BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Luka Diabetes Melitus ... - USU-IR

Pengetahuan beberapa jenis atau kategori dari produk perawatan luka dan bentuk pemberian pelayanan mereka merupakan sesuatu yang penting. Luka...

70 downloads 563 Views 74KB Size
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Luka Diabetes Melitus 2.1.1 Pengertian luka diabetes melitus Luka diabetes ( diabetic ulcers) sering kali disebut diabetics foot ulcers, luka neuropati, luka diabetik neuropath (Maryunani, 2013). Luka diabetes atau neuropati adalah luka yang terjadi pada pasien yang diabetik melibatkan gangguan pada saraf perifer dan otonomik ( Suriadi, 2004 dalam Maryunani, 2013). Luka diabetes adalah luka yang terjadi pada kaki penderita diabetes, dimana terdapat kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes melitus yang tidak terkendali. Kelainan kaki diabetes mellitus dapat disebabkan adanya gangguan pembuluh darah, gangguan persyarafan dan adanya infeksi ( Tambunan, 2007 dalam Maryunani, 2013). Luka diabetes merupakan kejadian luka yang tersering pada penderita diabetes, dimana neuropati menyebabkan hilang rasa pada kondisi terpotong kaki, blister/ bullae atau kalus yang diikuti dengan penurunan sirkulasi juga penyakit mikrovaskuler ( Black, 1998) Luka diabetes dengan gangren didefinisikan sebagai jaringan nekrosis atau jaringan mati yang disebabkan oleh karena adanya emboli pembuluh darah besar arteri pada bagian tubuh sehingga suplai darah terhenti. Dapat terjadi sebagai akibat proses inflamasi yang memanjang , perlukaan ( digigit serangga, kecelakaan kerja atau terbakar), proses degenerative ( arteriosklorosis) atau gangguan metabolik (diabetes melitus). (Taber, 1990 dalam Maryunani,2013).

2.1.2 Klasifikasi Luka A.Berdasarkan kedalaman jaringan 1.Partial Thickness adalah luka mengenai lapisan epidermis dan dermis 2.Full Thickness adalah luka mengenai lapisan epidermis, dermis dan subcutaneous. dan termasuk mengenai otot, tendon dan tulang ( Ekaputra,2013). B. Berdasarkan waktu dan lamanya 1. Akut Luka baru, terjadi mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan ( Moreau, 2003 dalam Ekaputra, 2013). Luka akut merupakan luka trauma yang biasanya segera mendapat penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi ( Ekaputra, 2013). 2. Kronik Luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali (rekuren), terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor dari penderita (Fowler E,1990). Pada luka kronik luka gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk timbul kembali (Moreau , 2003 dalam Ekaputra, 2013). 2.1.3 Fase Penyembuhan Luka (Wound Healing) A.Fase Inflamasi Merupakan awal dari proses penyembuhan luka sampai hari kelima. Proses peradangan akut terjadi dalam 24-48 jam pertama setelah cedera. Proses epitalisasi mulai terbentuk pada fase ini beberapa jam setelah terjadi luka. Terjadi reproduksi dan migrasi sel dari tepi luka menuju ke tengah luka. Fase ini

mengalami konstriksi dan retraksi disertai reaksi hemostasis yang melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang berperan untuk terjadinya kemoktasis retrofil, makrofag, mast sel, sel endotel dan fibrolas. Kemudian terjadi vasodilatasi dan akumulasi leukosit dan mengeluarkan mediator inflamasi TGF Beta 1 akan mengaktivasi fibrolas untuk mensintesis kolagen (Ekaputra, 2013). B. Fase Proliferasi Fase ini mengikuti fase inflamasi dan berlangsung selama 2 sampai 3 minggu (potter dan perry, 2006). Pada fase ini terjadi neoangiogenesis membentuk kapiler baru. Fase ini disebut juga fibroplasi menonjol perannya. Fibroblast mengalami proliferasi dan berfungsi dengan bantuan vitamin B dan vitamin C serta oksigen dalam mensintesis kolagen. Serat kolagen kekuatan untuk bertautnya tepi luka. Pada fase ini mulai terjadi granulasi, kontraksi luka dan epitelisasi.( Ekaputra, 2013). C. Fase Remodeling atau Maturasi Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses penyembuhan luka. Terjadi proses yang dinamis berupa remodeling kolagen, kontraksi luka dan pematangan parut. Fase ini berlangsung mulai 3 minggu sampai 2 tahun. Akhir dari penyembuhan ini didapatkan parut luka yang matang yang mempunyai kekuatan 80% dari kulit normal (Ekaputra,2013).

2.1.4 Tipe Penyembuhan Luka A.Primary Intention Healing ( penyembuhan luka primer) Timbul bila jaringan telah melekat secara baik dan jaringan yang hilang minimal atau tidak ada. Tipe penyembuhan yang pertama ini dikarakteristikkan oleh pembentukan minimal jaringan granulasi dan skar. Pada luka ini proses inflamasi adalah minimal sebab kerusakan jaringan tidak luas. Epitelisasi biasanya timbul dalam 72 jam, sehingga resiko infeksi menjadi lebih rendah. Jaringan granulasi yang terbentuk hanya sedikit atau tidak terbentuk. Hal ini terjadi karena adanya migrasi tipe jaringan yang sama dari kedua sisi luka yang akan memfasilitasi regenerasi jaringan ( Ekaputra, 2013) B. Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) Tipe ini dikarakteristikkan oleh adanya luka yang luas dan hilangnya jaringan dalam jumlah besar, penyembuhan jaringan yang hilang ini akan melibatkan granulasi jaringan. Pada penyembuhan luka sekunder, proses inflamasi adalah signifikan. Seringkali terdapat lebih banyak debris dan jaringan nekrotik dan periode fagositosit yang lebih lama. Hal ini menyebabkan resiko infeksi menjadi lebih besar (Ekaputra, 2013) C. Tertiary Intention Healing (Penyembuhan luka tertiar) Merupakan penyembuhan luka terakhir. Sebuah luka di indikasikan termasuk kedalam tipe ini jika terdapat keterlambatan penyembuhan luka, sebagai contoh jika sirkulasi pada area injuri adalah buruk. Luka yang sembuh dengan penyembuhan

tertier

akan

memerlukan

lebih

banyak

jaringan

penyambung(jaringan scar). Contohnya: luka abdomen yang dibiarkan terbuka oleh karena adanya drainage. (Ekaputra, 2013). 2.1.5 Sistem derajat/ Grade Wagner untuk luka diabetes melitus a. Derajat 0 = Tidak ada lesi yang terbuka, Bisa terdapat deformitas atau selulitis (dengan kata lain: kulit utuh, tetapi ada kelainan bentuk kaki akibat neuropati). b. Derajat 1= luka superficial terbatas pada kulit. c. Derajat 2= luka dalam sampai menembus tendon, atau tulang d. Derajat 3= luka dalam dengan abses, osteomielitis atau sepsis persendian e. Derajat 4= Gangren setempat, di telapak kaki atau tumit ( dengan kata lain : gangren jari kaki atau tanpa selulitis) f. Derajat 5= Gangren pada seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah. (Muryunani, 2013). 2.1.6 Proses terjadinya luka diabetes melitus Luka diabetes melitus terjadi karena kurangnya kontrol diabetes melitus selama bertahun-tahun yang sering memicu terjadinya kerusakan syaraf atau masalah sirkulasi yang serius yang dapat menimbulkan efek pembentukan luka diabetes melitus (Maryunani, 2013). Ada 2 tipe penyebab ulkus kaki diabetes secara umum yaitu: a.Neuropati Neuropati diabetik merupakan kelainan urat syaraf akibat diabetes melitus karena kadar gula dalam darah yang tinggi yang bisa merusak urat syaraf penderita dan menyebabkan hilang atau menurunnya rasa nyeri pada kaki, sehingga apabila penderita mengalami trauma kadang- kadang tidak terasa.

Gejala- gejala neuropati meliputi kesemutan, rasa panas, rasa tebal di telapak kaki, kram, badan sakit semua terutama malam hari ( Maryunani,2013). b.Angiopathy Angiopathy diabetik adalah penyempitan pembuluh darah pada penderita diabetes. Apabila sumbatan terjadi di pembuluh darah sedang/ besar pada tungkai, maka tungkai akan mudah mengalami gangren diabetik, yaitu luka pada kaki yang merah kehitaman atau berbau busuk. Angiopathy menyebabkan asupan nutrisi, oksigen serta antibiotik terganggu sehingga menyebabkan kulit sulit sembuh. (Maryunani, 2013). 2.1.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka A. Faktor Umum 1. Perfusi dan oksigenasi jaringan Proses penyembuhan luka tergantung suplai oksigen. Oksigen merupakan kritikal untuk leukosit dalam menghancurkan bakteri dan untuk fibroblast dalam menstimulasi sintesis kolagen. Selain itu kekurangan oksingen dapat menghambat aktifitas fagositosis. Dalam keadaan anemia dimana terjadi penurunan oksigen jaringan maka akan menghambat proses penyembuhan luka (Ekaputra, 2013) 2. Status nutrisi Kadar serum albumin rendah akan menurunkan difusi (penyebaran) dan membatasi kemampuan neutrofil untuk membunuh bakteri. Oksigen rendah pada tingkat kapiler membatasi profilerasi jaringan granulasi yang sehat. Defisiensi zat besi dapat melambatkan kecepatan epitelisasi dan menurunkan kekuatan luka dan kolagen. Jumlah vitamin A dan C zat besi dan tembaga yang memadai diperlukan

untuk pembentukan kolagen yang efektif. Sintesis kolagen juga tergantung pada asupan protein, karbohidrat dan lemak yang tepat. Penyembuhan luka membutuhkan dua kali lipat kebutuhan protein dan karbohidrat dari biasanya untuk segala usia. Diet seimbang mengandung bahan nutrisi yang dibutuhkan untuk perbaikan luka seperti asam amino ( daging, ikan dan susu), energi sel (bijibijian, gula, madu, buah-buahan dan sayuran), vitamin C ( buah kiwi, strawberry, dan tomat), vitamin A ( hati, telur, buah berwarna hijau cerah, dan sayur-sayuran), Vitamin B ( kacang, daging dan ikan), zinc (makanan laut, jamur, kacang kedelai, bunga matahari), bahan mineral (makanan laut dan kacang dari biji-bijian), air (Ekaputra, 2013). 3. Stres fisik dan psikologis Stres, cemas dan depresi telah dibuktikan dapat mengurangi efisiensi dari sistem imun sehingga dapat mempengaruhi proses penyembuhan. Suatu sikap positif untuk memberikan penyembuhan oleh tiap pasien dan perawat dapat mempengaruhi dalam meningkatkan penyembuhan luka ( Ekaputra, 2013) 4. Gangguan sensasi atau gerakan Gangguan aliran darah yang disebabkan oleh tekanan dan gesekan benda asing pada pembuluh darah kapiler dapat menyebabkan jaringan mati pada tingkat lokal. Gerakan/ mobilisasi diperlukan untuk membantu sistem sirkulasi, khususnya pembuluh darah balik (vena) pada ekstremitas bawah ( Ekaputra, 2013)

B.Faktor lokal 1. Praktek managemen luka Tidak sesuainya penanganan luka secara umum dapat mempengaruhi penyembuhan, untuk mencengah dan mengidentifikasi masalah tersebut, fisiologi penyembuhan luka harus dipahami sebagai kebutuhan dari proses penyembuhan tersebut. Pengetahuan beberapa jenis atau kategori dari produk perawatan luka dan bentuk pemberian pelayanan mereka merupakan sesuatu yang penting. Luka harus dilakukan dalam sebuah metode dengan mempertimbangkan suatu keadaan dari jaringan luka tersebut. Luka, pasien/ personal dan kebersihan lingkungan harus lebih optimal, untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi silang (Ekaputra, 2013) 2. Hidrasi luka Penanganan luka secara tradisional didukung dengan keadaan lingkungan luka yang kering, karena berdasarkan keyakinan bahwa luka kering akan mencengah infeksi. Keadaan luka kering akan menghambat migrasi sel epitel. Sebuah luka dengan lingkungan yang lembab membantu pertumbuhan sel untuk mempertahankan dasar luka yang baik dan membantu proses migrasi permukaan luka. Sebuah lingkungan yang lembab akan membantu autolitik debridement. Nyeri pada luka berkurang jika persyarafan tetap dalam keadaan lembab (Ekaputra, 2013). 3. Temperatur luka Dalam studi tentang efek temperatur pada penyembuhan luka, Lock (1979) mendemonstrasikan bahwa sebuah temperatur yang konstan kira-kira 37⁰C

mempunyai dampak yang signifikan yaitu peningkatan 108% pada aktifitas mitotik pada luka. Dengan demikian jika penyembuhan ingin ditingkatkan, temperatur luka harus dipertahankan. Seringnya luka tanpa dressing dan penggunaan larutan dingin perlu dipertanyakan. Dressing yang mengurangi proses penggantian dan mempertahankan kelembapan lebih kondusif dalam proses penyembuhan( Ekaputra, 2013). 4. Tekanan dan gesekan Kapiler merupakan sel yang sangat tipis. Penekanan pada arteri dan kapiler dengan tekanan 30 mmhg dengan penekanan terus-menerus dapat menurunkan aliran ke akhir venous. Jika penyumbatan pembuluh darah terjadi, hipoksia jaringan dan menyebabkan kematian. Tekanan, gesekan dan shearing merupakan akibat dari aktifitas atau tanpa aktifitas, retraksi kantong atau pakaian, abrasi atau tekanan dari dressing luka. Perlindungan luka merupakan sesuatu yang utama untuk meningkatkan vaskularisasi dan penyembuhan (Ekaputra, 2013) 5. Adanya benda asing Beberapa benda asing pada luka dapat menghambat penyembuhan. Secara umum benda asing yang ditemukan diluka adalah debris luka, jahitan, lingkungan debris (misalnya kotoran,rambut dan glass), debris produk dressing (misalnya benang, serat kasa), infeksi. Semua luka tersebut akan menghambat penyembuhan dan perlu diperhatikan adanya benda asing dan sinar-X mungkin dibutuhkan. Pembersihan luka secara hati-hati, dan cairan yang dingunakan untuk membersihkan harus non toksis, misalnya normal salin (Ekaputra, 2013).

6. Luka infeksi Semua luka terkontaminasi, tetapi tidak mengakibatkan terjadinya sepsis (Smith, 1983). Adanya bakteri sebagai bagian dari suatu flora dari kulit, dan organisme pindah ke dalam luka dari sekitar kulit. Secara sehat individu hidup dalam harmoni dengan jumlah besar bakteri. Flora kulit kering rata-rata 10 sampai 1000 bakteri per gram tiap jaringan dengan mengalami peningkatan secara dramatis dalam bakteri dari jaringan lembab, saliva atau feses (Laurence, 1992). Tempat flora kulit akan berkoloni dengan luka yang menempati seluruh permukaan kulit. Sebuah luka dikatakan infeksi jika adanya tingkat pertumbuhan bakteri 100.000 organisme per gram dari jaringan. Infeksi pada luka menghasilkan jaringan kurang sehat atau devital. Luka infeksi kemungkinan menyebabkan infeksi sistemik, yang tidak hanya berdampak pada proses penyembuhan tetapi dapat juga pada kondisi pengobatan (Ekaputra, 2013) 2.2 Mekanisme koping 2.2.1 Pengertian mekanisme koping Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam ( Kozier & snyder, 2011). Koping adalah proses dimana seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan yang diterima antara keinginan (demands) dan pendapatan (resources) yang dinilai dalam suatu keadaan yang penuh tekanan. Walaupun usaha koping dapat diarahkan untuk memperbaiki atau menguasai suatu masalah, hal ini juga dapat membantu seseorang untuk mengubah persepsinya atas ketidaksesuaian

mentoleren atau menerima bahaya, juga melepaskan diri atau menghindari situasi stres. Stres diatasi dengan kognitif dan behavioral transactions melalui lingkungan (Nasir & Muhith, 2011). Koping didefinisikan sebagai strategi untuk memanajemen tingkah laku kepada pemecahan masalah yang paling sederhana dan realistis, berfungsi untuk membebaskan diri dari masalah yang nyata maupun tidak nyata, dan koping merupakan semua usaha secara kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi, dan tahan terhadap tuntutan-tuntutan ( Lazarus, 1984 dalam Siswanto, 2007) 2.2.2 Jenis- jenis mekanisme koping Menurut Lazarus (1976 dalam Siswanto, 2007) membagi koping menjadi dua jenis, yaitu: a.Tindakan Langsung ( Direct Action) Koping jenis ini adalah setiap usaha tingkah laku yang dijalankan oleh individu untuk mengatasi kesakitan atau luka, ancaman atau tantangan dengan cara mengubah hubungan yang bermasalah dengan lingkungan. Individu menjalankan koping jenis direct action atau tindakan langsung bila dia melakukan perubahan posisi terhadap masalah yang dialami. Ada 4 macam koping jenis tindakan langsung 1. Mempersiapkan diri untuk menghadapi luka Individu melakukan langkah aktif dan antisipatif (beraksi) untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya dengan cara menempatkan diri secara

langsung pada keadaan yang mengancam dan melakukan aksi yang sesuai dengan bahaya tersebut. 2. Agresi Agresi adalah tindakan yang dilakukan oleh individu dengan menyerang agen yang dinilai mengancam atau akan melukai. Agresi dilakukan bila individu merasa menilai dirinya lebih/ berkuasa terhadap agen yang mengancam tersebut. 3. Penghindaran (Avoidance) Tindakan ini terjadi bila agen yang mengancam dinilai lebih berkuasa dan berbahaya sehingga individu memilih cara menghindari atau melarikan diri dari situasi yang mengancam tersebut. 4. Apati Jenis koping ini merupakan pola orang yang putus asa. Apati dilakukan dengan cara individu yang bersangkutan tidak bergerak dan menerima begitu saja agen yang melukai dan tidak ada usaha apa-apa untuk melawan ataupun melarikan diri dari situasi yang mengancam tersebut. Pola apati terjadi bila baik tindakan mempersiapkan diri menghadapi luka, agresi maupun avoidance sudah tidak memungkinkan lagi dan situasinya terjadi berulang-ulang. b. Peredaan atau peringanan (palliation) Jenis koping ini mengacu pada mengurangi/ menghilangkan/ menoleransi tekanan-tekanan ketubuhan/ fisik, motorik atau gambaran afeksi dari tekanan emosi yang dibangkitkan oleh lingkungan yang bermasalah. Atau bisa diartikan bahwa bila individu menggunakan koping jenis ini, posisinya dengan masalah

relatif tidak berubah, yang berubah adalah diri individu, yaitu dengan cara merubah persepsi atau reaksi emosinya. Ada 2 macam koping jenis peredaan/ palliation: 1.Diarahkan pada gejala (Symptom Directed Modes) Macam koping ini dingunakan bila gejala-gejala gangguan muncul dari diri individu, kemudian individu melakukan tindakan dengan cara mengurangi gangguan yang berhubungan dengan emosi-emosi yang disebabkan oleh tekanan atau ancaman tersebut. Penggunaan obat-obat terlarang, narkotika, merokok, alkohol merupakan bentuk koping dengan cara diarahkan pada gejala. Namun tidak selamanya cara ini bersifat negatif. Melakukan relaksasi, meditasi atau berdoa untuk mengatasi ketegangan juga tergolong ke dalam symptom directed modes tetapi bersifat positif. 2. Cara intrapsikis (Intrapsychic Modes) Koping jenis peredaan dengan cara intrapsikis adalah cara-cara yang menggunakan perlengkapan-perlengkapan psikologis kita, yang biasa dikenal dengan istilah Defense Mechanism (mekanisme pertahanan diri). Macam-macam Defense Mechanism: 1. Identifikasi yaitu menginternalisasikan ciri-ciri yang dimiliki oleh orang lain yang berkuasa dan dianggap mengancam. Identifikasi biasanya dilakukan oleh anak terhadap orang tua mereka. 2. Pengalihan (Displacement) yaitu memindahkan reaksi dari objek yang mengancam ke objek yang lain karena objek yang asli tidak ada atau berbahaya bila diagresi secara langsung.

3. Represi yaitu menghalangi impuls-impuls yang ada atau tidak bisa diterima sehingga impuls-impuls tersebut tidak dapat diekspresikan secara sadar/ langsung dalam tingkah laku. 4. Denial yaitu melakukan bloking atau menolak terhadap kenyataan yang ada karena kenyataan yang ada dirasa mengancam integritas individu yang bersangkutan. 5. Reaksi Formasi yaitu dorongan yang mengancam diekspresikan dalam bentuk tingkah laku secara terbalik. 6. Proyeksi yaitu mengatribusikan/ menerapkan dorongan-dorongan yang dimiliki pada orang lain karena dorongan-dorongan tersebut mengancam integritas. 7. Rasionalisasi/ Intelektualisasi yaitu dua gagasan yang berbeda dijaga supaya tetap terpisahkan kerana bila bersama-sama akan mengancam. 8. Sublimasi yaitu dorongan atau impuls yang ditransformasikan menjadi bentukbentuk yang diterima secara sosial sehingga dorongan atau impulstersebut menjadi sesuatu yang benar-benar berbeda dari dorongan atau impuls aslinya. Pada dasarnya mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) terjadi tanpa disadari dan bersifat membohongi diri sendiri terhadap realita yang ada, baik realita yang ada diluar (fakta/kebenaran) maupun realita yang ada di dalam (dorongan/ imfuls/ nafsu). Defense mechanism bersifat menyaring realita yang ada sehingga individu yang bersangkutan tidak bisa memahami hakekat dari keseluruhan realita yang ada. Defense mechanism yang tidak disadari, akan dapat disadari melalui refleksi diri yang terus-menerus. Dengan cara begitu individu

bisa mengetahui jenis mekanisme pertahanan diri yang biasa dilakukan dan kemudian menggantinya dengan koping yang lebih konstruktif (Siswanto, 2007). Koping merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologis (Sunaryo,2004). Menurut Suryani & Widyasih (2008) secara garis besar mekanisme koping terdiri dari mekanisme koping adaptif dan maladaptif: a.Mekanisme koping adaptif Penggunaan koping yang adaptif membantu individu dalam beradaptasi untuk menghadapi keseimbangan. Adaptasi individu yang baik muncul reaksi untuk menyelesaikan masalah dengan melibatkan proses kognitif, efektif dan psikomotor (bicara dengan orang lain untuk mencari jalan keluar suatu masalah, membuat berbagai tindakan dalam menangani situasi dan belajar dari pengalaman masa lalu). Kegunaan koping adaptif membuat individu akan mencapai keadaan yang seimbang antara tingkat fungsi dalam memelihara dan memperkuat kesehatan fisik dan psikologi. Kompromi merupakan tindakan adaptif yang dilakukan oleh individu untuk menyelesaikan masalah, lazimnya kompromi dilakukan dengan cara bermusyawarah atau negosiasi untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi, secara umum kompromi dapat mengurangi ketegangan dan masalah dapat di selesaikan. Mekanisme koping adaptif yang lain adalah berbicara dengan orang lain tentang masalah yang sedang dihadapi, mencoba mencari informasi lebih banyak tentang masalah yang sedang dihadapi, berdoa, melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan masalah, membuat berbagai alternatif tindakan untuk mengurangi situasi, dan merasa yakin bahwa

semua akan kembali stabil, mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengalaman masa lalu. b. Mekanisme koping maladaptif Penggunaan koping yang maladaptif dapat menimbulkan respon negatif dengan munculnya reaksi mekanisme pertahanan tubuh dan respon verbal. Perilaku mekanisme koping maladaptif antara lain perilaku agresi dan menarik diri. Perilaku agresi dimana individu menyerang obyek, apabila dengan ini individu mendapat kepuasan, maka individu akan menggunakan agresi. Perilaku agresi (menyerang) terhadap sasaran atau obyek dapat merupakan benda, barang atau orang atau bahkan terhadap dirinya sendiri. Adapun perilaku menarik diri dimana perilaku yang menunjukan pengasingan diri dari lingkungan dan orang lain, jadi secara fisik dan psikologis individu secara sadar pergi meninggalkan lingkungan yang menjadi sumber stresor misalnya ; individu melarikan diri dari sumber stres. Sedangkan reaksi psikologis individu menampilkan diri seperti apatis, pendiam dan munculnya perasaan tidak berminat yang menetap pada individu. Perilaku yang dapat dilakukan adalah menggunakan alkohol atau obatobatan, melamun dan fantasi, banyak tidur, menangis, beralih pada aktifitas lain agar dapat melupakan masalah. 2.2.3 Klasifikasi dan bentuk koping Metode koping yang berorientasi pada masalah digunakan untuk mengubah hubungan orang dengan lingkungan yang penuh tekanan. Sedangkan metode koping yang berorientasi pada sikap digunakan untuk mengontrol reaksi emosi yang timbul dari hubungan stres. (Lazarus & Launier, 1978).Menurut

Lazarus dan Folkman (1984 dalam Nasir dan Muhith, 2011), secara umum membedakan bentuk dan fungsi coping dalam dua klasifikasi yaitu : 1. Problem Focused Coping(PFC), yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. Problem focused coping ditujukan dengan mengurangi demands dari situasi yang penuh dengan stres atau memperluas sumber untuk mengatasinya. Seseorang cenderung menggunakan metode problem focused coping apabila mereka percaya bahwa sumber atau demands dari situasinya dapat diubah. Strategi yang dipakai dalam problem focused coping antara lain sebagai berikut: a. Confrontative coping : usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan resiko. b. Seeking social support : usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain. c. Planful problem solving : usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati- hati, bertahap, dan analitis. 2. Emotion Focused Coping (EFC), yaitu usaha untuk mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Emotion focused coping ditujukan untuk mengontrol respon emosional terhadap situasi stres. Seseorang dapat mengatur respon emosionalnya melalui pendekatan

perilaku dan kognitif. Strategi yang digunakan dalam emotional focused coping antara lain sebagai berikut: a. Self-control : usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan. b. Distancing: usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandanganpandangan yang positif, seperti menganggap masalah sebagai lelucon. c. Positive reappraisal; usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal- hal yang bersifat religious. d. Accepting responsibility: usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. e. Escape/ avoidance: usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti: makan, minum, merokok, atau menggunakan obat- obatan. 2.2.4 Faktor- faktor yang mempengaruhi mekanisme koping a. Harapan akan self- efficacy Harapan akan self-efficacy berkenan dengan harapan kita terhadap kemampuan diri dalam mengatasi suatu masalah yang dihadapi, harapan terhadap kemampuan diri untuk menampilkan tingkah laku terampil, dan harapan terhadap kemampuan

diri

untuk

dapat

menghasilkan

positif.(Bandura, 1982 dalam Mutoharoh, 2010).

perubahan

hidup

yang

b. Dukungan sosial Menurut Taylor (1999) individu dengan dukungan sosial tinggi akan mengalami stress yang rendah ketika mereka mengalami stres, dan mereka akan mengatasi stres atau menggunakan koping yang baik. Selain itu dukungan sosial juga menunjukkan kemungkinan untuk sakit lebih rendah, mempercepat proses penyembuhan ketika sakit (Kulik dan Mahler, 1989) dalam Mutoharoh, 2010). c. Optimisme Pikiran yang optimis dapat menghadapi suatu masalah lebih efektif dibandingkan pikiran yang pesimis berdasarkan cara individu melihat suatu ancaman. Pikiran yang optimis dapat membuat keadaan yang stresful sebagai suatu hal yang harus di hadapi dan diselesaikan. Oleh karena itu individu, akan lebih memilih menyelesaikan dan menghadapi masalah yang ada dibandingkan dengan individu yang mempunyai pikiran yang pesimis ( Mattews, Ellyn E & cook, Faul F, 2008). d. Pendidikan Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktek) untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah) dan meningkatkan kesehatannya. Selain itu tingkat pendidikan individu memberikan kesempatan yang lebih banyak terhadap diterimanya pengetahuan baru termasuk informasi kesehatan ( Notoatmodjo, 2007).

e. Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya seperti mata, hidung, telinga, dan sebagainya. Pengetahuan merupakan faktor penting terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2007). Menurut Nurhidayah ( 2010) perilaku kesehatan akan tumbuh dari keinginan individu untuk menghindari suatu penyakit dan kepercayaan bahwa tindakan kesehatan yang tersedia akan mencengah suatu penyakit. f. Jenis kelamin Wanita biasanya mempunyai daya tahan yang lebih baik terhadap stresor dibanding dengan pria, secara biologis kelenturan tubuh wanita akan mentoleransi terhadap stres menjadi baik dibanding pria (Siswanto, 2007). Jenis kelamin sangat mempengaruhi dalam berespon terhadap penyakit, stres, serta penggunaan koping dalam menghadapi masalah luka diabetes. g.Psikologis Beberapa keadaan dapat menyebabkan distres psikologis, yang disebut dengan stres. Faktor penyebab distres psikologi dapat diartikan sebagai stresor. Hal ini ada hubungannya dengan luka pasien diabetes melitus (Ekaputra, 2013). Takut merupakan pengalaman manusia secara umum yang mungkin tidak lama atau masa akhir yang panjang. Penyakit kemungkinan menyebabkan beberapa ketakutan seperti ketakutan hospitalisasi, ketakutan penyakit, ketakutan tindakan operasi. Ketakutan membuat stres berat bagi penderita. Respon pasien akan berbeda- beda tergantung pada penyebab luka, seperti pada luka kecelakaan yang

menyebabkan harus di amputasi, dan respon pasien yang belum siap akan merasa takut (Ekaputra, 2013). Kecemasan adalah suatu keadaan patologis yang ditandai oleh perasaan ketakutan disertai tanda somatik pertanda sistem saraf otonom yang hiperaktif (Kaplan dan Saddock, 1997 dalam Ekaputra, 2013). Kecemasan dan ketakutan memiliki komponen fisiologis yang sama tetapi kecemasan tidak sama dengan ketakutan. Penyebab kecemasan berasal dari dalam dan sumbernya sebagian besar tidak diketahui sedangkan ketakutan merupakan respon emosional terhadap ancaman atau bahaya yang sumbernya biasanya dari luar yang dihadapi secara sadar. Kecemasan dianggap patologis bilamana mengganggu fungsi sehari-hari, pencapaian tujuan, dan kepuasan atau kesenangan yang wajar (Maramis, 2005).