BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG INDONESIA

Download di pinggir jalan sebagai pohon peneduh (Heyne, 1987). Daun asam jawa dapat digunakan untuk menghilangkan rasa sakit (analgetik), antiradang...

0 downloads 571 Views 516KB Size
BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang

Indonesia adalah negara beriklim tropis dengan tanahnya yang subur sehingga banyak jenis tumbuhan yang dapat tumbuh. Beberapa jenis tumbuhan memiliki khasiat sebagai obat, namun belum banyak masyarakat yang mengetahui khasiat tumbuhan obat tersebut. Kekurangpahaman masyarakat akan hal tersebut menyebabkan tumbuhan obat terkesan sebagai tanaman liar (Hariana, 2004). Akhir-akhir ini tumbuhan obat banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Berdasarkan dari pengalaman secara turun-temurun, obat tradisional adalah obat yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral dan atau sediaan galeniknya yang digunakan untuk pengobatan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1989a). Salah satu tanaman obat yang memiliki berbagai khasiat adalah asam jawa atau yang dikenal dengan nama ilmiah Tamarindus indica L. Asam jawa termasuk dalam suku Caesalpiniaceae, yang merupakan tumbuhan tropis dan mempunyai tipe buah polong (Supriadi dkk., 2001). Di Indonesia, asam jawa banyak ditemui di pinggir jalan sebagai pohon peneduh (Heyne, 1987). Daun asam jawa dapat digunakan untuk menghilangkan rasa sakit (analgetik), antiradang dan membantu pengeluaran keringat (diaforetik), laksansia, dan sebagai obat luka maupun sariawan (Mursito, 2000). Sementara masih banyak kegunaan medis dalam pemanfaatan bagian tanaman asam jawa.

1

2

Efek laksantif pada buah dan efek diuretik pada getah daun telah dikonfirmasi oleh ilmu kedokteran modern (Bueso, 1980). Buah asam jawa dapat digunakan untuk masalah pencernaan dan sebagai karminatif (El-Siddig dkk., 2006). Selain itu buah asam jawa dilaporkan memiliki efek antifungi dan antibakteria (Bibitha dkk., 2002; Metwali, 2003; John dkk., 2004). Aktivitas antioksidan dari biji asam jawa diteliti oleh Osawa dkk. (1994), bahwa ekstrak etanol kulit biji menunjukkan aktivitas antioksidan yang diukur dengan metode tiosianat dan thiobarbiturat (TBA). Sedangkan ekstrak daun juga menunjukkan aktivitas antioksidan dalam liver. Selain itu biasa digunakan dalam mengobati penyakit jantung dan mengurangi gula darah (El-Siddig dkk., 2006). Salah satu golongan kandungan aktif daun asam jawa adalah flavonoid yang memiliki efek antioksidan. Menurut Keller

(2009), flavonoid dalam tubuh

memiliki efek yang lemah karena lambatnya penyerapan oleh tubuh, namun ada indikasi bahwa secara biologis flavonoid memicu produksi enzim yang melawan penyakit. Pemanfaatan kandungan flavonoid tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan, dapat disiapkan dalam bentuk ekstrak. Penyiapan ekstrak dilakukan melalui proses ekstraksi. Metode pemisahan suatu zat atau senyawa dengan menggunakan cairan penyari yang sesuai disebut ekstraksi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Metode ekstraksi yang dapat dilakukan oleh usaha kecil obat tradisional (UKOT) adalah maserasi, perkolasi, namun tidak menutup kemungkinan dilakukan secara infundasi. Pelarut yang dapat digunakan adalah etanol, air dan campurannya (Departemen

3

Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Tingginya kadar flavonoid dalam ekstrak daun asam jawa dapat dipengaruhi oleh kedua metode ekstraksi tersebut. Penelitian mengenai pengaruh metode ekstraksi secara infundasi dengan membuat dekokta dan maserasi terhadap kadar flavonoid total ekstrak daun asam jawa belum pernah dilakukan. Penelitian ini dapat membantu UKOT untuk memilih metode ekstraksi yang tepat dan mendapatkan kandungan flavonoid total yang tinggi.

B.

Rumusan Masalah

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu: 1.

Metode manakah yang lebih efektif untuk memperoleh ekstrak dengan kadar flavonoid total paling tinggi pada ekstraksi daun asam jawa secara infundasi dan maserasi?

2.

Bagaimana pengaruh fraksinasi terhadap kadar flavonoid total dalam ekstrak daun asam jawa?

C.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1.

Pengaruh dua metode ekstraksi secara infundasi dan maserasi terhadap kadar flavonoid total ekstrak daun asam jawa.

2.

Pengaruh fraksinasi terhadap kadar flavonoid total dalam ekstrak daun asam jawa.

4

D.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh dua metode ekstraksi yaitu infundasi dan maserasi terhadap kadar flavonoid total yang diperoleh. Hasil penelitian dapat bermanfaat untuk diaplikasikan dalam bidang industri yang membuat obat tradisional dengan daun asam jawa sebagai bahan utamanya.

E. 1.

Tinjauan Pustaka

Asam jawa Asam jawa merupakan tanaman tropis yang berasal dari Afrika namun dapat tumbuh dengan subur di Indonesia, kebanyakan digunakan sebagai pohon peneduh jalan (Heyne, 1987). a. Klasifikasi Divisi

: Spermatophyta

Anak divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledoneae

Anak kelas

: Rosidae

Bangsa

: Rosales

Suku

: Caesalpiniaceae

Marga

: Tamarindus

Jenis

: Tamarindus indica L. (Heyne, 1987; Van Steenis, 2008)

b. Nama daerah Sumatera: bak méĕ (Aceh), acamlagi (Gayo), asam jawa, cumalagi (Minang); Jawa: asem, tangkal asem (Jawa Barat), asem, wit asem (Jawa

5

Tengah dan Jawa Timur), Acĕm (Madura); Bali: cĕlagi, clagi; Kalimantan: asang jawa (Dayak), asang jawi (Gorontalo), tamalagi (Buol), sambalagi (Barèe), camba (Makassar), cempa (Bugis); Nusa Tenggara: manggé (Bima), kamaru (Sumbawa Timur), kaza (Sumbawa Barat), hélagi (Sawu), maké, magé, naangé (Flores), tobi (Solor, Alor), ninilu nau (Roti); Maluku: sablaki (Tanimbar), tobĕlakè (Seram Timur), asang jawa (Seram Selatan), asan jawa (Ulias), asan jawaka (Buru), asam jawa (Ternate) (Heyne, 1987). c. Deskripsi Asam jawa merupakan tanaman tahunan, besar, berupa pohon tinggi yang indah, tinggi mencapai 25 m (Heyne, 1987; Sastroamidjojo, 1967). Asam jawa merupakan tumbuhan yang mempunyai tipe buah polong. Batang pohonnya cukup keras, dapat tumbuh menjadi besar dan daunnya rindang. Daun asam jawa bertangkai panjang, sekitar 17 cm dan bersirip genap. Bunganya kuning kemerah-merahan dan buah dengan tipe polong berwarna cokelat dengan rasa khas asam. Di dalam buahnya selain terdapat kulit yang membungkus daging buah juga terdapat biji berjumlah 2-5 yang berbentuk pipih dengan warna cokelat agak kehitaman (Yuniarti, 2008). Daun muda yang rasanya asam dalam bahasa Jawa dinamakan sinom untuk membedakannya dengan daun yang tua. Daun muda ini digunakan sebagai pengganti daging buah (Heyne, 1987). Helaian anak daun berwarna hijau kecokelatan atau hijau muda, berbentuk bundar panjang, panjang 1-2,5 cm, lebar 4-8 mm, ujung daun membundar kadang-kadang berlekuk, pangkal daun membundar, pinggir daun rata dan hampir sejajar satu sama

6

lain. Tangkai daun sangat pendek sehingga mirip duduk daun. Tulang daun terlihat jelas. Kedua permukaan daun halus dan licin, permukaan bawah berwarna lebih muda (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1989b). Di Jawa dan Madura sering ditanam sebagai tanaman hias atau tanaman buah yang dapat dimakan (Backer & Van Den Brink, 1963). d. Kandungan kimia Daun asam jawa mengandung flavonoid, saponin, senyawa fenol, pektin dan asam organik (Rosmanadewi, 1993). Buah polong asam jawa mengandung senyawa kimia antara lain asam apel, asam sitrat, asam anggur, asam tartrat, asam suksinat, pektin dan gula invert (Yuniarti, 2008). Berdasarkan penelitian Escalona-Arranz dkk., (2010), ekstrak daun asam jawa dengan pelarut etanol 70% yang dianalisis dengan HPTLC-UV mengandung luteolin 7-O-glukosida, luteolin, apigenin, isoorientin, orientin, vitexin dan asam kafeat. e. Manfaat Asam jawa merupakan pohon yang hampir seluruh bagian tanamannya memiliki manfaat, bisa sebagai penambah nutrisi maupun untuk obat (Kumar & Bhattacharya, 2008). Kayunya dapat digunakan untuk bahan bangunan, buahnya yang sudah masak digunakan sebagai bumbu masak, daunnya yang disebut “sinom” dalam bahasa jawa digunakan sebagai sayur maupun obat yang memiliki khasiat kholagogik dan laksatif, selain itu getah daunnya dapat digunakan sebagai diuretik (Mun’im dkk., 2009; Sundari dkk., 2010). Secara empiris, seduhan daun muda asam jawa dan rimpang

7

kunyit yang sudah digiling dapat menyembuhkan rematik dan bengkak karena terpukul (lebam) dengan dibalurkan pada bagian yang sakit (Hariana, 2004). Berdasarkan penelitian Susanti (2009), daun asam jawa bersama rimpang kunci pepet merupakan tanaman obat tradisional yang berpotensi sebagai antiobesitas, namun mekanismenya belum diketahui dengan pasti. Diperkuat dengan penelitian Rosmanadewi (1993), infusa daun asam jawa dapat digunakan sebagai penurun kolesterol.

2.

Ekstraksi Ekstraksi atau penyarian adalah suatu proses penarikan zat yang dapat larut dalam pelarut cair sehingga terpisah dengan bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Faktor kecepatan difusi sangat mempengaruhi kecepatan penyarian, karena dalam penyarian, larutan harus melewati lapisan batas antara butir serbuk dengan cairan penyari. Kecepatan melintasi lapisan batas dipengaruhi oleh derajat perbedaan konsentrasi, tebal lapisan batas, serta koefisien difusi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Metode ekstraksi akan memisahkan metabolit tanaman yang larut dan menyisakan

yang tidak

terlarut.

Produk

hasil

ekstraksi

tanaman

mengandung campuran metabolit yang sangat kompleks (Handa dkk., 2008). Senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Bila

8

sudah diketahui senyawa aktif yang dikandung oleh simplisia tersebut, akan mempermudah dalam pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). Faktor penting dalam proses ekstraksi adalah simplisia, pelarut, dan metode ekstraksi. Masing-masing faktor diuraikan sebagai berikut: a.

Simplisia Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dapat dibagi menjadi simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan atau mineral (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1989a). Tahapan pembuatan simplisia dimulai dengan pengumpulan bahan baku. Tahap selanjutnya adalah sortasi basah, pencucian, perajangan, dan pengeringan. Tahapan terakhir adalah pengepakan dan penyimpanan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985). b.

Pelarut Pelarut atau cairan penyari yang akan digunakan untuk ekstraksi adalah

pelarut yang baik (optimal) untuk senyawa berkhasiat yang diinginkan, sehingga senyawa tersebut dapat dipisahkan antara bahan dan kandungan lain yang tidak diinginkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). Selain itu, pelarut harus mempertimbangkan banyak faktor, diantaranya adalah: murah dan mudah diperoleh; stabil secara fisika dan kimia; bereaksi netral atau inert; tidak mudah menguap dan tidak mudah

9

terbakar; selektif, yang berarti hanya menarik zat berkhasiat yang diinginkan; tidak mempengaruhi senyawa aktif; diperbolehkan oleh peraturan atau mendapat ijin Departemen Kesehatan. Penggunaan pelarut pada perusahaan obat tradisional adalah akuades (air), etanol atau etanol-air. Pelarut akuades digunakan karena murah dan mudah diperoleh; stabil; tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar; tidak beracun; dan alami, namun kekurangan akuades sebagai cairan penyari yaitu tidak selektif; sari dapat ditumbuhi kapang atau kuman sehingga cepat rusak; dan penguapannya diperlukan waktu yang lama (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Pelarut etanol digunakan sebagai cairan penyari dengan pertimbangan dapat melarutkan berbagai senyawa, merupakan pelarut universal; kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas; tidak beracun; netral; etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan; untuk menguapkan pelarut dibutuhkan waktu yang relatif lebih cepat, sedangkan kerugiannya adalah pelarut etanol lebih mahal harganya dibandingkan dengan air atau akuades (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). c.

Metode ekstraksi 1) Infundasi Infundasi merupakan cara untuk memperoleh infusa dan dekokta. Sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari simplisia dengan air pada suhu 90°C selama 15 menit disebut infusa, sedangkan dekokta adalah penyarian dengan metode yang mirip

10

dengan cara pembuatan infusa namun dalam waktu yang lebih lama yaitu selama 30 menit. Infundasi adalah proses penyarian yang umum digunakan untuk menyari zat-zat yang larut dalam air. Penyarian dengan metode ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan sangat mudah tercemar oleh kapang dan kuman, sehingga sari yang diperoleh tidak boleh disimpan melebihi 24 jam atau segera dibuat menjadi ekstrak kental. Namun demikian, metode ini sangat ekonomis bila dibandingkan metode lainnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Panci infusa dan dekokta terdiri atas dua bagian, yaitu panci A yang berisi simplisia dan air; panci B yang berisi air berfungsi sebagai penangas air. Alat bisa dilihat seperti pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Panci infusa dan dekokta (Gambar diadopsi pada buku Sediaan Galenik (1986)).

2) Maserasi Maserasi adalah suatu proses pengekstraksian simplisia dalam suatu wadah yang diberi pelarut dengan beberapa kali pengocokan

11

atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Campuran simplisia dan pelarut kemudian dipisahkan, ampasnya akan mengendap dan maserat didapatkan dengan penyaringan sehingga tidak ada sisa simplisia yang terbawa. Maserasi kinetik berarti adanya pengadukan yang berulang (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan pertama dan seterusnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000; Handa dkk., 2008). Keuntungan ekstraksi secara maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana serta mudah dilakukan. Kerugiannya adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna. Ekstraksi secara maserasi diperlukan pengadukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga derajat perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan pelarut akan tetap terjaga. Hasil penyarian atau maserat perlu dibiarkan selama waktu tertentu agar zat-zat yang tidak diperlukan

mengendap

(Departemen

Kesehatan

Republik

Indonesia, 1986). Alat maserasi sangat sederhana, hanya terdiri atas bejana berisi bahan dan cairan penyari (A) dan penutupnya (B). Pengadukan dapat dilakukan secara manual dengan beberapa kali pengadukan tiap waktu yang ditentukan, namun ada juga alat maserasi yang

12

sudah dilengkapi dengan pengaduk mekanik (C), seperti yang terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Alat maserasi dengan pengaduk mekanik (Gambar diadopsi pada buku Sediaan Galenik (1986)).

3) Perkolasi Perkolasi merupakan metode penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Faktor yang berperan pada metode ini adalah gaya berat, kekentalan, daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosa, adesi, daya kapiler dan daya geseran (friksi). Keuntungan perkolasi dibandingkan maserasi adalah adanya derajat perbedaan konsentrasi yang tinggi karena aliran cairan penyari mengalir ke konsentrasi lebih rendah dan ruangan diantara butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran sehingga cairan penyari dapat mengalir, kecilnya saluran tersebut menyebabkan kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas, dan meningkatkan perbedaan konsentrasi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

13

3.

Fraksinasi Fraksinasi adalah proses pemisahan dan pemurnian untuk mendapatkan kandungan senyawa tertentu (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). Jumlah dan senyawa yang dapat dipisahkan menjadi fraksi berbedabeda tergantung pada kandungan senyawa di tiap jenis tumbuhan. Pelarut yang digunakan untuk fraksinasi dapat disesuaikan dengan kandungan senyawa yang diinginkan, seperti pada Tabel I. Tabel I. Pelarut dan golongan kandungan kimia yang terlarut. Pelarut

Golongan kandungan kimia yang terlarut

n-Heksan, petroleum eter, benzen, toluen

Terpenoid (minyak atsiri), triterpen, steroid, kumarin, polimetoksi flavon, lipida, resin, klorofil, xantofil

Kloroform, diklorometan

Semua yang disebut di atas, antrakuinon, alkaloid bebas, kurkuminoid, fenol

Dietil eter

Semua yang disebut di atas, flavonoid aglikon, asam fenolat

Etil asetat, aseton

Semua yang disebut di atas, flavonoid monoglikosida, quasinoid, glikosida lain

Etanol dan alkohol lain

Semua yang disebut di atas, flavonoid diglikosida, tanin

Air panas

Semua yang disebut di atas, mulai dari yang larut dalam dietil eter, garam alkaloid, flavonoid poliglikosida, mono- dan disakarida, asam amino, protein dan mineral. Polisakarida dan protein akan menggumpal

(Pramono, 2013a)

4.

Kromatografi lapis tipis (KLT) Kromatografi adalah metode pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi dalam sistem yang terdiri atas dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Zat-zat terlarut akan menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan dalam adsorbsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran

14

molekul atau kerapatan muatan ion, sehingga masing-masing zat dapat diidentifikasi dengan metode analitik (Anonim, 2008). Kromatografi lapis tipis merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. KLT lebih mudah dan lebih murah dibandingkan metode kromatografi lainnya. Peralatannya lebih sederhana dan hampir dapat dilakukan setiap saat. Keuntungan lain KLT adalah banyak digunakan untuk tujuan analisis, identifikasi pemisahan komponen yang dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi warna, fluoresensi, atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet, pemisahan komponen dapat dilakukan secara menaik (ascending), menurun (discending) atau dengan cara elusi 2 dimensi, dan ketepatan penentuan kadar lebih baik karena komponen yang ditentukan adalah bercak yang tidak bergerak (Gandjar & Rohman, 2007). Sistem KLT berupa fase diam, fase gerak, dan metode deteksi. Uraian ketiganya sebagai berikut: a.

Fase diam Fase diam atau penjerap yang biasa digunakan pada kromatografi lapis tipis adalah: 1) Silika gel Silika gel atau silika adalah penjerap yang paling sering digunakan untuk analisis fitokimia secara kromatografi lapis tipis, misalnya untuk determinasi komponen racun seperti asam aristolokik pada pengobatan tradisional China.

15

Silika gel memiliki struktur ikatan silika dan oksigen (siloksan) dan pemisahan terjadi karena migrasi diferensial molekul sampel yang disebabkan oleh ikatan hidrogen, interaksi dipol-dipol dan interaksi elektrostatik dengan silanol (Si-OH). Fase gerak pada silika gel biasanya lebih nonpolar dibandingkan silika gel sendiri yang bersifat polar, fase ini disebut fase normal (normal phase). 2) Selulosa Selulosa

terdiri

atas

rantai

panjang

polimerisasi

beta-

glukopiranosa yang terhubung pada posisi 1-4. Mekanisme pemisahannya adalah partisi fase normal (normal phase) dengan menyerap air sebagai fase diam. Pemisahan fitokimia yang dapat dilakukan dengan menggunakan selulosa adalah untuk senyawa asam hidrosinamat ester, flavonol glikosida, antosianin, aglikon flavon dan flavanon, saponin triterpenoid, dan glukosida iridoid. 3) Alumina Alumina adalah penjerap yang bersifat polar yang mirip dengan silika gel, namun memiliki afinitas adsorpsi yang tinggi untuk karbon-karbon dengan ikatan rangkap dan lebih selektif terhadap hidrokarbon aromatik dan turunannya (Waksmundzka-Hajnos dkk., 2008). b.

Fase gerak Fase gerak yang digunakan untuk kromatografi lapis tipis harus

memenuhi beberapa persyaratan. Fase gerak tidak boleh mempengaruhi

16

secara kimiawi atau melarutkan fase diam karena akan merusak sistem kromatografi. Selain itu fase gerak juga tidak boleh menghasilkan transformasi kimia dari komponen senyawa yang dipisahkan. Fase gerak harus mudah dihilangkan dari fase diam atau penjerap dan harus sesuai dengan metode deteksinya. Umumnya, jika fase diam yang digunakan polar maka fase gerak yang digunakan sebaiknya nonpolar atau sedikit polar, sistem ini dinamakan sistem fase normal atau normal-phase (NP). Sebaliknya, bila fase diam bersifat nonpolar dan fase gerak polar, maka sistem ini disebut sistem fase terbalik atau reversed-phase (RP) (Waksmundzka-Hajnos dkk., 2008). c.

Deteksi Metode deteksi pada kromatografi lapis tipis bertujuan untuk

meningkatkan sensitivitas dan selektivitas, disamping memberikan bukti mengenai kualitas pemisahan (Jork dkk., 1990). Deteksi secara visualisasi digunakan untuk senyawa yang tidak berwarna. Banyak senyawa akan mengabsorbsi cahaya UV atau berfluoresens saat tereksitasi oleh UV atau cahaya tampak, namun kebanyakan memerlukan penyemprotan dengan reagen tertentu (Wall, 2005). Beberapa reagen untuk mendeteksi flavonoid tertera pada Tabel II berikut.

17

Tabel II. Pereaksi untuk deteksi flavonoid. Reagen

Preparasi -

Melarutkan 0,2-1 g alumunium klorida dalam 100 mL etanol Melarutkan 20 g alumunium klorida dalam 100 mL etanol

AlCl3

-

Uap amonia

Larutan amonia (25%)

Anilin-difenilaminasam fosfat

Asam fosfat 85% - asam asetat – anilin – difenilamin (20 mL + 100 mL + 5 mL + 5 g)

Antimon(III) klorida (reagen Carr-Price)

Melarutkan 10 g antimon(III) klorida dalam kloroform atau kerbon tetraklorida hingga 50 mL

2,4-dinitrofenilhidrazin

Melarutkan 100 mg 2,4-dinitrofenilhidrazin dalam campuran 90 mL etanol dan 10 mL asam hidroklorid

Asam difenilborat-2aminoetil ester

Melarutkan 1 g asam difenilborat-2-aminoetil ester dalam etanol hingga 100 mL

Sitroborat

Melarutkan 5 g asam sitrat dan 5 g asam borat dalam etanol hingga 100 mL

(Jork dkk., 1990; Anonim, 2008)

5.

Spektrofotometri Spektrofometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom pada suatu zat kimia. Teknik yang sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektroskopi serapan ultraviolet, cahaya tampak, inframerah dan serapan atom (Anonim, 2008). Pengukuran kuantitatif secara spektrofotometri ditetapkan dengan persamaan Lambert-Beer:

Dengan keterangan, A adalah absorban, a adalah absortivitas, b adalah tebal kuvet (cm), dan c adalah konsentrasi. Kuantitas spektroskopi yang diukur biasanya adalah transmitans (T) = I/Io dan absorbansi (A), yang mana

18

A=log 1/T. Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan (Gandjar & Rohman, 2007). Menurut Gandjar dan Rohman (2007), metode spektrofotometri UVVis digunakan untuk menetapkan kadar senyawa obat, yang mendasarkan pada penggunaan nilai

suatu obat. Nilai

merupakan absorbansi

suatu senyawa yang diukur pada konsentrasi 1% b/v (1 g/100 mL) dengan kuvet yang mempunyai ketebalan 1 cm pada panjang gelombang dan pelarut tertentu. Cara lain untuk menetapkan kadar sampel adalah dengan menggunakan perbandingan absorbansi sampel dengan absorbansi baku, atau dengan menggunakan persamaan regresi linier yang menyatakan hubungan antara konsentrasi baku dengan absorbansinya. Persamaan kurva baku selanjutnya digunakan untuk menghitung kadar dalam sampel (Gandjar & Rohman, 2007).

6.

Flavonoid yang terkandung dalam daun asam jawa Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang disimpan pada vakuola tumbuhan (Andersen & Markham, 2006). Flavonoid tersusun atas kerangka karbon C6-C3-C6, atau termasuk golongan fenilbenzopiran. Dilihat pada posisi ikatan cincin aromatik benzopirano (kromano), produk alami ini dibagi menjadi tiga kelas, yaitu:

19

1

2

3

Gambar 3. Struktur flavonoid, isoflavonoid, dan neoflavonoid (Gambar diadopsi dari Grotewold, 2006).

1. Flavonoid (2-fenilbenzopiran) 2. Isoflavonoid (3-fenilbenzopiran) 3. Neoflavonoid (4-fenilbenzopiran) Tiga grup ini biasanya berbagi prekursor umum khalkon dan berhubungan secara biogenetik dan struktural (Grotewold, 2006). Berdasarkan derajat oksidasi dan saturasi pada cincin C heterosiklik, flavonoid dibagi menjadi beberapa grup:

20

Gambar 4. Struktur kimia grup flavonoid (2-fenilbenzopiran) (Gambar diadopsi dari Grotewold, 2006).

Grup lain yaitu isoflavonoid yang memiliki kerangka 3-fenilkroman didapat secara biogenetik akibat migrasi 1,2-aril pada prekursor 2fenilkroman. Isoflavonoid dibagi menjadi beberapa kelompok berikut:

21

Gambar 5. Struktur kimia grup isoflavonoid (3-fenilbenzopiran) (Gambar diadopsi dari Grotewold, 2006).

Berdasarkan penelitian Escalona-Arranz dkk. (2010), mengenai kandungan kimia daun asam jawa dalam ekstrak etanol 70% dengan fraksi etil asetat dan n-butanol menggunakan HPTLC-UV, dapat dilihat pada Tabel III. Tabel III. Kandungan kimia daun asam jawa dalam ekstrak etanol 70% fraksi etil asetat dan n-butanol dengan HPTLC-UV. Etil asetat

n-Butanol

Rf

Senyawa

Rf

Senyawa

0,31

Luteolin 7-O-glukosida

0,26

Isoorientin

0,45 0,62

Luteolin Apigenin

0,44 0,62

Orientin Vitexin

Dilihat pada struktur kimia berikut, senyawa tersebut termasuk dalam kelompok flavonoid-C glukosida.

Gambar 6. Struktur kimia isoorientin, isovitexin, orientin dan vitexin (Gambar diadopsi dari Andersen & Markham, 2006).

22

7.

Rutin sebagai pembanding untuk penetapan kadar flavonoid total Rutin dengan nama lain rutoside dan quersetin-3-rutinoside, merupakan bentuk glikosida flavonoid kuersetin dengan ikatan gula rutinosida (Anonim, 1997). Rutin memiliki bobot molekul 610,5 dengan rumus formula C27H30O16. Berikut adalah struktur kimia rutin:

Gambar 7. Struktur kimia rutin (Gambar diadopsi dari Nguyen dkk., 2013).

Sesuai dengan Ekstra Farmakope Indonesia (1974) menyatakan bahwa, rutin mengandung tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 100,5% C27H30O16, dihitung terhadap zat anhidrat. Pemerian rutin yaitu berbentuk serbuk hablur halus, berwarna kuning pucat sampai hijau kekuningan pucat, tidak berbau atau berbau lemah khas dan tidak berasa. Senyawa ini mendamar pada suhu antara 185oC dan 192oC dan mengurai pada suhu antara 211oC dan 215oC. Rutin larut dalam 10.000 bagian air, 200 bagian air panas, 650 bagian etanol (95%), 60 bagian etanol (95%) panas. Kelarutan rutin yakni larut dalam metanol, isopropanol, gliserol, dan praktis tidak larut dalam kloroform, eter, eter minyak tanah, aseton, benzen, karbondisulfida.

23

Rutin mudah larut dalam piridin dan natrium hidroksida 1 N. Penyimpanan wadah tertutup rapat dan terlindung dari cahaya.

F.

Landasan Teori

Flavonoid yang terkandung dalam daun asam jawa berupa luteolin 7-Oglukosida, luteolin, apegenin, isoorientin, orientin dan vitexin. Flavonoid tersebut merupakan golongan flavon, karena dua pita yang memiliki karakteristik absorpsi pada panjang gelombang 260-270 nm (pita II) dan 330-365 nm (pita I) (EscalonaArranz dkk., 2010). Berdasarkan strukturnya, flavonoid daun asam jawa dapat larut dalam pelarut polar, semi-polar dan non-polar. Berdasarkan metode ekstraksi secara infundasi dengan pelarut akuades (polar), dapat melarutkan senyawa garam alkaloid, flavonoid poliglikosida, monodan disakarida, asam amino, protein dan mineral. Selain itu juga dapat melarutkan beberapa senyawa seperti flavonoid aglikon, flavonoid monoglikosida, glikosida lain, flavonoid diglikosida, dan tanin yang lebih larut dalam dietil eter, etil asetat dan etanol. Pelarut etanol (semi-polar) yang digunakan untuk ekstraksi secara maserasi dapat melarutkan flavonoid diglikosida dan tanin. Selain itu juga melarutkan senyawa polimetoksi flavon, lipida, resin, klorofil, flavonoid aglikon, fenol, alkaloid bebas, asam fenolat, flavonoid monoglikosida dan glikosida lain (Pramono, 2013a). Luteolin 7-O-glukosida, luteolin dan apigenin berdasarkan strukturnya dapat larut dalam pelarut polar dan semi-polar, seperti air, etanol, dan etil asetat, sedangkan isoorientin, orientin, dan vitexin dapat larut dalam pelarut semi-polar dan non-polar seperti etanol dan n-butanol. Dalam hal ini, etanol lebih banyak

24

melarutkan senyawa flavonoid dalam daun asam jawa, namun tidak menutup kemungkinan masih adanya pengotor seperti klorofil, resin, dan lipida. Pada akuades atau air, pengotor yang ikut terlarut adalah protein, asam amino dan mineral, sehingga perlu dilakukan eliminasi pengotor dengan fraksinasi. Ekstrak maserat difraksinasi dengan n-heksan untuk mengeliminasi klorofil, resin dan lipida, sehingga pada fraksi tak larut n-heksan hanya tertinggal senyawa flavonoid dengan kadar yang tinggi. Untuk ekstrak dekokta perlu difraksinasi dengan etanol 96% untuk menarik senyawa-senyawa flavonoid dan meninggalkan protein, asam amino, dan mineral dalam fraksi tak larut etanol.

G. 1.

Hipotesis

Metode ekstraksi yang lebih efektif untuk memperoleh kadar flavonoid total paling tinggi dalam ekstrak daun asam jawa adalah secara maserasi.

2.

Ekstrak yang dilakukan fraksinasi memiliki kadar flavonoid total dalam ekstrak daun asam jawa lebih tinggi dibandingkan tanpa fraksinasi.