BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Diabetes Melitus Tipe II ( DM Tipe II)
2.1.1. Defenisi Diabetes melitus tipe II (DM tipe II) ini membentuk 90 - 95% dari semua kasus diabetes, dahulu disebut diabetes melitus non-dependen insulin atau diabetes onset dewasa. Diabetes ini meliputi individu yang memiliki resistensi insulin dan biasanya mengalami defisiensi insulin relatif atau kekurangan insulin pada awalnya dan sepanjang masa hidupnya, individu ini tidak membutuhkan pengobatan insulin untuk bertahan hidup. Ada banyak kemungkinan berbeda yang menyebabkan timbulnya diabetes ini. Walaupun etiologi spesifiknya tidak diketahui, tetapi pada diabetes tipe ini tidak terjadi destruksi sel beta. Kebanyakan pasien yang menderita DM tipe ini mengalami obesitas, dan obesitas dapat menyebabkan beberapa derajat resistensi insulin (American Diabetes Association, 2004).
2.1.2. Faktor Resiko Faktor resiko DM tipe II antara lain: Riwayat keluarga menderita diabetes (orangtua atau saudara menderita DM tipe II), obesitas (BMI ≥ 25 kg/m
2
),
kurangnya kebiasaan aktivitas fisik, ras/etnik (Afrika-America, Amerika Hispanik, Amerika asli, Asia-Amerika), sebelumnya diidentifikasi kadar glukosa darah puasa terganggu atau toleransi glukosa terggangu (TGT), riwayat diabetes melitus gestasional (DMG) atau bayi lahir > 4 kg, hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg), HDL ≤ 35 mg/dl dan trigliserida ≥ 250 mg/dl, sindrom ovarium polikistik atau akantosis nigracans dan riwayat penyakit vaskular (Powers, 2005).
2.1.3. Fisiologi Sekresi Insulin a. Proses Pembentukan Insulin Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta,
Universitas Sumatera Utara
insulin disintesis kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah (Manaf, 2006).
Insulin disintesis sebagai suatu prepohormon (berat molekul sekitar 11.500) dan merupakan prototipe untuk peptida yang diproses dari molekul prekursor yang lebih besar. Rangkaian “pemandu” yang bersifat hidrofobik dengan 23 asam amino mengarahkan molekul tersebut ke dalam sisterna retikulum endoplasma dan kemudian dikeluarkan. Proses ini menghasilkan proinsulin dengan berat molekul 9000 yang menyediakan bentuk yang diperlukan bagi pembentukkan jembatan disulfida yang sempurna. Penyusunan proinsulin, yang dimulai dari bagian terminal amino, adalah rantai B – peptida C penghubung – rantai A. Molekul proinsulin menjalani serangkaian pemecahan peptida tapak-spesifik sehingga terbentuk insulin yang matur dan peptida C dalam jumlah ekuimolar dan disekresikan dari granul sekretorik pada sel beta pankreas (Granner, 2003).
b. Sekresi Insulin Glukosa merupakan kunci regulator sekresi insulin oleh sel beta pankreas, walaupun asam amino, keton dan nutrien lainnya juga mempengaruhi sekresi insulin. Kadar glukosa > 3,9 mmol/L (70 mg/dl) merangsang sintesis insulin. Glukosa merangsang sekresi insulin dengan masuk ke dalam sel beta melalui transporter glukosa GLUT 2. Selanjutnya di dalam sel, glukosa mengalami proses fosforilasi oleh enzim glukokinase dan glikolisis yang akan membebaskan molekul ATP (Powers, 2005).
Molekul ATP yang terbebas tersebut, dibutuhkan untuk mengaktifkan proses penutupan K channel
yang terdapat pada membran sel. Terhambatnya
pengeluaran ion K dari dalam sel menyebabkan depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh proses pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga meningkatkan kadar ion Ca intrasel, suasana yang dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan. Aktivasi penutupan K channel
Universitas Sumatera Utara
terjadi tidak hanya disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel, tetapi juga dapat oleh pengaruh beberapa faktor lain termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut (biasanya tergolong obat diabetes), bekerja mengaktivasi K channel tidak pada reseptor yang sama dengan glukosa, tapi pada reseptor tersendiri yang disebut sulphonilurea receptor (SUR), yang juga terdapat pada membran sel beta seperti terlihat pada gambar 2.1 (Manaf, 2006)
Gambar 2.1.
Mekanisme sekresi insulin (Harrison’s Principle of Internal
Medicine, 2005).
c. Aksi Insulin Kerja insulin dimulai ketika hormon tersebut terikat dengan sebuah reseptor glikoprotein yang spesifik pada permukaan sel target. Reseptor insulin terdiri dari dua heterodimer yang terdiri atas dua subunit yang diberi simbol α dan β. Subunit α terletak pada ekstrasel dan merupakan sisi yang berikatan dengan insulin. Subunit β merupakan protein transmembran yang melaksanakan fungsi
Universitas Sumatera Utara
sekunder yang utama pada sebuah reseptor yaitu transduksi sinyal (Granner, 2003).
Ikatan ligan menyebabkan autofosforilasi beberapa residu tirosin yang terletak pada bagian sitoplasma subunit β dan kejadian ini akan memulai suatu rangkaian peristiwa yang kompleks. Reseptor insulin memiliki aktivitas intrinsik tirosin kinase dan berinteraksi dengan protein substrat reseptor insulin (IRS dan Shc). Sejumlah protein penambat (docking protein) mengikat protein selular dan memulai aktivitas metabolik insulin [GrB-2, SOS, SHP-2, p65, p110 dan phosphatidylinositol 3 kinase (PI-3-kinase)]. Insulin meningkatkan transport glukosa melalui lintasan PI-3-kinase dan Cbl yang berperan dalam translokasi vesikel intraselular yang berisi transporter glukosa GLUT 4 pada membran plasma. Aktivasi jalur sinyal reseptor insulin juga menginduksi sintesa glikogen, protein, lipogenesis dan regulasi berbagai gen dalam perangsangan insulin seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.2 (Powers, 2005).
Gambar 2.2. Mekanisme kerja insulin (Harrison’s Principle of Internal Medicine, 2005)
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Patogenesis Diabetes Melitus Tipe II (DM Tipe II) a. Resistensi insulin Penurunan kemampuan insulin untuk beraksi pada jaringan target perifer (terutama otot dan hati) merupakan ciri yang menonjol pada DM tipe II dan merupakan kombinasi dari kerentanan genetik dan obesitas. Resistensi insulin mengganggu penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif insulin dan meningkatkan keluaran glukosa hepatik, keduanya menyebabkan hiperglikemia (Powers, 2005).
Pada prinsipnya resistensi insulin dapat terjadi di tingkat reseptor insulin atau di salah satu jalur sinyal pascareseptor. Pada DM tipe II jarang terjadi defek kualitatif dan kuantitatif pada reseptor insulin. Oleh karena itu, resistensi insulin diperkirakan terutama berperan dalam pembentukan sinyal pascareseptor (ClareSalzler, et al., 2007). Polimorfisme pada IRS-1 mungkin berhubungan dengan intoleransi glukosa, meningkatkan kemungkinan bahwa polimorfisme dalam berbagai molekul postreceptor dapat menyebabkan resistensi insulin. Patogenesis resistensi insulin saat ini berfokus pada defek sinyal PI-3-kinase, yang menurunkan translokasi GLUT 4 pada membran plasma, diantara kelainan lainnya (Powers, 2005).
Asam lemak bebas juga memberikan kontribusi pada patogenesis DM tipe II. Asam lemak bebas menurunkan ambilan glukosa pada adiposit dan otot serta meningkatkan keluaran glukosa hepatik yang terkait dengan resistensi insulin (Thẻvenod, 2008). b. Gangguan Sekresi Insulin Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan secara kuantitatif kurang berarti jika dibandingkan dengan yang terjadi pada DM tipe I. Pada awal perjalanan penyakit DM tipe II, sekresi insulin tampaknya normal dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun pola sekresi insulin yang berdenyut dan osilatif lenyap, dan fase pertama sekresi insulin (yang cepat) yang dipicu oleh glukosa menurun.
Universitas Sumatera Utara
Secara kolektif hal ini dan pengamatan lain mengisyaratkan adanya gangguan sekresi insulin yang tipe II, dan bukan defisiensi sintesa insulin. Namun pada perjalanan penyakit berikutnya, terjadi defisiensi absolut yang ringan sampai sedang, yang lebih ringan dibanding DM tipe I . Penyebab defisiensi insulin pada DM tipe II masih belum sepenuhnya jelas. Berdasarkan data mengenai hewan percobaan dengan DM tipe II, diperkirakan mula-mula resistensi insulin menyebabkan peningkatan kompensatorik massa sel beta dan produksi insulinnya. Pada mereka yang memiliki kerentanan genetik terhadap DM tipe II, kompensasi ini gagal. Pada perjalanan penyakit selanjutnya terjadi kehilangan 20 - 50% sel beta, tetapi jumlah ini belum dapat menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Namun, tampaknya terjadi gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta. Dasar molekuler gangguan sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa ini masih belum dipahami (Clare – Salzler,, et al., 2007).
Peningkatan asam lemak bebas (NEFA = non-esterified fatty acids) juga mempengaruhi sel beta. Secara akut, NEFA menginduksi sekresi insulin setelah makan, sedangkan pajanan kronik terhadap NEFA menyebabkan penurunan sekresi insulin yang melibatkan lipotoksisitas yang menginduksi apoptosis sel islet dan/ atau menginduksi uncoupling protein-2 (UCP-2) yang menurunkan membran potensial, sintesa ATP dan sekresi insulin (Thẻvenod, 2008). Mekanisme lain kegagalan sel beta pada DM tipe II dilaporkan berkaitan dengan pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien DM tipe II ditemukan endapan amiloid pada autopsi. Amilin, komponen utama amiloid yang mengendap ini, secara normal dihasilkan oleh sel beta pankreas dan disekresikan bersama dengan insulin sebagai respons terhadap pemberian glukosa. Hiperinsulinemia yang disebabkan resistensi insulin pada fase awal DM tipe II menyebabkan peningkatan produksi amilin, yang kemudian mengendap sebagai amiloid di islet. Amiloid yang mengelilingi sel beta mungkin menyebabkan sel beta agak refrakter dalam menerima sinyal glukosa. Yang lebih penting, amiloid bersifat toksik bagi sel beta
Universitas Sumatera Utara
sehingga mungkin berperan menyebabkan kerusakan sel beta yang ditemukan pada kasus DM tipe II tahap lanjut (Clare – Salzler, et al.,2007).
2.1.5. Diagnosa Diagnosis klinik DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikenakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian yang lebih lanjut dengan dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil t es toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah postprandial ≥ 200 mg/dl seperti ditunjukkan oleh gambar 2.3 (Gustaviani, 2006) .
Beberapa peneliti menyarankan HbA1C (Hemoglobin A1C) sebagai salah satu uji diagnosa pada diabetes melitus. Walaupun HbA1C memiliki hubungan yang kuat dengan peningkatan glukosa plasma tetapi hubungan antara glukosa darah puasa dengan HbA1C pada individu yang toleransi glukosanya normal atau intoleransi glukosa ringan masih belum jelas dan
penggunaan HbA1C dalam diagnosa
diabetes melitus tidak dianjurkan (Powers, 2005)
Untuk diagnosis dan klasifikasi ada indeks tambahan yang dapat dibagi atas 2 bagian: 1. Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta Hal ini dapat dinilai dengan pemeriksaan kadar insulin, pro-insulin, dan sekresi peptide penghubung (C-peptide). Nilai-nilai “Glycosilated haemoglobin” (WHO
Universitas Sumatera Utara
memakai istilah “Glyclated haemoglobin”), nilai derajat glikosilasi dari protein lain dan tingkat gangguan toleransi glukosa juga bermanfaat untuk penilaian kerusakan ini.
2. Indeks proses diabetogenik Untuk penilaian proses diabetogenik pada saat ini telah dapat dilakukan penentuan tipe dan subtipe-HLA; adanya tipe dan titer antibodi dalam sirkulasi yang ditujukkan untuk pulau-pulau Langerhans (islet cell antibody), Anti GAD (Glutamic Acid Decarboxilase) dan sel endokrin lainnya adanya cell-mediated immunity terhadap pankreas; ditemukannya susunan DNA spesifik pada genoma manusia dan ditemukkannya penyakit lain pada pankreas dan penyakit endokrin lainnya (Gustaviani, 2006).
Gambar 2.3 Langkah-langkah diagnostik diabetes melitus dan toleransi glukosa terganggu (Buku Ajar Penyakit Dalam FKUI, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.2
Obesitas
2.2.1 Defenisi Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial, yang terjadi akibat akumulasi jaringan lemak yang berlebihan, sehingga dapat mengganggu kesehatan. Obesitas terjadi bila besar dan jumlah sel lemak bertambah pada tubuh seseorang. Bila seseorang bertambah berat badannya maka ukuran sel lemak akan bertambah besar dan kemudian jumlahnya akan bertambah banyak (Sugondo, 2006).
2.2.2. Pengukuran Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengukur pengganti dipakai body mass index (BMI) untuk menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa. BMI merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan obes pada orang dewasa (Sugondo, 2006). Berdasarkan indikasi WHO, BMI dihitung dengan membagi berat badan dengan tinggi badan kuadrat (Shandu, et al., 2008).
2.2.3 Klasifikasi Tabel 2.1. merupakan klasifikasi yang ditetapkan World Health Organization (WHO), niai BMI 30 kg/m2 dikatakan sebagai obesitas dan nilai BMI 25 - 29,9 kg/m2, sebagai “Pra Obese”. Meta-analisis beberapa kelompok etnik yang berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama, menunjukkan etnik Amerika berkulit hitam memiliki BMI lebih tinggi 1,3 kg/m2 dan etnik polinesia memiliki BMI lebih tinggi 4,5 kg/m2 dan etnik kaukasia. Sebaliknya nilai BMI pada bangsa China, Ethiopia, Indonesia dan Thailand adalah 1,9, 4,6, 3,2, dan 2,9 kg/m2 lebih rendah daripada etnik Kaukasia. Hal itu memperlihatkan adanya nilai cutoff
BMI untuk obesitas yang spesifik untuk
populasi tertentu. Wilayah Asia Pasifik saat ini telah mengusulkan kriteria dan klasifikasi obesitas sendiri yang ditunjukkan pada tabel 2.2 (Sugondo, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Klasifikasi Berat badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa Berdasarkan IMT Menurut WHO BMI (Kg/m2)
Klasifikasi Berat Badan Kurang
< 18,5
Kisaran Normal
18,5 - 24,9
Berat Badan Lebih
>25
Pra-Obes
25,0 - 29,9
Obes Tingkat I
30,0 - 34,9
Obes Tingakat II
35,0 - 39,9
Obes Tingkat III
>40
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006
Tabel 2.2. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT Menurut Kriteria Asia Pasifik BMI (Kg/m2)
Klasifikasi Berat Badan Kurang
< 18,5
Kisaran Normal
18,5 - 22,9
Berat Badan Lebih
≥ 23,0
Beresiko
23,0 - 24,9
Obes Tingkat I
25,0 - 29,9
Obes Tingkat II
≥ 30,0
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006
2.3.
Profil Lipid
2.3.1
Defenisi
Profil lipid meliputi pengukuran kolesterol total, HDL (high density lipoprotein), LDL (low density lipoprotein) dan trigliserida (Landis, 2008). Profil lipid diperiksa untuk mengetahui ada atau tidaknya resiko penyakit jantung koroner. Profil lipid juga digunakan untuk mendiagnosa dislipidemia, suatu kondisi yang ditandai dengan tingginya kadar trigliserida dan kolesterol yang dapat disebabkan oleh diabetes terutama diabetes tidak terkontrol (Kaufman, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Metabolisme Lipid a. Lipogenesis Lipogenesis adalah proses deposisi lemak dan meliputi proses sintesis asam lemak dan kemudian sintesis trigliserida yang terjadi di hati pada daerah sitoplasma dan mitokondria dan jaringan adiposa. Energi yang berasal dari lemak dan melebihi kebutuhan tubuh akan disimpan dalam jaringan lemak. Demikian pula dengan energi yang berasal dari makanan dapat disimpan dalam jarinan lemak (Sugondo, 2006).
Asam lemak, dalam bentuk trigliserida dan asam lemak yang terikat pada albumin didapat dari asupan makanan atau hasil sintesa lemak di hati. Trigliserida yang dibentuk dari kilomikron atau lipoprotein akan dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak bebas oleh enzim lipoprotein lipase (LPL) yang dibentuk oleh adiposit dan disekresi ke dalam endothelial yang berdekatan dengannya (adjacent). Aktivasi LPL dilakukan oleh apoprotein C-II yang dikandung oleh kilomikron dan lipoprotein (VLDL). Kemudian asam lemak bebas akan diambil oleh sel adiposit sesuai dengan derajat konsentrasinya oleh suatu protein transport transmembran. Bila asam lemak bebas sudah masuk ke dalam adiposit maka akan membentuk pool asam lemak. Pool ini akan mengandung asam lemak yang berasal baik dari yang masuk maupun yang akan keluar seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.4 (Sugondo, 2006).
Hormon insulin merangsang lipogenesis melalui beberapa mekanisme. Hormon ini meningkatkan pengangkutan glukosa ke dalam sel (misal, jaringan adiposa) dan dengan demikian meningkatkan ketersediaan piruvat untuk sintesis asam lemak maupun gliserol 3–fosfat untuk esterifikasi asam lemak yang baru terbentuk. Insulin mengkonversi piruvat dehidrogenase bentuk inaktif menjadi bentuk aktif di jaringan adiposa, tetapi tidak di hati. Di samping itu, asetil karboksilase merupakan enzim yang dapat diatur oleh fosforilasi yang reversibel. Insulin mengaktifkan asetil KoA karboksilase. Aktivasi ini melibatkan defosforilasi oleh enzim protein fosfatase. Demikian pula kemampuannya untuk
Universitas Sumatera Utara
menekan kadar cAMP intraseluler, insulin menghambat lipolisis di jaringan adiposa sehingga mengurangi konsentrasi asam lemak bebas di dalam plasma dan dengan demikian menurunkan pula kadar asetil KoA rantai panjang yang merupakan inhibitor lipogenesis (Mayes, 2003).
Insulin juga mempunyai efek jangka panjang pada gen lipogenik, mungkin melalui faktor transkripsi Sterol Regulatory Element Binding Protein-1 (SREBP1). Selain itu insulin menyebabkan SREBP-1 meningkatkan ekspresi dan kerja enzim glukokinase, dan sebagai akibatnya meningkatkan konsentrasi metabolit glukosa yang dianggap menjadi perantara dari efek glukosa pada ekspresi gen lipogenik. Hormon pertumbuhan (growth hormone/ GH) menurunkan lipogenesis di jaringan adipose secara dramatis, sehingga terjadi penurunan lemak yang bermakna, dan berhubungan dengan penambahan massa otot. Efek tersebut diperantarai dua jalur: -
Hormon pertumbuhan menurunkan sensitivitas insulin sehingga terjadi downregulation ekspresi enzim sintetase asam lemak di jaringan adiposa. Mekanisme tersebut masih belum jelas, namun GH mungkin mempengaruhi sinyal insulin di tingkat post-receptor.
-
GH dengan menurunkan lipogenesis dengan cara memfosforilasi faktor transkripsi Stat5a dan 5b. Hilangnya Stat 5a dan 5b pada model knock-out memperlihatkan penurunan akumulasi lemak di jaringan adiposa. Mekanisme bagaimana protein Stat5 meningkatkan penyimpanan lemak, masih belum diketahui.
Leptin adalah hormon yang berhubungan dengan lipogenesis. Leptin membatasi penyimpanan lemak tidak hanya dengan mengurangi asupan makanan, tetapi juga dengan mempengaruhi laju metabolik yang spesifik di adiposa dan jaringan lainnya.
Leptin merangsang pengeluaran gliserol dari adiposit, dengan
menstimulasi oksidasi asam lemak dan menghambat lipogenesis. Faktor endokrin atau autokrin yang berhubungan dengan sintesa trigliserida setelah insulin, GH
Universitas Sumatera Utara
dan leptin adalah Acylation Stimulating Protein (ASP). ASP adalah peptide kecil yang sama dengan C3adesArg, suatu produk dan faktor komplemen C 3 ASP diproduksi oleh jaringan adiposa dan kemungkinan bekerja secara autokrin. Beberapa studi invitro menunjukkan bahwa ASP menstimulasi akumulasi trigliserida di sel adipose. Akumulasi tersebut terjadi karena terdapat peningkatan sintesis trigliserida dan penurunan lipolisis jaringan adiposa pada saat yang bersamaan (Sugondo, 2006).
b. Lipolisis Lipolisis merupakan suatu proses dimana terjadi dekomposisi kimiawi dan pelepasan lemak dari jaringan lemak. Bilamana diperlukan energi tambahan maka lipolisis merupakan proses yang predominan terhadap proses lipogenesis. Enzim hormone Sensitive Lipase (HSL) akan menyebabkan terjadinya hidrolisis trigliserida manjadi asam lemak bebas dan gliserol (gambar 2.4). Asam lemak yang dihasilkan akan masuk ke dalam pool asam lemak, dimana akan terjadi proses re-esterifikasi, beta oksidasi atau asam lemak tersebut akan dilepas masuk ke dalam sirkulasi darah untuk menjadi substrat bagi otot skelet, otot jantung dan hati. Asam lemak akan dibentuk menjadi ATP melalui proses betaoksidasi dan asam lemak akan dibawa ke luar jaringan lemak melalui sirkulasi darah untuk kemudian menjadi sumber energi bagi jaringan yang membutuhkan (Sugondo, 2006).
Insulin bersifat antilipolitik yang ditimbulkan melalui penghambatan sintesa cAMP pada tapak adenil siklase yang bekerja lewat protein G1. Insulin juga merangsang enzim fosfodieterase dan lipase fosfatase yang menginaktivasi enzim lipase yang sensitive hormon yang menyebabkan penurunan pelepasan asam lemak bebas (Mayes, 2003). Supresi lipolisis ini akan mengurangi jumlah asam lemak ke hati dan jaringan perifer. Dengan berkurangnya asam lemak ke hati maka pembentukan asam keto berkurang. Insulin juga akan merangsang penggunaan asam keto ini oleh jaringan perifer sehingga tidak akan terjadi akumulasi asam ini di darah (Sugondo, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4 Mekanisme keseimbangan lipolisis dan lipogenesis (Buku Ajar lmu Penyakit Dalam FKUI, 2006) c. Transportasi lipid Metabolisme lipoprotein mempunyai 2 fungsi yang amat penting yaitu memasok trigliserida ke jaringan lemak dan otot untuk bahan dan penyimpanan energi, kemudian mengangkut kolesterol untuk pembentukan membran sel, hormone steroid, dan sintesis asam empedu. Transportasi lipid mempunyai 2 jalur yaitu: 1) jalur eksogen, dan 2) jalur endogen, yang dimulai dari produksi kolesterol VLDL oleh hati. 1. Jalur eksogen Trigliserida yang berasal dari makanan dihidrolisis oleh lipase pankreas di dalam lumen intestinal dan mengalami emulsifikasi dengan garam empedu untuk membentuk misel. Kolesterol dan retinol dari bahan makanan diesterifikasi (dengan penambahan asam lemak) di dalam enterosit untuk membentuk kolesterol ester dan retinol ester. Asam lemak rantai panjang yang tergabung dalam trigliserida dan dikemas bersama dengan apo B-48, kolesterol ester, retinol ester,
Universitas Sumatera Utara
fosfolipid, dan kolesterol untuk membentuk kilomikron. Kilomikron nascent disekresikan ke dalam sistem limfatik dan dikeluarkan ke dalam sirkulasi sistemik, dimana kilomikron ini diproses terlebih dahulu oleh jaringan perifer sebelum mencapai hati (Rader dan Hobs, 2005).
Trigliserida dalam kilomikron akan mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase yang berasal dari endotel menjasi asam lemak bebas. Asam lemak bebas dapat disimpan sebagai trigliserida kembali di jaringan lemak (adiposa), tetapi bila terdapat dalam jumlah yang banyak sebagian akan diambil oleh hati menjadi bahan untuk pembentukan trigliserida hati. Kilomikron yang sudah kehilangan sebagian besar trigliserid akan menjadi kilomikron remnant yang mengandung kolesterol ester dan akan dibawa ke hati seperti ditunjukkan pada gambar 2.5 (Adam, 2006).
2. Jalur endogen Trigliserida dan kolesterol yang disintesis di hati dan di sekresi ke dalam sirkulasi sebagai lipoprotein VLDL. Apolipoprotein yang terkandung dalam VLDL adalah apolipoprotein B-100 (Adam, 2006).
Trigliserida dalam VLDL dihidrolisis oleh LPL(lipoprotein lipase), terutama dalam otot dan jaringan adiposa. VLDL mengalami hidrolisis lebih lanjut menjadi IDL yang mengandung kolesterol dan trigliserida dalam jumlah yang sama. Hati menghilangkan kira-kira 40-60% VLDL remnant dan IDL lewat endositosis yang diperantarai oleh reseptor LDL dengan mengikat apo E. Sisa IDL dimodifikasi oleh lipase hepatik untuk membentuk LDL (gambar 2.5); selama proses ini, kebanyakan trigliserida dihidrolisis dan semua apolipoprotein kecuali apo B-100 dipindahkan ke lipoprotein lainnya (kolesterol dalam LDL berjumlah ~ 70% dari kolesterol plasma pada sebagian besar individu (Rader dan Hobs, 2005).
Kira-kira 70% LDL yang ada dalam sirkulasi dibersihkan lewat endositosis melalui reseptor LDL dalam hati (Rader dan Hobs, 2005). Jika jumlah reseptor
Universitas Sumatera Utara
LDL di jaringan hati sedikit, atau tidak mempunyai afinitas yang baik dengan apoB-100 (kelainan genetik, hiperkolesterolemia familial), atau jika diet amat banyak mengandung lemak/kolesterol (terjadi down-regulation reseptor ini) maka konsentrasi klolesterol LDL plasma sangat meningkat. Tingginya kadar kolesterol LDL plasma akan mengalami oksidasi dan diambil oleh makrofag dan akan menjadi sel busa (foam cell) di tunika intima arteri melalui reseptor scavenger (CD36 dan SR-A = scavenger receptor-A). Reseptor-reseptor ini mempunyai afinitas yang amat tinggi terhadap kloesterol LDL , terutama yang teroksidasi (Kasiman, 2009)
Jumlah kolesterol yang akan teroksidasi tergantung dari kadar kolesterol yang terkandung di LDL. Beberapa sediaan mempengaruhi tingkat oksida seperti: Meningkatnya jumlah LDL kecil padat (small dense LDL) seperti pada sindrom metabolik dan diabetes mellitus dan kadar kolesterol HDL, makin tinggi kadar kolesterol HDL akan bersifat protektif terhadap oksidasi LDL (Adam, 2006).
Gambar 2.5 Jalur eksogen dan endogen (Harrison’s Principle of Internal Medicine, 2005)
Universitas Sumatera Utara
d. Metabolisme HDL dan Transpor Kolesterol Balik HDL dilepaskan sebagai partikel kecil miskin kolesterol yang mengandung apolipoprotein A, C, dan E; dan disebut HDL nascent (Adam, 2006). HDL nascent disintesa oleh usus dan hati. HDL discoid yang baru terbentuk mengandung apo A-1 dan fosfolipid (terutama lesitin) tetapi secara cepat memperoleh kolesterol yang tidak teresterifikasi dan tambahan fosfolipid dari jaringan perifer dengan transport melalui protein membran ABCA1 (ATP-binding Cassette Protein A1). Setelah dimasukkan ke dalam partikel HDL , kolesterol diesterifikasi oleh lecithin-cholesterol acyltransferase (LCAT), enzim plasma yang berhubungan dengan HDL. Karena HDL memperoleh kolesterol ester lagi, HDL menjadi sferis, dan tambahan apolipoprotein dan lipid dipindahkan ke partikel dari permukaan kilomikron dan VLDL selama lipolisis (Rader dan Hobs, 2005).
Selanjutnya sebagian kolesterol ester yang dibawa oleh HDL akan mengambil dua jalur. Jalur pertama ialah ke hati dan ditangkap oleh scavenger receptor class B type 1 dikenal dengan SR-B1 (Gambar 2.6). Jalur kedua ialah kolesterol ester dalam HDL akan dipertukarkan dengan trigliserid dari VLDL dan IDL dengan bantuan cholesterol ester transfer protein (CETP). Dengan demikian fungsi HDL sebagai “penyerap” kolesterol dari makrofag mempunyai dua jalur yaitu langsung ke hati dan jalur tidak langsung melalui VLDL dan IDL untuk membawa kolesterol kembali ke hati (Adam, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.6. Metabolisme HDL dan transport kolesterol terbalik (Harrison’s principle of Internal Medicine, 2005) 2.3.3. Pengukuran Profil Lipid Analisis lipoprotein atau profil lipid biasanya dilakukan pada sampel darah yang diambil dari vena. Sampel darah dikumpulkan dalam syringe atau vial dan dikirim ke laboratorium untuk dianalisis. Kadar kolesterol total juga dapat dianalisis dari sampel darah jari. Sebelum prosedur ini dilakukan harus dihindari konsumsi makanan padat atau minuman kecuali air selama 9 sampai 12 jam sebelum pengambilan sampel darah untuk analisis lipoprotein kolesterol total, LDL, HDL, dan trigliserida (Dugdalle, 2009).
2.4.
Hubungan Obesitas dengan Diabetes Melitus Tipe II
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa jaringan lemak bukanlah sekedar tempat penimbunan untuk trigliserida tetapi merupakan suatu jaringan “ endokrin” aktif yang dapat berdialog dengan otot dan hati (dua jaringan sasaran insulin yang penting). Efek adiposit jarak jauh ini terjadi melalui zat perantara yang
Universitas Sumatera Utara
dikeluarkan oleh sel lemak. Molekul ini meliputi faktor nekrosis tumor (TNF), asam lemak, leptin, dan suatu faktor baru yang disebut resistin. TNF yang lebih dikenal karena efeknya pada peradangan dan imunitas, disintesis di adiposit dan mengalami ekspresi yang berlebihan dalam sel lemak orang yang kegemukan.
TNF menyebabkan resistensi insulin dengan mempengaruhi jalur - jalur pasca reseptor. Leptin adalah suatu hormon adiposit yang menyebabkan obesitas hebat dan resistensi insulin pada hewan pengerat yang tidak memiliki gennya. Pengembalian leptin ke hewan ini mengurangi obesitas dan secara independen, resistensi insulin; karena itu tidak seperti TNF, leptin memperbaiki resistensi insulin. Resistin dihasilkan oleh sel lemak, dan kadarnya meningkat pada model hewan pengerat untuk obesitas. Penurunan kadar insulin meningkatkan kerja insulin dan sebaliknya, pemberian resistin rekombinan meningkatkan resistensi insulin pada hewan normal (Clare – Salzler, et al., 2007). Polimorfisme pada peroxisome proliferator-activated receptor γ 2 (PPAR- γ 2 ) memiliki dampak yang luas untuk terjadi obesitas dan resistensi insulin. Sebagian kecil individu heterizigot pada varian PPAR- γ 2 Pro12Ala kurang menyebabkan overweight dan mengembangkan DM daripada sebagian besar populasi yang mengalami prohomozigot. Resistensi insulin yang terjadi pada jaringan adiposa meningkatkan aktivitas hormone sensitive lipase yang menyebabkan peningkatan asam lemak bebas dalam sirkulasi. Asam lemak bebas yang tinggi menyebabkan terjadinya resistensi insulin pada otot dan hati. Pada awalnya pankreas mampu mengontrol kadar glukosa dengan overproduksi insulin. Dengan demikian banyaknya individu yang obesitas yang tampaknya glukosa darahnya normal memiliki sindrom yang ditandai dengan resistensi insulin pada jaringan perifer dan konsentrasi insulin yang tinggi dalam sirkulasi. Namun pada akhirnya kapasitas pankreas untuk memproduksi insulin menurun dan menyebabkan tingginya kadar glukosa darah puasa dan turunnya toleransi glukosa (Th ẻvenod, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.5.
Hubungan Obesitas dengan Profil Lipid
Obesitas seringkali, meskipun tidak selalu disertai hiperlipidemia. Peningkatan massa adiposa yang disertai penurunan sensitivitas insulin yang berhubungan dengan obesitas memiliki beberapa efek terhadap metabolisme lemak. Asam lemak bebas yang berlebih yang berasal dari jaringan adipose yang luas dikirim ke hati untuk dire-esterifikasi menjadi trigliserida, yang dikemas dalam bentuk VLDL untuk disekresikan ke dalam sirkulasi. Asupan makanan yang tinggi karbohidrat sederhana juga dapat meningkatkan produksi VLDL di hati, yang meningkatkan VLDL dan/atau LDL pada individu yang obese. HDL-C plasma cenderung menurun pada obesitas. Kehilanagn berat badan sering berhubungan dengan penurunan apoB yang mengandung lipoprotein dan meningkatkan HDL-C (Flier, J.S & Flier, E. M, 2005)
2.6.
Hubungan Diabetes Melitus Tipe II dengan Profil Lipid
Pasien dengan DM Tipe II biasanya mengalami dislipidemia. Kadar insulin yang tinggi dan resistensi insulin yang terkait dengan DM Tipe II memiliki beberapa efek pada metabolisme lemak. Pada keadaan resistensi insulin, hormon sensitive lipase di jaringan adiposa akan menjadi aktif sehingga lipolisis trigliserida di jaringan adiposa semakin meningkat. Keadaan ini akan menghasilkan asam lemak bebas yang berlebihan. Asam lemak bebas akan memasuki aliran darah, sebagian akan digunakan sebagai sumber energi dan sebagian akan dibawa ke hati sebagai bahan baku pembentuk trigliserida. Di hati asam lemak bebas akan kembali menjadi trigliserid kembali dan menjadi bagian dari VLDL. Oleh karena itu, VLDL yang dihasilkan pada keadaan resistensi insulin akan sangat kaya dengan trigliserid, disebut VLDL kaya trigliserid atau VLDL besar.
Dalam sirkulasi trigliserid yang banyak di VLDL akan bertukar dengan kolesterol ester dari kolesterol LDL, yang mana akan menghasilkan LDL yang kaya akan trigliserid tetapi kurang kolesterol ester (cholesterol ester depleted LDL). Trigliserid yang dikandung oleh LDL akan dihidrolisis oleh enzim lipase hepatik (yang biasanya meningkat pada resistensi insulin) sehingga menghasilkan LDL
Universitas Sumatera Utara
kecil tetapi padat, yang dikenal dengan small dense LDL . Partikel LDL kecil padat ini sifatnya mudah teroksidasi, oleh karena itu sangat aterogenik. Trigliserid VLDL besar juga dipertukarkan dengan kolesterol ester dari HDL dan menghasilkan HDL miskin kolesterol ester tapi kaya trigliserid. Kolesterol HDL bentuk demikian lebih mudah dikatabolisme oleh ginjal sehingga jumlah HDL serum menurun. Oleh karena itu pada pada resistensi insulin terjadi kelainan profil lipid serum yang khas yaitu kadar trigliserida tinggi, kolesterol HDL rendah dan meningkatnya subfraksi LDL kecil padat, dikenal dengan nama fenotipe lipoprotein aterogenik atau lipid trial (Adam, 2006).
Universitas Sumatera Utara