Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
PENGELOLAAN CENDAWAN Aspergillus flavus PADA JAGUNG A.Haris Talanca dan S. Mas’ud Balai Penelitian Tanaman Serealia Abstrak. Permintaan akan jagung di Indonesia terus meningkat, sejalan dengan tingginya permintaan bahan baku industri pangan dan pakan ternak. Disisi lain kesadaran masyarakat akan mutu dan keamanan pangan sangat meningkat. Jagung merupakan komoditas yang rentan terhadap serangan cendawan, salah satunya adalah Aspergillus flavus. Cendawan ini apabila menyerang pada jagung, maka akan menghasilkan racun yaitu aflatoksin yang berbahaya bagi kesehatan manusia termasuk ternak. Aflatoksin adalah senyawa organik beracun yang berasal dari sumber hayati berupa hasil metabolisme sekunder dari cendawan. Pengaruh terhadap manusia atau hewan mengkonsumsi jagung yang mengandung aflatoksin dengan kadar tertentu dapat menyebabkan penyakit kanker hati. Upaya menekan kandungan aflatoksin dapat dilakukan dengan menggunakan cendawan Neurospoa sp. dan Rhizopus sp. Selanjutnya untuk menghindari serangan cendawan A. flavus pada jagung dapat dilakukan dengan sesegera mungkin menjemur tongkol jagung yang sudah dipanen sampai kadar air 17%, lalu dipipil dan dikeringkan lagi sampai kadar air 11% kemudian disimpan. Pada kondisi kadar air rendah pada biji jagung, maka tidak terserang cendawan A. flavus. Upaya lain adalah penggunaan bahan kimia yaitu ammonia dan asam propionate dapat negurangi jumlah spora yang menempel pada jambul jagung, sehingga mengurangi sumber inokolum untuk infeksi di penyimpanan. Kata kunci : Aspergillus flavus, jagung, aflatoksin, dan pengelolaan. PENDAHULUAN Jagung di Indonesia merupakan komoditas penting sebagai bahan pangan, industri pakan ternak, dan bahan dasar industri makanan olahan. Menurut Yadgiri dan Reddy (1976) salah satu masalah yang dihadapi industri pakan di daerah tropik adalah terdapatnya aflatoksin pada bahan baku ransum ternak. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Syarief dan Nurwitri (2003), bahan baku jagung untuk ransum sering tercemar oleh aflatoksin. Di Indonesia jagung yang baru dipanen biasanya mempunyai kadar air tinggi (30%) yang apabila tidak segera dikeringkan, maka berbagai cendawan dapat berkembang, termasuk cendawan A. flavus. Cendawan ini menurut Pakki dan Muis (2007) dapat ditemukan pada tanaman jagung fase vegetative dan fase generatif, serta pada pasca panen jagung, sehingga menjadi sumber inokolum pada biji jagung yang akan disimpan. Hal ini memungkinkan karena Indonesia sebagai Negara tropik dengan iklim hujan tropis menyebabkan kondisi kelembaban udara tinggi (RH>80%), suhu rata-rata 28-330C. Kondisi ini sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan cendawan A. flavus penghasil aflatoksin. Aflatoksin yang dihasilkan oleh beberapa jenis cendawan didefinisikan sebagai senyawa organik beracun yang berasal dari sumber hayati berupa hasil metabolisme sekunder dari cendawan. Syarief et al., (2003) mengemukakan bahwa cendawan penghasil aflatoksin, tergantung pada komposisi kimia yang dikandung bahan pangan.
445
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Racun aflatoksin seperti ochratoksin, Sterigmatosistis, dan asam panisilat diproduksi lebih aktif pada bahan yang mengandung karbohidrat tinggi (jagung, gandum, dan beras), kemudian diikuti oleh bahan yang kaya lipid dan peptide (protein). Berdasarkan hal diatas maka tingkat kesadaran konsumen akan mutu dan keamanan pangan sangat meningkat. Bahan baku pangan hendaknya memiliki persyaratan yang meliputi aspek aman, sehat, utuh dan halal. Kesadaran ini penting karena fungsi pangan dan pakan tidak sekedar memenuhi nilai gizi untuk kebutuhan pertumbuhan tubuh, tetapi juga mempertimbangkan aspek higenis untuk kesehatan manusia dan termasuk ternak. PENGARUH RACUN AFLATOKSIN Serangan cendawan A. flavus pada berbagai jenis pangan (jagung, gandum,dan beras) mengakibatkan berbagai kerusakan meliputi kerusakan fisik, kimia, bau, warna, tekstur, dan nilai nutrisi, serta berakibat pada kesehatan manusia dan hewan. Menurut Noor, (2005) melaporkan bahwa Infeksi cendawan A. flavus pada berbagai jenis serealia dapat menyebabkan berbagai pengaruh yaitu timbulnya penyakit seperti hepatocarcinoma (aflatoksin akut), kwashiorkor, reye!s syndrome, dan kanker hati. Selanjutnya Pang et al., (1974) melaporkan bahwa sebanyak 71 penderita kanker hati di Jakarta terungkap bahwa sekitar 94% ditemukan berasal dari bahan pangan yang dikomsumsi sehari-hari terkontaminasi aflatoksin. Berbagai hasil penelitian mengenai efek biologik aflatoksin menunjukkan bahwa aflatoksin mempunyai kemampuan untuk menginduksi kanker pada hati ikan, burung, dan mamalia dibandingkan dengan bahan-bahan kimia yang dapat menimbulkan kanker hati. Hal ini menunjukkan bahwa mengkomsumsi bahan pangan yang telah terkontaminasi aflatoksin sangat berbahaya. Muhilal et al. (1985) melaporkan bahwa di Uganda menunjukkan adanya hubungan antara jumlah penderita kanker hati dengan kandungan aflatoksin kacang tanah, karena masyarakat terpaksa mengkomsumsi makanan yang terkontaminasi dengan aflatoksin. Selanjutnya Heathcole dan Hibber, (1978); Bata dan Lasztity (1999) membedakan karsioma hati yang disebabkan oleh aflatoksin tidak diikuti oleh Sirosis hati, tetapi dengan bahan kimia selalu berhubungan dengan sirosis hati. Berbagai Negara telah menentukan standar batas minimum mikotoksin pada jagung seperti China, Malaysia, dan Singapura, masing-masing 20 ppb, 35 ppb, 5 ppb. (Misgiyarta dan Suarni 2006). UPAYA UNTUK MENEKAN PERKEMBANGAN A. FLAVUS YAITU: Lingkungan Pertumbuhan dan perkembangan cendawan A. flavus sangat tergantung pada lingkungannya seperti suhu (25-35o C), PH (4-6), kelembaban (80%), dan kondisi atmosfir aerobik, serta kadar air (18 %). Suhu merupakan salah satu faktor penentu dalam pertumbuhan dan perkembangan cendawan A. flavus, sehingga pada kondisi diluar suhu optimal maka cendawan itu susah akan berkembang. Dengan demikian penggunaan suhu (temperatur) untuk pengeringan tongkol jagung sampai kadar air dibawah 18% dapat menghambat pertumbuhan cendawan. Pengeringan jagung dapat pula menurunkan kelembaban (<80%), begitu pula terhadap penurunan kadar air (<18%), maka kondisi ini cendawan A. flavus pertumbuhannya akan terganggu, bahkan pada kondisi yang ekstrim dapat mematikan.
446
ISBN :978-979-8940-27-9
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
Biologi Penggunaan mikoroba antagonis dapat menghambat pertumbuhan cendawan A. flavus, sekaligus mengurangi kandungan aflatoksin. Muhilal et al. (1985) dalam Dharmaputra (2000) melaporkan bahwa cendawan Neurospora sp. dan Rhizopus sp. dapat menurunkan kandungan aflatoksin masing-masing 50 – 79%. Marth dan Doyle (1979) dalam Syaref et al. (2003) menunjukkan bahwa sebagian besar mikroorganisme yang diketahui dapat merusak aflatoksin adalah jenis cendawan dan hanya satu jenis bakteri, serta satu jenis protozoa (Tabei 1). Tabel 1. Jenis Cendawan dan Pengaruhnya terhadap Aflatoksin Jenis Cendawan Penicellium raistrickii NRRL 2053 Aspergillus niger A.parasiticus (spora) A.terreus (spora) A. luchuensis NRRL 2053 (spora) Flavobacterium auranticum NRRL B-184 Nocardia asteroids IFM8 Scopularis brevicaulis Rhizopus oryzae Corynrbacrerium rubrum Aspergillus niger Trichoderma viride Mucor ambiguous Dactyliumdendroides NRRL 2575 Dactylium dendroides NRRL Mucor griseocyanys NRRL 3359 Helminhtosporium sativum NRRL 3356 Absidia repens NRRL 3356 Mucor alterans NRRL 3358 Rhizopus arrhizus NRRL 1582 R. stolernifer NRRL 1477 R. oryzae NRRL 359 Tetrahymens pyriformis W
Pengaruh Mengubah sebagian aflatoksin menjadi senyawa Fluoresensi lain.
B1,
Metabolisme aflatoksin B1, G1, dan M1 mempunyai kemampuan metabolism aflatoksin.
Merubah aflatoksin menjadi aflatoksikol dalam waktu inkubasi 3-4 hari Merubah 60% aflatoksin aflatoksikol (aflatoksin Ro)
menjadi
Mengubah aflatoksin B1 parasitikol (aflatoksin B2)
menjadi
Sumber: Marth dan Doyle (1979) dalam Syarief et al. (2003). Penggunaan varietas tahan dapat pula digunakan sebagai upaya menekan pertumbuhan cendawan A. flavus. Sampai saat ini beberapa varietas jagung yang telah dilepas, baik hibrida maupun komposit belum didapatkan varietas yang tahan terhadap cendawan ini. Uji ketahanan beberapa varietas/galur jagung QPM terhadap cendawan A. flavus menunnjukkan reaksi yang rentan (Talanca et al. 2007). Untuk itu penanganan cendawan ini masih bertumpu pada menjaga kesehatan tanaman dilapangan, pengeringan benih dengan kadar air rendah (12%), sehingga cendawan tidak kondusif untuk berkembang. Fisik Radiasi sinar matahari sangat membantu dalam upaya menekan perkembangan cendawan A. flavus pada tongkol dan biji jagung. Waktu panen jagung yang tepat saat
447
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
terbentuknya black layer lebih 50 %, dan bila cuaca memungkinkan, maka pengeringan tongkol diatas tegakan batang jagung beberapa hari sebelum panen sebaiknya dilakukan. Untuk itu sangat dianjurkan agar setelah panen jagung, maka segera tongkol jagung dikeringkan dengan bantuan sinar matahari sampai kadar air 17%, kemudian dilakukan pemipilan dengan menggunakan mesin pemipil (thresher), yang selanjutnya dijemur sampai kadar air 11-12% lalu dimasukkan dalam karung plastik dan disimpan ditempat penyimpanan. Namun apabila kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk melakukan pengeringan dengan sinar matahari, maka dapat pula dilakukan pengasapan atau pemberian hembusan hawa panas dengan alat mesin. Penundaan pengeringan tongkol jagung dengan kadar air 26-35% selama 4 hari, maka kandungan aflatoksin bisa mencapai 37 ppb (Paz et al., 1989). Secara tradisional beberapa petani masih menggunakan pengasapan tongkol jagung diatas dapur mereka, lalu dipipil dan dikeringkan lagi sampai kadar air 12%, kemudian dikarungkan lalu disimpan. Kimia Penggunaan bahan kimia dapat pula dipakai untuk menghambat pertumbuhan dan perkembangan cendawan A. flavus pada jagung. Sebagai contoh adalah ammonia dan asam propionat yang bersifat asam pada tanaman jagung, yang diduga dapat berpengaruh kontak terhadap A. flavus pada permukaan tanaman, sehingga siklus hidupnya terganggu. Hasil penelitian Pakki (2009) menunjukkan bahwa penyemprotan ammonia atau asam propionat dosis 1,5-2 ml/air pada fase vegetative tanaman jagung, maka dapat mengurangi jumlah spora A. flavus yang menempel pada jambul jagung. Selanjutnya penggunaan asam ammonia pada jagung di Thailand dapat berpengaruh terhadap penurunan kadar aflatoksin dari 1000 ppb menjadi 10 ppb (Ingalantileke et al., 1989). KESIMPULAN Jagung sebagai tanaman kedua setelah padi, yang akhir-akhir ini permintaannya akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya industry pangan dan pakan, maka pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan produksi jagung nasional. Sejalan dengan kesadaran konsumen akan bahan baku jagung sebagai bahan industri, maka hendaknya jagung harus dijamin kualitasnya, terutama dari cemaran aflatoksin. Aflatoksin dihasilkan oleh cendawan Aspergillus flavus merupakan senyawa organic beracun yang berasal dari sumber hayati berupa hasil metabolisme sekunder. Aflatoksin yang dikandung oleh jagung dengan kadar tertentu yang apabila dikomsumsi oleh manusia dapat menyebabkan penyakit kanker hati, begitu pula pada hewan. Upaya untuk menekan kandungan afkatoksin pada biji jagung dengan menggunakan cedawan Neurospora sp. Dan Rhizopus sp. Selain itu cendawan penghasil racun aflatoksin yaitu A. flavus perlu dikendalikan. Beberapa upaya untuk pengendalian cendawan A. flavus adalah secara hayati dengan menggunakan cendawan antagonis, fisik, dan kimia. Secara fisik dapat dilakukan dengan pengeringan tongkol jagung diatas tegakan batang jagung beberapa hari sebelum panen. Setelah itu tongkol jagung sesegera mungkin untuk dilakukan pengeringan sampai kadar air (17%), lalu dipipil kemudian dikeringkan kembali sampai kadar air (11%) dan disimpan ditempat penyimpanan. Secara kimia dengan menggunakan ammonia atau asam propionate pada fase vegetative tanaman jagung, dapat mengurangi jumlah spora A. flavus yang menempel pada jambul tongkol jagung.
448
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
DAFTAR PUSTAKA Bata, A., and R. Lasztity. 1999. Detoxification of Mycotoxin Contaminated Food and Feed by Microorganisms. Trend in Food Science and Technology : 10:223-228. Dharmaputra, O. S. 2000. Micotoxins in Indonesia Foods and Feeds. National Seminar, Current issues Food Safety and Risk Assesment. Organized by International Life Science Institute (ILSI) Southeast ILSI Science Institute, Manistry of Health-Indonesia, Bogor Agricultural Institute, In Collaboration with Food and Agricultre Organization of the United Nation. Heatchote, J. G. dan J. R. Hibbert. 1978. Aflatoxin: Chemical and Biological Aspect. Elsevier Sci. Pub. Co. Amsterdam. Ingalantileke, S. P. Surapurk, and F. Escalante. 1989. Farm Level Chemical treatment to Control Aflatoxin development in Crib Stored Maize Cob. In Mesa B. de (Ed) Grain Post Harvest Systems Proc. 10th Asean Technical Seminar on Grain Post Harvest Technol. Bangkok, Thailand. The Asean Crops Post Harvest programme, Bangkok, Thailand. P 1-15. Misgiyarta dan Suarni. 2006. Kontaminasi Aflatoksin Dihasilkan oleh Aspergillus flavus pada Jagung dan Penanganannya. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian, Dep.Pertanian. Hlm. 431439. Muhilal, Shinta, R. Syarief, S. Saidin. 1985. Cemaran Aflatoksin pada Bahan Makanan serta Bahayanya untuk Manusia dan Hewan.Lokakrya Nasional Pasca Panen, Bogor. Noor, I. M. 2005. Mycotoxin: Economic Risk and control. Paper Presented on Symposium of Mycotoxin and Mycotoxicoses. Jakarta 2005. Pakki S. 2009. Efektivitas Amoniak, Propianic Acid dan Ekstrak Daun Cengkeh dalam Pengendalian Patogen Benih Aspergillus flavus pada Jagung. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 28(3):158-164. Pakki, S. dan Muis, A. 2007. Patogen Utama jagung Setelah Padi Rendengan di Lahan Sawah Tadah hujan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 26(1):55-61. Pang, R.T.L., Husaini dan Darwin Karyadi. 1974. Aflatoxin and Primary Cancer of the Liver in Indonesia. Presented at the V World Congress of Gastroenterology, Mexico. Paz, R.R., R.L. Tiongson, D.D. Dayanghirang and A.C. Rodriques. 1989. Control of Aflatoxin in Phillipine Maize, in J.O. Naebanij (Ed). Grain Postharvest Research of Development: Priorities for the nineties. Proceedings of the twelfth ASEAN Seminar on Grain Posharverst Technology. P.89-109. Syarief, R., La Ega, C.C.Nurwitri. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. IPB Press. 390 hlm. Talanca, H. A., Mejana I. M., dan N. Nonci. 2007. Reaksi galur jagung QPM kuning dan putih terhadap infeksi cendawan Aspergillus flavus. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Marginal. Dep. Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Tehnologi Pertanian. Hlm. 100-109.
449