ANALISIS KARAKTERISTIK PEMULUNG, KARAKTERISTIK KERJA, HUBUNGAN SOSIAL

Download karakteristik kerja, dan hubungan sosial serta kesejahteraan pemulung. ... hubungan pada jenis kelamin dan interaksi pemulung dengan masyar...

0 downloads 473 Views 1MB Size
ANALISIS KARAKTERISTIK PEMULUNG, KARAKTERISTIK KERJA, HUBUNGAN SOSIAL, DAN KESEJAHTERAAN PEMULUNG (Kasus Pemukiman Pemulung di Desa Kedaung, Kecamatan Pamulang, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten)

Oleh: Aisyah Ameriani A 14201032

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

RINGKASAN

AISYAH AMERIANI. ANALISIS KARAKTERISTIK PEMULUNG, KARAKTERISTIK KERJA, HUBUNGAN SOSIAL, DAN KESEJAHTERAAN PEMULUNG. Kasus: Pemukiman Pemulung di Desa Kedaung, Kecamatan Pamulang, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten. (Dibawah bimbingan SAID RUSLI) Penelitian ini mengangkat fenomena pemulung, khususnya pemulung yang berada di Desa Kedaung, Kecamatan Pamulang, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik pemulung, karakteristik kerja pemulung, hubungan sosial pemulung, hubungan diantara karakteristik pemulung, karakteristik kerja, dan hubungan sosial serta kesejahteraan pemulung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survei dengan kombinasi pendekatan kualitatif. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari responden dan informan. Data primer dikumpulkan melalui kuesioner, wawancara, dan pengamatan, sedangkan data sekunder diperoleh melalui dokumentasi Desa Kedaung. Responden dalam penelitian ini terdiri dari individu dan keluarga pemulung. Individu pemulung diambil secara acak sederhana sebanyak 25 orang, sedangkan keluarga pemulung dicacah secara lengkap (23 keluarga). Informan diambil dari perwakilan pemulung, lapak, masyarakat, dan pihak Desa Kedaung. Teknik analisis data kuantitatif menggunakan analisis tabulasi, sedangkan untuk data kualitatif disajikan dalam bentuk kutipan-kutipan. Semua data diintepretasi sesuai dengan kepentingan untuk mencapai tujuan penelitian. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapat karakteristik-karakteristik tertentu yang mencirikan profesi pemulung. Profesi pemulung lebih banyak dilakoni oleh laki-laki yang berada pada usia angkatan kerja. Pada umumnya, pemulung berasal dari Jawa Tengah (Brebes). Mayoritas beragama Islam. Pendidikan pemulung termasuk

rendah. Keterbatasan pendidikan merupakan salah satu faktor alasan menjadi pemulung. Alasan lainnya adalah tidak ada modal dan bekal keterampilan serta tidak menemukan alternatif pekerjaan lain. Latar belakang pekerjaan sebelumnya adalah pada sektor informal. Diantara responden banyak yang tidak memiliki atau mengenal KTP musiman. Dalam hal karakteristik kerja, pemulung rata-rata telah menjalani profesi ini selama 3,65 tahun, tinggal di lapak terakhir rata-rata selama 1 tahun, bermotivasi rendah, bekerja rata-rata 26 hari (160 jam) dalam sebulan, jarak tempuh memulung ratarata 5 kilometer per hari, barang-barang yang dipulung beragam dengan berat rata-rata 21,4 kilogram per hari, peralatan yang digunakan sederhana (ganco, karung, gerobak, peraturan antara sesama pemulung atau lapak berupa kesepahaman, frekuensi pulang ke daerah asal rata-rata satu atau dua kali per tahun dengan uang yang dikirimkan rata-rata Rp183.000,00 per tahun. Mengenai hubungan sosial pemulung, pada umumnya pemulung mampu berinteraksi dengan baik antara sesama pemulung dan dengan lapaknya. Namun interaksi mereka cenderung rendah dengan warga masyarakat dan pemerintah setempat (Pemerintah Desa Kedaung). Hasil analisis memperlihatkan adanya kecenderungan hubungan antara jenis kelamin dengan lama menjadi pemulung, hari kerja, jam kerja, jarak tempuh, berat barang pulungan, dan penghasilan. Terdapat hubungan antara daerah asal dengan lama tinggal di lapak terakhir, dimana responden yang sedaerah dengan lapak cenderung tinggal lebih lama dengan lapaknya. Hasil analisis menunjukkan pula adanya hubungan antara karakteristik pemulung dengan hubungan sosial pemulung, diantaranya terlihat dari adanya kecenderungan hubungan pada jenis kelamin dan interaksi pemulung dengan masyarakat sekitar; usia dengan interaksi pemulung dalam satu bedengan; penghasilan dengan interaksi antara

pemulung dengan lapaknya dan penghasilan dengan interaksi pemulung dengan masyarakat sekitar; daerah asal dengan interaksi pemulung dalam satu bedengan dan daerah asal dengan interaksi pemulung dengan lapak. Antara karakteristik kerja pemulung dengan hubungan sosial pemulung juga terdapat kecenderungan hubungan, diantaranya terlihat dari hubungan antara lamanya pemulung tinggal di lapak terakhir dengan interaksi antara pemulung dengan masyarakat, lama tinggal di lapak terakhir dengan interaksi antara pemulung dengan lapak, lama menjadi pemulung dengan interaksi antara pemulung dalam satu bedengan, dan lama menjadi pemulung dengan interaksi antara pemulung dengan lapak. Secara umum, antara karakteristik pemulung, karakteristik kerja pemulung dengan hubungan sosial pemulung memiliki kecenderungan hubungan walaupun tidak semua variabel menunjukkan hubungan yang cukup konsisten. Berkenaan dengan kesejahteraan, berdasarkan indikator kemiskinan BPS 2005, sebagian besar pemulung termasuk keluarga tidak miskin. Namun bila mengacu pada indikator kesejahteraan menurut BKKBN 2003, seluruh responden keluarga termasuk keluarga

prasejahtera,

sedangkan

kesejahteraan

menurut

pandangan

subjektif

responden, sebagian besar dari mereka (73,9 %) merasa dirinya belum sejahtera. Pandangan subjektif pemulung ini bila dikaitkan dengan kedua indikator di atas (BPS dan BKKBN), maka yang cenderung terlihat sesuai dengan pandangan subjektif pemulung adalah indikator kesejahteraan menurut BKKBN. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa keluarga pemulung belum sejahtera.

ANALISIS KARAKTERISTIK PEMULUNG, KARAKTERISTIK KERJA, HUBUNGAN SOSIAL, DAN KESEJAHTERAAN PEMULUNG (Kasus Pemukiman Pemulung di Desa Kedaung, Kecamatan Pamulang, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten)

Oleh : Aisyah Ameriani A14201032

Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN 2006

Judul

Nama NRP

: ANALISIS KARAKTERISTIK PEMULUNG, KARAKTERISTIK KERJA, HUBUNGAN SOSIAL, DAN KESEJAHTERAAN PEMULUNG (Kasus Pemukiman Pemulung di Desa Kedaung, Kecamatan Pamulang, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten) : Aisyah Ameriani : A14201032

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Said Rusli, MA NIP. 130 345 011

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof.Dr.Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698

Tanggal Lulus:

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS HUBUNGAN

KARAKTERISTIK SOSIAL,

DAN

PEMULUNG,

KARAKTERISTIK

KESEJAHTERAAN

PEMULUNG

KERJA, (KASUS

PEMUKIMAN PEMULUNG DI DESA KEDAUNG, KECAMATAN PAMULANG, KABUPATEN

TANGERANG,

PROPINSI

BANTEN)”

BELUM

PERNAH

DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, 4 Januari 2006

Aisyah Ameriani A14201032

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Surakarta, Jawa Tengah pada tanggal 07 Februari 1983. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara yang lahir dari pasangan Bambang Rahardjono dan Dyah Ani Hastuti. Pada tahun 1988 – 1989, Penulis memulai pendidikan di TK PANDAWA Pamulang – Tangerang, kemudian melanjutkan pendidikannya ke jenjang SD Negeri Kampung Bulak II Pamulang – Tangerang pada tahun 1989 dan 1995. Ditengah-tengah tahun 1990 – 1994, penulis sempat mengecap bangku sekolah di SD Negeri 016 Batam Timur. Setelah itu, penulis menempuh pendidikan di SLTP NEGERI I Pamulang pada tahun 1995 – 1998. Kemudian dilanjutkan dengan menempuh pendidikan di SMU NEGERI I Ciputat pada tahun 1998 – 2001. Pada tahun 2001, penulis diterima sebagai mahasiswi Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN. Selama menjadi mahasiswi penulis pernah tergabung dalam beberapa organisasi dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Pertanian (2002 – 2003), anggota Keluarga Muslim Sosek (2002 – 2003), anggota IPB Crisis Centre (2003 – 2004) dan sekretaris DPM Fakultas Pertanian (2003 – 2004). Pada saat penulisan skripsi ini, penulis sedang magang di Community Development Indonesia sejak bulan Agustus 2005 hingga sekarang.

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, segala puji dan syukur terbesar hanya pada Allah SWT atas segala nikmat yang tak terkira. Pada kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada Ir. Said Rusli, MA atas ketersediaan waktu dan kesabarannya dalam memberikan bimbingan dan arahan selama proses penulisan proposal, penelitian dan penulisan laporan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Satyawan Sunito, selaku dosen pembimbing akademik, Dr.Ir. Titik Sumarti MC, MSi dan Ir. Dwi Sadono, MS selaku dosen penguji utama dan dosen penguji wakil departemen. Selain itu, skripsi ini tidak akan terwujud tanpa dukungan keluarga inti penulis, yaitu Mama yang rela menemani putrinya mengerjakan skripsi ini melalui kue-kue lezatnya, Papa dan Mas Riva yang telah banyak memberikan kritik dan masukan, terakhir kepada dua adikku, Dek Anizah dan Dek Iman. Melihat kalian adalah semangat bagi kakakmu ini. “Hope we always in Allah’s protection, keep istiqomah, and the last hope this happiness will be eternal forever.” Kepada teman-teman masa-masa sekolah; Walid, Nur, Novi, mbak Yun, mbak Heni, mbak Niar, mbak Fera, Pipit, dan all crew kos Arsida 2; Mega, Emar, Rika, Yani, dan KPM’38; rekan-rekan Comdev Indonesia; dan Ibu-ibu Luar Batang Penjaringan, penulis ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya atas doa, dorongan dan semangatnya, bukan hanya pada saat penulisan skripsi ini berlangsung tetapi selama penulis mulai mengenal kalian. Terima kasih atas kehangatan persahabatan yang telah kalian berikan. Terakhir, penulis ucapkan terima kasih kepada mbak Nisa dan mas Piyat di sekretariat KPM, seluruh warga masyarakat, pemulung, dan Kelurahan Desa Kedaung, serta kepada semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuannya yang sangat berharga kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL .................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xiii BAB I 1.1. 1.2. 1.3. 1.4.

PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................... Perumusan Masalah ............................................................................... Tujuan .................................................................................................... Kegunaan ...............................................................................................

1 6 7 8

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 1.1.1. Pengertian Sektor Informal .......................................................... 2.1.1.1. Ciri-ciri Sektor Informal ................................................. 2.1.1.2. Faktor-faktor yang Mempercepat Perkembangan Sektor Informal ....................................... 1.1.2. Karakteristik Pemulung ................................................................ 1.1.3. Karakteristik Kerja ....................................................................... 1.1.4. Hubungan Sosial .......................................................................... 1.1.5. Kesejahteraan ............................................................................... 2.2. Kerangka Pemikiran ............................................................................... 2.2.1. Hipotesis .................................................................................... 2.2.2. Definisi Operasional ..................................................................

13 14 17 25 28 33 36 36

BAB III 3.1. 3.2. 3.3. 3.4.

METODE PENELITIAN Metode Penelitian.................................................................................. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................ Teknik Pengambilan Data dan Penentuan Responden.......................... Teknik Analisis Data.............................................................................

44 44 45 46

BAB IV 4.1. 4.2. 4.3.

GAMBARAN UMUM DESA Lokasi dan Keadaan Wilayah ............................................................... Karakteristik Penduduk ........................................................................ Fasilitas Umum .................................................................................... 4.3.1. Pengairan .................................................................................... 4.3.2. Olahraga ...................................................................................... 4.3.3. Perekonomian ............................................................................. 4.3.4. Pendidikan .................................................................................. 4.3.5. Tempat Peribadatan .................................................................... 4.3.6. Kesehatan ....................................................................................

47 48 50 50 50 50 51 51 51

BAB V 5.1. 5.2. 5.3. 5.4.

KARAKTERISTIK PEMULUNG Jenis Kelamin ....................................................................................... Usia Pemulung ..................................................................................... Daerah Asal .......................................................................................... Agama dan Tingkat Pendidikan ............................................................

53 53 54 56

9 10 11

vi 5.5. 5.6. 5.7. 5.8. 5.9.

Jumlah Anggota Keluarga ..................................................................... Alasan Menjadi Pemulung .................................................................... Riwayat Pekerjaan Pemulung ................................................................ Kepemilikan KTP Musiman .................................................................. Ikhtisar ...................................................................................................

57 58 59 60 61

BAB VI 6.1. 6.2. 6.3. 6.4. 6.5. 6.6. 6.7. 6.8. 6.9. 6.10. 6.11. 6.12. 6.13.

KARAKTERISTIK KERJA PEMULUNG Lama Menjadi Pemulung ...................................................................... Lama Tinggal di Lapak Terakhir ........................................................... Motivasi Kerja ...................................................................................... Penghasilan dari Memulung .................................................................. Hari Kerja dan Jam Kerja ...................................................................... Jarak Tempuh Memulung ...................................................................... Karakteristik Barang Pulungan ............................................................. Berat Barang Pulungan .......................................................................... Peralatan yang Digunakan ..................................................................... Peraturan dalam Memulung ................................................................... Frekuensi Pengiriman Uang ke Daerah Asal ......................................... Frekuensi Pulang ke Daerah Asal .......................................................... Ikhtisar ...................................................................................................

63 64 64 66 66 68 69 69 70 71 71 73 73

BAB VII 7.1. 7.2. 7.3. 7.4. 7.5.

HUBUNGAN SOSIAL PEMULUNG Hubungan Antar Pemulung dalam Satu Bedengan ............................... Hubungan Pemulung dengan Lapak ..................................................... Hubungan Pemulung dengan Masyarakat Sekitar ................................ Hubungan Pemulung dengan Pemerintah Setempat .............................. Ikhtisar ...................................................................................................

75 78 79 82 83

BAB VIII HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PEMULUNG, KARAKTERISTIK KERJA DAN HUBUNGAN SOSIAL PEMULUNG 8.1. Hubungan Antara Karakteristik Pemulung dengan Karakteristik Kerja ................................................................................ 8.2. Hubungan Antara Karakteristik Pemulung dengan Hubungan Sosial .................................................................................... 8.3. Hubungan Antara Karakteristik Kerja dengan Hubungan Sosial .......... 8.4. Ikhtisar ................................................................................................... BAB IX 9.1. 9.2. 9.3. 9.4. 9.5.

KESEJAHTERAAN PEMULUNG Penghasilan Total Keluarga Pemulung ................................................. Pengeluaran untuk Pangan ................................................................... Kepemilikan Barang-barang Fasilitas Keluarga ................................... Kesehatan Pemulung ............................................................................. Kesejahteraan Pemulung Menurut Indikator Kesejahteraan BKKBN .......................................................... 9.6. Kesejahteraan Pemulung Menurut Pandangan Subjektif ...................... 9.7. Ikhtisar ..................................................................................................

84 92 95 99 101 102 104 104 106 112 115

vii BAB X

PEMBAHASAN: TINJAUAN TERHADAP EKSISTENSI DAN PROSPEK KEHIDUPAN PEMULUNG 10.1. Eksistensi Pemulung ........................................................................ 117 10.2. Prospek Kehidupan Pemulung .............................................................. 124

BAB XI KESIMPULAN DAN SARAN 11.1. Kesimpulan ........................................................................................... 127 11.2. Saran ...................................................................................................... 129 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 131 LAMPIRAN ............................................................................................................ 134

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

Tabel 1

Perbedaan antara Sektor Formal dan Informal

..................................

12

Tabel 2

Susunan Penduduk Desa Kedaung Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, 2005 .....................................

49

Tabel 3

Jumlah Pemulung Menurut Usia, Juli 2005 ...........................................

54

Tabel 4

Jumlah Pemulung Menurut Daerah Asalnya, Juli 2005

..............

55

Tabel 5

Jumlah Pemulung Menurut Tingkat Pendidikan, Juli 2005 ...................

56

Tabel 6

Distribusi Alasan Menjadi Pemulung, Juli 2005....................................

59

Tabel 7

Riwayat Pekerjaan Pemulung, Juli 2005................................................

60

Tabel 8

Jumlah Pemulung Menurut Kepemilikan KTP Musiman, Juli 2005 .......................................................................

60

Jumlah Pemulung Menurut Lamanya Menjadi Pemulung, Juli 2005 ...............................................................................

63

Jumlah Pemulung Menurut Lama Tinggal di Lapak Terakhir, Juli 2005 .................................................................

64

Jumlah Pemulung Menurut Perasaannya Bekerja sebagai Pemulung, Juli 2005 .................................................................

65

Tabel 12

Jumlah Pemulung Menurut Penghasilan Pemulung, Juli 2005 ..............

66

Tabel 13

Jumlah Pemulung Menurut Hari Kerja dalam Sebulan, Juli 2005 .......................................................................

67

Jumlah Pemulung Menurut Jam Kerja Pemulung dalam Sebulan, Juli 2005 .......................................................................

68

Jumlah Pemulung Menurut Jarak Tempuh Memulung, Juli 2005 .............................................................................

69

Jumlah Pemulung Menurut Berat Barang Pulungan yang Didapatkan, Juli 2005 ...................................................................

70

Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Pengiriman Uang ke Desa, Juli 2005 ........................................................................

72

Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11

Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17

ix Tabel 18

Jumlah Pemulung Menurut Jumlah Uang yang Dikirim Pemulung per Tahun, Juli 2005 ...............................................

72

Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Pulang ke Daerah Asal dalam Setahun, Juli 2005 ..................................................

73

Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Interaksi Antar Pemulung, Juli 2005 .....................................................................

75

Tabel 21

Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Musyawarah, Juli 2005 ............

76

Tabel 22

Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Mendengarkan Keluhan dan Memberikan Solusi Antar Pemulung, Juli 2005 ..............

77

Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Interaksi dengan Lapak, Juli 2005 ........................................................................

78

Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Interaksi Pemulung dengan Masyarakat, Juli 2005 ..............................................

80

Jumlah Pemulung dalam Menanggapi Penerimaan Masyarakat, Juli 2005 ............................................................................

82

Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Interaksi Pemulung dengan Pemerintah Setempat, Juli 2005 ..............................

.82

Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan Lama Menjadi Pemulung .......................................................................

84

Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan Hari Kerja Pemulung dalam Sebulan ....................................................

85

Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan Jam Kerja Pemulung dalam Sebulan .....................................................

85

Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan Jarak Tempuh Pemulung dalam Sehari ...........................................................

86

Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan Berat Barang Pemulung dalam Sebulan .........................................................

87

Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan Penghasilan Pemulung dalam Sebulan .................................................

88

Persentase Pemulung Menurut Usia Pemulung dan Hari Kerja Pemulung dalam Sebulan ....................................................

88

Persentase Pemulung Menurut Usia Pemulung dan Jam Kerja Pemulung dalam Sebulan .....................................................

89

Tabel 19 Tabel 20

Tabel 23 Tabel 24 Tabel 25 Tabel 26 Tabel 27 Tabel 28 Tabel 29 Tabel 30 Tabel 31 Tabel 32 Tabel 33 Tabel 34

x Tabel 35 Tabel 36 Tabel 37 Tabel 38 Tabel 39 Tabel 40 Tabel 41 Tabel 42 Tabel 43 Tabel 44 Tabel 45 Tabel 46

Persentase Pemulung Menurut Usia Pemulung dan Jarak Tempuh Memulung dalam Sehari .........................................................

89

Persentase Pemulung Menurut Usia Pemulung dan Penghasilan Pemulung dalam Sebulan .................................................

90

Persentase Pemulung Menurut Daerah Asal dan Lama Tinggal di Lapak Terakhir ..........................................................

91

Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan Hubungan dengan Masyarakat Sekitar ..................................................

92

Persentase Pemulung Menurut Usia Pemulung dan Interaksi antar Pemulung dalam Satu Bedengan ..................................

93

Persentase Pemulung Menurut Daerah Asal dan Interaksi Pemulung dalam Satu Bedengan ...........................................................

93

Persentase Pemulung Menurut Daerah Asal dan Interaksi Pemulung dan Lapak .............................................................................

94

Persentase Pemulung Menurut Lama Tinggal dengan Lapak Terakhir dan Interaksi Antara Pemulung dengan Masyarakat ..............

95

Persentase Pemulung Menurut Lama Tinggal dengan Lapak Terakhir dan Interaksi Antara Pemulung dengan Lapak .......................

96

Persentase Pemulung Menurut Lama Menjadi Pemulung dan Interaksi Antara Pemulung dengan dalam Satu Bedengan ...................................

97

Persentase Pemulung Menurut Lama Menjadi Pemulung dan Interaksi Antara Pemulung dengan Lapak .....................................

97

Persentase Pemulung Menurut Penghasilan dalam Sebulan dan Interaksi Antara Pemulung dengan Lapak ......................................

98

Tabel 47

Persentase Pemulung Menurut Penghasilan dalam Sebulan dan Interaksi Antara Pemulung dengan Masyarakat ................................ 99

Tabel 48

Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Penghasilan Total Keluarga Pemulung dalam Sebulan, Juli 2005 ...................................... 102

Tabel 49

Perbandingan Pengeluaran Pangan dengan Penghasilan Total Keluarga, Juli 2005 ...................................................................... 103

Tabel 50

Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Kepemilikan Barang-Barang Fasilitas Keluarga, Juli 2005 ........................................ 104

Tabel 51

Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Keluhan Kesehatan, Juli 2005 ............................................................... 105

xi Tabel 52

Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Sumber Air Minum, Juli 2005 ................................................................................................ 106

Tabel 53

Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Frekuensi Makan Keluarga dalam Sehari, Juli 2005 .......................................................... 107

Tabel 54

Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Konsumsi Lauk dalam Seminggu Terakhir, Juli 2005 ..................................................... 108

Tabel 55

Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Sarana/ Petugas Kesehatan yang Digunakan, Juli 2005 .................................................. 109

Tabel 56

Luas Lantai Tempat Tinggal Pemulung, Juli 2005 ............................... 110

Tabel 57

Kemampuan Membaca dan Menulis Anggota Keluarga, Juli 2005 ...... 110

Tabel 58

Alasan Pemulung Belum Merasa Sejahtera, Juli 2005 .......................... 114

Tabel 59

Alasan Pemulung Sudah Merasa Sejahtera, Juli 2005 ........................... 114

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ..............................................................................

35

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Halaman

Lampiran 1. Peta Desa Kedaung ...........................................................................

135

Lampiran 2. Kuesioner dan Panduan Wawancara .................................................

136

Lampiran 3. Hasil Wawancara ..............................................................................

144

Lampiran 4. Peta Desa Kedaung dalam Kabupaten Tangerang ............................

150

Lampiran 5. Perhitungan Reit Pertumbuhan Penduduk Desa Kedaung Tahun 2005 ...............................................................

151

Lampiran 6. Foto-foto Penelitian ..........................................................................

152

Lampiran 7. Daftar Harga Beli dan Jual Barang Pulungan Versi Lapak Ibu Damis (11 Juli 2005) .............................................

154

Lampiran 8. Kriteria Keluarga Sejahtera ...............................................................

155

Lampiran 9. Daftar Istilah dan Singkatan ..............................................................

156

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Pembangunan

yang

dilaksanakan

Indonesia

dengan

sangat

giat

dan

berkesinambungan telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat (rata-rata 7,7 persen setahun selama 1970 – 1977) dan telah berhasil dalam meningkatkan taraf hidup semua lapisan masyarakat, termasuk golongan berpendapatan rendah, sehingga kemiskinan absolut telah berkurang. Konsep pembangunan utama yang digunakan oleh pemerintah pada saat itu adalah konsep kutub pertumbuhan (growth pole). Konsep ini sangat menekankan investasi masif pada industri-industri padat modal di pusat-pusat urban (Wie, 1981). Berdasarkan pengalaman di banyak negara, industrialisasi merupakan suatu tahap yang harus dilewati karena hal ini menjamin kelangsungan proses pembangunan ekonomi jangka panjang dengan laju pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan yang menghasilkan pengingkatan pendapatan per kapita setiap tahun (Tambunan, 2001). Dengan berkembangnya kutub pertumbuhan ini, pemerintahan di negara-negara berkembang berharap dapat menstimulasi dan menciptakan penyebaran pertumbuhan sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi wilayah yang lebih luas. Dengan mengedepankan pengembangan kota-kota besar utama, diharapkan tercapainya tingkat titik balik investasi pembangunan yang sangat tinggi yang mendukung pelayanan komersial, administrasi dan infrastruktur yang dibutuhkan industri-industri untuk bekerja secara efisien. Dengan kata lain, konsep ini merupakan mesin dari pembangunan. Bila dilihat secara umum, dengan adanya konsep ini, maka pada era tahun 1970 – 1980-an jumlah rata-rata penduduk miskin Indonesia mengalami

2 penurunan. Namun, bila melihat lebih dalam lagi, konsep ini justru semakin memperbesar jurang kemiskinan. Hal seperti ini terlihat semakin jelas pada masa-masa ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara berkembang lainnya yang juga menggunakan konsep ini, konsep ini dinilai mengalami kegagalan. Pertama, proses penetesan pertumbuhan (trickle down effect) dan penyebaran pertumbuhan (spread effect) yang ditimbulkan, umumnya tidak cukup mampu untuk menggerakkan perekonomian wilayah. Bahkan yang terjadi adalah adanya eksploitasi aset-aset pedesaan, baik itu bahan mentah, modal, tenaga-tenaga kerja maupun bakat entrepreneur dari pedesaan di sekelilingnya (Rustiadi, 2004). Oleh karena itu, walaupun pertumbuhan ekonomi mengalami perubahan yang pesat, namun pertumbuhan tersebut tidak merata pada semua wilayah. Pembangunan hanya berhasil meningkatkan perkembangan kota sedangkan desa pada umumnya mengalami ketertinggalan pembangunan. Pada akhirnya, muncullah ketimpangan wilayah antara desa dengan kota dan secara global antara kawasan timur Indonesia dengan kawasan barat Indonesia. Ketimpangan ini akan menimbulkan berbagai macam masalah sosial. Masalah kecemburuan sosial dari wilayah-wilayah non kota atau luar Jawa semakin menyeruak. Mulai dari kerusuhan-kerusuhan di berbagai kota di Indonesia, penjarahan, pembakaran, bahkan sampai kepada pilihan suatu wilayah untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mulai banyak bermunculan. Selanjutnya, alasan yang kedua mengapa konsep growth pole ini dinilai gagal karena konsep ini terlalu menekankan investasi masif pada sektor industri. Oleh karena itu, yang menunjukkan perkembangan ekonomi hanyalah pada sektor industri sedangkan fakta lain menunjukkan adanya penurunan pertumbuhan ekonomi yang sangat tajam pada sektor pertanian (Rustiadi, 2004). Padahal sektor pertanian adalah sektor utama mata pencaharian penduduk yang tinggal di perdesaan (World Development Report,

3 1982 dalam Jhingan, 2003). Hal ini mengakibatkan adanya perpindahan penduduk secara besar-besaran. Sebagian besar masyarakat agraris tersebut secara rasional pindah ke pusat-pusat pertumbuhan, yaitu ke kota. Kebijaksanaan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan ekonomi yang lebih cenderung menyandarkan pada strategi pertumbuhan telah memberikan kesempatan yang lebih besar pada kegiatan-kegiatan sektor ekonomi formal atau modern untuk berkembang dan memberikan kontribusi yang terus meningkat pada Produk Domestik Bruto (PDB). Namun langkah dan strategi ini telah menimbulkan berbagai implikasi, salah satunya adalah masalah kesempatan kerja. Oleh karena itulah sejak tahun 1970, pemerintah mengambil kebijakan pengendalian kenaikan jumlah penduduk sebagai salah satu upaya secara implisit untuk mengurangi kenaikan supply tenaga

kerja

di

pasar.

Sayangnya,

upaya

ini

tidak

sepenuhnya

berhasil

(Wirakartakusumah, 1998). Menurut laporan Far Eastern Economic Review tahun 1998, akibat krisis moneter yang melanda dunia khususnya di Indonesia, 90 persen perusahaan yang go public secara teknis mengalami bangkrut dan menghasilkan enam juta penganggur. Dilihat dari data statistik, angka pengangguran kian bertambah dari tahun ke tahun. Hal demikian terjadi akibat tidak tertampungnya angkatan kerja dan tidak berkembangnya bisnis yang menyerap banyak tenaga kerja. Apabila pada tahun 1998 terdapat 20 juta penganggur, maka tahun 2004 diperkirakan terdapat 40 juta penganggur terbuka. Angka tersebut bertambah satu juta setiap tahunnya. Di luar angka tersebut, diperkirakan masih terdapat 10 sampai dengan 50 juta pengangguran tertutup (Nainggolan, 2003). Lebih lanjut, Tambunan (2001) menyatakan bahwa setelah krisis yang melanda ekonomi Indonesia, sektor industri manufaktur menunjukkan perkembangannya yang tidak begitu baik. Padahal industri manufaktur di Indonesia didominasi oleh industri

4 kecil dan industri rumah tangga. Memang laju pertumbuhan output-nya rata-rata pertahun cukup tinggi, namun sektor tersebut sangat tergantung pada impor. Padahal yang diharapkan adalah berkurangnya ketergantungan terhadap impor barang. Sementara ekspor manufaktur di Indonesia belum berjalan dengan baik. Inilah yang menjadi keraguan mengenai efektivitas strategi sektor industri. Hal yang menjadi hambatan dalam perkembangan sektor industri manufaktur adalah keterbatasan teknologi dan sumberdaya manusia. Padahal, kedua faktor ini merupakan aspek yang sangat penting dalam menentukan tingkat daya saing (keunggulan komparatif) sektor industri manufaktur suatu negara. Teknologi yang dibutuhkan oleh negara yang memiliki jumlah penduduk besar adalah teknologi yang tepat guna dan padat karya. Namun, teknologi industri yang berkembang saat ini belum banyak yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Akibatnya terasa pada saat krisis, dimana banyak orang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Oleh karena itulah, mereka yang sebelumnya bekerja di sektor formal banyak yang pindah ke sektor informal. Sektor informal pun menjadi salah satu bagian dari strategi masyarakat untuk bertahan hidup (Wirakartakusumah, 1998), karena sektor ini mampu menciptakan lapangan usaha baru dan menciptakan pendapatan bagi pelakunya dan orang lain di kala pemerintah dan sektor swasta tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi kurang lebih 40 juta penganggur (Wibowo, 2002). Selain itu, menurut penelitian dari Desiar (2003), sektor informal mempunyai peranan yang cukup besar dalam menampung kelebihan angkatan kerja di sektor formal baik pada penduduk migran dan non migran. Pemulung adalah salah satu contoh kegiatan sektor informal. Para pemulung melakukan pengumpulan barang bekas karena adanya permintaan dari industri-industri pendaur ulang bahan-bahan bekas. Adapun bahan-bahan bekas yang sering diminta

5 adalah plastik, kertas bekas, bahan bekas dari kaca, kaleng dan sebagainya. Dalam realitas di masyarakat, keberadaan pemulung dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, profesi pemulung ini mampu memberikan peluang kerja kepada pemulung itu sendiri ketika pemerintah tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan untuk mereka yang sangat membutuhkan pekerjaan. Keterbatasan akan pendidikan dan keterampilan, bukan menjadi hambatan bagi mereka untuk berusaha. Namun di sisi lain, keberadaan mereka dianggap mengganggu kebersihan, keindahan, ketertiban, kenyamanan, dan keamanan masyarakat. Seringkali mereka dipukuli atau diusir dari tempat mereka mencari nafkah, tanpa memberikan solusi yang terbaik bagi mereka (Chandrakirana & Sadoko 1994). Kajian mengenai kehidupan pemulung ini berawal dari sebuah keprihatinan atas kehidupan pemulung yang pada umumnya hidup di kawasan yang kumuh dan menghadapi berbagai tindakan-tindakan yang dirasa tidak manusiawi. Namun mereka masih dapat bertahan dengan segala peluang dan hambatan yang ada. Bentuk hubungan kerja dan sosial yang terjadi diantara pemulung, lapak, masyarakat, dan pemerintah menarik untuk dikaji karena hubungan ini menjamin keberlangsungan berusaha dimana satu sama lainnya saling membutuhkan. Dewasa ini, pada umumnya program-program yang berhubungan dengan kesejahteraan pemulung belum banyak dilakukan dan masih belum tepat pada sasaran kebutuhan. Tampak hal ini antara lain karena kurangnya informasi para pengambil kebijakan mengenai data-data kehidupan pemulung. Di Desa Kedaung sendiri terdapat beberapa program kesejahteraan, namun belum terdapat program khusus yang hanya ditujukan untuk masyarakat pemulung ataupun penelitian yang mengangkat tema mengenai pemulung.

6 1.2. Perumusan Masalah Profesi pemulung banyak digeluti oleh mereka yang memiliki keterbatasan pendidikan dan keterampilan. Di saat pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan kerja, profesi pemulung masih dapat hidup dengan segala keterbatasannya. Pada umumnya, mereka yang terjun di usaha ini tidak memiliki alternatif pekerjaan lain selain memulung. Alasannya tak lain karena keterbatasan sumberdaya manusianya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, dari segala keterbatasannya, profesi ini masih dapat bertahan bahkan tetap hidup di kala usaha-usaha lain mengalami kemunduran, terutama pada saat terjadi krisis moneter. Selain itu, penghasilan yang diterima oleh pemulung pun cukup besar jumlahnya walaupun hanya dengan menggunakan modal yang sangat terbatas ataupun tanpa modal tertentu. Kehadiran pemulung memberikan “warna” tersendiri bagi perekonomian di Indonesia. Di satu sisi, kehadirannya dianggap telah menggangu keindahan, kenyamanan, dan ketertiban kota. Namun di sisi lain, pemulung turut membantu pihak Dinas Kebesihan setempat dalam mengurangi gunungan sampah di tempat pembuangan sampah (TPS) ataupun tempat pembuangan akhir (TPA). Fenomena pemulung makin marak belakangan ini, terutama di daerah perkotaan ataupun daerah yang dekat dengan pusat kota. Pada Desa Kedaung, terdapat lima permukiman pemulung dimana hampir seluruh penghuninya berasal dari Jawa Tengah. Dilihat dari keterhubungan pemukiman tersebut dengan pemukiman di sekitarnya, dimana pemukiman pemulung tersebut merupakan bagian dari Rukun Warga (RW) tertentu, agaknya keberadaan pemulung ini secara “de facto” telah diakui oleh masyarakat sekitar. Namun keberadaan pemulung ini masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah setempat, dalam hal ini Desa Kedaung. Hal ini terlihat dari belum adanya data-data ataupun program-program kesejahteraan yang terkait dengan pemulung tersebut.

7 Berdasarkan pemahaman di atas maka dapat diajukan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah karakteristik pemulung? 2. Bagaimanakah karakteristik kerja pemulung? 3. Bagaimanakah bentuk hubungan sosial antar pemulung itu sendiri, antara pemulung dengan lapaknya, masyarakat sekitar, dan pemerintah setempat? 4. Bagaimanakah hubungan antara karakteristik pemulung dengan karakteristik kerja dan hubungan sosial pemulung serta hubungan karakteristik kerja dengan hubungan sosial pemulung? 5. Bagaimanakah keadaan kesejahteraan pemulung?

1.3. Tujuan Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitiannya adalah sebagai berikut: 1.

Mengetahui karakteristik pemulung.

2.

Memahami karakteristik kerja pemulung.

3.

Menelaah bentuk hubungan sosial antara pemulung itu sendiri, antara pemulung dengan lapaknya, masyarakat sekitar, dan pemerintah setempat.

4.

Menganalisis hubungan antara karakteristik pemulung dengan karakteristik kerja dan hubungan sosial pemulung serta hubungan antara karakteristik kerja dengan hubungan sosial.

5.

Menelaah keadaan kesejahteraan pemulung.

8 1.4. Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pemerhati masalah sosial, yaitu para akademisi, pemerintah, masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Para akademisi dapat menggunakan penelitian ini sebagai salah satu rujukan dalam mengenali “wajah“ masyarakat pemulung sehingga akan membantu menemukan solusi yang tepat, terkait dengan permasalahan pemulung. Penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan tertentu serta membantu pemerintah dalam merumuskan program pemberdayaan masyarakat pemulung yang lebih sesuai dengan kebutuhan pemulung dan masyarakat. Selanjutnya, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat mengenali, menyadari, dan mengakui keberadaan pemulung. Kemudian, bagi LSM sebagai mitra yang biasa dekat dengan kaum “bawah”, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan dalam menyusun rancangan program untuk pemulung, baik dengan program berupa bantuan-bantuan materil ataupun immateril yang dapat meningkatkan kemandirian mereka dan menjembatani komunikasi antara pemulung dengan akademisi, pemerintah dan masyarakat luas.

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

2.1.Tinjauan Pustaka Bila dirunut, pemulung sebagai bagian dari sektor infomal merupakan sebuah profesi yang tumbuh karena industri padat modal di kota tidak mampu “berbagi kue” kepada industri padat karya di pedesaan. Hal itu mengakibatkan kesempatan kerja di desa tidak berkembang dengan baik, bahkan cenderung mengalami ketertinggalan. Untuk memperbaiki nasibnya, banyak pendatang yang mencari kerja dan pada akhirnya mereka menetap di kota. Masuknya pendatang tersebut menyebabkan tingkat perpindahan penduduk di perkotaan semakin bertambah besar. Keadaan ini menurut Damanhuri (1983), menimbulkan struktur ekonomi perkotaan yang dualistik, yaitu sektor formal dan informal. Belakangan ini telah disadari bahwa pemulung memiliki peranan penting dalam mengurangi tumpukan sampah di perkotaan. Namun, tidak dipungkiri bahwa dengan demikian bertambahlah kawasan-kawasan kumuh di perkotaan, yang kini dijadikan alasan bagi pemerintah untuk mengusir keberadaan mereka agar kota terlihat lebih indah. Pekerjaan memulung yang dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai pekerjaan yang inferior, ternyata memberikan penghasilan yang cukup baik bagi pemulung itu sendiri, para lapak, dan industri daur ulang, di saat sektor ekonomi formal tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, dalam bab ini akan diuraikan beberapa konsep yang digunakan untuk menganalisis permasalahan pemulung yang terdapat di lapangan. Beberapa konsep tersebut diantaranya yaitu konsep sektor informal, konsep pemulung, konsep kerja pemulung, konsep hubungan sosial, dan konsep kesejahteraan yang akan dipaparkan lebih jelas pada bagian-bagian berikut.

10 2.1.1

Pengertian Sektor Informal Konsep mengenai sektor informal mulai diperbincangkan semenjak penelitian

yang dilakukan oleh Keith Hart di Acra (Ghana) pada tahun 1971. Ia menyebut sektor informal ini sebagai kegiatan ekonomi periperal yang mana sektor ini menyediakan pelayanan pokok yang dibutuhkan dalam kehidupan kota. Menurut Hart, kesempatan dalam memperoleh penghasilan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sektor formal, sektor informal sah, dan sektor informal tidak sah. Namun karena sulitnya memberikan batasan antara sektor informal yang sah dengan yang tidak sah, maka banyak peneliti yang cenderung hanya menggunakan konsep sektor formal dan informal dalam memperoleh kesempatan bekerja (Hart, 1985). Menurut Sethurahman (1985), sektor informal adalah unit-unit usaha yang berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang/jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan untuk diri sendiri. Dalam usahanya itu, ia dihadapkan pada berbagai kendala seperti modal fisik, pengetahuan dan keterampilan. Selanjutnya Sjahrir (1986), menyebut sektor informal sebagai unit kegiatan ekonomi yang skala usahanya dapat besar maupun kecil yang memberikan peluang pada setiap individu-individu untuk memaksimalisasi sumberdaya-sumberdaya dan tenaga kerja yang ada dengan biaya seminim mungkin. Tampaknya tidak ada batasan yang pasti untuk mendefinisikan sektor informal, karena hal ini ternyata tergantung dari jenis pekerjaan yang dilakoninya. Namun secara umum, batasan mengenai sektor informal dapat dilihat dari ciri-ciri sektor informal berikut ini.

11 2.1.1.1. Ciri-ciri Sektor Informal Untuk mempermudah mengenali bentuk wajah dari sektor informal, beberapa ahli membuat generalisasi pencirian dari sebuah sektor informal. Beberapa ciri sektor informal antara lain: 1. seperti yang dimiliki oleh setengah penganggur, yaitu pada umumnya pelaku bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain atau bekerja dengan dibantu anggota rumahtangga atau buruh tidak tetap, bekerja dengan jam kerja yang tidak teratur dan jumlah jam yang jauh dari kewajaran atau di atas kewajaran, melakukan bermacammacam kegiatan yang tidak sesuai dengan pendidikan atau keahliannya (Wirosarjono, 1982 dalam Damanhuri, 1983), 2. skala usaha yang relatif kecil (dalam konteks ekonomi makro) dan kecenderungan beroperasi di luar sistem regulasi (Sethurahman, 1985), 3. belum tersentuh oleh peraturan atau ketentuan yang ditetapkan pemerintah, 4. modal, peralatan dan perlengkapan, maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian, 5. umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan terpisah dengan tempat tinggalnya, 6. tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain yang lebih besar, 7. umumnya dilakukan untuk melayani golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, 8. tidak membutuhkan keahlian khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap berbagai tingkat pendidikan ketenagakerjaan, 9. umumnya setiap satuan usaha memperkerjakan tenaga yang sedikit yang biasanya dari lingkungan hubungan kekeluargaan, kenalan, atau berasal dari daerah yang sama,

12 10. belum mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan, dan lain sebagainya (Sukesi, 2002), dan 11. sektor yang tidak terproteksi dan tidak memiliki hubungan kerja kontrak jangka panjang (Chandrakirana & Sadoko 1994). Dalam memahami peluang dan keterbatasan dalam ekonomi sektor informal, diperlukan studi sektoral yang mencakup semua pelaku, baik formal maupun informal (Chandrakirana & Sadoko 1994). Tabel 1 mendeskripsikan perbedaan antara sektor formal dan informal menurut Gerry (1987) dalam Suwartika (2003). Tabel 1 Perbedaan Antara Sektor Formal dan Informal 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Karakteristik Teknologi Organisasi Modal Jam Kerja Upah Kesediaan Harga

8. Kredit 9. Keuntungan 10. Hubungan dengan klien 11. Biaya tetap 12. Advertising 13. Pemanfataan barangbarang bekas 14. Modal tambahan 15. Perangkat pemerintahan 16. Ketergantungan terhadap dunia luar

Sektor Formal Capital intensive Birokratis Berlebih Teratur Normal: teratur Berkualitas Harga pas

Sektor Informal Labour intensive Hubungan kekeluargaan Sedikit Tidak teratur Tidak teratur Tidak berkualitas Cenderung bisa dinegosiasikan Dari bank atau institusi Pribadi dan bukan bank yang sama dengan bank Tinggi Rendah Secara formal Secara pribadi Besar Kecil (dapat diabaikan) Penting Kurang penting Tidak berguna Berguna Indispensible Dispensible Besar Hampir tidak ada Besar: Khususnya untuk Hampir tidak ada atau orientasi ekspor kecil

Sumber: Gerry (1987) dikutip oleh Suwartika (2003)

Dari bermacam-macam ciri yang telah disebutkan, pada dasarnya sektor informal itu tidak dapat terpisah dari sektor formal. Seperti kata pepatah Mead dan Morrison (1996) dalam Anderson (1998) bahwa sektor informal itu seperti gajah, kita tidak dapat mendefinisikannya secara tepat, tetapi kita tahu ketika kita melihatnya.

13 2.1.1.2. Faktor-faktor yang Mempercepat Perkembangan Sektor Informal Belakangan ini sektor informal mulai bertambah pesat perkembangannya. Ia mampu memberikan alternatif sumber penghidupan selain yang disediakan oleh negara Ada beberapa alasan yang menjelaskan mengapa sektor informal ini semakin banyak diminati. Menurut penelitian yang dilakukan Anderson (1998), ada beberapa aspek yang mempengaruhi minat terhadap sektor ini, yaitu: 1. krisis ekonomi, menyebabkan supply tenaga kerja yang melimpah, 2. urbanisasi yang pada akhirnya berujung kepada meningkatnya jumlah tenaga kerja, 3. sektor informal berkembang seiring dengan permintaan barang dan jasa, terutama barang atau jasa yang tidak dapat disediakan oleh sektor formal, 4. kemudahan memasuki sektor informal. Beberapa alasan diantaranya (i) sektor informal tidak terlalu terikat pada peraturan-peraturan yang bersifat legal; (ii) peraturan-peraturan dibuat sendiri oleh para pekerja sektor informal. Oleh karena itu, hanya membutuhkan sedikit persyaratan (bisa dalam bentuk uang, tenaga atau keterampilan) untuk dapat menjadi bagian dari sektor informal; (iii) tempat melakukan usaha jarang yang menetap; (iv) skala usaha yang dikembangkan relatif kecil dan ia mampu berdiri sendiri tanpa adanya bantuan dari pihak perbankan; dan (v) pajak yang diberikan lebih ringan jika dibandingkan dengan sektor formal. Dari beberapa pemaparan di atas, kiranya dapat diambil garis besarnya bahwa sektor informal kian lama kian berkembang karena kondisi ekonomi yang sedang sulit. Sektor informal merupakan suatu penyelamat bagi mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan karena ia dengan mudahnya dapat masuk ke sektor tersebut ataupun ia menciptakan lapangan kerja baru (Chandrakirana & Sadoko 1994).

14 2.1.2.Karakteristik Pemulung Pemahaman posisi pelaku-pelaku sektor informal dalam struktur yang lebih luas, hanya dapat diperoleh dengan menggali dinamika yang berlaku spesifik pada suatu bidang usaha tertentu (Chandrakirana & Sadoko 1994). Dalam hal ini, pelaku sektor informal yang dikaji adalah pemulung. Menurut Nelson (1991) dalam Pramuwito (1992), pemulung dibatasi sebagai seorang atau sekelompok manusia yang penghidupannya diperoleh dari mencari atau mengumpulkan barang-barang bekas yang telah terbuang di tempat pembuangan sampah sebagai “barang dagangan”. Dinas Kebersihan Daerah Khusus Ibukota (DKI) (1990) dalam Simanjuntak (2002) memberikan kesepakatan cara pandang mengenai pemulung, yaitu: 1. Pemulung adalah bagian masyarakat atau Warga Negara Indonesia (WNI) yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. 2. Pemulung adalah pelaku penting dalam proses daur ulang (recycling) sampah sebagai salah satu bagian dalam penanganan sampah perkotaan maupun pedesaan. 3. Pemulung adalah salah satu pemelihara lingkungan hidup yang menyerap sebagian sampah untuk dapat diolah menjadi barang yang berguna bagi masyarakat. 4. Pemulung adalah orang yang bekerja memunguti dan mengumpulkan sampah dan memanfaatkan sampah-sampah tersebut untuk menambah penghasilan mereka. Pada umumnya, profesi pemulung ini lebih banyak “digeluti” oleh masyarakat miskin. Hampir secara keseluruhan, para pemulung merupakan migran yang berasal dari pedesaan (Simanjuntak, 2002). Menurut Sjahrir (1995), sebagian besar migran meninggalkan desa di Jawa karena alasan ekonomi. Kesulitan ekonomi ini terjadi karena adanya tekanan kepadatan penduduk, kebijakan pertanian, dan situasi politik setempat. Dari semua itu, faktor utama yang mendorong migrasi ini adalah adanya

15 perubahan di sektor pertanian, yang terjadi sehubungan dengan kebijakan ekonomi dan politik yang diterapkan pada sektor tersebut. Program-program pertanian yang ditawarkan pemerintah pada awalnya ditujukan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat. Namun pada akhirnya justru memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada pihak-pihak tertentu. Kekuasaan ini kemudian semakin memperlebar jurang kesenjangan antara penduduk kaya dan penduduk miskin (Collier 1978, Wiradi 1979, Hart 1986, Hart dan White 1989, dalam Sjahrir 1995). Reaksi penduduk miskin terhadap jurang kesenjangan yang tak lain merupakan polarisasi dari ekonomi, tampak dalam bentuk unjuk rasa, pembunuhan tokoh terkemuka, sabotase, ataupun sampai kepada pilihan meninggalkan desa. Beberapa ahli berpendapat bahwa perpindahan pekerja dari desa ke kota hanya berdasarkan peruntungan saja. Pendatang dari desa pada umumnya menyadari bahwa kesempatan mereka untuk diterima pekerjaan di perkotaan kecil. Namun karena perbedaan tingkat upah absolut yang besar antara kota dengan desa membuat penduduk desa tergerak untuk melakukan migrasi ke kota (Gughler 1968, Harris dan Todaro 1970, Safa dan Du Toit 1975 dalam Sjahrir 1995). Pilihan yang terakhir ini membawa mereka ke perkotaan. Terdapat dua teori yang menjelaskan mengenai hal ini. Todaro (1969) dalam Sjahrir (1995) menjelaskan bahwa ketika berada di kota, pekerja dengan keahlian yang rendah atau terbatas akan bekerja di sektor tradisional kota (urban traditional sector atau urban informal sector) terlebih dahulu sebelum akhirnya memperoleh pekerjaan yang tetap di sektor modern. Adapun berdasarkan penelitian dari Sjahrir (1995), ia menemukan bahwa pelaku migrasi (penduduk Bejer) yang pergi ke Jakarta segera mendapatkan pekerjaan tanpa harus melalui urban traditional sector atau urban informal sector.

16 Pilihan kerja sebagai pemulung merupakan alternatif utama bagi mereka para migran yang ingin bekerja namun tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang memadai. Walaupun dipandang sebelah mata, profesi ini masih tetap diminati karena kemudahan akses para migran untuk diterima bekerja. Beberapa faktor lainnya adalah: 1) tidak memerlukan keahlian tertentu (Sjahrir, 1986). Hanya dengan modal tenaga, para pekerja di sektor informal sudah dapat memberikan penghasilan tertentu. Sebagai contoh pekerjaan memulung. Menurut keterangan seorang pemulung karena sumberdaya manusianya rendah, usaha yang paling mudah mendapatkan uang adalah memulung. Pekerjaan tersebut tidak memerlukan pemikiran yang berat, asalkan saja tidak malu, dapat dipastikan mendapatkan uang (Permanasari, 2003). 2) tidak memerlukan persyaratan atas tingkat pendidikan tertentu. Menurut penelitian dari Simanjuntak (2002), secara keseluruhan para pemulung di Bantar Gebang mengenyam pendidikan sampai pada tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), yaitu sebesar 14,5 persen, tamat Sekolah Dasar (SD) sebesar 73,6 persen, tidak tamat SD sebesar 19,6 persen, dan sisanya tidak sekolah sebesar 4 persen. Pemulung di Luar Bantar Gebang paling banyak merupakan tamatan dari Sekolah Dasar yaitu sebesar 43,75 persen, tidak pernah sekolah 27 persen, tidak tamat SD 18, 75 persen, pemulung yang menyelesaikan SLTP 8,33 persen dan yang tamat Sekolah Menengah Umum (SMU) sebesar 2,0 persen. Penelitian ini menunjukkan bahwa mereka yang bekerja di sektor ini pada umumnya berpendidikan rendah. Dengan demikian dapat dipahami bila para pemulung sulit untuk diterima di sektor formal mengingat pendidikan mereka yang sangat rendah. Pemaparan yang telah dijelaskan di muka merupakan bagian dari karakteristik yang melekat pada pemulung. Karakteristik pemulung lainnya dapat dilihat dari pemaparan penelitian Simanjuntak (2002) berikut ini. Pada umumnya, profesi pemulung

17 lebih banyak digeluti oleh laki-laki. Laki-laki menempati posisi yang terbesar yaitu sebanyak 93,6 persen, sedangkan sisanya 6,4 persen adalah pemulung wanita. Pemulung di luar Bantar Gebang pun didominasi oleh laki-laki yaitu sebesar 91,6 persen, sedangkan sisanya 8,33 persen adalah pemulung wanita. Dilihat dari segi usianya, para pemulung rata-rata termasuk pada angkatan kerja. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar usia pemulung di Bantar Gebang merupakan tenaga kerja usia produktif yang usianya kurang dari 40 tahun. Persentase terbesar (41,2 %) berada pada selang usia 21 sampai 30 tahun, kemudian diikuti pemulung dengan usia dibawah 20 tahun sebesar 35,6 persen, usia 31 sampai 40 tahun sebesar 18,4 persen dan sisanya adalah pemulung yang usianya 40 tahun ke atas sebesar 4,8 persen. Pada pemulung yang berada di luar Bantar Gebang, usia terbesar berada pada selang 31 sampai 40 tahun sebesar 33,3 persen, kemudian diikuti oleh pemulung dengan kelompok usia 21 sampai 30 tahun sebesar 31,25 persen. Usia pemulung di atas 40 tahun sebesar 22,9 persen dan sisanya pemulung dengan usia di bawah 20 tahun ke bawah sebesar 12,5 persen. Dilihat dari kondisi tempat tinggalnya, biasanya pemulung tinggal dalam pemukiman (bedengan) yang disediakan oleh lapaknya. Mereka juga tidak mempunyai akses kepada beragam fasilitas pemerintah atau kalaupun ada prosesnya dipersulit dan mereka selalu dinomorduakan dalam pelayanan (Simanjuntak, 2002).

2.1.3.Karakteristik Kerja Karakteristik adalah ciri-ciri khusus atau sesuatu yang mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu. Kerja adalah kegiatan melakukan sesuatu (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991). Menurut Kartono (1981) kerja merupakan suatu aktivitas dasar yang memberikan isi dan makna pada kehidupan manusia, memberikan status, dan mengikat seseorang pada individu lain serta

18 masyarakat. Dengan demikian, karakteristik kerja adalah suatu ciri-ciri khusus yang melekat dengan aktivitas dasar manusia dalam melakukan sesuatu, untuk mendapatkan hal yang menjadi harapannya. Adapun karakteristik kerja pemulung dapat dilihat dari ciri-ciri sebuah sektor informal. Di dalam jaringan daur ulang, terdapat pemulung, lapak, dan industri daur ulang sebagai pelaku dalam usaha daur ulang. Peranan pemulung adalah mengumpulkan barang-barang buangan dari berbagai lokasi pembuangan sampah di kota untuk mengawali proses penyalurannya ke tempat-tempat produksi. Dalam memulung, pemulung perlu memilih barang-barang yang memiliki nilai ekonomis serta mengetahui harganya masing-masing. Karena harga barang-barang terebut terus berubah-ubah, maka pemulung harus senantiasa memperbaharui pengetahuannya. Barang-barang buangan yang biasa dipulung adalah kardus, plastik, kaleng, besi, dan beling. Barangbarang tersebut nantinya akan diberikan kepada lapak (Chandrakirana & Sadoko, 1994). Sebagian besar pemulung berkeliling mendatangi tempat-tempat pemukiman dan atau perkantoran. Mereka beroperasi melalui rute yang relatif tetap. Pembatasan wilayah operasi masing-masing pemulung sebenarnya tidak ada, namun terdapat kesepakatan untuk tidak saling melanggar teritorial masing-masing. Di daerah pemukiman yang padat penduduknya, mereka dapat menjelajahi hingga 1 kilometer dari lokasi lapak. Berdasarkan hasil survei Chandrakirana dan Sadoko (1994), rata-rata jarak yang mereka tempuh dengan berjalan kaki dalam satu hari adalah 3,5 kilometer. Kembali kepada jaringan daur ulang, pihak berikutnya dalam jaringan ini adalah lapak. Lapak merupakan perantara tingkat pertama yang akan menyalurkan bahanbahan daur ulang dalam jumlah yang lebih besar per jenis komoditi dan dalam kondisi yang relatif bersih, ke perantara tingkat berikutnya. Dalam melakukan sortasi terhadap bahan-bahan daur ulang, lapak mempekerjakan pegawai-pegawai khusus yang diupah

19 dengan jumlah rata-rata sebanyak 3 orang. Terkadang lapak mempekerjakan pegawaipegawai secara tidak tetap pada waktu dibutuhkannya tenaga tambahan. Tenaga tidak tetap ini sering diambil dari anggota keluarga pemulung (Chandrakirana & Sadoko 1994). Selanjutnya, dari lapak, barang-barang tersebut dibawanya ke pabrik melalui jasa pemasok. Dalam menjalankan fungsi perantaranya, pemasok harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh pabrik, khususnya menyangkut volume minimum yang harus disetorkan per bulan, kualitas barang yang dipasok, dan kontinuitas pengiriman. Jika persyaratan telah terpenuhi, pemasok mendapatkan pesanan dari pabrik. Pada beberapa lapak, ada yang tidak bersedia untuk menjual langsung ke pemasok. Para lapak menjual barang-barangnya ke bandar. Bandar merupakan pengumpul dengan satu jenis barang secara eksklusif, seperti bandar kertas, bandar besi dan bandar botol. Masing-masing bandar akan menjual ke pemasok atau langsung ke pembeli akhir dalam jaringan daur ulang (Chandrakirana & Sadoko 1994). Konsumen di tingkat akhir biasanya merupakan para produsen yang memanfaatkan barang buangan sebagai bagian atau bahan baku utama produksinya. Konsumen ini adalah industri daur ulang. Inti dari industri daur ulang terletak pada proses pengumpulan dan penyaluran barang-barang buangan dari tempat persampahan ke tempat-tempat produksi. Peluang akumulasi terletak pada transaksi jual beli dalam proses penyaluran barang-barang buangan dari pemulung ke produsen. Dalam mata rantai transaksi-transaksi ini, penentu utama nilai tukar bahan daur ulang adalah pembeli akhir, yaitu produsen. Produsen inilah yang menentukan harga beli barang dari lapak besar/bandar, sedangkan harga beli dari pemulung ditentukan oleh lapak berdasarkan harga jual yang mereka terima dari bandar/lapak besar atau pemasok tersebut (Chandrakirana & Sadoko 1994).

20 Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa sektor informal memiliki struktur jaringan meskipun sederhana (Simanjuntak, 2002). Adanya jaringan ini menimbulkan suatu hubungan ketergantungan diantara pemulung, lapak, dan industri daur ulang. Ketergantungan antara setiap tingkatan pelaku informal dalam jaringan ini menyebabkan adanya faktor keuntungan bersama dalam jalinan hubungan kerja (Chandrakirana & Sadoko 1994). Dalam hubungan kerja yang terbentuk pada pemulung dan lapaknya terdapat ciri dari hubungan patron-client (bapak-anak buah). Hubungan bapak-anak buah ini didefinisikan sebagai suatu ikatan yang terdiri dari dua pihak dimana individu yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi memanfaatkan pengaruh serta sumbersumber yang dimilikinya guna memberikan perlindungan dan atau keuntungan bagi seseorang dalam status sosial yang lebih rendah (client atau anak buah). Sebagai bentuk balas jasa dari perlindungan dan keuntungan yang diberikan, client memberikan bentuk dukungannya dan bantuan yang bersifat umum, termasuk pula jasa-jasa pribadi terhadap patron atau bapak (Hayami dan Kikuci, 1981 dalam Sjahrir, 1995). Santoso (2004) menemukan bahwa para pemulung di Bantar Gebang yang kehidupannya ditanggung oleh lapak (ketua kelompok pemulung/bandar) memiliki penghasilan Rp600.000,00 per bulan. Hal ini belum ditambah dengan uang makan, rokok, biaya kesehatan, dan lainlain. Setiap hari, seorang pemulung mendapat uang makan dari lapak sekitar Rp20.000,00. Uang tersebut dibelikan nasi bungkus Rp2.500,00, biasanya dengan lauk tempe dan sayur tiga kali sehari. Terdapat juga biaya rokok, obat, dan transportasi seperti ojek di sekitar lokasi sebesar Rp3.000,00 sampai dengan Rp5.000,00. Keseluruhan dari biaya tersebut menjadi tanggungan lapak. Selain itu, lapak biasanya membangun permukiman mini untuk kelompoknya masing-masing di dekat bedeng penampungan barang bekas. Dari semua fasilitas yang diberikan ini, para pemulung

21 memiliki kewajiban untuk menyetorkan barang olahan kepada pimpinan mereka (lapak) sebagai bentuk imbalan atas jasa para lapak. Penelitian lain menunjukkan sebagian besar pemulung di Bantar Gebang, sebanyak 92,4 persen responden memperoleh pendapatan dari pekerjaannya sebagai pengumpul antara Rp500.000,00 sampai Rp750.000,00 (Simanjuntak, 2002). Direktorat Bina Migrasi Internal dan Urbanisasi pada akhir bulan Juni 2002 melakukan pengumpulan informasi penghasilan para pekerja sektor informal di kota Bandung dan hasilnya diperoleh gambaran bahwa para pemulung pada Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS), rata-rata mampu menyisihkan Rp200.000,00 s/d Rp300.000,00 per bulannya untuk dikirim kepada keluarga mereka di kampung. Dengan demikian, pemulung tidak saja menggunakan penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri namun mereka juga mampu membantu kerabat-kerabatnya yang masih berada di pedesaan. Hubungan keterikatan antara berbagai tingkatan dalam jaringan daur ulang ini, selain dapat dilihat dalam konteks bisnis, ia dapat juga dilihat dalam konteks sosial. Pola hubungan sosial sekaligus bisnis ini membentuk suatu pola hubungan kerja. Seperti yang terlihat pada hubungan antara lapak dengan pemulung tetap atau pemasok dengan lapak langganan, hubungan mereka bukan hanya sebatas hubungan kerja melainkan hubungan yang mencakup pemberian nasehat dan bantuan moril atau uang untuk keperluan yang bersifat pribadi. Hubungan antar tingkatan dalam jaringan ini sering dilihat sebagai hubungan kekeluargaan. Bahkan kesetiaan lapak terhadap pemasoknya dijadikan salah satu tolok ukur dalam menilai kemapanan usaha sesama lapak. Hal ini menimbulkan suatu ketergantungan diantara masing-masing dari mereka. Ketergantungan ini menjamin adanya faktor keuntungan bersama dalam jalinan hubungan kerja (Chandrakirana & Sadoko, 1994). Namun tidak semua pemulung

22 mendapatkan kondisi yang cukup baik seperti yang dialami oleh pemulung yang telah disebutkan sebelumnya. Menurut penelitian yang dilakukan Permanasari (2003), di Surabaya, dalam satu hari seorang pemulung yang usianya relatif muda dan masih kuat berjalan, bisa mendapatkan penghasilan Rp10.000,00, namun bila sudah tua hanya mendapatkan penghasilan sekitar Rp7.000,00 untuk setiap 60 kilogram sampah (sekitar tiga karung) per harinya. Dengan kata lain dalam sebulan, pemulung di Surabaya mendapat penghasilan antara Rp210.000,00 sampai dengan Rp300.000,00. Kondisi seperti itu menempatkan mereka termasuk sebagai kelompok miskin. Namun miskin disini terjadi bukan karena mereka malas. Pengamatan yang dilakukan oleh Permanasari (2003) menemukan bahwa pemulung di Surabaya ternyata bekerja setiap hari mulai dari pukul 03.00 wib. Oleh karena itulah, pemulung merupakan kelompok yang menjadi miskin bukan karena malas melainkan karena kemiskinan struktural dan terkait dengan kebijakan pemerintah yang tidak menghargai rakyat miskin di perkotaan. Dalam hasil penelitian Chandrakirana dan Sadoko (1994), terdapat beberapa usaha yang dikelola mengalami kemajuan, baik pada skala usaha maupun pada pendapatannya.

Namun

pada

beberapa

orang

lainnya,

tidak

menunjukkan

perkembangan yang signifikan. Sebagai contoh, seorang pemulung di Surabaya sudah bekerja sejak tahun 1959, namun sampai sekarang, ia merasa tak mengalami perubahan. Ia tetap saja seorang pemulung yang miskin. Menurutnya menjadi seorang pemulung bukanlah rencana hidup. Bagi mereka, kehidupan yang keras dan pendidikan yang terbatas membuat pilihan ini menjadi satu-satunya yang bisa dijalani. Oleh karena sumberdaya yang rendah dan tiadanya modal yang mencukupi, maka usaha yang paling enak tanpa mengeluarkan pikiran adalah memulung. Dengan hanya mengeluarkan tenaga, para pemulung akan mendapatkan uang (Permanasari, 2003). Kondisi seperti

23 inilah yang dikatakan oleh Saefuddin memiliki motivasi kerja yang rendah. Kerja hanya dipandang sebagai alat pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan (Saefuddin, 1986). Bila dikaitkan dengan teori motivasi yang diungkapkan oleh Maslow (1943) dalam Herujito (2001), maka kerja yang hanya dipandang sebagai alat pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan termasuk pada hierarki yang paling rendah dimana motif melakukan pekerjaan hanya untuk memenuhi kebutuhan primer saja. Sesuai dengan teori motivasi, hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow (1943) adalah sebagai berikut: 1. kebutuhan fisiologis, mencakup kebutuhan badani misalnya pangan, sandang, dan sebagainya; 2. kebutuhan rasa aman, baik secara fisik maupun psikis; 3. kebutuhan afiliasi, dimana manusia sebagai makhluk sosial ingin diterima menjadi anggota kelompok masyarakat tertentu dan ingin ikut aktif dalam berbagai kegiatan; 4. kebutuhan akan harga diri, dimana manusia selalu ingin dibutuhkan dan dihargai. Harga diri ini bemanifestasi dalam prestasi dan kekuasaan; 5. kebutuhan aktualisasi diri, yaitu suatu kebutuhan untuk dapat mengembangkan keahliannya. Menurut Kartono (1981), motivasi kerja adalah daya gerak yang mendorong seseorang untuk bekerja, baik dari luar dirinya maupun dari sisi usahanya untuk bekerja secara lebih baik dan efisien untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Motivasi kerja ini dapat juga berarti alasan atau dorongan dalam diri seseorang yang menyebabkan ia bertindak untuk mencapai tujuannya. Motivasi kerja tidak hanya berdasar pada kebutuhan ekonomis (uang) tetapi juga kebutuhan akan aktualisasi diri yaitu nilai sosial yang baik, perhatian dari orang-orang disekitarnya, dan kekaguman teman terhadap dirinya sendiri.

24 Namun motivasi kerja yang rendah jangan hanya dilihat dari segi individunya melainkan harus memperhatikan juga latar belakang nilai budaya dan lingkungan yang mempengaruhi individu tersebut atau dapat disebut masyarakat untuk cakupan yang lebih luas. Koentjaraningrat (1974) menjelaskan bahwa dalam mencapai tujuan pembangunan, maka bangsa Indonesia harus memiliki mentalitet pembangunan, diantaranya: (1) memiliki orientasi ke masa depan dengan merencanakan dan melihat masa depannya dengan hati-hati, teliti dan berhemat; (2) bangsa Indonesia harus memiliki hasrat untuk mengeksplorasi lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan alam dengan melakukan inovasi; (3) inovasi terhadap suatu teknologi penting untuk menciptakan teknologi yang sesuai dengan pengetahuan, nilai dan budaya masyarakat setempat. Teknologi tersebut hendaknya diciptakan dengan menggunakan usaha sendiri; (4) menilai tinggi orientasi ke arah prestasi dari karya; (5) mementingkan disiplin, tanggung jawab yang tinggi dan menjauhi nilai yang terlampau berorientasi vertikal ke arah atasan karena hal demikian akan mematikan jiwa mandiri dan berdikari. Ada beberapa faktor-faktor penghambat pembangunan di dalam negeri ini, salah satunya adalah mentalitas bangsa. Menurut Koentjaraningrat (1974), kelemahan mentalitet bangsa Indonesia untuk pembangunan yaitu: (1) nilai budaya yang tidak berorientasi terhadap prestasi melainkan hanya mengejar amal dari karya (diibaratkan sebagai orang sekolah yang hanya mengejar ijazah, bukan keterampilannya), (2) terlalu berorientasi kepada masa lampau yang dapat melemahkan motivasi untuk menabung dan hidup hemat, (3) menggantungkan diri pada nasib, (4) konsep konformitas yang dapat diartikan bahwa orang sebaiknya menjaga perasaan orang lain agar jangan dengan sengaja berusaha untuk menonjol di atas yang lain, (5) terlalu berorientasi kepada atasan, (6) sifat yang suka meremehkan mutu, (7) suka menerabas, (8) tidak percaya kepada diri sendiri, (9) tidak disiplin, dan (10) suka mengabaikan tanggung jawab.

25 Dari pemaparan di atas, maka garis besar yang dapat ditarik disini adalah aspek mentalitas termasuk didalamnya motivasi dan kemampuan serta lingkungan merupakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kerja seseorang.

2.1.4.Hubungan Sosial Dalam setiap kehidupan manusia, hubungan sosial antara manusia selalu melekat pada setiap individunya. Menurut Zanden (1982), hubungan sosial adalah suatu proses langsung yang didorong atau dipengaruhi oleh seseorang kepada yang lainnya. Cara berperilaku seseorang ditentukan dari hubungan tersebut. Interaksi yang berlangsung cukup lama sehingga orang-orang saling berhubungan dan masing-masing diantara mereka memiliki harapan kepada yang lainnya, inilah yang disebut hubungan sosial. Kurth (1970) dalam Zanden (1982) menggolongkan hubungan sosial dalan tipe-tipe expressive ties, instrumental ties, dan expressive-instrumental continuum. Berikut ini adalah penjelasan dari ketiga tipe hubungan sosial tersebut. 1. Expressive ties Kebutuhan hidup manusia hanya dapat disadari dan bermakna setelah mereka berkumpul atau berinteraksi dengan yang lainnya. Kebutuhan tersebut terdiri dari rasa aman, cinta, penerimaan, pertemanan, dan rasa bermanfaat. Sebagai seorang manusia, kita tidak dapat hidup sendiri. Kepuasan yang diharapkan dari seseorang membutuhkan dukungan dari interaksi yang mana masing-masing pihak terlibat begitu dalam dalam hubungan tersebut. Masing-masing individu perlu menginvestasikan diri mereka dan dengan sepenuh hati mengabdikan diri untuk kelompok. Hubungan sosial seperti ini disebut sebagai primary relationship. Hubungan ini biasanya terdapat pada hubungan keluarga, pertemanan, dan percintaan, yang mana akan dirasakan suasana keakraban yang begitu dekat.

26 2. Instrumental ties Dalam ikatan jenis ini, bentuk penghargaan seseorang terhadap orang lain tidak menjadi hal yang penting. Seseorang membutuhkan orang lain hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan bahwa seseorang bekerjasama dengan musuhnya demi pencapaian tujuan tersebut. Hubungan seperti ini disebut sebagai secondary relationship. 3. Expressive-instrumental continuum Walaupun beberapa ikatan ada yang lebih mendominasi dari ikatan lainnya, baik ekspresif maupun instrumental, namun terdapat pula ikatan yang bersifat kontinum. Sebagai contoh, dalam hubungan pertemanan. Hal yang ingin didapat dari hubungan ini tidak sekedar untuk mendapatkan rasa aman, kekeluargaan, dan cinta tetapi mereka juga mengharapkan adanya kemudahan dari pekerjaan mereka. Hubungan sosial yang terbentuk lebih dari satu hubungan akan membentuk suatu network (jaringan kerja). Jaringan kerja adalah jaringan yang terbentuk dari adanya hubungan sosial, yang secara langsung maupun tidak langsung, memasuki dan mengikat individu tersebut dengan individu lainnya. Jaringan kerja ini memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Ketika seseorang sedang berada dalam keadaan susah atau sakit, maka ia membutuhkan orang lain untuk mengatasi kesulitannya tersebut. Ia akan mencari orang-orang ahli yang dapat dipercaya untuk menyelesaikan masalahnya. Menurut hasil penelitian Granovetter (1973) dalam Zanden (1982), pencari pekerja cenderung mencari kerja melalui kenalannya dalam jaringan informal. Granovetter menemukan bahwa 39,1 persen pencari kerja menghubungi kenalannya seorang pekerja yang cukup berpengaruh, sehingga akan membuka peluang besar pencari kerja tersebut untuk diterima (tanpa perantara). Sebanyak 45,3 persen,

27 pencari kerja melalui satu perantara, 12,5 persen melalui dua perantara, dan 3,1 persen melalui lebih dari dua perantara. Sjahrir (1995) mengemukakan bahwa jaringan kerja merupakan cara memelihara ketahanan ekonomi mereka sendiri. Jaringan kerja (network) ini didefinisikan sebagai bentuk hubungan antarindividu yang melampaui batas-batas geografis desa atau garis keturunan. Seorang individu yang tidak memiliki hubungan darah dapat dianggap keluarga karena adanya kedekatan jarak geografis. Begitu pula sebaliknya, seorang anggota keluarga bisa saja dianggap jauh karena terpisah secara sosial, ekonomi dan geografis untuk jangka waktu yang lama, atau karena adanya konflik. Jaringan kerja yang terbentuk dapat berawal dari suatu ikatan kekerabatan. Sjahrir (1995) mengemukakan bahwa ikatan kekerabatan itu penting bagi kehidupan ekonomi dan penyesuaian diri mereka terhadap lingkungan sosial baru. Dikatakan penting bagi kehidupan ekonomi karena waktu pertama kali berangkat ke kota, kebanyakkan dari mereka (penduduk yang berasal dari pedesaan) dibantu keluarga atau tetangga yang sudah mengetahui dan memiliki pengalaman kerja di perkotaan. Oleh karena mereka yang baru merantau ini sangat bergantung terhadap kerabatnya, maka pilihan kerja pun banyak dipengaruhi oleh kerabatnya tersebut. Mereka cenderung memilih pekerjaan yang digeluti oleh kerabatnya. Seperti yang telah disinggung di atas, selain penting bagi kehidupan ekonomi, sistem kekerabatan pun penting dalam penyesuaian terhadap lingkungan sosial yang baru. Kerabat mereka yang telah tinggal lebih dulu di kota akan memiliki banyak pengalaman mengenai cara bertahan hidup di perkotaan. Dengan demikian, kerabat ini dapat membantu mereka yang baru tiba dari desa dalam menyesuaikan diri terhadap situasi baru tersebut. Goncangan budaya seringkali terjadi bagi mereka yang baru datang ke perkotaan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan mengenai kepadatan

28 penduduk, luas daerah, dan beragamnya penduduk di perkotaan (Sjahrir, 1995). Ketika mereka dapat beradaptasi, maka mereka masih dapat bertahan untuk tinggal di perkotaan. Ikatan kekerabatan seperti ini tidak hanya dimiliki oleh mereka yang mempunyai hubungan darah melainkan termasuk pula orang-orang yang berasal dari satu desa yang sama. Di kota, ikatan kekerabatan ini meluas meliputi mereka yang memiliki profesi yang sama ataupun kepentingan yang sama.

2.1.5.Kesejahteraan Masyarakat selalu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan nilainilai yang belaku dalam lingkungannya. Kebutuhan yang diutamakan untuk dipenuhi adalah kebutuhan dasarnya. Menurut Sudjadi (2000), kebutuhan hidup minimum (KHM) berupa makan, sandang, rumah, kesehatan, pendidikan, tranportasi dan lain-lain. Seseorang yang dikatakan miskin bila orang tersebut hanya mampu memenuhi KHM, begitu pula sebaliknya Menurut Firdaus (2005) kesejahteraan adalah kondisi berimbangnya antara nilai dengan harga, berimbangnya pendapatan dengan pengeluaran, berimbangnya jumlah keuntungan dengan jumlah sedekah, zakat dan pajak. Dengan kesejahteraan ini, maka tujuan dari kesejahteraan yaitu mengeliminir kemiskinan dan mempertemukan masyarakat dengan kebutuhannya dapat tercapai. Ada beberapa model kesejahteraan sosial. Menurut Elliot (1993) yang mengadaptasi pandangan Johnson (1986:h.16); Dolgoff dan Feildstein (1984); serta Falk (1984:h.13) dalam Adi (2004), pandangan kesejahteraan terdiri dari: 1. paradigma residual atau model kesejahteraan residual, yaitu paradigma yang sangat menekankan nilai-nilai individualisme dan kemerdekaan individu, sehingga kesenjangan yang terjadi dalam masyarakat dianggap merupakan kensekuensi logis

29 dari adanya kebebasan individu untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam hidupnya. Oleh karenanya, pandangan pemerintah atau negara dipersempit. Dalam paradigma ini, pemerintah akan membantu mereka yang termasuk kategori sebagai orang yang memerlukan bantuan. 2. paradigma institusional atau model kesejahteraan institusional, yaitu paradigma yang mendasarkan pada asumsi humanitarianisme, dimana kesejahteraan adalah hak setiap warga. Oleh karenanya, peranan pemerintah diperlebar. Disini peran pemerintah menjadi lebih aktif dalam menjamin kesejahteraan warganya dibandingkan sebelumnya. Bentuk pelayanan diberikan kepada semua warga masyarakat, tidak terbatas pada kalangan tertentu saja. 3. paradigma developmental atau model kesejahteraan developmental, yaitu paradigma yang mendasarkan pada nilai-nilai keadilan sosial. Paradigma ini cenderung bersifat konsensus dan anti opresif. Paradigma ini yang juga menekankan pada aspek kesetaraan, memfokuskan pada kerjasama dan kemauan untuk saling berbagi dari anggota masyarakat. Peranan pemerintah pada paradigma ini menjadi lebih proaktif dibanding paradigma sebelumnya. 4. model kesejahteraan radikal/konflik. Paradigma ini banyak berkembang pada negara kapitalis, dimana negara pada umumnya memberikan layanan berdasarkan kepentingan dari mereka yang mempunyai kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karenanya, untuk mengatasi kelemahan tersebut, digunakan pendekatan konflik untuk memberikan penekanan pada negara agar mau memperluas layanan sosialnya, terutama untuk masyarakat yang tidak terkait dengan kekuasaan pihak-pihak tertentu. Paradigma ini memandang positif pada tindakan opresif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

30 Menurut Sudaryanto (1986), terdapat beberapa cara untuk mengetahui tingkat kesejahteraan dari suatu kelompok masyarakat, yaitu: 1. berdasar pada garis kemiskinan yang diungkapkan oleh Sayogyo (1977) dimana seseorang dikatakan miskin apabila pendapatannya per tahun hanya setara dengan 320 kg beras, miskin sekali bila hanya setara dengan 240 kg beras dan paling miskin bila hanya setara dengan 180 kg beras. 2. berdasar pada variabel-variabel yang mencerminkan tingkat kesejahteraan, antara lain: a. mengukur persentase penghasilan yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan. Semakin besar persentase pengeluaran untuk pangan, maka semakin rendah tingkat kesejahteraannya, b. mengukur persentase penghasilan untuk konsumsi barang dan jasa. Asumsinya adalah semakin kecil persentase penghasilan untuk membeli barang atau jasa, maka tingkat kesejahteraannnya semakin rendah Selain itu, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (2003) memiliki pendekatan dalam mengukur kemiskinan yang didasarkan pada kriteria keluarga yang dibuat melalui lima tahapan, yaitu: 1. keluarga prasejahtera keluarga prasejahtera adalah keluarga yang tidak mampu memenuhi salah satu kriteria-kriteria yang terdapat pada indikator keluarga sejahtera tahap 1. 2. keluarga sejahtera tahap 1 (KS-1) KS 1 adalah keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan minimumnya namun belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. Indikatornya adalah sebagai berikut: 1) anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianutnya masing-

31 masing, 2) seluruh anggota keluarga umumnya makan dua kali sehari atau lebih, 3) seluruh anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda-beda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian, 4) bagian terluas dari lantai bukan tanah, 5) bila anak atau anggota keluarga sakit, mereka akan dibawa ke sarana kesehatan/ petugas kesehatan. Bila pasangan usia subur (PUS) ingin ber-keluarga berencana (KB), mereka akan dibawa ke sarana/petugas kesehatan dan diberi obat atau diberi cara KB modern. 3. keluarga sejahtera tahap 2 (KS-2) KS-2 adalah keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dan memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya. Akan tetapi, keluarga belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya. Indikatornya adalah lima yang disebutkan pertama ditambah dengan sembilan indikator berikut: 6) anggota keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut secara teratur, 7) paling kurang sekali seminggu keluarga menyediakan daging/ikan/telur sebagai lauk pauk, 8) seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru setahun terakhir, 9) luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni rumah, 10) seluruh anggota keluarga dalam tiga bulan terakhir dalam keadaan sehat, sehingga dapat melaksanakan tugas atau fungsi masing-masing, 11) paling kurang satu orang anggota keluarga yang berusia 15 tahun ke atas memperoleh penghasilan tetap,

32 12) seluruh anggota keluarga yang berusia 10 – 60 tahun bisa membaca tulisan latin, 13) seluruh anak berusia 6 – 15 tahun bersekolah pada saat ini, 14) bila anak hidup dua orang/lebih pada keluarga yang masih PUS, saat ini mereka memakai kontrasepsi (kecuali sedang hamil). 4. keluarga sejahtera tahap 3 (KS-3) KS-3 adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya, kebutuhan sosial, dan kebutuhan pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan di lingkungan desa atau wilayahnya. Indikatornya adalah 1 – 14 ditambah dengan 7 indikator berikut: 15) mempunyai upaya untuk menekankan pengetahuan agama, 16) sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga, 17) biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan ini dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga, 18) ikut serta dalam kegiatan masyarakat dalam lingkungan tempat tinggalnya, 19) mengadakan rekreasi bersama di luar rumah paling kurang sekali dalam 6 bulan, 20) memperoleh berita dari surat kabar/radio/majalah/televisi, 21) anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi. 5. keluarga sejahtera tahap 3 plus (KS-3+) KS-3 plus adalah keluarga yang telah memenuhi kebutuhan minimum, sosial, pengembangan, dan secara teratur sudah aktif dalam kegiatan sosial. Indikator yang dipergunakan 1 – 21 dan ditambah dua syarat, yaitu: 22) keluarga atau anggota keluarga secara teratur memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materi, 23) kepala keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan, yayasan, atau institusi masyarakat.

33 Berdasarkan Biro Pusat Statistik (BPS) (2005) dalam Suhendratio (2005), ada tiga kategori miskin di Indonesia. Pertama, penduduk sangat miskin. Termasuk dalam kategori penduduk sangat miskin adalah penduduk yang kemampuan minimal memenuhi konsumsi kalori sama atau kurang dari 1.900 kalori per orang per hari ditambah pengeluaran non makanan senilai Rp120 ribu per orang per bulan. Kedua, penduduk miskin, yakni yang memiliki kemampuan memenuhi konsumsi kalori antara 1.900-2.100 kalori per orang per hari ditambah pengeluaran non makanan setara Rp150 ribu per orang per bulan. Ketiga, penduduk hampir miskin, yaitu yang memiliki kemampuan memenuhi konsumsi 2.100-2.300 kalori ditambah pengeluaran non makanan setara Rp175 ribu per orang per bulan. Angka tersebut kemudian dikonversi ke rumahtangga dengan asumsi rumahtangga miskin memiliki rata-rata empat anggota rumahtangga. Dengan demikian, untuk rumahtangga sangat miskin kategorinya adalah 4 kali Rp120 ribu atau setara Rp480 ribu per rumahtangga per bulan. Untuk rumahtangga miskin sebesar Rp600 ribu per rumahtangga per bulan dan hampir miskin Rp700 ribu per rumahtangga per bulan. Dengan asumsi ini, maka keluarga dianggap tidak miskin apabila penghasilannya di atas Rp700.000,00 per rumahtangga per bulan.

2.2. Kerangka Pemikiran Dalam jaringan usaha daur ulang, pemulung tidak dapat berdiri sendiri. Hasil pekerjaan pemulung akan dibeli untuk diolah lebih lanjut oleh industri daur ulang, melalui perantara lapak. Di sini lapak berperan sebagai pengumpul bahan-bahan pulungan untuk diteruskan kepada pemasok atau langsung ke industri daur ulang, sedangkan industri berperan sebagai pelaku akhir processing, yang mengolah barangbarang bekas tersebut menjadi barang jadi atau setengah jadi sehingga barang tersebut siap dijual ke pasaran. Namun, kajian mengenai fenomena pemulung ini tidak dilakukan

34 kepada semua pelaku industri daur ulang melainkan hanya difokuskan kepada pemulung dan informasi tambahan didapat dari lapak. Dalam kehidupan bermasyarakat, kehidupan pemulung sering dianggap terpisah dari masyarakat. Walaupun demikian, kehadirannya selalu memberikan warna tersendiri. Ada pihak yang berusaha menyelamatkan keberadaannya, namun banyak juga pihak yang berusaha menyingkirkannya dan ternyata ditengah kehadirannya yang kontroversial, usaha yang satu ini mampu bertahan dari krisis ekonomi tatkala usahausaha lainnya mulai berguguran. Untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai profesi pemulung ini maka yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah karakteristik pemulung, karakteristik kerja pemulung, hubungan sosial pemulung dan tingkat kesejahteraan pemulung. Dalam memahami pemulung, hal yang akan dibahas pertama kali dan ini menjadi pijakan untuk pembahasan berikutnya adalah karakteristik pemulung. Adapun karakteristik pemulung yang ingin dilihat adalah berdasarkan jenis kelamin, usia, daerah asal, agama dan tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, alasan menjadi pemulung, riwayat pekerjaan memulung, dan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) musiman. Karakteristik pemulung ditelaah hubungannya dengan karakteristik kerja dan hubungan sosial pemulung. Dalam karakteristik kerja pemulung, hal-hal yang dikaji adalah lama menjadi pemulung, lama tinggal di lapak terakhir, motivasi kerja, penghasilan pemulung, hari kerja dan jam kerja, jarak tempuh memulung, karakteristik barang pulungan, berat barang pulungan, peralatan yang digunakan, hubungan kerja dengan lapak, peralatan yang digunakan, frekuensi pengiriman uang ke daerah asal, dan frekuensi pulang ke daerah asal. Dalam hubungan sosial pemulung, hal-hal yang diteliti adalah hubungan sesama pemulung, hubungan pemulung dengan lapaknya, hubungan pemulung dengan masyarakat sekitar, dan hubungan pemulung dengan pemerintah

35 setempat (Desa Kedaung). Selanjutnya, profesi pemulung ini juga dilihat dari sisi kesejahteraannya. Kesejahteraan pemulung dilihat dari indikator objektif dan subjektif. Hal-hal yang akan dilihat pada indikator objektif antara lain: penghasilan total keluarga pemulung per bulan, pengeluaran untuk pangan, kepemilikan barang-barang fasilitas keluarga, dan kesehatan, serta beberapa indikator kesejahteraan BKKBN, sedangkan hal-hal yang dilihat dari indikator subjekif adalah kesejahteraan menurut pandangan pemulung. Untuk lebih jelasnya, kerangka pemikiran ini disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Kerangka Pemikiran

-

Karakteristik Pemulung jenis kelamin usia daerah asal agama dan tingkat pendidikan jumlah anggota keluarga alasan menjadi pemulung riwayat pekerjaan pemulung kepemilikan KTP musiman.

-

-

Karakteristik Kerja Pemulung lama menjadi pemulung lama tinggal di lapak terakhir motivasi kerja penghasilan dalam memulung hari kerja dan jam kerja jarak tempuh memulung karakteristik barang pulungan berat barang pulungan peralatan yang digunakan peraturan dalam memulung frekuensi pengiriman uang ke daerah asal frekuensi pulang ke daerah asal

Hubungan Sosial Pemulung hubungan sesama pemulung dalam satu bedengan hubungan pemulung dengan lapaknya hubungan pemulung dengan masyarakat sekitar hubungan pemulung dengan pemerintah setempat (Desa Kedaung). Profesi Pemulung

Kesejahteraan Pemulung Objektif: - penghasilan total keluarga pemulung per bulan - pengeluaran untuk pangan - kepemilikan barang-barang fasilitas keluarga - kesehatan pemulung - kesejahteraan pemulung menurut indikator kesejahteraan BKKBN Subjektif: - kesejahteraan pemulung menurut pandangan pemulung itu sendiri Keterangan: berhubungan hal yang dikaji

36 2.2.1.Hipotesis Berdasarkan hasil dari pemaparan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran yang diajukan, maka hipotesis umum yang dipakai untuk mengarahkan penelitian ini adalah: 1. Terdapat hubungan antara karakteristik pemulung dengan karakteristik kerja pemulung. 2. Terdapat hubungan antara karakteristik pemulung dengan hubungan sosial pemulung. 3. Terdapat hubungan antara karakteristik karakteristik kerja pemulung dengan hubungan sosial pemulung. 4. Kesejahteraan pada pemulung bervariasi, namun secara umum kesejahteraan mereka rendah.

2.2.2.Definisi Operasional Untuk pedoman dalam pengumpulan dan pengolahan data, berikut ini dikemukakan sejumlah definisi operasional yang digunakan. a. Karakteristik pemulung adalah ciri-ciri khusus yang melekat pada pemulung. Dalam karakteristik pemulung, hal-hal yang dikaji adalah: a) pemulung adalah orang yang bekerja dengan cara memunguti barang pulungan yang masih dapat dimanfaatkan kembali. b) usia pemulung adalah usia pemulung pada saat penelitian berlangsung. Usia pemulung ini dikategorikan menjadi: ƒ

muda

: jika responden berusia 10 – 29 tahun.

ƒ

sedang

: jika responden berusia 30 – 49 tahun.

ƒ

tua

: jika responden berusia > 49 tahun.

37 c) daerah asal adalah daerah asli pemulung dimana pemulung mengalami masa pertumbuhan. Dikategorikan menjadi: ƒ

sedaerah

: jika responden berasal dari propinsi yang sama dengan lapak.

ƒ

tidak sedaerah : jika responden berasal dari propinsi yang berbeda dengan lapak.

d) tingkat pendidikan pemulung adalah jenjang sekolah formal di kalangan pemulung, yang dikategorikan menjadi: ƒ

rendah

: jika responden tidak tamat SD maksimal kelas 3 ke bawah atau tidak sekolah.

ƒ

sedang

: jika responden tidak tamat SD minimal kelas 4 s.d. tidak tamat SMP (Sekolah Menengah Pertama).

ƒ

tinggi

: jika responden ≥ tamat SMP.

e) besar anggota keluarga yaitu banyaknya anggota keluarga dalam satu keluarga. Dikategorikan menjadi: ƒ

kecil

: jika anggota keluarga ≤ 4 orang.

ƒ

besar

: jika anggota keluarga > 4 orang.

b. Karakteristik kerja merupakan suatu ciri-ciri khusus yang melekat dengan aktivitas dasar manusia dalam melakukan sesuatu, untuk mendapatkan hal yang menjadi harapannya. Hal-hal uang dikaji adalah: a) barang pulungan yaitu barang yang sudah tidak dipakai lagi tetapi masih memiliki nilai jual dan barang ini dibutuhkan oleh industri daur ulang. b) lama menjadi pemulung adalah lamanya seorang pemulung menekuni profesi ini. Dikategorikan menjadi: ƒ

baru

: jika pemulung bekerja < 1 tahun.

38 ƒ

sedang

: jika pemulung telah bekerja selama 1 – 4 tahun.

ƒ

lama

: jika pemulung telah bekerja > 4 tahun.

c) lama pemulung tinggal di lapak terakhir. Dikategorikan menjadi: ƒ

belum lama

: jika pemulung tinggal di lapak terakhir < 1 tahun.

ƒ

sedang

: jika pemulung tinggal di lapak 1 – 4 tahun.

ƒ

lama

: jika pemulung tinggal di lapak > 4 tahun.

d) penghasilan pemulung adalah sejumlah uang yang didapatkan dari hasil memulung. Dalam hal ini, dengan beracuan pada kategori kemiskinan BPS 2005 dan mengkalikannya dengan besar rata-rata jumlah keluarga pemulung di Desa Kedaung, maka penghasilan pemulung dikategorikan menjadi: ƒ

rendah

: jika pendapatan pemulung per bulan < Rp384.000,00

ƒ

sedang

: jika pendapatan pemulung per bulan antara Rp384.000,00 – Rp559.999,99

ƒ

tinggi

: jika penghasilan pemulung per bulan ≥ Rp560.000,00

e) hari kerja pemulung adalah banyaknya hari pemulung bekerja dalam satu bulan. Dikategorikan menjadi: ƒ

rendah

: jika pemulung bekerja < 19 hari per bulan.

ƒ

sedang

: jika pemulung bekerja 19 – 26 hari per bulan.

ƒ

tinggi

: jika pemulung bekerja > 26 hari per bulan.

f) jam kerja yaitu banyaknya jam pemulung bekerja dalam satu bulan. Dikategorikan menjadi: ƒ

rendah

: jika pemulung bekerja < 121 jam per bulan.

ƒ

sedang

: jika pemulung bekerja 121 – 210 jam per bulan.

ƒ

tinggi

: jika pemulung bekerja > 210 jam per bulan.

39 g) jarak tempuh memulung yaitu jarak yang ditempuh pemulung dalam bekerja mengumpulkan barang pulungan per harinya. Dikategorikan menjadi : ƒ

dekat

: jika jarak yangditempuh pemulung < 5 km per hari.

ƒ

sedang

: jika jarak yangditempuh pemulung 5 – 9 km per hari.

ƒ

jauh

: jika jarak yangditempuh pemulung > 10 km per hari.

h) berat barang pulungan yaitu hasil pulungan yang ditimbang dalam satuan kilogram per bulannya. Dikategorikan menjadi: ƒ

rendah

: jika berat barang pulungan < 301 kg per bulan.

ƒ

sedang

: jika berat barang pulungan 301 - 750 kg per bulan.

ƒ

tinggi

: jika berat barang pulungan > 750 kg per bulan.

i) frekuensi pengiriman uang ke daerah asal yaitu frekuensi pemulung dalam mengirimkan uang hasil kerja memulung ke daerah asalnya per tahun. j) frekuensi pulang ke daerah asal yaitu frekuensi pemulung kembali ke daerah asalnya per tahun. c. Hubungan sosial adalah interaksi yang berlangsung cukup lama sehingga orangorang saling berhubungan dan masing-masing diantara mereka memiliki harapan kepada yang lainnya. Hal-hal yang dikaji antara lain: a) hubungan sesama pemulung dalam satu bedengan yaitu frekuensi pertemuan sesama pemulung yang tinggal dalam satu bedengan (bedengan = sebutan untuk lingkungan tempat tinggal pemulung). Dikategorikan menjadi: ƒ

tidak pernah : jika pemulung tidak pernah berinteraksi dengan pemulung lainnya ketika mereka bertemu dimana saja.

ƒ

jarang

: jika pemulung tidak selalu berinteraksi dengan pemulung lainnya ketika mereka bertemu dimana saja.

40 ƒ

sering

: jika pemulung selalu berinteraksi positif dengan pemulung lainnya ketika mereka bertemu dimana saja.

b) hubungan pemulung dengan lapaknya yaitu frekuensi pertemuan pemulung dengan lapaknya di luar waktu penimbangan barang pulungan. Dikategorikan menjadi: ƒ

tidak pernah : jika responden tidak pernah berinteraksi positif dengan lapak di luar waktu penimbangan.

ƒ

jarang

: jika responden tidak selalu berinteraksi dengan lapak di luar waktu penimbangan.

ƒ

sering

: jika responden selalu berinteraksi positif dengan lapak di luar waktu penimbangan.

c) hubungan pemulung dengan masyarakat sekitar yaitu frekuensi pemulung dalam berhubungan dengan masyarakat sekitar. Dikategorikan menjadi: ƒ

tidak pernah : jika pemulung tidak pernah berhubungan dengan masyarakat sekitar.

ƒ

jarang

: jika pemulung berhubungan dengan masyarakat dengan jalan menyapa 1-2 orang saja.

ƒ

sering

: jika pemulung berhubungan dengan masyarakat tidak lagi sekedar menyapa namun sudah pernah mengobrol (lebih dari 2 orang yang disapa/mengobrol).

d) hubungan pemulung dengan pemerintah setempat yaitu frekuensi pemulung bertemu dengan pemerintah Desa Kedaung. Dikategorikan menjadi: ƒ

tidak pernah : jika pemulung tidak pernah berinteraksi dengan pemerintah Desa Kedaung.

41 ƒ

jarang

: jika pemulung mendapat permasalahan yang terkait dengan birokrasi pemerintahan, pemulung pernah namun tidak selalu berhubungan

dengan

pihak

Desa

Kedaung

untuk

menyelesaikan masalahnya. ƒ

sering

: jika pemulung mendapat permasalahan yang terkait dengan birokrasi dengan

pemerintahan, pihak

Desa

pemulung Kedaung

selalu untuk

berhubungan menyelesaikan

masalahnya. d. Kesejahteraan keluarga pemulung dapat dilihat dari dua indikator, yaitu indikator objektif dan subjektif. Indikator objektif terdiri dari indikator BPS mengenai kategori penduduk miskin dan BKKBN mengenai keluarga sejahtera, sedangkan indikator kesejahteraan subjektif adalah kesejahteraan menurut pandangan responden keluarga pemulung. Keadaan kesejahteraan pemulung dilihat dari beberapa hal, yaitu: a) penghasilan total keluarga pemulung per bulan yaitu penghasilan dari keseluruhan anggota keluarga pemulung yang bekerja. Kategori ini disusun berdasarkan perhitungan jumlah anggota keluarga yang ditemukan di lapangan dikalikan dengan nilai masing-masing kategori kemiskinan BPS (2005). Dengan demikian, kategori penghasilan total keluarga pemulung per bulan adalah: ƒ

sangat miskin : jika pendapatan pemulung per bulan < Rp384.000,00

ƒ

miskin

: jika pendapatan pemulung per bulan Rp384.000,00 – Rp480.000,00

ƒ

hampir miskin : jika pendapatan pemulung per bulan antara Rp480.000,00 – Rp559.999,99

ƒ

tidak miskin

: jika penghasilan pemulung per bulan ≥ Rp560.000,00

42 b) pengeluaran untuk pangan yaitu penghasilan keluarga pemulung yang khusus dikeluarkan untuk kebutuhan pangan. Bila semakin besar penghasilan digunakan untuk kebutuhan makan maka tingkat kesejahteraan pemulung pun akan semakin rendah. c) kesehatan pemulung yaitu keluhan kesehatan yang dirasakan pemulung dalam kurun waktu seminggu. d) kesejahteraan pemulung menurut indikator kesejahteraan BKKBN yaitu terdiri dari beberapa hal, diantaranya: 1) rutinitas beribadah 2) frekuensi makan dalam sehari 3) lauk (telur, ikan atau daging) yang dikonsumsi dalam seminggu terakhir 4) variasi berpakaian untuk tiap kegiatan 5) bagian terluas dari lantai 6) sarana atau petugas kesehatan anggota keluarga 7) kepemilikan pakaian baru minimal satu stel dalam setahun 8) status tempat tinggal 9) luas lantai rumah 10) kesehatan anggota keluarga dalam tiga bulan terakhir 11) keteraturan penghasilan 12) kemampuan membaca dan menulis anggota keluarga 13) tingkat pendidikan anak yang berusia 6 – 15 tahun 14) kepemilikan tabungan Dikategorikan menjadi: ƒ

keluarga prasejahtera : apabila keluarga belum mampu memenuhi indikator kesejahteraan no. 1 sampai dengan no. 5.

43 ƒ

keluarga sejahtera 1

: apabila keluarga hanya mampu memenuhi indikator kesejahteraan no. 1 sampai dengan no. 5.

ƒ

keluarga sejahtera 2

: apabila keluarga mampu memenuhi indikator no. 1 sampai dengan no. 14.

e) kesejahteraan pemulung menurut pandangan subjektif adalah pandangan mengenai kesejahteraan dilihat dari sudut pandang responden itu sendiri.

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survei yang dikombinasikan dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dipilih dengan maksud untuk menjelaskan data fenomena sosial ekonomi yang terjadi di kalangan masyarakat pemulung secara deskriptif dan eksplanatif. Dengan penelitian deskriptif diharapkan fenomena sosial ekonomi yang terjadi pada masyarakat tertentu dapat terangkat sedangkan dengan penelitian eksplanasi diharapkan terdapat penjelasan keterhubungan antara variabelvariabel dalam fenomena tersebut (Singarimbun,1989). Unit analisis penelitian ini adalah individu pemulung dan keluarga pemulung. Unit analisis keluarga digunakan untuk menelaah keadaan kesejahteraan pemulung.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada lima lokasi pemukiman pemulung yaitu di RW 03, dua pemukiman pemulung di RW 04, RW 07 dan RW 10, Desa Kedaung, Kecamatan Pamulang, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten (Lampiran 1). Alasan pemilihan lokasi tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa Desa Kedaung merupakan wilayah yang sedang berkembang yang letaknya berdekatan dengan wilayah perkotaan yang cukup maju di Jakarta Selatan dan Bumi Serpong Damai. Alasan lainnya adalah peneliti tertarik untuk meneliti masyarakat pemulung yang berada di dekat tempat tinggal peneliti ini sebagai bentuk sumbangsih peneliti terhadap pembangunan Desa Kedaung.

45 Adapun waktu penelitian lapangan mulai dari awal Juni 2005 dan berakhir pada akhir Juli 2005. Pemilihan waktu penelitian ini disesuaikan dengan jadwal akademik Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.

3.3. Teknik Pengambilan Data dan Penentuan Responden Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dengan cara wawancara dengan alat bantu kuesioner dan panduan pertanyaan (Lampiran 2). Pertimbangan menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian karena alat ini dinilai lebih praktis, hemat waktu dan tenaga. Teknik wawancara digunakan untuk menghimpun informasi secara mendalam mengenai bentuk karakteristik kerja dan hubungan sosial pemulung. Selain wawancara, peneliti juga melakukan observasi terhadap aktivitas pemulung. Untuk sumber data sekunder diperoleh dari dokumentasi penting Desa Kedaung. Dari hasil penjajagan terhadap pemulung di Desa Kedaung pada bulan Juli 2005, diketahui populasi pemulung sebanyak 90 orang. Namun dari informasi yang diperoleh jumlahnya selalu berfluktuatif. Pada saat penjajakan sebanyak 25 orang pemulung berada di RW 04/03, 50 orang pemulung berada di RW 10/05, 6 orang pemulung berada di RW 03/07, dan 9 orang pemulung berada di RW 10/07. Responden terdiri dari individu dan unit keluarga. Pemilihan responden dengan unit analisis individu dilakukan secara acak sederhana dimana setiap pemulung (unit elementer) dari populasi memiliki kesempatan yamg sama untuk dipilih sebagai sampel. Cara pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengundi satuan-satuan elementer dalam populasi. Semua unit elementer penelitian disusun dalam kerangka sampling, kemudian dari kerangka sampling ini diambil 25 responden (sekitar 25 %) melalui cara pengundian. Unit analisis individu ini ditujukan untuk menjawab perumusan masalah

46 mengenai karakteristik pemulung, karakteristik kerja dan hubungan sosial pemulung. Selanjutnya, untuk unit analisis keluarga pemulung dilakukan pencacahan lengkap. Pada saat penelitian berlangsung keluarga pemulung yang terdapat di Desa Kedaung berjumlah 23 keluarga. Sebagaimana telah dikemukakan, unit analisis keluarga ditujukan untuk menjawab perumusan masalah mengenai kesejahteraan pemulung. Untuk melengkapi informasi yang diperlukan, diwawancarai informan yang terdiri dari 1 orang pemulung, 1 orang tokoh masyarakat Desa Kedaung, 2 orang lapak, dan 1 orang aparatur pemerintah Kedaung (Lampiran 3)

3.4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan statistik deskriptif. Penggunaan statsitik deskriptif ini dimaksudkan untuk menyajikan gambaran mengenai pemulung dengan menggunakan tabel frekuensi. Untuk menelaah kecenderungan hubungan antar variabel digunakan analisis tabulasi silang. Tabel silang diintepretasi untuk mencapai tujuan-tujuan penelitian. Untuk menambah makna hasil intepretasi dan analisis maka ditambahkan data-data kualitatif yang didapatkan dari proses wawancara dengan responden. Pada akhirnya, hasil intepretasi dan analisis ini dapat disajikan secara deskriptif.

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA

4.1. Lokasi dan Keadaan Wilayah Desa Kedaung merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Pamulang, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten (Lampiran 4). Luas daerah Desa Kedaung adalah 278,67 ha. Wilayah Desa Kedaung sebelah utara berbatasan dengan Desa Sawah, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Bambu Apus, sebelah barat berbatasan dengan Desa Serua Indah, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Ciputat. Dilihat dari faktor letaknya, jarak Desa Kedaung ke ibukota kecamatan adalah 3 kilometer dengan waktu tempuh selama 20 menit, sedangkan jarak dari Desa Kedaung ke ibukota kabupaten adalah 32 kilometer dengan waktu tempuh 1 jam. Kondisi jalan yang menghubungkan antara Desa Kedaung dengan kedua ibukota tersebut cukup baik. Alat transportasi antar desa dan kecamatan di Pamulang yang dapat digunakan adalah angkutan umum berupa kendaraan beroda empat atau biasa disebut juga dengan “angkot”, sedangkan alat transportasi yang dapat digunakan untuk ke ibukota adalah alat transportasi umum seperti ”angkot” dan dilanjutkan dengan kendaraan bis umum antar kota. Untuk mencapai ibukota Kecamatan Pamulang, maka rute angkutan yang dapat ditempuh dari Desa Kedaung adalah melalui angkutan Jombang – Ciputat, Bukit – Ciputat, ataupun Serpong – Ciputat, dilanjutkan dengan angkutan Ciputat – Pamulang Dua, Ciputat – Muncul, ataupun Ciputat – Reni. Kemudian, bila ingin mencapai ibukota Kabupaten Tangerang, maka rute yang dapat ditempuh dari Desa Kedaung adalah Ciputat – Serpong, dan dilanjutkan dengan bis ataupun “angkot” menuju kota Tangerang. Dengan melihat jarak yang tidak terlalu jauh dengan didukung jalan yang

48 baik serta kemudahan penggunaan alat transportasinya, maka akses untuk keluar desa menuju pusat kota termasuk mudah dijangkau. Ketersediaan angkutan relatif banyak dan mudah untuk diakses oleh penduduk karena angkutan tersebut selalu ada setiap waktu dan setiap hari. Topografi Desa Kedaung berupa dataran dengan keadaan suhu rata-rata 290C. Dengan curah hujan sebanyak 2.000/2.500 mm membuat tanah di desa ini memiliki tingkat kesuburan yang sedang. Mengenai keberadaan pemulung, pemulung tinggal di Desa Kedaung bersama lapaknya (bos pemulung). Lapak tersebut berada tersebar pada lima titik, yaitu dua lapak bertempat di RW 04, satu lapak masing-masing bertempat di RW 03, RW 07, dan RW 10. Dilihat dari posisi tempat tinggal pemulung (bedengan), lokasi pemukiman pemulung cenderung agak menjauh dari pemukiman warga di masing-masing RW terkait. Interaksi warga pemulung pun terlihat kurang menyatu dengan warga lainnya di sekitarnya.

4.2.

Karakteristik Penduduk Jumlah penduduk di Desa Kedaung sampai pada akhir Agustus 2005 mencapai

17.353 jiwa, dimana jumlah penduduk laki-laki sebanyak 8.934 jiwa sedangkan jumlah penduduk perempuan sebanyak 8.419 jiwa. Berikut adalah susunan penduduk Desa Kedaung berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin (Tabel 2). Reit pertumbuhan penduduk Desa Kedaung pada periode tahun 1998 – 2005 diperkirakan 0,97 % per tahun (Lampiran 5). Penduduk Desa Kedaung bila dilihat dari jumlah kepala keluarga adalah sebanyak 4.677 kepala keluarga. Total dusun, RW, dan Rukun Tetangga (RT) yang berada di Desa Kedaung ini adalah sebanyak 4 Dusun, 12 RW, dan 82 RT.

49 Tabel 2

Susunan Penduduk Desa Kedaung Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, 2005

Umur 0–4 5–9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 – 69 Jumlah

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 1.500 1.503 844 847 777 783 747 723 895 821 799 715 690 649 439 296 380 295 312 311 420 457 341 310 249 301 541 408 8.934 8.419

Jumlah 3.003 1.691 1.560 1.470 1.716 1.514 1.339 735 675 623 877 651 550 949 17.353

Sumber: Data Monografi Desa Kedaung, 2005

Dilihat dari mutasi penduduknya, menurut data monografi Desa Desember 2004, jumlah penduduk yang datang sebanyak 8 orang (6 orang laki-laki dan 2 orang perempuan), jumlah penduduk yang lahir sebanyak 4 bayi (2 bayi laki dan 2 bayi perempuan), dan jumlah penduduk yang mati tidak ada. Jumlah mutasi penduduk Desa Kedaung ini tidak termasuk para pemulung yang datang dan pergi ke Desa Kedaung. Agama yang dianut oleh penduduk Desa Kedaung adalah Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha. Namun mayoritas penduduk Desa Kedaung memeluk agama Islam. Adapun agama mayoritas yang dianut oleh penduduk Desa Kedaung adalah Islam. Berdasarkan monografi desa, mata pencaharian masyarakat pada umumnya adalah pedagang sebanyak 1228 orang, pegawai negeri sipil (PNS) 584 orang, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) 515 orang,

pengangkutan 152 orang, dan

pensiunan (ABRI dan PNS) 125 orang. Tidak ada warga Desa Kedaung yang berprofesi sebagai petani ataupun nelayan. Adapun informasi mengenai profesi pemulung yang

50 terbaru tidak tercatat dalam monografi desa maupun pada statistik lainnya di Desa Kedaung. Suku bangsa yang mendiami desa ini sangat beragam. Namun suku bangsa yang terdapat pada komunitas pemulung tidak terlalu beragam atau homogen. Sebagian besar pemulung berasal dari suku bangsa Jawa walaupun ada pula yang berasal dari Kalimantan. Mobilitas penduduk Desa Kedaung sangat tinggi, karena sebagian besar warganya bekerja bukan di Desa Kedaung melainkan ke kota Jakarta.

4.3.

Fasilitas Umum

4.3.1. Pengairan Sumber air minum utama yang digunakan berasal dari air tanah dan Perusahaan Ai Minum (PAM). Di desa ini terdapat dua danau yang masih cukup menampung kebutuhan minum penduduk Desa Kedaung.

4.3.2. Olahraga Di desa ini terdapat 4 lapangan sepakbola dan 6 lapangan bola voli. Salah satu lapangan sepak bola di desa ini sering digunakan sebagai tempat pertandingan sepak bola antar desa. Olahraga sepak bola adalah olahraga yang paling menarik perhatian penduduk di desa ini.

4.3.3. Perekonomian Sarana perekonomian yang tersedia antara lain adalah koperasi simpan pinjam sebanyak 1 buah dan badan kredit sebanyak 2 buah. Adapun usaha-usaha yang mendukung perekonomian Desa Kedaung adalah jenis-jenis usaha kecil dan menengah seperti warung makan atau pedagang kaki lima (PKL), warung

51 rokok, warung sembako, wartel, pedagang keliling, toko alat-alat tulis dan foto kopi, toko ikan, taylor, furniture, bengkel, dan usaha kecil lainnya.

4.3.4. Pendidikan Secara keseluruhan, jumlah sekolah di desa ini cukup banyak, yaitu 10 Taman Kanak-kanak (TK), 4 SD Negeri, 1 Madrasah Ibtidaiyah, 3 SD Swasta Umum, 1 SD Swasta Islam, 2 SLTP Islam, 1 SMU Kejuruan dan 1 SMU Swasta Islam. Selain sekolah sebagai lembaga formal untuk mendapatkan pendidikan, di desa ini juga terdapat pesantren sebanyak 1 buah dengan jumlah siswa yang cukup banyak yaitu sebanyak 200 santri dengan tenaga pengajarnya sebanyak 4 orang.

4.3.5. Tempat Peribadatan Tempat peribadatan yang ada di desa ini hanya mesjid, yaitu sebanyak 10 buah dan mushola sebanyak 25 buah, sedangkan tempat peribadatan agama lain tidak ada. Dalam kegiatan keagamaan, penduduk Desa Kedaung cukup banyak yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Hal ini terlihat dari jumlah majelis taklim yang aktif sebanyak 40 buah dengan jumlah jemaah sebanyak 2000 orang.

4.3.6. Kesehatan Fasilitas kesehatan yang ada di Desa Kedaung adalah poliklinik atau balai pengobatan sebanyak 1 buah, 2 orang praktek dokter umum, 1 orang dokter khitan, 3 orang dukun bayi, 2 buah apotek, dan 15 Posyandu. Pada umumnya, masyarakat sudah mempercayai dokter untuk menangani permasalahan

52 kesehatan mereka. Mengenai Posyandu, Posyandu yang tersebar di 12 RW masih berjalan aktif. Sebagai unit kesehatan yang terdekat dengan masyarakat, Posyandu di Desa Kedaung sering melakukan koordinasi dengan pemerintah Desa Kedaung dan Kecamatan Pamulang dalam mensosialisasikan programprogram kesehatan pemerintah, seperti salah satunya adalah pelaksanaan (Pekan Imunisasi Nasional (PIN) 2005. Pada pelaksanaan PIN 2005, tidak semua keluarga pemulung yang mempunyai balita mengikuti program ini. Hanya sebagian kecil dari pemulung yang ikut ambil bagian.

BAB V KARAKTERISTIK PEMULUNG

Karakteristik pemulung merupakan ciri-ciri yang memberikan gambaran yang khas kepada pemulung. Beberapa karakteristik pemulung yang akan dibahas diantaranya adalah jenis kelamin, usia pemulung, daerah asal, jumlah anggota rumahtangga, alasan menjadi pemulung, agama dan tingkat pendidikan, dan kepemilikan KTP musiman.

5.1. Jenis Kelamin Profesi pemulung ternyata lebih banyak digeluti oleh laki-laki dibandingkan perempuan. Dari keseluruhan responden sebanyak 72 persen laki-laki dan 28 persen perempuan. Persentase terbesar berada pada laki-laki karena laki-laki adalah pencari nafkah utama, sedangkan perempuan bekerja sebagai ibu rumahtangga. Bagi ibu-ibu yang sedang tidak mempunyai bayi maka ibu tersebut ikut bekerja sebagai pemulung untuk membantu suami, sedangkan ibu-ibu yang mempunyai bayi, beberapa diantaranya ada yang memutuskan hanya menjadi ibu rumahtangga tetapi ada juga yang bekerja bergantian dengan suami. Pemulung perempuan biasanya mengurusi bedeng mereka terlebih dahulu sebelum berangkat kerja memulung. Beberapa pekerjaan yang rutin dilakukannya adalah memasak, menyapu, mencuci, dan mengurusi anak. Setelah semua itu beres, maka mereka baru bisa berangkat kerja memulung.

5.2. Usia Pemulung Usia pemulung yang bekerja di Desa Kedaung berada dalam kisaran umur 12 – 70 tahun. Adapun anak-anak pemulung yang berusia kurang dari 12 tahun biasanya

54 membantu ibunya memulung dengan cara mengikuti ibunya dan memungut barangbarang pulungan ataupun membantu ketika proses penyortiran. Hampir semua pemulung berada pada usia kerja/usia produktif (10 – 59 tahun) yaitu sebanyak 96 persen, sedangkan sisanya 4 persen berusia 70 tahun.. Untuk pemulung yang berusia dibawah 15 tahun, mereka bekerja sebagai pemulung karena disuruh oleh orang tuanya. Pemulung yang berusia 15 tahun ke atas bekerja sudah atas kemauan mereka sendiri. Mereka bekerja untuk mencari pengalaman, mencari kebebasan, mencari pekerjaan selain sebagai buruh tani yang dianggapnya membosankan. Selain itu, pada usia 20 – 29 tahun, usia ini adalah usia dimana seseorang baru berumahtangga, mereka bersedia bekerja apa saja asalkan penghasilannya dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Pada Tabel 3 terlihat bahwa persentase terbesar usia pemulung berada pada kategori sedang (29 – 49 tahun). Alasannya karena pada usia ini pada umumnya pemulung sudah berkeluarga dan mereka memiliki tanggungan untuk menghidupi anggota keluarganya. Akan tetapi jumlah pemulung semakin sedikit di usia tua karena semakin tua umur seorang pemulung maka semakin turunlah kemampuan mengangkat beban, kemampuan melihat dan dalam melakukan perjalanan jauh. Tabel 3 Jumlah Pemulung Menurut Usia, Juli 2005 Usia Pemulung 10 – 29 29 – 49 > 49 Total

Jumlah 7 9 2 25

Persen 28 36 8 100

5.3. Daerah Asal Sebagian besar (84 %) responden berasal dari Jawa Tengah, sisanya berasal dari Kalimantan Timur, Jawa Timur, dan Jawa Barat (Tabel 4). Pada responden yang berasal dari Jawa Tengah, semuanya berasal dari Brebes yang berasal dari bermacam-macam

55 desa. Namun yang paling banyak berasal dari Desa Randusari 2 sebanyak 32 persen dan Desa Selatri sebanyak 24 persen; berikutnya Desa Blubug sebanyak 8 persen. Desa Limbangan, Desa Pesuruan, Desa Sida Mulya, Desa Sitanggal, dan Desa Tanjung masing-masing sebanyak 4 persen. Desa Randusari 2 merupakan desa dimana Lapak Ka berasal. Sebagai gambaran, Lapak Ka merupakan lapak (bos pemulung) yang mempunyai anak buah terbanyak yaitu 50 anak buah (pemulung) dari total sebanyak 90 orang pemulung di 6 Lapak Desa Kedaung. Selain itu, Desa Selatri adalah adalah daerah asal Lapak Iw. Kedua responden yang berasal dari Desa Blubug pun selain memiliki hubungan geografis, mereka juga memiliki hubungan darah. Oleh karena itu, ada indikasi bahwa semakin banyak orang yang bekerja pada profesi pemulung, karena ada jaringan kekerabatan. Keluarga atau relasi yang sudah terlebih dahulu ke kota atau pun mereka yang pernah atau sedang bekerja di bidang ini, berperan penting dalam memberikan infomasi ataupun menunjukkan peluang kepada relasi yang berminat bekerja pada profesi ini. Hal ini seperti yang dilakukan oleh salah seorang informan. Berikut pernyataannya: “...menjadi lapak sangat membutuhkan kehadiran anak buah (pemulung). Oleh karena itu, saya mulai mengajak saudara-saudara ataupun tetangganya untuk bekerja pada saya. Mereka pun mau bahkan ada beberapa dari mereka menawari diri untuk bekerja pada saya...”. (Ka/50 th/lapak) (Lampiran 3b) Tabel 4 Jumlah Pemulung Menurut Daerah Asalnya, Juli 2005 Desa Daerah Asal Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Timur Total

Jumlah 2 21 1 1 25

Persen 8 84 4 4 100

Pemulung yang berasal dari daerah yang sama (sedaerah) dengan lapak sebanyak 68 persen, sedangkan yang tidak sedaerah sebanyak 32 persen.

56 5.4. Agama dan Tingkat Pendidikan Semua responden pemulung di Desa Kedaung beragama Islam. Hal ini tampak sesuai dengan latar belakang daerah asalnya yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sebagian besar pemulung yaitu sebesar 56 persen tingkat pendidikan formalnya termasuk rendah, sejumlah 24 persen pemulung tidak pernah mengecap bangku sekolah atau tidak pernah sekolah dan 32 persen tidak lebih dari kelas 3 SD. Akan tetapi sebanyak 44 persen pemulung termasuk berpendidikan sedang karena telah berada pada jenjang pendidikan minimal kelas 4 SD sampai dengan tidak tamat SMP. Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah Pemulung Menurut Tingkat Pendidikan, Juli 2005 Tingkat Pendidikan Tidak sekolah SD kelas 2 (tidak tamat) SD kelas 3 (tidak tamat) SD kelas 4 (tidak tamat) SD kelas 5 (tidak tamat) Tamat SD SLTP kelas 1 (tidak tamat) Total

Jumlah

Persen 6 3 5 1 3 4 3 25

24 12 20 4 12 16 12 100

Tingkat pendidikan pemulung ini rendah karena keluarga pemulung di daerah asal pada umumnya miskin. Di daerah asalnya, tidak ada seorang responden memiliki pekerjaan yang mapan. Sebanyak 60 persen pemulung bekerja sebagai buruh tani di daerah asalnya. Penghasilan sebagai buruh tani ini pada umumnya sebesar Rp120.000,00 per bulan. Hal ini jelas tidak mencukupi semua kebutuhan. Alih-alih untuk memenuhi kebutuhan makan saja cenderung pas-pasan, apalagi untuk menambah pengeluaran untuk pendidikan. Selain itu desa asal sering mengalami kekeringan sehingga terdapat kesulitan untuk bercocok tanam.

57 Berdasarkan tingkatan pendidikan pemulung seperti yang telah dipaparkan pada Tabel 5, persentase terbesar pemulung adalah tidak sekolah (24 %). Hal ini terjadi karena keluarga responden (orang tuanya) termasuk keluarga miskin. Penghasilan orang tua responden tidak cukup untuk membiayai pendidikan anaknya. Akibatnya, anak disuruh untuk ikut membantu orang tuanya kerja di sawah atau di rumah. Pemulung yang telah tamat SD ataupun pernah memperoleh pendidikan SMP menyatakan bekerja sebagai pemulung karena telah mencoba-coba melamar dengan ijazah SD-nya namun ternyata saat ini perusahaan-perusahaan paling tidak mempersyaratkan ijazah SMU ataupun bila mau menjadi satpam minimal SMP. Kekurangan ini menyebabkan mereka sulit diterima kerja pada bidang formal dan pekerjaan menjadi pemulung adalah pekerjaan yang paling memungkinkan saat ini. Bila menjadi tukang batu, maka pekerjaan tersebut hanya datang sewaktu-waktu. Namun bila menjadi pemulung maka penghasilan akan mereka dapatkan setiap saat asalkan mereka bekerja dengan rajin. Mengenai keterampilan pemulung, sebanyak 96 persen tidak pernah mengikuti kursus keterampilan, hanya 4 persen yang pernah mengikuti kursus. Kursus yang diikuti adalah kursus menjahit. Namun karena keterbatasan dana maka responden tidak bisa menerima jahitan.

5.5. Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga pemulung responden berkisar antara 1 sampai dengan 6 orang dengan rata-rata 3,2 orang (3 – 4 orang). Namun jumlah anggota keluarga pemulung terbanyak berjumlah 3 orang (40 %). Responden yang memiliki jumlah keluarga kecil (≤ 4 anggota keluarga) sebanyak 88 persen, sedangkan sisanya sebanyak 12 persen responden memiliki jumlah keluarga besar.

58 5.6. Alasan Menjadi Pemulung Alasan menjadi pemulung beragam (Tabel 6). Beberapa alasan menjadi pemulung yang paling banyak dikemukakan adalah profesi ini tidak memerlukan persyaratan tertentu seperti pendidikan, keterampilan dan modal (24,3 %), tidak ada alternatif pekerjaan lain (22,7 %), pekerjaan ini mudah dilakukan (21,2 %) dan ada relasi yang sudah bekerja lebih dulu di kota (15,2 %). Adapun alasan-alasan lainnya diantaranya pemulung dapat bekerja secara bebas (tidak terkekang oleh orang lain). Misalnya responden mengungkapkan bahwa: “....saya menjadi pemulung karena ingin bebas dan tidak terkekang terutama oleh keluarga. Terus terang aja mbak, saya di rumah tidak betah. Di daerah asal saya, saya kerja jadi kuli tani. Saya tertekan kalau ada di rumah, karena saya memang ada masalah dengan keluarga saya. Saya sering diperintah oleh sodara-sodara saya dan saya enggak suka itu. Dengan mulung ini saya merasa bebas, karena kerja enggak mesti disuruh-suruh....” (Ri/21 th/pemulung) Alasan berikutnya, pekerjaan memulung memiliki resiko rendah karena hanya bermodalkan tenaga (tidak mengeluarkan modal seperti ketika bercocok tanam) maka pemulung sudah dapat merasakan hasilnya secara langsung asalkan pemulung tersebut rajin bekerja. Pemulung tidak akan mengalami kerugian material secara langsung. Bila memperhatikan alasan ini, maka dapat dilihat bahwa terdapat kemungkinan besar bahwa pemulung tidak berani mengambil resiko yang besar untuk mendapatkan sesuatu hasil yang dapat besar pula. Adapun alasan disuruh oleh orang tua dikemukakan oleh tiga responden yang berusia antara 10 – 11 tahun. Dari tiga responden ini, dua orang diantaranya terkadang memulung sambil meminta-minta (mengemis). Salah seorang dari anak ini ada yang diperlakukan kasar oleh bapaknya. Anak ini tidak boleh pulang sebelum hari gelap. Jika memaksakan pulang maka anak tersebut akan dipukuli. Alasan memulung lainnya antara lain mencari pengalaman di bidang lain, mengikuti suami

59 kerja, menganggur (karena menunggu panen) dan mengubah gaya hidup orang jalanan menjadi orang yang lebih baik.

Tabel 6 Distribusi Alasan Menjadi Pemulung, Juli 2005 Alasan Menjadi Pemulung Jumlah Pernyataan Ada relasi yang telah bekerja di kota 10 Dapat bekerja secara bebas/tidak terkekang 4 Disuruh orang tua 3 Mencari pekerjaan yang resikonya rendah 1 Mencari pengalaman 1 Menganggur 1 Mengikuti suami 1 Mengubah diri dari pola kehidupan orang jalanan 1 yang sering tidur di jalanan menjadi tidur dalam rumah Memulung tidak sulit untuk dilakukan 14 Tidak ada alternatif pekerjaan lain 15 Tidak memerlukan persyaratan tertentu, seperti 16 modal uang, pendidikan dan keterampilan Total 67

Persen 14,9 5,9 4,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 20,9 22,4 23,9 100,0

Catatan: Tiap responden pemulung dapat memberikan lebih dari satu jawaban

5.7. Riwayat Pekerjaan Pemulung Sebelum mencoba bekerja sebagai pemulung, 84 persen responden telah mencoba pekerjaan lain. Semua pekerjaan yang telah dicoba merupakan pekerjaan pada sektor informal, diantaranya adalah buruh tani, berdagang, tukang kebun, tukang bakso, ‘temer’ mobil, pengamen, jaga toko, tukang semir, tukang becak, tukang bajaj, tukang masak, penjahit, nelayan, tukang sampah, dan pembantu rumahtangga. Berikut adalah pernyataan salah seorang responden: “...riwayat pekerjaan sebelum saya jadi pemulung adalah sebelum pindah ke kota saya masih menganggur. Pada umur 8 tahun saya diajak bapak ke kota untuk bantu-bantu bapak jadi tukang sampah kemudian dari situ saya baru tahu ada profesi pemulung dari teman-teman saya.....”. (An/18 th pemulung) (Lampiran 3a)

60 Namun persentase terbesar jenis pekerjaan yang telah ditekuni sebelum menjadi pemulung adalah buruh tani yakni 43 persen (Tabel 7). Tabel 7 Riwayat Pekerjaan Pemulung, Juli 2005 Pekerjaan Pemulung Bajaj Becak Berdagang Buruh tani Jaga toko Nelayan Pengamen Pengurus makam Penjahit Pembantu Rumah Tangga Temer mobil Tukang kebun Tukang masak Tukang semir Total

Jumlah

Persen 2 2 4 15 1 1 1 1 1 2 1 2 1 1 35

5,6 5,6 11,4 43 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 5,6 2,9 5,6 2,9 2,9 100,0

Catatan: Tiap responden pemulung dapat memberikan lebih dari satu jawaban

5.8. Kepemilikan KTP Musiman Hampir seluruh pemulung (96 %) di Desa Kedaung ini tidak memiliki KTP musiman (Tabel 8). Pemulung yang mempunyai KTP musiman adalah pemulung yang

Tabel 8 Jumlah Pemulung Menurut Kepemilikan KTP Musiman, Juli 2005 Kepemilikan KTP Musiman Punya Tidak Total

Jumlah

Persen 1 24 25

4 96 100

mempunyai kepentingan tertentu dengan birokrasi pemerintah seperti yang diungkapkan oleh seorang responden yang mempunyai KTP musiman sebagai berikut:

61 “....Iya mbak, saya buat KTP musiman, KTP ini memproses anak saya yang sakit. Waktu itu kan anak saya diare, trus saya disarankan oleh tetangga untuk ke LKC (Lembaga Kesehatan Cuma-Cuma dari Dompet Duafa Republika) saja, karena LKC khusus untuk orang yang tidak mampu dan LKC pun tidak akan meminta biaya. Oleh karena itu saya bawa anak saya ke sana. Syarat di LKC ini relatif mudah. Di LKC ini anak saya ditangani dan menginap selama 3 hari. Entah mengapa saya disuruh membawa anak saya ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Dan belakangan ini saya tahu bahwa anak saya menderita busung lapar. Di rumah sakit ini saya dimintai surat Keterangan tidak mampu dari RT setempat, KTP setempat (KTP musiman) dan Kartu Keluarga. Terus terang aja untuk mengurusi ini saya sangat repot karena saya bukan penduduk asli. Demi mendapatkan pengobatan gratis, saya mengurusi itu semua. Bahkan saya harus meminta surat keterangan dari Rumah Sakit Umum Tangerang, dan sebagainya. Untuk semua itu uang yang saya habiskan hampir mencapai Rp500.000,00 Kartu Keluarganya aja sendiri sudah Rp200.000,00 sedangkan KTP Rp50.000,00....”.(Al/28 th/ pemulung) Pemulung yang tidak mempunyai KTP musiman pada umumnya karena mereka tidak mengetahui bahwa warga migran harus memiliki KTP Musiman. Selain itu mereka pun tidak pernah ataupun tidak mau berurusan/berkepentingan dengan birokrasi atau tempat pelayanan setempat. Sebagian kecil dari responden yang mengaku mengetahui perihal KTP Musiman ini sengaja tidak membuatnya karena proses pembuatan KTP ini birokrasinya sangat rumit, mahal dan masa berlakunya pun tidak lama seperti KTP asli. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah seorang responden: “...KTP musiman? Iya saya tahu kak, itu KTP buat orang di luar Desa Kedaung kan. Saya tahunya dari teman saya yang kebetulan ngurusin KTP musiman ini buat berobat anaknya rumah sakit. Mahal banget kak. Untuk bikin satu KTP aja bisa sampai Rp50.000-an. Sudah begitu jadinya lama banget sampai 3 bulan. Kalau KTP-nya mau cepet jadi, tambah lagi uangnya kak, makanya dari pada gitu, mending uangnya buat keperluan yang lain...”. (Sr/24 th, pemulung) 5.9. Ikhtisar Profesi pemulung lebih banyak digeluti oleh kaum laki-laki. Usia pemulung yang bekerja mayoritas berada pada usia kerja. Semua pemulung ini berasal dari pedesaan dan paling banyak berasal dari Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Tingkat pendidikan

62 pemulung termasuk rendah karena banyak pemulung yang tidak sekolah ataupun bila sekolah tidak tamat SD. Keluarga pemulung rata-rata memiliki 3 orang anggota keluarga yang biasanya terdiri dari ayah, ibu dan satu orang anak. Semua pemulung di Desa Kedaung beragama Islam. Alasan para pemulung memilih pekerjaan ini beragam. Alasan yang paling banyak dikemukakan adalah profesi ini tidak memerlukan persyaratan tertentu, sudah ada relasi yang bekerja seperti ini sebelumnya, dan memang tidak ada alternatif pekerjaan lain selain memulung. Sebelum berkecimpung di usaha ini, pemulung bekerja di usaha sektor informal. Riwayat pekerjaan pemulung semuanya merupakan pekerjaan informal. Pemulung pun tidak pernah mengikuti kursus keterampilan. Keterampilan yang dimiliki sebagian pemulung dipelajarinya secara otodidak. Adapun mengenai kepemilikan KTP, hampir semua pemulung tidak mempunyai KTP musiman (KTP setempat).

BAB VI KARAKTERISTIK KERJA PEMULUNG

Sebelum memahami cara dan sifat kerja pemulung, akan dikemukakan terlebih dahulu karakteristik atau ciri-ciri profesi pemulung. Karakteristik kerja pemulung ini dapat dilihat dari lamanya menjadi pemulung, lama tinggal di lapak terakhir, motivasi kerja, hari dan jam kerja, dalam memulung, karakteristik barang pulungan, berat barang yang dipulung, penghasilan pemulung, peralatan yang digunakan dalam memulung, frekuensi pengiriman uang ke daerah asal, dan frekuensi pulang ke daerah asal.

6.1. Lama Menjadi Pemulung Para pemulung rata-rata telah menjalani pekerjaan ini selama 3,65 tahun. Persentase terbesar lama menjadi pemulung berada dalam selang 1 – 4 tahun yakni sebesar 44 persen. Hal ini berarti pekerjaan memulung relatif masih baru bagi sebagian orang dan bisa diartikan bahwa profesi ini semakin banyak diminati dan berkembang di Desa Kedaung mulai 4 tahun belakangan ini. Kini pemulung jumlahnya semakin banyak, terlihat dari banyaknya pemulung baru dalam setahun terakhir. Untuk pemulung yang bekerja lebih dari 10 tahun, sebelumnya mereka telah menjadi pemulung di tempat lain di luar Desa Kedaung. Informasi lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah Pemulung Menurut Lamanya Menjadi Pemulung, Juli 2005 Lama Menjadi Pemulung (Tahun) <1 1–4 >4 Total

Jumlah 8 11 6 25 Rata-rata = 3,65 tahun

Persen 32 44 24 100

64 6.2. Lama Tinggal di Lapak Terakhir Rata-rata pemulung telah tinggal di lapak terakhir selama 1 tahun (1,05 tahun). Pemulung yang tinggal di lapak terakhir kurang dari setahun sebanyak 56 persen, 1 – 3 tahun sebanyak 40 persen, dan lebih dari 4 tahun sebanyak 4 persen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Jumlah Pemulung Menurut Lama Tinggal di Lapak Terakhir, Juli 2005 Lama Tinggal di Lapak Terakhir <1 1–3 >3 Total

Jumlah

Persen

14 10 1 25 Rata-rata = 1,05 tahun

56 40 4 100

Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan memulung merupakan pekerjaan yang tidak terikat. Mereka bebas menentukan akan tinggal pada lapak tertentu. Lama atau tidaknya pemulung mengabdi pada lapak tergantung dari fasilitas baik berupa fisik maupun nonfisik yang diberikan. Sebagai contoh fasilitas fisik adalah bantuan lapak berupa kemudahan mendapatkan pinjaman uang dari lapak kepada anak buahnya, fasilitas

bedengan

(bedeng,

air,

listrik),

penyetoran

barang

pulungan

dan

pembayarannya dilakukan secara lancar (uang lapak selalu ada untuk membayar barang pulungan yang diberikan pemulung), sedangkan fasilitas nonfisik berupa keamanan dari pihak-pihak yang hendak memeras pemulung dan rasa persaudaraan.

6.3. Motivasi Kerja Motivasi kerja yang dimiliki semua responden adalah memenuhi kebutuhan primer (pangan, sandang, dan papan), namun terutama pangan. Kebutuhan akan pangan bagi sebagian besar pemulung dirasakan sangat mendesak, terutama bagi mereka yang

65 berpenghasilan rendah. Bila dalam satu hari mereka tidak memulung, maka mereka akan mendapatkan kesulitan untuk makan. Akibatnya mereka akan mempergunakan sisa uang hasil sebelumnya ataupun bila uang tidak ada sama sekali mereka akan mengutang kepada lapak. Hal seperti inilah yang menjadikan mereka tidak memiliki tabungan. Perilaku mengutang kepada lapak adalah hal yang sering dilakukan oleh pemulung. Kebutuhan akan pangan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar yang dibutuhkan oleh pemulung. Menurut teori motivasi dari Maslow, kebutuhan pangan (kebutuhan primer) berada pada hierarki yang paling rendah. Apabila seseorang bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar, maka Saefuddin (1986) menyebut orang tersebut memiliki etos kerja yang rendah. Walaupun demikian, pekerjaan memulung ini bagi sebagian besar pemulung (56 %) dianggap menyenangkan (Tabel 11). Alasannya antara lain banyak temannya, Tabel 11 Jumlah Pemulung Menurut Perasaannya Bekerja sebagai Pemulung, Juli 2005 Perasaan Bekerja sebagai Pemulung Senang Biasa Tidak senang Total

Jumlah

Persen 14 2 9 25

56 8 36 100

resiko pekerjaan kecil, tidak ada pilihan lain selain bekerja seperti ini dan hanya dengan modal tenaga sudah dapat menghasilkan uang. Adapun responden yang menganggap pekerjaan ini biasa saja sebanyak 8 persen. Alasannya adalah memulung sama seperti pekerjaan lainnya yang penting halal, sedangkan yang menjawab tidak senang atas pekerjaan ini sebanyak 36 persen. Alasan tidak menyenangi pekerjaan ini karena malu bahwa pekerjaan ini dianggap hina dan rendah oleh masyarakat, sering dituduh mencuri, penghasilannya pas-pasan sehingga belum merasa dapat menikmati hasil pekerjaan,

66 harus kerja keras (mengotimalkan tenaga fisik) untuk mendapatkan penghasilan, dan bila sehari saja tidak kerja maka tidak ada uang untuk keperluan besoknya.

6.4. Penghasilan dari Memulung Penghasilan yang diperoleh seorang pemulung di Desa Kedaung dalam sebulannya rata-rata sedang yaitu sebesar Rp421.200,00 dengan penghasilan pemulung terendah sebesar Rp150.000,00 dan tertinggi sebesar Rp900.000,00. Bila dikategorikan berdasarkan tingkatannya, pemulung yang mendapatkan penghasilan rendah sebanyak 44 persen. Pemulung yang mendapatkan penghasilan sedang sebanyak 28 persen, sedangkan pemulung yang memperoleh pendapatan tinggi sebanyak 28 persen (Tabel 12).

Tabel 12 Jumlah Pemulung Menurut Penghasilan Pemulung, Juli 2005 Penghasilan Pemulung (Rp) ≤ 384.000 384.001 – 559.999 ≥ 560.000 Total Keterangan: Rendah Sedang Tinggi

Jumlah 11 7 7 25 Rata-rata = Rp421.200,00

Persen 44 28 28 100

: ≤ Rp384.000,00 : Rp384.000,00 – Rp559.999,00 : ≥ Rp560.000,00

6.5. Hari Kerja dan Jam Kerja Dalam sebulan, pemulung bekerja rata-rata selama 25 hari, dengan hari kerja terendah 14 hari dan hari kerja tertinggi 30 hari, sehingga dalam sebulan mereka tidak bekerja rata-rata selama 5 hari per bulan atau kurang lebih 1 atau 2 hari per minggunya (Tabel 13).

67 Tabel 13 Jumlah Pemulung Menurut Hari Kerja dalam Sebulan, Juli 2005 Hari Kerja dalam Sebulan < 19 19 – 26 > 26

Jumlah

Persen

5 6 14 Rata-rata = 25,92 hari

20 24 56

Pada umumnya, hari libur tersebut digunakan pemulung untuk beristirahat. Pemulung yang masih bujangan biasanya memanfaatkan hari libur kerja tersebut dengan mencuci baju, mengurus rumah, dan mengistirahatkan badan mereka yang pegal-pegal. Banyak pula pemulung yang kondisi badannya tidak sehat sehingga mereka harus banyak beristirahat di bedengnya. Adapun jam kerja pemulung rata-rata 160 jam per bulan atau 5,3 jam per hari (Tabel 14). Jam kerja tidak bersifat mengikat. Jam kerja terendah adalah 3 jam per hari, sedangkan yang tertinggi adalah 13 jam per hari. Waktu kerja biasanya diselingi oleh waktu-waktu istirahat. Misalnya, pemulung bekerja selama 2 jam kemudian pulang dan beristirahat selama 1 jam kemudian berangkat lagi selama 2 jam dan kembali lagi untuk beristirahat dan makan. Setelah itu mereka baru berangkat lagi dan istirahat lagi. Begitulah seterusnya sampai pemulung merasa bahwa usahanya mencari barang pulungan sampai pada batas tenaga dan jam tertentu. Pada umumnya jam kerja untuk anak-anak lebih sedikit daripada kaum dewasa. Namun ada satu pengecualian, seorang pemulung kecil, ia harus berangkat dari rumah untuk memulung dan meminta-minta mulai jam 03.00 wib dan pulang ketika hari menjelang malam. Berikut adalah pengakuannya: “ saya mulai berangkat mulung pagi mbak sekitar jam 03.00-an. Biasanya saya perginya ke pasar (Pasar Ciputat) karena selain mulung saya sekalian bisa ‘minta-minta’. Saya disuruh bapak begitu. Trus saya pulang kalau udah sore. Kalau pulang siang, saya suka dipukulin sama bapak....”. (Ta/12 th/pemulung)

68 Pada umumnya pemulung mulai bekerja jam 05.00 wib. Hal ini menyesuaikan dengan izin yang diberikan dari komplek-komplek tempat mereka memulung bahwa pemulung baru diizinkan untuk memulung setelah jam 05.00 wib untuk menghindari adanya prasangka masyarakat terhadap pemulung. Setelah itu biasanya pemulung pulang sekitar jam 16.00 sampai dengan 17.00 wib. Namun ada pula pemulung yang pulang jam 22.00 wib. Tetapi biasanya pemulung yang pulang malam, habis memulung dari pasar. Tidak ada pemulung yang berani memulung malam ke daerah komplek karena khawatir disangka akan mencuri. Melihat hari dan jam kerja pemulung yang cukup tinggi, maka anggapan bahwa pemulung itu malas tidaklah benar.

Tabel 14 Jumlah Pemulung Menurut Jam Kerja Pemulung dalam Sebulan, Juli 2005 Jam Kerja Pemulung dalam Sebulan < 121 121 – 210 > 210 Total

Jumlah 8 14 3 25 Rata-rata = 160 jam

Persen 32 56 12 100

6.6. Jarak Tempuh Memulung Dalam bekerja, pemulung biasanya menempuh jarak rata-rata 5 kilometer tiap harinya. Berdasarkan data yang diperoleh, jarak tempuh memulung yang terbanyak (32 %) adalah 4 – 4,5 km. Jarak tempuh memulung memulung terkecil yaitu sejauh 1,5 kilometer sedangkan yang terjauh yaitu 15 kilometer (Tabel 15). Pada umumnya, kaum perempuan tidak mampu berjalan jauh karena beberapa alasan diantaranya, takut tersasar karena tidak bisa membaca petunjuk jalan, mempunyai tanggung jawab di rumah sehingga mereka akan cepat kembali ke rumah, dan alasan terakhir adalah mereka tidak begitu kuat mengangkat beban.

69 Tabel 15 Jumlah Pemulung Menurut Jarak Tempuh Memulung, Juli 2005 Jarak Tempuh Memulung Memulung (km) <5 5–9 >9 Total

Jumlah

Persen

14 7 4 25 Rata-rata = 5,34 kilometer

56 28 16 100

6.7. Karakteristik Barang Pulungan Jenis barang pulungan yang dikumpulkan adalah semua jenis barang yang masih berdaya guna. Berdaya guna disini diartikan sebagai barang bekas namun bila barang tersebut dijual masih memiliki nilai jual. Pada umumnya barang yang dipulung adalah semua jenis barang kecuali sayuran. Adapun barang-barang bekas atau barang pulungan yang sering dikumpulkan antara lain yang termasuk kategori kertas, kerdus, plastik, besi, paralon, aluminium, sandal/sepatu, beling dan baja. Semua responden memulung jenis barang-barang ini, namun terkadang ada pengecualian untuk beling. Jarang pemulung yang mau mengumpulkan beling, khususnya pemulung muda karena selain berat, harganya pun paling murah, yaitu Rp200,00 per kilogramnya, sedangkan jenis barang yang lain bisa sampai dengan Rp30.000,00 per kilogramnya. Untuk informasi mengenai gambar barang pulungan dapat dilihat pada Lampiran 6a, sedangkan untuk melihat daftar harga jual dan beli barang pulungan dapat dilihat pada Lampiran 7.

6.8. Berat Barang Pulungan Mengingat barang yang diambil pemulung cukup bervariasi, maka berat barang pulungan yang didapat bervariasi pula. Rata-rata berat barang pulungan yang diperoleh pemulung dalam sebulan sebanyak 641,8 kilogram atau dalam sehari sebanyak 21,4 kilogram. Berat barang pulungan yang terendah sebesar 120 kilogram/bulan sedangkan

70 berat barang pulungan yang tertinggi sebesar 6000 kilogram/bulan (Tabel 16). Namun berat barang pulungan belum tentu mempengaruhi besarnya penghasilan yang diterima oleh pemulung, karena penghasilan pemulung juga ditentukan oleh kelihaian pemulung dalam memilih jenis barang yang dikumpulkan. Tabel 16 Jumlah Pemulung Menurut Berat Barang Pulungan yang Didapatkan, Juli 2005 Berat Barang Pulungan (kg per bulan) < 301 301 – 750 >750

Jumlah 15 8 2 Rata-rata = 641,8

Persen 60 32 8

6.9. Peralatan yang Digunakan Pada umumnya peralatan yang digunakan pemulung di Desa Kedaung seragam yaitu ganco, karung dan gerobak (Lampiran 6b(1)). Ganco adalah besi dengan ujung seperti kail ikan yang mana besi ini didapatkan dari bekas alat pengecat yang sudah tidak digunakan lagi (Lampiran 6b (2)). Ganco digunakan untuk mengambil barang pulungan yang kecil dan ringan seperti gelas aqua dan plastik sehingga dengan adanya ganco ini akan memudahkan dan meringankan tenaga pemulung pada proses pengambilan barang pulungan. Adapun karung yang digunakan biasanya adalah karungkarung besar seperti karung beras. Fungsi karung ini adalah tempat dimana barang yang telah didapatkan dikumpulkan sementara. Karung lebih fleksibel untuk dibawa kemanamana dibandingkan gerobak. Oleh karena itu, ketika berkeliling mereka membawa karung dan gerobaknya ditaruh di suatu tempat yang tidak jauh dari tempatnya memulung. Setelah barang pulungan dalam karung penuh, maka barang tersebut akan ditaruh sementara ke dalam gerobak. Ketika mereka sudah mengelilingi suatu wilayah maka mereka kembali ke gerobaknya. Dari sini, mereka akan berpindah tempat lagi dan

71 mereka akan pulang ke bedengnya ketika mereka sudah merasa lelah. Gerobak merupakan salah satu fasilitas yang diberikan lapak. Dengan dibantu anak buah, lapak membuatkan gerobak tersebut dengan memanfaatkan barang-barang yang telah mereka dapatkan seperti seng, kayu, dan sebagainya, namun apabila ada barang yang tidak terdapat di bedengan mereka, seperti roda, maka lapak akan membelikannya.

6.10. Peraturan dalam Memulung Dalam memulung tidak ada peraturan yang baku. Peraturan yang ada hanya berupa kesepakatan secara tidak tertulis antara pemulung. Hal-hal yang menjadi kesepakatan tersebut antara lain: keharusan berlaku jujur dan kesepahaman mengenai pembagian wilayah kerja. Pembagian wilayah ini dimaksudkan agar tidak banyak pemulung berada pada suatu wilayah. Namun kesepakatan ini bersifat fleksibel. Sebagai contoh ada seorang pemulung yang akan berangkat memulung, maka ia memberi tahu temannya ia akan melewati daerah A. Hal ini dilakukan agar infomasi ini menjadi pertimbangan bagi temannya apakah ia akan ke A juga atau mencoba ke daerah lain.

6.11. Frekuensi Pengiriman Uang ke Daerah Asal Frekuensi pemulung mengirimkan uang ke desa dalam setahun rata-rata 1,68 kali (1 - 2 kali dalam setahun) (Tabel 17). Biasanya uang ini dikirimkan melalui temannya yang kebetulan akan pulang ke daerah asal. Besarnya jumlah uang yang dikirimkan tiap tahunnya berkisar antara Rp10.000,00 hingga Rp1.200.000,00 (Tabel 18). Rata-rata jumlah uang yang dikirimkan pemulung adalah Rp183.800,00 per tahun. Besar jumlah uang ini tergantung dari keperluannya. Bila uang yang dikirimkan kecil, dimaksudkan untuk menyenangkan hati sanak saudaranya yang biasanya dibagikan ketika mereka pulang kampung menyambut Hari Idul Fitri. Namun bila uang yang dikirimkan semakin

72 besar, maka uang tersebut dipergunakan untuk membiayai kehidupan keluarganya di desa. Dari seluruh reponden terdapat 36 persen responden yang tidak pernah mengirimkan uang ke daerah asal. Alasannya karena mereka tidak memiliki cukup uang untuk mereka kirimkan kepada sanak saudaranya. Alasan lainnya adalah mereka tidak mempunyai saudara lagi di sana karena seluruh keluarganya telah ada di sini menjadi pemulung. Tabel 17 Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Pengiriman Uang ke Desa, Juli 2005 Frekuensi Pengiriman Uang ke Desa

Jumlah

0 1 2 3 4 6 12 Total

Persen 9 7 5 1 1 1 1 25

36 28 20 4 4 4 4 100

Rata-rata = 1,68 kali per tahun Tabel 18 Jumlah Pemulung Menurut Jumlah Uang yang Dikirim Pemulung per Tahun, Juli 2005 Jumlah Uang yang Dikirim Pemulung Jumlah (Rp/Tahun) 0 (tidak pernah mengirimkan uang) 10.000 20.000 25.000 30.000 40.000 50.000 60.000 200.000 250.000 400.000 500.000 600.000 1.200.000 Total Rata-rata = Rp183.800,00

Persen 9 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 1 25

36 8 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 12 4 100

73 6.12. Frekuensi Pulang ke Daerah Asal Frekuensi pemulung pulang ke daerah asalnya dalam setahun rata-rata 1,8 kali (1 - 2 kali dalam setahun) (Tabel 19). Pemulung yang sering pulang ke kampung halamannya adalah mereka yang masih memiliki kepentingan di daerah asalnya. Kepentingan-kepentingan tersebut antara lain hajatan, mengurusi rumah yang ditinggalkan, menengok saudara-saudara terdekatnya, dan mengurusi lahannya.

Tabel 19 Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Pulang ke Daerah Asal dalam Setahun, 2005 Frekuensi Pulang ke Daerah Asal dalam Setahun Jumlah Belum pernah pulang 6 1 (12 bulan sekali) 8 1,5 (8 bulan sekali) 1 2 (6 bulan sekali) 4 3 (4 bulan sekali) 2 4 (3 bulan sekali) 1 6 (2 bulan sekali) 3 Total 25 Rata-rata = 1,84 kali per tahun

Persen 24 32 4 16 8 4 12 100

Pemulung akan lebih banyak pulang ke kampung halamannya pada bulan-bulan tertentu yaitu ketika lebaran, musim tanam dan musin panen yang membutuhkan banyak buruh tani. Akan tetapi ada juga pemulung yang belum pernah pulang sama sekali. Beberapa alasannya karena tidak mempunyai biaya, tidak mempunyai saudara yang dapat dikunjungi lagi ataupun tanah di daerah asalnya.

6.13. Ikhtisar Pemulung telah menjalani pekerjaan ini rata-rata selama 3,65 tahun dengan kisaran kurang dari 1 tahun sampai dengan 10 tahun. Pemulung tinggal di lapak terakhir rata-rata selama 1 tahun. Hal ini berarti pekerjaan pemulung merupakan pekerjaan yang tidak terikat. Lama tinggal pemulung tergantung dari fasilitas dan rasa persaudaraan

74 yang diberikan oleh lapak. Adapun motivasi kerja yang dimiliki pemulung adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar terutama pangan. Sebagian besar pemulung berpenghasilan Rp421.200,00 dengan kisaran Rp150.000,00 sampai dengan Rp900.000,00 per bulan. Sistem pembayaran pemulung adalah timbang bayar. Pemulung muda setelah seharian bekerja biasanya langsung menimbang barang pulungan yang telah didapatkannya, sedangkan pemulung tua biasanya menunggu selama dua sampai dengan tiga hari untuk menunggu barang pulungan yang dikumpulkannya telah cukup berat untuk ditimbang. Dalam sebulan rata-rata pemulung bekerja selama 25 hari dengan hari kerja terendah 14 hari dan tertinggi 30 hari. Mengenai jam kerjanya, pemulung bekerja ratarata selama 5,3 jam, dengan kisaran 3 – 13 jam per hari. Dalam bekerja, pemulung menempuh jarak rata-rata 5 km per harinya. Jenis barang pulungan yang diambil adalah semua jenis barang kecuali sayuran. Barang yang diambil biasanya berasal dari jenis kertas, kardus, plastik, benda logam, beling, dan sebagainya. Dalam sebulan pemulung biasanya berhasil mendapatkan barang pulungan dengan berat rata-rata 642,8 kg. Dalam memulung peralatan wajib yang biasa digunakan adalah ganco, karung, dan gerobak. Peraturan dalam memulung tidak disebutkan secara tertulis melainkan hanya berupa kesepakatan. Hal yang sering dibahas adalah mengenai wilayah kerja. Dalam setahun pemulung sebagian besar rata-rata mengirimkan uang 1 – 2 kali, dengan besar uang rata-rata Rp. 183.800,00. Frekuensi pemulung pulang ke daerah asalnya dalam setahun rata-rata 1 – 2 kali.

BAB VII HUBUNGAN SOSIAL PEMULUNG

Sebagai makhluk sosial, pemulung membutuhkan pengakuan untuk dihargai, salah satunya adalah membina hubungan dengan orang lain. Namun kehidupan pemulung sepertinya terpisah dari masyarakat secara luas. Oleh karena itu, pada bab ini yang dikaji adalah hubungan sosial pemulung. Selanjutnya, bab ini akan membahas hubungan antar pemulung dalam satu bedengan, hubungan pemulung dengan lapak, hubungan pemulung dengan masyarakat sekitar dan hubungan pemulung dengan pemerintah Desa Kedaung.

7.1. Hubungan Antar Pemulung dalam Satu Bedengan Sebagian besar (72 %) pemulung sering berinteraksi antara satu sama lainnya (Tabel 20). Hal ini karena mereka tinggal di lingkungan yang berdekatan dan memiliki kedekatan secara psikologis karena berasal dari daerah asal yang sama yaitu brebes. Lingkungan pertetanggaan yang saling berdekatan belum tentu menjamin interaksi yang baik antar sesama pemulung karena ternyata 28 persen pemulung jarang berinteraksi satu sama lainnya. Alasan mereka yang utama karena mereka tidak mau mencampuri

Tabel 20 Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Interaksi Antar Pemulung, Juli 2005 Frekuensi Interaksi Antar Pemulung Sering Jarang Total Keterangan: Sering Jarang

Jumlah

Persen 18 7 25

72 28 100

: bila pemulung selalu berinteraksi positif dengan pemulung lainnya ketika mereka bertemu dimana saja : bila pemulung tidak selalu berinteraksi dengan pemulung lainnya ketika mereka bertemu dimana saja

76 urusan orang lain. Sikap seperti ini terbentuk karena mereka pernah terlibat dalam konflik pertetanggaan sehingga membuat mereka membatasi interaksinya. Jika ditimpa masalah dan terutama masalah yang menyangkut masalah lingkungan pemulung, para pemulung yang sering memusyawarahkannya sebanyak 52 persen, sedangkan

yang

jarang

sebanyak

24

persen.

Adapun

yang

tidak

pernah

memusyawarahkannya sebanyak 24 persen (Tabel 21). Sebagai salah satu contoh, setahun yang lalu di Lapak Ka pernah ada preman yang meminta uang dengan paksa kepada para pemulung. Preman tersebut meminta dengan cara mendatangi satu demi satu kamar pemulung. Hal ini membuat pemulung menjadi resah. Kemudian pemulung secara bersama-sama bermusyawarah dan sepakat untuk mengungkapkan hal ini kepada lapaknya. Hasil dari musyarawarah ini sang lapak bersedia melindungi anak buahnya dengan meminta para preman untuk tidak datang lagi ke lingkungan ini dan bila membutuhkan sesuatu harap datangi saja lapaknya, jangan mengganggu anak buahnya. Tabel 21 Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Musyawarah, Juli 2005 Frekuensi Musyawarah Sering Jarang Tidak pernah Total Keterangan : Sering Jarang Tidak pernah

Jumlah

Persen 13 6 6 25

52 24 24 100

: bila ada permasalahan di lingkungan pemulung selalu dimusyawarahkan : bila ada permasalahan di lingkungan pemulung tidak selalu dimusyawarahkan : bila ada permasalahan di lingkungan pemulung tidak pernah dimusyawarahkan

Selanjutnya, untuk sekedar mendengarkan keluhan teman dan memberikan solusinya, banyak pemulung yang saling berinteraksi, yaitu sebanyak 56 persen. Pemulung yang jarang mendengarkan keluhan sebanyak 16 persen, dan yang tidak pernah sebanyak 28 persen (Tabel 22). Para pemulung yang sering mendengarkan keluhan temannya serta memberikan solusi biasanya mereka akan menenangkan

77 temannya untuk terus bersabar, karena pekerjaan ini menuntut kesabaran yang tinggi dari segala pandangan buruk masyarakat kepada pemulung. Namun untuk pemulung yang jarang mendengarkan keluhan temannya serta memberikannya solusi, mereka beranggapan bahwa semua pemulung menghadapi masalah yang sama dan mereka tidak dapat membantu karena mereka menghadapi permasalahan yang sama dan tidak dapat memecahkan masalah tersebut. Tabel 22 Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Mendengarkan Keluhan dan Memberikan Solusi Antar Pemulung, Juli 2005 Frekuensi Mendengarkan Keluhan dan Memberikan Solusi Antar Pemulung Sering Jarang Tidak pernah Total

Jumlah 14 7 4 25

Persen 56 28 16 100

Keterangan : Sering : bila responden selalu mendengarkan keluhan pemulung lainnya sekaligus memberikannya solusi Jarang : bila responden tidak selalu mendengarkan keluhan pemulung lainnya dan tidak selalu memberikannya solusi Tidak pernah : bila responden tidak pernah mendengarkan keluhan pemulung lainnya dan memberikannya solusi

Hubungan yang terjadi antara pemulung dalam satu bedeng, bila dilihat dari teori hubungan sosial menurut Zanden, maka hubungan yang paling banyak terbentuk adalah hubungan Expressive-instrumental continuum yaitu hubungan yang terbentuk antara bukan hanya untuk mendapatkan rasa aman, cinta, penerimaan, pertemanan, dan rasa bermanfaat antara pemulung yang satu dengan pemulung lainnya tetapi juga untuk mendapatkan bantuan dari pemulung lainnya. Ketika seorang pemulung sedang kesulitan dia tidak hanya ingin pemulung lain mendengarkan keluhannya, tetapi pemulung tersebut juga mengharapkan mereka dibantu dalam mengatasi masalahnya tersebut. Masalah yang paling sering dialami pemulung adalah kekurangan uang. Bila mengacu pada hubungan expressive ties maka hubungan yang terjadi antara pemulung

78 masih kuat karena lebih dari 50 persen interaksi antara pemulung masih terus terjalin, namun hubungan antara pemulung tersebut terlihat kian melemah.

7.2. Hubungan Pemulung dengan Lapak Dilihat dari interaksi yang dilakukan, hubungan pemulung dengan lapaknya termasuk baik karena 68 persen pemulung dan lapak sering berinteraksi. Interaksi yang cukup baik sebanyak 28 persen sedangkan interaksi yang buruk hanya terjadi 4 persen (Tabel 23). Tabel 23 Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Interaksi dengan Lapak, Juli 2005 Frekuensi Interaksi dengan Lapak Sering Jarang Tidak pernah Total

Jumlah

Persen 18 6 1 25

72 24 4 100

Keterangan : Sering : bila responden selalu berinteraksi dengan lapak di luar waktu penimbangan Jarang : bila responden tidak selalu berinteraksi dengan lapak di luar waktu penimbangan Tidak pernah : bila responden tidak pernah berinteraksi dengan lapak di luar waktu penimbangan

Alasan pemulung yang sering berinteraksi dengan lapak adalah karena pemulung menilai perlakuan lapak mereka sangat baik, lapak senang bercanda, lapak merupakan teman satu kampung, lapak sering mengajak ngobrol, kondisi bedengan yang saling berdekatan, tidak perhitungan, memberikan pinjaman uang ketika pemulung menemui kebutuhan yang mendesak dan peduli ketika anak buahnya sakit. Adapun hubungan pemulung dan lapak yang kurang baik atau kurang akrab karena memang sifat pemulung tersebut pendiam atau pemulung tersebut tidak suka mencampuri urusan orang lain. Untuk pemulung yang tidak pernah berinteraksi dengan lapak di luar jam kerja alasannya karena pemulung memang tidak memiliki kepentingan dengan lapak.

79 Hubungan yang terbentuk antara pemulung dengan lapak adalah hubungan saling menguntungkan dan membutuhkan, karena lapak memberikan pekerjaan dan penghasilan yang menjanjikan kepada anak buah yang pada umumnya masih relasi di tengah-tengah sulitnya mencari pekerjaan pada saat ini. Di sisi lain, lapak pun tidak bisa menjalankan usahanya bila tidak ada pemulung yang menjadi anak buahnya. Semakin banyak anak buahnya, penghasilan lapak pun akan semakin besar. Untuk menarik anak buah maka lapak memberikan fasilitas yang memadai kepada anak buahnya seperti kamar gratis (selama bekerja untuk lapak tersebut), terkadang air dan listrik gratis, dipinjamkan kompor sementara waktu, pembayaran barang pulungan lancar, dan harga beli lapak yang cenderung tinggi. Sebagai gantinya, maka pemulung akan mencari barang pulungan sebanyak dan sesanggup mungkin. Hal ini tak hanya berguna untuk lapak namun lebih tepatnya berguna untuk diri pemulung itu sendiri. Besarnya pendapatan pemulung tergantung dari usaha pemulung untuk memperoleh itu semua. Mengenai peraturan dalam memulung, lapak memberikan peraturan tersebut secara tidak tertulis. Peraturan tersebut antara lain: dalam memulung harus jujur, tidak boleh mencuri, harga ditentukan oleh lapak, sopan dan dilarang untuk memukuli orang.

7.3. Hubungan Pemulung dengan Masyarakat Sekitar Dilihat dari Frekuensi interaksinya dengan masyarakat, 40 persen pemulung tidak pernah berinteraksi dengan masyarakat, jarang sebanyak 32 persen dan sering sebanyak 28 persen (Tabel 24). Alasan mereka tidak pernah berinteraksi dengan masyarakat sekitar adalah karena mereka merasa malu untuk berbicara dengan warga masyarakat. Menurut mereka, orang yang bekerja seperti ini tidak pantas berbicara dengan warga masyarakat yang cenderung mampu dan berpendidikan tinggi. Selain itu, mereka juga merasa minder dengan cara berbahasa mereka yang cenderung bicara apa adanya.

80 Tabel 24 Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Interaksi Pemulung dengan Masyarakat, Juli 2005 Frekuensi Interaksi Pemulung dengan Masyarakat Jarang (dijalan hanya menyapa 1-2 orang saja) Sering (lebih dari 2 orang yang disapa/mengobrol) Tidak pernah Total

Jumlah 8 7 10 25

Persen 32 28 40 100

Tanggapan-tanggapan negatif masyarakat seputar kehidupan pemulung seperti sering dituduh mencuri, dianggap orang gila juga membuat pemulung kehilangan kepercayaan diri untuk berbicara dengan warga masyarakat. Akan tetapi pemulung pun tidak bisa begitu saja menyalahkan warga masyarakat. Warga masyarakat berlaku demikian karena sebelumnya ada beberapa orang diantara para pemulung yang melakukan suatu perbuatan yang tidak terpuji dan akhirnya mengotori nama seluruh komunitas pemulung. Pemulung pun sering mengeluhkan perilaku warga masyarakat yang suka menaruh barangnya yang masih terpakai namun ditaruh di luar rumahnya. Pemulung beranggapan bahwa barang yang ditaruh di luar rumah adalah barang bekas. Namun setelah diambil ternyata pemilik menuduh pemulung melakukan pencurian. Bila dicermati, sebenarnya keadaan hubungan seperti ini adalah “buah” dari tidak dekatnya hubungan dan tidak lancarnya komunikasi antara pemulung dengan masyarakat. Bila hubungan mereka baik, maka kemungkinan informasi salah yang mengalir diantara keduanya dapat lebih diminimalisir. Untuk pemulung yang jarang berhubungan dengan masyarakat sekitar, alasannya sama seperti di atas, yaitu merasa minder dengan keadaannya. Akan tetapi, mereka terkadang masih berinteraksi dengan masyarakat walau hanya sekedar menyapa. Untuk pemulung yang sering berinteraksi dengan masyarakat sekitar, alasan mereka berlaku demikian adalah bila pemulung berkelakuan baik, sopan dan bersikap terbuka, masyarakat pun akan membalasnya dengan sikap yang sama. Oleh karena itu, pemulung

81 yang sering berinteraksi cenderung sering berhubungan dengan masyarakat sekitar, dimulai

dari

banyak

masyarakat

yang

mengenalnya

sehingga

menyapanya,

mengajaknya mengobrol, sampai mengajak pemulung bermain bersama. Hal ini seperti yang disampaikan para responden. Berikut pernyataannya: “...teman-teman saya tidak hanya di sini saja mbak, tapi juga anak-anak warga kampung (sebutan untuk warga di sekitar lingkungan pemulung). Biasanya kalau sore begini, kami suka bemain bola bersama...”. (Ka/13 th, pemulung) “...warga disekitar sini udah pada kenal saya. Kalau saya lewat, mereka menyapa saya. Memang awalnya saya duluan yang memulai. Pak Satpam di Taman Kedaung dan Sarana (kompleks) juga kenal saya. Mereka kadang menawari saya rokok. Yah, kalau kita baik sama orang, kita jujur aja, terbuka, mudah-mudahan orang juga akan seperti itu ke kita....”. (Wa /50 th/pemulung) Walaupun terdapat beberapa orang yang dekat dengan warga masyarakat sekitar, namun mereka tidak ada yang aktif pada kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh RT atau RW di sekitarnya. Alasannya karena mereka merasa segan untuk ikut bergabung, meskipun sebenarnya pada beberapa pemulung khususnya pemulung pada Lapak Ka, pemulung tersebut ikut berpartisipasi membayar iuran bulanan RT. Menurut Ketua RT setempat (RT 04/10), dana tersebut digunakan untuk keperluan-keperluan sosial, misalkan ada keluarga yang meninggal maka keluarga tersebut diberi santunan dengan menggunakan uang tersebut (Lampiran 3d). Oleh karena itu, menurut pemulung, penerimaan masyarakat baik. Berikut adalah pernyataan dari salah seorang responden: “Menurut saya, masyarakat bersikap biasa-biasa saja, selama ini tidak ada masalah dengan masyarakat. Yah, kita jujur saja. Kalau jujur, masyarakat juga bersikap baik dengan kita. Kalau ada pemulung yang enggak jujur, kita harus nasehatin, soalnya bisa merusak kepercayaan masyarakat. Oh iya, pernah ada preman yang mengganggu. Preman tersebut warga masyarakat sekitar sini. Biasanya kalo gak minta uang, mereka minta rokok. Selama ini dari RT setempat ada pungutan keamanan, tapi dimintanya ke lapak. Bayarnya Rp5.000,00” (An/18 th/pemulung) (Lampiran 3a)

82 Berdasarkan data Tabel 25, tanggapan penerimaan warga masyarakat termasuk baik (60 %). Sebanyak 4 persen menganggap penerimaan masyarakat biasa-biasa saja, dan sebanyak 36 persen menganggap bahwa penerimaan masyarakat terhadap kehadiran pemulung tidak baik (Tabel 25). Tabel 25 Jumlah Pemulung dalam Menanggapi Penerimaan Masyarakat, Juli 2005 Penerimaan Masyarakat Baik Biasa saja Tidak baik Total

Jumlah

Persen 15 1 9 25

60 4 36 100

7.4. Hubungan Pemulung dengan Pemerintah Setempat Yang dimaksud dengan pemerintahan setempat adalah pemerintah Desa Kedaung. Sebagian besar (88 %) responden tidak pernah berhubungan dengan aparat pemerintahan Desa Kedaung sedangkan sisanya (12 %) adalah responden yang pernah tetapi jarang berhubungan dengan pemerintah setempat (Tabel 26). Biasanya mereka

Tabel 26 Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Interaksi Pemulung dengan Pemerintah Setempat, Juli 2005 Frekuensi Interaksi Pemulung dengan Pemerintah Jarang Tidak pernah Total

Jumlah 3 22 25

Persen 12 88 100

berhubungan bila ada keperluan saja Mengenai keberadaan pemulung di Desa Kedaung tidak dipermasalahkan oleh pemerintah setempat, asalkan bekerja secara halal maka pemerintah tidak melarangnya. Pemulung merasa bahwa kehadiran pemulung diterima oleh pemerintah setempat karena keberadaan pemulung selama di desa ini tidak pernah dipermasalahkan oleh pemerintah. Namun ada seorang pemulung yang beranggapan bahwa penerimaan pemerintah bukan hanya dilihat dari segi dipermasalahkannya atau

83 tidak keberadaaan pemulung ini, namun lebih kepada apakah ada niatan baik dari pemerintah untuk memperhatikan kehidupan sosial ekonomi pemulung.

7.5. Ikhtisar Interaksi pemulung antar sesama teman dalam satu bedengan berlangsung sering. Mengenai musyawarah dan tindakan sekedar mendengarkan serta memberi solusi kepada temannya yang sedang kesulitan hanya sebagian responden yang melakukannya. Dilihat dari hubungan antara lapak dengan anak buah cukup baik karena lebih dari setengah responden sering berinteraksi dengan lapak di luar waktu penimbangan. Bila dilihat dari interaksi antara pemulung dengan warga masyarakat sekitar, maka sebagian besar pemulung jarang bahkan tidak pernah berinteraksi dengan masyarakat sekitar karena pemulung merasa tidak pantas untuk berbicara dengan mereka. Pemulungpun tidak ada yang aktif pada kegiatan-kegiatan sosial di lingkungan RT mereka, kecuali ikut membayar uang kas. Mengenai hubungannya dengan pemerintah, pemulung jarang sekali atau bahkan tidak pernah berhubungan dengan pemerintah setempat. Hal ini terjadi karena pemulung merasa ada tembok pembatas yang membatasi interaksi mereka, seperti keadaan mereka yang termasuk kalangan ekonomi ke bawah, kumuh dan status kependudukan yang tidak terdaftar sebagai masyarakat Desa Kedaung. Bila terdapat hal-hal berkaitan dengan birokrasi kependudukan atau pemerintahan, mereka lebih senang menyelesaikannya di daerah asal mereka, sebagai contoh membuat KTP dan mencoblos Pemilu.

BAB VIII HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PEMULUNG, KARAKTERISTIK KERJA DAN HUBUNGAN SOSIAL PEMULUNG 8.1. Hubungan Antara Karakteristik Pemulung dengan Karakteristik Kerja Sebagian besar pemulung perempuan di Desa Kedaung baru menjadi pemulung. Hal ini terlihat dari lama mereka bekerja menjadi pemulung yang kurang dari satu tahun sebanyak 71,4 persen (Tabel 27). Biasanya mereka tidak sengaja pergi sendiri dari daerah asalnya untuk bekerja sebagai pemulung melainkan mereka mengikuti suami, orang tuanya atau saudaranya. Di desa ini tidak ada pemulung perempuan yang bekerja lebih dari 5 tahun. Tabel 27 Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan Lama Menjadi Pemulung Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

Lama Menjadi Pemulung (Tahun) <1 1–4 >4 16,7 50 71,4 28,6

Total 33,3 0

100 100

Adapun pemulung laki-laki paling banyak telah bekerja sebagai pemulung selama kurun waktu 1 – 4 tahun (50 %). Tetapi banyak pula pemulung laki-laki yang bekerja lebih dari 4 tahun (33,3 %). Mereka biasanya telah bekerja sejak masih muda atau ketika mereka masih bujangan (belum berkeluarga). Laki-laki desa yang belum berkeluarga ini senang mencari berbagai pengalaman bekerja dan salah satunya adalah menjadi pemulung. Pemulung-pemulung baru biasanya senang menjalani profesi ini. Akan tetapi, pemulung yang sudah bertahun-tahun berkecimpung di usaha ini merasa bosan, capai dan ingin segera berganti pekerjaan. Oleh karena tidak ada alternatif pekerjaan lainnya menyebabkan mereka terus menekuni profesi ini.

85 Berdasarkan hari kerjanya (Tabel 28), pemulung laki-laki lebih banyak yang bekerja dengan hari kerja tinggi, yaitu lebih dari 26 hari pada setiap bulannya (55,6 %). Semakin banyak hari kerjanya, maka persentase responden laki-laki yang bekerja jumlahnya juga cenderung semakin besar. Hari kerja untuk responden perempuan ternyata hampir sama pula dengan responden laki-laki yang mana lebih dari separuh jumlah total responden perempuan (57,2 %) bekerja lebih dari 26 hari. Namun, tidak ada responden perempuan yang bekerja dengan hari kerja 19 hingga 26 hari, dan responden perempuan yang bekerja kurang dari 19 hari berjumlah 42,8 persen. Tabel 28 Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan Hari Kerja Pemulung dalam Sebulan Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

Hari Kerja <19 19-26 11 33,4 42,8 0

>26 55,6 57,2

Total 100 100

Berdasarkan jam kerjanya (Tabel 29), responden laki-laki lebih banyak bekerja pada kisaran jam kerja sedang yaitu 121 – 210 jam per bulan (66,6 %). Namun terdapat juga laki-laki yang bekerja dengan jam kerja yang tinggi yaitu di atas 210 jam per bulan (16,7 %). Jumlah jam kerja perempuan termasuk rendah karena sejumlah 57,2 persen perempuan bekerja kurang dari 121 jam per bulan. Tidak ada seorang pun perempuan yang bekerja di atas 210 jam per bulan. Tabel 29

Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan Jam Kerja Pemulung dalam Sebulan

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

< 121 16,7 57,2

Jam Kerja 121 – 210 66,6 42,8

> 210 16,7 0

Total 100 100

86 Dari kedua tabel (Tabel 28 dan 29), dapat dilihat bahwa pemulung laki-laki cenderung banyak yang bekerja dengan hari dan jam kerja yang lebih tinggi daripada pemulung perempuan. Hal ini terjadi karena beberapa hal diantaranya adalah pemulung laki-laki merupakan pencari nafkah utama, sehingga responden laki-laki akan lebih bertanggungjawab dengan bekerja lebih berat untuk mencari nafkah demi menghidupi keluarganya. Bila responden laki-laki kurang bekerja giat, maka keluarga mereka akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar (pangan). Responden perempuan bekerja sebagai pemulung sifatnya hanya membantu suami atau keluarga mereka. Pekerjaan responden perempuan adalah mengurusi urusan domestik (seperti memasak, merawat anak, merawat rumah, dan lain-lain) dan memulung jika urusan domestik mereka telah selesai. Akan tetapi, tanggung jawab responden perempuan lebih kepada urusan domestik rumahtangganya. Jarak tempuh sebagian besar pemulung perempuan (71,4 %) termasuk dekat karena hanya mampu bekerja sejauh kurang dari 5 km per hari (Tabel 30). Tetapi

Tabel 30 Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan Jarak Tempuh Pemulung dalam Sehari Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

Jarak Tempuh Memulung (Kilometer) <5 5-9 >9 44,5 38,8 16,7 71,4 14,3 14,3

Total 100 100

diantara para wanita tersebut ada yang mampu bekerja dengan menempuh jarak lebih dari 10 km yang termasuk kategori jauh. Pemulung laki-laki ternyata banyak juga yang menempuh jarak dekat, yaitu kurang dari 5 km per hari (44,5 %), sedangkan jarak 5 – 9 km sebanyak 38,8 persen, dan lebih dari 9 sebanyak 16, 7 persen. Pemulung perempuan lebih banyak yang jarak tempuhnya dekat karena tenaga pemulung perempuan lebih rendah daripada pemulung laki-laki. Pemulung perempuan pun memiliki rasa tanggung

87 jawab untuk mengurusi rumahtangganya sehingga mereka tak jauh memulung agar mereka dapat segera kembali ke bedengnya untuk melanjutkan pekerjaan rumahtangga mereka berikutnya. Selain itu juga karena pemulung perempuan khawatir tersasar bila memulung terlalu jauh. Berdasarkan Tabel 31, kemampuan memperoleh barang pulungan baik pemulung perempuan maupun pemulung laki-laki termasuk rendah. Sebanyak 61,1 persen pemulung laki-laki dan 57,2 persen pemulung perempuan hanya mampu mendapatkan barang dengan berat kurang dari 301 kg per bulannya. Namun untuk berat barang pulungan lebih dari 750 kg per bulan hanya mampu dilakukan oleh laki-laki. Tidak ada pemulung perempuan yang mampu mendapatkan barang pulungan dengan berat barang lebih dari 750 kg per bulan. Pemulung perempuan mendapatkan barang lebih sedikit dari laki-laki tak lain karena pemulung perempuan banyak yang tidak sanggup membawa barang dengan berat lebih dari 750 kg per bulannya. Tabel 31 Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan Berat Barang Pemulung dalam Sebulan Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

Berat Barang (Kilogram) < 301 301-750 > 750 61,1 27,7 11,2 57,2 42,8 0

Total 100 100

Sebagian besar responden laki-laki berpenghasilan cukup baik. Mereka yang berpenghasilan antara Rp384.000,01 hingga Rp559.999,99 per bulan berjumlah 38,9 persen dan yang berpenghasilan lebih dari Rp560.000,00 per bulan sebanyak 33,3 persen (Tabel 32). Bila dirata-ratakan, maka penghasilan laki-laki adalah sebesar Rp485.000,00 per bulan. Namun posisi Rp485.000,00 per bulan masih berada di bawah UMK Propinsi Banten yang besarnya Rp796.000,00 per bulan. Penghasilan pada responden perempuan berlaku sebaliknya. Responden perempuan justru lebih banyak

88 Tabel 32 Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan Penghasilan Pemulung dalam Sebulan Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

≤ 384.000 27,8 85,8

Penghasilan (Rupiah) 384.001 – 559.999 ≥ 560.000 38,9 33,3 0 14,2

Total 100 100

yang berpenghasilan kurang dari Rp384.000,00 per bulan (85,8 %). Hanya 14,2 persen responden perempuan yang berpenghasilan lebih atau sama dengan Rp560.000,00 per bulan. Oleh karena pekerjaan pemulung sangat mengandalkan tenaga maka hanya sedikit pemulung perempuan yang mampu mendapatkan hasil yang cukup besar. Rata – rata penghasilan responden pemulung perempuan adalah Rp257.142,9 per bulan. Dilihat dari hari kerja dan usianya, rata-rata pemulung pada setiap kategori usia bekerja dengan hari kerja tinggi yaitu lebih dari 26 hari dalam sebulan (Tabel 33). Mereka menyadari bahwa mereka harus bekerja giat agar dapat memenuhi kebutuhan di esok hari, karena uang yang didapat untuk memenuhi kebutuhan di esok hari tesebut tergantung dari perolehan uang pada hari sebelumnya. Tabel 33 Persentase Pemulung Menurut Usia Pemulung dan Hari Kerja Pemulung dalam Sebulan Usia (tahun) 10 – 29 30 – 49 > 49

Hari Kerja 19 – 26

<19 18,8 28,6 0

25 28,6 0

Total >26 56,2 42,8 100

100 100 100

Pada Tabel 34 dapat dilihat bahwa sedikit pemulung yang bekerja di atas 210 jam per bulan. Bahkan tidak ada responden pemulung yang berusia lebih dari 49 tahun yang bekerja lebih dari 210 jam kerja per bulan. Hal ini mengingat bahwa pekerjaan pemulung membutuhkan kondisi tubuh yang sehat dan kuat, sedangkan berdasarkan hasil penelitian di lapangan, banyak responden yang sering mengeluhkan sakit, biasanya

89 Tabel 34 Persentase Pemulung Menurut Usia Pemulung dan Jam Kerja Pemulung dalam Sebulan Usia (Tahun) 10 – 29 30 – 49 > 49

Jam Kerja < 121 121 – 210 18,7 68,8 57,1 28,6 0 100

Total > 210 12,5 14,3 0

100 100 100

sakit pusing (migren) dan badan terasa sangat pegal. Semakin tua usia pemulung belum dapat dikatakan jam kerja pemulung dalam sebulan semakin mengecil karena data pada tabel belum menunjukkan adanya konsistensi. Semua kategori usia, bagian dari persentase terbesarnya mengisi pada kategori jam kerja antara 121 – 210 jam per bulan, kecuali kategori usia 30 – 49 tahun. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa jam kerja pemulung 121 – 210 jam per bulan adalah jam kerja normal pemulung di Desa Kedaung. Mengenai kategori usia 30 – 49 tahun, jam kerja responden cenderung rendah karena menurut sumber data primer, pada kategori tersebut dari total empat responden, tiga diantaranya perempuan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa responden perempuan memiliki waktu jam kerja memulung yang lebih rendah daripada pemulung laiki-laki mengingat mereka (responden perempuan) tidak hanya bekerja mencari nafkah melainkan juga menyelesaikan tugas-tugas domestik. Jarak tempuh memulung responden yang berusia 10 – 29 tahun cenderung tidak jauh yaitu kurang dari 5 kilometer per hari (Tabel 35). Bahkan responden yang berusia di bawah 20 tahun tidak ada yang memulung lebih dari 9 kilometer per hari. Jarak Tabel 35 Persentase Pemulung Menurut Usia Pemulung dan Jarak Tempuh Memulung dalam Sehari Usia (Tahun) 10 – 29 30 – 49 > 49

Jarak Tempuh Memulung (Kilometer) <5 5-9 >9 56,3 25 18,7 42,9 57,1 0 50 0 50

Total 100 100 100

90 tempuh memulung responden yang berusia 30 – 49 tahun sejauh 5 – 9 kilometer per hari (57,1 %) dan kurang dari 5 kilometer per hari sebanyak 42,9 persen. Dari data primer diketahui bahwa responden pemulung yang mampu menempuh jarak lebih dari 9 kilometer per hari adalah pemulung yang berusia antara 20 – 29 tahun dan 50 – 59 tahun. Untuk responden yang berusia 20 – 29 tahun, mereka mampu melakukan perjalanan jauh karena mereka adalah kaum muda yang masih memiliki semangat dan kekuatan fisik yang baik. Akan tetapi untuk responden yang berusia 50 – 59 tahun jumlahnya hanya satu responden. Untuk responden yang berusia lebih dari 50 tahun, walaupun usianya sudah tua, tetapi ia masih memiliki semangat yang baik, karena dalam memulung ia tak sekedar memulung tetapi juga berinteraksi baik dengan masyarakat sekitar yang ia lalui maupun masyarakat sekitar bedengan yang juga mengenalnya. Akan tetapi, di sisi lain, ada responden kategoi tua yang berlaku sebaliknya. Berdasarkan pemaparan tersebut, tampaknya hubungan antara usia pemulung dengan jarak tempuh memulung kurang konsisten. Mengenai hubungan antara usia pemulung dengan penghasilan, pada Tabel 36 terlihat bahwa pada setiap kategori usia, rata-rata persentase terbesar pemulung berada pada kategori penghasilan rendah. Namun, jika dilihat pada kolom kategori penghasilan tinggi, maka data menunjukkan adanya kecenderungan bahwa semakin tua maka semakin tinggi penghasilannya,walaupun secara keseluruhan hubungan ini belum dapat dikatakan konsisten.

Tabel 36 Persentase Pemulung Menurut Usia Pemulung dan Penghasilan Pemulung dalam Sebulan Usia (Tahun) 10 – 29 30 – 49 > 49

Penghasilan (Rupiah) ≤ 384.000,00 384.00,00 – 559.999,99 43,7 31,3 42,8 28,6 50 0

Total ≥ 560.000,00 25 28,6 50

100 100 100

91 Data pada Tabel 37 mengindikasikan bahwa pada umumnya, baik responden yang sedaerah maupun tidak sedaerah dengan lapaknya tidak menjadikan responden tinggal Tabel 37 Persentase Pemulung Menurut Daerah Asal dan Lama Tinggal di Lapak Terakhir Daerah Asal Sedaerah Tidak sedaerah

Lama Tinggal Di Lapak Terakhir <1 1–3 >3 52,9 41,2 5,9 62,5 37,5 0

Total 100 100

lebih lama dengan lapaknya. Akan tetapi, ada kecenderungan hubungan bahwa pemulung yang tinggal dengan lapaknya lebih dari 3 tahun adalah pemulung yang sedaerah dengan lapaknya. Alasan karena responden ternyata masih berhubungan darah atau keluarga dengan lapak. Namun menurut pendapat responden lainnya, hubungan keluarga belum tentu membuat seseorang tinggal lebih lama pada lapak, walaupun lapak tersebut merupakan keluarganya. Berikut adalah pernyataannya: “Bos ini masih keluarga saya, tapi saya tidak selalu ikut dia. Selama ini saya memang sering pindah-pindah, cari pengalaman di tempat baru. Kira-kira sudah sekitar 7 kali pindah. Kadang-kadang cuma setahun atau dua tahun tinggal di bos trus pindah lagi ke tempat lain. Saya pindah karena yah cari pengalaman dan cari tawaran harga yang lebih tinggi, kadang saya pindah karena saya gak cocok sama bosnya, misal bos suka membanding-bandingin saya dengan pemulung lain”. (An/18 th/pemulung) (Lampiran 3a). Pernyataan di atas juga didukung oleh pernyataan dari seorang lapak dimana seorang pemulung yang berasal dari satu daerah dengan lapak tidak harus tinggal dengan lapak tersebut. Berikut adalah hal-hal yang dikemukakannya: “....anak buah saya banyak yang dari Brebes, sama seperti asal daerah saya, tapi bukan berarti saya yang mengajak mereka kerja untuk saya, melainkan mereka sendiri yang menawari diri kerja untuk saya. Biasanya kalau baru sampai kota, mereka tinggal dengan saya. Saya sediakan bedeng untuk tidur dan makan untuk hari-hari pertama saja. Setelah sampai mereka bisa langsung bekerja sambil belajar ke pemulung lainnya. Namun, setelah beberapa bulan bekerja dengan saya, terserah mereka aja mau tetap ikut dengan saya atau pindah bos. Itu tidak masalah, karena yah begitulah usaha seperti ini...”. (Ka/50 th/Lapak) (Lampiran 3b)

92 8.2. Hubungan Antara Karakteristik Pemulung dengan Hubungan Sosial Berdasarkan data pada Tabel 38, tampak relatif lebih banyak pemulung laki-laki yang berinteraksi dengan masyarakat sekitar dibandingkan dengan pemulung perempuan. Responden laki-laki yang tidak pernah berhubungan dengan masyarakat sebanyak 33,3 persen, jarang berhubungan 33,3 persen, dan sering berhubungan 33,3 persen. Namun lain halnya dengan responden perempuan yang tidak pernah

Tabel 38 Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan Hubungan dengan Masyarakat Sekitar Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

Interaksi dengan Masyarakat Sekitar Tidak Pernah Jarang Sering 33,3 33,3 33,3 57,1 28,5 14,2

Total 100 100

berhubungan dengan masyarakat sekitar menempati posisi tertinggi yaitu 57,1 persen, diikuti posisi kedua jarang berhubungan sebesar 38,5 persen dan terakhir sering berhubungan hanya 14,2 persen. Hal ini terjadi tampaknya karena secara psikologis, perempuan lebih mementingkan perasaannya ketika membentuk suatu hubungan baru. Karena berbagai keterbatasan yang dimiliki (cara berbicara, pengetahuan, pendidikan, keuangan, dan keadaan dirinya sebagai seorang pemulung), responden perempuan tidak berani memulai hubungan baru dengan masyarakat khususnya dengan tetangga di wilayah kampung (luar bedengan). Oleh karena itu, persentase responden perempuan untuk kategori interaksi dengan masyarakat sekitar “sering” cenderung kecil. Interaksi antar pemulung dalam satu bedengan berlangsung cukup sering untuk setiap kategori usia. Data pada Tabel 39 menunjukkan bahwa faktor usia tampak berpengaruh terhadap kecenderungan beinteraksi. Semakin tua usia responden maka interaksi antar pemulung dalam satu bedengan cenderung akan berlangsung semakin jarang, namun tidak ada satu responden pun yang tidak pernah berhubungan dengan

93 pemulung lainnya. Beberapa alasan responden yang jarang beinteraksi diantaranya adalah karena baru maka responden belum bisa akrab dengan tetangga barunya, tidak ingin mencampuri urusan orang lain, tidak ada yang senang dengan cara responden bicara atau berpikir. Responden yang banyak berinteraksi (bercerita, bermain, bercanda, dan sebagainya) adalah mereka yang berusia muda (10 – 29 tahun). Tabel 39 Persentase Pemulung Menurut Usia Pemulung dan Interaksi antar Pemulung dalam Satu Bedengan Usia (Tahun) 10 – 29 30 – 49 > 49

Interaksi antar Pemulung dalam Satu Bedengan Jarang Sering 18,7 81,3 42,9 57,1 50 50

Total 100 100 100

Berdasarkan data pada Tabel 40, diketahui bahwa baik responden yang sedaerah maupun tidak sedaerah dengan lapaknya, interaksi yang terjadi antar pemulung dalam satu bedengan termasuk sering. Persentase kategori jarang terbesar pada interaksi antar pemulung dalam satu bedengan terdapat pada pemulung yang sedaerah dengan

Tabel 40 Persentase Pemulung Menurut Daerah Asal dan Interaksi Pemulung dalam Satu Bedengan Daerah Asal Sedaerah Tidak sedaerah

Interaksi Antar Pemulung dalam Satu Bedengan Jarang Sering 35,3 64,7 12,5 87,5

Total 100 100

lapaknya. Pada bedengan Lapak Ka (lapak yang berasal dari Brebes), ditemukan adanya permasalahan antar pemulung. Terdapat salah seorang pemulung yang dianggap memfitnah seorang pemulung lainnya, sehingga terjadi kericuhan antar sesama pemulung dalam satu bedengan, sehingga menyebabkan beberapa orang diantara mereka memutuskan untuk tidak terlalu banyak bercanda dengan pemulung lainnya.

94 Padahal mereka yang bersiteru berasal dari daerah yang sama dengan lapaknya. Berikut adalah pernyataan salah seorang responden: “...mbak, orang-orang disini pada beda pemikiran dengan saya. Saya ajak bercanda, mereka malah marah, kadang saya ajak ngomongin bisnis, eh mereka enggak nanggapin. Belum lagi disini pemudanya sukanya nonton film “BF” mulu. Ada lagi mbak, masak adik perempuan saya yang sudah menikah dibilang dulunya mantan pelacur sama temen pemulung juga, gimana saya enggak marah mbak. Ya udah, daripada saya ambil pusing, mending saya enggak main bareng mereka saja...”. (Na/22 th/pemulung) Lebih lanjut, responden Na menyebutkan bahwa perseteruan yang terjadi antara responden dengan temannya terjadi tak lain karena lawan responden ingin menarik simpati dari Lapak Ka. Hampir semua responden dari baik yang sedaerah mapun tidak sedaerah dengan lapak sering berinteraksi dengan lapaknya. Alasannya karena antara responden dengan lapak memiliki hubungan darah (walau tidak selalu), perilaku bos yang ramah, dan selalu memperhatikan semua anak buahnya tanpa membedakan asal daerah anak buahnya. Berdasarkan data pada Tabel 41, diketahui bahwa hanya responden yang Tabel 41 Persentase Pemulung Menurut Daerah Asal dan Interaksi Pemulung dengan Lapak Daerah Asal Sedaerah Tidak sedaerah

Interaksi Pemulung dengan Lapak Tidak Pernah Jarang Sering 5,9 29,4 64,7 0 12,5 87,5

Total 100 100

sedaerah dengan lapaknya yang malah tidak pernah berinteraksi dengan lapaknya di luar waktu penimbangan (5,9 %). Responden yang tidak pernah berinteraksi dengan lapaknya di luar jam penimbangan adalah responden yang berusia lanjut (70 tahun). Responden mengemukakan alasan tidak berkomunikasi kepada lapak di luar waktu penimbangan karena tidak ada bahan obrolan dan keperluan. Oleh karena itu, biasanya setelah menimbang barang pulungan di sore hari, responden ini langsung masuk

95 bedengnya dan keluar bila ada perlu saja. Umur yang relatif terpaut jauh dengan umur para tetangganya yang pada umumnya banyak yang lebih muda darinya, membuat komunikasinya kurang begitu baik. Berikut adalah penuturannya: “....saya enggak pernah ngobrol dengan Pak Kadi (lapak), enggak ada yang bisa diobrolin. Jadi, kalau udah nimbang, saya langsung balik ke bedeng....”. (Sa/70 th/pemulung) Lain halnya dengan responden yang berasal dari Madura (tidak sedaerah dengan lapak) yang mengaku sering berinteraksi dengan lapaknya. Responden menganggap hubungannya dengan lapak selama ini baik. Berikut adalah ungkapan salah seorang responden: “....saya cukup akrab dengan bos (lapak) karena memang umur bos itu sepantaran dengan saya. Jadi enak untuk diajak bicara. Memang sih kalau kita lagi sakit suka dibantu, tapi gak cuma-cuma karena kalau kita sudah sembuh kita harus ganti obat tersebut...”. (Sr/24/pemulung) 8.3. Hubungan Antara Karakteristik Kerja dengan Hubungan Sosial Tabel 42 menunjukkan pemulung yang tinggal dengan lapak terakhirnya kurang dari 1 tahun, interaksi yang terjadi antara sesama pemulung tersebut cenderung jarang (35,7 %). Mereka masih belum mengenal dengan baik tetangganya yang sama-sama Tabel 42

Persentase Pemulung Menurut Lama Tinggal dengan Lapak Terakhir dan Interaksi Antara Pemulung dengan Masyarakat

Lama Tinggal Di Lapak Terakhir (Tahun) <1 1–3 >3

Interaksi Antar Pemulung Jarang Sering 35,7 64,3 20 80 0 100

Total 100 100 100

pemulung. Semakin lama seorang pemulung tinggal dengan lapaknya maka interaksi antar pemulung akan semakin sering. Bahkan pemulung yang tinggal lebih dari 4 tahun akan lebih sering berinteraksi dengan sesama pemulung. Hal ini karena pemulung

96 tersebut sudah mengenal suasana tempat pemulung tinggal, apa yang sebaiknya dan tidak seharusnya dibicarakan dengan sesama pemulung di dalam bedengan tersebut. Berdasarkan data pada Tabel 43, tampak semakin lama pemulung tinggal dengan lapak terakhirnya maka interaksi antara pemulung dengan lapaknya akan terjalin lebih sering. Interaksi antara pemulung dengan lapak yang paling banyak, terjadi pada pemulung yang telah tinggal dengan lapaknya lebih dari 4 tahun (100 %). Hal ini karena Tabel 43

Persentase Pemulung Menurut Lama Tinggal dengan Lapak Terakhir dan Interaksi Antara Pemulung dengan Lapak

Lama Tinggal Di Lapak Terakhir (Tahun) <1 1–3 >3

Interaksi Pemulung dengan Lapaknya Tidak Pernah Jarang Sering 7,1 28,6 64,3 0 20 80 0 0 100

Total 100 100 100

pemulung dan lapak sudah saling mengenal secara mendalam antara satu dengan lainnya. Hubungan antara pemulung dengan lapaknya cenderung berlangsung dengan baik. “...Saya cukup dekat hubungannya dengan lapak. Kalau susah kadang kita suka dibantu...” (An/18 th/pemulung) (Lampiran 3a) Pernyataan pemulung ini didukung pula oleh lapaknya. Berikut adalah pernyataannya: “Selama ini, hubungan saya dengan anak buah baik-baik saja. Kita saling menegur satu sama lain. Bila ada anak buah yang lalai atau malas, kita menasihatinya. Kita bersikap terbuka dan fair saja. Terkadang kalau mau lebaran, anak buah saya suka saya beri THR, tapi itu seadanya saja...” (An/40 th/lapak) (Lampiran 3c) Dilihat dari keterhubungan antara lama menjadi pemulung dengan interaksi antar pemulung dalam satu bedengan diketahui bahwa semakin lama responden menjadi pemulung maka interaksi antara sesama pemulung cenderung semakin sering

97 (Tabel 44). Semakin lama mereka menjadi pemulung, maka mereka akan memiliki lebih banyak pengalaman ketika menjalankan profesi memulung ini. Bagaimana cara memilih Tabel 44

Persentase Pemulung Menurut Lama Menjadi Pemulung dan Interaksi Antara Pemulung dalam Satu Bedengan

Lama Menjadi Pemulung (Tahun) <1 1–4 >4

Interaksi Antar Pemulung Jarang Sering 37,5 62,5 27,3 72,3 16,7 83,3

Total 100 100 100

barang yang bernilai tinggi, bagaimana cara menanggapi tanggapan-tanggapan miring masyarakat mengenai dirinya, dan berbagai pengalaman lainnya dapat diceritakan kepada pemulung lainnya. Mereka pun akan memahami dengan baik percakapan seperti apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan sehingga perasaan masing-masing pemulung dapat terjaga. Dari data pada Tabel 45 dapat dilihat bahwa pemulung yang tidak pernah berinteraksi dengan lapaknya di luar waktu penimbangan semuanya merupakan pemulung baru (kurang dari 1 tahun) (12,5 %). Namun bukan berarti semua pemulung

Tabel 45 Persentase Pemulung Menurut Lama Menjadi Pemulung dan Interaksi Antara Pemulung dengan Lapak Lama Menjadi Pemulung (Tahun) <1 1–4 >4

Interaksi Pemulung dengan Lapak Tidak Pernah Jarang Sering 12,5 37,5 50 0 27,3 72,7 0 16,7 83,3

Total 100 100 100

baru tidak bisa berinteraksi dengan lapaknya. Sebanyak 50 persen pemulung baru ternyata sering berinteraksi terhadap lapaknya. Namun semakin lama pemulung menjalani profesi ini maka interaksi antara pemulung dengan lapaknya akan terjadi semakin sering. Jadi kedekatan pemulung dengan lapaknya cenderung dipengaruhi oleh

98 faktor lama menjadi pemulung dan fasilitas yang diberikan oleh lapak kepada pemulung. Berdasarkan pada Tabel 46, diketahui bahwa interaksi yang tidak pernah terjalin antara pemulung dengan lapaknya di luar waktu penimbangan hanya terjadi pada pemulung yang berpenghasilan rendah (9,1 %). Begitu pula sebaliknya, interaksi antara pemulung dengan lapaknya terjalin sering hanya pada pemulung yang berpenghasilan

Tabel 46 Persentase Pemulung Menurut Penghasilan dalam Sebulan dan Interaksi antara Pemulung dengan Lapak Penghasilan (Rp) ≤ 384.000,00 384.00,00 – 559.999,99 ≥ 560.000,00

Interaksi Antara Pemulung dengan Lapak Persen Tidak pernah Jarang Sering 9,1 36,4 54,5 100 0 28,6 71,4 100 0 0 100 100

tinggi (100 %). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa semakin besar penghasilan pemulung maka interaksi antara pemulung dengan lapaknya cenderung semakin sering. Interaksi antara pemulung dengan warga masyarakat sekitar cenderung jarang (27,3 %) bahkan tidak pernah (63,6 %) terjadi pada pemulung yang berpenghasilan rendah (Tabel 47). Berdasarkan pengamatan, hal ini dapat terjadi karena pemulung merasa inferior atau rendah diri. Salah satunya karena penghasilan pemulung yang rendah. Alasan lainnya, penghasilan pemulung yang rendah menjadikan pemulung lebih memprioritaskan

mencari

barang

pulungan

untuk

mendapatkan

penghasilan

dibandingkan menghabiskan waktu hanya untuk sekedar berinteraksi dengan warga masyarakat sekitar. Kondisi ini berlaku sebaliknya pada pemulung yang berpenghasilan tinggi, dimana interaksi antara pemulung dengan warga masyarakat cenderung sering (57,1 %). Dengan penghasilan yang tinggi maka pemulung cenderung merasa tidak terlalu minder atau inferior atas keadaannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penghasilan pemulung memiliki kecenderungan hubungan dengan interaksi antara

99 pemulung dengan warga masyarakat, dimana semakin tinggi penghasilan pemulung, maka interaksi antara pemulung dengan warga masyarakat cenderung berlangsung semakin sering. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah penghasilan pemulung, maka interaksi antara pemulung dengan warga masyarakat cenderung berlangsung semakin jarang bahkan tidak pernah. Tabel 47 Persentase Pemulung Menurut Penghasilan dalam Sebulan dan Interaksi antara Pemulung dengan Masyarakat Interaksi antara Pemulung dengan Masyarakat Penghasilan Persen Tidak pernah Jarang Sering 63,6 27,3 9,1 100 ≤ 384.000,00 42,8 28,6 28,6 100 384.00,00 – 559.999,99 0 42,9 57,1 100 ≥ 560.000,00

8.4. Ikhtisar Hasil analisis hubungan antara karakteristik pemulung dengan karakteristik kerja pemulung memperlihatkan adanya kecenderungan hubungan antara jenis kelamin dengan lama menjadi pemulung, hari kerja, jam kerja, jarak tempuh, berat barang pulungan, dan penghasilan (dimana persentase terbesar pada kategori laki-laki lebih tinggi atau sama dengan kategori perempuan); dan hubungan antara daerah asal dengan lama tinggal di lapak terakhir. Akan tetapi pada hubungan antara usia dengan jam kerja, jarak tempuh, dan penghasilan terlihat kurang konsisten. Hasil analisis juga menunjukkan adanya hubungan antara karakteristik pemulung dengan hubungan sosial pemulung, diantaranya terlihat dari adanya kecenderungan hubungan pada jenis kelamin dan interaksi pemulung dengan masyarakat sekitar, usia dengan interaksi pemulung dalam satu bedengan, daerah asal dengan interaksi pemulung dalam satu bedengan dan interaksi pemulung dengan lapak. Pada hubungan antara karakteristik kerja pemulung dengan hubungan sosial pemulung, juga menunjukkan adanya kecenderungan hubungan, diantaranya terlihat

100 dari hubungan antara lamanya pemulung tinggal di lapak terakhir dengan interaksi antara pemulung dengan masyarakat dan interaksi antara pemulung dengan lapaknya, lama menjadi pemulung dengan interaksi antara pemulung dalam satu bedengan dan interaksi antara pemulung dengan lapaknya, penghasilan pemulung dengan interaksi antara pemulung dengan lapaknya dan interaksi antara pemulung dengan masyarakat sekitar. Dengan demikian, antara karakteristik pemulung dengan karakteristik kerja pemulung dan dengan hubungan sosial serta karakteristik kerja pemulung dengan hubungan sosial pemulung memiliki kecenderungan hubungan walau tidak semua variabel menunjukkan hubungan yang cukup konsisten.

BAB IX KESEJAHTERAAN PEMULUNG

Dalam bab ini, kesejahteraan pemulung dilihat dari penghasilan total keluarga pemulung, pengeluaran total keluarga untuk pangan, kepemilikan barang-barang fasilitas keluarga, kesehatan pemulung, kesejahteraan pemulung menurut indikator kesejahteraan BKKBN, dan kesejahteraan pemulung menurut pandangan subjektif. Adapun responden yang digunakan dalam mengkaji kesejahteraan pemulung berbeda dari bab sebelumnya. Responden merupakan keluarga pemulung sebanyak 23 keluarga.

9.1. Penghasilan Total Keluarga Pemulung Penghasilan total ini merupakan penghasilan responden sebagai pemulung ditambah penghasilan tambahan dari anggota keluarga pemulung. Penghasilan total keluarga pemulung merupakan penghasilan total dari seluruh anggota keluarga. Penghasilan total keluarga pemulung rata-ratanya adalah Rp783.913,04 per bulan atau dengan mediannya Rp750.000,00 per bulan yang berada pada kisaran antara Rp450.000,00 sampai dengan Rp1.260.000,00 per bulan. Secara keseluruhan jumlah responden yang mendapatkan penghasilan tambahan dari keluarganya adalah sebesar 82,6 persen, sisanya beberapa keluarga kehidupannya benar-benar ditanggung oleh kepala keluarga yaitu sebesar 17,4 persen. Anggota keluarga yang membantu semuanya bekerja di sektor informal, diantaranya bekerja sebagai pemulung, pembantu rumahtangga, penjual kue, penjual rokok dan penjual warung makan. Terkadang penghasilan tambahan didapatkan dari responden yang bekerja sampingan sebagai petugas kebersihan, ataupun untuk waktu-waktu tertentu sebagai petugas untuk menjaga keamanan.

102 Dilihat dari penghasilan total keluarga pemulung, maka yang termasuk kategori miskin (sangat miskin, miskin dan hampir miskin) hanya 22 persen, sedangkan selebihnya tidak termasuk kategori miskin sebanyak 78 persen. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun kehidupan pemulung terlihat sangat memprihatinkan tetapi ternyata tidak semua pemulung itu miskin bahkan lebih banyak yang sejahtera bila mengacu pada kategori kemiskinan menurut BPS. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 48. Tabel 48 Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Penghasilan Total Keluarga Pemulung dalam Sebulan, Juli 2005 Penghasilan Total per Kapita Anggota Keluarga Jumlah Pemulung (Rupiah) ≤ 384.000,00 (sangat miskin) 0 384.000,01 – 479.999,99 (miskin) 4 480.000,00 – 559.999,99 (hampir miskin) 1 ≥ 560.000,00 (tidak miskin) 18 Total 23 Rata-rata = 783.913,04 Median = 750.000,00

Persen 0 17,6 4,4 78 100,0

Catatan : Penentuan kategori kemiskinan mengikuti kategori kemiskinan menurut BPS 2005. Penentuan kategori ini berbeda dengan sebelumnya karena yang ingin dilihat persebaran kemiskinan.

9.2. Pengeluaran untuk Pangan Besar

pengeluaran

untuk

pangan

keluarga

pemulung

rata-rata

adalah

Rp409.565,21 (dengan mediannya Rp450.000,00). Bila dilihat dari rata-rata penghasilan total keluarga (Rp783.913,04) besar pengeluaran untuk pangan adalah 57,4 persen (Tabel 49). Persentase pengeluaran untuk pangan bagi tiap keluarga sangat bervariasi. Terdapat 26,1 persen pemulung yang mengeluarkan pengeluaran untuk pangan lebih dari 70 persen dari total penghasilan. Hal ini berarti lebih dari separuh penghasilan pemulung digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Ini mengindikasikan bahwa relatif sedikit pemulung yang tingkat kesejahteraannya relatif rendah. Di sisi lain, 74,9 persen responden pemulung pengeluaran untuk pangannya kurang dari 70 persen dari total penghasilan.

103 Pada Tabel 49 (kolom total penghasilan keluarga pemulung/banyak anggota keluarga), dapat diketahui bahwa 69,57 persen keluarga responden termasuk dalam kategori sejahtera. Sisanya, sebanyak 30,43 persen termasuk kategori keluarga miskin karena penghasilan mereka berada dibawah Rp175.000,00 per orang per bulan. Dengan demikian, responden yang termasuk keluarga sangat miskin sebanyak 13,04 persen, keluarga miskin 13,04 persen, dan keluarga hampir miskin 4,35 persen. Tabel 49 Perbandingan Pengeluaran Keluarga, Juli 2005

Pangan

Total Pengeluaran Jumlah Penghasilan Makan Anggota No. Keluarga Keluarga Keluarga Responden Pemulung (Orang) (Rp/Bln) (Rp/Bln) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Keterangan

650.000,00 600.000,00 850.000,00 1.200.000,00 1.260.000,00 560.000,00 450.000,00 750.000,00 1.050.000,00 1.080.000,00 750.000,00 450.000,00 1.070.000,00 600.000,00 900.000,00 1.050.000,00 750.000,00 450.000,00 450.000,00 810.000,00 500.000,00 600.000,00 1.200.000,00 Rata-rata = 783.913,04

210.000,00 2 450.000,00 7 300.000,00 4 300.000,00 2 720.000,00 2 300.000,00 4 450.000,00 3 450.000,00 3 450.000,00 4 750.000,00 2 210.000,00 4 600.000,00 4 450.000,00 3 450.000,00 3 600.000,00 3 450.000,00 4 150.000,00 3 450.000,00 3 180.000,00 4 450.000,00 2 450.000,00 3 300.000,00 3 300.000,00 3 Rata-rata = Rata-rata = 409.565,21 3,26

dengan

Penghasilan

Total

Perbandingan Total Penghasilan Pengeluaran Keluarga Makan RT dan Total Pemulung/ Penghasilan Banyak Keluarga Anggota Pemulung Keluarga (%) (Rp/Orang) 325.000,00 32,31 85.714,29 75 212.500,00 35,30 600.000,00 25 630.000,00 57,14 140.000,00 53,57 150.000,00 100 250.000,00 60 262.500,00 42,86 540.000,00 69,44 187.500,00 28 112.500,00 133,33 356.666,67 42,06 200.000,00 75 300.000,00 66,67 262.500,00 42,86 250.000,00 20 150.000,00 100 112.500,00 40 405.000,00 55,56 166.666,67 90 200.000,00 50 400.000,00 25 Rata-rata = Rata-rata = 273.871,64 57,35 %

104 9.3. Kepemilikan Barang-Barang Fasilitas Keluarga Barang-barang fasilitas keluarga yang dimiliki oleh hampir semua pemulung adalah kompor. Hanya 13 persen keluarga pemulung yang tidak mempunyai kompor. Pada sebagian besar pemulung, kompor, kipas angin, dan magic jar biasanya didapatkan dari hasil memulung, dari lapaknya, ataupun membeli bekas tetangganya. Sedangkan untuk tv, vcd, video game, speaker dan motor biasanya diperoleh dari hasil cicilan kredit. Dilihat dari kepemilikan televisi maka sebanyak 56,5 persen responden memilikinya. Ini berarti lebih dari setengah jumlah responden memiliki televisi (Tabel 50). Tabel 50 Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Kepemilikan Barang-Barang Fasilitas Keluarga, Juli 2005 Kepemilikan Barang-Barang Fasilitas Keluarga Kipas angin Kompor Kompor, kipas angin Kompor, magic jar Kompor, vcd, kipas angin Tv Tv, kompor Tv, kompor, kipas angin Tv, kompor, vcd, kipas angin, magic jar Tv, kompor, vcd, kipas angin Tv, kompor, vcd, kipas angin, motor Tv, kompor, vcd, kipas angin, video game, magic jar Tv, kompor, vcd, speaker Tidak punya Total

Jumlah 2 3 2 1 1 1 2 2 1 4 1 1 1 1 23

Persen 8,7 13,0 8,7 4,3 4,3 4,3 8,7 8,7 4,3 17,4 4,3 4,3 4,3 4,3 100,0

Catatan: Tiap responden dapat memberikan lebih dari satu jawaban

9.4. Kesehatan Pemulung Keluhan kesehatan yang dirasakan pemulung sangat beragam, namun yang paling banyak dirasakan pemulung dalam tiga bulan terakhir diantaranya adalah flu, demam, sakit perut, sering merasa letih, pegal dan pusing (Tabel 51).

105 Tabel 51 Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Keluhan Kesehatan, Juli 2005 Keluhan Kesehatan Pemulung Demam Diare,anak busung lapar Flu Kekurangan darah, anak kekurangan gizi Keletihan Keletihan, flu, demam Keletihan, pusing Masuk angin Masuk angin, kecapean Migren Pusing Pusing, pegal Pusing, sakit perut, maag Sakit gigi Sakit mata, badan gatal-gatal Sakit perut Tidak ada Total

Jumlah 1 1 3 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 4 23

Adapun beberapa keluhan lainnya namun tidak terlalu banyak dirasakan pemulung adalah gatal-gatal, sakit gigi, sakit mata, sakit maag, dan pada anak mengalami kekurangan gizi. Ketika penelitian berlangsung ditemukan seorang anak pemulung yang menderita busung lapar namun pada akhirnya meninggal dunia setelah dirawat dirumah sakit selama 20 hari. Bila dilihat sumber air minum, maka sebagian besar pemulung menggunakan sumber air minum yang berasal dari air tanah sebanyak 91,3 persen. Dalam hal ini air minum diambil dengan menggunakan jet pump sebanyak 69,6 persen dan sumur timba sebanyak 21,7 persen. Kedua jenis sumber air minum ini disediakan oleh lapak masingmasing. Namun diantara pemulung tersebut ada yang menggunakan air galon sebagai sumber air minumnya, yaitu sebanyak 8,7 persen (Tabel 52). Alasan mereka menggunakan air galon karena khawatir akan air tanah yang mereka konsumsi tercemar oleh sampah.

106 Tabel 52 Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Sumber Air Minum, Juli 2005 Sumber Air Minum Pemulung Air galon Jet pump (air tanah) Sumur timba (air tanah) Total

Jumlah

Persen 2 16 4 23

8,7 69,6 21,7 100,0

9.5. Kesejahteraan Pemulung Menurut Indikator Kesejahteraan BKKBN Menurut indikator kesejahteraan BKKBN, keluarga dikatakan prasejahtera bila tidak memenuhi salah satu kriteria indikator keluarga sejahtera 1, yaitu anggota keluarga melaksanakan ibadah, makan dua kali sehari atau lebih, mempunyai pakaian yang berbeda-beda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian, bagian terluas dari lantai bukan tanah, bila anak atau anggota keluarga sakit, mereka akan dibawa ke sarana kesehatan/ petugas kesehatan. Keluarga dikatakan sejahtera 1 bila keluarga tersebut memenuhi seluruh kriteria keluarga sejahtera 1 atau tidak mampu memenuhi salah satu kriteria keluarga sejahtera 2. Kriteria keluarga sejahtera 2 adalah anggota keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut secara teratur, minimal seminggu sekali keluarga menyediakan daging/ikan/telur sebagai lauk pauk, seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru setahun terakhir, luas lantai rumah paling kurang 8 m2 per penghuni rumah, seluruh anggota keluarga dalam tiga bulan terakhir dalam keadaan sehat, paling kurang satu orang anggota keluarga yang berusia 15 tahun ke atas berpenghasilan tetap, seluruh anggota keluarga yang berusia 10 – 60 tahun bisa membaca tulisan latin, seluruh anak berusia 6 – 15 tahun bersekolah pada saat ini, bila anak hidup dua orang/lebih pada keluarga yang masih PUS, saat ini mereka memakai kontrasepsi (kecuali sedang hamil). Namun, kriteria keluarga sejahtera 2 mengenai penggunaan alat kontrasepsi tidak digunakan dalam mengkaji kesejahtaraan pada penelitian ini.

107 a.

Rutinitas beribadah Sebagian besar (73,9 %) responden menyatakan jarang melakukan ibadah.

Alasannya adalah mereka merasa tidak pantas sholat karena mereka sedang dalam keadaan kotor. Adapun sisanya sebanyak 26,1 persen mengaku rutin menjalankan ibadah, yakni ibadah sholat lima waktu. Alasannya adalah mereka menyadari kewajibannya sebagai seorang muslim. Oleh karena itu, biasanya ketika mereka bekerja mereka akan kembali ke bedengan di waktu-waktu sholat untuk berganti pakaian dan menunaikan sholat. b.

Frekuensi makan Semua responden mengemukakan bahwa frekuensi makan mereka dua kali atau

lebih dalam sehari, bahkan lebih banyak yang lebih dari dua kali sehari. Untuk responden yang hanya makan dua kali sehari sebanyak 30,4 persen, responden yang makan tiga kali sehari 60,9 persen, dan responden yang makan 4 kali sehari sebanyak 8,7 persen (Tabel 53). Frekuensi makan mereka banyak karena pekerjaan memulung ini sangat mengandalkan tenaga. Tabel 53 Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Frekuensi Makan Keluarga dalam Sehari, Juli 2005 Frekuensi Makan dalam Sehari

Jumlah

2 3 4 Total

c.

7 14 2 23

Persen 30,4 60,9 8,7 100,0

Lauk (daging/ikan/telur) yang dikonsumsi dalam satu minggu Lauk yang dikonsumsi pemulung dalam seminggu terakhir adalah ikan dan telur

sebanyak 52,2 persen, selanjutnya ikan atau telur saja masing-masing sebanyak 13 persen. Sedangkan sisanya yaitu sebanyak 21,7 persen responden tidak memakan telur ataupun ikan dalam seminggu terakhir ini (Tabel 54).

108 Tabel 54 Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Konsumsi Lauk dalam Seminggu Terakhir, Juli 2005 Lauk yang dikonsumsi dalam seminggu terakhir Ikan dan telur Ikan Telur Tidak Total d.

Jumlah 12 3 3 5 23

Persen 52,2 13,0 13,0 21,7 100,0

Variasi berpakaian untuk tiap kegiatan Hampir semua pemulung yaitu 91,3 persen memiliki pakaian yang berbeda-beda

untuk di rumah, bekerja dan berpergian. Hanya sebesar 8,7 persen responden yang tidak memiliki pakaian yang berbeda-beda. e.

Bagian terluas dari lantai Semua bagian terluas dari kamar (bedeng) yang ditinggali pemulung adalah tanah

yang dilapisi oleh plastik. Fasililitas ini disediakan oleh lapak masing-masing. Permukaan tanah yang tidak rata membuat tidur pemulung menjadi tidak nyaman, kecuali bila diberi kasur. f.

Sarana/petugas kesehatan anggota keluarga Pada umumnya, jika mereka merasa sakit, maka yang menjadi pilihan pertama

adalah mengkonsumsi obat warung. Namun apabila sakit tidak kunjung sembuh, maka mereka baru memikirkan untuk berobat ke dokter atau puskesmas. Puskesmas dipilih karena biayanya yang terjangkau. Mengenai dokter, tidak semua dokter menjadi pilihan pemulung. Ada satu dokter yang menjadi pilihan pemulung. Dokter tersebut prakteknya tidak jauh dari bedeng pemulung. Selain itu dokter tersebut pun mengenakan biaya yang murah kepada pemulung. Bila penyakit bertambah parah, mereka baru akan ke rumah sakit. Dengan demikian, sarana atau petugas kesehatan yang banyak digunakan oleh responden adalah puskesmas yaitu sebanyak 52,1 persen dan dokter sebanyak 43,6 persen. Hanya seorang responden (4,3 %) memilih menggunakan fasilitas Lembaga

109 Kesehatan Cuma-cuma (LKC) (Tabel 53). Responden lain tidak menggunakan fasilitas LKC mereka tidak tahu prosedurnnya atau bahkan tidak tahu bahwa terdapat LKC sebagai lembaga kesehatan untuk kaum tidak mampu.. Tabel 55 Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Sarana/ Petugas Kesehatan yang Digunakan, Juli 2005 Sarana/ Petugas Kesehatan yang Digunakan Keluarga Pemulung Dokter LKC Puskesmas Total g.

Jumlah 10 1 11 23

Persen 43,6 4,3 52,1 100,0

Kepemilikan pakaian baru Lebih dari separuh responden yaitu sebanyak 60,9 persen memiliki pakaian baru

minimal satu dalam setahun terakhir ini. Adapun sisanya sebanyak 39,1 persen responden tidak memiliki pakaian baru minimal satu dalam setahun terakhir ini. Seringkali pemulung menerima pakaian bekas dari masyarakat sekitar. h.

Status tempat tinggal (bedengan) Status tempat tinggal (bedengan) pemulung pada semua pemulung adalah

dipinjamkan oleh lapak (bos pemulung). i.

Luas lantai rumah Data pada Tabel 56 menunjukkan bahwa luas lantai tempat tinggal pemulung yang

memenuhi syarat kesejahteraan yaitu 8 m2 per anggota rumahtangga, hanya terdapat pada satu responden (4,3 %), sedangkan lainnya yaitu 95,7 persen luas lantai rumah per anggota keluarganya kurang dari 8 m2. Berdasarkan hasil observasi ditemukan salah seorang responden yang memiliki 7 anggota keluarga menempati luas bedeng yang hanya 3 x 2,5 m2.

110 Tabel 56 Luas Lantai Tempat Tinggal Pemulung, Juli 2005 Luas Lantai Tempat Tinggal Pemulung 0,57 1,50 2,00 2,25 3,00 4,00 4,50 6,00 8,00 Total j.

Jumlah 1 1 7 2 3 4 2 2 1 23

Persen 4,3 4,3 30,4 8,7 13,0 17,4 8,7 8,7 4,3 100,0

Kesehatan anggota keluarga dalam tiga bulan terakhir Kesehatan anggota keluarga pemulung dalam tiga bulan terakhir ini pada

umumnya menunjukkan tidak sehat karena lebih dari setengah total responden (65,2 %) responden mengalami keluhan kesehatan sehingga berakibat mereka tidak bisa melakukan pekerjaannya. Sisanya sebanyak 34,8 persen tidak mengalami keluhan kesehatan apapun pada anggota keluarganya. k.

Keteraturan penghasilan Penghasilan yang diterima pemulung bersifat tidak teratur. Hal ini mengingat

bahwa sampah sebagai bahan utama yang mereka cari jumlahnya tidak selalu menentu. l.

Kemampuan membaca dan menulis anggota keluarga Anggota keluarga responden yang telah berusia 6 tahun ke atas sebanyak 56,5

persen bisa membaca dan menulis walapun terkadang ada yang kurang lancar (Tabel 57). Tabel 57 Kemampuan Membaca dan Menulis Anggota Keluarga, Juli 2005 Kemampuan membaca dan menulis anggota keluarga Anggota keluarga tidak bisa membaca dan menulis Anggota keluarga bisa membaca dan menulis Total

Jumlah 9 13 23

Persen 43,5 56,5 100,0

111 m.

Tingkat pendidikan anak yang berusia 6 – 15 tahun Hampir semua anak-anak pemulung tidak disekolahkan ataupun bila disekolahkan

anak tersebut tidak berhasil menamatkan sekolahnya. Keluarga pemulung yang mempunyai anak berusia 6 – 15 tahun hanya 11 keluarga. Dari 11 keluarga tersebut, 90,9 persen anak-anak mereka tidak sekolah karena tidak ada biaya. Responden yang anaknya disekolahkan ini mempunyai dua orang anak dan kedua anaknya saat ini sedang menempuh pendidikan sekolah dasar. Ia menyadari bahwa bagaimanapun pendidikan untuk anak itu penting untuk diperjuangkan, seperti pernyataan berikut: ”....begini-begini saya mbak kalau buat pendidikan anak, saya usahakan nomor satu. Saya lebih baik sisihkan uang makan saya untuk bayar sekolah anak. Bukan apa-apa mbak, saya hanya gak kepingin anak saya nantinya kalau sudah besar susah seperti saya. Menyekolahkan anak itu seperti punya tabungan untuk hari tua. Sekarang kan kita orang tua yang membiayai mereka. Suatu saat nanti saya harap mereka yang ganti merawat kami (orang tua). Memang penghasilan dari suami saya tidak mencukupi, tapi saya coba bantu dengan berdagang kue ke sekolahan anak saya, atau saya drop saja. Lumayan buat tambahan keluarga mbak.”(Li/30 th/istri pemulung). Sebenarnya keluarga responden pemulung banyak yang menginginkan anaknya sekolah. Mereka pun menyadari pentingnya pendidikan tetapi karena keterbatasan dana maka mereka akhirnya memutuskan untuk tidak menyekolahkan anaknya. Pada saat observasi berlangsung, terdapat anak keluarga pemulung yang baru lulus SD. Namun karena orang tuanya tidak ada biaya sedangkan jumlah anggota keluarganya cukup besar (5 orang) maka orang tuanya tidak dapat menyekolahkannya ke tingkat lanjutan walaupun sebenarnya anak tersebut menginginkannya. Berikut adalah pernyataannya: “Saya baru saja lulus SD mbak, trus karena di desa saya nganggur, saya diajak orang tua saya kesini, buat bantu-bantu orang tua. Terkadang saya juga suka ikut bantu mulung. Sebenarnya saya ingin sekali sekolah, tapi karena tidak ada biaya maka saya tidak bisa melanjutkan sekolah. Kadangkadang saya suka malu mbak, kalau lagi mulung ketemu dengan anak-anak SMP...”(Su/13 th/pemulung)

112 n.

Kepemilikan tabungan Sebagian besar pemulung tidak memiliki tabungan yaitu sebesar 65,2 persen.

Alasannya adalah karena keuangan mereka sangat terbatas. Penghasilan yang didapat pada suatu hari akan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan belanja esok harinya atau melunasi hutang sebelumnya. Adapun responden yang memiliki tabungan sebanyak 34,8 persen. Alasan mereka menabung adalah mereka memiliki selisih antara penerimaan yang mereka dapatkan dengan pengeluaran. Biasanya sebagian dari uang tabungan ini ada yang dikirim ke daerah asalnya, namun lebih banyak yang mempergunakan tabungan ini untuk membayar cicilan kredit seperti televisi, motor, baju, dan bisa pula untuk membayar utang kepada tetangganya. Namun tabungan pemulung bukanlah tabungan yang melalui bank, melainkan hanya sebagai simpanan di bedeng. Berdasarkan pemaparan tersebut, kesejahteraan seluruh keluarga pemulung menurut indikator BKKBN termasuk keluarga prasejahtera karena masih terdapat beberapa kriteria indikator kesejahteraan keluarga prasejahtera yang belum terpenuhi, diantaranya dilihat dari variasi berpakaian untuk kegiatan yang berbeda ketika bekerja dan di rumah tidak dimiliki oleh 8,7 persen keluarga dan bagian terluas dari lantai adalah tanah sebanyak 100 persen. Walaupun demikian, seluruh keluarga pemulung ternyata telah mampu memenuhi salah satu kriteria dari keluarga sejahtera 2, yaitu seluruh anggota keluarga pemulung telah menggunakan jasa dokter atau unit kesehatan resmi untuk berobat. Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Lampiran 8.

9.6. Kesejahteraan Pemulung Menurut Pandangan Subjektif Hasil wawancara dengan para pemulung mengenai pandangan pemulung terhadap keadaan kesejahteraan dirinya dan keluarganya menunjukkan pandangan yang

113 bervariasi dengan alasan-alasan yang beragam. Pandangan-pandangan tersebut tampak tidak terlepas dari sosial ekonomi dan psikologi masing-masing pemulung. Sebagai gambaran, dilihat dari segi kehidupan sosialnya, banyak pemulung yang merasa minder dengan masyarakat sekitar yang memandang sebelah mata kepada mereka. Pemulung merasa kehadirannya tidak diterima begitu baik oleh warga masyarakat sehingga pemulung menganggap dirinya bukanlah bagian dari masyarakat sekitar. Bila dilihat dari sisi ekonominya, pemulung merasa penghasilan yang diterima hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan esok hari. Oleh karena itu hanya sejumlah kecil pemulung yang menyisihkan uangnya untuk ditabung. Dari sisi psikologis, khususnya motivasi pemulung dalam bekerja, hampir keseluruhan responden bekerja dengan motivasi mmenuhi kebutuhan primer. Padahal, bila seseorang bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan primernya, maka etos kerja termasuk rendah. Bedasarkan gambaran mengenai pemulung yang telah dikemukakan, maka secara khusus pandanganpandangan yang terungkap dalam penelitian ini dikelompokkan dalam kategori pandangan pemulung, yaitu: 1) pemulung yang merasa belum sejahtera dengan keadaannya sekarang. Menurut 73,9 responden, pada umumnya mereka merasa masih jauh dari sejahtera. Alasan yang mereka paparkan antara lain: belum merasa cukup dengan penghasilan yang didapatkan, masih memiliki banyak hutang, masih banyak keinginan yang belum tercapai, belum mempunyai rumah tetap, pangan tidak mencukupi, dan belum memiliki pekerjaan yang tetap (Tabel 58).

114 Tabel 58 Alasan Pemulung Belum Merasa Sejahtera, Juli 2005 Alasan Pemulung Belum Merasa Sejahtera Banyak utang Belum jelas hidupnya Belum mempunyai rumah sendiri Belum merasa hidup enak Belum punya pekerjaan tetap Belum punya peralatan RT yang bagus-bagus Kalau tidak kerja maka besok tidak bisa makan Pas – pasan Penghasilan ini sangat tidak mencukupi Total

Persen 16,66 4,17 25 4,17 16,66 4,17 4,17 8,34 16,66 100

Bila ditelusuri dan dikaitkan dengan bahasan indikator-indikator kesejahteraan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka keluarga yang merasa belum sejahtera ini rata-rata perbandingan pemasukan (penghasilan total keluarga pemulung) dengan pengeluaran untuk pangan sebesar 58,2 persen, kepemilikan televisi dan vcd hanya dimiliki oleh 47,1 persen dan 29,4 persen responden (ada 1 responden yang menyatakan belum sejahtera namun ia sudah mampu kredit motor). Sebagian besar keluarga pemulung tidak sehat (88,2 %), 2) pemulung yang sudah merasa sejahtera dengan keadaannya sekarang. Sebanyak 26,1 persen responden menganggap bahwa diri mereka sudah cukup sejahtera. Alasannya karena merasa bahwa banyak kebutuhan atau keinginan yang sudah terpenuhi dan terpenuhinya kebutuhan makan sekeluarga. Tabel berikut ini adalah alasan sejahteranya pemulung atau tidak menurut subjektif responden (Tabel 59). Tabel 59 Alasan Pemulung Sudah Merasa Sejahtera, 2005 Alasan Pemulung Merasa Sejahtera Banyak keinginan telah tercapai Mempunyai pekerjaan yang mampu menghasilkan Merasa berkecukupan Penghasilan dirasa cukup untuk makan Segala kebutuhan telah tercukupi Total

Persen 14,28 14,28 42,88 14,28 14,28 100

115

Bila ditelusuri dan dikaitkan dengan bahasan indikator-indikator kesejahteraan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka keluarga pemulung yang merasa sudah sejahtera ini rata-rata perbandingan pemasukan (penghasilan total keluarga pemulung) dengan pengeluaran untuk pangan sebesar 55,1 persen (tidak jauh beda dengan responden yang merasa belum sejahtera, namun besar perbandingan relatif lebih rendah), kepemilikan televisi dan vcd dimiliki oleh 83,3 persen dan 66,7 persen responden, dan keluarga pemulung yang sehat sebanyak 33,3 persen, atau tidak sehat sebanyak 66,7 persen (kesehatan pemulung yang merasa sudah sejahtera ternyata masih banyak yang rendah, namun dari segi jumlah, lebih banyak pemulung merasa sejahtera yang sehat dibandingkan dengan pemulung merasa belum sejahtera).

9.7.Ikhtisar Bab ini menjabarkan aspek kesejahteraan pemulung yang dilihat berdasarkan indikator kemiskinan menurut BPS 2005, BKKBN 2003, dan pandangan subjektif responden. Keadaan kesejahteraan pemulung berdasarkan indikator-indikator objektif tidak selalu sesuai dengan keadaannya kesejahteraan pemulung dari sudut pandang subjektif. Namun diantara dua indikator objektif tersebut, yang terlihat mendekati kesejahteraan menurut pandangan subjektif adalah indikator kesejahteraan menurut BKKBN 2003. Sebagai gambaran bila mengacu pada BPS 2005 maka lebih dari setengah jumlah keluarga responden tidak termasuk pada kategori keluarga miskin karena penghasilan total keluarga pemulung banyak yang berada di atas Rp560.000,00 per bulan. Apabila kesejahteraan pemulung dilihat dari indikator kesejahteraan menurut BKKBN 2003, maka hampir sebagian besar keluarga pemulung termasuk pada keluarga

116 prasejahtera karena semua responden keluarga tidak memenuhi syarat keluarga sejahtera 1, diantaranya masih ada responden yang tidak memiliki variasi berpakaian untuk kegiatan yang berbeda (ketika di rumah dan bekerja) dan bagian terluas dari lantai masih berupa tanah walau telah dilapisi plastik. Adapun kesejahteraan menurut pandangan subjektif pemulung, sebagian besar pemulung beranggapan kehidupan mereka masih belum sejahtera karena mereka belum mempunyai tempat tinggal yang menetap, pekerjaan yang belum pasti, penghasilan masih “pas-pasan”, dan sebagainya. Berdasarkan pemaparan-pemaparan yang telah disebutkan, maka dapat dinyatakan bahwa pemulung masih belum sejahtera.

BAB X PEMBAHASAN: TINJAUAN TERHADAP EKSISTENSI DAN PROSPEK KEHIDUPAN PEMULUNG 10.1. Eksistensi Pemulung Sebagian besar masyarakat menganggap sampah sebagai sesuatu yang tidak lagi berguna. Namun bagi sebagian yang lain menganggapnya sebagai lahan usaha. Bagi pemulung, sampah adalah sumber nafkah yang utama. Mereka hidup dari sampah. Bahkan bisa dikatakan mereka hidup dengan sampah, karena dalam kesehariannya mereka berkecimpung dengan sampah. Mulai dari pagi hari ketika mereka bekerja, memulung sampah, kemudian pulang pun mereka masih harus mensortir sampah sesuai dengan jenisnya masing-masing. Ketika mereka beristirahat dalam bedengnya, mereka pun tetap berada di lingkungan yang penuh dengan sampah. Bau-bauan yang timbul dari sampah sudah tidak mereka hiraukan lagi. Karena mereka memang sudah tidak ada pilihan lain. Keterbatasan pendidikan, keterampilan, dan modal membuat mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dan karirnya. Belum lagi anggapananggapan “miring” seputar kehidupan mereka. Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, pemulung sering dipandang negatif oleh masyarakat hanya karena penampilan mereka yang kumal dan yang lebih utama adalah karena hasil penggeneralisasian masyarakat awam terhadap beberapa oknum pemulung yang suka mencuri. Oknum ini bukan saja mencoreng nama Lapaknya tetapi juga seluruh pemulung yang berada di suatu wilayah tertentu. Mengenai lingkungan bedeng, sebagian pemulung memiliki bedeng yang bersih dan tertata rapi, walaupun bedeng mereka hanya dibatasi oleh seng, triplek, dan kardus. Namun di lapangan ditemukan juga beberapa bedeng pemulung terlihat kotor dan kurang terawat. Biasanya bedeng yang tidak terawat adalah bedeng yang ditempati oleh

118 mereka yang belum berkeluarga atau sudah berkeluarga namun keluarga mereka berada di desa, sedangkan bedeng yang rapi biasanya didiami oleh mereka yang berkeluarga lengkap. Beberapa diantara mereka yang sudah menikah tetapi tidak membawa anggota keluarganya ke Desa Kedaung memiliki beberapa alasan, diantaranya karena tidak adanya biaya, biaya hidup di kota lebih mahal daripada di desa, dan beberapa diantara pemulung ada yang ingin menyembunyikan profesinya sebagai pemulung karena khawatir dipermalukan oleh keluarga. Fenomena mengenai pemulung ini semakin marak terjadi belakangan ini. Bahkan setelah Idul Fitri ini, banyak pemulung yang baru berdatangan, terutama dari Jawa Tengah (Purwokerto, dan lain-lain). Berdasarkan hasil penelitian, pemulung di Desa Kedaung banyak yang berasal dari Randusari 2 karena Randusari adalah daerah asal lapak Ka (lapak yang memiliki anak buah terbanyak). Desa Randusari 2 adalah salah satu desa yang terdapat dalam Kabupaten Brebes. Brebes adalah daerah yang penghasilan utamanya diperoleh dari sektor pertanian. Sebagian besar bertanam padi. Namun mulai banyak diantara warga masyarakat Brebes yang menjual sawahnya sehingga banyak diantara mereka bekerja sebagai buruh tani sebelum bekerja sebagai pemulung. Penghasilan buruh tani tergantung dari adanya masa tanam, pemeliharaan, dan panen. Sawah di daerah Brebes merupakan sawah tadah hujan yang sumber airnya sangat tergantung dari alam (bukan irigasi). Salah satu tanaman yang banyak ditanam disana selain padi adalah bawang merah. Produksi bawang merah dari Brebes sangat besar. Namun sayangnya pemilik dari pertanian bawang merah adalah orang di luar brebes (orang cina), sehingga masyarakat tidak bisa mendapatkan keuntungan yang maksimum dari hasil panen bawang merah. Jarang penduduk lokal yang mempunyai lahan bawang, karena modalnya harus besar. Menurut salah seorang informan, modal

119 untuk membuka lahan bawang merah untuk luas yang sama dengan pertanian padi membutuhkan biaya lebih dari empat kali lipat biaya bertanam padi. Oleh karena itu, jarang ada warga pribumi yang mampu. Namun, bagaimanapun usaha ini turut membawa sisi positif. Masyarakat desa mempunyai pekerjaan tambahan, karena masyarakat tidak dapat mengharapkan penghasilan yang didapat dari pertanian beras. Namun penghasilan yang didapat dari bawang ini sebenarnya masih belum begitu mencukupi. Keadaan yang terjadi pada kondisi masyarakat pertanian di Brebes ini juga terjadi di banyak daerah di Indonesia. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya implikasi dari konsep pertumbuhan yang digunakan pemerintah dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, konsep pertumbuhan di Indonesia memang sempat menunjukkan tanda-tanda positif, terlihat dari taraf hidup masyarakat pada tahun yang meningkat (Wie, 1981). Namun, perubahan tersebut belakangan ini menunjukkan adanya ketimpangan. Jurang kemiskinan antara mereka yang bergolongan kaya dengan mereka yang bergolongan miskin semakin lebar. Hal ini terjadi tak lain karena perkembangan ekonomi tidak mencapai seluruh pelosok pedesaan. Bahkan yang terjadi adalah adanya ekspolitasi aset-aset perdesaan oleh pusat. Kota mengalami perkembangan yang pesat sedangkan desa mengalami ketertinggalan. Sektor pertanian yang menjadi basis ekonomi masyarakat perdesaan pun tidak berkembang, bahkan menunjukkan penurunan (Rustiadi, 2004). Ciri pertumbuhan yang terjadi ini tampaknya mendekati tipologi pembangunan pengayaan (enrichment) sektor modern yang dikemukakan oleh Fields (2001) dalam Todaro dan Smith (2003). Pertumbuhan memang terjadi. Akan tetapi hanya segelintir orang yang berkecimpung di sektor modern yang dapat menikmati hasil dari pertumbuhan, sedangkan jumlah pekerja dan tingkat upah pekerja di sektor tradisional tetap.

120 Brebes sebagai salah satu daerah yang mata pencaharian masyarakat pokoknya bercocok tanam, pertanian padinya belum berkembang secara maksimal karena pengairan sawahnya masih mengandalkan air hujan. Bila menggunakan irigasi, maka kemungkinan hasil panen padinya akan lebih besar. Namun sayangnya, pemanfaatan teknologi irigasi ini belum dioptimalkan. Padahal salah satu komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi, selain akumulasi modal dan pertumbuhan penduduk adalah kemajuan teknologi (Todaro dan Smith, 2003), sedangkan tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak desa di Indonesia yang masih mengandalkan panen hanya dengan bantuan alam. Padahal, bila orientasi produksi dipersiapkan untuk pasar secara luas, maka aspek teknologi yang tepat guna sudah selayaknya diperhitungkan. Selanjutnya, oleh karena pertanian sudah dirasa tidak lagi menguntungkan bagi masyarakatnya, maka sebagian penduduk memutuskan untuk beralih profesi dan kemudian pindah ke kota. Pada umumnya mereka pindah karena melihat temannya yang sudah bekerja di kota menjadi sukses. Selain itu, memang kota memiliki daya tarik tersendiri sehingga membuat orang ingin mengunjunginya. Tetapi ketika mereka sampai di kota, mereka menyadari bahwa kerja di kota membutuhkan syarat tingkat pendidikan tertentu, keterampilan ataupun modal. Karena keterbatasan tersebut, maka satu-satunya pekerjaan yang memungkinkan adalah menjadi pemulung. Jumlah pemulung mulai meningkat tatkala warga daerah asal melihat kesuksesan yang dibawa oleh pemulung atau lapak dari kota dimana pemulung/lapak tersebut bekerja dan jumlah pemulung ini akan semakin bertambah setelah masa penanaman padi/bawang hingga masa menjelang panen di daerah asal, karena banyak pula diantara pemulung yang sebenarnya berprofesi sebagai buruh tani. Petani memanfaatkan waktu kosong menunggu masa panen dengan menjadi pemulung. Modal untuk transportasi didapat dengan mengutang kepada tetangganya ataupun lapaknya. Usaha seperti ini banyak berkembang di wilayah kota

121 atau pinggiran kota karena masyarakat inilah yang banyak menggunakan sampahsampah yang dibutuhkan oleh industri daur ulang. Pekerjaan pemulung sebenarnya turut membantu pemerintah dalam mengurangi tumpukan sampah di tempat-tempat pembuangan akhir. Bila tidak ada pemulung dan jaringan industri daur ulang, maka jumlah sampah di tempat pembuangan akhir akan semakin menggunung. Keberadaan pemulung ini membantu tugas dinas kebersihan setempat. Namun sayangnya, belum ada kebijakan pemerintah secara nyata yang langsung menangani fenomena pemulung yang semakin berkembang ini. Di Jakarta dulu memang ada pasukan kuning (pasukan pemulung yang diberi seragam dinas kebersihan), namun kini gaungnya tidak terdengar lagi. Selain itu program-program pemerintah yang diterapkan kepada pemulung, dimana lingkungan pemulung dianggap termasuk salah satu pemukiman kumuh, tak lepas dari Perda No. 11/1988 tentang keindahan, keamanan, kenyamanan, kebersihan, kebersihan, dan menciptakan ibukota yang tertib, aman, nyaman, bersih dan indah, dilarangnya membuat bangunan pada daerah hijau, trotoar atau daerah bantaran kali oleh Pemkot DKI dan Perda No. 1/1996 tentang kependudukan, yang pada intinya kedua Perda tersebut dimanfaatkan hanya untuk menindas masyarakat miskin dan melindungi pihak-pihak tertentu. Para aparat tahu bahwa banyak orang yang tinggal di pemukiman kumuh tidak mempunyai KTP setempat. Oleh karena itu, para aparat memanfaatkan hal ini untuk memeras mereka (Forum Keprihatinan, 2003) Namun kondisi ini terjadi pada wilayah DKI Jakarta. Di Kota Yogyakarta, pemulung seringkali diperlakukan sama seperti mereka yang berada di DKI Jakarta (Twikromo, 1999). Tetapi keadaan pemulung di Desa Kedaung masih lebih baik, karena keberadaan pemulung selama ini tidak pernah dipermasalahkan oleh pemerintah Desa Kedaung.

122 Terkait dengan program daur ulang, di Indonesia program ini telah dilaksanakan sejak tahun 1986. Program daur ulangnya baru mencapai 1,8 persen. Kondisi ini belum cukup untuk mengurangi laju pertumbuhan jumlah sampah yang diperkirakan akan menjadi lima kali lipat pada tahun 2020. Oleh karena itu penerapan teknologi pengolahan sampah perlu segera dimulai agar kerusakan lingkungan dapat diminimalisir semenjak dini. Selama ini teknologi pengolahan limbah sampah yang ada banyak yang belum mampu dan belum efisien dalam mengatasi jumlah sampah yang terus meningkat jumlahnya.

Biasanya TPA menggunakan sistem open dumping (sampah ditumpuk

bergunung-gunung). Sistem penanganan sampah seperti ini, dimana sampah yang menumpuk belum mengalami pemilahan, hal ini yang menjadi peluang bagi pemulung untuk mendapatkan penghasilan. Oleh karena itu, model sistem penanganan sampah yang baru sebaiknya memberikan ‘win-win solution’ baik bagi masyarakat, pemerintah, maupun pemulung. Dalam merencanakan sistem penanganan sampah yang baru, pemerintah sebaiknya juga memperhatikan kesejahteraan pihak-pihak yang hidup dari memanfaatkan sampah. Dengan demikian, sampah tetap memberikan kesempatan bekerja sekaligus penghasilan bagi pemanfaatnya. Selama ini terdapat banyak sistem penanganan sampah yang ditawarkan. Bapedal Jawa Timur menawakan suatu sistem penerapan Sanitary Landfill dalam pengelolaan sampah. Sanitary Landfill adalah: ’sistem pengelolaan sampah yang mengembangkan lahan cekungan dengan syarat tertentu, antara lain jenis dan porositas tanah. Dasar cekungan pada sistem ini dilapisi geotekstil. Lapisan yang menyerupai plastik ini menahan peresapan lindi ke tanah. Di atas lapisan ini, dibuat jaringan pipa yang akan mengalirkan lindi ke kolam penampungan. Lindi yang telah melalui instalasi pengolahan baru dapat dibuang ke sungai. Sistem ini juga mensyaratkan sampah diuruk dengan tanah setebal 15 cm tipa kali timbunan mencapai ketinggian 2 meter.’ Sistem Sanitary Landfill ini masih harus didukung oleh incenerator atau instalansi pembakaan sampah yang terkontrol minimal 1000o C. Dalam pelaksanaannya, sampah

123 tetap harus dipisahkan antara bahan organik dengan anorganik, selanjutnya antara bahan yang mudah tergradasi dengan yang sulit. Oleh karena itu, peranan segala lapisan masyarakat sangat dibutuhkan demi berjalannya sistem ini dengan baik. Proses pembuangan sampah dapat dimulai dari rumah. Setiap rumahtangga hendaknya mensortir barang yang organik dan anorganik. Bahan yang organik pun dapat dimanfaatkan oleh rumahtangga sebagai kompos ataupun biogas. Pandangan masyarakat terhadap sampah pun perlu berubah dari “sampah-sampah” menjadi “sampah-sumberdaya”. Hal ini telah dilakukan oleh pemulung dalam jaringan daur ulangnya (Bapedal-Jatim). Yang tak kalah pentingnya adalah turut mengintegrasikan pemulung dan lapak pada program ini. Sebagai ujung tombak dari usaha daur ulang, pemulung memiliki peranan yang penting untuk memisahkan sampah antara sampah organis dan anorganik, sebagai bagian terpenting dari pengolahan sampah. Fenomena pemulung ini tampaknya akan terus berkembang. Industri daur ulang akan semakin mengembangkan sayapnya mengingat perkembangan masyarakat yang semakin modern, yaitu masyarakat yang memanfaatkan produk-produk hasil teknologi modern yang mana banyak menggunakan barang-barang yang sulit di daur ulang ditambah dengan jumlah penduduk yang semakin lama diperkirakan akan semakin meningkat. Selama masyarakat luas mengkonsumsi barang-barang yang dibutuhkan oleh industri daur ulang, seperti gelas, botol atau galon air mineral, kardus, kertas, gelas dan sebagainya, dan selama kesadaran masyarakat untuk memilah sampah pada taraf rumahtangga masih rendah, maka selama itulah akan ada sekumpulan orang yang mencari nafkah dengan memunguti sampah-sampah tersebut untuk ditukar dengan uang. Namun usaha ini bukanlah tak ada kendala, para tukang jual beli barang bekas yang sering mengitari kompleks adalah saingan utama bagi para pemulung sedangkan masalah sampah impor adalah kendala bagi lapak dan kendala ini memberikan dampak

124 secara langsung kepada besar penghasilan pemulung, karena hadirnya sampah-sampah impor yang biasanya lebih bersih kondisinya memiliki harga jual yang lebih mahal daripada harga sampah dalam negeri. Tidak sedikit pula lapak-lapak yang tutup karena hal ini. Oleh karena itu, masalah ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah khususnya pemerintah pusat untuk segera merumuskan kebijakan impor khususnya impor sampah agar dapat menyelamatkan sektor usaha kecil dalam jaringan daur ulang.

10.2. Prospek Kehidupan Pemulung Keadaan pemulung di Desa Kedaung masih lebih beruntung daripada pemulung yang bekerja di daerah Jakarta atau Yogyakarta, karena kehadirannya tidak dipermasalahkan oleh pemerintah setempat. Pemerintah Desa Kedaung pun pernah memberikan bantuan pangan kepada beberapa pemulung yang mendapat kartu miskin. Program-program kesehatan seperti PIN Nasional juga terkadang diikuti oleh pemulung, walaupun hanya segelintir pemulung yang ikut. Tak hanya dari pemerintah, warga sekitar pun suka membantu pemulung. Selama bulan Ramadhan lalu, mereka sering diberikan makanan oleh masyarakat baik atas nama pribadi maupun lembaga. Hanya saja, masih ada stigma negatif dari beberapa elemen masyarakat ataupun dari beberapa aparat pemerintahan yang masih melekat kepada sosok pemulung. Beberapa bantuan dari pemerintah dan masyarakat sekitar tersebut sudah cukup baik, namun tentu saja masih dibutuhkan suatu program yang lebih bersifat spesifik, yaitu suatu program yang khusus menangani masalah pemulung. Oleh karena itu, hal ini kiranya dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan dalam merumuskan program-program yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat kecil, khususnya pemulung. Di Desa Kedaung sebenarnya telah ada rencana bersama pemerintah pusat (Departemen Tenaga Kerja) untuk melibatkan pemulung dalam

125 beberapa program pemerintah. Namun menurut aparat tersebut, sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya, baru sebatas rencana (Keterangan lebih lanjut dapat dilihat hasil wawancara dengan aparat Desa Kedaung pada Lampiran 3e). Walaupun keberadaan pemulung belum didukung pemerintah secara nyata, namun keberadaannya patut dihargai. Usaha di sektor ini mampu membuka lapangan pekerjaan baru yang mana saat ini jarang terdapat kesempatan bekerja. Hal ini cukup meringankan beban pemerintah dalam hal membuka lapangan pekerjaan. Namun, usaha-usaha pemerintah untuk melibatkan pemulung dalam berbagai program pemerintah khususnya terkait dengan masalah kebersihan dan kesejahteraan harus lebih diperhatikan lagi. Gambaran mengenai kondisi pemulung tidak lepas dari bayangan kekumuhan, ketidakberuntungan, dan kehidupannya yang kurang sejahtera 1. Prospek kehidupan pemulung kedepannya pun bisa menurun namun bisa pula meningkat. Perkembangan kehidupan pemulung dapat terhambat bila terdapat sistem baru pengelolaan sampah yang memungkinkan pengangkutan sampah dengan teknologi tinggi dari tingkat rumahtangga dan masuknya sampah impor secara bebas sehingga harga beli sampah dalam negeri menurun. Namun, untuk teknologi, tampaknya penggunaannya tidak dalam waktu dekat ini, sedangkan mengenai impor sampah, saat ini impor masih diawasi oleh pemerintah sehingga masih bisa dikontrol. Oleh karena itu, untuk beberapa tahun kedepan, prospek pemulung diperkirakan akan stabil bahkan meningkat, karena selain semakin berkembangnya industri daur ulang seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, jumlah penduduk pun akan semakin bertambah, dengan demikian saingan untuk bekerja akan semakin ketat. Pihak-pihak yang “kalah besaing” karena berbagai keterbatasan ini, akhirnya dapat menjatuhkan pilihan bekerja di sektor informal.

1

Keadaan kesejahteraan pemulung berdasarkan indikator BKKBN. Lebih dari separuh jumlah tidak sejahtera. Informasi lebih lanjut dapat dilihat pada Bab IX Hal. 106.

126 Apabila mereka tidak memiliki keterampilan khusus ataupun modal yang mencukupi maka menjadi pemulung adalah satu-satunya alternatif yang tersedia secara luas. Kehidupan pemulung ini memiliki prospek untuk dapat lebih menjadi sejahtera, yaitu dengan beberapa tindakan alternatif sebagai berikut. Pertama, dengan dibentuknya kelompok. Dari kelompok ini dipilih seorang ketua. Ketua inilah yang berperan sebagai mediator dalam menyalurkan aspirasi masyarakat pemulung kepada pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah, masyarakat, perusahaan atau lembaga masyarakat lainnya atau dapat disebut sebagai pihak luar. Ketua pun berperan sebagai pihak yang menjembatani antara pemulung dengan pihak luar, misalnya dalam hal pengurusan KTP musiman, bantuan kesejahteraan, program kesehatan, dan sebagainya. Ketua bertugas pula mencatat setiap pemulung yang masuk dan keluar. Namun sebagai balas jasa dari tindakannya, pemerintah perlu memberikan dana insentif untuk ketua pemulung. Dengan adanya pengorganisasian seperti ini, diharapkan koordinasi antara pemulung dengan pihak luar dapat berjalan lebih baik. Kemudian yang kedua adalah perlunya kerjasama yang terjalin dengan baik antara pemerintah dengan pemulung, memformalkan profesi pemulung dengan melibatkan pemulung pada program-program pemerintah. Pemulung bukan lagi dianggap sebagai orang luar yang bekerja memunguti sampah tetapi pemulung dianggap telah menjadi bagian penting dalam program pengolahan sampah. Akan lebih baik lagi bila pemulung diberikan seragam yang agar keberadaan pemulung terdeteksi dan masyarakat pun akan lebih menghargainya. Kesejahteraan pemulung bukan hanya terkait dengan penghasilan tetapi juga terkait dengan mentalitas spiritualnya. Oleh karena itu perlunya pembinaan terhadap mentalitas rohani para pemulung agar mereka kembali mengingat Tuhannya. Selain itu perlunya penyuluhan mengenai lingkungan yang bersih dan sehat.

BAB XI KESIMPULAN DAN SARAN

11.1. Kesimpulan Pekerjaan memulung merupakan salah satu alternatif pekerjaan terakhir bagi masyarakat yang ingin berusaha tetapi memiliki berbagai keterbatasan seperti pendidikan, keterampilan, dan modal. Pekerjaan ini merupakan salah satu usaha yang bergerak di sektor informal, karena ia memiliki berbagai ciri yang sangat lekat dengan ciri-ciri sebuah sektor informal. Dari hasil penelitian yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut. Pemulung di Desa Kedaung adalah profesi yang banyak digeluti kaum laki-laki Jawa yang berusia produktif. Mayoritas pemulung beragama Islam. Pendidikan pemulung termasuk rendah. Jumlah keluarga yang termasuk kecil. Alasan pemulung memilih profesi ini beragam. Sebelum menjadi pemulung, responden telah bekerja di sektor informal. Dari segi status kependudukannya, pemulung termasuk migran dan tidak memiliki KTP musiman. Pekerjaan pemulung bercirikan: lamanya pemulung menjalani profesi ini, ratarata 3,65 tahun; lama pemulung tinggal di lapak terakhir rata-rata adalah 1 tahun; hampir seluruh dari pemulung bekerja dengan motivasi memenuhi kebutuhan dasar khususnya pangan; penghasilan pemulung rata-rata Rp421.200,00 per bulan dengan kisaran Rp150.000,00 sampai dengan Rp900.000,00 per bulan; hari kerja pemulung termasuk sedang, sedangkan jam kerjanya termasuk rendah; menempuh jarak rata-rata 5 kilometer perhari; pemulung mengumpulkan barang pulungan dari jenis yang bermacam-macam, kecuali sayuran; berat barang pulungan yang diperoleh rata-rata 21,4 kilogram per hari; peralatan yang digunakan sederhana, yaitu ganco, karung dan

128 gerobak; dalam memulung, peraturan yang ada hanya berdasarkan kesepahaman; frekuensi pengiriman uang ke daerah asal, kurang lebih dua tahun sekali dengan jumlah rata-rata Rp183.000,00 per tahun; dan frekuensi pemulung pulang ke daerah asalnya rata-rata 1,8 kali dalam setahun. Bentuk hubungan sosial pemulung antar sesama pemulung dalam satu bedengan dan lapaknya terjalin dengan frekuensi yang sering. Namun hubungan pemulung dengan warga masyarakat sekitar dan pemerintah setempat cenderung jarang. Hubungan sosial pemulung mencirikan tipe ikatan expressive-instrumental continuum. Hasil

analisis

memperlihatkan

adanya

kecenderungan

hubungan

antara

karakteristik pemulung dengan karakteristik kerja. Demikian pula antara karakteristik pemulung dengan hubungan sosial pemulung, serta antara karakteristik kerja pemulung dengan hubungan sosial memperlihatkan adanya kecenderungan hubungan walaupun tidak semua variabel menunjukkan hubungan yang konsisten. Dilihat dari kesejahteraannya, pemulung masih termasuk belum sejahtera. Namun dilihat dari segi ekonomi, penghasilan yang diperoleh pemulung cukup menjanjikan. Usaha daur ulang ini memiliki kecenderungan untuk semakin berkembang karena beberapa hal, diantaranya adalah jumlah penduduk yang semakin besar, konsumsi barang-barang anorganik yang semakin besar, dan kesadaran masyarakat untuk memilah sampah pada tingkat rumahtangga yang masih rendah. Pemulung memiliki prospek kesejahteraan kedepannya, asalkan pemerintah turut membantu dan mendukung perkembangannya melalui kebijakan-kebijakan yang pro masyarakat kecil dan menengah khususnya pemulung.

129 11.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diajukan beberapa saran diantaranya untuk pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan akademisi sebagai kaum intelektual. Bagi pemerintah, perlu adanya kerjasama lintas pemerintah desa, kecamatan, dan propinsi dan perhatian yang lebih kepada pemulung terkait dengan masalah migrasi dan masalah KTP Musiman yang selama ini kurang mengontrol keberadaan pemulung di Desa Kedaung. Mengingat isu yang saat ini sedang berkembang, maka apabila hal ini tidak segera di atasi, keadaan seperti ini dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Pemerintah pun perlu membentuk organisasi pemulung Desa Kedaung untuk memudahkan kontrol terhadap mereka, serta memudahkan komunikasi antara pemulung dengan pihak di luar pemulung. Pemerintah, baik pusat maupun setempat, perlu menyalurkan program-program beasiswa sekolah untuk diberikan kepada anak-anak pemulung, dan sosialisasi adanya lembaga kesehatan cuma-cuma untuk meringankan beban hidup pemulung, khususnya pemulung di Desa Kedaung dengan kemudahan administrasi. Kondisi sosial ekonomi masyarakat perdesaan, baik di sektor pertanian maupun di sektor industri, baik industri kecil maupun industri rumahtangga serta perbaikan pada sistem agribisnis perlu diperhatikan dan dikaji secara mendalam oleh pemerintah dan akademisi. Untuk para akademisi, perlunya penelitian lebih lanjut mengenai program kesejahteraan yang lebih bersifat lokal dan spesifik jenis pekerjaan, baik di daerah yang menjadi tujuan pemulung, maupun daeah asalnya. Selain itu, perlunya program pemberdayaan yang melibatkan seluruh aspek masyarakat, pemerintah dan kalangan akademisi untuk meningkatkan kemampuan

130 pemulung dalam hal mentalitas usaha dan hidup, serta rohaninya untuk meningkatkan kapabilitas diri pemulung dan kesejahteraannya. Sebagai saran untuk penelitian lanjutan, aspek kepemilikan tempat tinggal atau rumah responden perlu dipertimbangkan dalam mengkaji kesejahteraan pemulung. Mengingat pemulung adalah migran, maka salah satu kriteria ksesejahteraan menurut BKKBN 2003 yaitu bagian terluas dari ruangan bukan tanah, perlu untuk dicermati lagi.

131 DAFTAR PUSTAKA Adi, Isbandi R. 2004. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Pengantar pada Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan. Fisip UI Press. Jakarta. Anderson, James H. 1998. The Size, Origins, and Character of Mongolia’s Informal Sector during the Transition. World Bank. Washington. BKKBN 2003. Kamus Istilah Kependudukan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. BKKBN. Jakarta. BPS 2002. Statistik Kesejahteraan Rakyat. BPS. Jakarta. Chandrakirana, Kamala dan Isono Sadoko 1994. Dinamika Ekonomi Informal di Jakarta: Industri Daur Ulang, Angkutan Becak, dan Dagang Kakilima. UI Press. Jakarta. Desiar, Rusman 2003. Dampak Migrasi terhadap Pengangguran dan Sektor Informal di DKI Jakarta. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Damanhuri, Didin S. 1983. ‘Strategi Pembangunan dan Tumbuhnya Sektor Informal: Strategi Pembangunan yang Dianut di Indonesia’, makalah disampaikan dalam Pertemuan Berkala Kelompok Studi Pengembangan Sumberdaya Keluarga. Jurusan GMSK Faperta – IPB. 3 April. Firdaus, Yulian 2005. http://yulian.firdaus.or.id/2005/03/24/materialisme-uang/. Diakses pada tanggal 23 Mei 2005. Forum Keprihatinan Akademisi 2003. ‘Menata Kembali Hak Warga Negara’. Sriwijaya Post. 11 Nopember. Hart, Keith 1985. “Sektor Informal” dalam Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi (ed). Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. PT Gramedia. Jakarta. Herujito, Yayat M. 2001. Dasar-dasar Manajemen. Penerbit PT Grasindo. Jakarta. Jhingan, M.L. 2003. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Penerjemah D. Guritno. Cet. 9. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Kartono, Kartini 1981. Psikologi Sosial Perusahaan dan Industri. C.V. Rajawali. Jakarta. Koentjoroningrat 1974. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. PT Gramedia. Jakarta. Nainggolan, A. Edison 2004. Beranikah Capres Bicara Pengangguran. www.indomedia.com/sripo/2004/03/24/2403op1.htm. Diakses pada tanggal 11 Desember 2004.

132 Permanasari, Indira 2003. ‘Kehidupan Lain yang Terabaikan’. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/31/jatim/340653.htm. Diakses pada tanggal 12 Desember 2004. Pramuwito, C. 1992. Penelitian tentang Karakteristik Perilaku Pemulung di Kotamadya Yogyakarta. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kessos. Yogyakarta Rustiadi, Ernan 2004. ‘Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Pembangunan Berimbang’ dalam Workshop Pengembangan Agopolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Wilayah Secara Berkembang. Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah IPB. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saefuddin, Ahmad M. 1986. ‘Kualitas Sumberdaya Indonesia’ dalam Laporan Lokakarya: Dinamika Wanita yang Berusaha di Sektor Informal. Pusat Pengembangan Studi Wanita. Jakarta. Santoso, Ferry 2000. ‘Ekonomi Pemulung, Bukan Cuma Urusan Isi Perut’. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0010/26/ekonomi/ekon32.htm. 24 Oktober. Diakses pada tanggal 6 Februari 2005. Sethurahman, S. V. 1985. “Sektor Informal di Negara Sedang Berkembang” dalam Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi (ed). Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. PT Gramedia. Jakarta. Simanjuntak, R.L. 2002. Tinjauan Tentang Fenomena Pemulung dan Penanganan Sampah di Wilayah DKI Jakarta dan Bantar Gebang Bekasi. Thesis. Program Sosiologi Pedesaan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia. Situs Bapedal Jawa Timur. ‘Sampah, Kepedulian, Bersama Masyarakat dan Pemerintah: SanitaryLandfill.’ http://www.bapedal-jatim.go.id. Diakses pada tanggal 6 Februari 2005. Sjahrir, Kartini. 1986. ‘Sektor Informal: Katup Pengaman Ekonomi Indonesia’. Laporan Lokakarya: Dinamika Wanita yang Berusaha di Sektor Informal. Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita. Jakarta. ____________. 1995. Pasar Tenaga Kerja Indonesia: Kasus Sektor Konstruksi. PT Pustaka Utama Grafiti. Jakarta. Sudaryanto 1986. Studi Tentang Tingkat Kesejahteraan Blandong Pada Perusahaan Hutan Jati Perum Perhutani. Laporan Penelitian. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sudjadi, Anton 2004. ‘Tolok Ukur dan Jumlah Orang Miskin’. www.pu.go.id.htm. Diakses pada tanggal 23 Mei 2005.

133 Suhendratio, Hendi 2005. ‘Bakal Mendapat Dana Kompensasi: Siapa Sih Penduduk Miskin Itu?’. www.detikfinance.com. Diakses pada tanggal 19 September 2005. Sukesi, Keppi 2002. “Upaya Memperbaiki Kondisi Pekerja Sektor Informal melalui Jaminan Sosial”. Jurnal Analisis Sosial Vol 8, No 3 Desember 2003. Hal: 35 – 58. Yayasan AKATIGA. Bandung. Suwartika, Rika 2003. Struktur Modal Usaha dan Fungsi Modal Sosial dalam Strategi Bertahan Hidup Pekerja Migran di Sektor Informal (Studi Kasus Kecamatan Pelabuhan Ratu dan Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tambunan, T. T. H. 2001. Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang : Kasus Indonesia. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Todaro, M.P dan Stephen C. Smith 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Alih Bahasa, Haris Munandar, Puji A.L. Editor, Wisnu C. Kristiaji. Erlangga. Jakarta. Twikromo, Y. Argo 1999. Pemulung Jalanan: Konstruksi dan Marginalitas dan Perjuangan Hidup dalam Bayang-Bayang Budaya Dominan. Penerbit Media Pressindo. Yogyakarta. Wie, Thee Kian 1981. Pemerataan Kemiskinan Ketimpangan. Penerbit Sinar Harapan. Jakarta. Wibowo, Priyanto 2002. Pekerja Sektor Informal: Pelaku Ekonomi yang Terabaikan. www. nakertrans.go.id. Diakses pada tanggal 11 Desember 2004. Wirakartakusumah, M. Djuhari 1998. Bayang-bayang Ekonomi Klasik Diluar Kurikulum Akedemik. Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Zanden, James W. Vander. 1984. Social Psycology. Random House Inc. New York

134

135 Lampiran 1. Peta Desa Kedaung Desa Sawah

Desa Ciputat

Desa Serua Indah

Desa Bambu Apus

Wilayah Pemukiman Pemulung Di Desa Kedaung, Kecamatan Pamulang, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten

136 Lampiran 2. Kuesioner dan Panduan Wawancara Nama pewawancara : Tanggal wawancara :

No. Responden:

Identitas Responden 1. Nama : 2. Alamat : 3. Usia & Tempat lahir : 4. TTL : 5. Agama : a. Islam d. Budha b. Kristen Protestan e. Hindu c. Kristen Katolik f. Aliran Kepercayaan 6. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan 7. Pendidikan Formal : a. Tidak sekolah d. Tamat SMP/Tsanawiyah b. Tidak tamat SD/ibtidaiyah e. Tamat SMU/Kejuruan c. Tamat SD/ibtidaiyah f. Perguruan Tinggi 8. Asal Daerah Desa/ kota ............................Kabupaten...............................Propinsi............... Tempat tinggal sebelumnya sebelum tinggal di lapak ini................................... 9. Apakah di daerah asal, anda pernah bekerja? a. Ya b. Tidak Bila tidak, alasannya adalah ............................ Bila iya, apakah pekerjaan anda tersebut? 10. Menurut anda pekerjaan anda di daerah asal tersebut: a. Menguntungkan b. Biasa saja c. Tidak menguntungkan 11. Struktur rumahtangga responden Status dalam No. Nama Usia rumah tangga

1.

Pekerjaan di daerah Penghasilan asal

Pendidikan

a

b

c

d

e

f 1. .......

1. ..........

Pekerjaan saat ini (utama Penghasilan dan sampingan)

1. ........

1. ...........

12. Alasan meninggalkan pekerjaan di daerah asal: a. Tidak menguntungkan, sehingga penghasilan yang diperoleh tidak mampu mencukupi kebutuhan b. Adanya bencana alam di daerah asal c. Untuk mendapatkan prestise dari masyarakat di daerah asal d. Ppekerjaan di kota menjanjikan adanya perbaikan hidup e. Alasan lainnya.............................................................................................. Berapa kali pernah pindah lokasi atau tempat tinggal? ................

137 13. Pernahkah anda mengikuti kursus keterampilan? a. Ya b. Tidak bila pernah, sebutkan kursus keterampilan yang pernah diikuti 1. .......................................... 2. .............................................. 14. Berapa modal yang anda bawa untuk bekerja di Jakarta a. Tidak ada modal d. Rp300.000-Rp500.000 b. < Rp100.000 e. Lainnya sebutkan ............... c. Rp100.000-Rp300.000 15. Sebelum memilih pekerjaan memulung, pernahkah mencoba pekerjaan lainnya? a. Pernah b. Tidak pernah Bila pernah, pekerjaan apa saja yang telah anda coba? 1. ................................. 2. ................................. Pekerjaan anda sebelumnya adalah ............................ 16. Alasan anda memilih pekerjaan memulung a. Tidak memerlukan persyaratan tertentu seperti pendidikan, keterampilan dan modal b. Dapat bekerja secara bebas (tidak terkekang) c. Terdesak untuk mencari pekerjaan secepat mungkin d. Adanya relasi yang telah bekerja di kota e. Lain-lain, sebutkan ................................................................................... 17. Senangkah anda dengan pekerjaan (memulung) ini? a. Sangat senang b. Biasa saja c. Tidak senang Alasan anda menjawab demikian adalah .......................................................... 18. Sudah berapa ama anda menjadi pemulung? a. < 1 tahun b. 1-3 tahun c. > 3 tahun Hubungan kerja dan sosial pemulung 19. Apakah anda sering silaturahmi ke tetangga anda? a. Sering b. Biasa saja c. Jarang 20. Apakah sering mengadakan musyawarah bersama teman-teman pemulung dan lapak? a. Sering b. Biasa saja c. Jarang 21. Apakah anda sering mendengarkan keluhan teman anda serta memberikan solusi untuknya? a. Sering b. Biasa saja c. Jarang 22. Seringkah anda berbincang-bincang dengan masyarakat sekitar? a. Tidak pernah sama sekali b. Jarang c. Sering

138 23. Apakah anda senang bisa berbincang-bincang dengan mereka? a. senang b. biasa saja c. tidak senang Alasan anda memilih jawaban tersebut adalah ................................................. 24. Apakah ada kelompok-kelompok tertentu seperti misalnya arisan, siskamling? a. Ya b. Tidak Bila iya, apakah anda ikut berperan serta? a. Ya b. Tidak Bila iya, sebutkan kelompok-kelompok yang sedang anda ikuti: 1. ................................. 2 .................................... Bila tidak, alasannya adalah ............................................................................ 25. Menurut anda, apakah penerimaan anda sebagai pemulung disambut dengan baik oleh masyarakat sekitar? a. baik b. biasa saja c. tidak baik Menurut anda, alasan masyarakat sekitar berlaku demikian adalah 1. ...................................... 2. ....................................... 26. Adakah peraturan atau kesepakatan dalam memulung diantara para pemulung? a. ada b. Tidak ada Bila ada, sebutkan: 1. ........................................... 2. ........................................... 27. Seringkah anda bertemu dengan lapak anda di luar jam kerja anda? a. Tidak pernah sama sekali b. Jarang c. Sering Mengapa anda memilih jawaban tersebut? 1. ........................................... 2. ........................................... 28. Menurut anda, apakah penerimaan anda sebagai pemulung disambut dengan baik oleh lapak? a. Baik b. Biasa saja c. Tidak baik Menurut anda, alasan masyarakat sekitar berlaku demikian adalah 1. ...................................... 2. ....................................... 29. Adakah peraturan atau kesepakatan dalam memulung diantara para lapak dan pemulung? a. ada b. Tidak ada Bila ada, sebutkan: 1. ...................... 2. ............................... 30. Seberapa sering anda pulang ke kampung halaman anda? a. Belum pernah sama sekali b. Lainnya, sebutkan ............. Bila belum pernah pulang sama sekali, maka alasan tidak pernah pulang adalah .................................. 31. Alasan apa yang membuat anda pulang ke daerah asal? a. Rindu dengan keluarga b. Memberi info tentang adanya kesempatan bekerja di kota kepada saudara yang lain c. Mengerjakan kebunnya/ lahan pertanian

139 d. Mengajak keluarga atau tetangganya untuk ikut bekerja di tempat anda bekerja. e. Alasan lain, sebutkan............................... 32. Apakah anda mengirimkan sering memberikan hasil jerih payah anda ke keluarga di daerah asal anda? a. Sering b. Jarang c. Tidak pernah Alasan anda bertindak demikian karena ............................ 33. Bila pernah mengirimkan uang, berapa uang yang anda kirim untuk keluarga anda di daerah asal? a. Tidak pernah mengirimkan uang sama sekali b. Jawaban lain, .................................... 34. Jika anda pernah mengirimkan uang untuk keluarga atau kerabat anda di daerah asal, biasanya anda mengirimkannya dalam kurun waktu: a. < dari sebulan sekali b. Jawaban lainnya, ................... 35. Seringkah anda berhubungan dengan pegawai Desa, untuk mengurusi administrasi? a. Tidak pernah sama sekali b. Jarang c. Sering 36. Apakah anda akan merasa nyaman bila berhubungan ataupun berbincang-bincang dengan pegawai Desa? a. Nyaman b. Biasa saja c. Tidak nyaman Alasan anda memilih jawaban tersebut adalah ................................................. 37. Apakah ada kelompok-kelompok tertentu yang dibentuk pemerintah untuk warga pemulung? a. Ya b.Tidak Bila iya, sebutkan kelompok-kelompok yang pernah atau sedang anda ikuti: 1. ...................................................... 2. ....................................................... 38. Menurut anda, apakah penerimaan anda sebagai pemulung disambut dengan baik oleh pemerintah setempat? a. baik b. biasa saja c. tidak baik Menurut anda, alasan masyarakat sekitar berlaku demikian adalah 1. ...................................... 2. ....................................... 39. Sepengetahuan anda, adakah peraturan atau kesepakatan dalam memulung antara para pemulung dengan pemerintah setempat? a. Ada b. Tidak ada Bila ada, sebutkan: 1. ........................................... 2. .......................................... 40. Seringkah anda bertemu dengan pegawai desa di luar jam kerja anda? a. Tidak pernah sama sekali c. Sering b. Jarang Mengapa anda memilih jawaban tersebut? 1. ........................................... 2. .......................................... Bila ada, apa keperluan anda di jam-jam tersebut? 1. ............................................ 2. ...........................................

140 Karakteristik Kerja Pemulung 41. Apakah anda bekerja tiap hari dalam seminggu? a. Ya b. Tidak Berapa hari anda bekerja dalam seminggu? ..................................... 42. Jam berapa anda berangkat kerja dan jam berapa anda pulang kembali? ............................................................................................................ 43. Motivasi anda memilih bekerja sebagai pemulung adalah a. Memenuhi kebutuhan pangan, pakaian dan tempat tinggal b. Untuk dapat diterima menjadi anggota masyarakat tertentu dan ingin ikut aktif dalam berbagai kegiatan c. Untuk menjadi kebanggaan bagi kerabat di desa bahwa anda telah bekerja di kota d. Jawaban lain, .................................................................................... 44. Barang-barang yang dipulung itu adalah ............. Rata-rata jumlah barang yang diambil dalam sehari sebanyak ....................... 45. Dari memulung, penghasilan rata-rata tiap bulannya sebesar: Rp.................. Kesejahteraan Pemulung 46. Adakah sumber penghasilan lain selain dari pemulung? a. Ada b. Tidak ada Jika ada, berapa kira-kira penghasilan yang didapat dari pekerjaan tersebut? Sebutkan masing-masing pekerjaan dan penghasilannya! Anggota rumahtangga Jenis pekerjaan Jumlah penghasilan 1. ............................... - ................................ - Rp............................... Jika tidak ada, apakah penghasilan dari memulung saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? 47. Berapa rata-rata pengeluaran total pemulung/rumahtangga dalam sebulan? 48. Berapa rata-rata pengeluaran makan pemulung/rumahtangga per bulannya? 49. Apakah anda mempunyai anak? a. Ya b. Tidak 50. Apakah anak anda sekolah? a. Ya b. Tidak Alasan mengapa anak anda sekolah atau tidak sekolah adalah 1. .................................. 2. .................................. 51. Beri tanda pada beberapa peralatan rumahtangga yang anda miliki: a. TV d. Kompor minyak b. Kulkas e. VCD c. Kompor gas f. Lainnya............ 52. Bila anda sakit, fasilitas kesehatan apa yang anda gunakan? a. Dokter b. Dukun c. Puskesmas d. Lainnya..................... 53. Keluhan kesehatan apa yang anda rasakan dalam sebulan ini? ............................. Jika penyakit yang diderita serius, apakah anda sempat masuk rumah sakit? ............................. Jika iya, maka berapa lama anda menginap? ..............................

141 54. Darimanakah sumber air minum anda? a. Air ledeng b. Air tanah c. Membeli air mentah 55. Berdasarkan pengalaman anda selama ini, apakah sekolah itu penting? a. Penting b. Biasa saja c. Tidak penting Mengapa demikian? 1. ......................................... 2......................................... 56. Berapakah luas tempat tinggal ini dan bagaimanakah status tempat tinggal? Indikator kesejahteraan dari BKKBN 57. Apakah anda rutin melaksanakan ibadah sesuai agama yang anda anut. 58. Apakah anda makan dua kali sehari atau lebih. 59. Apakah anda mempunyai pakaian yang berbeda-beda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian. 60. Bagian terluas dari lantai bukan tanah. (Pengamatan) 61. Bila anak atau anggota keluarga sakit, mereka akan dibawa ke sarana kesehatan/ petugas kesehatan. 62. Paling kurang sekali seminggu makan menyediakan daging/ikan/telur sebagai lauk pauk. 63. Apakah anda mempunyai paling kurang satu stel pakaian baru setahun terakhir. 64. Luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni rumah. 65. Seluruh anggota rumahtangga dalam tiga bulan terakhir dalam keadaan sehat, sehingga dapat melaksanakan tugas atau fungsi masing-masing. 66. Apakah anda memperoleh penghasilan tetap. 67. Apakah anda bisa membaca tulisan latin. 68. Bila anda mempunyai anak berusia 6-15 tahun, apakah saat ini anak anda tersebut, anda sekolahkan. 69. Apakah anda memiliki tabungan?

Ya Tidak

142 Panduan Wawancara Pertanyaan untuk pemulung 1. Mengapa anda memutuskan untuk meninggalkan daerah asal? Apakah karena pertanian yang tidak lagi menguntungkan? Bagaimana pula dengan keluarga yang anda tinggalkan? Apakah mereka anda ajak juga? 2. Apakah menjadi pemulung sudah menjadi rencana awal ketika anda berencana pindah ke kota? 3. Dapatkah anda ceriterakan riwayat perpindahan tempat tinggal dan pekerjaan anda? 4. Kenapa akhirnya anda bisa bekerja menjadi pemulung di Desa Kedaung ini? 5. Inginkah anda berganti profesi lain? Mengapa? 6. menurut anda, apa tanggapan anda mengenai masyarakat sekitar? Apakah anda merasa nyaman dan aman hidup berdampingan dengan mereka? Apakah anda mengetahui bahwa dalam memulung sebenarnya terdapat aturan-aturan tidak tertulis, misalnya jangan mengambil barang yang masih terdapat dalam rumah seseorang, dan sebagainya? 7. Bagaimana tanggapan anda mengenai pemulung yang tidak jujur, yang merusak? Apakah pemulung ini dapat merusak kepercayaan masyarakat sekitar terhadap pemulung pada umumnya? Bila ada pemulung yang tidak jujur, tindakan apa yang akan dilakukan anda dan teman-teman anda? 8. Apakah ada preman yang mengganggu kenyamanan hubungan sosial anda? 9. Apakah ada pungutan uang keamanan? 10. Apakah anda memiliki KTP? Dapatkah anda ceriterakan bagaimana anda memiliki atau tidak memiliki KTP tersebut? 11. Sejauh mana hubungan anda (pemulung) dengan lapak? Fasilitas apa saja yang lapak berikan kepada anda? Apakah tempat tinggal dan alat yang digunakan untuk memulung termasuk sebagian dari fasilitas yang lapak berikan? Adakah jasa lainnya yang lapak berikan, misal memberi pinjaman uang, membantu memecahkan kerumitan masalah sehari-hari? 12. Sebagai balas jasa atas tindakan lapak, apa yang anda berikan untuk lapak? 13. Pernahkah anda tidak menyukai cara lapak memperlakukan anda? Bila pernah, apakah yang anda tidak sukai dari car lapak tersebut? 14. Apakah lapak membatasi jam kerja anda dalam memulung? 15. Dalam sehari anda bisa dapat berapa kilogram dan jenis barang pulungan yang biasa didapat apa saja? 16. Apakah lapak tersebut yang memperkenalkan pekerjaan menjadi pemulung ini kepada anda? 17. Apakah lapak tersebut berasal dari satu daerah dengan anda? Apa ia termasuk keluarga anda? 18. Apakah ada kesepakatan diantara pemulung mengenai wilayah pemulung bekerja? 19. Dapatkah anda ceritakan secara rinci penghasilan anda selama ini didapat dari hasil bekerja apa saja? Dapatkah pula anda terangkan secara rinci untuk penggunaan apa saja uang tersebut? 20. Apakah anda merasa sejahtera? Mengapa demikian?

143 Pertanyaan untuk lapak 1. Apakah sebelumnya anda pernah menjadi pemulung? 2. Dapatkah anda ceriterakan bagaimana anda kini dapat menjadi seorang lapak? 3. Bagaimana awalnya anda merekrut pemulung sebagai “anak buah” anda? Apakah ada syarat khusus dalam menarik pemulung? 4. Apakah peranan anda dalam usaha ini? 5. Bagaimanakah sistem pembagian hasil dengan pemulung atau bagaimanakah cara anda menetapkan penghasilan pemulung? 6. Fasilitas apa saja yang telah anda berikan kepada pemulung? 7. Sejauh mana hubungan sosial anda dengan pemulung? 8. Berapa jumlah pemulung yang menjadi anak buah Anda? Berapa orang anggota yang sedaerah dengan anda dan berapa yang tidak sedaerah dengan anda? 9. Bagaimanakah sistem usaha jaringan daur ulang ini? 10. Barang-barang pulungan apa saja yang dapat diterima? Beapa masing-masing harga pe kilonya? 11. Setahu anda, pernahkah ada lapak yang gulung tikar? Mengapa? 12. Bagaimana harapan anda kedepan dari usaha ini? Pertanyaan untuk tokoh masyarakat dan masyarakat sekitar 1. Bagaimana tanggapan anda mengenai pemulung? Apakah anda merasa terganggu dengan kehadian pemulung yang sering melewati daerah anda? Apakah anda merasa terganggu bahwa ada pemukiman pemulung di sekitar tempat tinggal anda? Mengapa demikian? 2. Apakah anda merasa kehadiran pemulung sangat bermanfaat bagi anda? Mengapa demikian? 3. Apakah anda sering berinteraksi dengan pemulung? 4. Apakah disini ada kelompok-kelompok pengajian, arisan, karang taruna ataupun pernah ada kerja bakti dan sebagainya? Bila ada,apakah apemulung pernah dilibatkan dalam acara-acara tersebut? Pertanyaan untuk pihak desa 1. Bagaimana tanggapan anda mengenai makin maraknya pemulung di desa anda? 2. Apa tanggapan anda mengenai pemulung? Mengapa demikian? 3. Seberapa penting pemulung bagi masyarakat? 4. Setahu anda, keberadaan pemulung disini apakah legal? Mengapa? 5. Kapan seseorang harus membuat KTP musiman? Apa sajakah syaratnya? 6. Adakah rencana program untuk meningkatkan kesejahteraan hidup pemulung? 7. Bagaimana harapan ke depan terhadap keberadaan pemulung? 8. Menurut anda bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap pemulung?

144 Lampiran 3. Hasil Wawancara a.

Hasil wawancara dengan Pemulung (Andi, laki-laki, 18 tahun, bertempat di Lapak Anin) 5 Juli 2005

Alasan saya meninggalkan kampung halaman hanya untuk mencari pengalaman. Keluarga saya kebetulan juga meninggalkan desa, bahkan yang mengajak kami adalah bapak. Pindah ke kota sudah menjadi rencana bapak saya sejak awal, karena di desa saya semua warga sudah bekerja seperti ini. Riwayat pekerjaan sebelum saya jadi pemulung adalah sebelum pindah ke kota saya masih menganggur. Pada umur 8 tahun saya diajak bapak ke kota untuk bantu-bantu bapak jadi tukang sampah kemudian dari situ saya baru tahu ada profesi pemulung dari teman-teman saya. Pertama kali keluar desa, saya ke Cipete bersama bapak. Di sana saya mulung 2 tahun. Kemudian pindah mulung ke Kalimalang 2 tahun dan mulai sendiri. Kemudian pindah lagi ke Pamulang 1 tahun, Cilangka 1 tahun, dan terakhir di Kedaung, 1 tahun di lapak Anin dan 1 tahun ini di lapak Edi. Dengan Pak Anin masih keluarga saya, tapi saya tidak selalu ikut dia. Selama ini saya memang sering pindah-pindah, cari pengalaman di tempat baru. Kira-kira sudah sekitar 7 kali pindah. Kadang-kadang cuma setahun atau dua tahun tinggal di bos trus pindah lagi ke tempat lain. Saya pindah karena yah cari pengalaman dan cari tawaran harga yang lebih tinggi, kadang saya pindah karena saya gak cocok sama bosnya, misal bos suka membanding-bandingkan saya dengan pemulung lain Kenapa saya mulung di Desa Kedaung karena saya tahunya dari bapak saya. Bapak saya salah satu lapak di Desa Kedaung. Tapi saya tidak ikut bapak saya, saya mau coba di lain tempat saja. Menjadi pemulung itu senang dan susah. Senangnya karena banyak temannya. Tetapi susahnya karena kadang-kadang dalam sehari tidak ada penghasilan. Tapi lumayan, dalam sebulan kalau dihitung-hitung kurang lebih bisa dapat Rp300.000-an. Untuk makannya sendiri saja kurang lebih habis Rp10.000,00 per hari. Kalau dalam sebulan bisa nabung, biasanya saya dalam sebulan bisa beli minimal 1 baju. Menurut saya, masyarakat bersikap biasa-biasa saja, selama ini tidak ada masalah dengan masyarakat. Yah, kita jujur saja. Kalau jujur, masyarakat juga bersikap baik dengan kita. Kalu ada pemulung yang enggak jujur, kita harus nasehatin, soalnya bisa merusak kepercayaan masyarakat. Oh iya, pernah ada preman yang mengganggu kehidupan kami. Preman tersebut warga masyarakat sekitar sini. Biasanya kalo gak minta uang di minta rokok. Selama ini dari RT setempat ada pungutan keamanan, tapi dimintanya ke lapak. Bayarnya Rp5.000,00 Mengenai KTP musiman, saya belum pernah mendengarnya, dan saya juga tidak tahu kalau saya sebagai pendatang ternyata harus buat. Selama ini saya cukup dekat hubungannya saya dengan lapak. Kalau susah kadang kita suka dibantu. Fasilitas yang diberikan adalah tempat tinggal, air minum putih kadang kopi, kamar mandi (umum). Tetapi kadang ketika sedang sulit, lapak tidak terlalu membantu, memang terkadang dia beri kita obat tapi nantinya kita harus ganti. Trus, listrik dan air juga bayar walaupun tidak besar. Kalau ditempat lain tidak bayar. Tetapi bagaimanapun kita sudah dibantu oleh lapak. Sebagai balas jasa, biasanya anak buah ikut membantu kerja bakti, bantu bos ketika dia buat rumah (bedeng) baru, dan membuat sumur. Hubungan saya dengan lapak (bos) sebenarnya baik, tapi sikap bos membuat saya merasa tidak suka, misanya kadang bos pernah membandingkan saya dengan

145 orang lain. Biasanya kalau baik di mata bos, kita suka dikasih makan dan THR. Mengenai jam kerja dan hari kerja, bos tidak pernah meminta kita untuk bekerja berapa lama, terserah kita saja yang mau mulung. Dalam sehari biasany saya bisa dapat lebihdari 5 kilogram. Barang-barang yang saya kumpulkan biasanya adalah kardus, aqua gelas, dan lain-lain. Selama ini dalam memulung tidak ada kesepakatan antara sesama pemulung. Paling adanya dalam hal wilayah. Misal, saya sudah menemukan tempat bagus untuk meulung, kebetulan rumah yang saya lewati sedang melakukan pembongkaran, maka secara tidak langsung, teman-teman saya sudah tahu bahwa itu adalah jatahnya saya. Kalau ditanyakan mengenai sejahtera atau tidak, saya merasa biasa-biasa saja, karena kadang-kadang penghasilan mencukupi kebutuhan sahari-hari bahkan lebih, namun kadang-kadang pula saya tidak punya uang, sehingga harus mengutang kepada bos. Tapi selama ini, uang yang ada baik sedikit ataupun banyak saya cukup-cukupin saja. b.

Hasil wawancara dengan Lapak Kadi (bertempat di RT05/RW10) 16 Mei 2005

Saya berasal dari Brebes, Selatri. Saya menggeluti usaha ini selama 4 tahun. Pertama kali ke Jakarta (Ancol) pada tahun 1998. Menjadi bos bajaj dengan anak buah yang mencapai 200-an orang. Bajaj tersebut ia sewa untuk dikerjakan oleh orang lain. Namun karena uang sewa tempat atau lokasi usaha bajaj semakin lama semakin mahal, sedangkan penghasilan semakin lama semakin menurun membuat saya berhenti usaha di bidang ini. Saya punya rencana lain yaitu bekerja sebagai pemulung. Setelah itu, pulang kampung untuk meminta izin istri dan mengambil tabungan sebesar Rp200.000,00. Uang tersebut digunakan untuk bekerja kembali di Jakarta. Saya pun bekerja sebagai pemulung. Suatu hari saya dipercaya untuk membantu bosnya mengantarkan barang pulungan ke perusahaan. Saya penasaran. Dalam hati, saya pun menginginkan pekerjaan seperti itu, yaitu menjadi lapak (bos pemulung). Suatu hari saya datang ke perusahaan tersebut dan mengaku sebagai seorang lapak yang hendak menjual barang bekas. Pihak perusahaan pun tak curiga. Dengan serta merta perusahaan memberikan penjelasan mengenai harga-harga barang yang dibelinya dari lapak. Dengan membandingkan harga beli lapak dan harga beli perusahaan terhadap barang bekas tadi, saya mengetahui bahwa lapak memperoleh keuntungan yang cukup besar dibandingkan dengan memulung, walaupun membutuhkan pula modal yang cukup banyak. Setelah mempelajari secara diam-diam, saya pun akhirnya keluar dari lapak tersebut dan membuka lapak sendiri dengan tempat yang berbeda dengan bos. Namun menjadi lapak sangat membutuhkan kehadiran anak buah (pemulung). Oleh karena itu, awalnya saya mulai mengajak saudara-saudara ataupun tetangganya untuk bekerja pada saya. Mereka pun mau bahkan ada beberapa dari mereka menawari diri untuk bekerja pada saya. Setelah beberapa lama usaha ini berjalan, saya tidak lagi mengajak mereka kerja untuk saya, melainkan mereka sendiri yang menawari diri kerja untuk saya. Biasanya kalau baru sampai kota, mereka tinggal dengan saya. Saya sediakan bedeng untuk tidur dan makan untuk hari-hari pertama saja. Setelah sampai mereka bisa langsung bekerja sambil belajar ke pemulung lainnya. Namun, setelah beberapa bulan bekerja dengan saya, terserah mereka aja mau tetap ikut dengan saya atau pindah bos. Itu tidak masalah, karena yah begitulah usaha seperti ini. Kita tidak bisa menahan mereka untuk tidak pindah ke tempat lain

146 Ketika usaha ini mulai memberikan hasil, saya pun mengajak istri dan anak-anak. Dua anak saya kini sudah menikah dan sekarang pun saya mempunyai cucu. Namun salah satu anak saya tidak tinggal lagi bersama saya. Anak tersebut pindah karena mengingat kondisi kebersihan yang tidak mendukung untuk perkembangan dan kesehatan bayi saya yang baru lahir. Kini anak buah saya sudah puluhan dan berasal dari bermacam-macam daerah. Ada yang berasal dari Cepu, Semarang, Pekalongan, dan sebagainya. Oleh karena hubungan yang akrab, saya sekaringkali menyebut anak buah saya sebagai anak-anak. Dalam sehari, “anak-anak” tersebut mendapat penghasilan dalam kisaran Rp15.000,00 sampai dengan Rp35.000,00. Dalam setiap transaksi menggunakan nota. Di dalam nota tersebut terdapat istilah “Ron” untuk menyebut rongsokan. Pada saat ini terdapat kurang lebih 20 orang pemulung. Dalam kondisi normal bisa mencapai 60 orang. Jumlah tersebut menyusut karena kurang lebih 40 orang ini melakukan panen di padi di desanya. Dari panen padi ini dilanjutkan dengan menanam bawang merah. Setiap sore, antara lapak dan pemulung saling bertemu, karena pada sore inilah pemulung menyetor barang pulungannya kepada lapak. Setiap orang rata-rata memperoleh 50 kg yang setara dengan Rp75.000,00. Tak jauh dari saya, terdapat industri pengolahan plastik Aqua karena industri ini berlaku curang. Menurutnya, bila ada lapak jauh yang menjual plastik tersebut kepada industri tersebut maka akan dibeli dengan harga yang jauh lebih tinggi dibanding kepada saya. Oleh karena itu, saya lebih senang menjual plastik bekas ”aqua” kepada industri yang lebih jauh dibanding industri yang ada di dekatnya ini, karena bagaimanapun walapun terkena biaya transportasi, harga yang diterimanya dari industri pengolahan plastik yang agak jauh ini lebih besar dibanding dengan dengan yang ada disini. Tapi terkadang industri yang dekat ini minta saya untuk menyerahkan barang pulungan pak Kadi kepada industri tersebut karena merasa tidak enak, maka terkadang saya pun menyerahkan juga barangnya kepadanya. * Informasi tambahan : sewa tempat sebagai tempat usaha barang pulungan ini sebesar Rp15.000.000 untuk tiga tahun. Pak Kadi sudah empat tahun berkecimpung di bidang ini. Namun di lokasi yang baru, baru setahun. Karena pemilik tanah ingin membuat rumah kontrakan. c.

Hasil wawancara dengan Lapak Anin (Bertempat di RT 04/RW12) 8 Juli 2005

Sebelum menjadi seorang lapak, saya pernah menjadi pemulung. Menjadi pemulung iu tidak terlalu menguntungkan, karena sehari tidak bekerja maka untuk kebutuhan esok hari akan sulit tertutupi. Oleh karena itu saya mulai berpikir untuk membuka usaha daur ulang (penyalur barang-barang bekas). Pengalaman menjadi pemulung dan menjadi orang yang dipercaya untuk mengantarkan barang pulungan ke bandar (lapak besar) cukup sebagai bekal untuk membuka usaha ini. Namun ada satu kendala yaitu pemodalan. Akan tetapi kendala ini dapat di atasi dengan menjual sawah yang berada di desa. Saya membuka usaha ini habis Rp17.000.000. Pengeluarannya itu untuk menyewa lahan 5 tahun Rp5.000.000, belum lagi buat bangun bedengan, tempat tinggal, dan sebagainya. Pertama saya buka usaha ini, saya cari teman-teman yang mau ikut kerja sama saya. Akhirnya mereka mau ikut. Kemudian teman-teman saya yang sekarang jadi anak buah saya, kalau ketemu orang (temannya), maka teman tersebut diajaknya untuk ikut memulung apalagi kalau temannya tersebut menganggur.

147 Dalam kerja seperti ini, tidak ada syarat khusus. Anak buah saya awalnya hanya 8 orang, namun sekarang sudah 16 orang. Mereka bukan hanya dari Karawang, tetapi juga ada yang berasal dari Indramayu, Bogor, tetapi lebih banyak yang berasal dari Brebes. Kalau usaha seperti ini, semakin kita kuat modalnya maka semakin banyak pemulung yang kerja untuk kita. Karena dengan banyak modal, kita bisa bayar cash atau tunai ke anak buah ketika waktu penimbangan. Hal ini menarik banyak pemulung untuk kerja kepada lapak seperti itu. Peranan saya sebagai seorang lapak adalah menerima barang pulungan, menyortir barang pulungan bersama istri dan anak saya, membersihkan barang pulungan sebelum saya jual kepada lapak besar, dan memberikan bayaran kepada pemulung. Biasanya mereka menyetor barang-barang sore hari. Pada saat mereka menyetorlah mereka menerima bayaran sesuai dengan berat dari jenis barang yang mereka dapatkan Jadi barang pulungan itu akan ditimbang menurut kelompok jenis barangnya masing-masing. Biasanya mereka baru mulai menimbang bila kelompok jenis barang tertentu sudah terkumpul minimal sekitar satu kilo-an. Bila belum terkumpul, maka mereka cenderung menyimpannya terlebih dahulu. jenis barang pulungan yang biasa kita kumpulkan adalah kertas, kardus, aqua, dan lainnya. Harga untuk jenis barang masing-masing berbeda-beda. Penetapan harga barang per kilonya telah menjadi wewenang saya. Anak buah pun mengerti bila saya mengambil keuntungan karena selainuntuk diri sendiri, keuntungan tersebut juga digunakan untuk membayar uang listrik, keamanan, membeli peralatan-peralatan seperti timbangan, jet pump, dan sebagainya. Untuk air, listrik, dan tempat tinggal mereka tidak bayar, karena itu adalah fasilitas yang saya berikan kepada mereka. Selama ini, hubungan saya dengan anak buah baik-baik saja. Kita saling menegur satu sama lain. Bila ada anak buah yang lalai atau malas, kita menasihatinya. Kita bersikap terbuka dan fair saja. Terkadang kalau mau lebaran, anak buah saya suka saya beri THR, tapi itu seadanya saja. Kalau hubungan kami dengan warga masyarakat sini, selama ini baik. Belum pernah ada keluhan dari masyarakat. Saya usaha seperti ini di desa ini baru setahun. Kalau di tempat sebelumnya (Kampung Sawah sudah 11 tahun). Ketika saya mau buka usaha seperti ini di Desa Kedaung, saya sudah lapor ke RT setempat, RT pun memperbolehkannya. Sampai sekarang hubungan dengan RT baik, bahkan ketika RT sedang mempersiapkan 17 agustus-an, kami sering dimintai tolong oleh warga setempat. Kalau kepada pemerintah Desa Kedaung, saya belum pernah lapor. Selain itu, tidak pernah ada bantuan apapun untuk masyarakat pemulung di sini yang saya terima. Ketika saya buka usaha seperti ini juga di daerah Kampung Sawah, saya pernah menerima bantuan dari pemertintah. Dalam berusaha memang tidak selalu mulus, ada saja orang yang berusaha seperti ini gulung tikar, karena anak buahnya tidak ada. Yang menyebabkan anak buah tidak mau bekerja lagi kepada lapak tertentu karena banyak hal. Salah satunya adalah masalah pembayaran yang tidak lancar. Teman-teman saya banyak juga yang sudah gulung tikar. Harapan saya kedepan adalah adanya perbaikan hidup. Saya ingin usaha saya lebih maju, punya mobil sendiri, dan ingin skala usaha ini lebih besar dari sebelumnya.

148 d.

Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Pak Ismail, ketua RT 05/RW 10 11 Juli 2005

Sebenarnya saya tidak merasa terganggu dengan adanya pemukiman pemulung di dekat wilayah RT 05/RW10, hanya saja saya rasa pekerjaan mereka tidak bermanfaat, hanya mengambil baang-barang di jalanan. Tapi selama ini kehadiran mereka tidak membuat masalah. Saya sering juga mengobrol dengan lapaknya (pak Kadi). Tapi hanya dengan bosnya saja. Kalau dengan anak buahnya jarang. Hubungan warga sini dengan pemulung juga baik, tidak ada masalah. Pada awal dibukanya usaha inipun, sebelumnya bos pemulung itu telah minta izin untuk buka usaha. Selama ini di RT sini sering ada pengajian, arisan, kerja bakti. Tapi hanya pada saat kerja bakti saja kadang-kadang ada yang ikut bergabung. Kalau pada acara-acara lainnya mereka tidak pernah ikut. Sebenarnya warga kami tidak keberatan bila ada pemulung yang ikut bergabung, mungkin mereka saja yang merasa tidak enak. Selama ini RT memiliki uang kas. Pemulung pun sebagai warga RT 04 juga kami mintai sebanyak Rp2.000 per kamar. Uang kas tersebut akan digunakan RT untuk kepentingan bersama seperti bila ada yang sakit, dan sebagainya. Selama saya menjabat menjadi ketua RT, pernah ada yang lapor ingin membuat KTP, tetapi karena tidak ada surat pindah dari daerah asalnya, maka saya tidak dapat membuatkannya. e.

Hasil wawancara dengan pihak desa (Bapak Akieh, Staf Desa) 20 Juni 2005

Tanggapan saya mengenai makin maraknya pemulung di desa ini ada dua sisi yaitu sisi baik dan sisi burukya. Sisi yang bagusnya adalah: 1. dengan adanya pemulung sisa-sisa sampah dapat tertampung oleh mereka (pemulung) terutama sampah-sampah anorganik seperti sampah plastik, besi, dan lain-lain. 2. menambah wirausaha atau membuka peluang kesempatan bekerja bagi mereka yang tidak diterima bekerja disektor formal 3. adanya pemanfaatan limbah. Namun sisi buruknya adalah: 4. pemulung tidak memperhatikan lingkungan hidup, sisa dari barang pulungan sering dibuang sembarangan 5. tidak ada penyuluhan kepada pemulung, misal pemulung harus mengetahui bahwa sisa barang sebaiknya dibuang kemana. Karena ketidaktahuan pemulung ini maka akhirnya mereka membuang sisa barang pulungan sembarangan dan membuat kumuh pemukiman. Hal ini membuat munculnya ketidaknyamanan bagi yang memandangnya. 6. tidak memperhatikan keluarganya ataupun dirinya sendiri, misal kesehatan, pendidikan. 7. terkadang suka minta-minta. Menurut saya, kerja seperti ini dijalani pemulung karena memang tidak ada pekerjaan lain yang tidak membutuhkan syarat-syarat seperti di sektor formal. Bahkan sebagian besar atau dapat dikatakan semua pemulung disini tidak ada yang terdaftar,

149 karena memang tidak ada yang mendaftar. Padahal mereka adalah pendatang dan tinggal di Desa ini ada yang lebih dari 1 tahun. Tetapi bagaimanapun keberadaan pemulung itu penting bagi masyarakat, karena pemulung dapat mengurangi jumlah sampah, mengurangi jumlah pengangguran, dan membantu proses pendaurulangan sampah. Selama ini keberadaan pemulung ilegal, paling yang izin hanya bosnya saja ke RT setempat. Tapi itu juga tidak semua bos melapor. Kalau pemulungnya sendiri tidak ada yang legal keberadaannya. Bos pemulung itu tidak mau disebut sebagai pemulung, tapi mereka lebih suka dipanggil tukang rongsokan. Para pemulung tidak ada yang membuat KTP musiman, padahal pemerintah Desa Kedaung telah menghimbau masyarakat, yaitu dengan cara memberitahukan kepada RT-RT agar dilakukan pendataan terhadap pendatang. Pendatang wajib lapor kepada RT setempat dalam waktu 1 x 24 jam baik itu pribumi (warga asli Desa Kedaung) ataupun nonpribumi (pendatang). Tetapi hal ini sulit dilakukan karena tekait dengan mental manusianya. Syarat membuat KTP musiman adalah fotokopi KTP asal, surat jalan dari kelurahan asal dan pengantar dari RT setempat. Selama ini program untuk pemulung belum pernah ada yang terealisasikan, hanya baru pada tahap perancangan. Jadi bina perindustrian dan perdagangan sebenarnya tengah mencoba menyusun suatu rancangan untuk memberikan bantuan permodalah, sarana dan prasarana terhadap industri daur ulang. Namun untuk merealisasikan sangat sulit menginga pemulung sering berpindah-pindah. Selain itu, ada juga program LKC (Lembaga Kesehatan Cuma-cuma), hanya saja jarang pemulung yang memanfaatkan fasilitas ini, karena salah satu persyaratannya harus punya KTP. Setelah kita mengetahui sisi baik dan buruknya pemulung, maka sikap kita kepada mereka adalah: ƒ waspada, karena memang tidak dapat dipungkiri lagi bawa pemulung terkadang ada yang suka mencuri. Oleh karena itu perlu adanya pembinaan terhadap mental dan rohaninya. ƒ tetap bersikap baik Harapannya kedepan, pemulung dapat lebih memperhatikan keadaan lingkungan dan turut membatu menciptakan lingkungan yang bersih dan indah, seta turut menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman.

150 Lampiran 4. Peta Desa Kedaung dalam Kabupaten Tangerang

Kota Tangerang

Kecamatan Ciputat Desa Kedaung Kecamatan Pamulang

151 Lampiran 5. Perhitungan Reit Pertumbuhan Penduduk Desa Kedaung, 2005 Reit pertumbuhan (r) penduduk Desa Kedaung adalah: Pt = Po (1+r)t Bila diketahui Po (Jumlah penduduk Desa Kedaung sebelumnya) pada tanggal 28 Februari 1998 adalah 16.142 jiwa, dan Pt adalah jumlah penduduk Desa Kedaung paling akhirya yaitu tanggal 6 September 2005, maka reit pertumbuhan penduduk pada 6 September 2005 adalah sebagai berikut: 17.353 jiwa = 16.142 jiwa (1+r)t t = waktu dari tanggal 28 Februari 1998 sampai dengan 6 September 2005 t =7 + 186 hari = 7,51 365 7,51 17.353 jiwa = 16.142 jiwa (1+r) 17353 7,51 log (1+r) = log 16142 17353 log (1+r) = log 16142

7,51 Log (1+r) = log 1,075 7,51 Log (1+r) = 0,04183 (1+r) = 10 (0,04183) r = 1,00968 – 1 r = 0,00968 r = 0,97 %

152 Lampiran 6. Foto-foto Penelitian Foto 6a. Beragam jenis barang pulungan.

Foto 6b (1). Peralatan memulung yang digunakan, terdiri dari ganco, karung, dan gerobak.

153 Foto 6b (2). Ganco

154 Lampiran 7. Daftar Harga Beli dan Jual Barang Pulungan Versi Lapak Ibu Damis (11 Juli 2005) No. 1. 2. 3. 4.

5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.

Jenis Barang yang Dijual per Kilogram Karpet plastik Kaleng Kardus Ember gabruk (merupakan campuran dari: pvc (200), ember yang berwarna (1900), sandal (600), ember pk (ember warna putih)(2100), mainan (plastik jebis botol shampo, handbody, dsb) (2300), naso (seperti toples, botol cuka, dan sejenisnya yang biasanya berwarna putih) (2500), impek (sejenis plastik yang ringkih, biasa plastik buat telepon) (300), paralon (700), ember hitam (700), ember cor (900), kristal (cd) (2000)) Aqua gelas kotor Aqua gelas bersih PE (plastik putih bekas kiloan gula) Aqua bodong (botol) kotor Aqua bodong (botol) bersih Besi super Besi kerompong Panci Rongsok (seperti kaleng bekas soft drink) Tembaga bakar Tembaga kupas Putihan (kertas berbahan dasar putih) Sede (kertas yang biasanya berwarna cokelat) Koran Kuningan Tebel Stainless

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Jenis Barang yang Dijual per Buahnya Majalah Botol kecap Botol bir Sprit liter Boncos Babet (karburator motor) Beling Botol fanta Botol timbang (seperti botol bekas obat batuk)

Harga Beli 500 300 500

Harga Jual 600 500 700

1000 2000 2000 500 1500 1500 1200 1000 8000 6000 20000 22000 600 500 800 8000 8000 6000

1500 2500 3000 700 2000 2900 1500 1300 10000 8500 22000 24000 700 600 900 12000 11000 8500

700 200 400 300 200 3000 125 300 150

800 250 500 400 300 4500 200 350 250

155 Lampiran 8. Kriteria Keluarga Sejahtera Kriteria Keluarga Sejahtera 1

Kriteria Keluarga Sejahtera 2 Lauk Seluruh Luas Sarana Seluruh Pakaian Bagian yang Mempunyai lantai anggota kesehatan terluas anggota yang sering paling tidak rumah ≥ keluarga Makan bagi anggota keluarga digunakan dari Nama Pelaksanaan dalam Rutin dimakan satu stel Penghasilan 10 – 60 8m2 keluarga sehat berbeda- lantai beribadah dalam teratur tahun bisa ibadah sehari untuk sudah pakaian dalam 3 beda untuk bukan seminggu/ baru dalam tiap membaca/ ≥2 menggunakan dari bulan tiap daging/ dokter/unit setahun penghuni menulis terakhir kegiatan tanah ikan telur rumah kesehatan tulisan latin Alung ya ya ya tidak ya tidak ya tidak tidak tidak tidak ya Tarmani ya ya ya tidak ya tidak ya tidak tidak tidak tidak tidak Waid ya ya ya tidak ya tidak ya ya tidak ya tidak ya Wage ya ya ya tidak ya tidak ya tidak tidak ya tidak ya Waswud ya ya ya tidak ya ya ya tidak tidak tidak tidak ya Mulyanto ya ya ya tidak ya tidak ya ya tidak tidak tidak ya Tamo ya ya ya tidak ya tidak tidak ya tidak ya tidak ya Didin ya ya ya tidak ya ya ya ya ya tidak tidak tidak Cartim ya ya ya tidak ya tidak tidak ya tidak ya tidak tidak Surahman ya ya ya tidak ya tidak ya tidak tidak ya tidak tidak Sasti ya ya ya tidak ya tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak Dapan ya ya ya tidak ya tidak ya ya tidak tidak tidak tidak Nanang ya ya ya tidak ya tidak ya ya tidak ya tidak tidak Dasmih ya ya tidak tidak ya ya ya ya tidak tidak tidak tidak Rainah ya ya tidak tidak ya tidak ya tidak tidak tidak tidak tidak Kaspi ya ya ya tidak ya ya ya ya tidak tidak tidak ya Munah ya ya ya tidak ya ya ya ya tidak tidak tidak ya Samad ya ya ya tidak ya tidak tidak ya tidak ya tidak ya Dasuki ya ya ya tidak ya tidak ya ya tidak tidak tidak ya Dakri ya ya ya tidak ya tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak Damiri ya ya ya tidak ya ya ya ya tidak tidak tidak ya Darlan ya ya ya tidak ya tidak ya tidak tidak tidak tidak ya Janna ya ya ya tidak ya tidak ya ya tidak ya tidak ya

Kesimpulan Keluarga prasejahtera sejahtera 1 atau sejahtera 2 prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera prasejahtera

156 Lampiran 9. Daftar Istilah dan Singkatan

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN BPS BKKBN Kerabat Lapak Keluarga pemulung

Bedengan Bedeng

: Badan Pusat Statistik : Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional : orang yang memiliki ikatan persaudaraan, bisa terbentuk karena kedekatan geografis dan tidak selalu harus berhubungan darah. : orang yang menampung barang-barang pemulung dari hasil pulungan para pemulung. : sejumlah orang yang terdiri dari ayah dan ibu atau ayah/ibu dan anak atau yang memiliki hubungan darah yang terdapat dalam satu atap rumah yang minimal salah satu anggota keluarganya bekerja sebagai pemulung : lingkungan tempat tinggal pemulung atau “kompleks” pemulung : kamar pemulung