ANALISIS KEBIJAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN INDONESIA DI NEGARA

Download 2 Feb 2015 ... Indonesia. Meskipun jumlah kasus dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun, namun potensi kerugian yang ditimbulkannya...

0 downloads 519 Views 372KB Size
Analisis:

Analisis Kebijakan Pengamanan Perdagangan Indonesia di Negara Tujuan Ekspor

Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Jakarta – 2013

KATA PENGANTAR Segala puji dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas telah dapat

diselesaikannya penulisan analisis ini dengan baik dan sesuai dengan waktu yang telah

ditetapkan. Analisis Kebijakan Pengamanan Perdagangan Indonesia di Negara Tujuan Ekspor merupakan salah satu kajian yang bersifat jangka pendek yang dilaksanakan oleh Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri pada Tahun Anggaran 2013.

Penulisan analisis didasarkan atas pentingnya peran pemerintah dalam

melindungi industri dalam negeri. Peraturan perdagangan internasional dalam WTO memperkenankan

setiap

negara

untuk

mengenakan

tindakan

pengamanan

perdagangan untuk melindungi produsen domestik dari barang impor pada kondisi

tertentu. Tindakan pengamanan tersebut dapat berupa tindakan anti-damping, safeguard, atau anti-subsidi. Tindakan anti-dumping dan tindakan imbalan ditujukan untuk mengatasi impor yang tidak sehat dari negara tertentu yang masuk ke dalam

pasar domestik, sedangkan safeguard dipergunakan untuk mengatasi lonjakan impor suatu produk (dalam persaingan dagang yang sehat) yang menyebabkan kerugian bagi industri domestik yang memproduksi barang sejenis.

Kami menyadari bahwa analisis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

diharapkan sumbangan pemikiran dari para pembaca sebagai bahan penyempurnaan. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, yang secara langsung dan tidak langsung telah membantu penyelesaian kajian ini. Semoga Analisis

ini akan menggugah pembaca untuk memahami permasalahan perdagangan internasional lebih lanjut.

Jakarta, Desember 2013 Tim Pengkaji

DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN .................................................................................................................................... 1 I.1. Latar Belakang.......................................................................................................................................... 1 I.2. Tujuan Penelitian .................................................................................................................................... 2 I.3. Ruang Lingkup Analisis ........................................................................................................................ 2 I.4. Metodologi Analisis ................................................................................................................................ 3

II. KETENTUAN UMUM TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN DALAM WTO ............ 3 II.1. Ketentuan Umum Anti-Dumping..................................................................................................... 3 II.2. Ketentuan Umum Safeguard ............................................................................................................. 5 II.3. Ketentuan Umum Subsidi dan Tindakan Imbalan .................................................................... 7

III. PERKEMBANGAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN DI DUNIA ...................... 9 III.1. Perkembangan Kasus Anti-Dumping ........................................................................................... 9 II.2. Perkembangan Kasus Safeguard ...................................................................................................13 II.3. Perkembangan Kasus Tindakan Imbalan (Countervailing).................................................15

IV. ANALISIS KEBIJAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN INDONESIA ...............................18 IV.1. Penanganan Kasus-kasus Tindakan Pengamanan Perdagangan yang dikenakan terhadap Indonesia...........................................................................................................................18 IV.2. Studi Kasus Penanganan Tindakan Pengamanan Terhadap Produk Glass Block Indonesia di Pasar Thailand..........................................................................................................21 IV.2. Potensi Dampak Tindakan Pengamanan Perdagangan terhadap Kinerja Ekspor Indonesia ..............................................................................................................................................24 IV.3. Pengalaman Perusahaan-perusahaan Indonesia yang terkena Tindakan Pengamanan Perdagangan di Negara Tujuan Ekspor.........................................................27

V. PENUTUP ..............................................................................................................................................28 V.1. Kesimpulan.............................................................................................................................................29 V.2. Rekomendasi .........................................................................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................................31

ANALISIS KEBIJAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN INDONESIA DI NEGARA TUJUAN EKSPOR I.

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Selama dekade terakhir telah terjadi perubahan signifikan terkait negara-negara

yang menerapkan maupun terkena tindakan pengamanan perdagangan. Hal tersebut

terjadi terutama sejak Putaran Uruguay mengenai perundingan perdagangan

multilateral digulirkan dan perjanjian World Trade Organization (WTO) mengenai

langkah-langkah anti-dumping, tindakan imbalan (countervailing), dan safeguard

diberlakukan. Sebelum Putaran Uruguay, pengguna utama instrumen tersebut adalah negara-negara maju. Namun sejak tahun 1995, negara-negara berkembang menjadi penggguna utama instrumen anti-dumping maupun safeguards, sedangkan negara maju

cenderung sebagai pengguna utama tindakan imbalan. Peraturan perdagangan internasional dalam WTO memperkenankan setiap negara untuk mengenakan tindakan

pengamanan perdagangan untuk melindungi produsen domestik dari barang impor

pada kondisi tertentu. Tindakan pengamanan tersebut dapat berupa tindakan antidamping, safeguard, atau anti-subsidi. Tindakan anti-dumping dan tindakan imbalan ditujukan untuk mengatasi impor yang tidak sehat dari negara tertentu yang masuk ke

dalam pasar domestik, sedangkan safeguard dipergunakan untuk mengatasi lonjakan

impor suatu produk (dalam persaingan dagang yang sehat) yang menyebabkan kerugian bagi industri domestik yang memproduksi barang sejenis.

Namun demikian, tindakan pengamanan oleh negara importir terhadap produk

ekspor suatu negara dapat merugikan produsen domestik yang berorientasi ekspor, tak terkecuali bagi Indonesia. Data WTO menunjukkan bahwa selama periode 1995-2012 setidaknya tercatat 171 kasus dumping dan 16 kasus subsidi yang dituduhkan kepada

Indonesia. Meskipun jumlah kasus dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun,

namun potensi kerugian yang ditimbulkannya tidak boleh diabaikan, karena di beberapa kasus melibatkan produk ekspor utama Indonesia. Sebagai contoh, produk biodiesel dari minyak sawit Indonesia dikenakan tuduhan subsidi dan dumping oleh Uni

Eropa dalam waktu yang bersamaan. Apabila tindakan anti-dumping, tindakan imbalan,

dan safeguard yang dikenakan terhadap Indonesia terus berlanjut, maka hal tersebut tentu saja akan bermuara pada terhambatnya pencapaian target ekspor nasional.

1

Kinerja ekspor sangat penting bagi Indonesia untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, terlebih untuk mengimbangi tingginya laju impor beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan hal tersebut, kajian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana

kebijakan pengamanan perdagangan Indonesia mendukung pencapaian target ekspor

nasional. Dalam hal ini, diperlukan perhitungan mengenai taksiran besaran kerugian nilai ekspor apabila pemerintah Indonesia tidak berhasil memperjuangkan akses pasar di negara tujuan ekspor. Pengalaman pelaku usaha yang terkena tindakan pengamanan

perdagangan di negara tujuan ekspor juga sangat penting untuk mengetahui gambaran yang komprehensif mengenai dampak yang ditimbulkan oleh hambatan perdagangan

tersebut. Analisis ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para pengambil kebijakan akan pentingnya upaya-upaya pengamanan ekspor Indonesia. Selanjutnya, hasil rekomendasi diharapkan dapat membantu Kementerian Perdagangan dalam meningkatkan peranya dalam memfasilitasi produsen domestik yang mengalami hambatan perdagangan di luar negeri serta mengamankan pasar ekspor Indonesia di dunia.

I.2. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari analisis ini adalah untuk:

1.

Mendeskripsikan perkembangan tindakan anti-dumping, safeguard dan tindakan

2.

Menganalisis dampak tindakan pengamanan perdagangan yang dilakukan oleh

imbalan yang dikenakan terhadap produk ekspor Indonesia. negara tujuan ekspor terhadap kinerja ekspor Indonesia.

3. Merumuskan rekomendasi kebijakan dalam rangka mengoptimalkan usaha-usaha pengamanan perdagangan Indonesia terhadap produk ekspor yang dikenakan tuduhan maupun tindakan anti-dumping, safeguard dan tindakan imbalan.

I.3. Ruang Lingkup Analisis

Kebijakan pengamanan perdagangan yang dimaksudkan dalam analisis ini

adalah upaya-upaya

yang dilakukan

pemerintah Indonesia

Cq.

Kementerian

Perdagangan dalam mengangani kasus anti-dumping, safeguard, dan tindakan imbalan yang dituduhkan atau dikenakan terhadap produk ekspor Indonesia.

2

I.4. Metodologi Analisis Pengumpulan data dan informasi dalam analisis ini dilakukan dengan metode

deskriptif. Analisis kebijakan pegamanan perdagangan Indonesia didasarkan pada

upaya yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan pada tahun 2012-2013. Data sekunder digunakan untuk menaksir seberapa besar potensi nilai yang akan hilang

(kerugian nilai ekspor) jika usaha pengamanan perdagangan tidak berhasil. Sementara, turun lapang (interview) ditujukan terhadap pelaku usaha yang terkena tuduhan maupun telah dikenakan tindakan pengamanan definitif di negara tujuan ekspor.

II. KETENTUAN UMUM TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN DALAM WTO II.1. Ketentuan Umum Anti-Dumping Apabila sebuah perusahaan melakukan ekspor produk dengan harga lebih

rendah dari harga yang normal yang dipasarkan di dalam negerinya, maka tindakan

tersebut disebut sebagai dumping. Apakah hal ini termasuk dalam persaingan tidak

sehat? Terdapat beragam opini terkait hal tersebut, tetapi banyak pemerintah mengambil tindakan dumping untuk melindungi industri dalam negeri mereka.

Perjanjian WTO tidak menghakimi, namun difokuskan pada bagaimana pemerintah

dapat atau tidak dapat bereaksi (ketentuan) terhadap dumping - sering disebut "Perjanjian Anti-Dumping".

Perjanjian WTO memungkinkan pemerintah untuk bertindak melawan dumping

di mana terdapat kerugian material pada industri dalam negeri yang bersaing. Untuk melakukan hal tersebut, pemerintah harus mampu menunjukkan bahwa dumping

benar-benar terjadi, menghitung tingkat dumping (seberapa rendah harga ekspor dibandingkan dengan harga pasar di negara asal eksportir), dan menunjukkan bahwa dumping menyebabkan kerugian atau mengancam industrinya.

Secara khusus, GATT (Pasal 6) mengatur bagimana suatu negara-negara anggota

WTO untuk mengambil tindakan terhadap dumping. Selain itu, terdapat Perjanjian AntiDumping yang memperjelas dan memperluas Pasal 6 dan keduanya berlaku bersamasama. Ketentuan-ketentuan tersebut memungkinkan negara-negara untuk bertindak yang umumnya akan merusak prinsip-prinsip GATT terkait tarif yang mengikat dan prinsip non-diskriminasi antara mitra dagang.

Tindakan anti-dumping biasanya

pengenaan bea masuk tambahan pada produk tertentu dari suatu negara pengekspor

3

dalam rangka mendekatkan harga ekspor dengan "nilai normal" atau untuk menghapus kerugian industri dalam negeri di negara pengimpor.

Terdapat beragam cara untuk menghitung apakah suatu produk tertentu

tergolong dumping berat atau ringan. Perjanjian Anti-Dumping mempersempit kisaran opsi tersebut menjadi tiga metode untuk menghitung nilai normal suatu produk. Salah satu yang terpenting adalah didasarkan pada harga di pasar domestik eksportir. Ketika

metode ini tidak dapat digunakan, dua alternatif yang tersedia, yaitu harga yang dikenakan oleh eksportir di negara lain atau perhitungan berdasarkan kombinasi dari

biaya produksi eksportir, biaya terkait lainnya, dan margin keuntungan normal. Perjanjian tersebut juga menentukan bagaimana perbandingan yang adil dapat dibuat antara harga ekspor dan apa yang akan menjadi harga normal

Perhitungan tingkat dumping pada suatu produk tidaklah cukup. Tindakan anti-

dumping hanya dapat diterapkan jika dumping merugikan industri di negara

pengimpor. Oleh karena itu, penyelidikan rinci harus dilakukan sesuai dengan aturan yang ditetapkan terlebih dahulu. Penyelidikan harus mengevaluasi semua faktor

ekonomi yang relevan terkait keadaan industri bersangkutan. Jika penyelidikan

menunjukkan bahwa dumping telah berlangsung dan industri dalam negeri mengalami kerugian (injury), perusahaan ekspor dapat secara sukarela menaikkan harga ke tingkat yang disepakati untuk menghindari bea masuk anti-dumping.

Prosedur rinci kententuan anti-dumping mengatur bagaimana kasus anti-

dumping harus dimulai, bagaimana investigasi yang akan dilakukan, dan kondisi untuk memastikan bahwa semua pihak yang berkepentingan diberi kesempatan untuk

mengajukan bukti. Tindakan anti-dumping harus berakhir lima tahun setelah tanggal

pengenaan, kecuali penyelidikan menunjukkan bahwa mengakhiri tindakan antidumping akan menyebabkan kerugian.

Investigasi anti-dumping harus segera diakhiri dalam kondisi di mana pihak

berwenang menentukan bahwa margin dumping tidak signifikan (didefinisikan kurang

dari 2% dari harga ekspor produk). Kondisi lain juga telah diatur. Sebagai contoh,

investigasi juga harus berakhir jika volume impor barang dumping sangat kecil (yaitu jika volume impor dari satu negara kurang dari 3% dari total impor produk tersebut).

Namun demikian, penyelidikan bisa dilanjutkan jika beberapa negara yang masing4

masing memasok kurang dari 3% impor tersebut secara kumulatif mencapai 7% atau lebih dari total impor). Perjanjian

tersebut

mengatur

bahwa

negara-negara

anggota

harus

menginformasikan Komite Praktek Anti-Dumping tentang semua tindakan antidumping dari awal hingga akhir proses, segera dan secara rinci. Mereka juga harus

melaporkan semua penyelidikan dua kali setahun. Ketika perbedaan pendapat muncul,

anggota didorong untuk saling berkonsultasi. Jika masih belum puas dengan hasil konsultasi, mereka juga dapat menggunakan prosedur penyelesaian sengketa WTO. II.2. Ketentuan Umum Safeguard

Berdasarkan Perjanjian Umum GATT Pasal XIX memungkinkan anggota WTO

untuk mengambil tindakan safeguard untuk melindungi suatu industri dalam negeri dari peningkatan impor yang tak terduga untuk produk apa pun yang menyebabkan,

atau yang mungkin menyebabkan, kerugian serius (injury) untuk industri tersebut. Perjanjian tersebut telah mematahkan aturan dasar dalam pengenaan tindakan

pelarangan melalui yang disebut sebagai daerah abu-abu serta memungkinkan

dilakukan ekstensi pengenaan safeguard melalui klausul sunset. Perjanjian ini menetapkan bahwa anggota tidak akan mencari, mengambil atau mempertahankan

setiap pembatasan ekspor sukarela, pengaturan pemasaran berdasarkan permintaan atau tindakan serupa lainnya pada sisi impor atau ekspor.

Perjanjian tersebut menetapkan persyaratan untuk penyelidikan safeguard yang

meliputi pemberitahuan umum untuk mendengarkan masukan (public hearing) dan sarana lain bagi pihak yang berkepentingan untuk mengemukakan bukti-bukti, termasuk pada apakah tindakan safeguard akan berada di ranah publik. Dalam situasi

kritis, tindakan safeguard sementara dapat diberlakukan berdasarkan penentuan awal

mengenai kerugian serius. Durasi dari tindakan sementara tersebut tidak akan melebihi 200 hari.

Perjanjian menetapkan kriteria untuk kerugian serius (serious injury) dan faktor-

faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan dampak dari impor. Tindakan

safeguard harus diterapkan hanya sejauh yang diperlukan untuk mencegah atau memulihkan kerugian serius dan untuk memfasilitasi penyesuaian. Jika nantinya direkomendasikan untuk dikenakan pembatasan kuantitatif (kuota) impor, maka

5

jumlah kuota yang ditetapkan tidak boleh kurang jumlah impor rata-rata selama tiga tahun terakhir, kecuali dengan pembenaran/justifikasi yang jelas untuk ditetapkan pada tingkat yang berbeda dalam rangka mencegah atau memperbaiki kerugian serius.

Pada prinsipnya, langkah-langkah safeguard harus diterapkan terlepas dari asal

impornya. Dalam kasus di mana kuota dialokasikan di antara negara-negara pemasok, anggota WTO yang akan menerapkan pembatasan dapat mencari kesepakatan dengan

anggota-anggota yang lain, khususnya dengan negara anggota WTO yang memiliki ketertarikan yang besar untuk memasok produk yang bersangkutan. Biasanya, alokasi kuota didasarkan pada proporsi jumlah total atau nilai produk impor selama periode

perwakilan sebelumnya. Namun, dimungkinkan juga bagi negara pengimpor untuk melakukan pendekatan yang berbeda jika dapat menunjukkan (dalam konsultasi

dengan Komite Safeguard) bahwa impor dari pihak-pihak tertentu telah meningkat secara tidak proporsional terhadap peningkatan total impor. Durasi tindakan safeguard dalam kasus ini tidak boleh melebihi empat tahun.

Perjanjian GATT mengatur waktu untuk semua langkah-langkah safeguard.

Secara umum, durasi tindakan pengamanan tidak boleh melebihi empat tahun meskipun ini bisa diperpanjang hingga maksimal delapan tahun, apabila dibutuhkan diperpanjang dengan penetapan oleh pejabat yang berwenang dan jika ada bukti bahwa

industri domestik mengalami perbaikan. Tindakan safeguard juga dapat dikenakan

kembali untuk produk yang telah dikenakan safeguard sebelumnya setelah periode sebanding dengan setengah dari durasi pengenaan safeguard sebelumnya, tunduk pada periode non-aplikasi setidaknya dua tahun.

Tindakan safeguard tidak akan berlaku untuk produk dari anggota negara

berkembang, jika bagian dari anggota negara berkembang pada impor produk yang bersangkutan tidak melebihi 3%, dan bahwa negara berkembang yang pangsa impornya

kurang dari 3% secara kolektif tidak melebihi 9% dari total impor produk yang bersangkutan. Suatu negara berkembang memiliki hak untuk memperpanjang masa

penerapan tindakan safeguard untuk jangka waktu hingga dua tahun di luar waktu maksimum normal.

Perjanjian tersebut mensyaratkan dilakukannya suatu konsultasi mengenai

kompensasi untuk tindakan safeguard. Apabila konsultasi tidak berhasil, anggota yang

terkena safeguard dapat menarik konsesi yang setara atau kewajiban lain di bawah

6

GATT 1994. Namun, tindakan tersebut tidak diperbolehkan untuk tiga tahun pertama dari tindakan safeguard jika sesuai dengan ketentuan perjanjian, dan diambil sebagai hasil dari peningkatan mutlak atas impor.

II.3. Ketentuan Umum Subsidi dan Tindakan Imbalan Perjanjian tentang mengenai subsidi dan tindakan imbalan (countervailing)

diatur tersendiri dalam Perjanjian tentang Subsidi dan Tindakan Countervailing yang dimaksudkan untuk mengembangkan Agreement on Interpretation and Application

Pasal VI, XVI dan XXIII yang dinegosiasikan dalam Putaran Tokyo (Tokyo Round Subsidies Code). Berbeda dengan peraturan sebelumnya, perjanjian tersebut memperkenalkan definisi subsidi dan memperkenalkan konsep subsidi khusus. Definisi subsidi mengandung tiga elemen dasar yang harus terpenuhi, yaitu: (i) kontribusi

keuangan (ii) oleh pemerintah atau badan publik dalam wilayah anggota WTO (iii) yang

memberikan manfaat. Dengan kata lain, subsidi yang tersedia hanya untuk suatu perusahaan atau industri atau kelompok perusahaan atau industri dalam yurisdiksi kewenangan pemberian subsidi.

Perjanjian tersebut menetapkan tiga kategori subsidi. Pertama, subsidi yang

dilarang (prohibited) baik berupa subsidi ekspor (mempengaruhi kinerja ekspor) maupun subsidi konten lokal (penggunaan barang domestik daripada barang impor.

Kedua kategori subsidi dilarang karena hal tersebut dirancang untuk secara langsung mempengaruhi perdagangan dan dengan demikian dimungkinkan memiliki efek buruk

pada kepentingan anggota lainnya. Fitur utama perjanjian ini termasuk penjadwalan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh badan Penyelesaian Sengketa, dan jika ditemukan bahwa subsidi tersebut memang dilarang, maka harus segera ditarik. Jika hal

ini tidak dilakukan dalam jangka waktu yang ditentukan, anggota yang melakukan komplain berhak untuk mengambil tindakan penanggulangan (countermeasures).

Kategori kedua adalah subsidi yang dapat ditindak (actionable). Perjanjian ini

menetapkan bahwa tidak ada negara anggota WTO yang melalui penggunaan subsidi

menyebabkan efek samping bagi kepentingan negara anggota lainnya, yaitu kerugian industri dalam negeri dari negaralain, pembatalan atau gangguan dari manfaat yang

diperoleh secara langsung atau tidak langsung dengan negara anggota yang

menandatangi Perjanjian Umum GATT (khususnya manfaat dari konsesi tarif terikat), dan prasangka yang serius (serious prejudice) bagi kepentingan anggota lain. Prasangka

7

serius harus dianggap ada pada subsidi tertentu termasuk ketika total ad valorem subsidi produk melebihi 5%. Dalam situasi seperti ini, beban pembuktian ada pada

anggota pemberi subsidi untuk menunjukkan bahwa subsidi tersebut tidak

menyebabkan prasangka serius terhadap anggota yang melakukan komplain . Negara anggota yang terpengaruh oleh subsidi jenis ini dapat merujuk hal tersebut kepada badan Penyelesaian Sengketa. Dalam hal dampak negatif tersebut ada, maka negara anggota pemberi subsidi harus menarik subsidi atau menghapus efek negatifnya.

Kategori ketiga yaitu subsidi yang tidak dapt ditindak (non-actionable), baik

berupa subsidi non-spesifik ataupun subsidi khusus yang melibatkan bantuan terhadap penelitian sektor industri dan kegiatan pembangunan pra-kompetitif, bantuan kepada daerah tertinggal, atau jenis bantuan tertentu untuk menyesuaikan fasilitas yang ada

terhadap adanya pemberlakuan suaru perundangan/peraturan. Apabila negara lain percaya bahwa subsidi non-actionable mengakibatkan efek samping yang serius pada

industri dalam negerinya, dimungkinkan bagi mereka untuk mungkin mencari pemecahan dan rekomendasi terkait masalah tersebut.

Salah satu bagian dari perjanjian tersebut menyangkut penggunaan tindakan

imbalan (countervailing) atas barang impor bersubsidi. Ketentuan tersebut mengatur mengenai inisiasi kasus tindakan imbalan, penyelidikan oleh otoritas nasional dan aturan penetapan bukti-bukti untuk memastikan bahwa semua pihak yang

berkepentingan dapat menyajikan informasi dan argumen yang jelas. Perhitungan

jumlah subsidi juga diatur dalam ketentuan sebagai dasar untuk penentuan kerugian pada industri dalam negeri. Semua faktor ekonomi yang relevan harus diperhitungkan

dalam menilai keadaan suatu industri dan hubungan sebab akibat harus terpenuhi antara impor bersubsidi dan dugaan kerugian. Investigasi tindakan imbalan akan segera diakhiri dalam kasus di mana jumlah subsidi adalah de minimis (subsidi kurang dari 1%

ad valorem ) atau di mana volume impor bersubsidi aktual atau potensial maupun kerugian dapat diabaikan. Kecuali dalam keadaan luar biasa, investigasi harus dapat disimpulkan dalam waktu satu tahun setelah inisiasi dan tidak boleh melebihi 18 bulan. Semua bea masuk imbalan (countervailing duties) harus dihentikan dalam waktu 5

tahun dari tanggal pengenaan kecuali pihak yang berwenang menentukan bahwa berdasarkan review menjelang berakhirnya pengenaan bea masuk imbalan akan cenderung mengarah pada berlanjutnya atau berulangnya subsidi dan kerugian.

8

Perjanjian tersebut mengakui bahwa subsidi dapat memainkan peran penting

dalam program pembangunan ekonomi negara-negara berkembang dan negara-negara transisi dari sistem ekonomi terpusat ke sistem ekonomi pasar . Negara-negara kurang berkembang dan negara-negara berkembang yang memiliki GNP per kapita kurang dari USD 1.000 dibebaskan dari ketentuan subsidi ekspor dan memiliki pengecualian terikat

waktu dari subsidi terlarang lainnya. Untuk negara-negara berkembang lainnya, larangan subsidi ekspor akan berlaku 8 tahun setelah berlakunya perjanjian

pembentukan WTO, dan mereka memiliki pembebasan terikat waktu dari subsidi terlarang lainnya. Investigasi tindakan imbalan suatu produk yang berasal dari anggota

negara berkembang akan dihentikan jika tingkat keseluruhan subsidi tidak melebihi 2% (dari negara-negara berkembang tertentu sebesar 3%) dari nilai produk, atau jika

volume impor bersubsidi kurang dari 4% dari total impor untuk produk sejenis. Untuk negara-negara transisi, subsidi yang dilarang harus dihapus dalam jangka waktu 7 tahun sejak tanggal berlakunya perjanjian.

III. PERKEMBANGAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN DI DUNIA III.1. Perkembangan Kasus Anti-Dumping Sejak terbentuknya WTO pada tahun 1995, negara anggota WTO sudah aktif

menerapkan trade remedy. Pada kurun waktu 1995-2012 tuduhan dumping yang

dituduhkan oleh negara anggota WTO sudah mencapai 4.230 kasus, yang melibatkan 47 negara penuduh dan 103 negara tertuduh. Menurut data WTO, pada tahun 1995

terdapat 157 kasus dumping yang dituduhkan oleh beberapa negara WTO dan pada tahun 2011 tuduhan dumping mencapai puncaknya dengan jumlah sebanyak 372 kasus. Sementara itu kasus tuduhan dumping pada tahun-tahun berikutnya cenderung menurun dengan trend -3,6% per tahun. Pada tahun 2012 jumlah kasus dumping yang dituduhkan oleh negara WTO berjumlah 208 kasus, mengalami peningkatan sebesar 25% dari tahun 2011 yang hanya 166 kasus.

Selama periode 1995-2012, negara-negara yang pang sering melakukan tuduhan

dumping adalah India dengan 677 kasus, Amerika Serikat dengan 469 kasus, Uni Eropa

dengan 451 kasus, Argentina dengan 303 kasus, dan Brasil dengan 279 kasus. Jika dilihat dari pangsa jumlah kasus dumping, kurang lebih sepertiga kasus tuduhan

dumping selama 1995-2012 diinisiasi oleh tiga otoritas kepabeanan, yaitu India 9

(16,0%), Amerika Serikat (11,1%), dan Uni Eropa (10,7%). India menempati urutan pertama penuduh dumpin dengan rata-rata tuduhan sebanyak 38 kasus per tahun. Tabel 1. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Negara yang Paling Banyak Menuduh Dumping, 1995-2012

Negara

Jumlah Kasus Pangsa (%) Rata-rata Total 4.230 100,0 235 India 677 16,0 38 United States 469 11,1 26 European Union 451 10,7 25 Argentina 303 7,2 17 Brazil 279 6,6 16 Australia 247 5,8 14 South Africa 217 5,1 13 China 200 4,7 13 Canada 166 3,9 9 Turkey 162 3,8 10 Korea, Republic of 113 2,7 7 Mexico 109 2,6 6 Indonesia 96 2,3 6

Sumber: WTO (diolah)

Dari total 4.230 tuduhan dumping selama 1995-2012, kurang lebih setengahnya

saja (2.719 kasus) yang dapat dibuktikan terjadinya dumping dan benar-benar dikenakan tindakan anti-dumping. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa meskipun telah

terjadi penurunan tarif impor namun hambatan perdagangan di dunia masih ada. Empat negara teratas yang paling banyak mengenakan tindakan anti-dumping memiliki urutan

yang sama sebagaimana negara yang menuduh dumping. Negara-negara tersebut adalah India, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Argentina. Sementara itu, Brasil yang menempati urutan ke-5 negara penuduh dumping dengan 279 kasus ternyata menempati peringkat

ke-7 negara yang mengenakan tindakan anti-dumping dengan 133 kasus. Dalam hal ini,

Brasil sangat aktif dalam melindungi industri dalam negerinya dari praktek perdagangan yang tidak adil (unfair) dengan menginisiasi tuduhan dumping ke negareksportir meskipun kasus yang terbukti dumping hanya setengahnya saja.

10

Tabel 2.

Negara yang Paling Banyak Mengenakan Tindakan Anti-Dumping, 1995-2012

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Negara Total India United States European Union Argentina China Turkey Brazil South Africa Canada Australia Mexico Korea, Republic of Egypt Peru Indonesia

Anti-Dumping Pangsa (%) Rata-rata 2.719 508 312 285 215 156 146 133 129 106 99 89 72 53 49 43

100,0 18,7 11,5 10,5 7,9 5,7 5,4 4,9 4,7 3,9 3,6 3,3 2,6 1,9 1,8 1,6

151 28 17 16 12 11 10 8 9 7 6 6 6 4 3 3

Sumber: WTO (diolah)

Negara anggota WTO yang paling banyak dituduh dumping adalah China

dengan 916 kasus, atau 21,7% dari keseluruhan kasus selama periode 1995-2012. Hal ini berarti China rata-rata dituduh 51 kasus dumping per tahunnya. Tuduhan yang

ditujukan ke China sangat signifikan dibandingkan dengan negara-negara yang lain. Sebagai contoh, Korea Selatan yang menempati peringkat ke-2 negara tertuduh

dumping hanya terlilit kasus dumping rata-rata 17 kasus per tahun. Selama periode 1995-2012 Korea Selatan menghadapi 306 kasus tuduhan dumping atau sepertiga dari

jumlah kasus yang dituduhkan kepada China. Sementara itu, Amerika Serikat yang termasuk kelompok negara maju juga terkena tuduhan dumping yang tidak sedikit, mencapai 306 kasus. Tabel 3.

Negara yang Paling Banyak Dituduh Dumping, 1995-2012

11

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Negara Total China Korea, Republic of United States Taipei, Chinese Thailand Indonesia Japan India Russian Federation Brazil

Jumlah Kasus Pangsa (%) Rata-rata 4.230 916 306 244 234 174 171 171 166 127 116

100,0 21,7 7,2 5,8 5,5 4,1 4,0 4,0 3,9 3,0 2,7

235 51 17 14 13 10 10 10 9 7 6

Sumber: WTO (diolah)

China merupakan negara yang paling banyak dikenakan tindakan anti-dumping

selama periode 1995-2012 dengan 664 kasus. Sebanyak 24,4% dari seluruh tindakan

anti-dumping dikenakan kepada produk ekspor China. Sepuluh negara yang paling sering dikenakan tindakan anti-dumping sama dengan 10 negara yang paling sering

dituduh dumping, meskipun dengan urutan yang bervariasi. Negara-negara maju seperti

Taiwan, Amerika Serikat, dan Jepang juga tak luput dari tindakan anti-dumping dengan jumlah kasus masing-masing sebanyak 149 kasus, 145 kasus, dan 122 kasus. Tabel 4.

Negara yang Paling Banyak Dikenakan Tindakan Anti-Dumping, 19952012

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Negara Total China Korea, Republic of Taipei, Chinese United States Japan Thailand Indonesia Russian Federation India Brazil

Anti-dumping Pangsa (%) Rata-rata 2.719 664 181 149 145 122 112 103 102 97 82

100,0 24,4 6,7 5,5 5,3 4,5 4,1 3,8 3,8 3,6 3,0

151 37 10 8 8 7 6 6 6 5 5

Sumber: WTO (diolah)

WTO telah menggolongkan kasus-kasus dumping ke dalam 18 kelompok

komoditi. Berdasarkan pengelompokan tersebut, logam dasar paling sering dikenakan dumping dengan 769 kasus atau pangsa sebesar 28,3%. Setiap tahunnya, produk

12

komoditi logam dasar dikenakan dumping kurang lebih sebanyak 43 kasus. Produk lain

yang juga banyak dikenakan tindakan anti-dumping adalah produk industri kimia dengan 585 kasus sepanjang periode 1995-2012, atau sebanyak 33 kasus per tahun. Tabel 5.

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Tindakan Anti-dumping berdasarkan Sektor, 1995-2012 Kelompok Komoditi

Base metals and articles Products of the chemical and allied industries Resins, plastics and articles; rubber and articles Textiles and articles Machinery and electrical equipment Paper, paperboard and articles Articles of stone, plaster; ceramic prod.; glass Miscellaneous manufactured articles Mineral products Wood, cork and articles; basketware Vegetable products Instruments, clocks, recorders and reproducers Prepared foodstuff; beverages, spirits, vinegar; tobacco Vehicles, aircraft and vessels Live animals and products Footwear, headgear; feathers, artif. flowers, fans Animal and vegetable fats, oils and waxes Hides, skins and articles; saddlery and travel goods Total

Anti-dumping Pangsa (%) Rata-rata 769 585 338 239 229 121 93 64 47 45 39 34 32 29 28 23 2 2 2.719

28,3 21,5 12,4 8,8 8,4 4,5 3,4 2,4 1,7 1,7 1,4 1,3 1,2 1,1 1,0 0,8 0,1 0,1 100,0

42,7 32,5 18,8 13,3 12,7 7,6 5,2 4,0 3,6 3,5 2,4 2,8 2,7 2,1 2,3 2,3 1,0 1,0 151,1

Sumber: WTO (diolah)

II.2. Perkembangan Kasus Safeguard Selama periode 1995-2012, terdapat 254 kasus safeguard. yang dituduhkan oleh

negara-negara anggota WTO. India merupakan negara yang paling banyak melakukan inisiasi penyelidikan safeguard terhadap kenaikan lonjakan impor, dengan jumlah total

kasus sebanyak 29. Sementara Indonesia berada di peringkat 2 dengan inisiasi safeguard sebanyak 23 kasus, diikuti oleh Turki dengan 17 kasus. Terlihat bahwa negara-negara berkembang sangat aktif berupaya melindungi industri dalam negerinya

dari serbuan barang-barang impor. Bahkan, negara masju seperti Amerika Serikat juga tidak ragu untuk menggunakan instrumen safeguard dengan kasus yang diinisiasi sebanyak 10.

13

Tabel 6.

Negara yang Paling Banyak Menuduh Safeguard, 1995-2012

No.

Negara

Safeguards

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Total India Indonesia Turkey Jordan Chile Ukraine United States Czech Republic Egypt Philippines

254 29 23 17 16 13 10 10 9 9 9

Pangsa Rata-rata (%) 100,0 14,1 11,4 1,6 9,1 1,3 6,7 0,9 6,3 0,9 5,1 0,7 3,9 0,6 3,9 0,6 3,5 0,5 3,5 0,5 3,5 0,5

Sumber: WTO (diolah)

Dari 254 kasus yang dituduhkan, hanya sekitar 50% (121 kasus) yang benar-

benar dapat dibuktikan dalah penyelidikan bahwa lonjakan impor mengakibatkan

kerugian atau mengancam industry dalam negeri negara penuduh. Secara rata-rata, terdapat 7 kasus tindakan safeguard yang dikenakan oleh negara anggota WTO di

seluruh dunia. India tetap merupakan negara yang paling banyak mengenakan tindakan safeguard dengan jumlah sebanyak 15 kasus, diikuti dengan Indonesia dan Turki yang masing-masing sebanyak 13 kasus. Tabel 7.

Negara yang Paling Banyak Mengenakan Tindakan Safeguard, 19952012

No.

Negara

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Total India Indonesia Turkey Chile Jordan Philippines United States Czech Republic Egypt Argentina

Sumber: WTO (diolah)

Safeguards 121 15 13 13 8 7 7 6 5 5 4

Pangsa Rata-rata (%) 100,0 7,1 12,4 0,9 10,7 0,8 10,7 0,8 6,6 0,5 5,8 0,4 5,8 0,4 5,0 0,4 4,1 0,3 4,1 0,3 3,3 0,2

Jika dilihat dari kelompok komoditi, produk-produk kimia paling banyak

dikenakan tindakan safeguard selama periode 1995-2012 dengan jumlah 26 kasus, atau

14

21,1% dari total tindakan safeguard selama periode tersebut. Urutan kedua ditempati produk metal dasar dengan 20 kasus safeguard atau pangsa 16,3 % dari total kasus.

Tingginya tindakan safeguard terhadap produk kimia dan metal dasar menandakan

bahwa negara importer membutuhkan bahan baku untuk produksi domestiknya yang kemungkinan tidak mampu dipenuhi di dalam negeri sehingga kedua produk tersebut banyak diimpor. Tabel 8.

Tindakan Safeguard berdasarkan Sektor, 1995-2012

No.

Kelompok Komoditi

Safeguards

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Total Products of the chemical and allied industries Base metals and articles Prepared foodstuff; beverages, spirits, vinegar; tobacco Articles of stone, plaster; ceramic prod.; glass Live animals and products Vegetable products Textiles and articles Machinery and electrical equipment Resins, plastics and articles; rubber and articles Footwear, headgear; feathers, artif. flowers, fans Mineral products Resins, plastics and articles; rubber and articles Hides, skins and articles; saddlery and travel goods Miscellaneous manufactured articles Hides, skins and articles; saddlery and travel goods Wood, cork and articles; basketware Paper, paperboard and articles

123 26 20 12 11 10 10 9 7 4 3 2 2 2 2 1 1 1

Sumber: WTO (diolah)

Pangsa Rata-rata (%) 100.0 7.1 21.1 1.5 16.3 1.1 9.8 0.7 8.9 0.6 8.1 0.6 8.1 0.6 7.3 0.5 5.7 0.4 3.3 0.2 2.4 0.2 1.6 0.1 1.6 0.1 1.6 0.1 1.6 0.1 0.8 0.1 0.8 0.1 0.8 0.1

II.3. Perkembangan Kasus Tindakan Imbalan (Countervailing) Sejak organisasi WTO secara resmi dibentuk tahun 1995 hingga tahun 2012

telah terjadi 302 kasus tuduhan subsidi dengan rata-rata 16 kasus per tahun. Negaranegara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, dan Australia paling sering

melakukan tuduhan subsidi dibandingkan dengan negara berkembang. Sebanyak 119 kasus atau 39,4% dari total kasus subsidi diinisiasi oleh Amerika Serikat.

15

Tabel 9.

Negara yang Paling Banyak Menuduh Subsidi, 1995-2012

No.

Negara

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Total United States European Union Canada Australia South Africa Brazil Peru Chile China New Zealand

Countervailing 302 119 67 33 15 13 7 7 6 6 6

Pangsa (%) 100,0 39,4 22,2 10,9 5,0 4,3 2,3 2,3 2,0 2,0 2,0

Rata-rata 16,8 6,6 4,8 2,4 1,5 2,2 1,4 1,2 2,0 2,0 2,0

Sumber: WTO (diolah)

Dari sejumlah 302 kasus tuduhan subsidi, sebanyak 177 kasus dikenakan

tindakan imbalan. Amerika Serikat merupakan negara yang paling banyak mengenakan

tindakan imbalan selama periode 1995-2012 dengan 75 kasus, diikuti dengan Uni Eropa dengan 40 kasus, dan Kanada 21 kasus.

Tabel 10. Negara yang Paling Banyak Mengenakan Tindakan Imbalan, 1995-2012 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Negara Total United States European Union Canada Mexico Brazil Australia Peru South Africa Argentina China

Countervailing 177 75 30 21 10 7 6 5 5 4 4

Pangsa (%) 100,0 42,4 16,9 11,9 5,6 4,0 3,4 2,8 2,8 2,3 2,3

Rata-rata 9,8 5,0 2,7 1,9 3,3 2,3 1,2 1,3 1,7 2,0 2,0

Sumber: WTO (diolah)

Dari sisi pihak penuduh, negara-negara maju yang menginisiasi investigasi

subsidi. Sementara dari sisi pihak tertudyh, negara-nega berkembang yang paling

banyak terkena tuduhan subsidi. Cina, India, dan Korea Selatan merupakan negaranegara yang paling banyak dituduh melakukan subsidi dengan jumlah masing-masing sebanyak 62 kasus, 55 kasus, dan 19 kasus. Indonesia menempati peringkat keempat dengan 16 kasus.

16

Tabel 11. Negara yang Paling Banyak Dituduh Subsidi, 1995-2012 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Negara

Countervailing

Total China India Korea, Republic of Indonesia United States European Union Italy Thailand Argentina Canada

82 62 55 19 16 15 13 13 12 8 8

Pangsa (%) 100,0 75,6 67,1 23,2 19,5 18,3 15,9 15,9 14,6 9,8 9,8

Rata-rata 16,8 7,8 3,2 1,7 1,8 1,5 1,3 1,6 1,7 1,3 1,3

Sumber: WTO (diolah)

Apabila tuduhan subsidi dapat dibuktikan, maka otoritas yang berwenang di negara

importer dapat mengenakan tindakan imbalan yang biasanya berupa penambahan bea

masuk. China dan India merupakan negara yang paling sering dikenakan tindakan imbalan oleh negara importer dengan kasus sebanyak 42 dan 33 kasus. Kasus yang

melibatkan kedua negara tersebut mencapai 42% dari total kasus subsidi yang dikenakan tindakan imbalan.

Tabel 12. Sepuluh Negara yang Paling Banyak Dikenakan Tindakan Imbalan, 1995-2012 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Negara Total China India European Union Italy Brazil Indonesia Korea, Republic of United States France Argentina

Countervailing 177 42 33 11 9 8 8 8 7 6 4

Pangsa (%) 100,0 23,7 18,6 6,2 5,1 4,5 4,5 4,5 4,0 3,4 2,3

Rata-rata 9,8 6,0 2,5 1,2 1,8 2,7 1,1 1,3 1,8 1,2 2,0

Sumber: WTO (diolah)

Berdasarkan sector, produk metal dasar paling banyak dikenakan tindakan imbalan

dengan kasus sebanyak 82, atu 46,4% dari total tindakan imbalan selama periode 19952012. Produk selanjutnya yang banyak dikenakan tindakan imbalan adalah resin,

17

plastic, dan karet dengan 14 kasus serta bahan makanan, minuman, dan tembakau sebanayk 13 kasus.

Tabel 13. Tindakan Imbalan berdasarkan Sektor, 1995-2012 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Kelompok Komoditi Total Base metals and articles Resins, plastics and articles; rubber and articles Prepared foodstuff; beverages, spirits, vinegar; tobacco Products of the chemical and allied industries Machinery and electrical equipment Vegetable products Textiles and articles Mineral products Paper, paperboard and articles Live animals and products Animal and vegetable fats, oils and waxes Wood, cork and articles; basketware Vehicles, aircraft and vessels Articles of stone, plaster; ceramic prod.; glass

Countervailing 177 82 14 13 12 11 9 8 6 6 5 5 3 2 1

Pangsa Rata-rata (%) 100.0 9.8 46.3 5.5 7.9 2.0 7.3 1.9 6.8 1.5 6.2 1.6 5.1 1.8 4.5 1.3 3.4 2.0 3.4 1.5 2.8 1.3 2.8 1.0 1.7 1.0 1.1 1.0 0.6 1.0

Sumber: WTO (diolah)

IV. ANALISIS KEBIJAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN INDONESIA IV.1. Penanganan Kasus-kasus Tindakan Pengamanan Perdagangan yang dikenakan terhadap Indonesia Penanganan kasus-kasus tuduhan safeguard, dumping maupun subsidi yang

ditujukan pada produk-produk ekspor Indonesia di negara tujuan ditangani oleh Direktorat Pengamanan Perdagangan (DPP), Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI. DPP mempunyai tugas advokasi kepada produsen

dan eksportir yang terkena tuduhan dumping, subsidi dan safeguard, serta berkewajiban melakukan langkah-langkah proaktif melalui penyuluhan dan informasi kepada pelaku bisnis dan masyarakat umum.

Langkah-langkah yang dilakukan DPP dalam penanganan tuduhan kasus

dumping, safeguard, ataupun subsidi antara lain: 

Memberikan semua informasi yang berkaitan dengan proses penyelidikan tuduhan dumping (proceeding) kepada semua pihak yang terkait (interested parties);

18



Mengadakan koordinasi dengan produsen/eksportir yang dituduh, asosiasi, unit

pembina, atase perdagangan/ perwakilan R.I. di luar negeri, dan instansi terkait 

lainnya;



Indonesia;



Petition (NCC/P);

Menyusun dan menyampaikan sanggahan (submisi) dari pihak pemerintah Membantu produsen/eksportir dalam menliputi Non Confidential Comlaint



Membantu produsen/eksportir dalam menjawab kuesioner;



vertifikasi;

Mendampingi eksportir dan mengawasi tim verifikasi pada saat berlangsungnya Bersama produsen/eksportir yang dituduh mengidentifikasi dan memobilisasi

pressure group di negara penuduh (asosiasi importir, buyer, end user, dan pihak 

pihak pemerintah negara penuduh);

Mengupayakan pembelaan bersama di antara sesama negara tertuduh;

Membawa kasus ke Dispute Settlement Body/ DSB-WTO bila terjadi sengketa.

Pada tahun 2012, DPP Kemendag telah menangani 17 kasus yang terdiri dari 11

kasus dumping, 4 kasus safeguard, dan 2 kasus subsidi. Sementara itu, pada tahun 2013 (per November), total kasus yang ditangani menurun menjadi 16 kasus yang terdiri

dari 8 kasus dumping, 6 kasus safeguard, dan 2 kasus subsidi. Jumlah tuduhan yang dihentikan di tahun 2012 mencapai 5 kasus, sedangkan tahun 2013 hanya 2 kasus.

Tabel 14. Kasus - Kasus Tuduhan Dumping, Subsidi dan Safeguard Terhadap Indonesia, 2012–2013 Negara Tahun/No Importir 2012 1 Afrika Selatan

Produk

Unframed Glass Mirrors 2 Amerika Serikat Hot Rolled Carbon Steel Plate 3 Amerika Serikat Oil Country Tubular Goods (OCTG) 4 Brazil ACRYLIC YARN

Tanggal Inisiasi 31 Januari 2012 01 Nopember 2012 26 Maret 2012 02 Oktober 2012

Kasus Dumping Dumping Dumping Dumping

Keterangan Dikenakan

Dalam Proses Dalam Proses Dihentikan 19

5 Brazil 6 India

7 Japan 8 Korea, Republic of 9 Malaysia 10 Russian Federation 11 Russian Federation 12 Thailand 13 Uni Eropa 14 Uni Eropa 15 Uni Eropa 16 Uni Eropa 17 Vietnam

Acrylic Yarn

POLY VINYL CHLORIDE (PVC) Cut Sheet Paper Oriented Polyprophylene Film Hot-rolled Low Carbon Steel Wire Rod Bar Combine harvesters and modules Woven Fabrics

Vegetable Oil

3 Amerika Serikat Frozen Warmwater Shrimp 4 Australia Hot Rolled Plate Steel 5 Australia Power Transformers

7 India

8 Malaysia

Subsidi

06 Juli 2012

Safeguard Dalam Proses Safeguard Dalam Proses Safeguard Dalam Proses Dumping Dihentikan

Dumping Dumping Dumping Dumping

01 Oktober 2012 Hot Rolled Steel Flat 21 Nopember 2012 THREADED TUBE OR 16 Februari PIPE CAST FITTINGS 2012 OF MALLABLE CAST IRON Biodiesel 29 Agustus Dumping 2012 Bicycles 26 September Dumping 2012 Biodiesel 10 Nopember Subsidi 2012

2013 1 Amerika Serikat Monosodium Glutamate (MSG) 2 Amerika Serikat Monosodium Glutamate (MSG)

6 Canada

27 Desember 2012 05 Oktober 2012 25 Juni 2012 31 Desember 2012 28 Juli 2012

Canada Border Services Agency (CBSA) Seamless Pipes & Tubes Biaxially Oriented Poly Propylene (BOPP)

26 Desember 2012

Dalam Proses Dalam Proses Dihentikan Dikenakan Dihentikan

Dalam Proses Dikenakan

Dihentikan

Safeguard Dikenakan

24 Oktober Subsidi 2013 24 Oktober Dumping 2013

Dalam Proses Dalam Proses

05 September Dumping 2013

Dalam Proses Dalam Proses Dalam Proses

18 Januari Subsidi 2013 12 Februari Dumping 2013 29 Juli 2013 Dumping

Dihentikan

22 April 2013 Safeguard Dalam Proses 21 Mei 2013 Dumping Dalam Proses 20

9 Philippines 10 Philippines 11 Russian Federation 12 Thailand 13 Thailand 14 Ukraine

Galvanized Iron (GI) And Prepainted Galvanized Iron (PPGI) Newsprint Tableware and Kitchenware Porcerlain Glass Block Glass Block

09 Oktober Safeguard Dalam 2013 Proses 20 September Safeguard Dalam 2013 Proses 11 September Safeguard Dihentikan 2013 05 Juni 2013 Dumping Dikenakan 05 Juni 2013 Safeguard Dalam Proses 21 Mei 2013 Safeguard Dalam Proses

Tableware dan Kitchenware of Porcelain 15 Uni Eropa GLASS FIBERS 10 April 2013 Dumping (Certain Open Mash Fabrics) 16 Vietnam Certain Cold Rolled 02 Juli 2013 Dumping Stainless Steel Sumber: DPP, Ditjen Daglu Kemendag (per November 2013)

Dikenakan Dalam Proses

IV.2. Studi Kasus Penanganan Tindakan Pengamanan Terhadap Produk Glass Block Indonesia di Pasar Thailand Pada tanggal 16 Desember 2010, Thailand telah memulai penyelidikan safeguard

tentang impor glass block (HS 7016.90.00) dari Indonesia, China, dan Amerika Serikat.

Dan pada pada tanggal 15 Januari 2011, Thailand telah mengenakan tindakan pengamanan sementara berupa tambahan bea impor. Pada tanggal 3 Agustus 2011, tindakan safeguard definitif telah diumumkan

dengan menerapkan kenaikan tarif

advelorem atau tarif spesifik dengan mempertimbangkan skema liberalisasi sebagai berikut: 

Periode I tanggal 18 Agustus 2011 - 14 Januari 2012: Tarif advelorem 35% dari



harga c.i.f.. atau 11,23 baht per buah, mana yang lebih tinggi



harga c.i.f.. atau 10,23 baht per buah, mana yang lebih tinggi

Periode II tanggal 15 Januari 201 2- 14 Januari 2013: Tarif advelorem 32% dari Periode II tanggal 15 Januari 2013 - 14 Januari 2014: Tarif advelorem 29% dari harga c.i.f.. atau 9,23 baht per potong, mana yang lebih tinggi.

Indonesia merupakan salah satu pihak mengalami kerugian yang signifikan atas

pengenaan safeguard produk glass block Thailand dengan perusahaan tertuduh PT.

Mulia Glass dan. PT. Kedaung Medan Industrial Ltd. Kerugian signifikan bagi Indonesia 21

bukan tanpa alasan mengingat pada tahun 2005, produk glass block Indonesia juga telah

dikenakan tindakan anti-dumping oleh Pemerintah Thailand. Akibatnya, Indonesia

bukan lagi menjadi eksportir utama glass block ke Thailand dan mengalihkan ke pasar ekspor yang lain untuk tetap bertahan.

Pada tahun 2004, tujuan utama ekspor produk glass block Indonesia adalah

Thailand, Amerika Serikat, dan Malaysia, masing-masing dengan pangsa sebesar 28%,

18%, dan 8,7%. Setelah adanya tindakan pengamanan perdagangan oleh Thailand (antidumping dan safeguard), tujuan utama ekspor glass block Indonesia tahun 2012 beralih ke Myanmar dengan nilai USD 2,4 juta (pangsa 27,9%). Pada tahun 2012, ekspor ke

Thailand menempati peringkat ke-2 dengan pangsa 16,4%. Bahkan, data Semester I2013 menunjukkan posisi Thailand turun satu peringkat sebagai tujuan ekspor glass block Indonesia.

Dari sisi importir, pengenaan tindakan anti-dumping (2005-2010) dan

dilanjutkan

pengenaan

safeguard (2011-2013) terhadap

produk glass block

mengakibatkan penurunan volume impor Thailand dari Indonesia yang signifikan.

Berdasarkan data GTIS, volume impor glass bock Thailand dari Indonesia tahun 2012 hanya sebesar 3.542 ton, mengalami penurunan 60% dibandingkan tahun 2004.

Terkait dengan kasus tersebut, Kementerian Perdagangan melalui Direktorat

Pengamanan Perdagangan (DPP) telah berkoordinasi dengan KBRI Bangkok dan Atase

Indonesia di Bangkok tertutama menyangkut perpanjangan bea masuk safeguard tahun

ke-2 untuk periode 15 Januari 2012-14 Januari 2013. Hal tersebut didasari pada surat Deputy Director General of Foreign Trade (DFT) No 0310/3981 tanggal 1 November perihal konsultasi perpanjangan tindakan safeguard komoditi glass block, dimana

Indonesia sebagai salah satu negara yang dirugikan dan berhak untuk mendapatkan

kompensasi perdagangan. DPP selaku focal point penangangan tindakan pengamanan

perdagangan yang diterapkan negara importir telah melaksanakan pertemuan dengan stakeholder terkait untuk tindak lanjut penanganan kompensasi yang diberikan oleh Pemerintah Thailand.

Sebagai bahan konsultasi, Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri (Puska

Daglu) BPPKP memberikat masukan sebagai berikut:

22

1. Perkembangan volume impor glass block Thailand dari Indonesia selama periode non-injury dapat dijadikan sebagai dasar dalam memperkirakan volume impor yang seharusnya diusulkan Indonesia sebagai besaran kompensasi atas tindakan

anti-dumping maupun safeguard oleh pihak Thailand. Adapun besaran

kompensasi yang dapat diusulkan dari peningkatan impor sesuai aturan safeguard sebagaimana disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Perhitungan Nilai Impor Glass Block Thailand dari Indonesia pada pasa Non-Injury

Data Volume Impor Thailand dari Indonesia Rata-rata Trend Pangsa Perkiraan Volume Impor Usulan dari Indonesia Tahun I Tahun II Tahun III

Periode Non-injury 2002-2004 2000-2004 8.370 ton 10,7 %/thn 82,6 %

6.956 ton 24,0 %/ thn 85,1 %

9.268 ton 10.263 ton 11.364 ton

8.625 ton 10.695 ton 13.261 ton

2. Indonesia dapat mengenakan tambahan bea masuk terhadap produk-poduk impor dari Thailand sebagai bentuk tindakan retaliasi terhadap pengenaan

tindakan pengamanan perdagangan yang dilakukan oleh Thailand. Pemilihan produk-produk impor yang dapat dikenakan retaliasi menggunakan kriteria:

a. Produk impor Thailand yang memiliki nilai lebih dari USD 1 (satu) juta pada tahun 2012;

b. Merupakan barang konsumsi;

c. Merupakan produk penting ekspor Thailand ke Indonesia relatif terhadap dunia.

Selanjutnya, proses konsultasi dengan DFT dilakukan di Bangkok Thailand pada

tanggal 14 November 2013 yang dipimpin oleh Staf Ahli Bidang Diplomasi Perdagangan

Kemendag. Kepala Puska Daglu BPPKP juga turut hadir dalam konsultasi tersebut. Adapun pelaksanaan konsultasi berisi beberapa hal sebagai berikut:

23

a. Indonesia mengajukan usulan kompensasi perdagangan produk glass block

dengan alokasi kuota sebesar 10.000 ton per tahun. Besaran kompensasi tersebut berdasarkan ketentuan WTO dan data statistik ekspor glass block

Indonesia ke Thailand beberapa tahun sebelum dikenakan tindakan safeguard. Thailand beranggapan bahwa jumlah yang diusulkan cukup besar dan dapat membatalkan tujuan dari perpanjangan tindakan safeguard.

b. Indonesia berpandangan bahwa perpanjangan tindakan safeguard berdampak

negatif dan akan mempengaruhi ekspor Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia akan tetap meminta kompensasi perdagangan dari thailand nemun tetap fleksibel dengan pilihan menurunkan tarif secara signifikan tindakan safeguard sebagai pengganti kuota.

c. Indonesia meminta klarifikasi definisi dari glass block, mengingat tindakan yang dikenakan Thailand mencakup semua produk di bawah HS 7601.9000,

sementara dalam HS tersebut ada produk yang bukan sejenis. Thailand

menginformasikan bahwa glass block yang dimaksud adalah untuk bahan konstruksi dan Thailand bersedia untuk meninjau kembali keputusan tersebut dan akan mengeluarkan produk yang bukan sejenis dari tindakan safeguard.

d. Kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan rapat teknis guna mencari solusi

alternatif yang saling menguntungkan dan terus melakukan konsultasi informal, termasuk melalui email pada kesempatan pertama. Masalah ini telah diangkat

pada tingkat SEOM Joint Commission ke-6 antara Indonesia dan Thailand pada

tanggal 14 November 2013. Kedua belah pihak juga sepakat untuk membahas lebih lanjut masalah ini pada Joint Trade Commission yang akan mulai dibahas sekitar Februari 2014.

IV.2. Potensi Dampak Tindakan Pengamanan Perdagangan terhadap Kinerja Ekspor Indonesia Perhitungan seberapa besar potensi dampak tindakan pengamanan perdagangan

di negara importir terhadap kinerja ekspor Indonesia menggunakan data BPS dengan berbagai asumsi, diantaranya:

a. Kasus tindakan pengamanan perdagangan yang dikenakan terhadap

Indonesia bersumber dari kasus yang ditangani oleh DPP Ditjen Daglu yang pada tahun 2012 dan 2013.

24

b. Menggunakan data BPS dengan level HS 6 digit ataupun HS 4 digit.

c. Menggunakan advalorem tarif tindakan pengamanan perdagangan dan

berpengaruh proporsional terhadap nilai ekspor. Dalam hal ini di ambil skenario moderat 20% untuk tahun pertama dan 15% untuk tahun kedua (mempertimbangkan aspek liberalisasi).

Dari hasil kalkulasi diperoleh nilai potensi kerugian ekspor Indonesia di tahun

2012 sebesar US$ 1,92 juta dan sedikit menurun di tahun berikutnya sebesar US$ 1,83

juta. Perlu dicatat bahwa angka ini merupakan perkiraan kasar dan kemungkinan lebih

kecil atau lebih besar dari yang sebenarnya. Perkiraan yang underestimate terkait dengan penggunaan tanggal inisiasi kasus pada database DPP periode 2012-2013 sebagai sumber referensi perhitungan. Sebagaimana dilihat dari data inisiasi kasus di

WTO bahwa Indonesia juga terkena beberapa kasus tindakan anti-dumping, safeguard, maupun tindakan imbalan yang dikenakan kepada Indonesia sebelum tahun. Sementara itu perkiraan yang overestimate disebabkan karena tarif advelorem yang digunakan lebih besar dari tarif definitif yang dikenakan sesungguhnya. Selain itu, beberapa kasus

dalam database DPP memiliki tanggal inisiasi yang berbeda dengan tanggal inisiasi

dimulainya penyelidikan kasus oleh negara importir yang dinotifikasikan secara resmi

ke WTO. Sebagai contoh, tanggal inisiasi penyelidikan kasus safeguard glass block pada database DPP tercatat tanggal 5 Juni 2013, sedangkan di WTO kasus tersebut diinisiasi pada tanggal 16 Desember 2010. Tabel 16.

Perkiraan Kerugian Ekspor Indonesia Akibat Pengenaan Tindakan Pengamanan Perdagangan di Negara Tujuan Ekspor Potensi Nilai Kerugian (ribu US$)

Ekspor Indonesia No

Negara

Produk

Nilai (ribu US$)

HS

2012 1

Afrika Selatan

Unframed Glass Mirrors

7009.91

2

Amerika Serikat

Monosodium Glutamate (MSG)

2922.42; 2103.90

3

Amerika Serikat

Hot Rolled Carbon Steel Plate

7208; 7221; 7225; 7226; 7210; 7211; 7212

4

Amerika Serikat

Oil Country Tubular Goods (OCTG)

7304

5

Amerika Serikat

Frozen Warmwater Shrimp

0306.13; 1605.20

Volume (ton)

Jan-Agst 2013

2012

Jan-Agst 2013

2012

2013

27,0

42,0

6,0

48,0

5,4

8,4

534,2

494,4

163,5

141,6

-

74,2

-

279,0

-

180,0

-

55,8

39,6

6,6

22,2

1,8

7,9

1,3

589,0

495,1

72,2

51,4

-

74,3

25

6

Australia

Hot Rolled Plate Steel

7208.40; 7208.51; 7208.52; 7225.40

7

Australia

Power Transformers

8504.22

8

Brazil

ACRYLIC YARN

5509.31; 5509.32; 5509.61; 5509.62; 5509.69

9

Canada

Canada Border Services Agency (CBSA)

10

India

11

185,1

279,7

893,9

152,2

-

42,0

990,0

103,0

117,0

19,0

-

15,5

261,2

65,5

55,9

15,0

52,2

13,1

7208.51; 7208.52

402,5

-

596,6

-

-

-

POLY VINYL CHLORIDE (PVC)

3904.10; 3904.21; 3904.22

87,0

31,0

36,0

12,0

17,4

6,2

India

Seamless Pipes & Tubes

7304

11,5

12,8

5,8

3,5

-

1,9

12

Japan

Cut Sheet Paper

4802

520,6

294,0

461,3

298,3

104,1

58,8

13

Korea, Republic of

Oriented Polyprophylene Film

3920.20; 3921.90

13,7

7,5

778,6

574,2

2,7

1,5

14

Malaysia

Hot-rolled Low Carbon Steel Wire Rod Bar

7213

1,2

397,0

1,2

342,0

0,2

79,4

15

Malaysia

Biaxially Oriented Poly Propylene (BOPP)

3920.20

14,5

7,6

5,8

2,9

-

1,1

16

Philippines

Galvanized Iron (GI) And Prepainted Galvanized Iron (PPGI)

7210

1,4

451,0

960,0

300,0

-

67,7

17

Philippines

Newsprint

4801.00

1,8

2,1

2,7

2,9

-

0,3

18

Russian Federation

Combine harvesters and modules

8433.51; 8433.90

-

-

-

-

-

-

19

Russian Federation

Woven Fabrics

5407

125,0

96,0

20,0

14,0

25,0

19,2

20

Russian Federation

Tableware and Kitchenware Porcerlain

6911.10

449,0

227,0

40,0

20,0

-

34,1

21

Thailand

Hot Rolled Steel Flat

7225; 7226

19,0

37,0

13,0

20,0

3,8

7,4

22

Thailand

Glass Block (GB)

7016.90

1,4

613,0

3,5

1,5

-

92,0

23

Ukraine

Tableware dan Kitchenware of Porcelain

6911.10

-

-

-

-

-

-

24

Uni Eropa

THREADED TUBE OR PIPE CAST FITTINGS OF MALLABLE CAST IRON

7307.19

1.004,0

214,3

232,0

514,0

200,8

42,9

25

Uni Eropa

Biodiesel

1516.20; 1518.00; 2710.19; 2710.20; 3824.90; 3826.00

3.473,4

2.266,2

4.287,3

1.435,8

694,7

453,2

26

Uni Eropa

Bicycles

8712.00; 8712.70

3.895,0

3.336,7

2.402,0

3.106,0

779,0

667,3

27

Uni Eropa

GLASS FIBERS (Certain Open Mash Fabrics)

7019.51; 7019.59

-

-

-

-

-

-

28

Vietnam

Vegetable Oil

1507.90; 1511.90

123,8

42,2

123,7

53,0

24,8

8,4

Vietnam

Certain Cold Rolled Stainless Steel

7219; 7220

15,5

7,0

9,0

4,4

-

1,0

12.786,4

9.807,7

11.309,3

7.313,4

1.918,1

1.826,9

29

Total

Sumber: hasil estimasi

26

IV.3. Pengalaman Perusahaan-perusahaan Indonesia yang terkena Tindakan Pengamanan Perdagangan di Negara Tujuan Ekspor Untuk

mengetahui

seberapa

jauh

peran

pemerintah

terutama

dalam

memfasilitasi perusahaan yang terkena kasus tindakan pengamanan perdagangan oleh

negara importir, maka perlu mendapatkan opini dari perusahaan terkait. Informasi dari perusahaan tertuduh maupun yang telah terkena tindakan pengamanan perdagangan juga diperlukan untuk mengetahui dampak tindakan pengamanan perdagangan negara

tujuan ekspor terhadap kinerja perusahaan. Terkait hal ini, telah dilakukan pengumpulan data lapangan di Provinsi Jawa Timur dan Sumatera Utara mengenai respon/pengalaman

perusahaan

Indonesia

yang

mengalami

tuduhan

dumping/safeguard/subsidi atau sudah terkena tindakan pengamanan perdagangan oleh negara tujuan ekspor. Adapaun respon instansi dan perusahaan adalah sebagai berikut: 

Setelah mengetahui bahwa komoditas ekspornya mendapat tuduhan/dikenakan

tindakan pengamanan perdagangan oleh negara lain, respon perusahaan pada

umumnya dalah menyampaikan argumen dan pembelaan secara tertulis kepada pihak negara penuduh. Namun demikian, perusahaan menyayangkan bahwa

surat pemberitahuan dari negara penuduh langsung ditujukan kepada

perusahaan tanpa memberikan tembusan/melalui Pemerintah Indonesia. Hal tersebut dirasa cukup menyulitkan perusahaan dalam melakukan pembelaan

karena tidak adanya kesiapan dan tidak adanya pendampingan (advocacy) dari 

pemerintah Indonesia.

Pengenaan tindakan pengamanan perdagangan oleh negara tujuan ekspor

berupa tambahan bea masuk menyebabkan harga jual komoditi ekspor di pasar

tujuan ekspor menjadi lebih tinggi sehingga produk ekspor menjadi sangat tidak

kompetitif. Hal tersebut berlanjut pada turunya permintaan barang secara signifikan. Bahkan, beberapa perusahaan menyatakan bahwa pihaknya tidak

dapat lagi melakukan ekspor karena negara penuduh merupakan satu-satunya negara tujuan ekspor/potensial untuk produk mereka. Selain itu, ada juga perusahaan yang mengaku mengalami penurunan produksi mencapai 20% dari produksi semula sebagai dampak dari turunnya permintaan ekspor.

27



Beberapa perusahaan yang disurvey menyatakan bahwa dengan adanya atau dikenakannya tindakan pengamanan perdagangan oleh negara tujuan ekspor

serta kompetisi dagang yang semakin ketat terutama dengan produk-produk serupa dari negara China, Thailand dan Vietnam, perusahaan sudah tidak mampu

lagi melakukan ekspor sehingga hampir semua/sebagian besar produksinya

ditujukan untuk pasar domestik. Sementara itu, beberapa perusahaan lainnya melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor untuk mengurangi kerugian akibat dikenakan tindakan pengamanan perdagangan dengan melakukan diversifikasi 

negara tujuan ekspor terutama ke negara-negara Asia Selatan.

Peran pemerintah dalam penanganan kasus tindakan pengamanan perdagangan dirasa kurang. Pada saat perusahaan mendapatkan tuduhan tindakan

pengamanan perdagangan dari negara tujuan ekspor melalui surat resmi, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan tembusan isi surat tersebut.

Selanjutnya, pada saat perusahaan melakukan pelaporan ke pemerintah terkait kasus tersebut, perusahaan merasa belum ada aksi yang serius yang dilakukan

oleh pemerintah untuk membantu penyelesaian kasus tersebut. Hal yang

dilakukan pemerintah hanya memberikan saran kepada perusahaan untuk melakukan pembelaan secara tertulis yang langsung ditujukan kepada negara penuduh tanpa memberikan pendampingan dan advocacy yang cukup dan berkelanjutan. Selanjutnya, untuk mengetahui kelanjutan proses terkini terkait

tuduhan dumping/safeguard/subsidi tersebut, pemerintah menyarankan kepada 

perusahaan untuk membuat surat resmi langsung kepada negara penuduh.

Beberapa perusahaan yang disurvey mengeluhkan mengenai semakin mahalnya harga bahan baku dalam negeri akibat diterapkannya Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk bahan baku produksi perusahaan tersebut. Di sisi lain, bahan baku

impor jauh lebih terjangkau, namun belum memenuhi SNI dikarenakan biaya

survey yang cukup mahal. Kondisi ini seringkali dimanfaatkan oleh beberapa

perusahaan/pemasok bahan baku utama di dalam negeri untuk menguasai pasar dan mengatur/menaikkan harga secara sepihak. Jika hal it uterus berlanjut, maka

produk yang dihasilkan dikhawatirkan tidak mampu berkompetesi dengan produk serupa di pasar internasional.

V. PENUTUP

28

V.1. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan

beberapa hal sebagai berikut: 1.

Data WTO menunjukkan bahwa selama periode 1995-2012 telah terjadi 4.230 kasus tuduhan dumping dan sebanyak 2.719 kasus yang benar-benar dapat

dibuktikan terjadinya dumping. Untuk safeguard, terdapat 254 kasus yang dituduhkan dan hanya 121 kasus yang memang mengakibatkan kerugian pada industri negara pengimpor. Sementara itu, dari sejumlah 302 kasus tuduhan

subsidi, sebanyak 177 kasus dikenakan tindakan imbalan. Indonesia menempati peringkat ke-6 sebagai negara yang sering dituduh dumping dan menempati 2.

peringkat ke-4 sebagai negara yang sering dituduh subsidi oleh negara lain.

Tindakan anti-dumping, safeguard, dan tindakan imbalan merupakan tindakan diperbolehkan dalam sistem perdagangan multilateral dan telah diatur dalam WTO. Namun demikian tindakan tersebut berpotensi merugikan perusahaan yang

berorientasi ekspor maupun mengurangi penerimaan negara pengekspor. Bagi Indonesia, tindakan pengamanan perdagangan oleh negara importir berpotensi mengurangi kinerja ekspor Indonesia sebesar US$ 1,92 juta di tahun 2012 dan US$

1,83 juta di tahun 2013. Bagi perusahaan tertuduh, tindakan pengamanan oleh negara importir berupa tambahan bea masuk menyebabkan harga jual komoditi

ekspor menjadi sangat tidak kompetitif, bahkan mengalami pemberhentian ekspor 3.

serta penurunan produksi.

Pemerintah telah berupaya melakukan langkah-langkah penanganan tuduhan kasus

dumping, safeguard, ataupun subsidi antara lain dengan menyampaikan informasi

inisiasi tuduhan kepada pihak terkait, memonitor perkembangan kasus, mengumpulkan informasi dan data sebagai bahan submisi/sanggahan, serta

berpartisipasi dalam public hearing yang diselenggarakan oleh negara penuduh. Meskipun demikian, beberapa perusahaan yang disurvey masih merasa kurangnya

peran serta pemerintah dalam mendampingi maupun advokasi penanganan kasus yang melibatkan perusahaan tertuduh.

29

V.2. Rekomendasi Beberapa kebijakan dalam rangka mengoptimalkan usaha-usaha pengamanan

perdagangan Indonesia terhadap produk ekspor adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan peran pendampingan oleh pemerintah selama proses investigasi kasus.

Ketentuan WTO dalam anti-dumping dan tindakan imbalan mensyaratkan bahwa

otoritas yang berwenang melakukan tuduhan tindakan pengamanan perdagangan di negara pengimpor harus mencari dan memeriksa bukti-bukti yang jelas dan

cukup sebagai dasar penetapan tindakan pengamanan perdagangan. Untuk mendukung hal ini, biasanya otoritas akan melakukan investigasi ke perusahaan

pengeskpor. Dalam proses ini, pemerintah dapat berperan aktif dengan

mendampingi perusahaan tertuduh agar perusahaan tersebut mendapatkan 2.

kesiapan dalam menyampaikan pembelaan terkait kasus tersebut. Peningkatan peran aktif pemerintah dalam proses konsultasi

Dalam proses public hearing, pihak yang berkepentingan, dalam hal ini eksportir maupun

negara

pengekspor

diberikan

kesempatan untuk menyampaikan

pendapatnya terkait hasil penyelidikan sementara. Kesempatan ini dapat digunakan

pemerintah untuk melakukan klarifikasi dan memperjuangkan kepentingan eksportir untuk mencabut tuduhan tersebut sehingga perusahaan dapat kembali melakukan kegiatan ekspor ke negara tujuan ekspor yang melakukan tuduhan.

Selain dalam public hearing, perintah dapat menggunakan konsultasi/negosiasi bilateral dengan negara bersangkutan agar tindakan pengamanan perdagangan terhadap barang ekspor Indonesia tidak dikenakan, atau paling tidak mendapatkan

hambatan perdagangan yang minimal. Apabila tidak puas dengan keputusan final

yang dibuat negara pengimpor, pemerintah Indonesia dapat membawa kasus antidumping, safeguard, tindakan imbalan ke Dispute Settlement Body di WTO.

30

DAFTAR PUSTAKA Department for Business, Innovation & Skills UK. (2012). Anti-dumping: Selected Economic

Issues.

https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file /32460/12-754-anti-dumping.pdf

Direktorat Pengamanan Perdagangan , Ditjen Daglu Kemendag. (2013). Kasus - Kasus Tuduhan Dumping, Subsidi dan Safeguard Terhadap Indonesia Tahun 2012 – November 2013. Tidak Dipublikasikan

Global Trade Alert. (2011). Thailand: Final Safeguard Duties Concerning Imports of

Glass Block. http://www.globaltradealert.org/measure/thailand-final-safeguardduties-concerning-imports-glass-block

Nurmansyah, Sugih. (2009). Sekilas Tuduhan Dumping, Subsidi dan Safeguard Negara

WTO Tahun 1995-2008. Buletin Kerjasama Perdagangan Internasional EDISI55/KPI/2009

Provisi

Sumatera

Barat.

(2010).

Penanganan

Tuduhan

http://203.130.196.151/~admin19/detail_artikel.php?id=228

Dumping.

Viljoen, Willemien. (2013). Trade remedies and safeguards in BRICS countries. TRALAC Working Paper, February 2013

WTO. 2013. Agreement on Implementation of Article VI of the General Agreement on Tariffs

and

Trade

1994

(Anti-Dumping

Agreement).

http://www.wto.org/english/res_e/booksp_e/analytic_index_e/anti_dumping_04_ e.htm#article13

WTO.

2013.

Agreement

WTO.

2013.

Statistics

on

Safeguards.

http://www.wto.org/english/res_e/booksp_e/analytic_index_e/safeguards_e.htm on

http://www.wto.org/english/tratop_e/adp_e/adp_e.htm

WTO.

2013.

Statistics

on

Safeguard

Measures.

Countervailing

Measures.

http://www.wto.org/english/tratop_e/safeg_e/safeg_e.htm

WTO.

2013.

Statistics

on

Subsidies

and

Anti-Dumping.

http://www.wto.org/english/tratop_e/scm_e/scm_e.htm

31