BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 NANOPARTIKEL 1.1.1 DEFINISI

Download 1.1.1 Definisi nanopartikel. Nanopartikel adalah partikel berukuran antara 1- 1000 nanometer. Nanopartikel dalam bidang farmasi mempunyai du...

0 downloads 386 Views 585KB Size
BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1

Nanopartikel

1.1.1

Definisi nanopartikel

Nanopartikel adalah partikel berukuran antara 1-1000 nanometer. Nanopartikel dalam bidang farmasi mempunyai dua pengertian yaitu senyawa obat yang melalui suatu cara tertentu dibuat berukuran nanometer yang disebut dengan nanokristal dan senyawa obat dienkapsulasi dalam suatu sistem pembawa tertentu berukuran nanometer yang disebut dengan nanocarrier (Rachmawati, 2007).

1.1.2

Jenis Nanopartikel

Pada dasarnya, nanopartikel dapat dibagi menjadi dua yaitu nanokristal dan nanocarrier. Nanocarrier memiliki berbagai macam jenis seperti nanotube, liposom, nanopartikel lipid padat (solid lipid nanoparticle/SLN), misel, dendrimer, nanopartikel polimerik dan lainlain (Rawat et al., 2006). a. Nanokristal Nanokristal adalah penggabungan dari ratusan atau ribuan molekul yang membentuk kristal, terdiri dari senyawa obat murni dengan penyaluran tipis dengan menggunakan surfaktan. Pembuatan nanokristal disebut nanonisasi. Tidak seperti nanocarrier, nanokristal hanya memerlukan sedikit surfaktan untuk stabilisasi permukaan karena gaya elektrostatik sehingga mengurangi kemungkinan keracunan karena bahan tambahan untuk pembawa (Rawat et al., 2006). Ketika ukuran partikel dikurangi hingga kurang dari 100 nanometer, sifat partikel tersebut akan berubah. Berkurangnya ukuran partikel akan meningkatkan kelarutan obat sehingga dapat meningkatkan bioavailabilitas obat dalam tubuh. Oleh karena itu, pengembangan obat berukuran nano, dengan menggunakan teknik seperti miling, homogeniser tekanan tinggi, spray-drying, dan nano-presipitasi, terus dilakukan untuk membuat senyawa obat nanokristal. Selain itu penggunaan nanokristal juga dapat mencegah penggunaan pelarut berbahaya dan surfaktan dalam pembuatan larutan obat suntik. Nanokristal juga

3

4

memungkinkan pengembangan formulasi sediaan melalui rute pemberian dimana ukuran partikel adalah faktor yang kritis seperti obat tetes mata, sediaan topikal, cairan infus dan obat suntik (Rachmawati, 2007). Berkurangnya ukuran partikel dapat mempengaruhi efisiensi distribusi obat dalam tubuh karena dengan berkurangnya ukuran partikel maka akan meningkatkan luas permukaan partikel. Berkurangnya ukuran partikel juga meningkatkan disolusi dan kejenuhan larutan yang berhubungan dengan peningkatan kinerja obat secara in vivo. Jadi, sifat-sifat nanokristal secara umum tidak sama dengan senyawa obat tersebut dalam ukuran partikel yang lebih besar (Rachmawati, 2007). b. Nanotube Nanotube adalah lembaran atom yang diatur dalam bentuk tube atau struktur menyerupai benang dalam skala nanometer. Struktur ini memiliki rongga di tengah, dan memiliki struktur menyerupai sangkar yang berbahan dasar karbon (Rawat et al., 2006).

Gambar 1.1 Nanotube (Rawat et al., 2006). Terdapat dua macam nanotube, nanotube berdinding tunggal dan nanotube berdinding ganda. Nanotube berdinding tunggal dapat digunakan sebagai sistem pembawa obat dan gen karena bentuk fisiknya yang menyerupai asam nukleat. Nanotube berdinding ganda dapat pula digunakan sebagai sistem pembawa untuk transformasi khususnya untuk sel bakteri (E. coli) dan untuk elektroporasi sel dalam skala nano (Rawat et al., 2006). c. Liposom Liposom adalah konsentrat vesikel lapis ganda yang didalamnya terdapat cairan yang dibungkus dengan membran lipid lapis ganda yang umumnya terbuat dari fosfolipid alam atau sintesis dan kolesterol (Rawat et al., 2006).

5

Gambar 1.2 Liposom (Rawat et al., 2006). Liposom terbentuk ketika lapisan lipid yang tipis terhidrasi dan sejumlah besar kristal cair lapis ganda menjadi cair dan mengembang. Selama agitasi, lembaran lipid yang terhidrasi terpisah dan masing-masing bergabung membentuk vesikel yang mencegah interaksi antara inti hidrokarbon dari lapisan ganda dengan air disekitarnya. Liposom biasanya digunakan seebagai pembawa obat atau sedian kosmetik untuk mempertahankan kelembaban kulit (Rawat et al., 2006; Rachmawati, 2006). d. Nanopartikel Lipid Padat (Solid Lipid Nanopartikel/SLN) SLN merupakan pembawa koloidal berbahan dasar lipid padat berukuran submikronik (201000 nm) yang terdispersi dalam air atau dalam larutan surfaktan dalam air. SLN berisi inti hidrofob yang padat dengan disalut oleh fosfolipid lapis tunggal. Inti padat berisi senyawa obat yang dilarutkan atau didispersikan dalam matrik lemak padat yang mudah mencair. Rantai hidrofob fosfolipid mengelilingi pada matrik lemak. Emulgator ditambahkan pada sistem sebagai penstabil fisik (Rawat et al., 2006).

Gambar 1.3 Nanopartikel lipid padat (Rawat et al., 2006). SLN dibuat dengan berbagai macam teknik seperti homogenisasi tekanan tinggi, pembentukan mikroemulsi, presipitasi, dan sebagai nanopelet lipid dan liposfer (Rawat et al., 2006). e. Misel Misel adalah agregat molekul ampifatik dalam air dengan bagian nonpolar berada pada bagian dalam dan bagian polar pada bagian luar yang terpapar air (Rawat et al., 2006).

6

Gambar 1.4 Misel (Rawat et al., 2006). Dalam lingkungan air, kopolimer dengan sifat ampifilik akan membentuk misel polimerik berukuran mesoskopik (1-100 nm). Dengan struktur demikian obat yang bersifat hidrofob (sukar larut dalam air) akan terdisposisi di bagian dalam inti misel sehingga struktur ini sangat cocok sebagai pembawa obat yang tidak larut air. Dengan obat didalam inti hidrofob misel dan lapisan luar yang hidrofil membantu dispersi misel dalam media air. Hal ini mengakibatkan misel cocok untuk sediaan intravena. Ukurannya yang dalam rentang nanometer menyebabkan misel dapat menghindari sistem retikuloendotelial dan membantu menembus sel endotelial. Misel memiliki kegunaan dalam stabilitas termodinamik di dalam larutan fisiologi yang mengakibatkan disolusi yang lambat secara in vivo (Rawat et al., 2006; Rachmawati, 2006).

f. Dendrimer Dendrimer adalah senyawa makromolekul yang terdiri atas cabang-cabang di sekeliling inti pusat yang ukuran dan bentuknya dapat diubah sesuai dengan yang diinginkan (Rawat et al., 2006; Rachmawati, 2006).

Gambar 1.5 Dendrimer (Rawat et al., 2006). Struktur dendrimer mempunyai tingkat keseragaman molekular, dengan bentuk dan karkteristik tertentu dan unik. Molekul obat dapat dimuatkan baik di dalam dendrimer ataupun diadsorbsi atau diikat pada permukaannya. Dendrimer hidrofil cocok untuk zat penyalut untuk perlindungan dan penghantaran obat menuju situr yang spesifik sehingga mengurangi toksisitas obat (Rawat et al., 2006; Rachmawati, 2006).

7

g. Nanopartikel Polimerik Nanopartikel adalah struktur koloidal berukuran nanometer yang tediri dari polimer sintesis atau semisintesis dengan rentang ukuran 10-1000 nm. Berdasarkan metode pembuatannnya, dapat diperoleh nanosfer atau nanokapsul yang didalamnya terdapat obat baik dengan cara dilarutkan, dijerat, dikapsulasi atau diikatkan pada matrik nanopartikel (Rawat et al., 2006). Nanopartikel polimerik meliputi nanokapsul dan nanosfer. Nanokapsul terdiri atas polimer yang membentuk dinding yang melingkupi inti dalam tempat di mana senyawa obat dijerat. Nanosfer dibuat dari matrik polimer padat dan di dalamnya terdispersi senyawa obat (Delie and Blanco, 2005).

A

B

Gambar 1.6 Perbandingan antara nanokapsul (A) dan nanosfer (B) (Delie and Blanco, 2005). Polimer sintesis yang biasa digunakan sebagai bahan untuk nanopartikel polimerik antara lain poli(asam laktat) (PLA), poli(asam glikolat) (PGA), poli(asam laktat-glikolat) (PLGA) poli(metilmetakrilat) (PMMA), poli(alkilsianoakrilat) (PACA), dan poli(metilidenmanolat) (PMM). Beberapa polimer alam juga digunakan sebagai bahan dasar pembuatan nanopartikel polimerik. Polimer alam tersebut antara lain kitosan, gelatin, albumin, dan natrium aliginat (Rawat et al., 2006; Delie and Blanco, 2005). Material polimer memiliki sifat-sifat yang menguntungkan meliputi kemampuan terdegradasi dalam tubuh, modifikasi permukaan, dan fungsi yang dapat disesuaikan dengan keinginan. Sistem polimerik dapat mengatur sifat farmakokinetik dari obat yang dimuatkan yang mengakibatkan obat berada pada keadaan stabil. Kelebihan-kelebihan tersebut membuktikan bahwa nanopartikel polimerik merupakan sistem yang efektif dalam menjerat atau mengenkapsulasi obat-obat bioteknologi yang biasanya sensitif terhadap perubahan lingkungan. Nanopartikel polimerik yang mengikat peptida dapat digunakan

8

sebagai penghantaran melalui oral yang diperpanjang dan dapat meningkatkan penyerapan dan ketersediaan hayati (Rawat et al., 2006). Dengan perekayasaan, nanopartikel polimerik dapat ditargetkan untuk menghantarkan konsentrasi senyawa obat yang lebih tinggi menuju lokasi yang dikehendaki. Tetapi partikel pembawa obat akan dibuang dari sistem sirkulasi oleh makrofag. Hal tersebut adalah rintangan utama bila sel non-fagosit dalam tubuh merupakan sasaran pengobatan (Rawat et al., 2006). Disamping manfaat dan kelebihannya, nanopartikel polimerik memiliki keterbatasan seperti sitotoksisitasnya. Ukurannya yang kecil akan membuat makrofag memasukkannya dalam sel dan proses degradasi dalam sel dapat memberikan efek sitotoksik. Selain itu, metode produksi dalam skala besar yang sukar dilakukan disamping usaha yang cukup besar untuk mensintesis polimer dan kopolimer yang sesuai dengan sifat hidrofob dan hidrofil dari obat (Rawat et al., 2006).

1.1.3

Tujuan Pembuatan Nanopartikel

Tujuan pembuatan nanopartikel antara lain: meningkatkan stabilitas senyawa aktif terhadap degradasi lingkungan (oksidasi, hidrolisis, penguraian enzimatis), memperbaiki sistem penghantaran obat melalui suatu rute tertentu, memperbaiki absorbsi senyawa seperti makromolekul, mempermudah penanganan bahan toksik dan mengurangi sensitisasi terhadap operator, mengatasi masalah ketidakcampuran zat aktif dalam sediaan, menutupi rasa dan bau yang kurang menyenangkan suatu zat aktif, mengurangi efek iritasi zat aktif terhadap saluran cerna, memodifikasi pelepasan zat aktif, dan meningkatkan kelarutan dalam air

1.1.4

Kelebihan Nanopartikel

Nanopartikel memiliki beberapa kelebihan, antara lain: dapat menghantarkan obat dengan lebih baik ke unit yang kecil dalam tubuh; mengatasi resistensi yang disebabkan oleh barier fisiologi dalam tubuh yang disebabkan sistem penghantaran obat yang langsung dipengaruhi oleh ukuran partikel; meningkatkan efisiensi penghantaran obat dengan meningkatkan kelarutan dalam air obat-obat yang susah larut dalam air sehingga meningkatkan bioavailabilitas; dapat ditargetkan, sehingga dapat mengurangi toksisitas dan meningkatkan efisiensi distribusi obat; memungkinkan penghantaran obat hasil

9

rekayasa bioteknologi melalui berbagai anatomi tubuh yang ekstrim misalnya sawar otak, cabang saluran sistem pulmonari, tight junction dari sel epitel usus, dan lain sebagainya; dan memungkinkan penetrasi yang lebih baik pada tumor yang memiliki pori-pori berdiameter 100-1000 nm (Rawat et al., 2006).

1.1.5

Kekurangan Nanopartikel

Disamping kelebihannya, nanopartikel juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain: nanopartikel susah dalam penanganan dan penyimpanan karena mudah teragregasi; nanopartikel tidak cocok untuk obat dengan dosis besar; karena ukurannya kecil, nanopartikel dapat memasuki bagian tubuh yang tidak diinginkan yang dapat menimbulkan akibat yang berbahaya, misalnya dapat menembus membran inti sel dan menyebabkan kerusakan genetik yang tidak diinginkan atau mutasi (Rawat et al., 2006).

1.1.6

Pembuatan Nanopartikel

Sifat fisikokimia dari partikel sangat mempengaruhi tingkat absorbsi dalam saluran cerna. Dan sifat tersebut dipengaruhi oleh metode pembuatan nanopartikel polimerik. Pemilihan metode pembuatan nanopartikel bergantung pada sifat obat dan polimer (Delie and Blanco, 2005). Secara konvensional, secara umum nanopartikel dibuat dengan dua metode, yaitu: (i) polimerisasi monomer sintesis; dan (ii) dispersi polimer sintesis atau makromolekul alam (Soppimath et al., 2001; Delie and Blanco, 2005). Pembuatan nanopartikel dengan reaksi polimerisasi telah dikembangkan untuk polimer seperti

poli(metilmetakrilat)

(PMMA),

poli(alkilsianoakrilat)

(PACA),

dan

poli(metilidenmanolat) (PMM). Pada dasarnya, monomer yang tidak larut air didispersikan dalam fase air kemudian polimerisasi diinduksi dan dikendalikan dengan penambahan inisiator kimia atau dengan variasi dalam parameter fisik seperti pH, penggunaan radiasi sinar γ dan surfaktan sebagai penstabil. Senyawa obat akan terjerat dalam dinding polimer ketika ditambahkan ke dalam medium polimerisasi atau diadsorbsi pada permukaan partikel yang sudah terbentuk (Delie and Blanco, 2005).

10

A

B

Gambar 1.7 Perbandingan antara obat yang terjerat dalam polimer (A) dan yang teradsorpsi dipermukaan partikel (B) (Delie and Blanco, 2005). Pembuatan nanopartikel menggunakan polimer, berdasar pada pembentukan endapan. Pada prinsipnya, larutan organik yang mengandung polimer diemulsikan dalam fase air dengan atau tanpa surfaktan. Kemudian pelarut organik dihilangkan dengan berbagai macam cara seperti penguapan, difusi atau salting out dengan disertai pengadukan hingga terbentuk partikel. (Delie and Blanco, 2005). Beberapa metode telah dikembangkan dalam pembuatan nanopartikel dengan menggunakan polimer PLA, PLG, PLGA dan poly(εkaprolakton) dengan metode dispersi polimer (Soppimath et al., 2001), antara lain: a. Metode Penguapan Pelarut Dalam metode ini, polimer dilarutkan dalam pelarut organik, misalnya diklorometan, kloroform atau etil asetat. Zat aktif dilarutkan atau didispersikan dalam fase organik tersebut, dan campuran ini kemudian diemulsikan dalam air untuk membentuk emulsi fase organik dalam fase air, misalnya emulsi dengan menggunakan surfaktan atau emulgator seperti gelatin, PVA, polisorbat-80, poloksamer-188, dan lain-lain. Setelah terbentuk emulsi yang stabil, pelarut organik diuapkan baik dengan meningkatkan temperatur atau dengan pengadukan yang kontinu. Metode emulsi ganda juga telah digunakan untuk membuat nanopartikel yang berisi obat yang larut air. Kedua metode tersebut menggunakan homogenisasi dengan kecepatan tinggi atau sonikasi (Soppimath et al., 2001). Prosedur tersebut hanya dapat digunakan dalam skala lab, karena untuk produksi pilot skala besar diperlukan metode alternatif yang menggunakan emulsifikasi dengan energi rendah. b. Metode Emulsifikasi Spontan/Difusi Pelarut Metode emulsifikasi spontan/difusi pelarut adalah hasil modifikasi dari metode penguapan pelarut. Dalam metode ini, fase minyak yang digunakan berupa pelarut yang dapat larut dengan air (aseton atau metanol) yang ditambahkan dalam pelarut organik yang tidak larut

11

air (diklorometan atau kloroform). Karena difusi yang terjadi secara spontan dari pelarut yang larut air, terbentuk turbulensi antar muka diantara dua fase sehingga membentuk partikel yang lebih kecil. Bersamaan dengan berdifusinya pelarut larut air, ukuran partikel yang terbentuk semakin kecil (Soppimath et al., 2001). c. Modifikasi Metode Emulsifikasi Spontan/Difusi Pelarut Metode ini adalah hasil modifikasi lanjutan dari penguapan pelarut. Dibandingkan dengan metode emulsifikasi spontan/difusi pelarut, fase minyak yang digunakan dalam metode ini adalah campuran dari 2 pelarut organik yang bercampur air seperti etanol/aseton atau metanol/aseton, dan bukannya campuran pelarut yang dapat larut dengan air dengan pelarut organik yang tidak larut air seperti aseton/diklorometan atau aseton/kloroform. Alternatif ini mencegah agregasi partikel bahkan dalam fase organik yang mengandung polimer dalam konsentrasi tinggi, yang mengakibatkan peningkatan hasil sehingga tepat digunakan untuk skala industri. Kelebihan lainnya adalah penggunaan dari pelarut berbahaya seperti diklorometan dapat dihindari, proses pemurnian dapat disederhanakan dengan menggunakan teknik ultrafiltrasi. Prosedur yang digunakan terdiri dari 3 tahap, yaitu quasi emulsification (pelarutan polimer dalam alkohol/aseton dan pembentukan emulsi dalam air), pemurnian (menggunakan ultrafiltrasi) dan proses kering-beku (Murakami et al., 1999). d. Pembuatan Nanopartikel dengan Menggunakan Teknologi Cairan Superkritis Cairan superkritis menjadi metode alternatif yang cukup menarik karena cairan ini merupakan pelarut yang ramah lingkungan dan dapat menghasilkan partikel yang memiliki kemurnian tinggi dan tanpa adanya pelarut yang tersisa. Secara umum prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut: bahan nanopartikel dilarutkan dalam cairan superkritis dibawah tekanan yang sangat tinggi kemudian larutan tersebut disemprotkan melalui nozzle. Ketika disemprotkan, tekanan cairan superkritis menurun, hal ini menyebabkan kemampuan cairan superkritis untuk melarutkan berkurang drastis sehingga partikelpartikel kecil akan mengendap seketika. Kelebihan lain dari penggunaan cairan superkritis adalah proses pembentukan partikel yang sangat kecil sehingga ukuran partikel yang dihasilkan sangat kecil (Gupta, 2006; Soppimath et al., 2000). d. Metode Spray-Drying Cara lain pembuatan nanopartikel dengan menggunakan polimer adalah melalui metode spray-drying dimana obat dilarutkan atau didispersikan ke dalam pelarut organik yang

12

mengandung polimer, kemudian disemprotkan dalam aliran udara panas. Pelarut akan segera menguap dan nanopartikel yang kering dapat diperoleh (Delie and Blanco, 2005).

1.1.7

Absorbsi Nanopartikel dalam Saluran Gastrointestinal

Secara fisiologi, fungsi dari saluran gastrointestinal (GI) adalah untuk mencerna dan menyerap nutrisi, air dan vitamin yang terkandung dalam makanan. Tetapi, saluran GI juga berfungsi sebagai penghalang antara lingkungan dengan sisten sirkulasi sistemik untuk mencegah masuknya patogen, toksin dan makromolekul yang tidak tercerna (Delie and Blanco, 2005; Bhardwaj et al., 2006). Saluran GI dilapisi dengan epitel yang terbuat dari sel-sel, diantaranya adalah sel absorpsi (enterosit) dan sel goblet yang mensekresi mukus. Sel-sel ini bergabung secara erat dan membentuk penghalang yang kuat dan dilapisi mukus. Folikel limfoid, bagian dari usus yang berhubungan dengan sisten limfoid (GALT) dan berperan dalam pengembangan respon imun mukosal, terletak di antara lapisan enterosit. Folikel limfoid terdistribusi menyebar atau berkelompok di dalam bagian yang disebut Peyer’s patches (PPs). PPs merupakan lapisan tunggal epitel terdiferensiasi yang terdiri dari enterosit absorptif seperti epitel yang terasosiasi folikel (FAE). Jumlah PPs berbeda-beda pada tiap individu dan spesies serta tergantung pada umur. PPs berada sepanjang usus dan jumlah terbanyak terdapat pada ileum. Folikel limfoid-folikel limfoid terselubungi oleh FAE yang terdiri dari enterosit, sel M yang didiferensiasi dari enterosit dan beberapa sel goblet. Bagian ini merupakan tempat awal antigen ditemukan. FAE dan sel M merupakan tempat untuk pengambilan partikel. Absobsi partikel khususnya, tetapi tidak hanya, terjadi pada PPs pada tingkat sel M. Partikel dapat melintasi PPs atau melalui lapisan enterosit. Absorbsi partikel terjadi sangat cepat dan merupakan mekanisme transelular dan beberapa dengan jalur paraselular (Delie and Blanco, 2005; Bhardwaj et al., 2006).

13

Gambar 1.8 Skema representasi dari epitel usus pada bagian Peyer’s patch dan detail FAE (Delie and Blanco, 2005). Sifat fisikokimia nanopartikel sangat mempengaruhi tingkat pengambilan pada usus. Dua faktor utama yang mempengaruhi adalah ukuran partikel dan sifat polimer yang digunakan untuk membuat nanopartikel. Sebelum diabsobsi, terjadi interaksi antara partikel dengan permukaan sel. Karena hal tersebut, sifat polimer yang digunakan untuk membuat nanopartikel, khususnya kesetimbangan sifat hidrofobik/hidrofilik polimer dan muatan permukaan, dan juga adanya senyawa obat yang terdapat pada permukaan nanopartikel akan mempengaruhi tingkat pengambilan. Setelah diinternalisasi, nanopartikel akan difagositosis oleh makrofag dan didistribusikan dalam seluruh bagian tubuh (Delie and Blanco, 2005). Selain mekanisme transselular yang telah diterangkan diatas, mekanisme transport nanopartikel melintasi sel usus yang memungkinkan lainnya adalah jalur paraselular melalui kanal air. Absorbsi paraselular adalah perlintasan obat melalui ruang antara sel yang berukuran dalam rentang nanometer. Pada manusia, diameter pori kanal air berukuran antara 4 dan 8 Å, sedangkan pada tikus dan kelinci berukuran sekitar 10-15 Å. Epitel

14

mukosal dalam usus halus berdiri dari sel yang terpolarisasi yang terhubung oleh sambungan antar sel yang erat (tight intercellular junctions) seluas <1% dari luas permukaan usus. Pengambilan partikel melalui antar sel absorbsi berbanding terbalik dengan integritas struktur dari penghalang sambungan erat. Transport epitel partikel dapat ditingkatkan dengan meningkatkan permeabilitas jaringan epitel dengan cara membuka sambungan erat dibawah pengaruh polimer mukoadesif dan meningkat penetrasi seperti kitosan dan karbomer (Bhardwaj et al., 2006).

Gambar 1.9 Jalur penyerapan obat pada usus meliputi difusi paraseluler (A); difusi paraseluler yang dibantu oleh modulator sambungan erat (B); difusi pasif transseluler dengan metabolisme intraseluler (C); transpor transseluler termediasi pembawa (D); difusi transseluler dimodifikasi (E); transpor transeluler menggunakan vesikel. (Hamman, 2005) Partikel dalam rentang 40-120 nm dapat diabsorpsi baik secara transelular maupun paraselular. Ukuran merupakan faktor yang menentukan baik pengambilan maupun perlakuan biologi partikel. Pada mencit, partikel dengan ukuran >5000 nm tidak dapat menembus PPs, sedangkan pertikel berukuran antara 2000-5000 nm tetap berada pada PPs dan partikel berukuran <2000nm dapat bermigrasi melalui PPs (Bhardwaj et al., 2006).

1.1.8

Karakterisasi nanopartikel

Seperti telah dibahas sebelumnya, sifat unik yang dimiliki oleh nanopartikel disebabkan secara langsung oleh sifat fisikokimianya. Karena itu, penentuan karakteristik nanopertikel diperlukan untuk mendapatkan pengertian mekanis dari perilaku nanopartikel. Pengertian yang mendalam dapat digunakan dalam memperkirakan kinerja secara in vivo juga diperlukan dalam merancang partikel, pengembangan formulasi dan mengatasi masalahmasalah dalam proses pembuatan nanopartikel. Karakterisasi nanopartikel meliputi antara lain ukuran dan distribusi ukuran partikel, morfologi partikel, muatan permukaan partikel, persen penjeratan zat aktif, profil

15

melepasan zat aktif secara in vitro dan in vivo, dan kemampuan penetrasi menembus barier fisiologis. a. Ukuran dan Distribusi Ukuran Nanopartikel Ukuran partikel mempengaruhi secara langsung terhadap keunikan sifat dari nanopartikel, karena itu penentuan ukuran dan distribusi ukuran nanopartikel harus dilakukan. Beberapa metode dapat digunakan dalam penentuan seperti penghamburan cahaya dinamis (dynamic light scattering/DLS), penghamburan cahaya statis (static light scattering/SLS), Ultrasonik spektroskopi, turbidimetri, NMR, Coulter counter, penyaringan dan lain sebagainya (Haskell, 2006). b. Morfologi Nanopartikel Bentuk dan keadaan permukaan nanopartikel penting untuk diketahui karena hal ini dapat memberikan informasi tentang sifat pelepasan obat. Untuk melihat permukaan nanopartikel dapat digunakan mikroskop elektron pemindaian (scanning electron microscopy/SEM), mikroskop elektron transmisi (transmission electron microscopy/TEM), mikroskop daya atom (atomic force microscopy) (Haskell, 2006). c. Muatan Permukaan Nanopartikel Muatan permukaan partikel mempengaruhi pengambilan partikel. Partikel yang hidrofob akan diabsorbsi lebih cepat daripada partikel yang permukaannya bersifat hidrofil. Jumlah partikel yang berada dalam PPs melalui rute oral berkorelasi dengan hidrofobisitas relatif polimer yang digunakan untuk membuat partikel. Meningkatkan hidrofobisitas partikel menambah permeabilitas melalui mukus tetapi mengurangi translokasi melalui dan melintasi sel absorpsi. Karena itu, kesetimbangan sifat hidrofil-lipofil optimum merupakan sifat yang perlu dimiliki oleh polimer pembentuk matrik (Bhardwaj et al., 2006). Selain itu muatan yang terdapat pada permukaan dapat mengakibatkan agregasi partikel dalam penyimpanan dan akan mempersulit partikel dalam melintasi membran plasma karena molekul atau partikel yang bermuatan tidak bisa melintasi membran plasma (Haskell, 2006). Untuk mengetahui muatan permukaan nanopartikel dapat digunakan beberapa metode, antara lain penghamburan cahaya elektroforesis (electrophoretic light scattering), elektroforesis tube U (U-tube electrophoresis), dan fraksinasi medan elektrostatis (electrostatic field fractionation/electrostatic-FFF) (Haskell, 2006).

16

d. Persen Penjeratan Zat Aktif Persen penjeratan zat aktif ditunjukan dengan perbandingan antara jumlah obat dalam nanopartikel dengan jumlah teoritis obat dalam nanopartikel dalam persen (Niwa et al., 1993) Persen penjeratan zat aktif (%) =

jumlah obat dalam nanopartikel × 100% jumlah teoritis obat dalam nanopartikel

Semakin mendekati 100%, persen penjeratan semakin baik. Persen penjeratan perlu diketahui untuk mengoptimasi metode sehingga bahan yang digunakan tidak banyak terbuang. e. Profil Pelepasan Zat Aktif Profil pelepasan zat aktif penting dalam pengembangan formula sediaan farmasi. Tingkat pelepasan zat aktif bergantung pada: (i) desorpsi obat yang teradsorbsi; (ii) difusi obat menembus matrik nanopartikel untuk nanosfer atau difusi obat menembus dinding polimer untuk nanokapsul; (iii) erosi matrik nanopartikel; (iv) kombinasi proses erosi matrik dan difusi obat (Soppimath et al., 2001). Metode yang digunakan dalam mengamati pelepasan zat aktif secara in vitro adalah : (i) sel difusi berdampingan dengan membran biologis atau membran buatan; (ii) teknik difusi kantung dialisis; (iii) teknik dialisis balik; (iv) ultrasentrifugasi; (v) ultrafiltrasi; (vi) teknik ultrafiltrasi sentrifuga (Soppimath et al., 2001). f. Kemampuan Penetrasi Menembus Barier Fisiologi Kemampuan penetrasi menembus barier fisiologis perlu diketahui karena hal ini akan mempengaruhi jumlah nanopartikel yang berhasil masih dalam sistem sirkulasi mengingat zat aktif yang dimuatkan dalam nanopartikel adalah zat yang sulit atau bahkan tidak memiliki kemampuan penetrasi menembus barier fisiologis (Bhardwaj et al., 2006).

Pengamatan secara in vitro dapat menggunakan kultur sel. Lapisan sel Caco-2 didapat dari adenocarcinoma kolon manusia adalah cara pemeriksaan permeabilitas yang baing sering digunakan untuk mempelajari transpor transepitel. Lapisan sel Caco-2 dapat diubah menjadi sel M dengan cara kokultur dengan limfosit PPs (Bhardwaj et al., 2006).

17

Percobaan secara ex vivo dilakukan dengan menggunakan bagian usus untuk mengamati permeabilitas obat melalui jaringan usus mamalia. Jaringan usus yang akan digunakan untuk pengamatan pengambilan dan transport nanopartikel harus diperoleh dari binatang yang baru dikorbankan karena lapisan sel epitel akan cepat lisis (Bhardwaj et al., 2006).

1.2

HPMCP

Hidroksipropilmetilselulosaftalat (HPMCP) adalah polimer turunan selulosa dengan struktur tulang punggung polimerik selulosa yang terdiri atas struktur dasar pengulangan unit-unit anhidroglukosa. Tiap unit mempunyai tiga gugus hidroksil yang dapat digantikan oleh substituen lain (Rowe et al., 2006).

CH2OR O OH

OH O OR O

OR

CH2OR'

n

Gambar 1.10 Struktur molekul monomer HPMCP (Rowe et al., 2006). HPMCP adalah ester asam monoftalat dari HPMC yang dibuat secara esterifikasi HPMC dengan ftalat anhidrid. Derajat alkilasi dan karboksibenzoil menentukan sifat polimer dan pH larutan (Rowe et al., 2006).

HPMCP tersedia dalam berbagai jenis, diantaranya HP-55, HP-50, HP-55 F, HP-55S. Angka di belakang HP menunjukkan kelarutan polimer dalam pH tersebut, S menunjukkan bobot molekul yang besar, sedangkan F menunjukkan produk dengan ukuran partikel kecil (Rowe et al., 2006). HPMCP merupakan serbuk berwarna putih, tidak berbau dan tidak berasa. HPMCP larut dalam aseton, campuran aseton-metanol (1:1), metilen klorida-metanol (1:1) dan larutan alkali. Tidak larut dalam air, heksan dan larutan asam (Rowe et al., 2006). Secara umum penambahan pemlastis dari luar dalam penyalutan menggunakan HPMCP tidak diperlukan, karena HPMCP memiliki sifat pemlastis sehingga film yang terbentuk cukup kuat dan kenyal untuk melindungi sediaan yang disalut secara mekanik. Berbeda

18

dengan selulosa asetat ftalat (CAP) dan kopolimer akrilat yang membutuhkan pemlastis jika digunakan sebagai penyalut. HPMCP dapat digunakan sebagai penyalut, zat pensuspensi, bahan pembentuk film, dan penyalut enterik (Rowe et al., 2006).

1.3

Eudragit RL PO®

Eudragit RL, dikenal juga sebagai kopolimer amonium metakrilat, merupakan kopolimer yang disintesis dari asam akrilat dan ester asam metakrilat dengan mengandung kelompok amonium kuarterner sebanyak 10%. Kelompok amonium tersebut berada dalam bentuk garam dan meningkatkan permeabilitas tidak tergantung pH polimer. Eudragit RL memiliki struktur kimia pada gambar 1.2 H

CH3

CH3

CH3

C

H2 C

C

H2 C

C

H2 C

C

H2 C

C

O

C

O

C

O

C

O

O

O

O

O

CH3

CH2

C2H5

CH2CH2N(CH3)3+ Cl-

CH2N(CH3)3+ Cl-

Gambar 1.11 Struktur molekul monomer Eudragit RL (Rowe et al., 2006). Eudragit RL PO merupakan serbuk berwarna putih dengan sedikit berbau menyerupai amin. Eudragit RL larut dalam aseton, alkohol, diklorometan, dan etil asetat. Eudragit RL tidak larut pada larutan asam maupun larutan basa. Eudragit RL tidak larut dalam air, dan lapisan film yang dibentuk dari polimer ini bersifat permeabel terhadap air (Rowe et al., 2006). Eudragit RL biasanya digunakan sebagai bahan penyalut untuk membentuk lapisan film yang tidak larut dalam air. Lapisan film yang dibentuk memiliki sifat permeabilitas yang tinggi (Rowe et al., 2006). Eudragit RL cocok digunakan sebagai bahan pembawa nanopartikel karena Eudragit RL tidak larut dalam air sehingga diharapkan dapat terus membungkus senyawa obat hingga masuk ke dalam sistem sirkulasi.

19

1.4

Isoniazid

Isoniazid atau INH (C6H7N3O, BM 137,14) memiliki sinonim asam nikotinat hidrazida mengandung tidak kurang dari 98% dan tidak lebih dan 102% C6H7N3O, dihitung terhadap zat anhidrat. Tampak sebagai kristal putih atau tidak berwarna atau serbuk kristalin putih, tidak berbau dan secara perlahan dipengaruhi oleh udara dan cahaya, awalnya berasa manis kemudian pahit. Titik leleh isoniazid adalah 170-174 °C. H2N NH N O

Gambar 1.12 Struktur molekul isoniasid (Depkes RI, 1995). Larutan isoniazid 5% dalam air memiliki pH 6-8. Tetapan disosiasi isoniazid adalah 1,8 untuk gugus nitrogen hidrazin, 3,5 untuk gugus nitrogen piridin, dan 10,8 untuk gugus asam. Logaritma koefisien partisi dalam sistem oktanol dan larutan pH 7,4 adalah -1,1. Kelarutan INH dalam air, etanol, dan kloroform berturut-turut adalah 1:8, 1:45, dan 1:1000. Isoniazid sangat mudah larut dalam eter (Lund, 1994). Isoniazid dapat bekerja sebagai bakteriostatik atau bakteriosida, tergantung pada konsentrasi obat yang terikat pada tempat infeksi dan kepekaan bakteri. Beberapa mekanisme kerja INH meliputi interferensi metabolisme protein, asam nukleat, karbohidrat, dan lemak bakteri. Salah satu prinsip kerja INH adalah penghambatan sintesis asam mikolat yang merupakan komponen lemak bakteri sehingga menyebabkan hilangnya ketahanan bakteri terhadap asam dan rusaknya dinding sel. Isoniazid bekerja pada bakteri yang peka dan aktif membunuh pada saat pembelahan sel, serta memiliki spesifisitas yang tinggi terhadap bakteri genus Mycobaterium antara lain M. tuberkulosis, M. bovis, dan beberapa strain M. kansaii (Gilman, 2001). Efek samping yang ditimbulkan oleh pemakaian INH adalah neuritis perifera, disfungsi hati sedang, reaksi hipersensitivitas, efek hematologi (agrunolositosis, eosinophilia, trombositopenia). INH dikontraindikasikan untuk penyakit hati akut dan hipersensitivitas (McEvoy, 2002).

20

INH langsung diserap dari saluran cerna. Pemberian dosis oral sebesar 300 mg (5mg/kg untuk anak-anak) menghasilkan konsentrasi plasma puncak 3-5 µg/mL dalam l-2 jam. INH langsung berdifusi cepat dari dalam darah ke seluruh cairan tubuh dan jaringan. Metabolisme INH, terutama asetilasi oleh N-asetiltransferase hati ditentukan secara genetik. Waktu paruh rata-rata pada asetilator cepat dan lambat secara berturut-turut adalah kurang dari 1 jam dan 3 jam. Metabolit-metabolit INH dan sebagian kecil obat dalam bentuk tetap dikeluarkan melalui urin. Dosis tidak perlu disesuaikan pada pasien dengan gagal ginjal, tapi direkomendasikan dosis 1/3 sampai 1/2 dari dosis normal pada pasien dengan insufisiensi hati parah (McEvoy, 2002).

1.1

Papain

Papain adalah senyawa proteolitik yang dimurnikan berasal dari Carica papaya Linné (Kel. Caricaceae). Nama lain papain adalah papayatin atau vegetable pepsin karena mempunyai kerja yang mirip dengan pepsin dan tripsin dalam kemampuannya menguraikan protein (Harsha et al., 1996). Papain mengandung tidak kurang dari 6000 Unit tiap mg. Satu unit aktivitas enzim papain adalah aktivitas yang melepas setara dengan 1µg tirosin dari susbstrat kasein pada kondisi tertentu (USP 28th, 2005).

Gambar 1.13 Struktur tiga dimensi papain Tampak sebagai serbuk putih atau putih keabu-abuan dan bersifat agak higroskopik. Praktis larut dalam air dan gliserol, tidak larut dalam sebagian besar pelarut organik. Papain aktif pada pH 5 tetapi dapat berfungsi dalam medium netral hingga basa. Serapan UV maksimal pada 278 nm (E1%1 cm 25). (Merck Index 13th, 2001). Papain tidak efektif bila digunakan sendiri dan memerlukan zat pengaktivasi untuk menstimulasi potensi mencernanya. Papain dapat diaktivasi dengan menggunakan HCN dan H2S. Larutan hidrogen peroksida dan garam logam berat dapat menginaktivasi papain. Kombinasi papain dan urea dapat memberikan aktifitas mencerna dua kali lebih besar dari

21

pada hanya menggunakan papain. Campuran papain-urea pada umumnya dapat ditoleransi dan tidak mengiritasi (National PBM Drug Monograph, 2004). Kegunaan papain sebagai enzim proteolitik dalam bidang industri sangat beragam. Papain merupakan enzim penting pada industri makanan dan minuman, kosmetika, industri kulit dan farmasi. Pada industri makanan, selain digunakan sebagai pengempuk daging, juga digunakan sebagai penggumpal kasein susu pada proses pembuatan keju (Jagtiani et al.,1988). Dalam bidang farmasi, papain digunakan untuk mengatasi gangguan pencernaan. Telah terbukti pemberian sediaan ini pada pasien dengan beberapa jenis tumor menunjukkan kelangsungan hidup yang diperlama. Salah satu efek samping papain adalah terjadinya reaksi alergi seperti kulit kemerahan dan gatal-gatal. Papain tidak dianjurkan untuk orang hamil dan yang mengalami gangguan pendarahan.