan (Chen et al. 2005). Pada kelompok ekstrak etanol daun sirih dan salep komersil, luas persembuhan luka menunjukkan nilai sebesar 10.12mm2 dan 19.19mm2. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun sirih memiliki kualitas untuk mempercepat persembuhan luka. Ekstrak etanol daun sirih mengandung sejumlah besar molekul bioaktif seperti polifenol, alkaloid, steroid, saponin, dan tanin. Daun sirih memiliki aktivitas seperti antidiabetes, antiulcer, agregasi antiplatelet, antifertilitas, kardiotonik, antitumor, antimutagenik, depresant pernapasan, dan anthelmentik, segala macam yang dibutuhkan dalam persembuhan luka (Vikash et al. 2012). Saponin dalam sirih berfungsi sebagai pemacu pembentukan kolagen, sedangkan flavonoid dalam sirih berfungsi sebagai antiinflamasi dan antibakteri (Prahastuti dan Tambunan 2004). Saponin dan tannin bersifat sebagai antiseptik pada luka permukaan, bekerja sebagai bakteriostatik yang biasanya digunakan untuk infeksi pada kulit, mukosa dan melawan infeksi pada luka. Flavonoid selain berfungsi sebagai bakteriostatik juga berfungsi sebagai anti inflamasi. Tanin merupakan senyawa yang mudah larut dalam air. Senyawa ini berkhasiat sebagai astringen yang mampu menciutkan luka, menghentikan pendarahan, dan mengurangi peradangan (Prahastuti dan Tambunan 2004)

14   

Gam mbar 8 Gambbaran histopaatologi perseembuhan luk ka kulit pada tikus di minnggu ke dua (hari ke-14). (A)) Gambarann HP dengaan perbesaraan 40 padaa kelompok perlakkuan kontroll mengalam mi fase proliiferasi, (B) gambaran H HP dengan perbessaran 40 padda kelompokk perlakuan plasebo p menngalami fase proliferasi, (C) gaambaran HP P dengan perbesaran 40 pada kelom mpok perlakuuan ekstrak etanoll daun sirihh mengalam mi fase matturasi, (D) gambaran H HP dengan perbessaran 40 padda kelompokk salep meng galami fase maturasi, m (E E) gambaran HP dengan perbeesaran 200 pada kelom mpok ekstrakk daun siriih, dan (F) gambaaran HP deengan perbessaran 200 pada p salep. (neovaskulaarisasi). (1) Folikeel rambut yaang mulai teerbentuk, (2 2) epitel baruu yang telahh terbentuk sempuurna, (3) keeratinisasi, (4) ( penebalaan epitel (eepitelisasi). (Pewarnaan hemattoxylin and eosin) e (Bar = 200 µm).

Keberadaaan netrofil di d minggu kedua k pada semua keloompok perlaakuan tidak ditem mukan sel netrofil. n Hall ini terjadi karena pad da minggu ke 2 aktivittas netrofil sudahh tidak terjadi. Aktivittas netrofil terjadi ketik ka jaringann mengalam mi inflamasi

15  

yakni 24-48 jam setelah perlukaan (Enoch dan Leaper 2008). Dapat dilihat dalam tabel 3 bahwa pada minggu ke-2 semua kelompok telah memasuki fase proliferasi, pada fase ini terjadi fase reepitelisasi (perbaikan luka). Pada tahap ini, kulit akan kembali pada integritasnya yang hilang. Perubahan ini akan memberikan mobilitas pada sel dan badan golgi sehingga sel-sel epidermis akan kehilangan polaritas basal dan menjulur dari kulit yang bebas menuju luka (Kalangi 2004). Hasil pengamatan di minggu kedua untuk HP menunjukkan fase proliferasi pada kontrol dan plasebo. Tahapan kontraksi dari fase proliferasi pada kedua kelompok percobaan telah memasuki tahap sempurna. Gambaran HP menunjukkan jumlah fibroblas yang sedikit lebih berkurang. Hal ini dikarenakan fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh darah mulai regenerasi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak memperkuat jaringan parut (Tawi 2008). Pada fase ini juga ditemukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi). Proses ini mempunyai arti penting pada fase proliferasi proses penyembuhan luka. Pada fase ini fibroplasia dan neovaskularisasi merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag yaiyu growth factors. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi ke dalam luka merupakan suatu respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik atau turunnya tekanan oksigen (Ama 2011). Selain itu neovaskularisasi juga mengantarkan sel-sel radang menuju luka, dan diperlukan untuk mensuplai nutrisi bagi jaringan yang sedang beregenerasi sehingga luka akan sembuh lebih cepat. Kelompok perlakuan salep dan ekstrak etanol daun sirih pada minggu kedua menunjukkan fase maturasi. Pada fase ini terlihat jumlah fibroblas yang berkurang secara berkala. Kolagen baru terbentuk dalam fase ini. Kekuatan regangan jaringan ditingkatkan dari kolagen melalui vitamin C bergantung hidroksilasi. Bekas luka merata dan jaringan bekas luka menjadi 80% sekuat aslinya (Alam et al. 2011). Kolagen diproduksi oleh fibroblas. Fibroblas merupakan sel multifungsi yang sering terlihat ketika jaringan merespon adanya luka. Fibroblas berperan dalam menjaga keutuhan struktur jaringan dan sintesis kolagen bersama rough reticulum endoplasm (RER). Fibroblas juga memproduksi extracelullar matrix (ECM) protein, sitokinin, matriks ekstraselular (Extraselullar Microenvironment) pada kondisi fisiologis dan patologis (McGavin and Zachary 2007). Kolagen merupakan bahan penunjang utama dalam kulit, tulang rawan, dan jaringan ikat (Hidayat 2008). Persembuhan luka pada ekstrak etanol daun sirih minggu ke 1 dan minggu ke 2 tidak terlalu berbeda nyata. Pada minggu ke 1, ekstrak daun sirih telah memasuki fase maturasi dengan nilai skoring 2.75. Sedangkan pada minggu ke- 2, ekstrak daun sirih masih berada dalam fase maturasi dengan nilai skring 2.89. Berdasarkan data dapat dilihat bahwa aktivitas ekstrak daun sirih sangat efektif digunakan pada minggu pertama. Hal ini diduga karena kandungan dalam ekstrak etanol daun sirih seperti saponin, tanin, dan flavonoid bekerja dengan baik pada minggu pertama persembuhan luka. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa saponin dan flavonoid berfungsi sebagai immunostimulator dan antiinflamasi sehingga kedua zat ini berperan aktif dalam menangani inflamasi yang terjadi pada minggu pertama perlukaan. Kedua zat ini merangsang migrasi

16   

netrofil pada fase inflamasi sehingga jumlah netrofil menjadi lebih banyak dari biasanya. Netrofil ini kemudian memfagositosis sel-sel debri. Selain itu saponin berfungsi sebagai antibakteri sehingga pada minggu ke 1 zat ini dapat mencegah terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri yang dapat memperpanjang masa persembuhan luka. Tanin merupakan senyawa polifenol dari kelompok flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan kuat, antiinflamasi, dan antikanker (Olivia et al. 2004), sehingga fase inflamasi dapat dilalui dengan cepat. Fase proliferasi juga berlangsung dengan cepat dari biasanya. Pada fase ini terjadi regenerasi kulit. Regenerasi jaringan dapat dibantu dengan beberapa nutrisikofaktor yang terlibat dalam regenerasi jaringan yaitu, vitamin A, vitamin C, vitamin E, seng, arginin, glutamin, dan glukosamin (MacKay dan Miller 2003). Flavonoid yang terkandung dalam sirih, dapat berfungsi sebagai antioksidan dan dapat berfungsi sebagai kofaktor vitamin C. Vitamin C merupakan komponen penting yang diperlukan untuk proses hidroksilasi prolin dan lisin menjadi prokolagen, dimana bahan ini penting untuk sintesis kolagen. Selain berperan dalam sintesis kolagen, vitamin C juga berperan meningkatkan fungsi netrofil dan angiogenesis (Jeffcoate et al. 2004). Hal ini menyebabkan ekstrak daun sirih sangat berperan aktif dalam memberikan nutrisi dalam fase proliferasi. Fase maturasi yang tejadi pada minggu ke 1 diduga karena peran saponin sebagai pemacu pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang berperan dalam proses penyembuhan luka.Sedangkan pada minggu ke 2 fase maturasi terus berlanjut hingga luka menutup. Menurut Alam et al. (2011), fase maturasi dapat berlangsung selama 2 minggu hingga 3 tahun.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa ekstrak etanol sirih memiliki efektifitas dalam mempercepat proses persembuhan luka. Hal ini dikarenakan kandungan ekstrak daun sirih yakni saponin, flavonoid, dan tanin yang berperan sebagai antiinflamasi, antibakteri, pemicu terbentuknya kolagen, dan imunostimulator. Berdasarkan penelitian, ekstrak daun sirih baik digunakan pada awal perlukaan yakni minggu pertama. Ekstrak etanol daun sirih juga memiliki kemampuan yang hampir sama dengan sediaan komersil lainnya.

Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan potensi ekstrak etanol daun sirih dalam bentuk sediaan topikal lainnya seperti salep, gel, dan krim. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah ekstrak daun sirih aman bagi kulit bila dipakai dalam waktu lama sertam dilakukan penelitian serupa untuk melihat efektifitas ekstrak daun sirih apabila terjadi infeksi sekunder oleh bakteri atau partikel asing dalam luka.

17  

DAFTAR PUSTAKA Alam G, Singh MP, Singh A. 2011. Wound Healing Potential of Some Medicinal Plants. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research 9(26): 136-145. Ama F. 2011. Potensi Stimulasi Elektrik Dalam Penyembuhan Luka Kulit Marmut (Caviacobaya) Melalui Pemeriksaan Histopatologi Dan Analisa Image [Tesis]. FakultasTeknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Surabaya. Chen J, Kasper M, Heck T, Nakagawa K, Humpert Per. M et al. 2005. Tissue Factor as a link between wounding and tissue repair. American Diabetes Association 52: 2143-2154. Gradisa M. 2011. Mechanism of Wound Healing in Annelids. Rudjer Boskovic Institute 7: 192-197. Enoch S, Leaper DJ. 2008. Basic Science of Wound Healing. Surgery (Oxford). 26(2): 31-37. Hidayat AP. 2008. Kajian Aktivitas Fraksi Etil Asetat Rimpang Kunyit (Curcuma longa Linn.) terhadap Persembuhan Luka pada Mencit (Mus musculus albinus). Skripsi. FKH-IPB. Bogor. Jeffcoate WJ, Price P, dan Harding KG. 2004. Wound healing and treatments for people with diabetic foot ulcers. Diabet Metab Res Rev 20(1): S78-S89. Kalangi SJR. 2004. Peran Kolagen Pada Penyenzbuhan Lzika. Dexa Media 4(17). [terhubung berkala] http://www.dexa-n~edicdtest/htdocs/dexanedicdarticlfei les/ltolagen.pdf. [26 April 2012]. Koizer B, Erb G, Berman A, Snyder S. 2002. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Edisi ke-5. Penerjemah Meiliya E, Wahyuningsih E, Yulianti D. Terjemahan dari : Kozier and Erb’s Techniques in Clinical Nursing. MacKay D dan Miller Alan L. 2003. Nutritional Support for Wound Healing. Alternative Medicine Review. 8(4): 359-377. McGavin MD, Zachary JF. 2007. Pathologic Basis Veterinary Disease. USA. Mosby Elsevier. Middelton Jr E, Kandaswami C, Theoharides TC. 2000. The effects of plant flavonoids on mammalian cells : implications for inflammation, heart disease and cancer. Pharmacol Rev 52: 673-751. Mills S dan Bone K. 2000. Principles and Practice of Phytotherapy. Modern Herbal Medicine. Churchill Livingstone. Toronto. pp. 569 – 578. Moeljanto, Damayanti R. 2003. Khasiat & Manfaat Daun Sirih: Obat Mujarab dari Masa ke Masa. Jakarta. Agromedia Pustaka. Nayak BS, Pereira LMP. 2006. Catharanthus roseus flower extract has woundhealing activity in Sprague Dawley rats. BMC Complement Altern Med. 6: 41. Olivia F, Syamsir A, Iwan H. 2004. Seluk Beluk Food Supplement. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

18   

Pallavi SA, Parmesawaran S, Chauhan Y. 2012. In Vitro Anthelmintic Activity of Stem Extraxts of Piper betle Linn Against Phertima Posthuma. Pharmacognosy Journal. 4(29): 61-65 Prahastuti S, dan Tambunan, K. 2004. Tinjauan literatur sirih. Jakarta. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII). Rosman R, Suhirman S. 2006. Sirih tanaman obat yang perlu mendapat sentuhan teknologi budaya. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. 12(1): 13-15. Syukur dan Hernani. 2002. Budidaya Tanaman Obat Komersil. Cetakan ke-2. Penebar Swadaya. Jakarta. Tawi M. 2008. Proses Penyembuhan Luka. [terhubung berkala]. http://syehaceh.wordpress.com. [26 April 2012]. Teo SP dan Banka RA. 2000. Piper betle L. In: Plant Resources of South-East Asia 16. Backhuys Publisher. Netherlands. Vikash C, Shalini T, Asha R, Singh DP, Chaudhary SK. 2012. Piper Betel: Phytochemistry, Traditional Use 7 Pharmacological Activity-A Riview. IJPRD. 4(04): 216-223. Wardhana AH, Kencanawati E, Nurmawati, Rahmaweni, dan Jatmiko CB. 2001. Pengaruh Pemberian Sediaan Patikan Kebo (Euphorbia hirta L.) terhadap Jumlah Eritrosit, Kadar Hemoglobin, dan Nilai Hematokrit pada Ayam yang Diinfeksi dengan Eimeria tenella. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Widiastuti R. 2001. Uji Aktivitas Mukolitik Infusa Daun Sirih (Piper betle L.) pada Mukus Sapi secara In Vitro, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiah Surakarta (UMS). Widowati L. 2004. Advis Medis: Timun Teman Sate. [terhubung berkala]. http://www.kompas.com/kesehatan/news/0402/05/120322.htm. [26 April 2012]. http://www.fay-potatos.co.cc/2010/09/manfaat-daun-sirih.html.

19  

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1990 dari Pasangan Bapak Maryoni Agus dan Ibu Muhtasariah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 9 Jakarta pada tahun 2002 dan pendidikan menengah pertama di SMPN 9 Tangerang pada tahun 2005. Pada tahun 2008 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 25 Jakarta dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur undangan seleksi masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai organisasi seperti Gentra Kaheman, Himpunan Minat dan Profesi HKSA (Hewan Kesayangan dan Satwa Aquatik Eksotik), STERIL, dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan IPB.