APLIKASI MODEL PERENCANAAN TRANSPORTASI 4 TAHAP DALAM PEMECAHAN

Download dipublikasikan di Jurnal Teknik Sipil, Jurusan Teknik Sipil ITB, Tahun 3, No 008 .... biasanya berbentuk studi manajemen transportasi diman...

0 downloads 239 Views 121KB Size
APLIKASI MODEL PERENCANAAN TRANSPORTASI 4 TAHAP DALAM PEMECAHAN MASALAH TRANSPORTASI DI NEGARA SEDANG BERKEMBANG

Ofyar Z Tamin

Januari 1994

JURNAL TEKNIK SIPIL JURUSAN TEKNIK SIPIL INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

APLIKASI MODEL PERENCANAAN TRANSPORTASI 4 TAHAP DALAM PEMECAHAN MASALAH TRANSPORTASI DI NEGARA SEDANG BERKEMBANG1 Ofyar Z Tamin2 Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung ABSTRAK Masalah transportasi atau perhubungan merupakan masalah yang selalu dihadapi oleh negara-negara yang telah maju dan juga oleh negara yang sedang berkembang seperti di Indonesia baik di bidang transportasi perkotaan (urban transportation) maupun transportasi antar kota (rural transportation). Terciptanya suatu sistem perangkutan atau perhubungan yang menjamin pergerakan manusia, kendaraan dan atau barang secara lancar, aman, cepat, murah dan nyaman sudah merupakan tujuan pembangunan dalam sektor perhubungan. Tantangan bagi para perencana transportasi di daerah perkotaan khususnya di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia adalah kemacetan lalu-lintas (congestion) dan keterlambatan (delay), polusi udara dan suara, getaran, pengrusakan lingkungan. Hal ini biasanya terjadi di kota-kota besar yang mempunyai penduduk lebih dari 2 (dua) juta jiwa, yang sampai saat ini telah dicapai oleh kota-kota seperti: Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung. Pada akhir tahun 2000 diperkirakan akan diikuti oleh kota-kota besar lainnya seperti: Semarang, Palembang, Ujung Pandang, dan Bogor, serta beberapa ibukota propinsi lainnya. Problem-problem transportasi tersebut timbul terutama disebabkan karena tingkat urbanisasi, pertumbuhan jumlah kendaraan dan populasi, pergerakan yang meningkat dengan pesat setiap harinya. Untuk itu, informasi mengenai pergerakan sangat penting untuk diketahui untuk beberapa tujuan perencanaan transportasi dalam usaha mengatasi masalah kemacetan dalam waktu yang relatif tidak begitu lama (quick response) dan dengan biaya yang cukup murah. Untuk itu, interaksi sistem kegiatan (tata guna tanah) dengan sistem jaringan (transportasi) dan sistem pergerakan (lalulintas) perlu dianalisa secara lebih mendalam dan menjadi sangat penting (prioritas utama) untuk diketahui dalam usaha mengatasi masalah kemacetan. Metoda analisa yang telah dikembangkan sampai saat ini membutuhkan biaya yang mahal serta waktu proses yang lama. Jelas ini tidak sesuai untuk negara yang sedang berkembang, karena adanya keterbatasan waktu dan biaya, yang tentunya selalu memerlukan pemecahan dan penanganan masalah transportasi yang bersifat 'quick-response'. Pemecahan masalah transportasi yang membutuhkan 'dana yang tidak begitu tinggi (cheap)' dan 'waktu yang tidak begitu lama (quick-response' sangatlah dibutuhkan untuk kota-kota besar Indonesia karena berbagai hal terutama tingkat pertumbuhan kendaraan, ekonomi yang tinggi. Tulisan ini akan menjelaskan secara global model perencanaan transportasi 4 tahap yang mengkaitkan interaksi antara sistem kegiatan (tata guna tanah) dengan sistem jaringan (transportasi) dan sistem pergerakan (lalu-lintas) yang dapat dianalisa dengan biaya yang cukup rendah (murah) dan dengan waktu proses yang cukup singkat (cepat). 1 2

dipublikasikan di Jurnal Teknik Sipil, Jurusan Teknik Sipil ITB, Tahun 3, No 008, Hal 1−16, ISSN: 0853−2982. Wakil Ketua Program Magister Transportasi, ITB.

1

1.

PENDAHULUAN

1.1

Umum

Seperti di negara-negara yang sedang berkembang lainnya, kota-kota besar di Indonesia pada saat ini berada dalam tahap pertumbuhan urbanisasi yang tinggi sebagai akibat dari laju pertumbuhan ekonominya yang pesat sehingga kebutuhan penduduk untuk melakukan pergerakanpun menjadi semakin meningkat. Mobil sebagai kendaraan pribadi mempunyai keuntungan yang sangat besar bagi setiap individu terutama dalam hal mobilitas pergerakannya. Penggunaan kendaraan pribadi ini akan meningkatkan kesempatan seseorang untuk bekerja, rekreasi dan melakukan aktivitas sosial. Pada umumnya, peningkatan pemilikan kendaraan pribadi (mobil) adalah merupakan cerminan hasil interaksi antara peningkatan taraf hidup dan kebutuhan mobilitas penduduk di daerah perkotaan dimana keuntungan dari penggunaan jalan yang dicapai digunakan untuk meningkatkan kemakmuran dan mobilitas penduduk. Akan tetapi, penggunaan kendaraan pribadi juga dapat menghasilkan beberapa efek negatif yang tidak dapat dihindari. Peningkatan penggunaan kendaraan pribadi akan mengakibatkan perusakan kualitas kehidupan terutama di daerah pusat perkotaan, kemacetan dan keterlambatan pada beberapa ruas jalan dan polusi lingkungan baik suara maupun udara. Seperti contoh kota Jakarta dimana tercatat 84% dari kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya adalah kendaraan pribadi. Dari jumlah ini ternyata 45% dari kendaraan pribadi tersebut hanya berisi 1 (satu) orang saja, sehingga penggunaan kendaraan pribadi sudah menjadi tidak efisien lagi. Efektifitas penggunaan ruang jalan yang memang sudah sangat terbatas akan menjadi sangat rendah jika digunakan untuk kendaraan pribadi dibandingkan dengan untuk kendaraan umum. Tantangan bagi pemerintah khususnya di negara-negara yang sedang berkembang, dalam hal ini instansi dan departemen terkait dan termasuk juga para perencana transportasi perkotaan yaitu masalah kemacetan lalu-lintas serta pelayanan angkutan umum perkotaan. Problem kemacetan ini biasanya timbul pada kota-kota yang mempunyai populasi penduduk lebih dari 2 (dua) juta jiwa, yang sampai saat ini di negara Indonesia telah dicapai oleh beberapa kota seperti: Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung. Pada akhir tahun 2000, diperkirakan akan diikuti oleh beberapa kota-kota lainnya seperti: Semarang, Palembang, Ujung Pandang, Bogor, disusul kemudian oleh kota-kota Malang, Jogyakarta, Bandar Lampung, serta beberapa ibukota propinsi lainnya. Walaupun kota-kota yang lebih kecil juga mempunyai masalah transportasi yang perlu pemecahan secara dini, namun pada umumnya masih dalam skala yang relatif kecil dan tidak memerlukan biaya yang besar. Pada saat sekarang ini sudah banyak terbukti bahwa program pembangunan jalan di daerah perkotaan membutuhkan biaya yang sangat besar. Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah dalam rangka memecahkan masalah transportasi perkotaan telah banyak dilakukan baik dengan meningkatkan kapasitas dari jaringan jalan yang ada maupun dengan pembangunan jaringan jalan yang baru, ditambah juga dengan rekayasa dan pengelolaan lalu-lintas (traffic engineering and management) terutama dalam hal pengaturan terhadap efisiensi dari transportasi angkutan umum dan penambahan armadanya. Akan tetapi, berapapun besarnya biaya yang akan dikeluarkan, kemacetan dan keterlambatan akan tetap tidak bisa dihindari. Hal ini disebabkan karena kebutuhan akan transportasi terus berkembang dengan pesat sedangkan perkembangan dari penyediaan fasilitas transportasi sangat rendah sehingga tidak bisa mengikutinya. Sebagai ilustrasi, pertumbuhan panjang dan

2

luas jalan raya di kota Bandung antara tahun 1978 sampai dengan 1983 berkisar antara 2%4% saja, sedangkan pertumbuhan jumlah kendaraan berkisar 9%-10%. Sehingga pertumbuhan kendaraan hampir dua kali lipat pertumbuhan panjang dan luas jalan raya yang ada. Akibat yang dirasakan adalah kemacetan lalu-lintas yang sering terjadi yang terlihat jelas dalam bentuk antrian yang panjang (queueing), keterlambatan (delay), dan juga polusi baik suara maupun udara. Problem lalu-lintas tersebut sudah jelas menimbulkan kerugian yang sangat besar pada pemakai jalan terutama dalam hal pemborosan bahan bakar, pemborosan waktu (keterlambatan) dan juga kenyamanan yang rendah. Dapat dibayangkan berapa banyak uang/dana yang terbuang percuma karena kendaraan-kendaraan tersebut terperangkap dalam kemacetan dan berapa banyak dana/uang yang akan dapat disimpan jika kemacetan tersebut dapat dihilangkan (dari segi biaya bahan bakar dan nilai waktu karena kemacetan). Hal-hal tersebut diatas menyebabkan perlunya dipikirkan alternatif-alternatif pemecahan masalah transportasi terutama kemacetan di daerah perkotaan 1.2

Pendekatan Sistem Transportasi

Untuk mendapatkan pengertian yang lebih mendalam dan usaha untuk mendapatkan alternatifalternatif pemecahaan masalah yang baik, sistem transportasi makro perlu dipecahkan menjadi sistem transportasi yang lebih mikro. Sistem transportasi secara menyeluruh (makro) dapat dipecahkan menjadi beberapa sub-sistem dimana masing-masing sistem mikro tersebut akan saling terkait dan saling mempengaruhi seperti terlihat pada gambar 1. Sistem mikro tersebut adalah sebagai berikut: a. b. c. d.

Sistem Kegiatan (Transport Demand) Sistem Jaringan (Prasarana Transportasi/Transport Supply) Sistem Pergerakan (Lalu-lintas/Traffic) Sistem Kelembagaan

Setiap tata guna tanah atau Sistem Kegiatan mempunyai tipe kegiatan tertentu yang akan 'membangkitkan' pergerakan (traffic generation) dan akan 'menarik' pergerakan (traffic attraction). Sistem tersebut merupakan suatu sistem pola kegiatan tata guna tanah (land use) yang terdiri dari sistem pola kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Kegiatan yang timbul dalam sistem ini membutuhkan adanya pergerakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan yang perlu dilakukan setiap/harinya yang tidak dapat dipenuhi oleh tata guna tanah tersebut. Besarnya pergerakan yang ditimbulkan tersebut sangat berkaitan erat dengan jenis/tipe dan intensitas kegiatan yang dilakukan. Pergerakan tersebut baik berupa pergerakan manusia dan/atau barang jelas membutuhkan suatu moda transportasi (sarana) dan media (prasarana) tempat moda transportasi tersebut dapat bergerak. Prasarana transportasi yang diperlukan tersebut merupakan sistem mikro yang kedua yang biasa dikenal dengan Sistem Jaringan yang meliputi jaringan jalan raya, keretaapi, terminal bus dan kereta api, bandara dan pelabuhan laut. Interaksi antara Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan ini akan menghasilkan suatu pergerakan manusia dan/atau barang dalam bentuk pergerakan kendaraan dan/atau orang (pejalan kaki). Suatu Sistem Pergerakan yang aman, cepat, nyaman, murah dan sesuai dengan lingkungannya akan dapat tercipta jika pergerakan tersebut diatur oleh suatu sistem rekayasa dan manajemen lalu-lintas yang baik.

3

SISTEM TRANSPORTASI MAKRO

SISTEM KELEMBAGAAN

SISTEM KEGIATAN

SISTEM JARINGAN

SISTEM PERGERAKAN

Gambar 1: Sistem Transportasi Makro Permasalahan kemacetan yang sering terjadi di kota-kota besar di Indonesia biasanya timbul disebabkan karena kebutuhan akan transportasi yang lebih besar dibandingkan dengan prasarana transportasi yang tersedia atau prasarana transportasi yang tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Sistem Kegiatan, Sistem Jaringan, dan Sistem Pergerakan akan saling mempengaruhi satu dengan lainnya seperti terlihat pada gambar 1. Perubahan pada Sistem Kegiatan jelas akan mempengaruhi Sistem Jaringan melalui suatu perubahan pada tingkat pelayanan pada sistem pergerakan. Begitu juga perubahan pada Sistem Jaringan akan dapat mempengaruhi Sistem Kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksesibilitas dari sistem pergerakan tersebut. Selain itu, Sistem Pergerakan memegang peranan yang penting dalam mengakomodir suatu sistem pergerakan agar tercipta suatu sistem pergerakan yang lancar yang akhirnya juga pasti akan mempengaruhi kembali Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan yang ada. Ketiga sistem mikro ini saling berinteraksi satu dengan yang lainnya yang terkait dalam suatu sistem transportasi makro. Sesuai dengan GBHN 1988, dalam usaha untuk menjamin terwujudnya suatu sistem pergerakan yang aman, nyaman, lancar, murah dan sesuai dengan lingkungannya, maka dalam sistem transportasi makro terdapat suatu sistem mikro tambahan lainnya yang disebut dengan Sistem Kelembagaan yang terdiri beberapa individu, kelompok, lembaga, instansi pemerintah serta swasta yang terlibat dalam masing-masing sistem mikro tersebut. Di negara Republik Indonesia sistem kelembagaan (instansi) yang berkaitan dengan masalah transportasi adalah sebagai berikut: -

Sistem Kegiatan: BAPPENAS, BAPPEDA, BANGDA, PEMDA

-

Sistem Jaringan: Departemen Perhubungan (Darat, Laut, Udara), Bina Marga

4

-

Sistem Pergerakan: DLLAJR, ORGANDA, POLANTAS

BAPPENAS, BAPPEDA, PEMDA, BANGDA memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan Sistem Kegiatan melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan baik Wilayah, Regional maupun Sektoral. Kebijaksanaan Sistem Jaringan secara umum ditentukan oleh Departemen Perhubungan baik darat, laut dan udara serta Departemen PU melalui Direktorat Jenderal BINA MARGA. Sistem Pergerakan ditentukan oleh DLLAJR, DEPHUB, POLANTAS, MASYARAKAT sebagai pemakai jalan (road user) dan lain-lain. Kebijaksanaan yang diambil tentunya dapat dilaksanakan dengan baik melalui suatu peraturan yang secara tidak langsung juga memerlukan adanya suatu sistem penegakan hukum yang baik pula. Sehingga secara umum dapat disebutkan bahwa Pemerintah, Swasta dan Masyarakat seluruhnya dapat berperan dalam mengatasi masalah dalam sistem transportasi ini terutama dalam hal mengatasi masalah kemacetan. 2.

PENDEKATAN PERENCANAAN TRANSPORTASI

2.1

Umum

Tujuan dasar para perencana transportasi (transport planner) adalah untuk memperkirakan jumlah dan lokasi kebutuhan/permintaan akan transportasi (jumlah perjalanan, baik untuk angkutan umum maupun kendaraan pribadi) pada masa yang akan datang ('tahun rencana') untuk kepentingan kebijaksanaan investasi perencanaan transportasi. Supaya lebih konkrit, penjelasan akan diarahkan pada perencanaan transportasi perkotaan (urban transportation). Terdapat beberapa skala waktu dalam perencanaan suatu sistem transportasi perkotaan yaitu: skala panjang, menengah dan pendek. Umur perencanaan mungkin akan sangat panjang (25 tahun) yang biasanya digunakan untuk perencanaan strategi suatu kota yang berjangka panjang. Strategi ini akan sangat dipengaruhi oleh perencanaan tata guna tanah dimana perkiraan arus lalu-lintas dalam perencanaan ini biasanya dipecahkan berdasarkan moda dan rute. Studi-studi tersebut biasa dilakukan untuk merencanakan suatu kota baru. Skala lainnya yaitu studi transportasi berskala pendek, dengan 'tahun rencana' maksimum 5 tahun. Studi ini biasanya berbentuk studi manajemen transportasi dimana perkiraan efek rute suatu moda transportasi yang disebabkan karena kebijaksanaan manajemen lalu-lintas. Studi tersebut pada dasarnya bersifat teknis karena tata guna tanah pada waktu yang sangat singkat akan mempunyai efek yang tidak begitu penting. Di antara kedua skala studi tersebut terdapat studi transportasi berskala menengah dengan umur perencanaan sekitar 10-20 tahun di masa mendatang. Studi semacam ini telah dimulai sejak tahun 1950-an di Amerika Serikat. Sedangkan di Indonesia, Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan telah pula dilakukan studi-studi tersebut pada waktu 10 tahun belakangan ini. 2.2

Pendekatan 'SISTEM' Untuk Perencanaan Transportasi

Pendekatan SISTEM adalah suatu pendekatan umum untuk perencanaan dan teknik dimana suatu usaha dilakukan untuk menganalisa seluruh faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah yang ada. Seperti contoh: suatu kemacetan lokal yang disebabkan karena 'bottleneck' (penyempitan lebar jalan) dapat dipecahkan dengan melakukan perbaikan secara lokal. Akan

5

tetapi, hal ini mungkin akan menyebabkan problem timbul di tempat lainnya. Pendekatan secara sistem akan mempertanyakan problem yang ada. Seperti contoh, apakah ini disebabkan karena terlalu banyak lalu-lintas di daerah tersebut?. Jika benar, kenapa lalu-lintas tersebut terlalu banyak?. Hal ini mungkin disebabkan karena terlalu banyak kantor yang sangat berdekatan letaknya, atau mungkin juga karena ruang yang sangat sempit untuk lalu-lintas dan lain-lain. Sehingga pemecahan dapat berupa: manajemen lalulintas secara lokal, jalan baru atau angkutan umum, atau perencanaan tata guna tanah yang baru. Pendekatan secara sistem mencoba menghasilkan pemecahan yang 'terbaik' dari beberapa alternatif pemecahan dengan batasan-batasan tertentu (waktu dan biaya). 2.3

Apakah SISTEM Tersebut?

Sistem adalah gabungan dari beberapa komponen, atau obyek, yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Dalam setiap sistem organisasi, perubahan pada satu komponen akan menyebabkan perubahan pada komponen lainnya. Dalam beberapa sistem, komponen berhubungan secara mekanis, misal: komponen dalam mesin mobil. Dalam sistem non-mekanis, seperti misalnya: dalam sistem tata guna tanah dengan transportasi, komponen tidak berhubungan secara mekanis, akan tetapi perubahan pada suatu komponen (kegiatan) akan menyebabkan perubahan pada komponen lainnya (jaringan dan pergerakan). Prinsip pada dasarnya sama. 2.4

Sistem Tata Guna Tanah-Transportasi

Sistem transportasi perkotaan terdiri dari berbagai aktifitas seperti bekerja, belanja, bertamu dan lain-lain. Aktifitas-aktifitas ini mengambil tempat pada sepotong tanah (kantor, pabrik, pertokoan, rumah dan lain-lain). Potongan tanah ini biasa disebut dengan tata guna tanah. Dalam pemenuhan kebutuhan, manusia melakukan perjalanan antara tata guna tanah tersebut dengan menggunakan sistem jaringan transportasi (berjalan kaki atau naik bus). Hal ini akan menyebabkan timbulnya pergerakan arus manusia, kendaraan dan barang. Pergerakan arus manusia, kendaraan dan barang akan mengakibatkan berbagai macam interaksi. Akan terdapat interaksi antara pekerja dan tempat mereka bekerja, antara ibu rumah tangga dengan pasar, antara pelajar dengan sekolah dan antara pabrik dengan lokasi bahan mentah dan pasar. Beberapa interaksi dapat dilakukan dengan telepon atau surat (sangat menarik untuk diketahui bagaimana sistem telekomunikasi yang lebih murah dan lebih canggih dapat mempengaruhi kebutuhan lalu-lintas di masa mendatang). Akan tetapi hampir semua interaksi yang terjadi memerlukan perjalanan, dan oleh sebab itu akan menghasilkan pergerakan arus lalu-lintas. Sasaran umum dari perencanaan transportasi adalah membuat interaksi menjadi semudah dan seefisien mungkin. Suatu cara perencanaan transportasi mendapatkan sasaran umum adalah membuat kebijaksanaan atas: a.

Sistem Kegiatan: perencanaan tata guna tanah yang baik (lokasi toko, sekolah, perumahan, pekerjaan dan lain-lain yang benar) dapat mengurangi keperluan akan perjalanan yang panjang sehingga membuat interaksi lebih mudah. Solusi tentang tata guna tanah biasanya memerlukan waktu yang cukup lama dan tergantung dari badan pengelola yang mempunyai kuasa untuk mengimplementasi perencanaan tata guna tanah.

6

b.

Sistem Jaringan: hal yang dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan kapasitas pelayanan prasarana yang ada seperti pelebaran jalan, menambah jaringan jalan baru dan lain-lain.

c.

Sistem Pergerakan: hal yang dapat dilakukan dapat berupa teknik dan manajemen lalu-lintas (jangka pendek), fasilitas angkutan umum yang lebih baik (jangka pendek dan menengah) atau pembangunan jalan (jangka panjang).

Distribusi geografis antara tata guna tanah (sistem kegiatan) serta kapasitas dan lokasi dari fasilitas transportasi (sistem jaringan) digabung bersama untuk mendapatkan volume dan pola lalu-lintas di daerah perkotaan (sistem pergerakan). Volume dan pola lalu-lintas sebuah kota akan mempunyai efek 'feedback' terhadap lokasi tata guna tanah yang baru dan perlunya peningkatan prasarana. 2.5

Analisa Interaksi Sistem Kegiatan Dengan Sistem Jaringan Transportasi

Tujuan utama dilakukannya analisa interaksi sistem ini oleh perencana transportasi adalah sebagai berikut: a. mengerti bagaimana sistem bekerja, dan b. Menggunakan hubungan analisa antara komponen-komponen sistem untuk memprediksi efek lalu-lintas dari beberapa tanah guna tanah atau kebijaksanaan transportasi yang berbeda. Hubungan dasar antara Sistem Kegiatan, Sistem Jaringan dan Sistem Pergerakan disatukan dalam beberapa urutan konsep, yang biasanya dilakukan secara berturut sebagai berikut: a.

Aksesibilitas: suatu ukuran potensial atau kesempatan untuk melakukan perjalanan. Konsep ini bersifat lebih abstrak jika dibandingkan dengan 5 konsep berikut. Konsep ini dapat digunakan untuk mengalokasikan problem yang terdapat dalam sistem transportasi dan mengevaluasi solusi-solusi alternatif.

b.

Pembangkit Lalu-lintas (Trip dibangkitkan oleh tata guna tanah.

c.

Trip Distribution: bagaimana perjalanan tersebut didistribusikan secara geografis di dalam daerah perkotaan.

d.

Pemilihan Moda Transportasi ('Modal Choice' atau 'Modal Split'): menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan moda transportasi untuk suatu tujuan perjalanan tertentu.

e.

Pemilihan Rute ('Route Choice' atau 'Trip Assignment'): menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan rute antara zona asal dan tujuan. Hal ini diperuntukkan khusus untuk kendaraan pribadi.

f.

Hubungan antara waktu, kapasitas dan arus lalu-lintas: waktu perjalanan dipengaruhi oleh kapasitas rute yang ada dan jumlah arus lalu-lintas yang menggunakannya.

Generation):

bagaimana

perjalanan

dapat

Segala sesuatu tindakan yang dilakukan dalam masing-masing bagian akan mempengaruhi bagian lainnya dalam sistem tersebut. Bagian yang terlibat dapat dilihat dibawah ini:

7

Profesi Perencanaan kota Pengelola angkutan Ahli lalulintas Ahli jalan raya

Variabel yang dipengaruhi oleh setiap profesi Tata guna tanah Transportasi (melayani bus umum dan kereta api) Transportasi (manajemen lalulintas) Transportasi (perbaikan jalan dan pembuatan jalan baru)

Perencana kota dapat mengatur lokasi aktivitas tata guna tanah. Jika hal ini terjadi perencana kota tersebut dapat mengatur aksesibilitas kota tersebut. Hal ini akan mempunyai efek terhadap bangkitan lalu-lintas dan 'trip distribusi'nya. Pengelola angkutan umum harus memperhatikan kemampuannya untuk bisa mengatur pemilihan moda dengan mengatur operasi bus atau kereta api yang lebih cepat dan mempunyai frekuensi yang lebih tinggi. Ahli lalu-lintas mencoba meningkatkan kecepatan lalu-lintas dalam waktu singkat dan membuat perjalanan lebih aman dengan menyediakan beberapa sarana seperti marka, pengaturan simpang dan lain-lain. Perubahan sistem transportasi ini akan mempunyai efek baik untuk tata guna tanah (dengan merubah aksesibilitas) dan arus lalu-lintas. Ahli jalan raya selalu dicap sebagai orang yang 'berbahaya' dalam sistem, apalagi jika dia tidak waspada terhadap efek pembangunan dalam bagian sistem tersebut. Ahli jalan raya biasanya mempunyai uang untuk membangun jalan tersebut. Oleh karena itu dia berada pada posisi yang membuat dampak yang besar di dalam sistem tersebut. Jalan baru akan menghasilkan perubahan yang besar terhadap distribusi perjalanan, pemilihan moda dan rute serta tata guna tanah (aksesibilitas). Ahli jalan raya harus waspada terhadap pengaruh jalan tersebut terhadap seluruh bagian dari sistem tersebut termasuk seluruh sistem kota di masa mendatang. 3.

ESTIMASI MATRIKS ASAL-TUJUAN (MAT) DENGAN DATA ARUS LALU-LINTAS

3.1

Tinjauan Pustaka

Arus lalu-lintas pada suatu ruas jalan adalah merupakan hasil kombinasi dua faktor utama yaitu: MAT dan pola pemilihan rute (route choice) oleh setiap pengendara dalam jaringan jalan tersebut. Kedua elemen ini berhubungan linear dengan arus lalu-lintas (persamaan 1). Metoda non-konvensional yang telah dikembangkan sampai saat ini dapat diklasifikasikan menjadi 2 group yaitu: Metoda Struktural (Structured Method) dan Metoda NonStruktural (Unstructured Method). Kedua metoda ini akan dijelaskan secara umum dibawah ini. 3.1.1 Metoda Non-Struktural Metoda Non-Struktural terdiri dari metoda yang tidak memerlukan adanya suatu model transportasi dalam mewakili kelakuan dari pemakai jalan. Akan tetapi, metoda ini menggunakan konsep 'informasi' atau 'entropi' dimana konsep ini pada mulanya berasal dari ilmu Fisika. Metoda yang telah dikembangkan sampai saat ini adalah metoda 'Maximum-Entropy' atau 'Information-Minimisation' (Willumsen, 1978). Metoda ini sebenarnya mencoba mengestimasi MAT yang paling 'mungkin (likely)' sesuai dengan data arus lalu-lintas yang juga merupakan satu-satunya data yang diperlukan. Akan tetapi, disamping keuntungan yang dapat diperoleh, metoda non-struktural inipun tidak luput dari beberapa kelemahan-kelemahan seperti (Atkins, 1987):

8

(a)

akurasi MAT sangat tergantung dari adanya informasi awal mengenai MAT (prior matrix). Dengan kata lain, metoda ini baik digunakan untuk mengestimasi MAT dengan cara memperbaiki MAT 'prior' dengan data arus lalu-lintas pada saat sekarang, dan

(b)

metoda ini tidak dapat digunakan untuk memprediksi MAT untuk masa yang akan datang. Sebagai contoh, metoda ini tidak bisa digunakan untuk melihat dampak dari pengembangan tata guna tanah, populasi, urbanisasi atau tingkat pendapatan suatu daerah terhadap pertumbuhan kegiatan transportasi di daerah tersebut pada masa yang akan datang.

Kelemahan inilah yang menyebabkan para peneliti mencoba mengembangkan metoda lain yang bisa digunakan untuk memprediksi MAT untuk masa yang akan datang (Low, 1972; Robillard, 1975; Tamin, 1985, 1988ab). 3.1.2 Metoda Struktural Model transportasi telah sering digunakan untuk mendapatkan MAT seperti contoh: model gravity dengan suatu bentuk fungsi dan beberapa parameter tertentu. Keuntungan yang diperoleh dengan menggabungkan model transportasi dengan data arus lalu-lintas adalah merupakan kunci utama dalam tulisan ini. Metoda struktural ini mengasumsikan bahwa kelakuan pemakai jalan dapat diwakili oleh suatu model transportasi dengan parameternya. Dalam proses kalibrasinya, arus lalu-lintas diekspresikan sebagai fungsi MAT dimana dalam hal ini MAT juga diekspresikan sebagai fungsi dari model transportasi dengan parameternya. Kemudian parameter tersebut dikalibrasi dengan pendekatan 'Operation-Research (OR)' sehingga kesalahan antara arus lalu-lintas yang didapat di lapangan dengan yang dihasilkan dari proses estimasi, diminimumkan. Beberapa metoda estimasi yang telah dikembangkan adalah: Non-Linear-Least-Squares (NLLS) dan Maximum-Likelihood (ML) (Tamin, 1988ab, 1989). 3.2 [Tid] Oi,Dd Ai,Bd Cid β Vl+,Vl pidl L N 3.3

Definisi = MAT yang didapat dari hasil survai dari zona i ke zona d = total perjalanan yang dihasilkan oleh zona i dan yang menuju ke zona d = 'Balancing factor' dari zona i ke zona d = biaya perjalanan dari zona i ke zona d = parameter model yang akan dikalibrasi = data arus lalu-lintas yang didapat dari hasil estimasi dan yang didapat di lapangan = proporsi jumlah perjalanan dari zona i ke zona d yang menggunakan ruas jalan l = jumlah ruas jalan yang disurvai = jumlah zona Prinsip Dasar

Misal suatu daerah studi dibagi atas N zona dimana setiap zona diwakili dengan satu pusat zona (zone-centroid). Setiap zona ini dihubungkan dengan sistem jaringan jalan yang terdiri dari ruas-ruas jalan dan noda. MAT dari satu daerah studi terdiri dari N² sel, dimana akan terdapat [N²-N] sel jika perjalanan intrazona dapat diabaikan. Penentuan rute jalan dari suatu zona ke

9

zona lainnya adalah merupakan suatu langkah terpenting dalam proses estimasi MAT dengan data arus lalu-lintas. Variabel pidl digunakan untuk mendefinisikan proporsi jumlah perjalanan dari zona i ke zona d yang menggunakan ruas jalan l. Sehingga, arus lalu-lintas di setiap ruas jalan dalam suatu jaringan jalan tertentu adalah merupakan hasil dari: jumlah perjalanan dari zona i ke zona d (Tid), dan proporsi jumlah perjalanan dari zona i ke zona d yang menggunakan ruas jalan l, yang didefinisikan dengan pidl (0≤pidl≤1). Arus lalu-lintas (Vl) di suatu ruas jalan l adalah jumlah perjalanan antar zona yang menggunakan ruas jalan tersebut yang secara matematis dapat diekspresikan sebagai: Vl = ΣiΣd Tid.pidl

(1)

Variabel pidl dapat diestimasi dengan menggunakan beberapa metoda pemilihan rute (route choice) mulai dari metoda 'all-or-nothing' sampai dengan metoda 'equilibrium'. Dengan mengetahui estimasi pidl dan satu set data arus lalu-lintas (Vl), maka terdapat N² buah Tid yang harus diestimasi dari L buah persamaan linear simultan (persamaan 1) dimana L adalah jumlah data arus lalu-lintas. Secara prinsip, N² data arus lalu-lintas dibutuhkan untuk dapat mengestimasi matriks [Tid], [N²N] jika perjalanan intrazona dapat diabaikan. Secara praktis, jumlah data arus lalu-lintas yang diperoleh akan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah Tid yang tidak diketahui sehingga tidak akan mungkin diperoleh solusi. Secara umum, dapat dikatakan bahwa terdapat lebih dari satu MAT yang dapat menghasilkan data arus lalu-lintas tersebut. Problem yang timbul yaitu bagaimana cara membatasi jumlah solusi. Salah satu kemungkinan yaitu dengan memodel kelakuan pemakai jalan dalam daerah studi tersebut. 3.4

Beberapa Model Pemilihan Rute (Route Choice)

3.4.1 Asumsi Model pemilihan rute (route choice atau trip assignment) bertujuan untuk dapat mengidentifikasi rute-rute yang dipilih oleh pengendara dalam suatu jaringan jalan. Model pemilihan rute dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor pertimbangan yang didasarkan atas pengamatan bahwa tidak setiap pengendara dari suatu lokasi menuju lokasi lainnya akan memilih suatu rute yang persis sama. Beberapa alasan umum kenapa pengendara memilih rute yang berbeda-beda adalah sebagai berikut: -

kemungkinan pengendara berbeda dalam hal persepsi mengenai 'rute yang terbaik'. Beberapa pengendara mungkin mengasumsikannya sebagai rute dengan jarak tempuh yang terpendek atau rute dengan waktu tempuh yang tersingkat atau mungkin juga dengan kombinasi dari kedua hal tersebut.

-

kemacetan dan karakteristik fisik suatu ruas jalan akan membatasi jumlah arus lalu-lintas yang menggunakan jalan tersebut.

Perbedaan persepsi inilah yang akan menghasilkan suatu pola pemilihan rute tertentu yang dikenal dengan 'pemilihan rute stokastik'. Efek 'stokastik' timbul karena adanya perbedaan persepsi setiap pengendara tentang biaya perjalanan sedangkan efek 'capacity-restrained'

10

timbul karena biaya perjalanan (dalam hal ini komponen waktu tempuh) tergantung dari arus lalu-lintas. Dengan kata lain, kedua efek tersebut diatas terjadi bersama-sama khususnya di daerah perkotaan, sehingga model pemilihan rute yang terbaik harus mengikutsertakan kedua efek tersebut. Efek 'stokastik' merupakan faktor yang dominan pada tingkat arus lalu-lintas yang rendah sedangkan efek 'capacity-restrained' dominan pada tingkat arus lalu-lintas yang tinggi. Terdapat dua group utama model pemilihan rute (Robillard, 1975) yaitu: model 'proportional' dan model 'non-proportional'. Beberapa karakteristik daerah studi dapat digunakan untuk mengidentifikasi model pemilihan rute yang terbaik yaitu: bagaimana setiap pengendara mengantisipasi biaya perjalanan, tingkat kemacetan dan informasi mengenai tersedianya jalan alternatif beserta biaya perjalanannya. 3.4.2 Biaya perjalanan Biaya perjalanan dapat diekspresikan dalam bentuk uang, waktu tempuh, jarak ataupun kombinasi dari 3 faktor tersebut yang biasa dikenal dengan 'generalised cost'. Dalam hal ini diasumsikan bahwa total biaya perjalanan sepanjang rute tertentu adalah merupakan jumlah dari biaya setiap ruas jalan yang dilaluinya. Oleh karena itu, dengan mengetahui semua biaya dari setiap ruas jalan, maka akan dapat ditentukan (dengan suatu algoritma tertentu) rute-rute yang terbaik yang dapat dilalui pada jaringan jalan tersebut. Akan tetapi, persepsi setiap pengendara terhadap biaya perjalanan jelas berbeda-beda sehingga sukar untuk menjabarkan perbedaan ini kedalam suatu bentuk model pemilihan rute yang sederhana. Efek 'capacity-restrained' dan 'stokastik' dapat juga dianalisa dalam bentuk 'biaya perjalanan'. Kita dapat mengasumsikan bahwa setiap pemakai jalan akan memilih rute yang akan meminimumkan biaya perjalanannya dan setiap pemakai jalan akan bervariasi dalam hal ini. Sehingga perlu suatu usaha untuk mendapatkan rata-rata biaya perjalanan yang sesuai untuk seluruh pengendara. Metoda yang paling sering digunakan yaitu dengan mendefinisikan biaya sebagai kombinasi linear antara jarak dan waktu seperti: Biaya = a1 x waktu + a2 x jarak + a3

dimana:

(2)

a1 = nilai waktu (Rp/jam) a2 = biaya operasi kendaraan (Rp/km) a3 = biaya tambahan lainnya (harga tiket tol) 3.4.3 Model 'Proportional' Model ini mengasumsikan bahwa proporsi pengendara dalam memilih rute yang diinginkan hanya tergantung dari asumsi pribadi, karakteristik fisik setiap ruas jalan yang akan dilaluinya dan tidak tergantung dari tingkat kemacetan. Contoh yang paling umum dari tipe ini yaitu: model 'all-or-nothing'. a.

Model 'All-or-Nothing'

Model ini merupakan model pemilihan rute yang paling sederhana dimana diasumsikan bahwa seluruh pengendara akan berusaha meminimumkan biaya perjalanannya yang tergantung dari karakteristik jaringan jalan dan asumsi pengendara. Jika seluruh pengendara memperkirakan

11

biaya ini dengan cara yang sama, maka jelas mereka akan memilih rute yang sama. Biaya ini dianggap tetap dan tidak dipengaruhi oleh adanya efek kemacetan. Dalam kasus tertentu, asumsi ini dianggap cukup realistis seperti untuk suatu daerah pinggiran kota dengan jaringan jalan yang tidak begitu rapat dan dengan tingkat kemacetan yang tidak begitu berarti. Asumsi ini akan menjadi tidak realistis jika digunakan untuk daerah perkotaan dimana kemacetan sering terjadi. Akan tetapi, model 'all-or-nothing' masih merupakan suatu model yang paling sederhana dan efisien, sehingga sangat banyak digunakan orang. Model ini merupakan model tercepat dan termudah dan sangat berguna untuk suatu jaringan jalan yang tidak begitu rapat yang hanya mempunyai beberapa rute alternatif saja. Nilai variabel pidl untuk model ini adalah sebagai berikut: pidl = b.

1 jika perjalanan dari zona i ke zona d menggunakan ruas l 0 jika sebaliknya atau i= /d Model 'Stokastik'

Banyak para ahli transportasi merasakan bahwa model pemilihan rute akan sangat berguna jika model tersebut dapat merefleksikan kelakuan setiap pemakai jalan, sehingga kualitas dari keputusan para ahli dapat diperbaiki dan biaya dapat berkurang. Pada suatu sistim jalan raya, khususnya pada saat beroperasi dengan volume arus lalu-lintas mendekati kapasitas, maka akan banyak terdapat rute alternatif lainnya yang bervariasi tergantung daripada jarak. Suatu model yang lebih realistis yang dikenal dengan model 'multiple-routes', akan mendistribusikan arus yang ada ke rute tersebut dengan memperhatikan kecenderungan setiap pengendara dalam memilih rute. Model ini masih mengabaikan adanya hubungan antara arus dengan biaya, akan tetapi telah memperhitungkan adanya variasi antara persepsi perseorangan terhadap waktu tempuh. Model 'stokastik' ini berbeda dengan model 'all-or-nothing' karena dalam model ini pemakai jalan didistribusikan kepada beberapa pemilihan rute. Beberapa model yang termasuk dalam model stokastik ini adalah: model Burrell (1968) dan model Sakarovitch (1968). Model ini masih mengabaikan efek kemacetan akan tetapi lebih realistis jika dibandingkan dengan model 'all-or-nothing' karena memberikan distribusi yang lebih baik yang memungkinkan perbedaan persepsi antara pengendara dapat diperhitungkan. 3.4.4 Model 'Non-Proportional' Dalam kondisi macet, biaya yang diperlukan setiap ruas jalan tergantung dari arusnya melalui suatu hubungan matematis antara rata-rata biaya dengan arus lalu-lintas. Model yang paling sesuai untuk suatu kasus akan sangat tergantung dari karakteristik daerah studi. Tingkat dari kemacetan, adanya rute alternatif dengan biayanya dan ditambah dengan ide pengendara akan sangat menolong dalam menentukan metoda 'trip assignment' yang terbaik untuk suatu kasus tertentu. Beberapa model telah dikembangkan oleh para peneliti yang biasa dikenal dengan model 'capacity-restrained' akan dijelaskan berikut ini. a.

Model 'Capacity-Restrained'

Model ini mempunyai batasan 'kapasitas' dimana terdapat hubungan antara biaya dengan arus lalu-lintas melalui hubungan matematis antara biaya dan arus lalu-lintas. Beberapa model akan dijelaskan secara singkat berikut ini.

12

-

Repeated All-or-Nothing. Pada iterasi 1, MAT dibebankan ke jaringan jalan dengan menggunakan model 'all-or-nothing'. Biaya setiap ruas jalan kemudian dihitung kembali sesuai dengan hubungan matematis antara biaya-arus dimana pada iterasi berikutnya MAT dibebankan kembali ke jaringan jalan sesuai dengan biaya yang baru. Hal ini diulang sampai perubahan pada biaya di setiap ruas jalan menjadi sangat kecil.

-

Incremental Loading. Prinsip utama model ini yaitu membebani MAT ke jaringan jalan dengan proporsi tertentu (misal 10%). Setelah setiap pembebanan, biaya dihitung kembali berdasarkan hubungan matematis biaya-arus. Proses ini diulang kembali sampai seluruh MAT dibebankan. Akurasi model ini tergantung dari ukuran proporsi MAT yang dibebankan.

-

Iterative Loading. Prinsip model ini yaitu membebani MAT ke jaringan jalan secara berulang dimana setelah setiap pembebanan, arus dihitung sebagai kombinasi antara arus yang didapat pada interasi ke n dan (n-1).

b.

Model 'Equilibrium'

Model ini menggunakan prinsip 'Wardorp's Equilibrium' (Wardrop, 1952). Pada kondisi tidak macet, pemakai jalan mencoba beralih menggunakan rute alternatif dalam usaha untuk meminimumkan biaya perjalanannya. Jika pada kondisi dimana tidak satupun pemakai jalan dapat memperkecil biaya tersebut, sistem dikatakan telah mencapai kondisi 'equilibrium'. Prinsip ini dapat didefinisikan sebagai berikut: Under equilibrium condition, no driver can switch to another route and thereby lower his travel cost since all routes have either the same cost as his own or greater

Dengan kata lain, pada kondisi 'equilibrium' lalu-lintas akan mengatur dirinya sendiri sehingga seluruh rute yang dipakai antara satu zona asal ke zona tujuan akan mempunyai biaya yang sama (minimum) sedangkan rute yang tidak dipakai mempunyai biaya yang lebih besar. Model 'equilibrium' ini dianggap salah satu model pemilihan rute yang terbaik untuk kondisi macet. Model pemilihan rute ini adalah merupakan model yang terbaik sampai saat ini yang sangat cocok jika dipakai untuk daerah perkotaan dimana diperkirakan efek kemacetan akan cukup berarti. Suatu kekurangan yang dirasakan dengan menggunakan model ini yaitu waktu proses komputer yang cukup lama jika dibandingkan dengan model 'all-or-nothing'. Problem yang timbul dalam mengestimasi MAT dengan data arus lalu-lintas akan menjadi lebih mudah jika metoda 'proportional' yang dipakai. Penggunaan metoda 'non-proportional' akan memerlukan proses iterasi dimana nilai asumsi variabel pidl yang digunakan untuk mengestimasi MAT akan selanjutnya digunakan kembali untuk dapat memperbaiki nilai pidl tersebut. 3.5

Maximum-Entropy-Matrix-Estimation (ME2)

Metoda estimasi menggunakan konsep 'maximum-entropy' untuk mengestimasi Matriks-AsalTujuan (MAT) dengan menggunakan informasi arus lalu-lintas. Konsep 'maximum-entropy' ini bermula dari hukum fisika. Willumsen (1979) berhasil mengembangkan model untuk mengestimasi MAT dari data arus lalu-lintas. Model tersebut dikenal dengan model Maximum Entropy Matrix Estimation (ME2).

13

Model ini mencoba mengestimasi MAT yang paling mirip 'most likely' yang sesuai dengan informasi yang ada pada arus lalu-lintas. Model ini dapat diekspresikan sebagai berikut: maksimumkan

S(T+id) = - ΣiΣd(T+id.logeT+id - T+id)

(3)

Vl - ΣiΣdT+id.pidl = 0 and T+id ≥ 0

(4)

dengan batasan:

Dengan menggunakan metoda 'Lagrangian multiplier', solusi formal untuk problem di atas adalah: pidl Tid = πl Xl (5) dimana:

Xl = e

-θl

(6)

θl adalah 'Lagrangian multiplier' yang sesuai untuk masing-masing arus lalu-lintas l. Beberapa perilaku model ME2 yang patut ditonjolkan adalah: -

Model akan menghasilkan MAT 'YANG PALING MIRIP' yang sesuai dengan informasi yang terdapat pada ruas jalan. Model ini tidak memerlukan data untuk setiap ruas jalan tetapi hanya memerlukan data untuk beberapa ruas jalan saja. Makin banyak data arus lalulintasnya, semakin baik hasil peramalan MAT-nya.

3.6

Paket Program MOTORS

Paket program untuk perencanaan transportasi banyak tersedia dipasaran dimana program 'MOTORS', yang dikembangkan dan dipasarkan oleh Steer, Davies and Gleave Ltd.(England) (1984), akan digunakan sebagai program dasar. Program komputer ditulis dengan bahasa komputer FORTRAN77 dan dapat berinteraksi penuh dengan paket program 'MOTORS' ini. Pekerjaan dilakukan dengan memakai mikro-komputer IBM compatible dengan 640K RAM, 2 buah 5¼" disk-drive, 30 MByte Hard Disk dan printer EPSON LQ-1050. Sistem operasi komputer MS-DOS 3.3 dan WORDSTAR6 akan digunakan untuk menunjang kelengkapan dari program MOTORS ini. MOTORS adalah suatu paket program transportasi yang terintegrasi dimana paket ini menyediakan fasilitas untuk menganalisa masalah-masalah perencanaan transportasi. Paket ini dikembangkan dengan memanfaatkan sepenuhnya kemampuan mikro-komputer untuk berinteraksi dengan pemakai komputer. 3.7

Tahapan Pekerjaan

Tahapan pekerjaan yang disyaratkan dalam pengembangan metodologi peramalan ini akan diterangkan berikut ini dimana masing-masing tahapan sangat tergantung dari ketersediaan dan kualitas data yang tersedia. a.

mendefinisikan jaringan jalan yang terdiri dari zona, noda, ruas berikut karakteristik teknisnya seperti: jarak, free flow spped, tipe ruas jalan, kapasitas, tarif toll (jika ada), sistem toll dan non-toll, berikut juga sistem jalan satu arah dan lain-lain.

b.

mendapatkan Matriks Asal Tujuan (MAT) 'base year' berdasarkan informasi data MAT (kalau ada) dan data arus lalu-lintas (base year) pada beberapa ruas jalan terpilih. MAT 'base year' kemudian diperkirakan dengan menggunakan model "Maximum-Entropy

14

Matrix Estimation (ME2)' dengan data arus lalu-lintas dan data MAT. Model ini membutuhkan informasi tentang pemilihan rute yang dilakukan oleh setiap pengendara dalam mencapai tujuannya melalui metoda pemilihan rute yang tepat. c.

mengkalibrasi model bangkitan lalu-lintas (trip generation), berdasarkan data 'trip end’ yang didapatkan dari MAT 'base year' beserta data sosio-ekonomi dan demografi yang ada untuk mendapatkan data 'trip end' untuk tahun-tahun rencana (target year).

d.

dengan menggunakan hasil peramalan data sosio-ekonomi dan demografi tersebut beserta kalibrasi model 'trip generation' dan 'trip distribution' dan dengan model pemilihan rute yang cocok maka akan didapatkan peramalan pergerakan yang akan terjadi pada setiap ruas jalan untuk setiap tahun-tahun rencana (target year).

4.

KESIMPULAN

Tulisan ini menjelaskan secara global model perencanaan transportasi 4 tahap yang mengkaitkan interaksi antara sistem kegiatan (tata guna tanah) dengan sistem jaringan (transportasi) dan sistem pergerakan (lalu-lintas) yang dapat dianalisa dengan biaya yang cukup rendah (murah) dan dengan waktu proses yang cukup singkat (cepat). Telah pula dijelaskan bahwa sistem transportasi secara makro terdiri dari beberapa sistem mikro yang dikenal sebagai: Sistem Kegiatan, Sistem Jaringan, Sistem Pergerakan dan Sistem Kelembagaan. Tantangan bagi para perencana transportasi di daerah perkotaan khususnya di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia adalah kemacetan lalu-lintas (congestion) dan keterlambatan (delay), polusi udara dan suara, getaran, pengrusakan lingkungan. Metoda analisa yang telah dikembangkan sampai saat ini membutuhkan biaya yang mahal serta waktu proses yang lama. Jelas ini tidak sesuai untuk negara yang sedang berkembang, karena adanya keterbatasan waktu dan biaya, yang tentunya selalu memerlukan pemecahan dan penanganan masalah transportasi yang bersifat 'quick-response'. Pemecahan masalah transportasi yang membutuhkan 'dana yang tidak begitu tinggi (cheap)' dan 'waktu yang tidak begitu lama (quick-response)' sangatlah dibutuhkan untuk kota-kota besar Indonesia karena berbagai hal terutama tingkat pertumbuhan kendaraan, ekonomi yang tinggi. Berangkat dari kenyataan tersebut diatas, maka model perencanaan transportasi 4 tahap ini dikembangkan. 5.

DAFTAR PUSTAKA

[1]

Atkins, S.T. (1984) Value of Travel Time? The Case Against. Highways and Transportation.

[2]

Black, J.A. (1977) Public Inconvenience: Access and Travel in Seven Sydney Suburbs. Urban ResearcH Unit, Research School of Social Sciences, Australian National University.

[3]

Black, J.A. and Conroy, M. (1977) Accessibility Measures and the Social Evaluation of Urban Structure. Environment and Planning A, Vol 9, pp 1013-1031.

[4]

Black, J.A. (1978) Urban Transport Planning: Theory and Practice. London.

15

[5]

Black, J.A. (1979) Urban Accessibility and Transport Policy. Transport and Communications Bulletin for Asia and the Pacific. United Nations: Economic and Social Commission for Asia and Facific.

[6]

Black, J.A. (1981) Urban Transport Planning: Theory and Practice. London, (Croom Helm).

[7]

Blunden, W.R. (1971) The Land-Use/Transport System: Analysis and Synthesis. Oxford, Pergamon Press.

[8]

Bruton, M.J. (1975) Introduction to Transportation Planning. London, Hutchinson.

[9]

Davidson, K.B. (1966) A Flow Travel-Time Relationship for Use in Transport Planning. Proc. Australian Road Reasearch, Vol.3, Part 1.

[10] Dial, R.B. (1971) A Probabilistic Multipath Assignment Which Obviates Path Enumeration. Transportation Reasearch, Vol.5 pp. 83-111. [11] Halcrow Fox (1977) Surabaya Area Transportation Study for the Government of Indonesia Ministry of Communications and Tourism, Directorate General of Land Transport and Inland Waterways. [12] Hansen, W.G. (1959) How Accessibility Shapes Land Use. Journal of American, Institute of Planners, Vol 25, pp 73-76. [13] Hobbs, F.D. (1979) Traffic Planning and Engineering. Oxford, Pergamon Press. [14] Hutchinson, B.G. (1974) Principles Washington,D.C. (Mcgraw - Hill).

of

Urban

Transport

Systems

Planning

[15] Jones, I.S. (1977) Urban Transport Appraisal. London, Macmillan. [16] Kocks, F.H. (1975) The Bangkok Transportation Study. Bangkok, Office of Metropolitan Traffic Planning, Royal Thai Governement. [17] Lee, C. (1973) Models in Planning: An Introduction to the Use of Quantitative Models in Planning. Oxford, Pergamon Press. [18] Lenzconsult (1975) Jakarta Metropolitan Area Transportation Study. Jakarta, Department of Communications, Government of the Republic of Indonesia. [19] Marler, N.W. (1985) Transport and the urban poor: a case study of Bandung Indonesia. Proc. Pacific Science Association 5th Inter-Congress, Manila. [20] Punyaratabandhu, N. (1977) Trip Generation From Housing Estates. Master's Thesis. Asian Institute of Technology. [21] Wells, G.R. (1975) Comprehensive Transport Planning. London, Charles Griffin. [22] Wilson, A.G. (1974) Urban and Regional Models in Geography and Planning. New York, John Wiley. [23] Wooton, H.J. and Pick, G.W. (1967) A Model for Trips Generated by Households. Journal of Transport Economics and policy Vol.1, pp. 137−153.

16