ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK STUDI KASUS PADA KEMENTERIAN PERTANIAN Adinda Permatasari Rahadian *)
ABSTRACT This study examines the implementation/application of the policy of public disclosure in the Ministry of Agriculture. By using the theory proposed by Daniel W. Bromley and Edward III, this study looked at the suitability of the policy of public disclosure should be the policy implemented by the Ministry of Agriculture and efectivity public policy. This approach uses a qualitative approach with a constructivist paradigm. Informants were selected based on purposive sampling, the manager of public information the Ministry of Agriculture and NGOs ever dispute the information with the Ministry of Agriculture. Conclusion of this study focuses on two principal amount, namely (1) the implementation of policies KIP running poorly. It looks at the operational stage level, where policies are not well socialized by the PPID to implementing policies, (2) there are factors that hinder the successful implementation of coordinated communication, leadership commitment, adequate human resources and skilled in their field, disposition appropriate, as well as the bureaucracy. Keywords : Information disclosure, tranparancy
Kemudahan akses terhadap informasi yang diinginkan oleh setiap orang, khususnya yang berkaitan dengan ranah publik menjadi begitu penting karena dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, salah satunya yaitu dengan adanya kemudahan akses dan keterbukaan terhadap informasi publik memungkinkan terjadinya perubahan pelayanan publik menuju terciptanya good governance. Pandangan ini bertolak dari usulan International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan the United Nations yang mempromosikan good governance sebagaimana diungkapkan oleh Leftwich, (1994) dan Peters (1998) dalam Jon Piere dan Guy Peters (2000: 50). Berdasarkan pengertian United Nations Development Program (UNDP 2007:7), good governance didefinisikan sebagai media untuk mempersatukan perbedaan dan memperjuangkan hak warga negara, negara bukan hanya berisi kepentingan
*) Staf Biro Umum dan Humas Kementerian Pertanian
1
politik, ekonomi, dan administrasi saja (UNDP, 2007). Dalam hal ini peran pemerintah tidak hanya dalam bidang politik saja namun dapat berinteraksi secara efektif dalam sektor privat dan organisasi masyarakat untuk mencapai tujuan bersama.
UNDP juga menjelaskan bahwa transparansi menjadi salah karakteristik dari good governance. Transparasi dibangun dari aliran informasi yang bebas. Proses, institusi, dan informasi secara langsung dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan,
dan
informasi
yang
cukup
diberikan
untuk
memahami
dan
mengawasinya. Seperti kebijakan keterbukaan informasi publik di Indonesia, maka kini pemerintah harus memberikan akses informasi seluas-luasnya kepada masyarakat dalam menuju tata kelola pemerintahan yang baik.
Namun saat ini keterbukaan informasi masih menjadi hal yang asing bagi sebagian
besar
aparatur
pemerintah,
baik
di
pusat
maupun
di
daerah
(http://www.setkab.go.id/artikel-4915-.html). Padahal, keterbukaan informasi merupakan bagian dari akuntabilitas, yaitu tentang integritas dan transparansi pemerintahan. Akuntabilitas menjadi sebuah kebutuhan, karena masyarakat diarahkan menuju ke tata pemerintahan yang baik. Selain itu, dengan adanya akuntabilitas, masyarakat mendapat jaminan hak asasi manusia.
Pemerintahan yang terbuka (open government) merupakan salah satu fondasi sebagai akuntabilitas demokrasi. Dalam pemerintahan yang terbuka, keterbukaan informasi publik adalah salah satu keharusan karena dengan adanya keterbukaan informasi publik, pemerintahan dapat berlangsung secara transparan dan partisipasi masyarakat terjadi secara optimal dalam seluruh proses pengelolaan pemerintahan. Proses pengelolaan itu termasuk seluruh proses sumber daya, yang dimulai dari proses pengambilan keputusan, pelaksanaan, serta evaluasinya, sehingga untuk mendukung hal tersebut harus dibangun civic engagement atau deklarasi untuk turut berpartisipasi dalam kehidupan kolektif. (Jurnal Dialog Kebijakan Publik, edisi 3/9/2011)
2
Salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang terbuka adalah hak publik untuk memperoleh informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hak atas Informasi menjadi sangat penting karena makin terbuka penyelenggaraan negara untuk diawasi publik, penyelenggaraan negara tersebut makin dapat dipertanggungjawabkan. Hak setiap orang untuk memperoleh informasi juga relevan untuk meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik. Partisipasi masyarakat tidak banyak berarti tanpa jaminan keterbukaan Informasi Publik Saat ini Badan Publik mempunyai kewajiban untuk membuka akses atas Informasi Publik yang berkaitan dengan Badan Publik tersebut untuk masyarakat luas. Lingkup Badan Publik dalam pembuatan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik meliputi lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, serta penyelenggara negara lainnya yang mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan mencakup pula organisasi nonpemerintah, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, seperti lembaga swadaya masyarakat, perkumpulan, serta organisasi lainnya yang mengelola atau menggunakan dana yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk informasi yang harus dapat diakses oleh masyarakat sebagai bentuk partisipasi publik.
Hak publik untuk memperoleh informasi ini mengacu pada konstitusi di Indonesia yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Termasuk hak untuk mencari, memperoleh memiliki dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada (UUD 1945: 28F).
Kini masyarakat dapat berpartisipasi secara langsung dalam berbagai aspek pembangunan. Salah satu yang perlu dibanggakan adalah diterbitkannya undang undang yang mewajibkan penyelenggara negara untuk lebih bersikap transparan kepada warganya, dimana telah diatur di dalamnya hak rakyat untuk mengetahui dan memperoleh informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini
3
mengarah kepada prinsip good governance, yang telah dijelaskan dalam UNDP. Dengan dasar dan pertimbangan itu pemerintah menerbitkan sistem hukum yang mengatur tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mengatur lebih dalam tentang keterbukaan informasi dan transparansi penyelenggaraan negara sebagai salah satu wujud dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Undang-undang merupakan wujud dari kebijakan publik (Thomas R. Dye, 1992). Karena itu, keberadaan kebijakan dalam bentuk Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sangat penting. sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan (1) hak setiap Orang untuk memperoleh Informasi; (2) kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani permintaan Informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan cara sederhana; (3) pengecualian bersifat ketat dan terbatas; (4) kewajiban Badan Publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan Informasi.( http://www.ppidkemkominfo.go.id)
Sistem hukum yang mengatur mengenai KIP ini disahkan dan ditandatangani pada 30 April 2008 dan diberlakukan dua tahun sejak pengesahannya. Hal ini berarti pemerintah masih memberikan toleransi kepada semua badan publik untuk menyiapkan diri dalam menyelenggarakan negara secara transparan dan bertanggung jawab demi tercapainya reformasi birokrasi (http://www.ppidkemkominfo.go.id). Namun, masih banyak Badan Publik yang belum siap terhadap pelaksanaan kebijakan ini. Hal ini ditunjukkan masih sedikitnya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang
ditunjuk
oleh
Lembaga
Publik
(http://www.setkab.go.id/artikel-4915-.html).
Sementara, keberadaan PPID sangat penting dan diperlukan oleh Badan Publik, karena PPID yang bertanggung jawab dalam penyediaan, penyimpanan, pendokumentasian, dan pengamanan informasi serta memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat yang membutuhkan.
Menurut data Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informasi, sampai saat ini, secara rata-rata baru 21,21 % Lembaga Publik yang menunjuk PPID, dengan rincian sebagai berikut:
4
Tabel 1.1 Data PPID dalam Lembaga Publik No
Lembaga
Jumlah
PPID
%
1.
Kementerian
34
27
79,41%
2.
LPNK
129
32
24,81%
3.
Provinsi
33
15
45,45%
4.
Kabupaten
399
55
13,37%
5.
Kota
98
18
18,37%
693
147
21,21%
Jumlah
Sumber: Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik, Kemenkominfo (2012)
Dalam pelaksanaan kebijakan KIP telah diatur lebih lanjut dengan mewajibkan setiap Badan Publik untuk menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (UU No 14 Tahun 2008 Pasal 13). Kementerian Pertanian selaku badan publik juga telah menetapkan aturan tentang Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Kementerian Pertanian. Dalam Permentan tersebut PPID terdiri dari PPID Utama, PPID Pelaksana Eselon I/ Unit Pelaksana Teknis (UPT), dan PPID Pembantu Pelaksana. Lebih lanjut bahwa setiap PPID Utama dan PPID Pelaksana wajib melakukan monitoring dan evaluasi pelayanan informasi publik (Permentan No 32 Tahun 2011).
Sebagai salah satu Lembaga Publik yang wajib untuk melaksanakan kebijakan ini, Kementerian Pertanian (Kementan) juga telah membentuk PPID, yaitu PPID utama yang berada di Biro Hukum dan Informasi Publik dan PPID Pembantu yang berada di masing-masing Eselon 1 lingkup Kementan. Seluruh PPID dalam lingkup Kementerian Pertanian baru dilantik pada tanggal 29 September 2011.(Laporan Tahunan Informasi Publik Biro Hukum dan Informasi Publik 2011)
Tabel 1.2 PPID Pelaksana di Kementerian Pertanian No
PPID
Jumlah
1
PPID Utama
1
2
PPID Pelaksana Eselon I
12
5
3
PPID Pelaksana UPT
144
4
PPID Pembantu Pelaksana
102
Layaknya sebuah organisasi yang baru dibangun, banyak yang perlu dibenahi dalam melaksanakan kebijakan KIP pada awal tahun 2011. Kementan merombak struktur organisasi yang dibuat khusus untuk melaksanakan kebijakan informasi publik. Struktur organisasi yang baru ini diharapkan memiliki sumber daya manusia dan infrastruktur yang mampu melayani keterbukaan informasi publik sehingga terhindar dari sengketa-sengketa informasi yang dapat terjadi antar instansi dengan publiknya sebagai pengguna informasi publik. Tetapi, dalam implementasinya struktur organisasi Informasi Publik yang berfungsi untuk melayani informasi, tumpang tindih dengan fungsi humas di badan publik. Sementara itu, fungsi Informasi Publik yang seharusnya terintegrasi dengan fungsi humas, malah dibuat parsial dan berbeda biro. Informasi Publik di Kementerian Pertanian digabungkan dengan Hukum, menjadi Biro Hukum dan Informasi Publik.(Laporan Tahunan Informasi Publik 2011).
Tabel 1.3 Sengeketa Informasi di Kementerian Pertanian No
Pemohon Informasi
Tanggal Sengketa Informasi
1
LSM Sahabat Muslim
23 April 2011
2
LSM Sahabat Muslim
27 Juni 2011
3
LSM Sarvodaya KPODI
11 April 2012
4
LSM Sarvodaya KPODI
28 April 2012
5
LSM Sarvodaya KPODI
10 Juli 2012
6
LSM Sarvodaya KPODI
25 Agustus 2012
7
LSM Sarvodaya KPODI
7 September 2012
8
LSM Sarvodaya KPODI
15 Oktober 2012
Sebanyak 30 orang harus melakukan sosialisi terhadap 22.000 pegawai Kementerian Pertanian. Namun dengan berbagai kondisi yang ada Komisi Informasi tetap mendukung dan memotivasi badan publik dalam mengelola pelayanan informasi publik. Salah satu caranya adalah Komisi Informasi Pusat memberikan peringkat pada
6
tiap badan publik yang melaksanakan keterbukaan informasi dan dipublikasikan dalam website Komisi Informasi. Berdasarkan peringkat tersebut Kementerian Pertanian turun peringkatnya dari peringkat 7 pada tahun 2011, menjadi peringkat 16 pada tahun 2012 dengan kategori yang wajib diumumkan berkala (website).5 Hal ini dikarenakan bobot kriteria penilaian yang semakin tinggi. Tahun lalu kriteria penilaian yang sebagian besar berdasarkan informasi yang ditampilkan di website, sementara tahun ini karena rendahnya bobot nilai dalam transparansi laporan keuangan, menjadikan Kementerian Pertanian tertinggal dari badan publik lainnya. Laporan keuangan yang seharusnya diinformasikan paling singkat enam bulan sekali, belum pernah dipublikasikan oleh Kementerian Pertanian sampai saat ini.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana implementasi kebijakan tentang Keterbukaan Informasi Publik di Kementerian Pertanian berdasarkan prinsip transparancy dalam good governance?” dengan submasalah: a. Bagaimana kesesuaian kebijakan tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan pelaksanaan pelayanan informasi publik di Kementerian Pertanian? b. Apa yang menyebabkan implementasi kebijakan Keterbukaan Informasi Publik sulit dilaksanakan? TINJAUAN PUSTAKA Thomas R. Dye (1978: 3) mengemukakan bahwa “Public policy is whatever government choose to do or not to do” (kebijakan publik adalah apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan). Meskipun memberikan pengertian kebijakan publik hanya memandang dari satu sudut saja (yakni pemerintah), namun apa yang diungkap oleh Thomas Dye telah memberikan nuansa terhadap pengertian kebijakan publik. kebijakan bukan hanya keinginan pemerintah, akan tetapi masyarakat pun juga memiliki tuntutan-tuntutan (keinginan), sebab pada prinsipnya kebijakan publik itu mencakup apa yang dilakukan, mengapa mereka melakukannya, dan bagaimana akibatnya.
7
1. Hierarki Penyusunan Kebijakan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan Keterbukaan Informasi Publik di Kementerian Pertanian, salah satunya adalah melihat kesesuaian kebijakan yang diterapkan di Kementerian Pertanian dengan kebijakan yang seharusnya dijalankan, karena itu tiga tahapan kebijakan yang dibuat oleh Bromley dianggap layak untuk menganalisis implementasi tersebut.
Bromley mengelompokkan tiga level yang berhubungan dengan hierarki proses penyusunan kebijakan, yaitu policy level, organizational level dan operational level. Pada Policy Level dinyatakan bahwa dalam negara yang menganut demokrasi, maka kebijakan negaranya direpresentasikan oleh lembaga legislatif. Mereka yang akan menentukan bagaimana arah dari garis-garis besar kebijaksanaan. Tingkatan ini, pernyataan-pernyataan umum tentang kehendak dan kebutuhan masyarakat dibahas dan
diformulasikan,
sehingga
Policy
Level
merupakan
perwujudan
dari
aspirasi/kebutuhan masyarakat. Kemudian eksekutif akan menerjemahkan ke dalam peraturan-peraturan yang bisa mendukung terselenggaranya isi dari kebijaksanaan tersebut. Peraturan-peraturan inilah yang disebut sebagai Institutional Arrangements.
Tahapan selanjutnya adalah Organizational Level, pada level ini kebijakan dibuat oleh Lembaga Eksekutif sesuai dengan misi yang telah ditentukan dalam Policy Level. Pada tahapan ini dikembangkan organisasi-organisasi sebagai penyelenggara dari kebijaksanaan pada Policy Level. Pada tahap organisasi kebijakan yang terbentuk berupa aturan dan hukum bagaimana sebuah organisasi tersebut beroperasi.
Tahap selanjutnya adalah Operational Level terdapat unit-unit operasional yang siap melaksanakan kebijaksanaan tersebut dimana aktifitas yang dilakukan dapat diamati. Pilihan yang tersedia bagi para pelaku tahap operasional ditentukan oleh pengaturan institusional yang dibentuk oleh tahap kebijakan dan tahap organisasional. Contoh aturan institusional awal pada penelitian ini adalah mengenai Peraturan Pemerintah mengenai kebijakan Keterbukaan Informasi Publik, sedangkan aturan
8
institusional pada level organisasi adalah Peraturan Menteri Pertanian mengenai Keterbukaan Informasi Publik.
Akhir dari tahapan tingkatan Kebijaksanaan Negara yaitu Operational Level yang merupakan penjabaran secara teknis dari kebijaksanaan pada Organizational Level yang bertujuan untuk mempermudah pelaksanaan suatu kebijaksanaan. Sehingga, hasil yang telah dicapai pada tingkatan operasional akan dilihat langsung oleh masyarakat, sehingga pada tahap inilah akan timbul reaksi kolektif dari berbagai kalangan (Patterns of Interaction) yang pada akhirnya akan membuahkan hasil (outcomes) tertentu yang dipandang baik atau buruk. Apabila outcome yang didapatkan dipandang buruk, maka akan muncul tanggapan kolektif melalui proses politik untuk merubah institutional arrangements yang membatasi seperangkat pilihan individu di tingkat operasional. Dengan demikian, masukan ataupun umpan balik yang berasal dari masyarakat akan diarahkan ke tingkat kebijakan untuk mencari konstelasi institusi (undang-undang dan peraturan) yang baru yang akan merubah pilihan-pilihan yang tersedia bagi perusahaan dan rumah tangga (unit-unit operasional dalam masyarakat).
Penelitian implementasi kebijakan Keterbukaan Informasi Publik di Kementerian Pertanian akan menganalisis kesesuaian antara policy level dengan operational level yang diterapkan di Kementerian Pertanian. Dari hasil analisis tersebut, maka nanti akan terlihat faktor-faktor apa saja yang menjadi ketidakcocokan policy level dengan operational level yang dijalankan.
Efektivitas Implementasi Kebijakan Publik George Edward III (1980: 1) menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik adalah lack of attention to implementation. Dikatakannya, without effective implementation the decision of policymakers will not be carried out successfully. Edward menyarankan untuk memerhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication, resource, disposition or attitudes,
dan
bureaucratic structures.
9
a. Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi dan/atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan, sikap dan tanggap dari para pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses komunikasi adalah transmission „cara penyampaian‟ informasi; clarity „kejelasan‟ informasi, serta consistency „konsistensi‟ dalam penyampaian informasi. b. Resources berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk carry out kebijakan secara efektif. Edwards III menyatakan sebuah kebijakan publik untuk dapat diterapkan harus memerhatikan kesiapan sumber daya pelaksana kebijakan tersebut. Kesiapan sumber daya meliputi kualitas serta kuantitas staf pelaksana; ketersediaan informasi bagi staf tersebut; keluasan kewenangan yang diberikan kepada staf pelaksana; serta ketersediaan fasilitas pendukung bagi staf dalam rangka melaksanakan kebijakan. Diyakini bahwa motivasi adalah kondisi dasar yang harus diperhatikan agar aparat pemerintah bersedia menjalankan kebijakan publik dengan baik. c. Disposition berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk carry out kebijakan publik tersebut. Kecakapan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan. d. Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik. Tantangannya adalah bagaimana agar tidak terjadi bureaucratic fragmentation karena struktur ini menjadikan proses implementasi menjadi jauh dari efektif. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara lembaga-lembaga
Negara
dan
atau
pemerintahan.
(http://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/01/model-modelimplementasikebijakan.html)
10
Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan metode kualitatif dengan pendekatan positivis (kualitatif). Penelitian dilaksanakan dengan wawancara mendalam dengan pemilihan informan secara purposive. Pemilihan informan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan sebagai berikut: 1. Pihak internal, yaitu Biro Hukum dan Informasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian wawancara dilakukan dengan: a. Kepala Bagian Informasi Publik sebagai PPID Pelaksana Eselon 1 untuk Sekretariat Jenderal b. Kepala Sub Bagian Pelayanan Informasi Publik sebagai penanggung jawab kegiatan Pengelolaan Pelayanan Informasi Publik dan Monitoring dan Evaluasi Pembangunan Pertanian 2. Pihak eksternal (LSM) yang memberikan aduan negatif/ sengketa informasi dengan Kementerian Pertanian a. Ketua Umum LSM Sarvodaya KPODI b. Ketua Umum LSM Sahabat Muslim
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mengolah data dari informan. Berikut teknik analisis data yang peneliti lakukan terhadap hasil wawancara terhadap para informan, observasi lapangan dan studi mendalam 1. Pengumpulan Data Mentah melalui wawancara, observasi lapangan, studi mendalam terhadap Dokumen Peraturan-peraturan, laporan penyelenggaraan, arsip surat menyurat, rekaman suara dan catatan tertulis. 2. Transkrip Data. Mengubah catatan, rekaman ke dalam bentuk tertulis. 3. Pembuatan Koding. Membaca ulang seluruh data yang sudah ditranskrip kemudian menemukan hal-hal yang penting berupa kata kunci dalam pembuatan koding. 4. Kategorisasi Data. Menyederhanakan data dengan cara menyatukan konsepkonsep kata kunci (koding) ke dalam kategori. 5. Penyimpulan Sementara. Penarikan kesimpulan sementara.
11
6. Triangulasi. Melakukan proses cek dan ricek antara satu sumber data dengan sumber data lainnya. 7. Melakukan penyimpulan akhir.
Visi dan Misi Kementerian Pertanian Kementerian Pertanian memiliki visi dan misi sebagai landasan melaksanakan pembangunan pertanian, antara lain: 1. Visi Kementerian Pertanian 2010-2014: Terwujudnya Pertanian Industrial Unggul Berkelanjutan Yang Berbasis Sumberdaya Lokal Untuk Meningkatkan Kemandirian Pangan, Nilai Tambah, Daya Saing, Ekspor dan Kesejahteraan Petani. 2. Misi Kementerian Pertanian 2010-2014: a. Mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan yang efisien, berbasis iptek dan sumberdaya lokal, serta berwawasan lingkungan melalui pendekatan sistem agribisnis. b. Menciptakan keseimbangan ekosistem pertanian yang mendukung keberlanjutan peningkatan produksi dan produktivitas untuk meningkatkan kemandirian pangan. c. Mengamankan plasma-nutfah dan meningkatkan pendayagunaannya untuk mendukung diversifikasi dan ketahanan pangan. d. Menjadikan
petani
yang
kreatif,
inovatif,
dan
mandiri
serta
mampu
memanfaatkan iptek dan sumberdaya lokal untuk menghasilkan produk pertanian berdaya saing tinggi. e. Meningkatkan produk pangan segar dan olahan yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) dikonsumsi. f. Meningkatkan produksi dan mutu produk pertanian sebagai bahan baku industri. g. Mewujudkan usaha pertanian yang terintegrasi secara vertikal dan horisontal guna menumbuhkan usaha ekonomi produktif dan menciptakan lapangan kerja di pedesaan. h. Mengembangkan industri hilir pertanian yang terintegrasi dengan sumberdaya lokal untuk memenuhi permintaan pasar domestik, regional dan internasional.
12
i.
Mendorong terwujudnya sistem kemitraan usaha dan perdagangan komoditas pertanian yang sehat, jujur dan berkeadilan.
j.
Meningkatkan kualitas kinerja dan pelayanan aparatur pemerintah bidang pertanian yang amanah dan profesional.
Keterbukaan Informasi Publik di Kementerian Pertanian Setelah
disahkannya
Undang-undang
Nomor
14
Tahun
2008
tentang
Keterbukaan Informasi Publik, tuntutan akan keterbukaan dalam memperoleh informasi di Indonesia semakin mendesak. Berlakunya Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik membawa perubahan paradigma baru Badan Publik dalam pengelola informasi publik dari pemerintahan yang tertutup menuju pemerintahan yang terbuka. Sebelum undang-undang tersebut diundangkan, paradigmanya adalah seluruh Informasi Publik adalah rahasia kecuali yang terbuka. Namun setelah Undang-undang ini, paradigma bergeser menjadi seluruh Informasi Publik adalah terbuka untuk diakses masyarakat kecuali yang dirahasiakan.
Perubahan dan pergeseran paradigma tersebut menuntut setiap Badan Publik seperti Kementerian Pertanian wajib membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisiensi, sehingga layanan informasi publik dapat diakses dengan mudah. Bahkan lebih lanjut setiap Badan Publik perlu melakukan pengelolaan informasi publik dan dokumentasi yang dapat menjamin penyediaan informasi yang mudah, cermat, cepat, dan akurat dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Asas Informasi Proaktif dimana Kementerian Pertanian mengumumkan Informasi Publik tanpa harus dengan pemohon. Hal ini sebagai pertanggungjawaban kepada publik dan juga meningkatkan akses informasi publik dalam rangka pengawasan publik dan keterlibatan partisipasi masyarakat dalam setiap proses kebijakan Kementerian Pertanian diperlukan pengelolaan informasi publik yang akuntabel dan transparan. Pengelolaan informasi publik dimaksud untuk meningkatkan layanan informasi publik
13
kepada masyarakat, menciptakan dan menjamin kelancaran dalam pelayanan informasi publik pada Kementerian Pertanian.
ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI KEMENTERIAN PERTANIAN
1. Implementasi Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik di Kementerian Pertanian berdasarkan Prinsip Transparancy dalam Good Governance Dalam menganalisis kesesuaian kebijakan Keterbukaan Informasi Publik dengan pelaksanaan pelayanan informasi public di Kementerian Pertanian menggunakan teori Daniel W. Bromley (1989), dimana terdapat tiga level penyusunan kebijakan, yaitu policy level, organizational level, dan operational level, dan pada akhirnya kebijakan tersebut akan menghasilkan tanggapan kolektif masyarakat (pattern of interaction) yang akan memberikan outcomes terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah.
Proses penyusunan kebijakan di Kementerian Pertanian telah sesuai dengan konsep tiga level penyusunan kebijakan menurut Bromley (1989). Proses penyusunan kebijakan di Kementerian Pertanian dimulai dari tingkat paling atas yaitu policy level dimana kebijakan tersebut dibuat oleh pemerintah dengan didasari oleh alasan tertentu (mewujudkan aspirasi/kebutuhan publik). Kemudian diteruskan ke level organisasional dimana kebijakan KIP tersebut diberikan oleh pemerintah dan diterima oleh Kementerian Pertanian. Respon dari kebijakan tersebut, yaitu Kementan langsung membentuk Permentan. Lanjut ke tahap level operasional dan Permentan ini mendorong dibentuknya PPID yang nantinya bertanggung jawab sebagai pelaksana kebijakan.
Namun,
berbagai
masalah
muncul
pada tahap
operasional
yang
mengakibatkan kebijakan yang dijalankan tidak sesuai dengan kebijakan yang seharusnya. Seperti yang dikatakan oleh pihak Kementan: “Memang masih ada hal yang belum sempurna, terutama pada level operasional. Menurut Ibu Nani dan Pak Budi, proses implementasi masih kurang berjalan dengan baik dan kurang efektif karena komunikasi yang belum terkoordinasi dengan baik, resources yang tidak berpengalaman ataupun tidak terampil,
14
disposition yang tidak sesuai dengan penugasan dan latar belakang, dan struktur birokrasi yang tidak efektif” Tetapi hambatan-hambatan tersebut tidak membuat pelaksanaan kebijakan Keterbukaan Informasi Publik di Kementerian Pertanian yang sudah berjalan selama dua tahun gagal untuk dilaksanakan. Masyarakat tetap dapat melaksanakan permohonan informasi dan mendapatkan data yang diinginkan meskipun uji konsekuensi belum dilaksanakan dan pelayanan informasi belum maksimal. Sementara pihak LSM mengatakan mengenai pelayanan Informasi Publik di Kementerian Pertanian “...karena perintah undang-undang yang mau ga mau pemohon informasi harus dilayani. Namun belum disertai kejujuran. Contohnya Satker (penyedia dokumen informasi) menitipkan dokumen tersebut ke PPID Utama tetapi tidak sesuai dengan hasil Putusan Mediasi. Ketika dikomplain petugas PPID Utama hanya menyatakan “Kami akan menyampaikan pada Satker yang bersangkutan”. (Dokumen yang diberikan seharusnya Realisasi Penerima Bantuan tetapi yang diberikan adalah Rencana Penerima Bantuan). Sesuai aturan yang ada jika Termohon tidak melaksanakan putusan sesuai kesepakatan Pemohon dapat menggunakan haknya untuk mendaftar kepengadilan. Namun hal ini memang belum kami gunakan karena berbagai hal. Dari penjelasan keempat informan dapat dilihat bahwa Kementerian Pertanian belum cukup siap untuk melaksanakan kebijakan Keterbukaan Informasi Publik, namun pihak Kementerian Pertanian yakin bahwa ke depannya mereka dapat melaksanakan kebijakan ini dengan lebih baik melalui dukungan infrastruktur yang lebih memadai. 2. Analisis Faktor-Faktor Hambatan dalam Pelaksanaan Implementasi Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik Kendala-kendala yang menyebabkan proses implementasi kebijakan KIP di Kementerian Pertanian kurang efektif dengan menggunakan teori Edward III. Dalam teori ini menjelaskan faktor yang menghambat efektivitas sebuah kebijakan di antaranya adalah komunikasi, resources, disposisi, dan struktur birokrasi.
15
Simpulan Secara umum kebijakan Keterbukaan Informasi Publik di Kementerian Pertanian masih belum sesuai dengan prinsip transparancy dalam good governance, karena masih ada informasi yang seharusnya dibuka namun tidak dipublikasikan 1. Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik belum sesuai dengan pelaksanaan pelayanan informasi publik di Kementerian Pertanian, hal ini dapat terlihat pada level operasional dalam tahap penyusunan kebijakan yang digagas oleh Daniel W. Bromley. 2. Implementasi kebijakan sulit untuk dilaksanakan disebabkan oleh faktor komunikasi yang kurang efektif, disposisi, sumber daya manusia yang kurang memadai, dan struktur birokrasi yang tidak sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Blau, Peter M., dan Marshall W. Meyer. (1987). Birokrasi dalam Masyarakat Moderen. (Diterjemahkan oleh Gary Rachman Jusuf). Edisi Kedua. Jakarta: UI Press. Hal 27-28. Brinkerhoff, D. and Crosby, B. (2002). Citizen Participation in the Policy Process, chapter 3 in „Managing Policy Reform: Concepts and Tools for Decision-Makers in Developing and Transitioning Countrie. Connecticut, USA: Kumarian Press. Bromley, Daniel W. 1989. Economic Interest and Institutions: The Conceptual Foundations of Public Policy. New York: Basil Blackwell. Cresswell, John. (1994). Research Design, Qualitative & Quantitative Approaches. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications Denzin, Norman K, and Yvonne S. Lincoln. (1994). Handbook of Qualitative Research. Editor: Thousand Oak, London, New Dehli Dunn, William N,. (1999). Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Dwiyanto, Agus., (2008), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Edwards III, George C. (1980). Implementing Public Policy. Washington: Congressional Quarterly Press
16
Hogwood, Brian W & Lewis A. Gunn. (1984). Policy Analysis for The Real World. Oxford University Press. Howlett, Mitchael and M. Ramesh. (1995). Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystems. Oxford: Oxford University Press Irawan, Prasetya. (2006). Penelitian Kualitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Depok: DIA Fisip UI Ivancevich, John M. (2003). Human Resources Management. International Edition. Ninth Edition. Singapore: Mc Graw hill Jalaluddin, Rakhmat. (1998). Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya Lincoln, Yvonne, S, and Egon G. Guba. (1985). Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, London, New Dehli Neuman, W. Lawrence. (2006). Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approaches, Sixth Edition. Boston, New York, London: Pearson Eduction Inc Nugroho, Riant. (2011). Public Policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Patton, Michael Quinn. (2002). Qualitative Research & Evaluation Methods (3rd Edition). Thousand Oak, London, New Dehli: Sage Publication Riyanto, Eko Slamet. (2010). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Penyebaran Informasi Publik Melalui Forum Tatap Muka di Badan Informasi Publik Kemkominfo. Jakarta: Fisip UI Singarinbun, Masri, dan Sofian Effendi (Ed). (1989). Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES Salsabila, Finda. (2010). Analisis Good Governance Terhadap Kelembagaan Pengelolaan Informasi Publik Di Pusat Administrasi Universitas Indonesia Dalam Era Keterbukaan Informasi. Jakarta: Fisip UI Subarsono, A.G. (2005). Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Cet 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar United Nations Development Programme. (2007). Public Administration and Democratic Governance. New York: UNDP Wibowo, Mardian. 2008. Studi Implementasi Kebijakan Penanganan Gelandangan di Kota Jakarta Timur. Jakarta: Fisip UI
17