BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Sepsis Neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah bayi selama bulan pertama kehidupan (Nelson, 2004). Sepsis adalah sindrom yang dikarakteristikan oleh tanda-tanda klinis dan gejala-gejala infeksi yang parah yang dapat berkembang ke arah septisemia dan syok septik (Doenges, Marylyn E. 2000). Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan. Dalam sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis Definition Conferences (ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian. 2.2. Klasifikasi Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis). Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SAD adalah Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia coli, Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara berkembang
Universitas Sumatera Utara
termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang gram negatif. Sepsis neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-50%. Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal. Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara maju, Coagulase-negative Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan penyebab utama SAL, sedangkan di negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang gram negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa). Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan sekitar (SAL). 2.3. Etiologi Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri mampu menyebabkan sepsis. Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat menyebabkan infeksi berat yang mengarah kepada terjadinya sepsis. Dalam kajian ini, saya hanya membahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri oleh kerana keterbatas waktu. Pola kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan pola kuman, walaupun bakteri gram negatif rata-rata menjadi penyebab utama dari sepsis neonatorum. Penyebab paling sering dari sepsis ialah Escherichia coli dan SGB (dengan angka morbiditas sekitar 50 – 70 %. Diikuti dengan malaria, sifilis, dan toksoplasma. Streptococcus grup A, dan streptococcus viridans, patogen lainnya gonokokus, Candida alibicans, virus herpes simpleks (tipe II) dan organisme listeria, rubella, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza dan parotitis.
Universitas Sumatera Utara
Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah diteliti oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999 di empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan Gambia. Dalam penelitian tersebut mengemukakan bahwa isolate yang tersering ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri gram negatif terutama Klebsiella sp dan E. coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri gram negatif
juga ditemukan Streptococcus
pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita-wanita di daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp. biasanya diisolasi dari neonatus yang dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus. Pola penyebab sepsis ternyata tidak hanya berbeda antar klinik dan antar waktu, tetapi terdapat perbedaan pula bila awitan sepsis tersebut berlainan. Dari survei yang dilakukan oleh NICHD Neonatal Network Survey pada tahun 1998-2000 terhadap 5447 pasien BBLR (BL<1500 gram) dengan SAD dan pada 6215 pasien BBLR dengan SAL, didapatkan hasil bakteremia sebanyak 1,5% pada SAD dan 21,1% pada SAL. Pada SAD, ditemukan bakteri gram negatif pada 60,7% kasus bakteremia, dan pada SAL bakteremia lebih sering disebabkan oleh bakteri gram positif (70,2%). Bakteri gram negatif tersering pada SAD adalah E.coli (44%) sedangkan Coagulase-negative Staphylococcus merupakan penyebab tersering (47,9%) pada SAL. Selain itu, faktor lain seperti pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan tindakan, kelahiran kurang bulan, BBLR dan cacat bawaan dapat menyebabkan terjadinya infeksi dan kemudian sepsis.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Perjalanan Penyakit/Patogenesis Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan dari infeksi ke Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ, dan akhirnya kematian (tabel 1). Tabel 2.1: Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus. Bila ditemukan dua atau lebih keadaan: Laju nafas >60x/m dengan/tanpa retraksi dan desaturasi oksigen(O2) SIRS
Suhu tubuh tidak stabil (<36ºC atau >37.5ºC) Waktu pengisian kapiler > 3 detik Hitung leukosit <4000x109/L atau >34000x109/L
CRP >10mg/dl IL-6 atau IL-8 >70pg/ml 16 S rRNA gene PCR : Positif Terdapat satu atau lebih kriteria SIRS disertai dengan gejala klinis infeksi
SEPSIS
Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ tunggal
SEPSIS BERAT
Sepsis berat disertai hipotensi dan kebutuhan resusitasi cairan dan obatobat inotropik
SYOK
Terdapat disfungsi meskipun telah pengobatan optimal
multi organ mendapatkan
SEPTIK SINDROM DISFUNGSI MULTIORGAN
Universitas Sumatera Utara
Disfungsi multi berkelanjutan
organ
yang
KEMATIAN
Sumber: Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): S45-9
Sesuai dengan proses tumbuh kembang anak, variabel fisiologis dan laboratorium pada konsep SIRS akan berbeda menurut umur pasien. Pada International Concensus Conference on Pediatric Sepsis tahun 2002, telah dicapai kesepakatan mengenai definisi SIRS, Sepsis, Sepsis berat, dan Syok septik (Tabel 2 dan 3). Berdasarkan kesepakatan tersebut, definisi sepsis neonatorum ditegakkan bila terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi (suspected) maupun terbukti infeksi (proven). Tabel 2.2: Kriteria SIRS Usia Neonatus
Suhu
Laju Nadi per menit
Laju napas per menit
Jumlah leukosit X 103/mm3
Usia 0-7 hari
>38,5ºC atau
>180 atau <100
>50
>34
>180 atau <100
>40
>19,5 atau <5
<36ºC Usia 7-30 hari
>38,5ºC atau <36ºC
Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8 Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel (salah satu di antaranya kelainan suhu atau leukosit)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3: Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septik Infeksi
Terbukti infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman penyebab atau Tersangka infeksi (suspected infection) bila terdapat sindrom klinis (gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain).
Sepsis
SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka.
Sepsis berat
Sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular atau disertai gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua organ lain (seperti gangguan neurologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi).
Syok septik
Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <65 mmHg pada bayi <7 hari dan <75 mmHg pada bayi 7-30 hari).
Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8 2.5. Patofisiologi Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, korion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan. Blanc (1961) membahaginya dalam 3 golongan, yaitu: Pada masa antenatal atau sebelum lahir, pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilicus, masuk kedalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang dapat menembus plasenta, antara lain virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis. Bakteri yang dapat melalui jalur ini antara lain malaria, sifilis dan toksoplasma, triponema pallidum dan listeria. Pada masa intranatal atau saat persalinan. Infeksi melalui cara ini lebih sering terjadi daripada cara yang lain. Infeksi saat persalinan terjadi karena kuman yang ada
Universitas Sumatera Utara
pada vagina dan serviks naik mencapai korion dan amnion, akibatnya terjadi amnionitis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilkus masuk ke tubuh bayi. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam. Selain melalui cara tersebut diatas infeksi pada janin dapat terjadi melalui kontak langsung pada kuman saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi seperti herpes genitalis, Candida albicans dan gonorea. Pada masa pascanatal atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi yang diperoleh (acquired infection) yaitu infeksi nosokomial dari lingkungan diluar rahim misalnya melalui alat-alat; pengisap lendir, selang endotrakea, infus, selang nasagastrik dan botol minuman. Bayi yang mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian terlalu padat juga mudah mendapat infeksi nosokomial ini. Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi dapat juga menyebabkan terjadinya infeksi nasokomial. Infeksi pascanatal ini sebetulnya sebahagian besar dapat dicegah. Hal ini penting karena mortalitas infeksi pascanatal ini sangat tinggi. Seringkali bayi lahir di rumah sakit terkena infeksi dengan kuman-kuman yang sudah tahan terhadap banyak jenis antibiotika, sehingga menyulitkan pengobatannya. Bila paparan kuman pada kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain pemberian antibiotika, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1: Mekanisme terjadinya gangguan klinis. sumber: Zaenal A.Asuhan Keperawatan Sepsis Neonatorum 2005. 2.5.1 Respons inflamasi Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen dengan pejamu. Meskipun memiliki gejala klinis yang sama, proses molekular dan selular yang memicu respon sepsis berbeda tergantung dari mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapannya sama dan tidak bergantung pada organisme penyebab. Respon sepsis terhadap bakteri gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida merupakan komponen penting pada membran luar bakteri gram negatif dan memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein spesifik
Universitas Sumatera Utara
dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks LPSLPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag. Bakteri gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme, yaitu dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri gram negatif. Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis (Gambar 2.2). Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini akan mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen. Infeksi akan dilawan oleh tubuh, baik melalui sistem imunitas selular yang meliputi monosit, makrofag, dan netrofil serta melalui sistem imunitas humoral dengan membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur komplemen. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pengenalan patogen oleh CD14 dan TLR-2 serta TLR-4 di membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk mengaktifkan sistem imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan sel T akan berdiferensiasi menjadi sel T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th2). Sel Th1 mensekresikan sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon γ (IFN- γ), interleukin 1-β (IL-1β), IL-2, IL-6 dan IL-12 serta menjadi. Sel Th2 mensekresikan sitokin antiinflamasi seperti IL-4, -10, dan -13. Pembentukan sitokin proinflamasi dan anti inflamasi diatur melalui mekanisme umpan balik yang kompleks. Sitokin proinflamasi terutama berperan menghasilkan sistem imun untuk melawan kuman penyebab.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 : Patofisiologi kaskade sepsis Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73 Namun demikian, pembentukan sitokin proinflamasi yang berlebihan dapat membahayakan dan dapat menyebabkan syok, kegagalan multi organ serta kematian. Sebaliknya, sitokin anti inflamasi berperan penting untuk mengatasi proses inflamasi yang berlebihan dan mempertahankan keseimbangan agar fungsi organ vital dapat berjalan dengan baik. Sitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi fungsi organ secara langsung atau secara tidak langsung melalui mediator sekunder (nitric oxide, tromboksan, leukotrien, Platelet Activating Factor (PAF), prostaglandin), dan komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi sehingga menyebabkan kerusakan organ.
Universitas Sumatera Utara
Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah. 2.6. Manisfestasi Klinis Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh terhadap masuknya kuman. Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan kadang-kadang hiperglikemia, tampak tidak sehat dan malas minum. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch cry, bayi menjadi
iritabel dan dapat disertai
kejang), kelainan kardiovaskular (hipotensi, takikardi, bradikardi, pucat, sianosis, dingin dan clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik (ikterus, splenomegali, petekie, dan pendarahan), kelainan gastrointestinal (distensi abdomen, anoreksia, muntah, diare dan hepatomegali), ataupun gangguam respirasi (apnea, dispnea, takipnea, napas cuping hidung, merintih dan sianosis). Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood Illnesses tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis Sepsis Neonatorum Berat bila ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut ini: laju napas > 60 kali per menit, retraksi dada yang dalam, cuping hidung kembang kempis,bayi merintih, ubun-
Universitas Sumatera Utara
ubun besar membonjol, bayi mengalami kejang, keluar pus dari telinga, kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit, suhu >37,7°C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5°C (atau akral teraba dingin), letargi atau tidak sadar, penurunan aktivitas atau gerakan, tidak dapat minum,tidak dapat melekat pada payudara ibudan tidak mau menetek. Bervariasinya gejala klinik ini merupakan penyebab sulitnya diagnosis pasti pada pasien. Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya perlu dilakukan. 2.7. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk menyusun kriteria sepsis neonatorum ini baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya faktor resiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Kriteria sepsis ini berbeda tergantung pada karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh terhadap masuknya kuman ini. Kriteria sepsis juga berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Bagi pemeriksaan penunjang dilakukan berbagai pemeriksaan termasuk pemeriksaan darah rutin untuk memeriksa hemoglobin (Hb), leukosit, trombosit, laju endap darah (LED), Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase(SGOT), dan Serum Glutamic Pyruvic Transaminase(SGPT). Analisa kultur urin dan cairan sebrospinal (CSS) dengan lumbal fungsi dapat mendeteksi kuman. Laju endah darah, dan protein reaktif-c (CRP) akan meningkat menandakan adanya inflamasi. Tetapi sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan dari jenis kuman yang biasa ditemukan di masing-masing klinik. Kultur darah dapat dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum awitan dini maupun lanjut.
Universitas Sumatera Utara
2.8. Penatalaksanaan Penanganan sepsis dilakukan secara suportif dan kausatif. Tindakan suportif antara lain ialah
dilakukan monitoring cairan elektrolit dan glukosa, koreksi jika
terjadi hipovolemia, hipokalsemia dan hipoglikemia, atasi syok, hipoksia, dan asidosis metabolik, awasi adanya hiperbilirubinemia dan pertimbangkan nutrisi parenteral bila pasien tidak dapat menerima nutrisi enteral. Tidakan kausatif dengan pemberian antibiotik sebelum kuman penyebab diketahui. Biasanya digunakan golongan penicilin seperti ampicillin ditambah aminoglikosida
seperti gentamicin. Pada sepsis
nasokomial, antibiotic diberikan dengan mempertimbangkan flora di ruang perawatan, namun sebagai terapi inisial biasanya diberikan vankomisin dan aminoglikosida atau sefalosforin generasi ketiga. Setelah didapat hasil biakan dan uji sistematis, diberikan antibiotik yang sesuai. Terapi dilakukan selama 10-14 hari, bila terjadi meningitis, antibiotik diberikan selama 14-21 hari dengan dosis sesuai untuk meningitis.
2.9. Komplikasi Komplikasi sepsis neonatorum antara lain ialah meningitis, neonatus dengan meningitis dapat menyebabkan terjadinya hidrosefalus dan/atau leukomalasia periventrikular, hipoglikemia, asidosis metabolik, koagulopati, gagal ginjal, disfungsi miokard, perdarahan intrakranial dan pada sekitar 60 % keadaan syok septik akan menimbulkan komplikasi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Selain itu ada komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan aminoglikosida, seperti ketulian dan/atau toksisitas pada ginjal, komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai dari gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental dan komplikasi kematian.
Universitas Sumatera Utara
2.10. Prognosis Angka kematian pada sepsis neonatal berkisar antara 10-40 %. Angka tersebut berbeda-beda tergantung pada cara dan waktu awitan penyakit, agen etiologik, derajat prematuritas bayi, adanya dan keparahan penyakit lain yang menyertai dan keadaan ruang bayi atau unit perawatan. Angka kematian pada bayi BBLR adalah 2 kali lebih besar. Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi bila tanda dan gejala awal serta faktor resiko sepsis neonatorum terlewat, akan meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sequele pada 15-30% kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 2–4 kali lebih tinggi pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis awitan dini adalah 15 – 40% (pada infeksi SGB pada SAD adalah 2 – 30 %) dan pada sepsis awitan lambat adalah 10 – 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira – kira 2 %).
2.11. Faktor Resiko Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor resiko pada ibu, neonatal dan lain-lain. Antara faktor resiko ibu ialah ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya. Infeksi dan demam (>38°C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau. Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3 kali) dan umur ibu (kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun). Persalinan dan kehamilan kurang bulan.
Status
sosial-ekonomi
ibu,
ras,
dan
latar
belakang
mempengaruhi
kecenderungan terjadinya infeksi. Ibu yang berstatus sosio- ekonomi rendah mungkin nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya yang padat dan tidak higienis.
Universitas Sumatera Utara
Antara faktor resiko pada neonatal pula ialah prematuritas dan berat badan lahir rendah (<2500 gram). Umumnya imunitas bayi BBLR dan tidak cukup bulan lebih rendah daripada bayi cukup bulan. Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada paruh terakhir trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin serum terus menurun, menyebabkan hipogamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan kulit. BBLR ini sangat mudah mengalami infeksi. Hal ini berhubungan dengan keadaan imunoglobulin yang masih rendah, aktivitas bakterisidal, neutrofil serta efek sitotoksik limfosit masih rendah. Resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi yang mengalami fetal distress dan trauma pada proses persalinan. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter, infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun, atau asplenia. Bayi mengalami cacat bawaan. Bayi yang tidak diberi air susu ibu (ASI). Pemberian nutrisi secara parenteral pada bayi. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama. Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded dan bayi kulit hitam lebih banyak mengalami infeksi daripada bayi berkulit putih. Antara faktor resiko lain-lain ialah beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering terjadi pada bayi laki-laki daripada perempuan, pada bayi kulit hitam daripada kulit putih, pada bayi dengan status ekonomi rendah, dan sering terjadi akibat prosedur cuci tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien, serta buruknya kebersihan di Neonatal Intensive Care Unit (NICU). Semua faktor-faktor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan masih menjadi masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab tidak adanya perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir ini. Faktor-faktor resiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis.
Universitas Sumatera Utara