BAB I PENGANTAR ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR

keragaman, kesederajatan, dan kemartabatan manusia dengan ... 5. Problematika peradaban pada kehidupan manusia e. Manusia, Keragaman dan Kesetaraan; 1...

4 downloads 819 Views 1MB Size
BAB I PENGANTAR ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR A. HAKIKAT, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP 1. Hakikat Ilmu Soaial dan Budaya Dasar (ISBD) Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) merupakan Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) dengan visi “Berkembangnya mahasiswa sebagai manusia terpelajar yang kritis, peka dan arif dalam memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia yang dilandasi nilai-nilai estetika, etika, dan mmoral dalam kehidupan bermasyarakat”. Adapun misinya adalah “Memberikan landasan dan wawasan yang luas, serta menumbuhkan sikap kritis, pekam dan arif pada mahasiswa untuk memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat selaku individu dan makhluk social yang beradab serta bertanggung jawab terhadap sumber daya dan lingkungannya”. ISBD bukanlah suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, melainkan suatu rangkaian pengetahuan mengenai aspek-aspek yang paling dasar yang ada dalam kehidupan manusia sebagai makhluk social yang berbudaya, dan masalah-masalah yang terwujud daripadanya. Selain itu, mata kuliah ini pada prinsipnya sebagai pengatur dasar menuju pengenalan teori ilmu-ilmu social dan kebudayaan sehingga diharapkan mahasiswa dapat memiliki wawasan keilmuan yang bersifat multidisipliner tentang keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

2. Tujuan Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) Berdasarkan hakikat keilmuan di atas, maka tujuan Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) yang merupakan bagian dari Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) adalah:

a.

Mengembangkan kesadaran mahasiswa menguasai pengetahuan tentang keanekaragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia sebagai individu dan makhluk social dalam kehidupan bermasyarakat.

b.

Menumbuhkan sikap kritis, peka dan arif dalam memahami keragaman, kesederajatan, dan kemartabatan manusia dengan landasan nilai estetika, etika, dan moral

dalam kehidupan

bermasyarakat. c.

Memberikan landasan pengetahuan dan wawasan yang luas serta keyakinan

kepada

mahasiswa

sebagai

bekal

bagi

hidup

bermasyarakat, selaku individu dan makhluk social yag beradab dalam mempraktikkan pengetahuan akademik dan keahliannya dan mampu memecahkan maalah social budaya secara arif.

3. Ruang Lingkup Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sosial Dan Budaya (ISBD) Untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) pada perguruan tinggi, berikut ini adalah ruang lingkup dan sub bahasannya. a. Pengantar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) 1. Hakikat dan ruang lingkup ISBD 2. ISBD sebagai MBB dan pendidikan umum; dan 3. ISBD sebagai alternative pemecahan masalah social budaya b. Manusia sebagai Makhluk Budaya: 1. Hakikat manusia sebagai makhluk budaya; 2. Apresiasi terhadap kemanusiaan dan kebudayaan; 3. Etika dan estetika berbudaya 4. Memanusiakan manusia melalui pemahaman konep-konsep dasar manusia; dan 5. Problematika kebudayaan

c. Manusia sebagai Individu dan Makhluk Sosial; 1. Hakikat manusia sebagai individu dan makhluk social; 2. Fungsi dan peran manusia sebagai individu dan makhluk social; 3. Dinamika interaksi social; dan 4. Dilema antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat; d. Manusia dan Peradaban 1. Hakikat peradaban; 2. Manusia sebagai makhluk beradab dan masyarakat adab; 3. Evolusi budaya dan wujud peradaban dalam kehidupan socialbudaya; 4. Dinamika peradaban global; dan 5. Problematika peradaban pada kehidupan manusia e. Manusia, Keragaman dan Kesetaraan; 1. Hakikat keragaman dan kesetaraan manusia; 2. Kemajemukan dalam dinamikan social dan budaya; 3. Keraganan dan kesetaraan sebagai kekayaan social, budaya bangsa; dan 4. Problematika keragaman dan kesetaraan serta solusinya dalam kehidupan masyarakat dan negara f. Manusia, Nilai, Moral, dan Hukum 1. Hakikat, fungsi, dan perwujudan nilai, oral dan hukum dalam kehidupan manusia, masyarakat dan negara; 2. Keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan sebagai wujud masyarakat yang bermoral dan menaati hukum dan 3. Problematika nilai, moral, dan hokum dalam masyarakat dan negara g. Manusia, Sains, Teknologi dan Seni: 1. Hakikat dan makna sains, teknologi dan seni bagi manusia; 2. dampak penyalahgunaan IPTEKS pada kehidupan social dan budaya; dan 3. Problematika pemanfaatan IPTEKS di Indonesia

h. Manusia dan Lingkungan 1. Hakikat dan makna lingkungan bagi manusia; 2. Kualitas penduduk dan lingkungan terhadap kesejahteraan manusia 3. Problematika lingkungan social-budaya yang dihadapi masyarakat; dan 4. Isu-isu penting tentang persoalan lintas budaya dan bangsa.

B. ISBD SEBAGAI MBB DAN PENDIDIKAN UMUM ISBD sebagai bagian dari Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) mempunyai tema pokok, yaitu hubungan timbale balik antara manusia dengan lingkungannya. Dengan wawasan tersebut diharapkan perguruan tinggi mampu menghasilkan tenaga ahli dengan tigas jenis kemampuan secara simultan, yang meliputi: 1. Kemampuan personal: para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan sehingga mampu menunjukkan sikap, tingkah laku dan tidnakan yang mencerminkan kepribadian Indonesia, memahami dan mengenal nilai-nilai keragaman, kemasyarakatan dan kenegaraan, serta memiliki pandangan yang luas dan kepekaan terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. 2. Kemampuan akademis; kemampuan untuk berkomunikasi secara ilmiah baik lisan maupun tulisan, mengusai peralatan analiss, maupun berpikir logis, kritis, istematis, analisis, memiliki kemampuan konsepsional untuk mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang dihadapi, serta mampu menawarkan alternative pemacahannya. 3. Kemampuan professional: kemampuan dalam bidang profesi sesuai keahlian bersangjutan, para ahli diharapkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi dalam bidang profesinya.

C. ISBD SEBAGAI ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH SOSIALBUDAYA Dengan bekal wawasan, sikap, dan perilaku melalui mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) diharapkan mahasiswa dapat menjadi manusia yang memiliki kemampuan personal, kemampuan akademik dan kemampuan professional sehingga para lulusan akan mampu mengenali masalah dan mengatasi masalah tersebut dengan bijaksana. Dengan itu problematika kemanusiaan dan peradaban manusia merupakan fakta objektif yang penting dikenali secara menunjung tinggi pemikiran serta nilai-nilai luhur tradisi. Di samping diurai kondisi objektif konteks keindonesiaan, buku ini juga mengulas lesson learns atau pelajaran berharga dari akta atau fenomena social yang terjadi di sekitar lingkungan kita baik yang dialami secara langsung atau tidak langsung dalam perspektif lintas keilmuan secara simultan. Pendekatan multidisipliner dipilih guna menstimulus mahasiswa berpikir terbuka dan kritis atas apa yang didengar, dimengerti, dipahami, dan dikonsepsikannya selama ini agar dapat didiskusikan dan dikomunikasikan menjadi pengetahuan yang ilmiah.

BAB II MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERBUDAYA BERETIKA DAN BERESTETIKA

A. KEBUDAYAAN 1. Pengertian Kebudayaan Kata “Kebudayaan” dan “culture”. Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan : “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi-daya,budi-daya, yang berarti “daya dari budi”. 6 Karena itu mereka membedakan “budaya” dari “kebudayaan”. Demikianlah “budaya” adalah “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan “kebudayaan” adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.7 Dalam istilah “antropologi-budaya” perbedaan itu ditiadakan. Kata “budaya” di sini hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari “kebudayaan” dengan arti yang sama. Adapun kata cultur, yang merupakan kata asing yang sama artinya dengan “kebudayaan” berasal dari kata Latin colore yangt berarti “mengolah, menegrjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam”.

4.

Lihatlah karangan A. Davis, Social Class Influences Upon Learning (1948) : Hlm. 59

5.

Lihatlah buku pelejaran A. Hoebel, Man in the Primitive World. An Introduction to Anthropology. New York, Mc Graw Hill (1958 : hlm. 152 – 153).

6.

Lihat buku P.J. Zoetmulder, Cultuur, Oost en West. Amsterdam, C.P.J. van der Peet (1951).

7.

Lihatlah karangan M.M. Djojodigoeno, Azsz-Azas Sosiologi (1958) : hlm. 24 – 27.

Dua sarjana Antropologi Al Kroeber dan C Kluckhon pernah mengumpulkan sebanyak mungkin definisi tentang kebudayaan, ternyata bahwa ada paling sedikit 160 buah definisi, ke 160 buah definisi itu, kemudian mereka analisa, dicari latar belakang, prinsip beberapa tipe definisi antara lain : 1) E. B. Tylor, budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. 2) R. Linton, kebudayaan dapat dipandang sebagian konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku dipelajari, di mana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya. 3) Koentjaraningrat,

mengartikan

bahwa

kebudayaan

adalah

keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar. 4) Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. 5) Herkovits, kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia. Dengan demikian, kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia baik material maupun non-material. Sebagian besar ahli yang mengartikan kebudayaan seperti ini kemungkinan besar sangat dipengaruhi oleh pandangan evolusionisme, yaitu suatu suatu teori yang mengataakan bahwa kebudayaan itu akan berkembang dari tahapan yang sederhana menuju tahapan yang lebih kompleks.

2. Tiga Wujud Kebudayaan Pengarang buku ini setuju sekali dengan pendapat seorang ahli sosiologi, Talcott Parsons yang bersama dengan seorang ahli antropologi A.L. Kroeber pernah menganjurkan untuk membedakan secara tajam wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep

dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola.10 Maka, serupa dengan J.J. Honigmann yang dalam buku pelajaran antropologinya yang berjudul The World of Man (1959 : hlm. 11 – 12) membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”, yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts, pengarang berpendirian bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yaitu : 1.

Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, ggasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2.

Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

3.

Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifat-sifatnya

abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepalakepala, atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat tadi menyatakan gagasan mereka tadi dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal penulis warga masyarakat bersangkutan. Sekarang kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam disk, arsip, koleksi micro film dan mikrofish, kartu komputer, silinder, dan pita komputer. Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasangagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini sistem budaya, atau cultural system. Dalam Bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang sangat tepat untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu adat, atau adat-istiadat untuk bentuk jamaknya. Wujud kedua dari kebudayaan yang disebut sistem sosial atau social system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain dari detik ke

detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi. Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan tak memerlukan banyak penjelasan. Karena berupa seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Ada benda-benda yang sangat besar seperti pabrik baja : ada benda-benda yang amat kompleks dan canggih, seperti komputer berkapasitas tinggi; atau benda-benda yang besar dan bergerak, suatu kapal tangki minyak; ada bangunan hasil seni arsitek seperti suatu candi yang indah; atau ada pula benda-benda kecil seperti kain batik, atau yang lebih kecil lagi, yaitu kancing baju. Ketiga wujud dari kebudayaan terurai diatas, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ideal dan adat istiadat mengatur dan memebri arah kepada tindakan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauh manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya. Sehubungan ketiga wujud dari kebudayaan tadi erat berkaitan, toh untuk keperluan analisa perlu diadakan pemisahan yang tajam antara tiap-tiap wujud itu. Hal ini sering dilupakan; tidak hanya dalam diskusidiskusi atau dalam pekerjaan sehari-hari ketiga wujud dari kebudayaan tadi sering dikacaukan, melainkan juga dalam analisa ilmiah oleh para sarjana yang menamakan dirinya ahli kebudayaan atau ahli masyarakat,

dan sering tidak dapat dibuat pemisahan yang tajam antara ketiga hal terurai di atas. Seorang sarjana antropologi dapat meneliti hanya sistem budaya, atau adat dari suatu kebudayaan tertentu. Dalam pekerjaan itu ia akan mengkhususkan perhatiannya terutama pada cita-cita, nilai-nilai budaya, dan pandangan hidup, norma-norma dan hukum, pengetahuan dan keyakinan dari manusia yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Ia dapat juga meneliti tindakan, aktivitas-aktivitas dan karya manusia itu sendiri, tetapi dapat juga mengkhususkan perhatiannya pada hasil dari karya manusia yang bisa berupa benda peralatan, benda kesenian, atau bangunan-bangunan. Semua unsur kebudayaan dapat dipandang dari sudut ketika wujud masing-masing tadi. Sebagai contoh dapat kita ambil misalnya Universitas

Muhammadiyah

Surakarta.

sebagai

sualu

lembaga

pendidikan tinggi, universitas tersebut merupakan suatu unsur dalam rangka kebudayaan Indonesia sebagai keseluruhan. Maka oleh karena itu universitas dapat merupakan suatu unsur kebudayaan yang ideal, yang pada khususnya terdiri dari cita-cita universitas, norma-norma untuk para karyawan, dosen atau mahasiswanya, aturan ujian, pandanganpandangan, baik yang bersifat ilmiah maupun yang populer, dan sebainya. Sebaliknya, Iniversitas Muhammadiyah Surakarta juga terdiri dari suatu rangkaian aktivitas dan tindakan dimana manusia saling berhubungan atau berinteraksi dalam hal melaksanakan berbagai macam hal. Ada orang yang memberi kuliah, ada lainnya yang mendengarkan dan mencatat kuliah-kuliah tadi, ada orang yang menguji, ada lainnya yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian tadi, ada orang yang mengetik surat-surat, lainnya lagi mengatur buku, dan sebagainya. Namun, lepas dari itu semua, orang dapat juga mengadakan penelitian tentang Universitas Muhammadiyah Surakartatanpa memperhatikan halhal tersebut di atas. Ia hanya memperhatikan universitas sebagai himpunan benda fisik yang harus diinventarisasi. Itulah sebabnya ia

hanya melihat Universitas Muhammadiyah Surakarta sebagai suatu suatu kompleks

gedung-gedung,

ruang-ruang,

sekumpulan

meja

tulis,

komputer, timbunan-timbunan dan alat-alat lainnya saja.

3. Unsur-Unsur Kebudayaan Universal Unsur-unsur Kebudayaan Universal. Keseluruhan dri tindakan manuia yang beropla itu berkisar sekitar pranata-pranata tertentu yang amat banyak jumlahnya; dengan demikian sebenarnya suatu masyarakat yang luas selalu dapat kita perinci ke dalam pranata-pranata yang khusus. Sejajar dengan itu suatu kebudayaan yang luas itu selalu dapat pila kita perinci ke dalam unsur-unsurnya yang khusus. Para sarjana antropologi yang biasa menanggapi suatu kebudayaan (misalnya kebudayaan Minangkabau, kebudayaan Bali, atau kebudayaan Jepang) sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, pada waktu analisa membagi keseluruhan itu ke dalam unsur-unsur besar yang disebut “unsur-unsur kebudayaan universal” atau cultural universals. Istilah universal itu menunjukkan bahwa unsur-unur tadi bersifat universal, jadi unur-unsur tadi ada dan bisa didapatkan di dalam semua kebudayaan dari semua bangsa dimanapun di dunia. Mengenai apa yang diebut cultural universals itu, ada beberapa pandangan yang berbeda di antara para sarjana antropologi. Berbagai pandangan yang berbeda itu serta alasan perbedaannya diuraikan oleh C. Kluckhohn dalam sebuah karangan yang berjudul Universal Categories of Cilture (1953).14 Dengan mengambil sari dari berbagai karangan tentang unsur-unsur kebudayaan universal yang disusun oleh beberapa sarjana antropologi itu, ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat lita sebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah : 1.

Bahasa

2.

Sistem Pengetahuan

3.

Organisasi Sosial

4.

Sistem peralatan hidup dan teknologi

5.

Sistem mats pencaharian hidup

6.

Sistem religi

7.

Kesenian

Tiap-tiap unsur kebudayaan universal sudah tentu juga menjelma dalam ketiga wujud kebudayaan terurai di atas, yaitu wujudnya yang berupa sistem budaya, yang berupa sistem social, dan yang berupa unsur-unsur kebudayaan mempunyai

fisik.

Dengan

wujudnya

demikian

sebagai

sistem

konsep-konsep,

ekonomi

misalnya

rencana-rencana,

kebijaksanaan, adat istiadat yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi mempunyai juga wujudnya yang berupa tindakan-tindakan dan interaksi berpola antara produsen, tengkulak, pedagang, ahli transpor, pengecer dengan konsumen, dan kecuali itu dalam sistem ekonomi terdapat juga unsur-unsurnya yang berupa peralatan, komoditi, dan benda-benda ekonomi. Demikian juga sistem religi misalnya mempunyai wujudnya sebagai sistem keyakinan, dan gagasan-gagasan tentang 'Puhan, dews-dews, roh-roh halus, neraka, sorga dan sebagainya, tetapi mempunyai juga wujudnya yang berupa upacara-upacara, baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala, dan kecuali itu setiap sistem religi juga mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan benda-benda religius. Contoh lain adalah unsur universal kesenian yang dapat berwujud gagasangagasan, ciptaan-ciptaan pikiran, ceritera-ceritera dan syair-syair yang indah. Namun kesenian juga dapat berwujud tindakan-tindakan interaksi berpola antara seniman pencipta, seniman penyelenggara, sponsor kesenian, pendengar, penonton, dan konsumen hasil kesenian; tetapi kecuali itu semua kesenian juga berupa bends-bends indah, candi, kain tenun yang indah, bends-bends kerajinan, dan sebagainya. Unsur pokok kebudayaan (menurut Bronislaw Malinowski) : 

Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.



Organisasi ekonomi.



Alat-alat dan lembaga pendidikan.



Organisasi kekuatan.

Melville J. Herkovits menyebut unsur pokok kebudayaan adalah : 

Alat-alat teknologi



Sisten ekonomi



Keluarga



Kekuasaan politik

4. Sifat-Sifat Kebudayaan Kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak sama, eperti di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang berbeda, tetapi setiap kebudayaan mempunyai ciri atau ifat yang sama. Sifat tersebut bukan diartikan secara spesifik, melainkan bersiifat universal. Di mana sifat-sifat budaya itu akan memiliki ciri-ciri yang sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor ras, lingkungan alam, atau pendidikan. Yaitu sifat hakiki yang berlaku umum bagi semua budaya di mana pun. Sifat hakiki dari kebudayaan tersebut antara lain : 1. Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia. 2. Budaya telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan. 3. Budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya. 4. Budaya

mencakup

aturan-aturan

yang

berisikan

kewajiban-

kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakantindakan yang dilarang, dan tindakan-tindakan yang diizinkan.

5.

Manusia sebagai Pencipta dan Pengguna Kebudayaan Tercipta atau terwujudnya suatu kebudayaan adalah sebagai hasil interaksi antara manusia dengan segala isi alam raya ini. Manusia yang telah dilengkapi Tuhan dengan akal clan pikirannya menjadikan mereka khalifah di muka bumi clan diberikan kemampuan yang disebutkan oleh Supartono (dalam Rafael Raga Maran, 1999:36) sebagai daya manusia. Manusia memiliki kemampuan daya antara lain akal, intelegensia, dan intuisi; perasaan dan emosi; kemauan; fantasi; dan perilaku. Dengan sumber-sumber kemampuan daya manusia tersebut, nyatalah bahwa manusia menciptakan kebudayaan. Ada hubungan dialektika antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena ada manusia penciptanya dan manusia dapat

hidup

Kebudayaan

di

akan

tengah terus

kebudayaan

hidup

manakala

yang ada

diciptakannya. manusia

sebagai

pendukungnya. Dialektika ini didasarkan pada pendapat Peter L. Berger, yang

menyebutkan

sebagai

dialektika

fundamental.

Dialektika

fundamental ini terdiri dari tiga tahap: tahap eksternalisasi, tahap objektivasi, dan tahap internalisasi. Tahap eksternalisasi adalah proses pencurahan diri manusia secara terus-menerus ke dalam dunia melalui aktivitas fisik dan mental. Tahap objektivitas adalah tahap aktivitas manusia menghasilkan suatu realita objektif, yang berada di luar diri manusia. Tahap internalisasi adalah tahap di mana realitas objektif hasil ciptaan manusia diserap oleh manusia kembali. Jadi, ada hubungan berkelanjutan antara realitas internal dengan realitas eksternal. (Yusdi Ahmad, Makalah, 2006 : 5) Kebudayaan mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi manusia. Bermacam-macam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggotanya seperti kekuatan alam maupun kekuatan lain yang tidak selalu baiknya. Kecuali itu, manusia memerlukan kepuasan baik di bidang spiritual maupun material. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi oleh

kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri. Hasil karya manusia menimbulkan teknologi yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi manusia terhadap lingkungan alamnya. Sehingga kebudayaan memiliki peran sebagai: 1. Suatu hubungan pedoman antarmanusia atau kelompoknya. 2. Wadah untuk menyalurkan perasaan-perasaan dan kemampuan kemampuan lain. 3. Sebagai pembimbing kehidupan clan penghidupan manusia. 4. Pembeda manusia clan binatang. 5. Petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak dan berperilaku di dalam pergaulan. 6. Pengaturan agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikapnya jika berhubungan dengan orang lain. 7. Sebagai modal dasar pembangunan. Manusia merupakan makhluk yang berbudaya, melalui akalnya manusia dapat mengembangkan kebudayaan. Begitu pula manusia hidup dan tergantung pada kebudayaan sebagai hasil ciptaannya. Kebudayaan juga memberikan aturan bagi manusia dalam mengolah lingkungan dengan teknologi hasil ciptaannya. Kebudayaan mempunyai fungsi yang besar bagi manusia dan masyarakat, berbagai macam kekuatan harus dihadapi manusia dan masyarakat seperti kekuatan alam dan kekuatan lain. Selain itu manusia dan masyarakat memerlukan kepuasan baik secara spiritual maupun materil. Kebudayaan masyarakat tersebut sebagian besar dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri. Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi masyarakat terhadap lingkungan di dalamnya. Dalam tindakan untuk melindungi diri dari lingkungan alam, pada

taraf permulaan manusia bersikap menyerah dan semata-mata bertindak di dalam batas-batas untuk melindungi dirinya. Keadaan yang berbeda pada masyarakat yang telah kompleks, di mana taraf kebudayaannya lebih tinggi. Hasil karya tersebut yaitu teknologi yang memberikan kemungkinan yang luas untuk memanfaatkan hasil alam bahkan menguasai alam.

6.

Pengaruh Kebudayaan Terhadap Lingkungan Budaya yang dikembangkan oleh manusia akan berimplikasi pada lingkungan tempat kebudayaan itu berkembang. Suatu kebudayaan memancarkan suatu ciri khas dari masyarakatnya yang tampak dari luar, artinya orang asing. Dengan menganalisis pengaruh akibat budaya terhadap lingkungan seseorang dapat mengetahui, mengapa suatu lingkungan tertentu akan berbeda dengan lingkungan lainnya dan menghasilkan kebudayaan yang berbeda pula. Usaha untuk menjelaskan perilaku manusia sebagai perilaku budaya dalam kaidah dengan lingkungannya, terlebih lagi perspektif lintas budaya akan mengandung

banyak variabel yang saling

berhubungan dalam keseluruhan sistem terbuka. Pendekatan yang saling berhubungan dengan psikologi lingkungan adalah pendekatan sistem yang melihat rangkaian sistemik antara beberapa subsistem yang ada dalam melihat kenyataan lingkungan total yang melingkupi satuan budaya yang ada. Beberapa variabel yang berhubungan dengan masalah kebudayaan dan lingkungan: 

Physical Environment, menunjuk pada lingkungan natural seperti: temperatur, curah hujan, iklim, wilayah geografis, flora, dan fauna.



Cultural Social Environment, meliputi aspek-aspek kebudayaan beserta proses sosialisasi seperti: normanorma, adat istiadat, dan nilai-nilai.



Environmental Orientation and Representation, mengacu pada persepsi dan kepercayaan kognitif yang berbedabeda pada setiap masyarakat mengenai lingkungannya.



Environmental

Behavior

and

Process, meliputi

bagaimana

masyarakat menggunakan lingkungan dalam hubungan sosial. 

Out Carries Product, meliputi hasil tindakan manusia seperti membangun rumah, komunitas, kota beserta usaha-usaha manusia dalam memodifikasi lingkungan fisik seperti budaya pertanian dan iklim. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kebudayaan yang

berlaku dan dikembangkan dalam lingkungan tertentu berimplikasi terhadap pola tata laku, norma, nilai dan aspek kehidupan lainnya yang akan menjadi ciri khas suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya

7.

Proses dan Perkembangan Kebudayaan Sebagaimana diketahui bahwa kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia oleh karenanya kebudayaan mengalami perubahan dan perkembangannya sejalan dengan perkembangan manusia itu. Perkembangan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan manusia sendiri, karena kebudayaan diciptakan oleh dan untuk manusia. Perkembangan kebudayaan terhadap dinamika kehidupan seseorang

bersifat

kompleks,

dan

memiliki

eksistensi

clan

berkesinambungan dan juga menjadi warisan sosial. Seseorang mampu memengaruhi kebudayaan dan memberikan peluang untuk terjadinya perubahan kebudayaan. Kebudayaan yang dimiliki suatu kelompok sosial tidak akan terhindar dari pengaruh kebudayaan kelompok-kelompok lain dengan adanya kontak-kontak antar kelompok atau melalui proses difusi. Suatu kelompok sosial; akan mengadopsi suatu kebudayaan tertentu bilamana kebudayaan tersebut berguna untuk mengatasi atau memenuhi tuntutan yang dihadapinya.

Pengadopsian suatu kebudayaan tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor lingkungan fisik. Misalnya iklim, topografi sumber daya alam dan sejenisnya. Sebagai contoh: orang-orang yang hidup di daerah yang kondisi lahan atau tanahnya subur (produktif) akan mendorong terciptanya suatu kehidupan yang favourable untuk memproduksi bahan pangan. Jadi, terjadi suatu proses keserasian antara lingkungan fisik dengan kebudayaan yang terbentuk di lingkungan tersebut, kemudian ada keserasian juga antara kebudayaan masyarakat yang satu dengan kebudayaan masyarakat tetangga dekat. Kondisi lingkungan seperti ini memberikan peluang untuk berkembangnya peradaban (kebudayaan) yang lebih maju. Misalnya, dibangun sistem irigasi, teknologi pengolahan lahan dan makanan, dan lain sebagainya. Kebudayaan dari suatu kelompok sosial tidak secara komplet ditentukan oleh lingkungan fisik saja, namun lingkungan tersebut sekadar memberikan peluang untuk terbentuknya sebuah kebudayaan. Dari waktu ke waktu, kebudayaan berkembang seiring dengan majunya teknologi (dalam hal ini adalah sistem telekomunikasi) yang sangat berperan dalam kehidupan setiap manusia. Perkembangan

zaman

mendorong

terjadinya

perubahan-

perubahan di segala bidang, termasuk dalam hal kebudayaan. Mau tidak mau kebudayaan yang dianut suatu kelompok sosial akan bergeser. Cepat atau lambat pergeseran ini akan

menimbulkan

konflik

antara

kelompok-kelompok

yang

menghendaki perubahan dengan kelompok-kelompok yang tidak menghendaki perubahan. Suatu kamunitas dalam kelompok sosial bisa saja menginginkan adanya perubahan dalam kebudayaan yang mereka anut, dengan alasan sudah tidak sesuai lagi dengan zaman yang mereka hadapi saat ini. Namun, perubahan kebudayaan ini kadang kala disalahartikan menjadi suatu penyimpang Kebudayaan. Interpretasi ini mengambil dasar pada adanya budaya-budaya baru yang tumbuh dalam komunitas mereka yang bertentangan dengan keyakinan mereka

sebagai penganut kebudayaan tradisional selama turun-temurun. Hal yang terpenting dalam proses pengembangan kebudayaan adalah dengan adanya kontrol atau kendali terhadap perilaku reguler (yang tampak) yang ditampilkan oleh para penganut kebudayaan. Karena tidak jarang perilaku yang ditampilkan sangat bertolak belakang dengan budaya yang dianut di dalam kelompok sosialnya. Yang diperlukan di sini adalah kontrol sosial yang ada di masyarakat, yang menjadi suatu 'cambuk' bagi komunitas yang menganut kebudayaan tersebut. Sehingga mereka dapat memilah-milah, mana kebudayaan yang sesuai dan mana yang tidak sesuai.

8.

Problematika Kebudayaan Beberapa Problematika Kebudayaan antara lain: 1.

Hambatan budaya yang berkaitan dengan pandangan hidup dan sistem kepercayaan. Keterkaitan orang Jawa terhadap tanah yang mereka tempati secara turun-temurun diyakini sebagai pemberi berkah kehidupan. Mereka enggan meninggalkan kampung halamannya atau beralih pola hidup sebagai petani. Padahal hidup mereka umumnya miskin.

2.

Hambatan budaya yang berkaitan dengan perbedaan persepsi atau sudut pandang hambatan budaya yang berkaitan

dengan

perbedaan persepsi atau sudut pandang ini dapat terjadi antara masyarakat dan pelaksana pembangunan. Contohnya, program Keluarga Berencana atau KB semula ditolak masyarakat, mereka beranggapan bahwa banyak anak banyak rezeki. 3.

Hambatan budaya berkaitan dengan faktor psikologi atau kejiwaan. Upaya untuk mentransmigrasikan penduduk dari daerah yang terkena bencana alam banyak mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiran penduduk bahwa di tempat

yang baru

hidup

mereka

akan

lebih

dibandingkan dengan hidup mereka di tempat yang lama.

sengsara

4.

Masyarakat yang terasing clan kurang komunikasi dengan masyarakat luar. Masyarakat daerah-daerah terpencil yang kurang komunikasi dengan masyarakat luar, karena pengetahuannya serba terbatas, seolah-olah

tertutup

untuk

menerima

program-program

pembangunan. 5.

Sikap tradisionalisme yang berprasangka buruk terhadap halhal baru. Sikap ini sangat mengagung-agungkan budaya tradisional sedemikian rupa, yang menganggap hal-hal baru itu akan merusak tatanan hidup mereka yang sudah mereka miliki secara turuntemurun.

6 . Sikap Etnosentrisme. Sikap etnosentrisme adalah sikap yang mengagungkan budaya suku bangsanya sendiri dan menganggap rendah budaya suku bangsa lain. Sikap semacam ini akan mudah memicu timbulnya kasuskasus sara, yakni pertentangan suku, agama, ras, dan antargolongan. Kebudayaan yang berkembang dalam suatu wilayah seperti Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beberapa suku bangsa

dan

budaya

yang

beraneka

ragam.

Masing-masing

kebudayaan itu dianggap sebagai satu ciri khas daerah lokal. Yang terkadang justru menimbulkan sikap etnosentrisme pada anggota masyarakat dalam memandang kebudayaan orang lain. Sikap

etnosentrisme

dapat

menimbulkan

kecenderungan

perpecahan dengan sikap kelakuan yang lebih tinggi terhadap budaya lain. 7.

,

Perkembangan IPTEK sebagai hasil dari kebudayaan, sering kali disalahgunakan oleh manusia, sebagai contoh nuklir dan bom dibuat justru untuk menghancurkan manusia bukan untuk melestarikan suatu generasi, obat-obatan diciptakan untuk

kesehatan tetapi dalam penggunaannya banyak disalahgunakan yang justru mengganggu kesehatan manusia.

9.

Perubahan Kebudayaan Sebagaimana

diketahui

bahwa

kebudayaan

mengalami

perkembangan (dinamis) seiring dengan perkembangan manusia itu sendiri, oleh karenanya tidak ada kebudayaan yang bersifat statis. Dengan demikian, kebudayaan akan mengalami perubahan. Ada lima faktor yang menjadi penyebab perubahan kebudayaan, yaitu: a. Perubahan lingkungan alam. b. Perubahan yang disebabkan adanya kontak dengan suatu kelompok lain. c. Perubahan karena adanya penemuan (discovery). d. Perubahan yang terjadi karena suatu masyarakat atau bangsa mengadopsi beberapa elemen kebudayaan material yang telah dikembangkan oleh bangsa lain di tempat lain. e. Perubahan yang terjadi karena suatu bangsa memodifikasi cara hidupnya

dengan

mengadopsi

suatu

pengetahuan

atau

kepercayaan baru, atau karena perubahan dalam pandangan hidup dan konsepsinya tentang realitas. Namun, perubahan kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, dan rasa manusia adalah tentu saja perubahan yang memberi nilai manfaat bagi manusia dan kemanusiaan, bukan sebaliknya, yaitu yang akan memusnahkan manusia sebagai pencipta kebudayaan tersebut.

B.

ETIKA 1.

Pengertian Etika Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut "etika" berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya ,adalah: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi lafar belakang bagi terbentuknya istilah "etika" yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 s.M.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka "etika" berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Tapi menelusuri arti etimologis saja belum

cukup

untuk

mengerti

apa

yang

dalam

buku

ini

dimaksudkan dengan istilah "etika". Mendengar keterangan etimologis ini, mungkin kita teringat bahwa dalam bahasa Indonesia pun kata "ethos" cu kup banyak dipakai, misalnya dalam kombinasi "ethos kerja", "ethos profesi", dan sebagainya. Memang ini suatu kata yang diterima dalam bahasa Indonesia dari bahasa Yunani (dan karena itu sebaiknya dipertahankan ejaan aslinya "ethos"), tapi tidak langsung melainkan melalui bahasa Inggris, di mana-seperti dalam banyak bahasa modern lain-kata itu termasuk kosa kata yang baku. Dalam buku ini kita akan memanfaatkan juga istilah "ethos" ini. Kata yang cukup dekat dengan "etika" adalah "moral". Kata terakhir ini berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia (pertama kali dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988), kata mores masih dipakai dalam arti yang sama. Jadi, etimologi kata "etika" sama

dengan etimologi kata "moral", karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda: yang pertama berasal dari bahasa Yunani, sedang yang kedua dari bahasa Latin Sekarang kita kembali ke istilah "etika". Setelah mempelajari dulu asal-usulnya, sekarang kita berusaha menyimak artinya. Salah satu cara terbaik untuk mencari arti sebuah kata adalah melihat dalam kamus. Mengenai kata “etika" ada perbedaan yang mencolok, jika kita meembandingkan apa yang dikatakan dalam kamus yang lama dengan kamus, yang baru. Dal am

Kamus

Umum

Bahasa

Indonesia

yang

lama

(Poerwadarminta, sejak 1953) "etika" dijelaskan sebagai: "ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)". Jadi, kamus lama hanya mengenal satu arti, yaitu etika sebagai ilmu. Seandainya penjelasan ini benar dan kita membaca dalam koran "Dalam dunia bisnis etika merosot terus", maka kata "etika" di sini hanya bisa berarti "etika sebagai ilmu". Tapi yang dimaksudkan dalam kalimat seperti itu ternyata bukan etika sebagai

ilmu. Kita bisa

menyimpulkan bahwa kamus lama dalam penjelasannya tidak lengkap. Jika kita melihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan Kebudayaan, 1988), di situ "etika" dijelaskan dengan membedakan tiga arti: “1). ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 'DalamKamusBesarBahcuaIndonesia edisi ke-2 (1991) dan edisi ke-3 (2001) ada perubahan. Di situ dimuat dua entri: "etik" dan "etika". Etik meliputi arti ke-2 dan ke-3 dari "etika" dalam edisi 1988, sedangkan "etika" (dalam edisi 1991 dan 2001) dikhususkan untuk ilmunya. Sehingga "etika" dimengerti sebagai ilmu tentang "etik", Mengapa ada perubahan ini? Karena para ahli bahasa berpendapat bahwa istilah dengan akhiran-"ika" harus dipakai untuk menunjukkan ilmu. Seperti misalnya "statistika" adalah ilmu tentang "statistik". Demikian keinginan para ahli bahasa. Tetapi dalam bahasa sehari-sehari keinginan ini tidak (belum?)

3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat". Kamus baru ini memang lebih lengkap. Dengan penjelasan ini dapat kita mengerti kalimat seperti "Dalam dunia bisnis etika merosot terus", karena di sini "etika" ternyata dipakai dalam arti yang ketiga. Setelah mempelajari penjelasan kamus, kami memilih tetap membedakan tiga arti mrngenai kata "etika" ini. Tetapi urutannya mungkin lebih baik terbalik, karena arti ke-3 dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 1998 lebih mendasar daripada arti pertama, sehingga sebaiknya ditempatkan di depan. Perumusannya juga bisa dipertajam lagi. Dengan demikian kita sampai pada tiga arti berikut ini. Pertama, kata "etika" bisa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, jika orang berbicara tentang "etika suku-suku Indian", "etika agama Budha", "etika Protestan" (ingat akan buku termasyhur Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism), maka tidak dimaksudkan "ilmu", melainkan arti pertama tadi. Secara singkat, arti ini bisa dirumuskan juga sebagai "sistem nilai". Dan boleh dicatat lagi, sistem nilai itu bisa berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial. Kedua, "etika" berarti juga: kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Beberapa tahun yang lalu oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia diterbitkan sebuah kode etik untuk rumah sakit yang diberi judul: "Etika Rumah Sakit Indonesia" (1986), disingkatkan sebagai ERSI. Di sini dengan "etika" jelas dimaksudkan kode etik. Ketiga, "etika" mempunyai arti lagi: ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika baru menjadi ilmu,

diikuti. Dan yang kita teliti di sini adalah bagaimana istilah ini pada kenyataannya dipakai dalam masyarakat, bukan bagaimana seharusnya dipakai menurut norma ilmu bahasa. Karena itu untuk maksud kita penjelasan dari edisi 1988 masih bisa dianggap paling tepat .

bila kemungkinan-kemungkinan etis (asa-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat-sering kali tanpa disadari-menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral. Tentang kata "moral" sudah kita lihat bahwa etimologi nya sama dengan "etika", sekalipun hahasa asalnya berbeda. Jika sekarang kita memandang arti kata "moral", perlu kita simpulkan bahwa artinya (sekurang-kurangnya arti yang relevan untuk kita, di samping arti lain yang tidak perlu disinggung di sini) sama dengan "etika" menurut arti pertama tadi, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kita mengatakan, misalnya, bahwa perbuatan seseorang tidak bermoral. Dengan itu dimaksud bahwa kita menganggap perbuatan orang itu niclanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau kita mengatakan bahwa kelompok pemakai narkotika mempunyai moral yang bejat, artinya, mereka berpegang pada nilai dan norma yang tidak baik. "Moralitas" (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan "moral", hanya ada nada lebih abstrak. Kita berbicara tentang "moralitas suatu perbuatan", artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan bai dan buruk

2. Etiket Dan Etika Dalam rangka menjernihkan istilah, harus kita simak lagi perbedaan antara "etika" dan "etiket". Kerap kali dua istilah ini dicampuradukkan begitu saja, padahal perbedaan di antaranya

sangat hakiki. 2

Stanley L. Jaki. “Decision -making in Business : Amoral?” dalam C. van Dam and L.N.

Stallaert, Trends in Busine Ethics, Leiden / Boston, Martinus Nijhoff, 1978, hlm. 1 -10.

"Etika" di sini berarti "moral" dan "etiket" berarti "sopan santun (tentu saja, di samping arti lain: "secarik kertas yang ditempelkan pada botol atau kemasan barang ). Jika kita melihat asal-usulnya, sebetulnya tidak ada hubungan antara dua istilah ini. Hal itu menjadi lebih jelas, jika kita membandingkan bentuk kata dalam bahasa Inggris, yaitu ethics da n etiquette. Tetapi dipandang menurut artinya, dua istilah ini memang dekat satu sama lain. Di samping perbedaan, ada juga peramaan. Mari kita mulai

dengan

persamaan

itu.

Pertama,

etika

dan

etiket

menyangkut perilaku manusia. Istilah-istilah ini hanya kita pakai mengenai manusia. Hewan tidak mengenal etika maupun etiket. Kedua, baik etika maupun etiket mengatur perilaku manusia secara normatif, artinya, memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian rnenyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Justru karena sifat normatif ini kedua istilah tersebut mudah dicampuradukkan. Namun demikian, ada beberapa perbedaan sangat penting antara etika dan etiket. Di sini kita akan mempelajari sepintas empat macam perbedaan. *

Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Di antara beberapa cara yang mungkin, etiket menunjukkan cara yang tepat, artinya, cara yang diharapkan serta ditentukan dalam suatu kalangan ter tentu. Misalnya, jika saya menyerahkan sesuatu kepada atasan, saya harus menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan.

Dianggap

melanggar

etiket,

bila

orang

menyerahkan sesuatu dengan tangan kiri. Tetapi etika tidak

terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan; etika memberi

norma

tentang

perbuatan itu sendiri.

Etika

menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh di lakukan ya atau tidak. Mengambil barang milik orang lain tanpa izin, tidak pernah diperbolehkan. "Jangan men curi" merupakan suatu norma etika. Apakah orang men curi dengan tangan kanan atau tangan kiri di sini sama sekali tidak relevan. Norma etis tidak terbatas pada cara perbuatan dilakukan, melainkan menyangkut perbuatan itu sendiri. *

Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misalnya, ada banyak peraturan etiket yang mengatur cara kita makan. Dianggap melanggar etiket, bila kita makan sambil berbunyi atau dengan me letakkan kaki di atas meja, dan sebagainya. Tapi kalau saya makan sendiri, saya tidak melanggar etiket, bila makan dengan cara demikian. Sebaliknya, etika selalu berlaku, juga kalau tidak ada saksi mata. Etika tidak tergantung pada hadir tidaknya orang lain. Larangan untuk mencuri selalu btrlaku, entah ada orang lain, hadir atau tidak. Barang yang dipinjam selalu harus dikembalikan, juga jika pemiliknya sudah lupa.

*

Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Contoh yang jelas adalah makan dengan tangan atau tersendawa waktu makan. Lain halnya dengan etika. Etika jauh lebih absolut. "Jangan

mencuri",

"jangan

berbohong",

"jangan

membunuh" merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar atau mudah diberi "dispensasi". Memang benar, ada kesulitan cukup besar mengenai keabsolutan prinsip-prinsip etis yang akan dibicarakan lagi dalam buku ini. Tapi tidak bisa

diragukan, relativitas etiket jauh lebih jelas dan jauh lebih mudah terjadi. * Jika kita berbicara tentang etiket, kita hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja, sedang etika menyangkut manusia dari segi dalam. Bisa saja orang tampil sebagai "musang berbulu ayam": dari luar sangat sopan clan halus, tapi di dalam penuh kebusukan. Banyak penipu berhasil dengan maksud jahat mereka, justru karena penampilannya begitu halus dan menawan hati, sehingga mudah meyakinkan orang lain. Tidak merupakan kontradiksi, jika seseorang selalu berpegang pada etiket dan sekaligus bersikap munafik. Tapi orang yang etis sifatnya tidak mungkin bersikap munafik, sebab seandainya dia munafik, hal itu dengan sendirinya berarti ia tidak bersikap etis. Di sini memang ada kontradiksi. Orang yang bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh baik. Sudah jelaslah kiranya bahwa perbedaan terakhir ini paling penting di antara empat perbedaan yang dibahas tadi. Setelah mempelajari perbedaan antara etika clan etiket ini, barangkali tidak sulit untuk disetujui bahwa konsekuensinya cukup besar, jika dua istilah ini dicampuradukkan tanpa berpikir lebih panjang. Bisa sampai fatal dari segi etis, bila orang menganggap etiket saja apa yang sebenarnya termasuk lingkup moral. Juga tentang istilah-istilah lain yang kita pakai dalam konteks ini haruslah jelas kita kita makudkan atau etiket. Misalnya, jika kita berbicara tentang "suila", "kesusilaan", "tata krama", "budi pekerti", kita mengambil itilah-istilah ini dari lingkup etika atau dari lingkup etiket! Karena ketidakjelasan itu dalam buku ini kita tidak akan menggunakan kata seperti "kesusilaan". Di sisi lain, istilah yang jelas termauk lingkup etika janganlah diperlakukan seolah-olah termasuk linkkup etiket. Menurut pendapat kami, hal itu dilakukan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi 1988)

tentang kata "moralitas" yang dijelaskan sebagai "sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun". Padahal, sesuai dengan pemakaian intemasional sudah menjadi kebiasaan umum memasukkan "moralitas" ke dalam lingkup etika, bukan lingkup etiket.

3.

Teori-Teori Etiket a) Hedonisme Sepanjang sejarah barangkali tidak ada filsafat moral yang lebih mudah dimengerti dan akibatnya tersebar lebih luas seperti hedonisme ini. Maka tidak mengherankan, jika pandangan ini sudah timbul pada awal sejarah filsafat. Atas pertanyaan "apa yang menjadi hal yang terbaik bagi manusia", para hedonis menjawab: kesenangan (hedone dalam bahasa Yunani). Adalah baik apa yang memuaskan keinginan kita, apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita. Dalam filsafat Yunani hedonisme sudah ditemukan pada Aristippos dari Kyrene (sekitar 433-355 s.M.), seorang murid Sokrates. Sokrates telah bertanya tentang tujuan terakhir bagi kehidupan manusia atau apa yang sungguh-sungguh baik bagi manusia, tapi ia sendiri tidak memberikan jawaban yang jelas atas pertanyaan itu clan hanya mengeritik jawaban-jawaban yang dikemukakan oleh orang lain. Aristippos menjawab: yang sungguh baik bagi manusia adalah kesenangan. Hal itu terbukti karena sudah sejak masa kecilnya manusia merasa tertarik akan kesenangan dan bila telah tercapai ia tidak mencari sesuatu yang lain lagi. Sebaliknya, ia selalu menjauhkan diri dari ketidaksenangan. Bagi Aristippos kesenangan itu bersifat badani belaka, karena hakikatnya tidak lain daripada gerak dalam badan.

Mengenai gerak itu ia membedakan tiga

kemungkinan: gerak yang kasar dan itulah ketidaksenangan,

misalnya, rasa sakit; gerak yang halus dan itulah kesenangan; sedangkan tiadanya gerak merupakan suatu keadaan netral, misalnya, jika kita tidur. Aristippos menekankan lagi bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai kesenangan aktual, bukan kesenangan dari masa lampau dan kesenangan di masa mendatang. Sebab, hal-hal terakhir ini hanyalah ingatan akan atau antisipasi atas kesenangan. Yang baik dalam arti

yang

sebenarnya adalah kenikmatan kini dan di sini. Jika kita melihat pandangan Aristippos ini sebagai keseluruhan, perlu kita simpulkan bahwa ia mengerti kesenangan sebagai badani, aktual dan individual. Akan tetapi, ada batas untuk mencari kesenangan. Aristippos pun mengakui perlunya pengendalian diri, sebagaimana sudah diajarkan oleh gurunya, Sokrates. Dalam pada itu mengakui perlunya pengendalian diri tidak sama dengan meninggalkan kesenangan. Yang penting ialah mempergunakan kesenangan dengan baik dan tidak membiarkan diri terbawa olehnya, sebagaimana menggunakan kuda atau perahu tidak berarti meninggalkannya, tapi menguasainya menurut kehendak kita. Konon, kepada teman-teman yang mengeritiknya karena hubungannya dengan seorang wanita penghibur kelas tinggi yang bernama Lais ia menjawab: "Saya memiliki Lais, ia tidak memiliki saya". Secara konsekuen ia berpendapat juga bahwa manusia harus membatasi diri pada kesenangan yang diperoleh dengan mudah dan tidak perlu mengusahakan kesenangan dengan susah payah serta bekerja keras. Filsuf Yunani lain yang melanjutkan hedonisme adalah Epikuros (341-270 s.M.), yang memimpin sebuah sekolah filsafat di Athena. Epikuros pun melihat kesenangan (hedone) sebagai tujuan kehidupan manusia. Menurut kodratnya setiap manusia mencari kesenangan, tapi pengertiannya tentang kesenangan

lebih luas daripada pandangan Aristippos. Walaupun tubuh manusia merupakan "asas serta akar" segala kesenangan dan akibatnya kesenangan badani harus dianggap paling hakiki, namun Epikuros mengakui adanya kesenangan yang melebihi tahap badani. Dalam sepucuk surat ia menulis: "Bila kami mempertahankan bahwa kesenangan adalah tujuannya, kami tidak maksudkan kesenangan inderawi, tapi kebebasan dari nyeri dalam tubuh kita dan kebebasan dari keresahan dalam jiwa" (Surat kepada Menoikeus). Tapi kesenangan rohani itu hanyalah bentuk yang diperhalus dari kesenangan badani. la juga tidak membatasi kesenangan pada kesenangan aktual saja. Dalam menilai kesenangan, menurut Epikuros kita harus memandang kehidupan sebagai keseluruhan termasuk juga masa lampau dan masa depan. Biarpun pada dasarnya setiap kesenangan bisa dinilai baik, namun itu tidak berarti bahwa setiap kesenangan harus dimanfaatkan juga. Dalam hal ini pentinglah pembedaan yang diajukan Epikuros antara tiga macam keinginan: keinginan alamiah yang perlu (seperti makanan), keinginan alamiah yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), dan keinginan yang siasia (seperti kekayaan). Hanya keinginan macam pertama harus dipuaskan dan pemuasannya secara terbatas menghasilkan kesenangan paling besar. Karena itu Epikuros menganjurkan semacam "pola hidup sederhana". Orang bijaksana akan berusaha sedapat mungkin hidup terlepas dari keinginan. Dengan demikian manusia akan mencapai ataraxia, ketenangan jiwa atau keadaan jiwa seimbang yang tidak membiarkan diri terganggu oleh hal-hal yang lain. Ataraxia begitu penting bagi Epikuros, sehingga ia menyebutnya juga tujuan kehidupan manusia (di samping kesenangan). Ataraxia berperanan bagi jiwa, seperti kesehatan bagi badan. Orang bijaksana yang memperoleh ketenangan jiwa

itu akan berhasil mengusir segala macam ketakutan (untuk kematian, dewa-dewa dan suratan nasib), menjauhkan diri dari kehidupan politik dan menikmati pergaulan dengan sahabat. b.

Eudemonisme Pandangan ini berasal dari filsuf Yunani besar, Aris toteles (384-322 s.M.). Dalam bukunya, Ethika Nikomakhei«, ia mulai dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiap perbuatan kita ingin mencapai sesuatu yang baik bagi kita. Scring kali kita mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain lagi. Misalnya, kita minum obat untuk bisa tidur dan kita

tidur

untuk

dapat

memulihkan

kesehatan.

Timbul

pertanyaan, apakah ada juga tujuan yang, dikejar karena dirinya sendiri dan bukan karena sesuatu yang lain lagi; apakah ada kebaikan terakhir yang tidaG dicari demi sesuatu yang lain lagi. Menurut Aristoteles (semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi ini dalam terminologi modern kita bisa mengatakan: makna

terakhir

hidup

manusia

adalah

kebahagiaan

(eudaimonia). Tapi jika semua orang mudah menyepakati kebahagiaan sebagai tujuan terakhir hidup manusia, itu belum memecahkan semua kesulitan, karena dengan kebahagiaan mereka mengerti banyak hal yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa kesenangan adalah kebahagiaan, ada yang berpendapat

bahwa

uang

dan

kekayaan

adalah

inti

kebahagiaan dan ada pula yang menganggap status sosial atau nama baik sebagai kebahagiaan. Tapi Aristoteles beranggapan bahwa semua hal itu tidak bisa diterima sebagai tujuan terakhir. Kekayaan, misalnya, paling-paling bisa dianggap tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain. Karena itu masih tetap tinggal pertanyaan: apa itu kebahagiaan Menurut Aristoteles, seseorang mencapai tujuan terakhir

dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Tujuan terakhir pemain suling adalah main dengan baik. Tujuan terakhir tukang sepatu adalah membikin sepatu yang baik. Nah, jika manusia menjalankan fungsinya sebagai manusia dengan baik, ia juga mencapai tujuan terakhirnya atau kebahagiaan. Apakah fungsi yang khas bagi manusia itu? Apakah keunggulan manusia, dibandingkan

dengan

makhluk-makhluk lain? Aristoteles

menjawab: akal budi atau rasio. Karena itu manusia mencapai kebahagiaan dengan menjalankan secara paling baik kegiatankegiatan rasionalnya. Dan tidak cukup ia melakukan demikian beberapa kali saja, tapi harus sebagai suatu sikap tetap. Hal itu berarti bahwa kegiatan-kegiatan rasional itu harus dijalankan dengan disertai keutamaan. Bagi Aristoteles ada dua macam keutamaan:

keutamaan

intelektual

dan keutamaan moral.

Keutamaan intelektual menyempurnakan langsung rasio itu sendiri. Dengan keutamaan-keutamaan moral rasio menjalankan pilihan-pilihan yang perlu diadakan dalam hidup sehari-hari. Khususnya keutamaan-keutamaan moral ini dibahas Aristoteles dengan panjang lebar. Keutamaan seperti keberanian dan kemurahan hati merupakan pilihan yang dilaksanakan oleh rasio. Dalam hal ini rasio menentukan jalan tengah antara dua ekstrem yang berlawanan. Atau dengan kata lain, keutamaan adalah keseimbangan antara "kurang" dan "terlalu banyak". Misalnya, keberanian adalah keutamaan yang memilih jalan tengah antara sikap gegabah dan sikap pengecut; kemurahan hati adalah keutamaan yang mencari jalan tengah antara kekikiran dan pemborosan. Keutamaan yang menentukan jaIan tengah itu oleh Aristoteles disebut phronesis (kebijaksanaan praktis). Phronesis

menentukan

apa

yang bisa dianggap

berkeutamaan dalam suatu situasi konkret.

sebagai

Disini perlu dicatat bahwa Aristoteles (dan seluruh tradisi pemikiran Yunani) tidak mengerti kebahagiaan dalam arti modern, yaitu kebahagiaan subyektif (merasa happy). Dengan kebahagiaan dimaksudkannya keadaan manuia demikian rupa, ehingga segala sesuatu yang seharusnya ada memang ada padanya (well-being)

Karena itu keutamaan ini merupakan inti seluruh kehidupan moral. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa tidaklah cukup kita kebetulan atau satu kali saja mengadakan pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan ldta sehari-hari. Baru ada keutamaan jika kita bisa menentukan jalan tengah di antara ekstrem-ekstrem itu dengan suatu sikap tetap. Menurut Aristoteles, manusia adalah baik dalam arti moral, jika selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan-perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual. Orang seperti itu adalah bahagia. Kebahagiaan itu akan disertai kesenangan juga, walaupun kesenangan tidak merupakan inti yang sebenarnya dari kebahagiaan.

c.

Utilitarisme 1. Utilitarisme Klasik Aliran ini berasal dari tradisi pemikiran moral di United Kingdom dan di kemudian hari berpengaruh ke seluruh kawasan yang berbahasa Inggris. Filsuf Skotlandia, David Hume (1711-1776), sudah memberi sumbangan penting ke arah perkembangan aliran ini, tapi utilitarisme menurut bentuk lebih matang berasal dari filsuf Inggris Jeremy Bentham (1748-1832), dengan bukunya Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Utilitarisme dimaksudnya sebagai dasar etis untuk membaharui hukum Inggris, khususnya hukum pidana. Jadi, ia tidak ingin menciptakan suatu teori moral abstrak, tetapi mempunyai maksud sangat konkret. la berpendapat bahwa tujuan hukum adalah

memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi yang disebut hak-hak kodrati. Karena itu ia beranggapan bahwa klasifikasi kejahatan, umpamanya, dalam sistem hukum Inggris sudah ketinggalan zaman dan harus diganti. Bentham mengusulkan suatu klasifikasi kejahatan yang didasarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan yang terakhir ini diukur berdasarkan kesusahan atau penderitaan yang diakibatkannya terhadap para korban dan masyarakat. Suatu pelanggaran yang tidak merugikan orang lain, menurut Bentham sebaiknya tidak dianggap sebagai tindakan kriminal, seperti misalnya pelanggaran seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka. Bentham mulai dengan menekankan bahwa umat manusia menurut kodratnya ditempatkan di bawah pemerintahan dua penguasa yang berdaulat: ketidaksenangan dan kesenangan Menurut kodratnya manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan tercapai, jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Dalam hal

ini

Bentham

sebenarnya

melanjutkan

begitu

saja

hedonisme klasik. Karena menurut kodratnya tingkah laku manusia terarah pada kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik

atau

buruk,

sejauh

dapat

meningkatkan

atau

mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Dalam hal ini Bentham meninggalkan hedonisme individualistis dan egoistis

dengan

menekankan

bahwa

kebahagiaan

itu

menyangkut seluruh umat manusia. Moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia. Dengan demikian Bentham sampai pada the principle of utility yang

4

”Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters :

pain and pleasure”.

berbunyi: the greatest happiness of the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar". Prinsip kegunaan ini menjadi norma untuk tindakan-tindakan kita pribadi maupun untuk kebijaksanaan pemerintah, misalnya, dalam menentukan hukum pidana. Menurut Bentham, prinsip kegunaan tadi harus diterapkan

secara

kuantitatif

belaka.

Karena

kualitas

kesenangan selalu sama, satu-satunya aspeknya yang bisa berbeda adalah kuantitasnya 5 Bukan saja the greatest number tapi juga the greatest happiness dapat diperhitungkan. Untuk itu ia mengembangkan the hedonistic calculus. Sumbersumber

kesenangan

dapat

diukur

dan

diperhitungkan

menurut intensitas dan lamanya perasaan yang diambil daripadanya, menurut akibatnya, menurut kepastian akan dapat menghasilkan perasaan itu, menurut jauh dekatnya perasaan, menurut kemurnian serta jangkauan perasaan, dan sebagainya. Perhitungan ini akan menghasilkan saldo positif, jika kredit (kesenangan) melebihi debetnya (ketidaksenangan). Salah satu contoh adalah cara Bentham memperhitungkan kadar moral dari perbuatan minum minuman keras sampai mabuk. Hasil perhitungan itu dapat digambarkan sebagai berikut:

'Dalam suatu kalimat yang terkenal ia mengatakan: "QualitN , of pleasure being

equal, oushpin is as good as poetry" (Karena kualitas kesenangan selalu sarna, pusnprn sama baik seperti puisi). Yang dimaksud dengan pushpin adalah sejenis permainan anak.

KEMABUKAN Ketidaksenangan

Kesenangan (kredit)

Lamanya

: Singkat

Intensitas

Akibat

: - kemiskinan - nama buruk

: membawa banyak

Kepastian

: kesenangan

- tidak sanggup bekerja Kemurnian

kesenangan pasti Jauh/dekat

: terjadi

: dapat diragukan

kesenangan

( dalam keadaan

timbul cepat

mabuk sring tercampur unsur ketidaksenangan) Seandainya tidak ada segi negatif, maka keadaan mabuk akan merupakan sesuatu yang secara moral baik. Tapi sebagai keseluruhan saldo adalah negatif dan menurut Bentham malah sangat negatif, sehingga kemabukan harus dinilai secara moral sangat jelek. Moralitas semua perbuatan dapat diperhitungkan dengan cara sejenis. Utilitarisme diperhalus dan diperkukuh lagi oleh filsuf Inggris besar, John Stuart Mill (1806-1873), dalam bukunya Utilitarianism (1864). Dari pendapatnya patut disebut di sini dua hal. Pertama, ia mengeritik pandangan Bentham bahwa kesenangan

dan

kebahagiaan

harus

diukur

secara

kuantitatif. 6

”It is better to be a human being dissatisfied than a pig satisfied; better to be

Socrates dissatisfied than a fool satisfied” (Lebih baik menjadi seorang manusia

yang tidak puas daripada seorang yang tidak puas daripada seekor babi yang puas; lebih baik menjadi Sokrates yang tidak puas daripada seorang tolol yang puas).

Ia berpendapat bahwa kualitasnya perlu dipertimbangkan juga, karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah. Kesenangan manusia harus dinilai lebih tinggi daripada kesenangan hewan, tegasnya, dan kesenangan orang seperti Sokrates lebih bermutu daripada kesenangan orang tolol. Tetapi kualitas kebahagiaan dapat diukur juga secara empiris, yaitu kita harus berpedoman pada orang yang bijaksana dan berpengalaman dalam hal ini. Orang seperti itu dapat memberi kepastian tentang mutu kesenangan. Pikiran Mill yang kedua yang pantas disebut di sini adalah bahwa kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama. Raja dan seorang bawahan dalam hal ini harus diperlakukan sama. Kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. Menurut perkataan Mill sendiri: everybody to count for one, nobody to count for more than one. Dengan demikian suatu perbuatan dinilai baik, jika kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan, di mana kebahagiaan semua orang yang terlibat dihitung dengan cara yang sama.

2. Utilitarisme Aturan Suatu percobaan yang menarik untuk mengatasi kritikan berat yang dikemukakan terhadap utilitarisme adalah meni bedakan antara dua macam utilitarisme: utilitarisme pcu buatan dan utilitarisme aturan. Hal itu dikemukakan antara lain oleh filsuf Inggris-Amerika Stephen Toulmin.8

8

S.E. Toulmin, The Place of Reason in Ethics, Cambridge, Cambridge Univet sity

Press, 1949.

Toulmin dan kawan-kawannya menegaskan bahwa prinsip keguna,tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan bagaimana dipikirkan dalam utilitarisme klasik), melainkan atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatanpeiIm.ttan kita. Orang sebaiknya tidak bertanya "apakah akan tiiperoleh kebahagiaan paling besar untuk paling banyal, orang, jika seseorang menepati janjinya dalam situasi tertentu?" Yang harus ditanyakan adalah: "apakah aturan moral 'orang harus menepati janjinya' merupakan aturan yang paling berguna bagi masyarakat atau, sebaliknya, aturan 'orang tidak perlu menepati janji' menyumbangkan paling banyak untuk kebahagiaan paling banyak orang?" Tanpa ragu-ragu dapat kita jawab bahwa aturan "orang harus menepati janji" pasti paling berguna dan karena itu harus diterima sebagai aturan moral. Juga kesulitan-kesulitan lain terhadap utilitarisme, seperti hak manusia atau perlunya keadilan, akan hilang dengan sendirinya, asal prinsip kegunaan diterapkan atas aturannya dan bukan atas perbuatan satu demi satu. Filsuf seperti Richard B.Brandt melangkah lebih jauh lagi dengan mengusulkan agar bukan aturan moral satu demi

satu,

melainkan

sistem

aturan

moral

sebagai

keseluruhan diuji dengan prinsip kegunaan. Kalau begitu, perbuatan adalah baik secara moral, bila sesuai dengan aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi suatu masyarakat. Utilitarisme aturan ini merupakan sebuah varian yang menarik dari utilitarisme. Perlu diakui bahwa dengan

demikian kita bisa lolos dari banyak kesulitan yang melekat pada utilitarisme perbuatan. Namun demikian, utilitarisme aturan ini sendiri tidak tanpg kesulitan juga. Kesulitan utama timbul, jika terjadi konflik antara dua aturan moral. Misalnya, seorang bapak keluarga mencuri uang untuk dapat membeli obat yang sangat dibutuhkan bagi anaknya. Jika anak itu tidak minum obat tersebut, segera ia akan mad. Bapak itu sudah berusaha seribu satu cara untuk memperoleh uang yang sangat diperlukan itu, tapi selalu gagal. Tinggal kemungkinan terakhir ini: mencuri. Di sini terdapat konflik antara dua aturan moral: "orang tidak boleh mencuri" dan "orang

tua

harus

berusaha

sekuat

tenaga

untuk

menyelamatkan anaknya". Dari dua aturan moral ini, yang mana paling penting? Untuk menjawab pertanyaan ini harus kita lihat situasi konkret. Dan mungkin kebanyakan orang akan mengatakan bahwa dalam situasi konkret tadi bapak keluarga itu boleh saja mencuri, asal dengan itu ia tidak terlalu merugikan orang lain. Akan tetapi, apakah dengan demikian kita tidak meninggalkan utilitarisme aturan dan terjerumus ke dalam utilitarisme perbuatan? Rupanya memang demikian.

4. Deontologi Semua sistem etika yang dibahas sampai di sini memperhatikan hasil perbuatan. Baik tidaknya perbuatan dianggap tergantung pada konsekuensinya. Karena itu sistem-sistem ini disebut juga sistem konsekuensialistis. Masih ada cara lain untuk mengatakan hal yang sama. Sistem-sistem etika yang dibicarakan sebelumnya semua berorientasi pada tujuan perbuatan. Dalam utilitarisme, umpamanya,

tujuan

perbuatan-perbuatan

moral

adalah

memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. Karena itu bisa dikatakan juga bahwa semua sistem itu bersifat teleologis (= terarah pada tujuan). Sekarang kita akan memandang suatu sistem etika yang

tidak

mengukur

baik

tidaknya

suatu

perbuatan

berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Kita bisa mengatakan juga bahwa sistem ini tidak menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan kita, melainkan semata-mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusan kita. Teori yang dimaksudkan ini biasanya disebut deontologi (kata Yunani deon berarti: apa yang harus dilakukan; kewajiban).

BAB III MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK: INDIVIDU, SOSIAL DAN CIPTAAN TUHAN A.

Manusia sebagai Indvidu Manusia adalah makhluk individu. Sebagai makhluk individu berarti makhluk yang tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat dipisah-pisahkan antara jiwa dan raganya. Kata "individu" berasal dari kata latin individuum, artinya tidak terbagi. Jadi, kata itu mengandung pengertian sebagai suatu sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Dalam ilmu sosial paham individu menyangkut tabiatnya dengan kehidupan jiwanya yang majemuk, memegang peranan dalam pergaulan hidup manusia. Individu bukan berarti menusia sebagai suatu keseluruhan yang tak dapat dibagi melainkan sebagai kesatuan yang terbatas, yaitu sebagai manusia perorangan, (Soelaeman, 2001:113). Manusia sebagai makhluk individu, tidak hanya dalam arti makhluk keseluruhan jiwa raga, melainkan juga dalam arti bahwa tiap-tiap orang itu merupakan pribadi (individu) yang khas menurut corak kepribadiannya, termasuk kecakapan-kecakapan serta kelemahan-kelemahannya. Individu adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan yang khas di dalam lingkungan sosialnya, melainkan juga memiliki kepribadian serta pola tingkah laku spesifik dirinya. Persepsi terhadap individu atau hasil pengamatan manusia dengan segala maknanya merupakan suatu keutuhan ciptaan Tuhan yang mempunyai tiga aspek melekat pada dirinya, yaitu aspek organik jasmaniah, aspek psikis rohaniah, dan aspek sosial kebersamaan. Ketiga aspek tersebut saling mempengaruhi, keguncangan pada satu aspek akan membawa akibat pada aspek yang lainnya (Soelaeman, 2001:114).

Untuk menjadi suatu individu yang "mandiri" harus melalui proses yang panjang. Tahap pertama, melalui proses pemantapan pergaulan yang dilakukan di lingkungan keluarga. Dalam lingkungan keluarga ini secara bertahap karakter yang khas akan terbentuk dan mengendap lewat sentuhan-sentuhan interaksi: etika, estetika, dan moral agama. Sejak manusia dilahirkan, ia membutuhkan proses pergaulan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan batiniah dan lahiriah yang membentuk dirinya. Menurut Sigmund Freud, super ego pribadi manusia sudah mulai terbentuk pada saat manusia berumur 56 tahun (Gerungan, 1980:29). Makna manusia menjadi individu apabila pola tingkah lakunya hampir identik dengan tingkah laku masa yang bersangkutan. Proses yang meningkatkan ciri-ciri individualitas pada seseorang sampai menjadi dirinya sendiri disebut proses individualisasi atau aktualisasi diri. Individu dibebani berbagai peranan yang berasal dari kondisi kebersamaan hidup, maka muncul struktur masyarakat yang akan menentukan kemantapan masyarakat. Individu dalam bertingkah laku menurut pribadinya ada tiga kemungkinan: menyimpang dari norma kolektif, kehilangan individualitasnya atau takhluk terhadap kolektif, dan mempengaruhi masyarakat seperti adanya tokoh pahlawan atau pengacau. Mencari titik optimum antara dua pola tingkah laku (sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat) dalam situasi yang senantiasa berubah, memberi konotasi "matang" atau "dewasa" dalam konteks sosial. Sebutan "baik" atau "tidak baik" pengaruh individu terhadap masyarakat adalah relatif

(Soelaeman,

2001:114).

Bertolak

dari

proses

penjabaran

individualisasi manusia dalam masyarakat tersebut menunjukkan bahwa manusia memiliki perilaku yang didorong oleh aspek individu dan aspek sosial. Manusia sebagai individu memiliki unsur jasmani dan rohani; unsur fisik dan psikis; unsur jiwa dan raga. Seseorang dikatakan sebagai individu bila unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Unsur-unsur yang terdapat

dalam diri manusia tersebut tidak dapat terbagi apalagi terpisahkan. Jika unsur-unsur tersebut tidak dapat menyatu maka seseorang tidak dapat disebut sebagai individu. Oleh sebab itu, orang yang sudah mati disebut "jasad" atau "mayat" karena yang tinggal hanya raga, jiwanya sudah tidak ada. Raga tidak dapat hidup sebagaimana manusia utuh selaku individu apabila tanpa jiwa. Dengan kata lain, yang disebut manusia sebagai makhluk individu mencerminkan adanya satuan terkecil yang tidak dapat terbagi lagi tetapi memiliki unsur-unsur jasmani dan rohani atau fisik dan psikis, atau jiwa dan raga yang utuh menyatu. Meskipun semua manusia sebagai individu memiliki unsur jiwa dan raga yang menyatu, tetapi antara satu orang dengan orang yang lainnya memiliki perbedaan dan kekhasannya baik secara fisik dan psikis. Secara fisik misalnya, ada yang berambut ikal tetapi juga ada yang berambut lurus, ada yang gemuk atau kurus, tinggi atau pendek, dan seterusnya. Secara psikis juga ada perbedaan, misalnya ada yang pemalu, pemarah, penyabar, periang, dan lain-lain. Dengan kata lain, individu dapat dikenali dengan mudah melalui aspek fisik maupun psikisnya. Manusia selaku makhluk individu di samping memiliki keinginankeinginan atau motif-motif juga memiliki kebutuhan-kebutuhan secara pribadi. Motif-motif yang melatarbelakangi manusia selaku individu berbuat sesuatu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: bisa bersifat majemuk, berubah-ubah, dan berbeda-beda, atau bahkan bisa jadi tidak disadari oleh individu. Adapun manusia selaku individu juga membutuhkan berbagai kebutuhan, antara lain: kebutuhan fisiologis (pakaian, pangan, tempat, seks, dan kesejahteraan individu), yang kemudian disebut sebagai kebutuhan primer; kebutuhan rasa aman; kebutuhan akan rasa afeksi (yaitu kebutuhan untuk menjalin hubungan atau keakraban dengan orang lain); kebutuhan akan harga diri (esteem needs); kebutuhan untuk mengetahui dan memahami (need to know and understand); kebutuhan rasa estetika (aesthetic needs); kebutuhan untuk aktualisasi diri (self actualization); kebutuhan transendence,

yaitu kebutuhan untuk mengetahui dan menyelami dunia di luar dirinya seperti spiritualitas dan rasa religiusitas (berkeyakinan akan keberadaan Tuhan). Dengan adanya kebutuhan pribadi itulah manusia selaku individu mempunyai hubungan dengan dirinya sendiri, yaitu ada dorongan untuk mengabdi kepada dirinya sendiri. Tindakan-tindakannya diarahkan untuk memenuhi kepentingan pribadinya meskipun dalam kapasitasnya bisa jadi menjadi bentuk perbuatan yang bernilai pengabdian kepada masyarakatriya. Untuk itulah perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh motivasinya dalam melakukan aktivitasnya. Motivasi atau dorongan perilaku tersebut memiliki kekuatan yang berbeda-beda. Berbagai bentuk motivasi individu tersebut berupa: kebutuhan untuk berbuat lebih baik dari orang lain (achievement); kebutuhan untuk memuji, menyesuaikan diri, dan mengikuti pendapat orang lain (defence); kebutuhan untuk membuat rencana secara teratur (order); kebutuhan untuk menarik perhatian orang lain dan berusaha menjadi pusat perhatian (exhibition); kebutuhan untuk mandiri, tidak mau tergantung orang lain dan tidak mau diperintah

orang

lain

(autonomy);

kebutuhan

untuk

menjalin

persahabatan dengan orang lain, kesetiaan, berpartisipasi (affiliation); kebutuhan untuk memahami perasaan dan mengetahui tingkah laku orang lain (intraception); kebutuhan untuk mendapatkan simpati, bantuan, dan kasih sayang orang lain (succorance); kebutuhan untuk bertahan pada pendapatnya,

menguasai,

memimpin,

menasehati

orang

lain

(dominance); kebutuhan akan rasa berdosa, salah, perlu diberi hukuman (abasement); kebutuhan untuk membantu, menolong, dan simpati kepada orang lain (nurturance); kebutuhan untuk melakukan perubahanperubahan, tidak menyukai rutinitas (channge); kebutuhan untuk bertahan pada suatu pekerjaan; tidak suka diganggu (endurance); kebutuhan untuk aktivitas sosial individu dalam mendekati lawan jenis, mencintai lawan jenis (heterosexuality); kebutuhan untuk mengkritik, membantah, menyalahkan, senang terhadap

Semua perilaku individu yang didorong oleh keinginan memenuhi kebutuhan primer dan motivasi yang melekat pada pribadinya dapat menjadi tolak ukur kepribadian seseorang dalam aktivitas sosialnya. Sinyalemen ini menjadi indikasi atau pertanda seberapa besar makna individu tersebut berperan dalam kehidupan, sehingga eksistensinya sebagai manusia individu dapat diakui memiliki makna, baik secara pribadi maupun terhadap lingkungannya. Manusia sebagai individu akan memiliki arti bagi kehidupannya apabila peran dirinya bermakna bagi orang lain, keluarga, maupun masyarakat secara luas. Salah satu tanggung jawab manusia selaku pribadi yaitu membawa dirinya ke jalan yang lurus, sehingga terpelihara iman dan Islamnya, serta selalu ingat kepada Allah dan bersyukurlah karena nikmat Allah. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam alQur'an, Surat al-Fatihah, ayat 5 dan 6; alBaqarah, ayat 21, 152, dan 153, dan seterunya.

B. Manusia sebagai Makhluk Sosial Pada hakekatnya, manusia merupakan makhluk sosial di samping sifat-sifat lainnya yang secara pribadi dimiliki. Secara alami keberadaan manusia membutuhkan hubungan dengan orang lain, manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Untuk itu, perlu dilihat makna sosial itu sendiri baik secara kebahasaan maupun dari aktivitas simbolis yang dilakukannya. Secara etimologi, istilah "sosial" berasal dari bahasa Latin socius yang artinya teman, perikatan. Jadi, secara etimologi manusia sebagai makhluk sosial adalah makhluk yang berteman, memiliki perikatan antara satu orang dengan orang yang lain. Istilah sosial ini menekankan adanya relasi atau interaksi antar manusia, baik itu relasi seorang individu dengan seorang individu yang lain, individu dengan kelompok, atau. kelompok dengan kelompok. Interaksi sosial ini dapat terjadi di lingkungan keluarga maupun di masyarakat secara luas. Keluarga merupakan kelompok primer yang paling penting di masyarakat. Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk atas

dasar hubungan pernikahan antara laki-laki dan wanita, yang berlangsung lama untuk mendapatkan keturunan dan membesarkan anak-anaknya. Oleh sebab itu, dalam hubungan keluarga ini memiliki lima macam sifat yang menjadi indikasi terbentuknya masyarakat dalam arti keluarga, yaitu: hubungan suami-istri, bentuk pernikahan untuk pemeliharaan hubungan suami-istri, memiliki susunan atau formulasi istilah untuk menghitung keturunan, memiliki harta benda yang menjadi milik keluarga, dan bertempat tinggal bersama. Masing-masing individu yang terhimpun dalam satu keluarga di samping memiliki hak dan kewajiban, juga bertanggung jawab atas keselamatan keluarganya agar selalu dalam keadaan Iman dan Islam, sehingga kelak di akhirat terhindar dari api neraka. Untuk itulah di dalam al-Qur'an, Surat al-Baqarah 2:132 ditegaskan : "...janganlah mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam." Sementara itu, pengertian masyarakat secara luas adalah menunjuk pada sekelompok orang yang memiliki perasaan tertentu, sehingga menimbulkan keeratan hubungan di antara anggota-anggotanya. Mereka memiliki rasa persatuan karena memiliki kebiasaan atau kebudavaan yang sama, logat bahasa yang sama, asal-usul yang sama, dan bertempat tinggal dalam batas geografis yang sama. Keeratan hubungan ini lebih dirasakan anggota masyarakatnya daripada oleh orang lain. Mereka memiliki ikatan norma-norma dan adapt istiadat yang sama, sehingga masing-masing merasa memiliki dan merasa bertanggung jawab atas keutuhan masyarakatnya. Kesadaran manusia sebagai anggota masyarakat ini dalam lingkup yang lebih besar lagi adalah bangsa, dan negara. Sebagai makhluk sosial, manusia

menyadari

keberadaannya

berdasarkan

keturunan

dari

pendahulunya yang memiliki identitas asal-muasal suku bangsa sehingga memiliki

kapasitas

tanggung

jawab

terhadap

kelangsungan

suku

bangsanya. Demikian juga dalam hal kehidupan bernegara, manusia sebagai makhluk sosiai tidak terlepas dari kehidupan bernegara. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya.

Untuk itu, mereka juga harus memenuhi tanggung jawabnya sebagai warga negara yang baik. Tugas dan tanggung jawab manusia sebagai warga negara adalah ikut menjaga keutuhan serta tegaknya negara, dan memenuhi segala peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C. Manusia sebagai Makhluk Tuhan Kesadaran manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial hendaknya tidak mengabaikan eksistensinya sebagai makhluk Tuhan. Bentuk dari tanggung jawab manusia terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan negara merupakan. bagian dari bentuk pengabdian dan penghambaan diri terhadap Tuhan. Dengan kata lain, aktivitas manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial adalah representasi kesadaran diri manusia atas pertanggungjawaban manusia kepada Tuhan. Segala bentuk tanggung jawab pribadi dan sosialnya adalah manifestasi diri sebagai hamba Tuhan, atas amanah-Nya untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dengan demikian, upaya untuk dapat memayu hayuning bawana (selalu berusaha mempercantik kecantikan dunia) dapat dilakukan dengan budi pekerti atau perilaku yang arif dan bijaksana. Menusia sebagai makhluk Tuhan juga memiliki kewajiban untuk selalu berdakwah dan menebarkan amar ma'ruf nahi mungkar. Kewajiban berdakwah ini disampaikan dalam Q.S. Ali Imran 3:104, yang artinya kurang lebih demikian: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan meneegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung" (Ilyas, 2003:182-183).

D. Dinamika Interaksi Sosial : Akulturasi, Asimilasi, Dan Inovasi 1. Akulturasi Budaya Adalah proses sosial yang timbul apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu sedemikian rupa dipengaruhi oleh unsur-unsur suatu kebudayaan lain sehingga unsur-unsur lain itu diterima dan disesuaikan dengan unsur-unsur kebudayaan sendiri tanpa

menyebabkan hilangnya identitas kebudayaan asli. Contoh yang muncul adalah ketika pihak pribumi mulai menerima penggunaan gaya hidup, seperti bahasa, mode pakaian, dan sopan santun ala barat. Kajian akulturasi meliputi lima hal pokok, demikian yang dikemukakan Koentjaraningrat (1997): 1. Masalah mengenai metode untuk mengobservasi, mencatat dan melukiskan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat. 2. Masalah mengenai unsur-unsur kebudayaan yang mudah diterima dan yang sukar diterima oleh masyarakat penerima. 3. Masalah unsur kebudayaan mana saja yang mudah diganti dan diubah dan unsur kebudayaan mana saja yang tidak mudah diganti dan diubah oleh unsur-unsur kebudayaan asing. 4. Masalah mengenai individu-individu apa yang mudah dan cepat menerima, dan individu-individu apa yang sukar dan lambat menerima unsur-unsur kebudayaan asing. 5. Masalah mengenai ketegangan-ketegangan sosial yang timbul akibat adanya akulturasi. Dampak akulturasi terhadap masyarakat meniscayakan seorang peneliti perlu memerhatikan beberapa hal berikut: 1. Keadaan masyarakat penerima sebelum proses akulturasi mulai berjalan. 2. Individu-individu dari kebudayaan asing yang membawa unsurunsur kebudayaan asing itu. 3. Saluran-saluran yang dilalui oleh unsur-unsur kebudayaan asing untuk masuk ke dalam kebudayaan penerima. 4. Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing tadi. 5. Reaksi para individu yang terkena unsur-unsur kebudayaan asing. 2. Asimilasi Budaya Proses asimilasi dapat terjadi jika terjadi hal-hal sebagai berikut :

1. Kelompok-kelompok manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda. 2. Kelompok manusia ini saling bergaul secara intensif dalam kurun waktu yang lama. 3. Pertemuan budaya-budaya antar kelompok itu masing-masing berubah watak khasnya dan unsur-unsur kebudayaannya saling berubah sehingga memunculkan suatu watak kebudayaan yang baru/campuran. Faktor penghambat adanya proses asimilasi budaya: 1. Kurangnya pengetahuan terhadap unsur kebudayaan yang dihadapi (dapat) bersumber dari pendatang ataupun penduduk asli. 2. Sifat takut terhadap kebudayaan yang dihadapi. 3. Perasaan ego dan superioritas yang ada pada individu-individu dari suatu kebudayaan terhadap kelompok lain. Faktor yang memudahkan/penarik terjadinya asimilasi budaya: a. Faktor toleransi, kelakuan saling menerima dan memberi dalam struktur himpunan masyarakat. b. Faktor kemanfataan timbal balik, memberi manfaat kepada dua belah pihak c. Faktor

simpati,

pemahaman

saling

menghargai

dan

memperlakukan pihak lain secara baik. 3. Inovasi (Pembaruan) Campuran, Bermanfaat Bagi Proses Asimilasi Proses pembaruan (inovasi) dapat digolongkan dalam bentuk: a. Discovery, atau penemuan unsur-unsur kebudayaan yang baru berupa gagasan individu atau kelompok. b. Invention,

atau

tindak

lanjut

inovasi

berupa

penerimaan, dan penerapan proses oleh masyarakat.

pengakuan,

BAB IV PEMAHAMAN KONSEP – KONSEP MANUSIAWI A. Manusia dan Keadilan Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Jika kita mengakui hak hidup kita, maka mau tidak mau kita wajib untuk mempertahankan hak hidup itu dengan bekerja keras tanpa merugikan orang lain. Sebab orang lain pun memiliki hak hidup yang sama dengan kita. Jadi, keadilan pada dasarnya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Setiap harinya kehidupan manusia selalu dihadapkan dengan masalah keadilan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, permasalahan keadilan dan ketidakadilan tidak pemah surut mengilhami kreativitas manusia untuk berimajinasi. Maka terciptalah berbagai bentuk karya seni, seperti: seni drama, puisi, novel, musik, film, lukis dan sebagainya. Karya-karya sastra seperti: Mahabarata, Ramayana, Marsinah Menggugat, Kabut Sutra Ungu, Ponirah Terpidana, Roro Mendud, Siti Nurbaya, Bekisar Merah adalah cerita-cerita yang berimplikasi pada nuansa keadilan dan ketidakadilan. Dalam Islam keharusan untuk menjaga kebenaran dan keadilan telah diperintah oleh Allah dalam al-Qur'an, Surat An-Nisaa', Ayat 105 berikut, yang artinya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang-orang yang tidak bersalah), karena (membela) orangorang yang khianat". Sementara itu, dalam ajaran Konghucu disebutkan bahwa keadilan dapat terwujud jika setiap anggota masyarakat bisa men jalankan fungsi dan peranannya masing-masing. Tokoh-tokoh filsafat seperti Plato dan Aristoteles juga tidak mau ketinggalan untuk melontarkan konsep keadilan tersebut. Plato pernah mengatakan bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari masyarakat

yang membuat dan menjaga kesatuannya. Sedangkan, Aristoteles berpendapat keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara tidak sama pula (justice is done when equals are treated equally). Berdasarkan macamnya keadilan dapat dibedakan menjadi tiga macam: keadilan legal (moral, lebih cocok dengan pendapat Plato); keadilan distributif (seperti pendapat Aristoteles); keadilan komunikatif adalah keadilan yang bertujuan memelihara pertahanan, ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Keadilan sudah menjadi masalah universal, namun tidak menarik untuk diperbincangkan jika dibanding dengan masalah ketidakadilan. Karena dalam kenyataannya keadilan menunjukkan keragaman persepsi, implementasi atau pun upaya pemenuhannya. Keragaman semacam itu bisa jadi tidak akan ditemukan dalam hal ketidakadilan. Ketidaka dilan dalam suatu masyarakat seringkali dibiarkan begitu saja oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Kendati banyak teori membuktikan kalau ketidakadilan merupakan akibat logis dari suatu sistem yang berlaku, baik ekonomi, sosial, atau pun politik dalam suatu masyarakat. Akan tetapi, berbagai praktik ketidakadilan ini sering ditolak oleh anggota masyarakat yang merasakannya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa penolakan terhadap praktik-praktik ketidakadilan telah jadi suatu nilai universal, yang berarti diikuti oleh hampir semua masyarakat yang ada di dunia ini. Isu ketidakadilan juga telah menjadi isu menarik untuk memunculkan gerakan protes oleh kelompok-kelompok tertentu, misalnya: kasus Munir, Prita Mulyasari, maupun Bibit-Candra dan lain-lain. "Kenyataan ketidakadilan ini sering mengusik nurani seniman untuk berbuat sesuatu sesuai kapasitasnya sebagai seniman, misalnya Ratna Sarumpait dengan Nyanyian Bawah Tanah, Rendra dengan puisi-puisi Reformasinya, Bob The Geldof dengan We Are The World, Kantatatakwa dan para musisi reformis lain dengan syair-syair reformisnya, dalam bidang perfilman Ponirah Terpidana, Laskar Pelangi, dan lain-lain.

B. Manusia dan Penderitaan Kata penderitaan berasal dari kata "derita" (dhra dalam bahasa Sansekerta), artinya: menahan atau menanggung sesuatu yang tidak menyenangkan, baik itu secara lahir maupun batin. Penderitaan tidak pernah dipisahkan dari kehidupan manusia, yang berupa keluh kesah, kesengsaraan, kelaparan, kekenyangan, kepanasan, dan lain-lain. Dalam kitab suci agama manapun terdapat banyak surat dan ayat yang menguraikan adanya penderitaan yang dialami oleh manusia. Hal tersebut berisi tentang peringatan bagi manusia akan adanya penderitaan. Akan tetapi, pada umumnya manusia kurang memperhatikan hal-hal seperti itu, sehingga mereka mengalami penderitaan. Seperti dalam al-Qur'an, Surat al-Balad, Ayat 4, telah diserukan yang kurang lebih atinya sebagai berikut: "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. " Dengan seruan itu menandakan bahwa manusia sebagai makhiuk hidup, hidupnya penuh dengan perjuangan. la harus dapat bekerja keras untuk kelangsungan hidupnya. la harus mampu menaklukkan alam; menghadapi masyarakat sekelilingnya, dan tidak boleh lupa bertakwa kepada Tuhan. Apabila manusia melalaikan salah satu dari padanya, atau kurang sungguhsungguh menghadapinya, akibatnya manusia akan menderita. Penderitaan ini bisa terjadi kapan saja dan kepada siapa saja. Penderitaan datang dan pergi tidak pandang bulu. Untuk itulah, manusia harus bekerja keras agar terlepas dari penderitaan. Berbagai kasus penderitaan dalam kehidupan manusia sering dijadikan salah satu gagasan atau tema dalam bentuk karya seni, misalnya: Epos Ramayana, Mahabarata, Romeo dan Yuliet, Laila Majnun, Roro Mendud, dan sebagainya. Tidak saja dalam bentuk karya seni, kisah-kisah penderitaan juga dialami oleh tokoh-tokoh sejarah keagamaan dan kenenegaraan, seperti apa yang dialami oleh Sidarta Budha Gautama, Nabi Isa, Nabi lbrahim, Nabi Muhammad saw, dan seterusnya. Dalam tokoh kenegaraan dapat dibaca

autobiografinya Jendral Sudirman, Bung Kamo, Hamka, Bung Hatta, dan sebagainya. Dalam realitas zaman yang sekarang ini terjadi berbagai penderitaan telah menimpa bumi pertiwi yang seolah-olah tidak pernah berhenti, antara lain mulai dari bencana alam yang berupa gempa, tanah longsor, banjir, kecelakaan lalu lintas, kebakaran, penggusuran, penyakit, dan lain-lain. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi modern berita-berita tentang penderitaan akan mudah tersebar luas melalui media massa. Beritaberita tentang sebab-sebab penderitaan manusia, seperti: kelaparan, kebakaran, banjir, perang, wabah penyakit dan berbagai peristiwa lain yang menyedihkan selalu menghiasi media massa setiap hari. Berita-berita itu akan menggugah hati nurani manusia untuk berbuat sesuatu sesuai dengan kerelaan, kesanggupan, kemampuan dan tekadnya masing-masing. Para dermawan dan sukarelawan segera bertindak untuk berbuat sesuatu membantu mengatasi penderitaan tersebut, baik melalui perorangan maupun organisasi-organisasi

kemanusiaan.

Dengan

mempelajari

kasus-kasus

penderitaan manusia, berarti belajar tentang sikap, nilai, harga diri, ketamakan, dan kesombongan manusia. Semua itu bermanfaat untuk memperdalam dan memperluas persepsi, tanggapan, wawasan, penghayatan, dan penalaran bagi yang mempelajarinya. 1. Penderitaan Sebagai Fenomena Universal Musibah

yang

berupa

bencana

alam,

kecelakaan,

penindasan,

perbudakan, kemiskinan, kelaparan, perang merupakan hal yang dapat menyebabkan datangnya penderitaan manusia. Penderitaan tidak mengenal ruang dan waktu, dapat terjadi pada kehidupan masa laiu, kini, dan masa yang akan datang. Semakin tinggi tingkat kebutuhan dan tuntutan hidup manusia maka akan semakin tinggi pula tingkat intensitas penderitaannya. Manusia pada zaman apa pun jika merasa kebutuhannya tidak terpenuhi maka akan merasakan penderitaan itu. Penderitaan sebagai fenomena universal, di samping tidak mengenal ruang dan waktu juga dapat menimpa siapa saja. Orang-orang yang dianggap suci,

bahkan para nabi juga dapat tertimpa apa yang dinamakan penderitaan tersebut. 2. Penderitaan Sebagai Anak Penguasaan Di samping banyak faktor yang telah disebutkan di atas, penderitaan tidak jarang justru disebabkan oleh faktor manusia itu sendiri. Banyak bukti telah menunjukkan bahwa penderitaan itu bisa terjadi karena juga ulah tangan-tangan manusia itu sendiri. Siapa yang menyulut perang? Mengapa ada bencana alam, seperti banjir, kebakaran hutan, kecelakaan, wabah penyakit dan sebagainya? Semua itu bisa dikembalikan pada ulah manusia itu sendiri. Apalagi jika berbicara tentang penindasan, kemiskinan, penggusuran, perbudakan, kriminalitas, semuanya melibatkan unsur manusia itu sendiri. Manusia pada dasarnya adalah penyebab utama adanya penderitaan. Penderitaaan manusia yang satu tidak bisa dilepaskan dari ulah manusia lainnya. Ini sernua sulit terbantahkan, karena penderitaan itu pada dasarnya merupakan anak penguasaan, jarang sebagai anak kebebasan. Firman Allah dalam al-Qur'an Surat an-Nisaa', ayat 79, menyebutkan: "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. " Firman Allah di atas mengisyaratkan bahwa pada dasarnya penderitaan manusia itu sebagai buah dari praktik penguasaan manusia itu sendiri. Dalam menanggapi hal tersebut manusia sering memiliki cara pandang yang berbeda-beda, tergantung pada profesinya masing-masing. Seorang ilmuwan menangkap gejolak masyarakatnya melalui sektor penalaran keilmuan yang dianutnya, sedang bagi seorang pemimpin menangkapnya lewat saringan politik yang dianut. Berbeda dengan sastrawan atau seniman, ia bebas dalam mencari kebenaran tidak sekedar dibatasi oleh sektor penalaran dan kepentingan politik tertentu, melainkan lebih bisa untuk membawa suara hati nurani masyarakatnya. Dengan daya

pengamatan dan getar rasanya yang lebih lembut seorang seniman mampu untuk menyuarakan fenomena penderitaan itu. Media ekspresi yang dipakainya tanpa batas, tiada syarat apa pun yang harus dipenuhi kecuali tuntutan estetika. Karya sastra yang dengan vokal menyuarakan penderitaan masyarakat antara lain adalah karya Mochtar Lubis berjudul Harimau Harimau, Perjalanan Hitam (Muspa Edow), Mencoba Tidak Menyerah (Yudhistira ANM), Jentera Lepas (Ashadi Siregar), Bekisar Merah (Ahmad Tohari), dan sebagainya.

C. Manusia dan Cinta Kasih Cinta adalah paduan rasa simpati antara dua makhluk, yang tidak hanya terbatas antara wanita dengan pria. Cinta juga bisa diibaratkan sebagai seni sebagaimana halnya bentuk seni lainnya, maka diperlukan pengetahuan dan latihan untuk menggapainya. Cinta tidak lebih dari sekedar perasaan menyenangkan, maka untuk mengalaminya harus terjatuh ke dalamnya. Hal tersebut didasarkan oleh berbagai pendapat berikut: Pertama, orang melihat cinta pertama-tama sebagai masalah dicintai dan bukan masalah mencintai. Hal ini akan mendorong manusia untuk selalu mempermasalahkan bagaimana supaya dicintai, atau supaya menarik orang lain. Kedua, orang memandang masalah cinta adalah masalah objek, bukan masalah bakat. Hal ini mendorong manusia untuk berpikir bahwa mencintai orang lain itu adalah soal sederhana, yang sulit justru mencari objek yang tepat untuk mencintai atau dicintai. Ketiga, cinta tidak perlu dipelajari. Di dalamnya ada pencampuradukkan antara pengalaman mulai pertama jatuh cinta dan keadaan tetap berada dalam cinta. Sementara itu, Erich Fromm mengajukan premis cinta sebagai suatu seni. Sebagai suatu seni cinta memerlukan pengetahuan dan latihan. Cinta adalah suatu kegiatan, bukan merupakan pengaruh yang pasif. Salah satu esensi dari cinta adalah adanya kreativitas dalam diri seseorang, terutama dalam aspek memberi dan bukan hanya menerima. Kata cinta mempunyai hubungan

pengertian dengan konstruksi lain, seperti kasih sayang, kemesraan, belas kasihan, dan aktivitas pemujaan. Secara longgar, kasih sayang dapat diartikan sebagai perasaan sayang, perasaan cinta, atau perasaan suka kepada seseorang. Dalam kasih sayang paling tidak dituntut adanya dua pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu orang yang mencurahkan perasaan sayang, cinta atau suka, dan seseorang yang memperoleh curahan kasih sayang atau cinta. Dalam pengalaman hidup seharihari, kehidupan seseorang akan memiliki arti jika mendapatkan perhatian dari orang lain. Jika demikian, perhatian merupakan salah satu unsur dasar dari cinta kasih. Pengertian kasih sayang menurut Purwadarminta adalah perasaan sayang, perasaan cinta, atau perasaan suka kepada seseorang. Dalam kehidupan berumah tangga kasih sayang merupakan kunci kebahagiaan. Kasih sayang merupakan pertumbuhan dari cinta, yang unsur-unsurnya meliputi: tanggung jawab, pengorbanan, kejujuran, saling percaya, saling pengertian, saling terbuka. Kasih sayang dapat dirasakan bukan hanya oleh suami-istri, anak-anak yang telah dewasa, namun siapa pun berhak mengalaminya. Berbagai bentuk ilustrasi kasih sayang juga diungkap dalam karya sastra, misalnya: Novel Anisah karya Yati Maryati Miharja mengisahkan orang tua yang malu dengan kelahiran anaknya, kemudian bayinya dibuang atau diserahkan kepada orang lain (hal ini merupakan bentuk pelanggaran tehadap nilai kehidupan, nilai cinta, dan norma kemesraan); Novel Ibu Kita, Raminten karya Muhammad Ali mengisahkan seorang ibu yang menyerahkan anakanaknya kepada orang lain karena terdesak oleh faktor ekonomi; Anakku karya J.E. Tatengkeng bercerita tentang kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya yang telah mati; Novel Salah Asuhan karya Abdul Muis tentang kasih sayang yang berlebihan, sehingga anaknya jadi sombong, pemboros, tidak saleh, dan tidak menghormati orang tua. Bertolak dari kasus hubungan kasih sayang antara orang tua dan anak dapat diilustrasikan dalam bagan berikut.

ORANG TUA ANAK AKTIF

AKTIF

PASIF

Intim, mesra, saling

Orang tua kurang

mencintai, saling

perhatian.

menghargai, saling membutuhkan. PASIF

Anak jadi takut, minder,

Dingin, tidak ada kasih

kurang berani dalam

sayang.

masyarakat, tidak berani menyatakan pendapat, tidak mampu berdiri sendiri.

Sebelum memberikan kasih sayangnya kepada orang lain, sudah barang tentu orang tersebut terlebih dahulu harus bisa memberikan kasih sayangnya pada diri sendiri secara wajar. Kondisi demikian sudah diajarkan dalam ajaran Islam melalui riwayat perjalanan Nabi Muhammad saw ketika hendak ke Mekah. Pada waktu itu bulan puasa, tidak sedikit tentara yang sudah letih, maka beliau meminta semangkuk air. Air tersebut dipertunjukkan kepada umum lalu diminumnya agar dapat diikuti oleh para pengikutnya. Ketika diketahui di antara mereka masih ada yang tetap berpuasa, maka marahlah beliau

seraya

bersabda,

"Mereka

bermaksiat...mereka

bermaksiat!"

Kemudian, ketika Nabi melihat banyak orang berkerumun dengan mengembangkan sehelai kain untuk melindungi salah seorang yang terlentang di jalan dari terik matahari, Nabi bertanya, "Kenapa orang ini?" "Musafir sedang berpuasa ya Rasulullah," jawab mereka. Lalu Nabi berkata, "Tidak baik berpuasa sementara musafir. Terimalah dispensasi Allah itu dan jangan disia-siakan:" Peristiwa di atas mengandung pengertian bahwa kasih sayang dalam Islam ditempatkan pada posisi yang cukup tinggi, karena sama dengan

peribadatan. Seperti yang dicontohkan di atas bahwa orang yang melakukan ibadah puasa dianggap bermaksiat ketika dalam kondisi kecapaian masih melakukannya. Sehingga ia dianggap menyiksa diri dan berarti tidak memiliki rasa kasih sayang pada diri sendiri. Dengan cinta maka kehidupan ini ada. Manusia berbuat atau melakukan sesuatu karena dorongan perasaan cinta. Bukan hanya manusia, binatang pun sesungguhnya berbuat sesuatu karena dorongan perasaan cinta. Bedanya manusia dalam berbuat sesuatu atas kesadaran akal, sedangkan binatang berbuat karena nalurinya. Dalam diri manusia terdapat dua hal yang dapat menggerakkan perilaku, yaitu akal-budi dan nafsu. Perasaan cinta dapat dipengaruhi oleh dua sumber tersebut, yaitu perasaan cinta yang digerakkan oleh akal dan budi, serta perasaan cinta yang digerakkan oleh nafsu. Cinta pertama disebut tanpa pamrih atau cinta sejati, sedangkan yang kedua cinta nafsu atau cinta pamrih. Cinta tanpa pamrih adalah cinta kebaikan hati, sedangkan cinta pamrih atau cinta nafsu disebut cinta utilitaris atau yang bermanfaat, artinya mengindahkan kepentingan diri sendiri. Pengorbanan adalah suatu kebahagiaan, ketidakmampuan membahagiakan atau meringankan beban yang dicintai atau yang dikasihi adalah suatu penderitaan.

D. Manusia dan Keindahan Tidak sedikit orang membuang uang, tenaga, dan waktu untuk menikmati keindahan. Keindahan, keserasian, renungan, dan kehalusan setiap hari dialami dan dinikmati oleh manusia. Semakin tinggi pengetahuan seseorang, semakin besar pula hasrat dan keinginan seseorang untuk menghargai keindahan. Penghayatan arti dan fungsi keindahan itu berarti akan memperluas wawasan, pandangan, penalaran, dan persepsi calon sarjana. Keindahan dari kata indah, artinya bagus, permai, cantik, elok, molek, dan sebagainya. Benda yang mempunyai sifat indah ialah segala hasil seni (meskipun tidak semuanya), pemandangan alam (pantai, pegunungan, danau, bunga-bunga di lereng pegunungan), manusia (wajah, mata, bibir, hidung,

rambut, kaki, tubuh), rumah (halaman, tatanan perabot rumah tangga, dan sebagainya), suara, warna dan seterusnya. Kawasan keindahan manusia sangat luas, seluas keanekaragaman manusia dan sesuai dengan perkembangan peradaban teknologi, sosial dan budaya. Keindahan merupakan bagian kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan di mana pun, kapan pun dan oleh siapa pun. Keindahan adalah identik dengan kebenaran. Keduanya mempunyai nilai sama yaitu abadi, dan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah. Yang tidak mengandung kebenaran berarti tidak indah, karenanya tiruan lukisan Monalisa bisa jadi tidak indah karena dasarnya tidak benar. Keindahan juga bersifat universal, artinya tidak terikat oleh selera perorangan, waktu dan tempat, selera mode, kedaerahan atau lokal. Pandangan Plato tentang keindahan dapat dibagi jadi dua, yaitu: tentang dunia idea dan tentang dunia nyata. Menurut Plato, kesederhanaan adalah ciri khas keindahan, baik dalam alam maupun dalam karya seni. Pandangan yang kedua adalah punya keistimewaan, karena tidak melepaskan diri dari pengalaman indrawi yang merupakan unsur konstruktif dari pengalaman estetis dan keindahan dalam pengertian sehari-hari. Dalam hal ini Plato amat menghargai dan menekankan pengetahuan murni (episteme) yang mengungguli segala pengetahuan semu (doxa). Dalam hal keindahan, Plato amat menekankan arti suatu idea (eidos), dan yang lain dari idea itu hanyalah berhala-berhala (eidola, dalam bahasa Inggris: idols) saja. Berkenaan dengan keindahan ini terdapat tiga pandangan yang dapat diacu: Pertama, keindahan berdasarkan keseimbangan, keteraturan, ukuran dan sebagainya. Pandangan ini berasal dari Pythagoras, Plato, dan Thomas. Kedua, keindahan merupakan jalan menuju kontemplasi. Pandangan ini nampak dalam pikiran Plato, Plotinos, Agustinus. Keindahan itu sendiri pertama-tama dianggap berada di luar dan lepas dari subjek, yang biasanya dengan penekanan bahwa keindahan itu ada di "seberang". Ketiga, perhatian akan apa yang secara empiris terjadi dalam diri subjek termuat dalam pandangan Aristoteles dan Thomas. Keduanya menyajikan penyelidikan

terhadap pengalaman manusia secara aposteriori-empiris (Sutrisno & Verhaak, 1994:25-34). Berbicara tentang keindahan mau tidak mau memang harus menengok ke jaman Yunani Kuno pada abad ke-18. Menurut The Liang Gie, dalam bukunya Garis Besar Esietik diterangkan bahwa istilah keindahan dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi beautiful, Perancis beau, Italia dan Spanyol hello. Kata-kata tersebut berasal dari bahasa Latin helium. Akar kata dari istilah tersebut adalah bonum yang berarti kebaikan, lalu mempunyai bentuk pengecilan menjadi bonellum dan akhirnya dipendekkan ditulis helium. Dalam bahasa Inggris untuk membedakan antara sesuatu yang berkualitas abstrak dengan sebuah benda tertentu yang indah sering digunakan istilah beauty (keindahan) dan the beautiful (benda atau hal yang indah). Dalam pembahasan filsafat, kedua hal tersebut sering dicampuradukkan. Di sisi lain, pengertian keindahan juga sering dijabarkan dalam pengertian: 1) keindahan dalam arti luas; 2) keindahan dalam arti estetik murni; 3) keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan. Menurut The Liang Gie, keindahan dalam arti luas mengandung pengertian ide kebaikan, watak, hukum, pikiran, pendapat, dan sebagainya. Misalnya, Plato menyebut watak yang indah dan hukum yang indah, sedangkan Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang baik dan juga menyenangkan. Plotinus mengatakan tentang ilmu yang indah dan kebijakan yang indah. Orang Yunani di samping berbicara tentang buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah, juga mengenal keindahan dalam arti estetik (symmetria), yaitu suatu keindahan berdasarkan penglihatan (seperti seni pahat, arsitektur) dan harmonia yaitu keindahan berdasarkan pendengaran (musik). Bertolak dari anggapan-anggapan tersebut maka keindahan dalam arti luas dapat diklasifikasikan menjadi: keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, dan keindahan intelektual. Adapun keindahan dalam arti estetik murni menyangkut pengalaman estetik seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diserapnya. Sedangkan, keindahan dalam arti yang terbatas mem-

punyai arti yang lebih sempit lagi, sehingga hanya menyangkut benda-benda yang dapat diserap dengan penglihatan, yakni keindahan bentuk dan warna. Bertolak dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keindahan adalah sejumlah kualita pokok tertentu yang terdapat pada suatu hal. Kualita adalah kesatuan (unity), keseimbangan (balance), dan kebalikan (contrast). Dengan begitu, keindahan itu tersusun dari berbagai keselarasan dan kebalikan dan garis, warna, bentuk, nada, dan kata-kata. Ada pula yang berpendapat, keindahan itu suatu kumpulan dari hubungan-hubungan yang selaras dalam suatu benda dan diantara benda itu dengan si pengamat. Dengan kata lain, ciri-ciri keindahan menyangkut kualitas hakiki dari segala benda yang mengandung kesatuan (unity), keseimbangan (balance), keselarasan (harmoni), kesimetrisan (symetry), dan pertentangan (contrast). Yang berarti pula bahwa keindahan itu tersusun dari keselarasan dan pertentangan dari garis, warna, bentuk, nada, dan kata-kata. Dewasa ini filsuf seni merumuskan keindahan sebagai kesatuan hubungan yang terdapat antara penerapan-penerapan indrawi (beauty is unity of formal realitions of our sense perceptions). Adapun filsuf lain menghubungkan pengertian keindahan dengan ide kesenangan (pleasure), yaitu sesuatu yang menyenangkan bagi penglihatan atau pendengaran. Filsuf abad pertengahan, Thomas Aquinos (1225-1274) mengatakan, keindahan adalah sesuatu yang menyenangkan bilamana dilihat (id qoud visum placet). Dalam estetika modern orang lebih suka berbicara tentang seni dan estetika, karena merupakan gejala konkret yang dapat ditelaah dengan pengalaman secara empirik dan penguraian sistematik. Deitgan demikian, pengalaman estetika dan seni tidak lagi sekedar pengalaman abstrak.

E. Manusia Tanggung Jawab Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Dengan begitu, tanggung jawab dapat diartikan sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang bertanggung

jawab, karena manusia di samping sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, juga merupakan makhluk Tuhan. Manusia dituntut untuk bertanggung jawab, karena ia mementaskan sejumlah peranan dalam konteks sosial, individual, dan teologis. Dalam konteks sosial manusia merupakan makhluk sosial. la tidak dapat hidup sendirian dengan perangkat nilai-nilai menurut seleranya sendiri. Nilainilai yang diperankan seseorang dalam jalinan sosial harus dipertanggungjawabkan, sehingga tidak mengganggu konsensus nilai yang telah disetujui bersama. Sedangkan, masalah tanggung jawab dalam kontelcs individual terkait erat dengan konteks teologis. Manusia sebagai makhluk individu artinya harus bertanggung jawab kepada dirinya sendiri dalam keseimbangan jasmani dan rohani, serta mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan. Tanggung jawab manusia kepada dirinya akan lebih kuat intensitasnya jika ia memiliki kesadaran yang lebih mendalam. Tanggung jawab terhadap diri sendiri ini muncul karena ada keyakinan terhadap suatu nilai, bahwa apa yang diperbuat cepat atau lambat akan berdampak pada dirinya (sebagai wujud tanggung jawab). Tidak jauh berbeda dengan tanggung jawab pribadi, tanggung jawab manusia terhadap Tuhan timbul karena ada kesadaran manusia akan keyakinannya terhadap nilai-nilai. Nilai-nilai ini bersumber dari ajaran agamanya. Menurut keyakinan agama, manusia dituntut tanggung jawabnya kepada kewajiban-kewajibannya sebagai hamba Allah di muka bumi. Dalam al-Qur'an Allah telah memperingatkan manusia agar tidak lupa akan tugas dan kewajibannya, seperti dalam Surat al-Anfal, ayat 27-28, yang arti harafiahnya kurang lebih demikian: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah

kamu

mengkhianati

amanat-amanat

yang

dipercayakan

kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar."

Tanggung jawab dalam konteks pergaulan manusia adalah keberanian. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang berani menanggung resiko atas segala yang menjadi tanggung jawabnya. la akan berlaku jujur kepada dirinya dan jujur terhadap orang lain, mandiri dan tidak pengecut. Orang yang demikian akan berusaha melalui seluruh potensi dalam dirinya dengan rasa penuh tanggung jawab. la mau berkorban demi kepentingan orang lain. Tanggung jawab erat kaitannya dengan kewajiban. Kewajiban adalah sesuatu yang dibebankan terhadap seseorang. Kewajiban merupakan bandingan terhadap hak dan dapat juga tidak mengacu kepada hak. Adapun tanggung jawab yang dimaksud adalah tanggung jawab terhadap kewajiban yang diembannya. Pembagian kewajiban orang per orang sangat ditentukan oleh keadaan hidup masingmasing orang. Status dan peranan seseorang dalam masyarakat sangat menentukan kewajiban tersebut. Secara garis besar pembagian kewajiban dapat dibedakan menjadi dua bagian, antara lain: 1. Kewajiban

terbatas:

kewajiban

yang

tanggung

jawabnya

diberlakukan kepada setiap orang adalah sama. Misalnya, undangundang yang melarang pembunuhan, pencurian, dan perkosaan bagi pelanggarnya dapat dikenakan hukuman-hukuman. 2. Kewajiban tidak terbatas: kewajiban yang tanggung jawabnya diberlakukan kepada semua orang. Tanggung jawab terhadap kewajiban ini nilainya lebih tinggi, sebab dijalankan oleh suara hati, seperti keadilan dan kebajikan. Orang yang bertanggung jawab akan dapat merasakan kebahagiaan apabila telah dapat menunaikan kewajibannya. Sebaliknya, orang yang tidak bertanggung jawab akan menghadapi kesulitan karena telah menyimpang dari aturan, norma, atau nilai-nilai yang berlaku. Problem utama yang terasa di zaman sekarang adalah menurunnya perasaan moral dan rasa hormat diri untuk menegakkan rasa tanggung jawab. Orang yang memiliki rasa tanggung jawab akan berlaku adil atau mencoba untuk

berbuat

adil,

karena

ia

tahu

apa

yang

dilakukan

akan

dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Akan tetapi, karena runtuhnya nilai-nilai moral yang dipegangnya ada kecenderungan orang yang hendak bertanggung jawab justru dianggap tidak adil. Orang sekarang sudah berani membuat kesaksian-kesaksian kebenaran menurut isi hatinya sendiri. Indikasi atau sinyalemen perilaku manusia semacam ini telah difirmankan Allah, dalam al-Qur'an, Surat al-Baqarah, Ayat 204, yang artinya kurang lebih demikian: "Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (Atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras." Adapun macam-macam tanggung jawab yang melekat pada diri manusia antara lain meliputi: 1. Tanggung jawab pribadi Manusia sebagai

individu memiliki

pribadi

yang utuh dalam

berpendapat, berperasaan, berangan-angan, dan bertindak apa saja. Akan tetapi, sebagai individu juga harus berani bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuatnya. Seorang gadis tak dilarang untuk berasyik-masyuk menikmati masa muda dengan menjalin pergaulan yang sebebas-bebasnya. Akan tetapi, jika lupa daratan dan terjadilah peristiwa Layu Sebelum Berkembang seperti yang pernah dijadikan judul film atau lagu oleh para seniman kita itu, ia harus berani menanggung resiko itu secara pribadi. Biasanya kesadaran batin baru timbul ketika predikat tersebut telah disandangnya. Konflik yang dialami gadis tersebut merupakan akibat dari rasa tanggung jawab terhadap dirinya sendiri. 2. Tanggung jawab kepada keluarga Keluarga

merupakan

unit

terkecil

dari

kelompok

masyarakat.

Pengertian keluarga (inti) atau nuclear family meliputi: ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Sebagai anggota keluarga, setiap orang harus bertanggung jawab kepada dirinya maupun keluarga. Tanggung

jawab ini tidak hanya dalam bentuk kesejahteraan dan keselamatan fisik maupun pendidikan secara lahiriah, tetapi juga menyangkut nama baik yang tertuju pada pendidikan dan kehidupan dunia akhirat. Perbuatan Sukartono dan Tini dalam Belenggu-nya Armyn Pane merupakan contoh suami dan istri yang tidak bertanggung jawab; Guru Isa yang mengambil barang-barang sekolah untuk dijual karena demi menunjukkan rasa tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga merupakan contoh perbuatan yang melanggar norma hukum, susila, dan moral-baca pula Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. 3. Tanggung jawab kepada masyarakat Manusia adalah makhluk sosial. Manusia sebagai anggota masyarakat dan berada di tengah-tangah masyarakat. Karena itu, dalam berpikir, bertingkah laku, berbicara dan segala aktivitas manusia terikat oleh masyarakat. Maka, sudah sepantasnya apabila segala tingkah laku dan perbuatannya harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Dalam Salah Asuhan, karya Abdul Muis, tokoh Hanafi akhirnya bersedia memakai pakaian adat di dalam pesta perkawinannya. Hal itu merupakan bentuk tanggung jawab terhadap masyarakat. 4. Tanggung jawab kepada bangsa dan negara Sebagai warga negara, setiap orang bertanggung jawab terhadap negara dan bangsanya. Dalam novel Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangun Wijaya, tokoh Teto yang sudah bekerja di negeri asing melihat adanya manipulasi komputer terhadap bangsa dan negara. Untuk itu, ia merasa terpanggil untuk membongkamya, meskipun harus menjadi korban

pemecatan

dan

perusahaan.

Contoh

lain

adalah

tokoh

Kumbakarna dalam Ramayana yang rela mati melawan Rama dengan alasan membela tanah air. 5. Tanggung jawab kepada Tuhan Manusia sehagai makhluk ciptaan Tuhan dapat mengembangkan diri sendiri dengan sarana-sarana pada dirinya, seperti akal, pikiran, perasaan, dan anggota tubuhnya. Semua itu atas kuasa Tuhan. Untuk itu, apa pun

yang dilakukan harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Dalam A1Qur'an juga ditegaskan bahwa barang siapa yang beriman dan bertakwa akan mendapatkan kebaikan kelak, sedangkan yang mendustakan kebenaran akan mendapatkan balasan di neraka. Hal itu dapat dilihat dalam surat az-Zumar, Ayat 32-34.

F. Pengabdian 1. Pengabdian kepada keluarga Dalam kehidupan berkeluarga tidak terlepas dari rasa cinta dan kasih sayang. Setiap bentuk kasih sayang dan cinta diperlukan suatu pengorbanan dan pengabdian sebagai wujud tanggung jawab. Dalam suatu kehidupan keluarga wujud tanggung jawab dapat dilakukan dengan berbagai bentuk pengabdian. Seorang kepala rumah tangga (ayah) bekerja keras, berangkat pagi pulang malam untuk mencukupi kebutuhan hidup rumah tangganya. Hal tersebut merupakan bentuk pengabdian dan tanggung jawab kepada keluarga. Kisah Siti Nurbaya yang bersedia kawin dengan Datuk Maringgih demi menebus hutang ayahnya. Sikap Siti Nurbaya ini sebagai bentuk pengabdian

terhadap

keluarga.

Kisah

lain

yang

mencerminkan

pengabdian kepada keluarga, antara lain: dalam kisah Kabut Sutra Ungu karya Ike Supomo, tokoh Miranti tidak segera kawin karena cintanya pada almarhum suaminya; Kisah cinta Hamid dan Zaenab dalam Di Bawah Lindungan Ka'bah karya Hamka. 2. Pengabdian kepada masyarakat Manusia sebagai anggota masyarakat tidak dapat hidup tanpa orang lain. Maka sebagai wujud tanggung jawabnya kepada masyarakat, ia harus menampakkan

pengabdian

dirinya

kepada

masyarakat.

Bentuk

pengabdian diri ini dapat diwujudkan melalui partisipasi dalam aktivitas di masyarakat, termasuk di dalamnya menjaga nama baik suatu warga. Suatu kisah yang ditulis Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk tokoh Srintil mengorbankan masa depan dan keperawanannya hanya

untuk melestarikan tradisi ronggeng pada peradaban budaya masyarakat waktu itu. Film berjudul Sumpah Pocong, yang dibintangi Rano Karno, mencerminkan

bentuk

peradaban

masyarakat

untuk

meminta

pertanggungan jawab dari warganya yang dianggap menyimpang perilakunya. 3. Pengabdian kepada negara Manusia pada hakekatnya adalah bagian dari suatu bangsa, yang menjadi warga negara suatu pemerintahan negara. Oleh karenanya, sebagai warga negara perlu menunjukkan peran dan pengabdiannya kepada negara di mana pun mereka berada. Pengabdian kepada negara ini merupakan wujud cintanya kepada tanah air. Banyak contoh pengabdian kepada bangsa dan negara yang telah ditunjukkan oleh para pahlawan dan pejuang kenegaraan, seperti Pangeran Diponegoro, Jendral Sudirman, Bung Karno dan Bung Hatta, dan sebagainya. Mereka berjuang mengabdikan diri demi tegaknya negara Indonesia dari cengkeraman penjajah. Kisah dalam film Perlawanan Sepuluh Nopember, Pangeran Diponegoro, Cut Nya Dien merupakan contoh kisah-kisah yang memperlihatkan pengabdian kepada negara. Dalam karya sastra misalnya: Untung Suropati karya Abdul Muis, tokoh Teto dalam Burung-Burung Manyar karya Romo Mangun, tokoh Basukamo dalam Mahabarata, Kumbakarno dalam Ramayana. 4. Pengabdian kepada Tuhan Manusia ada di dunia tidak dengan sendirinya muncul, melainkan ada yang menciptakan. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia wajib mengabdi kepada Tuhan. Dalam al-Qur'an, Surat adz Dzari-yat, Ayat 56, disebutkan bahwa manusia dan jin diciptakan oleh Allah tidak lain hanya untuk mengabdi kepada-Nya. Pengabdian kepada Tuhan berarti penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Semua perilaku dan peribadatan manusia hendaknya hanya ditujukan kepada Allah untuk mendapatkan ridho-Nya. Sikap seperti itu merupakan wujud tanggung jawab manusia kepada Tuhan.

Implementasi pengabdian kepada Tuhan dapat pula diwujudkan dalam bentuk karya seni, seperti dalam puisinya Amir Hamzah yang berjudul PadaMu jua! Novelis Hamka dengan cerita Di Bawah Lindungan Ka'bah. Dalam dunia perfilman nasional muncul tema-tema Titian Rambut Dibelah Tujuh, Sunan Kalijogo, dan lain-lain.

G. Manusia dan Pandangan Hidup Pandangan hidup terdiri atas cita-cita, kebajikan dan sikap hidup. Cita-cita, kebajikan, dan sikap hidup itu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Manusia dapat berkembang mencapai kemajuan dalam berbagai bidang ilmu karena terdorong oleh cita-citanya. Dinamika masyarakat akan terwujud dengan adanya cita-cita dan pandangan hidup tersebut. Cita-cita dapat berarti angan-angan, keinginan, harapan, dan tujuan. Setiap orang tua berkeinginan agar anaknya berhasil dikemudian hari. Adapun kadar atau tingkat cita-cita, kebijakan, dan sikap hidup itu berbeda-beda sangat bergantung pada,tingkat pendidikan, pergaulan, dan lingkungan masing-masing. Keinginan ada yang baik dan ada yang buruk. Keinginan yang baik bersifat luhur dicapai dengan tidak merugikan orang lain dan juga tidak merugikan diri sendiri. Keinginan buruk adalah keinginan yang dapat merugikan orang lain sekaligus diri sendiri. Misalnya, orang yang berkeinginan baik jika ingin kaya tentu dengan jalan bekerja keras, tidak sebaliknya berperilaku buruk mengambil jalan pintas dengan merampok. Untuk itulah, setiap keinginan dan tujuan harus didasarkan pada suatu kesadaran yang lebih tinggi, yaitu menjadi hamba Allah yang benar-benar bertaqwa. Dalam al-Qur'an, Surat al-Hujurat, Ayat 13, difirmankan: "...Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah ialah orang-orang yang paling tagwa..." Ada tiga katagori keadaan hati seseorang, yaitu: berhati keras, berhati lunak, berhati lemah. Orang yang berhati keras, tidak berhenti berusaha sebelum cita-citanya tercapai. la tidak menghiraukan rintangan, tantangan dan segala kesulitan yang dihadapi. Orang yang

demikian, biasanya mencapai hasil yang gemilang dan sukses di dalam hidupnya, misalnya: tokoh-tokoh pemimpin seperti Gajah Mada, Sukarno, Muh. Hatta, dan sebagainya. Dalam dunia pewayangan dapat dicontohkan tokoh Werkudara yang berusaha mencari "air suci" meskipun berada di dasar samodra. Orang yang berhati lunak biasanya dalam mencapai cita-cita dengan menyesuaikan diri pada situasi dan kondisi. Akan tetapi, ia tetap berusaha mencapai cita-cita tersebut, sehingga meski lambat ia akan berhasil meraih cita-citanya. Misalnya; Hamka dari guru SD merambat menjadi guru besar (Profesor). Orang vang berhati lemah mudah sekali terpengaruh oleh situasi dan kondisi. Apabila menghadapi kesulitan akan cepat-cepat berganti haluan, berubah keinginannya. Orang yang seperti ini akan mengalami kesulitan dalam mencapai kesuksesan yang lebih besar. Cita-cita, keinginan, harapan, banyak menimbulkan daya kreativitas para seniman. Berbagai hasil seni, seperti: drama; novel, musik, film, tari, dan filsafat yang lahir dari kandungan cita-cita, keinginan, dan harapan.

H. Pandangan Hidup Kelebihan makhluk yang namanya manusia tidak lain adalah dikaruniainya akal dan budi, Dengan memiliki akal dan budi maka kehidupan manusia sehari-hari sudah barang tentu tidak sekedar untuk hidup, melainkan mereka punya pandangan hidup ke depan yang mulia. Hal ini didasarkan kesadaran dirinya bahwa sebagai manusia itu lemah, akan tetapi ia juga menyadari bahwa kehidupannya sangat kompleks. Kesadaran akan kelemahan dirinya memaksa manusia untuk mencari kekuatan di luar dirinya, dengan harapan dapat terlindung dari ancamanancaman yang mengintai dirinya baik secara fisik maupun non-fisik. Ancamanancaman itu dapat berupa: penyakit, bencana alam, kegelisahan, ketakutan, dan sebagainya. Di samping itu, melalui akal dan budinya manusia juga berusaha menciptakan sarana dan prasarana untuk membantu mempermudah mengatasi kebutuhan hidupnya yang sangat kompleks.

Upaya manusia untuk mencari kekuatan di luar dirinya semakin menyadarkan dirinya, bahwa di balik kehidupan ini ada kehidupan lain yang diyakini lebih abadi. Kesadaran inilah yang membuat manusia lebih yakin. Apa yang ia lakukan selama di dunia ini kelak tentu akan dimintai pertanggungan jawab di alam yang diyakini kebenarannya. Manusia tahu benar bahwa baik dan buruk itu akan memperoleh perhitungan, maka manusia berusaha mencari "sesuatu" yang dapat menuntunnya ke arah kebaikan dan menjauhkan diri dari keburukan. Akhirnya, manusia menemukan apa yang disebut "sesuatu kekuatari" yang ada di luar dirinya, yaitu keyakinan terhadap Tuhan. Hal ini perlu disadari bahwa Tuhan bagi manusia merupakan suatu kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan yang besifat abadi dan terus-menerus. Sebab, setiap saat manusia selalu memerlukan perlindungan kepada Tuhan dan petunjuk agama. Firman Allah menyebutkan: "Kamilah pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh pula apa yang kamu minta." (QS. Fushilat: 31). Pandangan hidup seperti itulah yang diyakini oleh manusia. Hal ini amat sangat penting untuk dimiliki, karena demi kebahagiaan hidup di dunia dan akherat. Masalah ini adalah masalah asasi manusia, yang pilihannya harus benar-benar didasarkan pada akal dan budi tidak sekedar ikut-ikutan. Karena jika sekedar ikut-ikutan penghayatan terhadap

agamanya bisa jadi hanya

bersifat lahiriah tidak sampai ke kalbunya. Allah telah berfirman dalam alQur'an, Surat al-Imran, Ayat 19, yang artinya: ",agama yang benar bagi Allah itu hanyalah Islam." Namun, agama apa yang akan dipilih manusia sebagai sandaran diserahkan sepenuhnya kepada manusia itu sendiri. Yang pasti, hak Allah tidak boleh diganggu gugat bahwa pada akhirnya Allah akan memberikan pahala kepada manusia yang berbuat benar dan siksa kepada manusia yang berbuat salah. Lihat al-Qur'an Surat ar-Rum, Ayat 44. Urusan agama adalah urusan akal, seperti dikatakan Nabi Muhammad saw dalam salah satu hadistnya, bahwa "Agama adalah akal, tidak ada agama bagi orang-orang yang tidak berakal". Maksud Nabi ialah agar manusia

dalam memilih suatu agama benar-benar berdasarkan pertimbangan akalnya, bukan sebatas karena asas keturunan. Hal ini ditegaskan pula dalam al-Qur'an, Surat al-Baqarah, Ayat 236, yang artinya: "Tidak ada paksaan untuk memasuki sesuatu agama, sesungguhn.ya telah jelas antara jalan (agama) yang benar dan jalan (agama) yang salah."

I. Manusia dan Kegelisahan H.1. Memahami Kegelisahan Kegelisahan berasal dari kata "gelisah". Gelisah artinya resah, rasa tidak tenteram, rasa selalu khawatir, tidak tenang, tidak nyaman, tidak bisa sabar, cemas, dan seterusnya. Kegelisahan berarti perasaan gelisah, khawatir, cemas, dan takut. Siapa pun orangnya suatu saat pasti pernah merasakan halhal serupa. Mengapa semua ini harus terjadi pada diri manusia? Alasannya mendasar,

karena

manusia

memiliki

hati

dan

perasaan.

Bentuk

kegelisahannya dapat berupa keterasingan, kesepian, dan ketidakpastian hidup. Meskipun, hal itu kadang-kadang tidak didasari oleh sebab-sebab yang jelas. Perasaan-perasaan semacam ini dalam kehidupan manusia silih berganti dengan kebahagiaan dan kegembiraan. Orang yang sedang gelisah hatinya tidak tenteram, merasa khawatir, cemas, takut, dan seterusnya. Dalam al-Qur'an, Surat al-Baqarah, Ayat 153, difirmankan bahwa agar manusia terlepas dari berbagai permasalahan hidup hendaknya dapat menggunakan sabar dan shalat itu sebagai penolongnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." Menurut Sigmund Freud perasaan cemas ini dapat digolongkan menjadi tiga macam yaitu: 1. Kecemasan kenyataan (objektif) Kecemasan ini dikarenakan adanya bahaya dari luar yang mengancam dan benar-benar dihadapi secara nyata. Misalnya: Seorang ibu gelisah

karena anaknya diculik; seorang ibu gelisah karena anaknya sakit; seorang pelajar gelisah karena kartu ujiannya hilang; dan sebagainya. 2. Kecemasan neurotik (syaraf) Kecemasan ini timbul karena pengamatan tentang bahaya dari nalurinya. Misalnya: Takut berada di suatu tempat yang asing dan harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya; rasa takut yang irasional semacam fobia, gugup/gagap atau gemetaran. 3. Kecemasan moral Kecemasan ini muncul dari emosi diri sendiri yang memunculkan sifatsifat iri, dengki, dendam, hasut, tamak, pemarah, rendah diri, dan sebagainya. Dengan adanya sifat ini manusia cenderung mengalami rasa khawatir, takut, cemas, atau bahkan putus asa setelah melihat keberhasilan orang lain. Sebagian besar kegelisahan manusia disebabkan oleh rasa takut akan kehilangan hak, nama baik, maupun ancaman dari luar dan dari dalam. Untuk mengatasinya manusia perlu meningkatkan iman, takwa, amal shaleh, penyabar, dan menjalankan shalat secara khusuk. Seperti dalam kutipan firman Allah berikut: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir; apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, tetapi apabila mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang -orang yang mengerjakan shalat, mereka yang tetap mengerjakan shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang miskin (yang tidak dapat meminta), dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap adzab Tuhannya." (Widagdho, 1991:162). Bertolak dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kegelisahan dan segala keluh kesah adalah bagian dari hidup manusia. Semua itu sudah terpatri sebagai karakteristik dalam diri manusia, yang hanya bisa diatasi jika yang bersangkutan bisa bersikap untuk memiliki keyakinan/ iman penuh, sabar, pasrah, dan selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam pendekatan diri kepada Tuhan secara vertikal harus diimbangi

dengan hubungan horisontal, yaitu menjalin hubungan baik dengan sesama manusia.

J. Manusia dan Harapan J.1. Memahami Harapan Kata "harapan" berasal dari kata "harap", artinya suatu keinginan, permohonan, penantian. Adapun kata "harapan" itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu keinginan yang belum terwujud dan diupayakan agar terwujud. Misalnya: seorang petani berharap agar panen tahun ini lebih besar daripada tahun kemarin; orang tua yang baru saja punya putra tentu akan berharap agar kelak jadi anak yang shaleh, dan sebagainya. Setiap orang memiliki harapan sendiri-sendiri. Manusia yang tiada harapan dalam hidupnya tidak ada artinya sebagai manusia. Manusia yang tidak mempunyai harapan berarti tidak dapat diharapkan lagi keberadaannya. Secara kodrati dalam diri manusia memiliki dorongandorongan, yakni dorongan kodrat dan dorongan kebutuhan hidup. Dorongan kodrat itu ialah menangis, tertawa, berpikir, berkata, bercinta,

mempunyai

keturunan,

dan

sebagainya.

Sedangkan,

kebutuhan hidup dapat berupa kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani yakni: berupa makan, pakaian, tempat tinggal. Orang Jawa mengatakan papan, sandang, dan pangan. Sedangkan kebutuhan rohani meliputi kebahagiaan, kepuasan, ketenangan, kesejahteraan, hiburan, dan sebagainya. Untuk mencapai semua keinginan itu manusia tidak bisa terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Manusia tidak dapat mencapai semua kebutuhan itu secara sendiri, melainkan butuh bantuan orang lain. Untuk itu, manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, sehingga manusia harus bergaul dengan anggota masyarakat lainnya. Menurut Abraham Maslow, kebutuhan hidup manusia dapat dikategorikan menjadi lima harapan:

1. Harapan untuk memperoleh kelangsungan hidup (survival), misalnya: kebutuhan fisiologis seperti papan, sandang, dan pangan. 2. Harapan

untuk

memperoleh

keamanan

(safety),

misalnya:

perlindungan dari pemerintah dan agama. 3. Harapan untuk memiliki hak dan kewajiban untuk mencintai dan dicintai (beloving and love). 4. Harapan untuk memperoleh status atau diterima dan diakui di lingkungannya. Dalam pemerolehan status dapat dibedakan antara yang ascribe dan achieve. Status yang ascribe adalah status yang dimiliki seseorang sejak lahir berdasarkan keturunan, misalnya: sebagai keturunan ningrat, Brahmana, dan lain-lain. Sedangkan, status achieve adalah status yang diperoleh seseorang berdasarkan prestasinya, misalnya: status sarjana yang diperoleh dengan kerja keras, belajar, dan sebagainya. 5. Harapan untuk memperoleh perwujudan dan cita-cita (selfactualization),

misalnya: diakui eksistensinya sesuai dengan

keahlian atau kepangkatan (Djoko Widagdho, 1991:187).

BAB V MANUSIA, KERAGAMAN, KESEDERAJATAN DAN KEMARTABATAN

A. Unsur-Unsur Keragaman Kata keragaman dapat diartikan kebermacaman atau bermacammacam (Badudu, 1994:1118). Dalam kaitannya dengan pembahasan ini kata keragaman dapat diartikan sebagai hal yang bermacam-macam. Keragaman adalah suatu keadaan masyarakat yang di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan dalam berbagai hal. Sebagaimana yang telah kita ketahui dan disadari bersama bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk, yang ditandai dengan beragam suku bangsa, agama, dan kebudayaan. Keragaman itu merupakan kekayaan budaya bangsa yang membanggakan, tetapi pada sisi lain mengandung potensi masalah yang dapat mengakibatkan malapetaka jika tidak dikelola dengan baik. Keragaman dipandang sebagai kekayaan budaya yang membanggakan, artinya bahwa, bangsa Indonesia memiliki beragam unsur kebudayaan yang berasal dari beragam golongan, kelompok, atau pun komponen bangsa lainnya. Masing-masing komponen bangsa memiliki bentuk dan potensi tersendiri untuk dapat dikembangkan, sehingga dalam pengembangannya dapat dipandang memiliki beragam potensi yang bisa dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa. Namun demikian, beragam potensi yang rnerupakan wujud kekayaan bangsa ini juga berpotensi untuk menimbulkan adanya banyak kerawanan yang berpotensi menimbulkan banyak masalah, sehingga rawan akan konflik. Untuk menekan terjadinya konflik, maka diperlukan tata kelola yang baik. Unsur-unsur keragaman yang merupakan sumber kekayaan bangsa dan sekaligus menjadi sumber kerawanan timbulnya konflik tersebut dapat digolongkan menjadi dua, yaitu yang lingkupnya bersifat umum (misalnya: suku bangsa dan ras, agama dan keyakinan, ideologi dan politik, adat dan kesopanan, kesenjangan ekonomi, dan kesenjangan sosial) dan yang bersifat

pribadi (misalnya: perilaku seseorang, minat seseorang, cita-cita seseorang, dan lain sebagainya). Unsur-unsur keragaman tersebut berpengaruh terhadap kehidupan manusia karena masing-masing berdampak langsung bagi terpeliharanya kesederajatan dan kemartabatan manusia. Misalnya saja dalam hal keragaman suku bangsa dan ras, bangsa Indonesia memiliki beragam suku bangsa antara lain: dari Aceh, Melayu, Batak, Jawa, Madura, Dayak, Bugis, sampai Papua, dan lain-lain. Keragaman suku bangsa tersebut tidak saja membedakan bentuk fisik melainkan juga bersifat non-fisik, seperti: dalam hal bahasa, pola perilaku, adat-istiadat, keyakinan, seni, dan lain-lain. Hal ini perlu disadari bersama secara arif dan bijaksana bahwa keragaman tersebut merupakan bagian dari kekayaan bangsa, bukan sebaliknya untuk menunjukkan adanya perbedaan dan pembenaran diri sebagai yang terbaik. Keragaman budaya atau cultural diversity adalah ke niscayaan yang ada di bumi Indonesia, atau sesuatu yang tidak dapat dipungkiri lagi keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat yang majemuk, masyarakat Indonesia selain memiliki kebudayaan yang didasarkan atas kelompok suku bangsa juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah yang bersifat

kewilayahan

dan

merupakan

pertemuan

antara

berbagai

kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada di daerah tersebut. Dengan jumlah penduduknya yang kurang lebih sudah mencapai 200 juta orang, mereka semua tinggal secara tersebar di pulau-pulau Indonesia. Mereka berada di wilayah Indonesia dengan kondisi geografis yang bervariasi, mulai dari pegunungan, pedalaman, tepian hutan, dataran rendah, pedesaan, pesisir pantai, hingga perkotaan. Mereka yang tinggal dengan wilayah bervariasi tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok suku bangsa dan masyarakat di Indonesia yang beraneka ragam. Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar pun akan mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia, sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Di samping itu, juga berkembang dan meluasnya agama-agama besar di

Indonesia turut mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga mencerminkan kebudayaan agama tertentu. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki tingkat keanekaragaman budaya atau tingkat heterogenitas yang tinggi, tidak saja dalam keanekaragaman budaya pada kelompok suku bangsa melainkan juga dalam keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradisional hingga ke modern, dan bahkan kewilayahan. Dengan adanya keragaman suku bangsa dan ras, serta kebudayaan yang ada, adat dan kesopanan pun menjadi beragam. Misalnya, adat dan kesopanan di Jawa tentu akan berbeda dengan adat dan kesopanan di Papua, adat dan kesopanan Aceh tentu akan berbeda dengan di Bali, dan seterusnya. Keragaman ini harus disadari sebagai bagian dari kekayaan budaya bukan sebaliknya menjadi masalah untuk dipertentangkan. Demikian juga dengan masalah agama dan keyakinan. Beragam agama dan keyakinan yang tumbuh dan berkembang di Nusantara ini perlu disadari sebagai bagian dari hak-hak asasi manusia yang merupakan hak-hak dasar bagi individu, sehingga tidak harus dikonfrontasikan melainkan harus direngkuh sebagaimana zaman Nabi Muhammad memimpin masyarakat Medinah yang dapat menghargai dan menghormati adanya pluralisme. Bertolak dari keanekaragaman budaya yang ada maka dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia memiliki keunggulan tersendiri dibanding dengan negara-negara lain. Sebagai sebuah negara kepulauan, bangsa Indonesia memiliki potret budaya yang lengkap dan bervariasi. Secara sosial budaya dan politik masyarakat Indonesia memiliki jalinan sejarah dan dinamika interaksi antar kebudayaan yang sudah terbentuk sejak dahulu kala. Terjadinya interaksi ini tidak saja pada hubungan antarkelompok suku bangsa yang berbeda melainkan juga meliputi peradaban yang ada di dunia. Secara historis wilayah Nusantara di samping terdapat penduduk asli yang sejak awal telah menetap, juga banyak pendatang dari bangsa lain yang kemudian berbaur dengan penduduk setempat dan melahirkan beragam bentuk kebudayaan baru. Berbagai suku bangsa pendatang yang kemudian

singgah di kawasan Nusantara antara lain berasal dari China, India, Timur Tengah, dan Eropa. Hal itu dapat dibuktikan dari berbagai peninggalan yang ada maupun unsur lain yang terkait ras mereka. Berbagai suku bangsa yang berasal dari China, India, dan Timur Tengah telah memberi arti tersendiri bagi tumbuh kembangnya peradaban bangsa ini, baik dari adatistiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, maupun yang lain-lainnya. Demikian juga dengan bangsabangsa Eropa, seperti berlabuhnya kapalkapal Portugis di Banten pada abad pertengahan telah membuka Indonesia pada lingkup pergaulan dunia internasional pada saat itu. Pengalaman sejarah tersebut telah membentuk daya elatisitas bangsa Indonesia untuk berinteraksi dengan perbedaan. Daya elatisitas ini terbukti dari kemampuan bangsa Indonesia yang masih mampu mengembangkan lokalitas budaya di tengah-tengah lalu-lintas persinggungan antar peradaban. Kenyataan sejarah di atas membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup secara berdampingan dan saling mengisi, sehingga dapat berjalan paralel. Meskipun terdapat kebudayaan kraton yang dikembangkan oleh kerajaan, eksistensi kebudayaan daerah yang hidup di kalangan masyarakat pedesaan tetap dapat berkembang dengan baik, dan bahkan terjadi kolaborasi bersama sehingga dapat saling memelihara kelangsungannya. Hal itu terbukti dari budaya seni pewayangan atau pedalangan, yang sampai saat ini masih bisa bertahan. Seni wayang tidak saja dipelihara oleh masyarakat kalangan kraton melainkan juga masyarakat pedesaan, dengan agama dan suku bangsa yang berbeda-beda. Bingkai "Bhinneka Tunggal Ika" di waktu itu telah mampu mewadahi hubunganhubungan antarkebudayaan yang terjalin, dan bahkan tidak sebatas pada konteks keanekaragaman kelompok suku bangsa, namun juga pada konteks kebudayaan antarbangsa. Kenyataan sejarah tersebut patut dicontoh dan dilestarikan, atau dipertahankan sebagai bentuk pembelajaran bagi generasi bangsa ke depan. Masalah keragaman ini perlu mendapatkan perhatian tersendiri mengingat masyarakat Indonesia yang majemuk dengan jumlah suku bangsa

kurang lebih 700-an dan berbagai tipe kelompok masyarakat yang beragam, serta keragaman agamanya menjadi rentan akan perpecahan. Kondisi yang rentan akan perpecahan ini menunjukkan adanya kerapuhan, karena keragaman perbedaan yang dimilikinya memiliki potensi konflik yang semakin tajam. Berbagai perbedaan yang ada di masyarakat menjadi pemicu untuk memperkuat isu konflik yang sewaktuwaktu dapat muncul di tengahtengah masyarakat meski pun konflik itu muncul belum tentu berawal dari keragaman kebudayaan, melainkan dari isu-isu lain. Sebagai contoh kasuskasus konflik yang pernah terjadi di Indonesia yang semula dinyatakan sebagai kasus konflik agama dan suku bangsa, kenyataannya konflik-konflik itu lebih didominasi oleh isu-isu lain yang lebih bersifat politik dan ekonomi. Penyebab konflik yang sering terjadi selama ini memang tidak sepenuhnya berakar dari satu masalah namun beberapa kasus yang ada di Indonesia dewasa ini sudah mulai memunculkan pertanyaan tentang keanekaragaman yang kita miliki. Untuk menjaga keutuhan bangsa yang selama ini telah diwarisi kemampuan dalam mengelola keragaman oleh para pendahulunya maka dalam era global ini perlu kembali belajar pada masa lalu tentang bagaimana seharusnya mengelola keragaman tersebut dengan benar. Kapasitas sistem politik, hukum, ekonomi, dan lain-lainnya harus bisa mengakomodasi semua kalangan, sehingga dalam karagaman tersebut tercipta kesederajatan sebagai komponen bangsa dan kemartabatan yang sama sebagai warga negara. Untuk itu, peran lembaga legislatif, yudikatif, serta pemerintah selaku eksekutif memegang peranan penting dalam menjaga amanahnya sebagai pihak yang diberi kepercayaan oleh rakyat untuk mengelola negara ini secara benar.

B. Menjaga Keragaman, Kesederajatan, dan Kemartabatan Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam pembicaraan di atas, untuk mewujudkan kesederajatan, kemartabatan dalam keragaman maka ada empat faktor utama yang turut memegang peranan penting, yaitu: peran

lembaga legislatif, yudikatif, eksekutif, dan rakyat pada umumnya. Dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang berada dalam konteks keragaman perlu menyadari adanya kesamaan derajat maupun kesamaan martabat bagi semua warga negara yang tinggal bersama dalam satu wadah. Kesamaan derajat dan martabat ini perlu dijamin dalam undang-undang kenegaraan sebagaimana yang termaktub pada UUD 1945 tentang hak dan kewajiban setiap warga negara adalah sama. Implementasi dari UUD 45 ini perlu dikawal oleh lembaga legislatif dalam merumuskan undang-undang bersama pemerintah selaku lembaga eksekutif. Setiap produk undang-undang yang dihasilkannya harus bisa diterima oleh semua pihak, tanpa kecuali, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kesederajatan dan kemartabatan manusia baik itu selaku individu,

kelompok,

maupun

golongan.

Asas

kesederajatan

dan

kemartabatan bagi siapa pun adalah penting agar tidak terjadi tindak diskriminasi di lapangan. Keberadaan lembaga legislatif menjadi penting untuk mengawal dan merumuskan produk undang-undang yang dapat diterima oleh semua kalangan, dan mampu memposisikan perundangundangan yang menjunjung tinggi asas kesederajatan dan kemartabatan manusia dengan tidak memihak pada kepentingan individu, kelompok, maupun golongan. Dengan demikian, tidaklah dibenarkan jika ada produk undang-undang yang dihasilkan lebih didasarkan pada kepentingan kelompok atau pun golongan, yang sebatas untuk kepentingan-kepentingan politik sesaat. Jika hal yang demikian terjadi, pasti esensi kesederajatan dan kemartabatan akan diabaikan dan terjadilah diskriminasi di lapangan sehingga memicu timbulnya konflik-konflik. Selanjutnya, peran pemerintah sebagai pihak eksekutif atau pelaksana untuk mengelola dan menjaga keanekaragaman kebudayaan sangatlah penting. Dalam konteks ini pemerintah berfungsi sebagai pengayom dan pelindung bagi warganya, sekaligus sebagai penjaga tata hubungan interaksi antar kelompok-kelompok kebudayaan yang ada di Indonesia. Namun patut disayangkan, pemerintah yang selalu dianggap sebagai

pengayom dan pelindung sering kali tidak mampu untuk memberikan ruang gerak yang cukup bagi semua kelompok-kelompok yang ada di negeri ini. Banyak kebudayaan-kebudayan kelompok suku bangsa minoritas tersingkir oleh kebudayaan daerah setempat yang dominan sebagaimana halnya yang terjadi pada masa lalu. Contoh lain yang menonjol adalah ketika ada pandangan yang mengharuskan kanya-karya seni hasil kebudayaan perlu dipandang dalam perspektif kepentingan pemerintah. Pemerintah menentukan baik buruknya suatu produk kebudayaan

atas

dasar

kepentingannya.

Implikasinya

timbul

penyeragaman kebudayaan untuk menjadi "Indonesia", sehingga tidak menghargai perbedaan yang tumbuh dan berkembang secara natural. Jika peristiwa serupa terulang kembali, pantaslah rakyat mempertanyakan keseriusan pemerintahan yang ada dalam menjalankan amanatnya. Di sisi lain, yang tidak kalah pentingnya adalah peran lembaga yudikatif, yang berusaha menegakkan keadilan bagi semua komponen bangsa dan warga negaranya. Hukum dibuat bukan untuk kepentingan kelompok; golongan, atau bahkan kepentingan individu melainkan untuk menegakkan

keadilan

dan

ketertiban

keputusan hukum yang dijalankan

masyarakat.

Segala

bentuk

harus dapat dirasakan esensi

keadilannya oleh semua pihak dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kesederajatan dan kemartabatan manusia. Dunia peradilan adalah representasi dari martabat kejujuran dan kebenaran, sehingga harus benar benar dapat mengungkapkan suara kebenaran. Sebaliknya, kebohongan dalam peradilan bukanlah kebenaran yang hakiki melainkan pengkhianatan terhadap peradilan dan kemartabatan manusia. Apabila suatu lembaga peradilan telah banyak menyuarakan kebohongan dalam kebenaran maka hilanglah esensi kesederajatan dan kemartabatan manusia, sehingga memicu timbulnya konflik secara vertikal maupun horisontal, yang rentan bagi kesatuan dan persatuan bangsa. Kondisi demikian akan memicu timbulnya disintegrasi bangsa. Untuk me-vvujudkan rasa keadilan bagi semua warga negara, di samping diperlukan sistem hukum yang baik, sarana dan prasarana yang memadai, masyarakat yang

tertib hukum, juga sumber daya manusia yang bermoral, jujur, tegas, dan bijaksana. Peran masyarakat dalam menjaga keragaman, kesederajatan, dan kemartabatan juga sangat penting. Untuk bisa menghargai keragaman, kesederajatan, dan kemartabatan semua komponen bangsa harus dapat menjaga diri dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sebagaimana yang diajarkan dalam tuntunan agama-agama bahwa derajat dan martabat manusia bukan terletak pada harta, tahta, dan jabatan melainkan berada pada pundak masingmasing individu dalam menjaga kehormatan diri di hadapan Tuhan maupun sesama manusia. Di sinilah peran penting masyarakat untuk bisa menjaga diri serta menyadari sebagai sesama makhluk Tuhan, yang esensi kemanusiaannya memiliki derajat dan martabat yang sama di sisi Tuhan. Dengan demikian, sebagai negara yang berideologi multikultur bangsa Indonesia harus didukung dengan sistem infrastruktur demokrasi yang kuat serta aparatur pemerintah yang mumpuni atau cakap, tegas, cerdas, jujur, dan amanah. Hal itu penting karena sebagai negara yang multibudayaisme kunci utamanya adalah kesamaan di depan hukum. Negara dalam hal ini berfungsi sebagai fasilitator sekaligus penjaga pola interaksi antar kebudayaan kelompok agar tetap seimbang antara kepentingan pusat dan daerah. Ada keseimbangan pengelolaan pemerintah antara titik ekstrim lokalitas dan sentralitas, misalnya kasus di Papua, oleh pemerintah kebudayaan tersebut dibiarkan untuk berkembang dengan kebudayaan Papuanya, namun secara ekonomi dilakukan pembagian kue ekonomi yang adil. Dalam konteks masa kini, kekayaan kebudayaan akan banyak berkaitan dengan produk-produk kebudayaan yang berkaitan dengan tiga wujud kebudayaan, yaitu pengetahuan budaya, perilaku budaya atau praktik-praktik budaya yang masih berlaku, dan produk fisik kebudayaan yang berwujud artefak atau bangunan. Beberapa hal yang berkaitan dengan tiga wujud kebudayaan tersebut yang dapat dilihat adalah produk kesenian dan sastra, tradisi, gaya hidup, sistem nilai, dan sistem

kepercayaan. Keragaman budaya dalam konteks studi ini lebih banyak diartikan sebagai produk atau hasil kebudayaan yang ada pada masa kini. Dalam konteks masyarakat yang multikultur, keberadaan keragaman kebudayaan

adalah

sesuatu

yang

harus

dijaga

dan

dihormati

keberadaannya. Menurut hasil konvensi UNESCO 2005 (Convention on The Protection and Promotion of The Diversity of Cultural Expressions) tentang keragaman budaya atau cultural diversty diartikan sebagai kekayaan budaya yang dilihat sebagai cara yang ada dalam kebudayaan kelompok atau masyarakat untuk mengungkapkan ekspresinya ( Prasetijo, 2009:3). Ekspresi budaya atau cultural expression dapat dimaknai sebagai isi dari keragaman budaya yang mengacu pada makna simbolik, dimensi artistik, dan nilai-nilai budaya yang melatarbelakanginya. Adapun pengetahuan budaya akan berisi tentang symbol-symbol pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat pemiliknya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungannya. Pengetahuan budaya biasanya akan berwujud nilai-nilai budaya suku bangsa dan nilai budaya bangsa Indonesia, yang di dalamnya berisi kearifan-kearifan lokal kebudayaan lokal dan suku bangsa setempat. Kearifan lokal tersebut berupa nilai-nilai budaya lokal yang tercermin dalam tradisi upacaraupacara tradisional dan karya seni kelompok suku bangsa dan masyarakat adat yang ada di Nusantara. Sedangkan tingkah laku budaya berkaitan dengan tingkah laku atau tindakan-tindakan yang bersumber dari nilai-nilai budaya yang ada. Bentuk tingkah laku budaya tersebut berupa bentuk tingkah laku sehari-hari, pola interaksi, kegiatan subsistem masyarakat, dan sebagainya. Hal itu dapat disebut sebagai aktivitas budaya. Untuk budaya artefak, kearifan lokal bangsa Indonesia diwujudkan dalam karya-karya seni rupa atau benda budaya (cagar budaya) (Prasetijo, 2009:4). Semua penjelasan tersebut sebagai bukti bahwa Indonesia sebenarnya memiliki kekayaan budaya yang beragam, baik bentuk dan asalnya, sehingga harus mampu untuk menjaga keragaman ini tetap berada mampu untuk menjaga keragaman ini tetap dalam budaya yang beragam seni rupa atau

benda budaya (cagar) budaya. Untuk budaya dalam kesederajatan dan kemartabatan.

C. Kesederajatan dan Kemartabatan Manusia Hubungan antara manusia dengan lingkungannya pada umumnya bersifat timbal balik, artinya setiap orang yang menjadi anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama, baik terhadap masyarakat, pemerintah, dan negara. Beberapa hak dan kewajiban penting ditetapkan dalam undang-undang (konstitusi) sebagai bentuk hak dan kewajiban asasi manusia. Untuk dapat melaksanakan hak dan kewajiban dengan bebas dari rasa takut maka diperlukan jaminan. Adapun yang dapat memberikan jaminan adalah pernerintahan yang kuat dan berwibawa. Di dalam susunan negara modern hak-hak dan kebebasan-kebebasan asasi manusia dilindungi undang-undang dan menjadi hukum positif. Undang-undang tersebut berlaku sama terhadap semua orang tanpa kecuali. Semua orang mempunyai

kesamaan

derajat

yang

dijamin

oleh

undang-undang.

Kesamaan derajat ini berwujud jaminan atas hak yang diberikan dalam berbagai sektor kehidupan. Hak inilah yang kemudian dikenal sebagai Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang diperoleh manusia secara sama, sebagai wujud kesamaan dan kesederajatan. $eragam hak-hak asasi tersebut jika dicermati akan menjunjung tinggi manusia sebagai makhluk yang bermartabat, dan berbeda dengan makhluk yang lain. Hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Anggapan dasarnya adalah bahwa hak itu dimiliki oleh setiap manusia tanpa dibedakan atas dasar negara, ras, agama, golongan maupun jenis kelamin. Oleh karenanya, hak itu bersifat asasi (mendasar, hakiki) dan universal (berlaku/diakui di mana pun dan kapan pun). Seandainya hak asasi ini tidak dapat berjalan, tentu saja akan ada golongan atau pun orang yang

mengalami

ketertindasan

sehingga

perlu

diperjuangkan

untuk

menegakkannya. Dalam sejarah perkembangannya, upaya untuk menegakkan hak asasi manusia pernah diperjuangkan di beberapa negara dengan menghasilkan berbagai naskah kesepakatan, yang menurut Budiardjo (1991:120121) disebutkan sebagai berikut. 1. Magna Charta (Piagam Agung, 1215), suatu dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan oleh Raja John dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutannya. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan Raja John. 2. Bill of Rights (Undang-Undang Hak, 1689), suatu undang-undang yang diterima oleh Parlemen Inggris sebagai perlawanan terhadap Raja James II dalam revolusi tak berdarah (The Glorious Revolution of 1688). 3. Declaration des droits I' home et du citoyen (Pernyataan hak-hak manusia dan warga negara, 1789), suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan Revolusi Perancis, sebagai perlawanan terhadap kewenangan dari rezim lama. 4. Bill of Rights (Undang-Undang Hak), suatu naskah yang disusun oleh rakyat Amerika pada tahun 1789 dan kemudian menjadi bagian dari Undang-undang Dasar pada tahun 1791. Lebih lanjut dalam Budiardjo (1991:121) dijelaskan bahwa hak-hak yang dirumuskan pada abad ke-17 dan ke-18 ini sangat dipengaruhi oleh gagasan mengenai hukum alam (Natural Law), seperti yang dirumuskan John Locke (1632-1714) dan J.J. Rousseau (17121778) dan hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis, seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih, dan seterusnya. Pada abad ke-20 hak-hak politik tersebut dianggap kurang sempuma, maka mulai dicetuskan beberapa hak lain yang lebih luas ruang lingkupnya: Salah satu pernyataan yang terkenal adalah Empat Kebebasan (The Four Freedoms) yang dicetuskan dan dirumuskan oleh Presiden Amerika Serikat, F. D. Roosevelt pada permulaan Perang Dunia II, saat menghadapi agresi Nazi-Jerman yang menginjak-injak hak-hak manusia.

Empat kebebasan itu antara lain meliputi: 1) kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech); 2) kebebasan beragama (freedom of religion); 3) kebebasan dari ketakutan (freedom from fear); 4 ) kebebasan dari kemelaratan (freedom from want), (Hariyono, 2007:238). Pernyataan hak asasi ini meskipun secara yuridis tidak mengikat, tetapi secara moril, politik, dan edukatif memiliki kekuatan, yang tujuannya untuk mencapai standar minimum yang dicita-citakan oleh umat manusia dan pelaksanaannya dibina oleh negara-negara yang tergabung dalam PBB. Komitmen ini penting bagi keberlangsungan persamaan hak-hak dasar manusia yang semakin berkurang. Berkurangnya hak-hak dasar manusia ini tentu ada sebab-sebabnya, yang antara lain akan dijelaskan dalam pembahasan berikut ini. 1. Persamaan Hak Adanya kekuasaan negara seolah-olah hak individu menjadi terganggu, karena ketika kekuasaan negara itu berkembang, ia memasuki lingkungan hak manusia pribadi dan mengurangi hak-hak yang dimiliki oleh individu. Nal ini menimbulkan persengketaan pokok antara dua kekuasaan secara prinsip, yaitu kekuasaan manusia yang berwujud hak-hak dasar beserta kebebasan asasi yang selama ini dimilikinya dengan leluasa, dan kekuasaan yang melekat pada organisasi baru dalam bentuk masyarakat yang berupa negara (Ahmadi, 1997:207). Untuk mewujudkan adanya persamaan hak maka dibuatlah sebuah deklarasi, yang selanjutnya menjadi Pernyataan Sedunia Tentang Hak-hak (Asasi) Manusia atau Universal Declaration of Human Right (1948), yang antara lain pasal-pasalnya menyebutkan sebagai berikut: Pasal 1 : "Sekalian orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan." Pasal 2, ayat 1 :

"Setiap orang berhak atas semua hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tak ada kecuali apa pun, seperti misalnya bangsa, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, milik, kelahiran, atau pun kedudukan." Pasal 7 : "Sekalian orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap perbedaan yang memperkosa pernyataan ini dan terhadap segala hasutan yang ditujukan kepada perbedaan semacam ini." (Ahmadi 1997: 207208). 2. Persamaan Derajat dan Keragaman di Indonesia Dalam Undang-undang Dasar 1945, hak dan kebebasan yang berkaitan dengan persamaan derajat sudah dicantumkan dalam pasalpasalnya secara jelas. Sebagaimana telah diketahui bahwa Negara Republik Indonesia menganut asas bahwa setiap warga negara tanpa kecuali memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Hal itu sebagai konsekuensi dari prinsip kedaulatan rakyat yang bersifat kerakyatan. Hukum dibuat untuk melindungi dan mengatur warga masyarakat secara umum tanpa ada perbedaan. Pasal-pasal di dalam UUD 1945 yang memuat ketentuan tentang hak asasi manusia, antara lain adalah pasa127, 28, 29, dan 31. Keempat pokok persoalan hakhak asasi manusia dalam LTUD 1945 tersebut dijelaskan sebagai berikut. Pertama, tentang kesamaan kedudukan dan kewajiban warga negara di dalam hukum dan di muka pemerintahan. Pasal 27 ayat 1 menetapkan: "Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Di dalam perumusan ini dinyatakan adanya suatu kewajiban dasar di samping hak asasi vang dimiliki oleh warga negara, yaitu kewajiban untuk menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dengan demikian, perumusan ini secara prinsip telah membuka suatu sistem yang

berlainan sekali daripada sistem perumusan " Human Rights" secara Barat, karena hanya menyebutkan hak tanpa ada kewajiban di sampingnya. Kemudian dalam pasal 27 ayat 2, ditetapkan hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Melalui pasal ini diamanatkan bahwa pemerintah memiIiki kewajiban untuk dapat memberikan akses lapangan pekerjaan yang sebesar-besarnya kepada setiap warga negara, sehingga dapat mendapatkan penghidupan yang layak dan manusiawi. Berbicara tentang kesamaan derajat dan kewajiban warga negara di bidang hukum dan politik, maka keragaman tentang masalah ideologi dan politik di Indonesia menarik untuk disimak. Hal tersebut terbukti setelah kran Reformasi dibuka ternyata banyak bermunculan partai politik dengan ideologi yang beragam pu1a. Mereka semua adalah komponen bangsa yang sama-sama membawa ideologi melalui perjuangan partai-partainya. Meskipun terdapat perbedaan, mereka akan tetap memperjuangkan cita-cita bangsa sebagaimana yang tertuang di dalam UUD 1945. Dengan kata lain, keragaman ideologi dan politik adalah bagian dari kekayaan bangsa yang harus dijaga bersama demi keutuhan negara dan bangsa. Keragaman tersebut bisa juga terjadi pada masalah-masalah yang terkait dengan kesenjangan ekonomi ynaupun kesenjangan sosial. Kesenjangan

ekonomi

sering

kali

menumbuhkan

permasalahan

kesederajatan dan kemartabatan manusia ketika ada tindak diskriminasi terhadap mereka di antara yang kaya dengan yang miskin. Kesenjangan ekonomi di samping dapat menimbulkan diskriminasi dan kecemburuan sosial juga dapat mengakibatkan meningkatnya kriminalitas, maupun penyimpangan perilaku sosial di masyarakat. Hal itu terbukti dari meningkatnya kekerasan yang berupa perampokan, pencurian, perdagangan anak, kekerasan di rumah tangga, dan bahkan tindak asusila, dan lain-lain.

Untuk itu, hal-hal yang dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi ini perlu dilokalisir dan segera dipecahkan solusinya oleh semua komponen bangsa, khususnya pemegang kekuasan yang mendapat amanah untuk menjalankan amanat rakyat dan undang-undang dasar. Salah satu solusi yang dapat dilakukan antara lain dengan cara memberi kesempatan pada dunia usaha agar dapat membuka kesempatan kerja seluas-luasnya. Di samping itu, perlu adanya kesadaran bersama bahwa kesenjangan ekonomi bukan berarti menjadi halangan untuk dapat menempatkan diri dalam kesederajatan dan kemartabatan yang sama antara sesama manusia. Dengan demikian, melalui kesadaran tersebut akan dapat mengurangi atau bahkan menghindari terjadinya potensi konflik di masyarakat. Kesenjangan ekonomi juga bisa berujung pada kesenjangan sosial apabila kesadaran untuk memahami kesederajatan dan kemartabatan manusia masih bersifat diskriminatif. Pelayanan publik seperti masalah kesehatan,

birokrasi,

dan

lain-lain

yang

diskriminatif

akan

menimbulkan potensi konflik. Kesenjangan sosial dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor berikut, misalnya: karena perbedaan kemampuan ekonomi; status sosial karena pangkat, jabatan, tingkat pendidikan, dan keturunan; profesi kerja: Pada umumnya negaranegara berkembang yang dulu pernah dijajah masih banyak yang berpikir secara feodalistik, sehingga kekayaan, pangkat, jabatan, tingkat pendidikan, keturunan, maupun profesi kerja sering menjadi ukuran kelas sosial. Ketiadaan dari salah satu unsur-unsur tersebut mengakibatkan pandangan yang diskriminatif atas aktivitas sosialnya. Kondisi ini menunjukkan belum adanya kerelaan semua pihak untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kesederajatan dan kemartabatan manusia didasarkan profesionalitasnya. Kesadaran untuk menghargai dan menghormati profesionalitas manusia masih sangat rendah, terbukti masih banyak perlakuan yang diskriminatif antara yang berprofesi sebagai pejabat maupun pegawai

negeri, TNI, Polri, dibandingkan dengan kalangan pekerja swasta, buruh, TKI, maupun terhadap pembantu rumah tangga. Sebagaimana negara-negara yang telah maju nilai kesederajatan dan kemartabatan manusia lebih banyak didasarkan pada esensi kemanusiaannya, bukan pada profesi kerjanya. Status sosial dalam profesi kerja dihargai dan dihormati kapasitasnya sebagai sesuatu yang profesional, sehingga apa pun status kerjanya akan mendapatkan kehormatan dan penghargaan yang sama atas kapasitas profesionalitasnya. Dengan demikian, tidak ada diskriminasi birokrasi dalam pelayanan publik maupun dihadapan hukum

yang

berlaku.

Kedua,

tentang

kemerdekaan

berserikat,

berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang dituangkan pada pasal 28 sebagai berikut: "Kemerdakaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh undangundang." Pasa128 ini sudah jelas memberi indikasi adanya kebebasan bagi setiap warga negara untuk berserikat atau berorganisasi, dan mengeluarkan pendapatnya. Dengan kata lain, pemerintah berkewajiban untuk mengawal proses demokrasi sehingga dapat membawa kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara didasari oleh nilai-nilai demokrasi secara benar, manusiawi, dan beradab. Ketiga, tentang kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan yang dituangkan di dalam pasal 29 ayat 2, yang berbunyi sebagai berikut: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan menurut kepercayaannya."Dalam pasal ini setiap warga negara diberi kebebasan untuk melakukan peribadatan sesuai dengan keyakinan masing-masing, sehingga memberi kesempatan secara adil dan bijaksana kepada setiap warga negara untuk melakukan peribadatan”. Keempat, hak asasi manusia tentang pengajaran tertuang dalam pasal 31, ayat 1 dan 2 mengatur tentang hak asasi manusia mengenai pengajaran yang berbunyi: 1). Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan

pengajaran;

2).

Pemerintah

mengusahakan

dan

menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. Pasal ini memberikan hak kepada setiap warga negara untuk mendapatkan pengajaran sesuai dengan sistem yang telah ditentukan di dalam undang-undang.

D. Problem Diskriminasi dan Ethnosentrisme A. Prasangka dan Diskriminasi Diskriminasi

adalah

setiap

tindakan

yang

dilakukan

untuk

membedakan seseorang atau sekelompok orang berdasarkan atas ras, agama, suku, etnis, kelompok, golongan, status, kelas sosial ekonomi, jenis kelamin, kondisi fisik tubuh, usia, orientasi seksual, pandangan ideologi dan politik, serta batas negara, dan kebangsaan seseorang. Padahal manusia dilahirkan tidak dapat menghendaki keturunan dari faktor tertentu. Karena itu, tidak layak apabila manusia memperoleh perlakuan diskriminasi (Hariyono, 2007: 232). Sementara itu, prasangka dan diskriminasi adalah dua hal yang ada relevansinya. Kedua tindakan tersebut dapat merugikan pertumbuhan dan perkembangan integrasi masyarakat. Peristiwa kecil yang semula hanya menyangkut dua orang dapat meluas dan menjalar, melibatkan sepuluh orang, golongan, atau bahkan wilayah yang bisa disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan maupun destruktif yang merugikan. Prasangka mempunyai dasar pribadi, setiap orang memilikinya, sejak masih kecil unsur sikap berprasangka sudah tampak. Perbedaan yang secara sosial dilaksanakan baik itu antar individu maupun lembaga atau kelompok dapat menimbulkan sikap prasangka. Sikap berprasangka dapat hinggap pada siapa saja dari yang berpikiran sederhana hingga masyarakat yang tergolong cendekiawan, sarjana, pemimpin, atau negarawan. Jadi prasangka dasarnya adalah pribadi dan dimiliki bersama. Oleh karena itu, perlu mendapatkan perhatian dengan seksama, mengingat bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa atau masyarakat yang multietnik (Ahmadi, 1991:270).

Suatu hal yang saling berkaitan, apabila seorang individu mempunyai prasangka rasial biasanya bertindak diskriminatif terhadap ras yang diprasangkanya. Tetapi dapat pula ia bertindak diskriminatif tanpa disadari prasangka, dan sebaliknya seorang yang berprasangka dapat saja bertindak tidak diskriminatif. Perbedaan terpokok antara prasangka dan diskriminatif adalah bahwa prasangka menunjukkan pada aspek sikap, sedangkan diskriminatif pada tindakan. Menurut Morgan (1966), sikap adalah kecenderungan untuk merespons sesuatu, baik itu secara positif maupun negatif terhadap orang, objek, atau situasi. Sikap seseorang baru diketahui bila ia sudah bertindak atau bertingkah laku. Oleh karena itu, bisa saja bahwa sikap bertentangan dengan tingkah laku atau tindakan. Jadi prasangka merupakan kecenderungan yang tidak tampak, dan sebagai tindak lanjutnya, timbul tindakan, aksi yang sifatnya realistis. Dengan demikian, diskriminatif merupakan tindakan yang realistis, sedangkan prasangka tidak realistis dan hanya diketahui oleh diri sendiri, atau individu masingmasing (Ahmadi, 1991:270271). Prasangka ini sebagian besar sifatnya apriori, mendahului pengalaman sendiri (tidak berdasarkan pengalaman sendiri), karena merupakan hasil peniruan langsung dari orang lain, atau dioper dari milieu, di mana orang itu menetap. Gradasi prasangka menunjukkan adanya distansi social antara in group dan out group. Dengan kata lain, tingkat prasangka menumbuhkan jarak sosial tertentu di antara anggota kelompok sendiri dengan anggota-anggota kelompok luar. Prasangka juga bisa diartikan sebagai

suatu

sikap

yang

terlampau

tergesa-gesa,

berdasarkan

generalisasi yang terlampau cepat, sifat berat sebelah, dan dibarengi proses simplikasi (terlalu menyederhanakan) suatu realitas (Ahmadi, 1991:271). Prasangka sebagai suatu sikap tidaklah merupakan wawasan dasar dari individu melainkan merupakan hasil proses interaksi antar individu atau golongan. Atau akan lebih tepat kalau prasangka itu merupakan hasil proses belajar dan pengenalan individu dalam perkembangannya.

Pada prinsipnya seseorang akan bersifat tertentu terhadap orang lain atau suatu kelompok jika ia telah memiliki pengetahuan itu, kita tidak dapat memastikan apakah hal itu bersifat psistif atau negatif. Pengetahuan itu akan membuat seseorang atau suatu kelompok berpersepsi, berpikir dan merasa terhadap objek tertentu. Dari sinilah lahirnya suatu sikap dalam bentuk tingkah laku yang cenderung negatif (Ahmadi, 1991: 272). Dengan demikian, prasangka dapat dikatakan seperti yang dikemukakan oleh Newcomb, yaitu sebagai sikap yang tidak baik dan sebagai suatu predisposisi untuk berpikir, merasa, dan bertindak secara menentang atau menjauhi dan bukan menyokong atau mendekati orangorang lain, terutama sebagai anggota kelompok. Pengertian Newcomb tersebut timbul dari gejala-gejala yang terjadi dari masyarakat. Pengalaman

seseorang

yang

bersifat

sepintas,

yang

bersifat

performance semata akan cepat sekali menimbulkan sikap negatif terhadap suatu kelompk akau terhadap seseorang. Melihat penampilan orang-orang Negro maka sering menimbulkan kesan keras, sadis, tidak bermoral, dan sejenisnya. Pandangan yang demikian akan menimbulkan kesan segan bergaul dengan mereka dan selalu memandangnya dengan sikap negatif (Ahmadi, 1991:272). Tidak sedikit orang yang mudah berprasangka, namun banyak pula orang yang lebih sukar untuk berprasangka. Mengapa terjadi perbedaan cukup menyolok? Tampaknya unsur kepribadian, intelegensia, serta lingkungan berpengaruh terhadap munculnya prasangka. Namun demikian, belum jelas benar ciri-ciri kepribadian mana yang membuat seseorang mudah berprasangka. Ada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang berintelegensi tinggi lebih sukar untuk berprasangka. Mengapa? Karena orang-orang semacam ini bersifat kritis. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa mereka yang tergolong kaum cendekiawan, bahkan juga para pemimpin dan negarawan juga bisa berprasangka. Bukankah lahirnya senjata-senjata antar benua (Inter Continental Balistie Missile

ICBM) juga karena suatu prasangka yang berlebihan dari para pemimpin, negarawan negara-negara adikuasa (super power). Bukankah pemasangan rudal-rudal jarak pendek milik Amerika Serikat di daratan Eropa Barat adalah suatu manifestasi dari prasangka Amerika Serikat terhadap rivalnya yaitu Uni Soviet? Kondisi lingkungan atau wilayah yang tidak mampu pun cukup untuk beralasan untuk dapat menimbulkan prasangka suatu individu atau kelompok sosial tertentu (Ahmadi, 1991:273). Dalam kondisi persaingan untuk mencapai akumulasi material tertentu, untuk meraih status sosial dari suatu individu atau kelompok sosial tertentu, ada suatu lingkungan atau wilayah, di mana normanorma dan tata hukum di dalam kondisi goyah, dapat merangsang munculnya prasangka dan diskriminasi. Antara prasangka dan diskriminasi dapat dibedakan dengan jelas. Prasangka bersumber dari suatu sikap, sedangkan diskriminasi menunjuk pada suatu tindakan. Dalam pergaulan seharihari sikap prasangka dan diskriminasi seolaholah menyatu, tak dapat dipisahkan. Seorang yang mempunyai prasangka rasial biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang diprasangkainya. Walaupun begitu, biasa orang bertindak diskriminatif tanpa berlatar belakang pada suatu prasangka. Demikian juga sebaliknya, seseorang yang berprasangka dapat saja berperilaku tidak diskriminatif.

Di

Indonesia

kelompok

keturunan

Cina

sebagai

kelompok minoritas, sering jadi sasaran prasangka rasial, walaupun secara yuridis telah jadi warganegara Indonesia dan dalam UUD 1945 Bab X pasal 27 dinyatakan bahwa semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (Ahmadi, 1991:274). Sikap berprasangka jelas tidak adil, sebab sikap yang diambil hanya berdasarkan pada pengalaman atau apa yang didengar. Lebihlebih bila sikap berprasangka itu muncul dari pikiran sepintas, untuk kemudian disimpulkan dan dibuat pukul rata sebagai sifat dari seluruh anggota kelompok sosial tertentu. Apabila muncul suatu sikap ber-

prasangka dan diskriminatif terhadap kelompok sosial lain, atau terhadap suatu suku bangsa, kelompok etnis tertentu, bisa jadi akan menimbulkan pertentangan-pertentangan sosial yang lebih luas. Suatu contoh : beberapa peristiwa yang semula menyangkut beberapa orang; saja, sering meluas melibatkan sejumlah orang. Akan menjadi lebih riskan lagi apabila peristiwa itu menjalar lebih luas, sehingga melibatkan orang-orang di suatu wilayah tertentu, yang diikuti dengan tindakan-tindakan kekerasan dan destruktif yang berakibat mendatangkan kerugian yang tidak kecil (Ahmadi, 1991:274). B. Mengapa Tembul prasangka dan Diskriminasi? Prasangka dan diskriminasi dapat terjadi tidak serta merta melainkan ada sebab-sebab yang memungkinkan hal tersebut terjadi. Menurut Ahmadi (1991:174-279), sebab-sebab terjadinya prasangka dan diskriminasi tersebut didasarkan

hal-hal

berikut,

antara

lain:

latar

belakang

sejarah;

ethnosentrisme; perkembangan sosio-kultural dan sifuasional; kepribadian; perbedaan keyakinan, kepercayaan dan agama. Adapun menurut penulis di samping kelima hal di atas dapat pula ditambahkan faktor-faktor lain, yaitu: kesenjangan ekonomi dan sosial, serta sistem politik. Untuk lebih jelasnya, masing-masing faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. a) Latar belakang sejarah Banyak orang berprasangka karena sejarah masa lalu. Hal semacam ini pernah terjadi pada masa Orde Baru, ketika ada kebijakan bahwa keturunan dari orang-orang yang dianggap dan diduga terkait dengan Gerakan 30 September memiliki idealogi serupa sehingga anak keturunannya mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan, khususnya menjadi pegawai negeri. Setelah beberapa tahun kemudian baru muncul suatu kebijakan untuk diadakan pemutihan, yang berarti anggapan di atas tidak lagi menjadi acuan untuk menghambat atau menjadi aturan yang dapat mempersulit anak keturunan dari tokoh-tokoh yang dianggap terlibat dalam gerakan tersebut karena memiliki ideologi yang serupa. Sistem demikian itu tidak sejalan dengan hak-hak dasar

atau hak asasi manusia dalam rangka mendapatkan pekerjaan yang layak, maupun perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Dengan demikian, pada saat itu telah terjadi diskriminasi kepada warga negaranya baik secara individu maupun kelompok karena adanya prasangka historis masa lalu. b) Ethnosentrisme Setiap suku bangsa atau ras tertentu akan memiliki ciri khas kebudayaan, yang sekaligus menjadi kebanggaan mereka. Suku bangsa, ras tersebut dalam kehidupan sehari-hari bertingkah laku sejalan dengan norma-norma, nilai-nilai yang terkandung dan tersirat dalam

kebudayaannya.

Suku

bangsa,

ras

tersebut

cenderung

menganggap kebudayaan mereka sebagai sesuatu yang prima, riil, logis, sesuai dengan kodrat alam dan sebaginya. Segala yang berbeda dianggap kurang baik, kurang estetis, bertentangan dengan kodrat alam dan

sebagainya.

Hal-hal

tersebut

di

atas

dikenal

sebagai

ethnosentrisme, yaitu suatu kecenderungan yang menganggap nilainilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai sesuatu yang prima, terbaik, mutlak, dan dipergunakannya sebagai tolok ukur untuk menilai dan membedakannya dengan kebudayaan lain (Ahmadi,1991: 279). Ethnosentrisme nampaknya merupakan gejala sosial yang universal, dan sikap yang demikian biasanya dilakukan secara tidak sadar. Dengan demikian, ethnosentrisme merupakan kecenderungan tak sadar untuk menginterpretasikan atau menilai kelompok lain dengan tolok ukur kebudayaannya sendiri. Sikap ethnosentrisrne dalam tingkah laku berkomunikasi nampak canggung, tidak luwes. Akibat ethnosentrisme berpenampilan yang ethnosentrik, dapat menjadi penyebab utama kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Pandangan Ethnosentrisrne merupakan sikap dasar paham ideologi Chauvinis yang melahirkan Chauvinisme. Chauvinisme pernah dianut oleh orang-orang Jerman zaman Nazi Hitler. Mereka merasa dirinya

superior, lebih unggul dari bangsa lain; memandang bangsa-bangsa lain sebagai inferior, nista, rendah, bodoh, dan seterusnya (Ahmadi, 1991: 279). Peristiwa semacam ini sebenarnya masih saja terjadi hanya saja ada yang diungkapkan secara eksplisit dan ada pula yang sebatas bersifat kepribadian secara tersembunyi. c) Adanya perkembangan sosio-kultural dan situasional Suatu prasangka muncul dan berkembang dari suatu individu lain, atau terhadap kelompok sosial tertentu manakala terjadi penurunan status atau terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pemimpin perusahaan terhadap karyawannya. Pada sisi lain, prasangka bisa berkembang lebih jauh sebagai akibat adanya jurang pemisah antara kelompok orang-orang kaya dengan golongan orangorang miskin. Harta kekayaan orang-orang kaya baru diduga sebagai harta yang didapat dari usaha-usaha yang tidak halal. Misalnya, karena korupsi dan penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat, dan lain-lain. Kasus PHK yang dicontohkan di atas lebih tepat dianggap sebagai

faktor

penyalahgunaan

situasional, wewenang

sedangkan dapat

kasus

dianggap

korupsi sebagai

dan aspek

perkembangan sosio-kultaral. d) Bersumber dari faktor kepribadian Keadaan frustasi dari beberapa orang atau kelompok sosial tertentu merupakan kondisi yang cukup untuk menimbulkan tingkah laku yang agresif. Para ahli beranggapan bahwa prasangka lebih dominan disebabkan oleh tipe kepribadian orang-orang tertentu. Tipe authoritarian personality adalah sebagai ciri kepribadian seseorang yang penuh dengan prasangka, dengan ciri-ciri bersifat konservatif dan bersifat tertutup. Dalam khasanah dakwah faktor kepribadian ini lebih identik dengan ungkapan-ungkapan budaya iri hati, berburuk sangka, dengki, hasut, dan sebagainya. Hai-hal yang disangkakan masih bersifat apriori dan bersifat subjektif. Lihat saja kasus-kasus tawuran yang selama ini terjadi, sering kali masaIahnya hanya sepele seperti

karena dukung-mendukung dalam arena sepak bola, tawuran antar warga, antar kelompok, atau bahkan antar mahasiswa dalam satu fakultas, dan lain-lain. Fenomena ini menunjukkan betapa masyarakat kita rentan terhadap perpecahan, karena masalah-masalah personal dan sentimen pribadi yang berakar dari luapan emosi semata, yang cenderung mengedepankan pandangan-pandangan irasional daripada rasional dan akal sehat. Kepribadian seperti ini menunjukkan adanya fanatisme kelompok dan golongan yang berlebihan. Dengan demikian, simbolsimbol kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara masih perlu ditanamkan dengan pernahaman yang benar agar tidak mudah untuk dihasut dan digoyahkan oleh masalah-masalah kecil yang sebenarnya tidak perlu menimbulkan keributan. e) Adanya perbedaan keyakinan, kepercayaan, dan agama Prasangka yang bertolak dari keyakinan, kepercayaan, dan agama merupakan salah satu bentuk prasangka yang bersifat universal. Beberapa kasus semacam ini pernah terjadi di berbagai belahan dunia, antara lain: konflik antara Irlandia Utara dngan Irlandia Selatan; konflik antara golongan keturunan Yunani dengan Turki di Cyprus, dan perang antara Irak dengan Iran berakar dari latar belakang prasangka agama atau kepercayaan. Situasi serupa juga sering terjadi tanah air meskipun letupan-letupannya hanya sebatas pada komunitas lokal. f) Faktor ideologi dan politik Terjadinya Perang Vietnam, pendudukan Afganistan oleh Uni Soviet, kasus perang Teluk antara Irak dengan Kuwait, Amerika dan sekutunya dengan Irak, Israel dengan Palestina, konflik-konflik di lingkungan negara-negara Amerika Tengah juga lebih banyak bermotifkan ideologi politik dan strategi politik global. Hal itu membuktikan bahwa masalah ideologi dan politik tetap menjadi faktor penting timbulnya diskriminasi meskipun sudah ada wadah

Perserikatan Bangsa-Bangsa atau disebut PBB. Partisipasi PBB sering kali justru dijadikan alat oleh negara-negara adidaya dengan prasangka--prasangka maupun isu-isu global, yang akhirnya merujuk

pada

tindakan

diskriminasi

terhadap

negara-negara

berkembang. Hal itu dapat dibuktikan pada negara-negara yang sekarang ini mengalami dampak dari diskriminasi tersebut, seperti di Irak, Afganistan, Palestina, dan lain-lain yang rakyatnya sampai sekarang tidak dapat hidup dengan tenteram. Faktor ideologi dan politik ini tidak saja terjadi pada dunia intemasional melainkan juga dapat terjadi pada tingkat regional dan nasional. Pada tingkat regional misalnya adalah kasus-kasus yang berhubungan dengan negara tetangga seperti Malaysia, yang berulang kali terjadi konflik karena masalah kebijakan politik tentang kawasan wilavah perbatasan negara. Untuk yang bertaraf nasional misalnya adalah benturan antara politik dalam negeri dengan pengaruhpengaruh politik Barat yang cenderung liberal, konflik-konflik antar golongan yang berbeda ideologi, dan lain-lain. g) Faktor kesenjangan ekonomi Faktor kesenjangan ekonomi juga dapat menjadi pemicu munculnya prasangka dan diskriminasi, baik antar negara, bangsa, maupun sesama rakyat. Kesenjangan ekonomi yang terjadi antar negara sering kali menimbulkan diskriminasi antar negara adidaya dengan negara-negara yang sedang berkembang, sehingga bentuk kerja sama yang disepakati sering kali lebih menguntungkan negara-negara yang sudah maju. Isu tentang pasar bebas misalnya, kelompok negara-negara maju akan dengan mudah memasukkan segala produknya ke mana pun dengan harga dan kualitas barang yang lebih diminati. Produkproduknya dipandang memiliki kualitas yang lebih bagus dan murah. Kondisi ini berdampak langsung bagi negara-negara berkembang yang hasil produksinya dipandang tidak layak untuk dapat bersaing dengan dunia luar.

Kesenjangan ekonomi yang terjadi pada masyarakat juga dapat memicu prasangka dan diskriminasi. Dengan dibukanya pasar-pasar modern seperti swalayan, super market dan sejenisnya maka tidak sedikit pedagang tradisional yang harus tersingkir oleh para pemilik modal-modal besar. Belum lagi yang terjadi pada PKL, dengan modal yang pas-pasan, tempat tinggal tidak mapan, sering kali digusur di sana-sini tanpa solusi, maka diskriminasi dan prasangka pun dapat muncul kapan saja. Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa kesenjangan ekonomi yang terjadi memicu prasangka, atau bahkan tindak diskriminasi. h) Faktor kesenjangan sosial Prasangka dan diskriminasi juga dapat terjadi karena faktor kesenjangan

sosial.

Kehidupan

masyarakat

yang

cenderung

menampakkan faktor kesenjangan sosial yang terjadi akan dengan mudah memunculkan prasangka antara golongan atau kelompok yang satu dengan golongan atau kelompok yang lain. Timbulnya saling prasangka yang terus-menerus terjadi dapat diakibatkan oleh faktor kesenjangan sosial di masyarakat, yang disebabkan oleh faktor ras, golongan atau kelompok yang berbeda, keturunan, maupun kondisi perekonomian. Segala bentuk diskriminasi karena faktor perbedaan di atas akan dapat memicu timbulnya konflik-konflik antar kelompok yang berbeda.

E. Menekan Prasangka dan Diskrimenasi a) Perbaikan kondisi- sosial ekonomi Untuk menekan prasangka dan diskriminasi perlu dilakukan solusi dengan jalan perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. HaI ini sejalan dengan amanah Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27, ayat 2, yang menganjurkan adanya hak rakyat untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Upaya untuk mengurangi kesenjangan sosial antara yang kaya dengan yang miskin perlu mendapat perhatian. Hal itu dapat dilakukan

dengan jalan meningkatkan pendapatan bagi warga negara Indonesia yang masih tergolong di bawah garis kemiskinan. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara memfungsikan sistem kelembagaan pemerintah secara benar, transparan atau jujur, amanah, dan fatonah. Memfungsikan lembaga pemerintahan secara benar artinya jalurjalur kelembagaan yang difungsikan untuk membina dan memfasilitasi usaha-usaha rakyat harus dipersiapkan secara profesional, dan benarbenar berorientasi kepada kepentingan rakyat, bukan kelompok dan golongannya. Hal itu dapat ditempuh dengan memberikan kemudahan birokrasi maupun pendanaan yang lebih mudah, jika perlu dengan memberikan kredit yang tanpa agunan serta tanpa bunga. Selama ini memang banyak kredit untuk rakyat tetapi realisasinya sistem yang ada kurang pro rakyat. Sistem yang ada hanya dapat dinikmati oleh kelompok-kelompok yang ekonominya kuat. Oleh sebab itu, tidak mustahil apabila ada prasangka-prasangka ketidakadilan dalam sektor perekonomian antara kelompok ekonomi kuat dengan kelompok ekonomi lemah. b) Perluasan kesempatan belajar Amanat UUD 1945, ayat 1, yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran perlu dijadikan pegangan untuk dapat membuat sistem pendidikan nasional dapat dinikmati oleh semua kalangan. Upaya perluasan kesempatan belajar bagi seluruh warga negara Indonesia harus diupayakan tidak terlalu membebankan rakyat kecil. Mengingat dunia pendidikan adalah alat paling strategis untuk menanamkan nilai-nilai dan IPTEK bagi kepentingan generasi bangsa ke depan. Kelangsungan bangsa di masa depan terletak pada kemampuan generasi muda di masa sekarang, sehingga perlu dipersiapkan secara matang dengan membuka kesempatan seluas-luasnya pada setiap warga negara. Mereka yang memiliki potensi untuk bisa berprestasi namun tidak memiliki kemampuan modal yang cukup perlu diakomodasi dengan beasiswa atau badan

penyantun pendidikan, agar kesempatan belajar ini tidak hanya dapat dinikmati oleh kalangan menengah atau pun kalangan atas saja. Dengan memberi kesempatan luas untuk mencapai tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali, prasangka dan perasaan tidak ada pada sektor pendidikan cepat atau lambat akan hilang lenyap. c) Mengakomodasi keragaman Idealisme paham kebangsaan yang mencanangkan persatuan, kesatuan, dan kemerdekaan telah menumbuhkan sikap kesepakatan, solidaritas, dan loyalitas yang tinggi. Sikap muIia para pendahulu bangsa ini perlu ditindak lanjuti dengan berbagai peraturan dan kebijakan yang bisa diterima oleh semua pihak. Melalui mekanisme transparansi dan kelapangan dada untuk menerima dan memperoleh masukan atau kritik semua pihak maka segala hal yang menyangkut kepentingan umum dapat diakomodasi dengan arif dan bijaksana, serta menjunjung tinggi asas keadilan. Upaya silaturahmi atau menjalin komunikasi dua arah dengan berniat membuka diri untuk berdialog antar golongan, antar kelompok sosial yang diduga berprasangka sebagai upaya membina kesatuan dan persatuan bangsa, adalah suatu cara yang sungguh bijaksana. Kepentingan merupakan dasar dari timbulnya tingkah laku individu. Individu bertingkah laku karena ada dorongan untuk memenuhi kepentingannya. Kepentingan ini sifatnya esensial bagi kelangsungan hidup individu itu sendiri. jika individu berhasil dalam memenuhi kepentingannya, ia akan merasa puas, sebaliknya kegagalan dalam memenuhi kepentingan akan banyak menimbulkan masalah baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannya. Dengan berpegang kepada prinsip bahwa tingkah laku individu merupakan cara atau alat dalam memenuhi kepentingannya, maka kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh individu di dalam masyarakat pada hakekatnya merupakan manifestasi pemenuhan dari kepentingan

tersebut. Pada umumnya, secara psikologis dikenal ada dua jenis kepentingan dalam diri individu, yaitu kepentingan untuk memenuhi kebutuhan biologis dan kebutuhan sosial-psikologis. Oleh karenanya individu mengandung arti bahwa tidak ada dua orang individu yang sama persis di dalam aspek-aspek pribadinya, baik jasmani maupun rohani, maka dengan sendirinya timbul perbedaan individu-individu dalam hal kepentingannya. Perbedaan-perbedaan tersebut secara garis besar disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor pembawaan dan lingkungan sosial sebagai komponen utama bagi terbentuknya keunikan individu dalam hal kepentingannya meskipun dengan lingkungan yang sama. Sebaliknya, lingkungan yang berbeda akan memungkinkan timbulnya perbedaan individu dalam hal kepentingan meskipun pembawaannya sama. Menurut Ahmadi (1991:268), perbedaan kepentingan meliputi:

1)

Kepentingan individu untuk memperoleh kasih sayang.

2)

Kepentingan individu untuk memperoleh harga diri.

3)

Kepentingan individu untuk memperoleh penghargaan yang sama.

4)

Kepentingan individu untuk memperoleh prestasi dan posisi.

5)

Kepentingan individu untuk dibutuhkan oleh orang lain.

6)

Kepentingan individu untuk memperoleh kedudukan di dalam kelompoknya.

7)

Kepentingan

individu

untuk

memperoleh

rasa

aman

dan

perlindungan diri. 8)

Kepentingan individu untuk memperoleh kemerdekaan diri. Kenyataan-kenyataan seperti itu menunjukkan ketidakmampuan

suatu ideologi mewujudkan idealisme yang merupakan konsensus dari berbagai sub-ideologi yang akhirnya akan melahirkan kondisi disintegrasi atau konflik. Permasalahan utama yang jelas tampak pada tinjauan konflik ini adalah adanya jarak yang terlalu besar antara harapan (tujuan sosial) dengan kenyataan pelaksanaan maupun hasilnya. Hal itu disebabkan oleh

cara pandang yang berbeda antara pemerintah atau penguasa sebagai pemegang kendali ideologi dengan berbagai kelompok kepentingan

BAB V MANUSIA DAN PERADABAN

A. PENGERTIAN Hingga kini, banyak pakar masih memperdebatkan perbedaan pendapat tentang dua istilah, yakni kebudayaan dan peradaban. Hal ini seringkali menimbulkan kerancuan atau kebingungan karena di satu sisi kedua hal tersebut dicampuradukkan, namun di sisi lain keduanya terkadang bertentangan satu sama lain; 

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soenardi, dalam bukunya Setangkai Bunga Sosiologi (1964), merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, cipta, dan rasa masyarakat. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil yang harus didapatkannya dengan belajar, dan semua itu tersusun dalam kehidupan masyarakat.



Sedangkan peradaban didefinisikan oleh Huntington sebagai sebuah identitas terluas dari budaya, yang teridentifikasi melalui unsur-unsur obyektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subyektif.



Berangkat dari definisi ini, maka masyarakat Amerika –khususnya Amerika Serikat- dan Eropa yang sejauh ini disatukan oleh bahasa, budaya dan agama dapat diklasifikasikan sebagai satu peradaban, yakni “peradaban barat”.



Mengenai pertentangan antara budaya Barat dan budaya Timur, Kun Maryati dan Juju Suryawaty mengatakan: “Dalam masyarakat dunia, ada pandangan yang menganggap budaya Barat sebagai budaya progresif atau maju yang sarat dengan kedinamisan (hot culture). Sebaliknya, budaya Timur diidentikkan dengan budaya yang dingin dan kurang dinamis (cold

culture). Pertentangan ini cenderung Eropa-sentris sehingga mengakibatkan westernisasi di berbagai bidang kehidupan”. 

Jika kita cermati, kata peradaban dalam bahasa Indonesia berkonotasi dengan pengertian adab, kesopanan, kesantunan serta kehalusan. Sedangkan budaya dalam pengertian yang lazim diartikan sebagai seluruh hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Dalam konteks ini budaya melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Dunia melayu menggunakan kata tamadun untuk memaknai peradaban, sebuah kata yang berakar pada bahasa Arab.



Menurut penjelasan „Effat al Sharqawi, pembedaaan antara kebudayaan dan peradaban dalam bahasa arab bisa ditelusuri dari makna hadharah, tsaqafah dan madaniah. Hadharah berakar pada kata hadhara yang berarti hadir, hadir dalam kondisi baik. Di sini termuat indikasi ruang dan kebaikan. Hadharah berarti hidup menetap di kota sebagai lawan dari badw yang berarti desa, dusun, pengembara. Tsaqafah berkonotasi dengan aspek ide. Tsaqafah berakar pada pengertian memahami secara mendalam, orang yang cerdik dan cermat dan cepat belajar. Sedangkan madaniyah terkait dengan aspek-aspek kehidupan kota, madinah.



Sa‟id Hawwa dalam bukunya “Agar Kita Tidak Dilindas Zaman” menggunakan tiga terminologi hadharah, tsaqafah dan madaniyah untuk merujuk makna yang berbeda-beda. Hadharah adalah kata terluas untuk mengacu pada aspek sosio-historis kelompok manusia. Sisi spiritual, nilai, seni, ilmu diwakili oleh tsaqafah. Sedangkan aspek material diwakili oleh kata madaniyah.



Dalam

bahasa

Inggris

antara “culture” dan “civilization”. Culture berakar

dibedakan pada

pertanian, yang kemudian dimaknai sebagai bentuk ungkapan semangat mendalam suatu masyarakat, mencirikan apa yang dirindukan oleh manusia, yang terefleksi pada seni, moral dan religi. Civilization berakar pada civitas (kota), civility (kesopanan),

yang kemudian dimaknai sebagai manifestasi kemajuan mekanis (teknologis), mencirikan apa yang digunakan oleh manusia, yang terefleksi pada politik, ekonomi dan teknologi. Menurut Will Durant, civilization is social order promoting cultural creation. Dari paparan di atas dapat kita tarik suatu benang merah mengenai pembahasan tentang kebudayaan dan peradaban. Kebudayaan (culture, tsaqafah) berakar pada ide mengenai nilai, tujuan, pemikiran yang ditransmisikan melalui ilmu, seni dan agama suatu masyarakat. Sedangkan peradaban (hadharah, civilization) berakar pada ide tentang kota. Kemajuan material (ilmu dan teknologi), aspek kehalusan, penataan sosial dan aspek kemajuan lain. Ide utama yang terkandung dalam peradaban adalah kemajuan, perkembangan (progress and development). Tetapi sebuah masyarakat memiliki nilai-nilai, pemikiran-pemikiran dasar yang tetap, yang menjadi identitas kulturalnya. Nilai-nilai yang tidak hilang begitu saja ketika sebuah peradaban mundur atau hancur. Yang terjadi adalah nilai-nilai itu menjadi tidak efektif secara sosial. Kebudayaan dan peradaban merupakan aspek-aspek kehidupan sosial manusia. Sebuah deskripsi mengenai kontras-kontras antara kebudayaan dan peradaban dijelaskan secara menarik oleh Alija Izebegovic dalam “Membangun Jalan Tengah”. Karena peradaban dan kebudayaan adalah dua aspek dalam kehidupan manusia, ada interelasi antara keduanya. Sebagaimana interelasi antara aspek spiritual, mental dan material dalam diri manusia. Sebuah peradaban mengalami siklus dalam ruang dan waktu. Ia mengalami pasang dan surut. Sedang kebudayaan lepas dari kontradiksi ruang dan waktu. Ia memiliki ukuran tersendiri (ukuran benar salah, tepat tidak atau berguna tidak) di dunai pemikiran.

Dalam membangun peradaban kita tidak bisa begitu saja sekedar menumpuk-numpuk produk peradaban lain. Sebuah peradaban diukur dari pencapaiannya. Untuk membangun peradaban perlu adanya jaringan sosial atau inovasi sosial

yang menciptakan pranata (institusi) sosial yang memungkinkannya

menerima dan mengembangkan produk-produk peradaban lain dalam konteks kebudayaan sendiri.

B. HAKIKAT HIDUP MANUSIA Manusia dalam kehidupannya memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai makhluk Tuhan, makhluk individu, dan makhluk sosial budaya. Pada dasarnya manusia terdiri dari dua dimensi, yaitu fisik dan psikis. Sikap, emosi, pikiran, dan perbuatan merupakan refleksi dari kedua dimensi tersebut. Manusia sebagai makhluk Tuhan memiliki kewajiban dan kebutuhan mengabdi serta menghamba kepada Dzat yang menciptakannya. Sebagai individu, manusia perlu bahkan harus memenuhi kebutuhan pribadinya. Sedangkan sebagai makhluk sosial budaya, manusia tidak bisa hidup sendiri dan terpisah dari lingkungannya. Oleh karena itu, manusia mutlak membutuhkan orang lain, harus hidup berdampingan dan saling membantu dengan sesamanya dalam sebuah keharmonisan. Dalam proses interaksi antarmanusia lahirlah suatu bentuk kebudayaan. Kebudayaan diperoleh manusia melalui proses belajar, baik dengan pengamatan langsung maupun dengan cara mempelajari lingkungannya. Secara umum, kebudayaan dapat diterima dengan tiga bentuk atau cara : 1. Melalui pengalaman hidup saat menghadapi lingkungan 2. Melalui pengalaman hidup sebagai makhluk sosial 3. Melalui komunikasi simbolik (benda, tubuh, gerak tubuh, peristiwa atau pengalaman)

Setiap kebudayaan pasti memiliki kekhasan tertentu yang menjadikannya berbeda dengan yang lainnya. Namun pada dasarnya kebudayaan memiliki hakikat yang sama, antara lain : 1. Terwujud dan tersalurkan melalui perilaku manusia 2. Sudah terbentuk sejak lama dan terus ada dari generasi ke generasi 3. Merupakan aturan yang berisi kewajiban, juga tindakan yang diterima atau tidak, anjuran atau perintah, larangan serta pantangan

Bronislaw Malinowski menyatakan ada 4 unsur pokok kebudayaan, yaitu:  Sistem norma-norma yang memungkinkan kerja sama antar para anggota masyarakat agar menyesuaikan dengan alam sekelilingnya,  Organisasi ekonomi  Alat dan lembaga atau petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama), dan  Organisasi kekuatan (politik).  Kliucckhohn menyebutkan ada 7 unsur kebudayan, yaitu:  Sistem mata pencaharian hidup,  Sistem peralatan dan teknologi,  Sistem organisasi kemasyarakatan,  Sistem pengetahuan,  Bahasa,  Kesenian, dan  Sistem religi dan upacara keagamaan.

Gerak atau dinamika manusia sesama manusia, atau dari satu daerah kebudayaan ke daerah lain, baik disengaja atau tidak seperti migrasi atau pengungsian dengan sebab-sebab tertentu. Dinamika ini membawa kebudayaan dari suatu masyarakat ke masyarakat lain yang menyebabkan terjadinya akulturasi.

Adakalanya kebudayaan yang dibawa dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat setempat dan adakalanya ditolak, bahkan ada sekelompok individu yang tetap tidak menerima kebudayaan asing walaupun mayoritas kelompok individu di sekelilingnya sudah menjadikan kebudayaan tersebut bagian dari kebudayaannya. C. PERADABAN DAN PERUBAHAN SOSIAL

1. Pengertian dan Cakupan Perubahan Sosial Perubahan sosial lazim terjadi pada setiap masyarakat. Hal ini dipengaruhi tidak lain karena manusia, sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial, memiliki karakteristik dinamis. Tidak ada masyarakat yang statis, semuanya pasti mengalami perubahan. Perubahan tersebut pada umumnya mengarah pada kemajuan atau perkembangan, namun ada pula yang mengarah pada kemunduran atau bahkan kepunahan. Ada masyarakat yang peradabannya pada masa lampau sangat tinggi atau dominan, tapi justru saat ini menjadi terbelakang dibandingkan dengan masyarakat lain pada umumnya, sebagai contoh adalah masyarakat Romawi Kuno, Mesir Kuno, Inca Maya Indian.

Menurut Kingsley Davis, perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam fungsi dan struktur masyarakat. Perubahan sosial diasumsikannya sebagai perubahan dalam hubungan sosial (social relationship) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilirium) hubungan sosial tersebut. Perubahan sosial adalah perubahan dalam hubungan interaksi antar orang, organisasi atau komunitas. Perubahan tersebut dapat menyangkut “struktur sosial” atau “pola nilai dan norma”. Dengan demikina, istilah yang lebih lengkap mestinya adalah “perubahan sosial-kebudayaan” karena memang antara manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan itu sendiri.

Cara yang paling sederhana untuk mengerti perubahan sosial (masyarakat) dan kebudayaan itu, adalah dengan membuat rekapitulasi dari semua perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri, bahkan jika ingin mendapatkan gambaran yang lebih jelas lagi mengenai perubahan mayarakat dan kebudayaan itu, maka suatu hal yang paling baik dilakukan adalah mencoba mengungkap semua kejadian yang sedang berlangsung di tengahtengah masyarakat itu sendiri. Kenyataan mengenai perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat dianalisa dari berbagai segi diantaranya: 

ke “arah” mana perubahan dalam masyarakat itu “bergerak” (direction of change), yang jelas adalah bahwa perubahan itu bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang baru sama sekali, akan tetapi dapat pula bergerak kepada suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau.



Bagaimana pola atau bentuk dari perubahan sosial dan kebudayaan tersebut.

Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990). 2. Teori dan Bentuk Perubahan Sosial a) Teori Sebab-Akibat (Causation Problem) 1) Analisis Dialektis

Menelaah

syarat-syarat

dan

keadaan

yang

mengakibatkan

terjadinya perubahan dalam suatu sistem masyarakat. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian sistem juga membawa perubahan pada bagian lainnya sehingga menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan sebelumnya. Namun, itu mendorong terjadinya perubahan sosial yang lebih lanjut, meluas, dan mendalam. 2) Teori Tunggal mengenai Perubahan Sosial Menerangkan sebab-sebab perubahan sosial atau pola kebudayaan dengan menunjukkan kepada satu faktor penyebab.

b) Teori Proses atau Arah Perubahan Sosial Hal ini cenderung bersifat kumulatif/evolusioner. Pada dasarnya mempunyai asumsi bahwa sejarah manusia ditandai adanya gejala pertumbuhan. 1) Teori Evolusi Unilinier (Garis Lurus Tunggal). Teori ini dipelopori August Comte dan Herbert Spencer. Menurut teori ini, manusia dan masyarakat mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan tertentu, dari sederhana lalu kompleks sampai pada tahap sempurna. 2) Teori Multilinear Menurut teori ini, dalam perubahan sosial/kebudayaan terdapat gejala keteraturan yang nyata dan signifikan. Teori ini tidak mengenal hukum/skema apriori, lebih memerhatikan tradisi dalam kebudayaan dari berbagai daerah menyeluruh meliputi bagian-bagian tertentu

D. TEORI-TEORI MENGENAI PEMBANGUNAN, KETERBELAKANGAN, DAN KETERGANTUNGAN 1. Teori Dependensi (Ketergantungan) Secara umum memberikan gambaran melalui analisis dialektesis yaitu suatu analisis yang menganggap bahwa gejala-gejala sosial dapat diamati sehari-

hari pasti mempunyai penyebab tertentu. Teori ini menjadi titik tolak penyesuaian ekonomi terbelakang pada sistem dunia, sedemikian rupa sehingga menybabkan terjadinya

penyerahan

sumber

penghasilan

daerah

ke

pusat,

sehingga

mengakibatkan perekonomian daerah menjadi terbelakang.

Teori perubahan sosial menurut Moore: 1) Evolusi rektilinier yang sangat sederhana 2) Evaluasi melalui tahap-tahap 3) Evolusi yang terjadi dengan tahap kelajuan yang tidak serasi 4) Evolusi bercabang yang mewujudkan perubahan 5) Evolusi menurut siklus-siklus tertentu dengan kemunduran jangka pedek 6) Siklus-siklus yang tidak mempunyai kecenderungan 7) Pertemuan logistis yang digambarkan oleh populasi 8) Pertumbuhan logistis terbalik yang tergambar dan angka motivasi 9) Pertumbuhan eksponarisial yang tergambar memulai tanda-tanda 10) Primitivisme

Bentuk-bentuk perubahan sosial menurut Soerjono Soekanto: 1. Perubahan yang terjadi secara lambat dan perubahan yang terjadi secara cepat. a. Perubahan secara lambat disebut evolusi, pada evolusi perubahan terjadi dengan sendirinya, tanpa suatu rencana atau suatu kehendak tertentu. Perubahan terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan dan kondisi-kondisi baru yang timbul dengan pertumbuhan masyarakat. b. Perubahan secara cepat disebut revolusi. Dalam revolusi, perubahan yang terjadi direncanakan lebih dahulu maupun tanpa rencana.

2. Perubahan-perubahan yang pengaruhnya kecil, dan perubahan yang pengaruhnya besar.

a. Perubahan yang pengaruhnya kecil adalah perubahan pada unsur struktur sosial yang, tidak bisa membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang berarti bagi masyarakat. b. Perubahan yang pengaruhnya besar seperti proses indusrialisasi pada masyarakat agraris.

3. Perubahan yang dikehendaki dari perubahan yang tak diinginkan. a. Perubahan yang dikehendaki adalah bila seseorang mendapat kepercayaan sebagi pemimpin b. Perubahan sosial yang tidak dikehendaki merupakan perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki secara berlangsung dari jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat yang tidak diinginkan.

2. Penyebab Perubahan Interkorelasi

dan

interaksi

sosial

masyarakat

mendorong

perkembangan berfikir dan reaksi emosianal para anggotanya. Hal ini mendorong

masyarakat

untuk

mengadakan

berbagai

perubahan.

Perkembangan kualitas dan kuantitas anggota masyarakat mendorong perubahan sosial. Prof. Dr. Soerjono Soekanto menyebutkan adanya faktor intern dan ekstern yang menyebabkan perubahan sosial dalam masyarakat, yaitu: a. Faktor intern 1) Bertambahnya dan berkurangnya penduduk è menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat. Berkurangnya penduduk mungkin dapat disebabkan karena perpindahan penduduk dari desa ke kota, atau dari suatu daerah ke daerah yang lain, misalnya transmigrasi. 2) Adanya penemuan-penemuan baru yang meliputi berbagai proses, seperti dibawah ini: 

Discovery, penemuan unsur kebudayaan baru



Invention, pengembangan dari discovery



Innovation, proses pembaruan

3) Konflik dalam masyarkat , yaitu konflik antara individu dalam masyarakat, antara kelompok dan lain-lainnya. 4) Pemberontakan dalam masyarakat Misalnya: Revolusi Indonesia 17 Agustus 1945 mengubah struktur pemerintahan kolonial menjadi pemerintahan nasional dan berbagai perubahan struktur yang mengikutinya.

b. Faktor ekstern 1)

Faktor alam yang ada di sekitar masyarakat yang berubah

2)

Pengaruh kebudayaan lain dengan melalui adanya kontrak kebudayaan antara dua masyarakat atau lebih yang memiliki kebudayaan yang berbeda.

3. Keseimbangan Keseimbangan atau harmoni dalam kehidupan sosial suatu masyarakat merupakan keadaan yang didambakan oleh setiap anggota masyarakat. Setiap kali terjadi gangguan terhadap keseimbangan tersebut maka masyarakat akan menolaknya atau mengubah semua sistem. Robert Mclver perubahan-perubahan sosial merupakan perubahan dalam hubungan-hubungan sosial atau perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial. Pengertian ini dapat ditegaskan bahwa perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dapat menimbulkan ketidakseimbangan hubungan-hibungan sosial. Ketidakseimbangan ini terjadi misalnya, karena ada unsur-unsur dalam masyarakat yang berubah cepat, tetapi ada juga unsur-unsur dalam masyarakat yang terkait dengan unsur-unsur yang berubah jadi cepat namun tetap berubah jadi lambat. Keadaan demikian disebut cultural lag.

E. MASYARAKAT MADANI

Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Masyarakat madani pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara Festival Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta, dan kemudian dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholis Madjid. Masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau transparency system . Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern. Konsep “civil society” lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Bangsa Indonesia berusaha untuk mencari bentuk masyarakat madani yang pada dasarnya adalah masyarakat sipil yang demokrasi dan agamis/religius. Dalam kaitannya pembentukan masyarakat madani di Indonesia, maka warga negara Indonesia perlu dikembangkan untuk menjadi warga negara yang cerdas, demokratis, dan religius dengan bercirikan imtak, kritis argumentatif, dan kreatif, berfikir dan berperasaan secara jernih sesuai dengan aturan, menerima semangat Bhineka Tunggal Ika. Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firmanNya dalam Q.S. Saba‟ ayat 15:

Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”. Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu: 1) Masyarakat Saba‟, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman. 2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan AlQur‟an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin.

Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya: 1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif ke dalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial. 2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif. 3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat. 4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukanmasukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.

5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter. 6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri. 7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif. 8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial. 9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil. 10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya. 11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut. 12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial. 13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia. 14. Berakhlak mulia. Bila kita kaji, masyarakat di negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya “democratic governance” (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuah prasyarat masyarakat madani sbb: 1.

Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok

dalam masyarakat.

2.

Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial

(social

capital)

yang

kondusif

bagi

terbentuknya

kemampuan

melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok. 3.

Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan;

dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial. 4.

Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan

lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan. 5. Adanya kohesifitas antarkelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antarbudaya dan kepercayaan. 6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembagalembaga ekonomi,

hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan

berkeadilan sosial. 7.

Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan

kemasyarakatan

yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan

komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya. Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa ramburambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992). Rambu-rambu

tersebut

dapat

menjadi

jebakan

yang menggiring

masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa: 1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti

prototipe

pemerintahan

yang

sentralisme

dengan

desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.

2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.” 3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat. Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Al- Qur‟an. Meski Al Qur‟an tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsipprinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah. Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad s.a.w. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah

dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab). Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu dalam menghadapi perkembangan dan perubahan jaman, pemberdayaan civil society perlu ditekankan, antara lain melalui peranannya sebagai berikut : 1. Sebagai

pengembangan

masyarakat

melalui

upaya

peningkatan

pendapatan dan pendidikan. 2. Sebagai advokasi bagi masyarakat yang “teraniaya“, tidak berdaya membela hak-hak dan kepentingan mereka (masyarakat yang terkena pengangguran, kelompok buruh yang digaji atau di PHK secara sepihak dan lain-lain). 3. Sebagai kontrol terhadap negara. 4. Menjadi kelompok kepentingan (interest group) atau kelompok penekan (pressure group). 5. Masyarakat madani pada dasarnya merupakan suatu ruang yang terletak antara negara di satu pihak dan masyarakat di pihak lain. Dalam ruang lingkup tersebut terdapat sosialisasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan terbangun dari sebuah jaringan hubungan di antara asosiasi tersebut, misalnya berupa perjanjian, koperasi, kalangan bisnis, Rukun Warga, Rukun Tetangga, dan bentuk organisasi-organsasi lainnya. Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya :

1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata. 2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat. 3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter. 4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas. 5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar. 6. Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi. Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).

F. MODERNISASI 1. Konsep Modernisasi Modernisasi diawali pada abad ke-15 dan terjadi di Itali kemudian menyebar ke sebagian besar ke dunia Barat dalam lima abad berikutnya dan sekarang pengaruhnya telah menjalar ke seluruh dunia. Modernisasi pertama kali terlihat di Inggris dengan meletusnya revolusi Industri pada abad ke-18, yang mengubah cara produksi tradisional ke modern. Modernisasi masyarakat adalah suatu proses transformasi yang menyebabkan perubahan-perubahaan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat yang meliputi : 

bidang ekonomi, modernisasi berarti tumbuhnya kompleks industri yang besar di mana produksi barang konsumsi dan sarana dibuat secara massal.



Di bidang politik, dikatakan bahwa ekonomi yang modern memerlukan ada masyarakat nasional dengan integrasi yang baik.

Modernisasi menimbulkan pembaruan dalam kehidupan. Modernisasi menurut Cyril Edwin Black yaitu rangkaian perubahan cara hidup manusia yang kompleks dan saling berhubungan, merupakan bagian pengalaman yang universal dan yang dalam banyak kesempatan merupakan harapan bagi kesejahteraan manusia. Menurut Koentjaraningrat, modernisasi merupakan usaha penyesuaian hidup dengan konstelasi dunia sekarang ini. Modernisasi yang telah dilandasi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya bersifat fisik material saja, melainkan lebih jauh daripada itu, yaitu dengan dilandasi oleh sikap mental yang mendalam. Manusia yang telah mengalami modernisasi, terungkap pada sikap mentalnya yang maju,berfikir rasional, berjiwa wiraswasta, berorientasi ke masa depan, dan seterusnya. Menurut Schorrl (1980),

proses

penerapan

ilmu

pengetahuan

dan

teknologi ke dalam semua segi kehidupan manusia dengan tingkat yang berbedabeda tetapi tujuan utamanya untuk mencari taraf hidup yang lebih baik dan nyaman dalam arti yang seluas-luasnya, sepanjang masih dapat diterima oleh masyarakat yang bersangkutan. Definisi modernisasi yang lain adalah proses yang dilandasi dengan seperangkat rencana dan kebijaksanaan yang didasari untuk mengubah masyarakat ke arah kehidupan yang masyarakat yang kontemporer yang menurut penilaian lebih maju dalam derajat kehormatan tertentu (Smith : 1973)

2. Syarat-syarat Modernisasi Modernisasi lain dengan reformasi yang menekankan pada faktor rehabilitas. Modernisasi memiliki karakteristik yang tertentu, yakni preventif dan kontraktif sehingga proses tersebut tidak mengarah pada angan-angan semata. Modernisasi dapat terwujud melalui beberapa syarat, yaitu: 

Cara berfikir ilmiah yang institutionalized dalam kelas penguasa maupun masyarakat. Hal ini menghendaki sistem pendidikan dana pengajaran yang terencana dan baik.



Sistem

administrasi

negara

yang

baik

yang

benar-benar

mewujudkan birokrasi. 

Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu atau lembaga tertentu.



Penciptaan iklim yang baik dan teratur dari masyarakat trhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat komunikasi massa. Hal ini harus dilakukan tahap demi tahap, karena banyak sangkut pautnya dengan sistem kepercayaan.



Tingkat organisasi yang tinggi, di satu pihak disiplin tinggi bagi pihak lain di pihak pengurangan kepercayaan.



Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaannya.

3.Ciri-ciri Modernisasi Modernisasi merupakan salah satu modal kehidupan yang ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut : 

Kebutuhan manusia akan materi dan ajang persaingan kebutuhan manusia.



Kemajuan

teknologi

dan

industrialisasi,

individualisasi,

sekularisasi, diferensiasi, dan akulturasi. 

Modernisasi memberikan berbagai kemudahan bagi kehidupan manusia.



Dengan modernisasi, hampir semua keinginan serta kebutuhan manusia dapat terpenuhi.



Modernisasi juga berdampak pada lahirnya teori-teori baru.



Mekanisme masyarakat berubah menuju prinsip dan logika ekonomi serta orientasi kebendaan atau materialistik yang berlebihan.



Kehidupan

manusia

hampir

seluruh

perhatian

dicurahkan untuk bekerja serta menumpuk kekayaan.

religiusnya

G. PERADABAN INDONESIA DI TENGAH MODERNISASI DAN GLOBALISASI Modernisasi dan globalisasi adalah fakta bahwa modernisasi merupakan suatu proses perubahan sosial (social engineering) yang berusaha mengubah masyarakat tradisonal menjadi masyarakat modern. Arus modernisasi dan globalisasi adalah sesuatu yang pasti terjadi dan sulit untuk dikendalikan, karena begitu cepatnya informasi yang masuk keseluruh belahan dunia, hal ini mebawa pengaruh bagi seluruh bangsa di dunia, termasuk di dalamnya bangsa Indonesia. Dengan mengambil model masyarakat Barat, meskipun para ilmuwan berusaha mengaburkan konsep modernisasi menjadi sekadar masalah spirit of inquiry (gairah untuk menemukan sains dan teknologi), namun dengan pemikiran jernih (al-fikr al-mustanir) dapat tersingkap jelas bahwa modernisasi hakikatnya adalah proses sekularisasi. Dengan perkembangan arus informasi, teknologi, dan komunikasi yang sangatlah pesat, maka dunia menjadi kian sempit, bahkan dalam banyak hal, batas-batas negara sering menjadi kabur dan lebih dari itu, terkadang batasbatas tersebut mulai tidak relevan. Oleh karena itu, Indonesia dihadapkan pada dua hal yang tidak mudah, yakni melestarikan kebudayaan bangsa sekaligus membangun kebudayaan nasional yang modern. Destinasi atau tujuan akhir dari kedua hal tersebut adalah terciptanya suatu masyarakat yang tipikal Indonesia, yang tidak hanya mampu membangun dirinya sederajat dengan bangsa lain, tetapi juga tangguh dalam menghadapi tantangan kemerosotan lingkungan hidup dan moral serta tren global yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Jika kita mampu membangun bangsa di tengah-tengah arus modernisasi dan globalisasi yang semakin kuat, maka kita akan sanggup dan berhasil menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara maju yang bermartabat tinggi dan berjati diri kuat. Yang bisa menjawab harapan tersebut adalah peranan lembaga pendidikan yang diharapkan dapat menggali ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi tanpa menghilangkan jati diri bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Setiadi, Elly M. Dkk. 2010. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta : Kencana Media Group. Schuon, F. 1997. Hakikat Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Suleman, Munandar. 1995. Ilmu Budaya Dasar. Bandung : Eresco. Hawwa, Sa‟id. 1993. Agar Kita Tidak Dilindas Zaman. Cetakan Ketiga. Solo : Pustaka Mantiq. Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.

Dubois, Brenda & Miley, K.K. 1992. Social Work : An Empowering Profession. Boston : Allyn & Bacon. Diamond, Larry. 2003. Demokrasi Berkembang. Yogyakarta : IRE Press. http://mustofasmp2.wordpress.com http://id.shvoong.com

BAB VI NILAI, MORALITAS DAN HUKUM A. Pengertian Nilai Tidak mudah untuk menjelaskan apa itu suatu nilai. Setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya, sesuatu yang baik. Menurut perkataan bagus filsuf Jerman-Amerika, Hans Jonas, nilai adalah, the addressee of a yes, sesuatu yang ditujukan dengan “ya” kita. Memang, nilai adalah sesuatu yang kita iakan atau kita aminkan. Nilai selalu mempunyai konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu yang kita jauhi, sesuatu yang membuat kita malarikan diri seperti penderitaan, penyakit, atau kematian adalah lawan dari nilai, adalah non-nilai atau beberapa filsuf yang menggunakan di sini istilah “nilai negatif”, sedangkan nilai dalam arti tadi mereka sebut “nilai positif. Dipandang dalam perspektif sejarah filsafat yang sudah panjang, “nilai” merupakan suatu tema filosofis yang berumur agak muda. Baru pada akhir abad ke19 tema ini mendapat kedudukan mantap dalam uraian-uraian filsafat akademis. Sekurang-kurangnya secara eksplisit. Tapi secara implisit nilai sudah lama memegang peranan dalam pembicaraan filsafat, sudah sejak Plato menempatkan ide “baik” paling atas dalam hierarki ide-ide. Dan sesudah Plato, kategori “baik” praktis tidak pernah lagi terlepas dari fokus perhatian filsafat, khususnya etika. Tapi baru kira-kira seabad yang lalu nilai mendapat tempat eksplisit dalam diskusi-diskusi filsafat dan malah timbul suatu cabang filsafat yang baru dengan nama “aksiologi” atau “teori nilai”. Salah satu cara yang sering digunakan untuk menjelaskan apa itu nilai adalah memperbandingkannya dengan fakta. Kita juga mencoba menempuh jalan ini. Jika kita berbicara tentang fakta, kita maksudkan sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja. Jika kita berbicara tentang nilai, kita maksudkan sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau mengimbau kita. Fakta ditemui dalam konteks deskripsi semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu dan uraian itu pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Nilai berperanan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai secara berbeda oleh

pelbagai orang. Perbedaan antara fakta dan nilai ini kiranya dapat diilustrasikan dengan contoh berikut ini. Kita andaikan saja bahwa pada tahun sekian tanggal sekian di tempat tertentu ada gunung berapi meletus. Hal itu merupakan suatu fakta yang dapat dilukiskan secara obyektif. Kita bisa mengukur tingginya awan panas yang keluar dari kawah, kita bisa menentukan kekuatan gempa bumi yang menyertai letusan itu, kita bisa memastikan letusan-letusan sebelumnya beserta jangka waktu di antaranya, dan seterusnya. Tapi serentak juga letusan gunung itu bisa dilihat sebagai nilai atau justru disesalkan sebagai non-nilai, pokoknya, bisa menjadi obyek penilaian. Bagi wartawan foto yang hadir di tempat, letusan gunung itu merupakan kesempatan emas (nilai) untuk mengabadikan kejadian langka yang jarang dapat disaksikan. Untuk petani di sekitarnya debu panas yang dimuntahkan gunung bisa mengancam hasil pertanian yang sudah hampir panen (non-nilai), tapi dalam jangka waktu panjang tanah bisa bertambah subur akibat kejadian itu (nilai). Tim pencinta alam yang datang dari jauh dengan maksud hari itu mendaki gunung sempat kecewa karena terpaksa harus membatalkan rencana mereka (non-nilai), sedangkan profesor geologi yang bersama rombongan mahasiswa kebetulan meninjau daerah itu senang sekali karena dengan mendadak memperoleh obyek penelitian yang tidak disangka-sangka sebelumnya (nilai). Contoh ini kiranya cukup jelas untuk memperlihatkan perbedaan antara fakta dan nilai. Nilai selalu berkaitan dengan penilaian seseorang, sedangkan fakta menyangkut ciri-ciri obyektif saja. Perlu dicatat lagi bahwa fakta selalu mendahului nilai. Terlebih dahulu ada fakta yang berlangsung, baru kemudian menjadi mungkin penilaian terhadap fakta itu. Berdasarkan analisis sederhana ini dapat kita simpulkan bahwa nilai sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri berikut ini. 1) Nilai berkaitan dengan subyek. Kalau tidak ada subyek yang menilai, maka tidak ada nilai juga. Entah manusia hadir atau tidak, gunung tetap meletus. Tapi untuk dapat dinilai sebagai “indah” atau “merugikan”, letusan gunung itu memerlukan kehadiran subyek yang menilai. 2) Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, di mana subyek ingin membuat se-suatu. Dalam pendekatan yang semata-mata teoretis, tidak akan ada nilai. (Hanya menjadi pertanyaan apakah suatu pendekatan yang secara murni teoretis bisa diwujudkan.) 3) Nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek. Nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya. Rupanya hal itu

harus dikatakan karena obyek yang sama bagi pelbagai subyek dapat menimbulkan nilai yang berbeda-beda. Terdapat banyak macam nilai. Di sini boleh disebut beberapa contoh. Kita bisa mulai dengan nilai ekonomis. Dalam konteks ekonomi sering dibicarakan tentang nilai. Misalnya, kita ingat saja akan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebenarnya ekonomi merupakan bidang di mana nilai un tuk pertama kali dibahas dalam rangka ilmiah. Sudah sejak Adam Smith (1723-1790), yang biasanya disebut sebagai pelopor ilmu ekonomi. Lalu suatu kategori nilai lain adalah nilai estetis. Misalnya, memandang lukisan yang indah, mendengarkan musik yang bagus, membaca cerita novel yang menarik, atau puisi yang bermutu, bisa membawa nilai estetis bagi si peminat. Masih ada nilai lain yang lebih umum sifatnya dan memainkan peranan dalam hidup banyak orang, seperti kesehatan yang baik, pendapatan yang layak, makanan yang enak serta bergizi, lingkungan permukiman yang tenang serta nyaman, dan lebih-lebih kehidupan itu sendiri. Yang terakhir merupakan suatu nilai dasar, karena merupakan syarat untuk mewujudkan semua nilai yang lain. Dengan demikian hanya disebut beberapa contoh nilai dan tidak diusahakan suatu klasifikasi yang kurang lebih lengkap. Suatu klasifikasi yang sungguh-sungguh memuaskan sampai sekarang belum ada dan barangkali tidak mungkin juga. 1. Nilai Moral Yang dibicarakan tentang nilai pada umumnya tentu berlaku juga untuk nilai moral. Tapi apakah kekhususan suatu nilai moral? Apakah yang mengakibatkan suatu nilai menjadi nilai moral? Mari kita mulai dengan menggarisbawahi bahwa dalam arti tertentu nilai moral tidak merupakan suatu kategori nilai tersendiri di samping kategori-kategori nilai yang lain. Nilai moral tidak terpisah dari nilai-nilai jeris lainnya. Setiap nilai dapat memperoleh suatu “bobot moral”, bila diikutsertakan dalam tingkah laku moral. Kejujuran, misalnya, merupakan suatu nilai moral, tapi kejujuran itu sendiri “kosong”, bila tidak diterapkan pad lain, seperti umpamanya nilai ekonomis. Kesetiaan m kan suatu nilai moral yang lain, tapi harus diterapkan nilai manusiawi lebih umum, misalnya, cinta antara istri. Jadi, nilai-nilai yang disebut sampai sekarang bersifat “pramoral”. Nilai-nilai itu mendahului tahap mora bisa mendapat bobot moral,

karena diikutsertakan tingkah laku moral. Di bawah ini kita kembali lagi sifat khas nilai moral ini. Walaupun nilai moral biasanya menumpang path nilai lain, namun ia tampak sebagai suatu nilai ban kan sebagai nilai yang paling tinggi. Hal itu ingir perlihatkan dengan mempelajari ciri-ciri nilai moral moral mempunyai ciri-ciri berikut ini. a. Berkaitan dengan Tanggung Jawab Kita Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia. Tapi hal yang sama dapat dikatakan juga tentang nilai-nilai lain. Yang khusus menandai nilai moral ialah bahwa n berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung Nilai-nilai moral mengakibatkan bahwa seseorang 1 atau tidak bersalah, karena ia bertanggung jawab nilai lain tidak begitu. Bahwa anak saya tidak meninteligensi tinggi atau tidak cantik, bisa saya sesalic atas keadaan itu saya dan anak itu sendiri tidak bertangung jawab. Bahwa seseorang mempunyai bakat pemain bulu tangkis atau mempunyai watak yang nyenangkan, tentu merupakan hal yang sangat menggembirakan, tapi keadaan itu sendiri tidak menjadi jasanya karena tidak termasuk tanggung jawabnya. Nilai contoh-contoh tadi bukan nilai moral. Suatu nila hanya bisa diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang bersan Itu berarti seperti kita lihat dalam Bab 3 bahwa buatan itu berasal dari inisiatif bebas orang itu. Karena harus kita katakan bahwa manusia sendiri menjadi nilai moralnya. Manusia sendiri membuat tingkah lakunya menjadi baik atau buruk dari sudut moral. Hal itu tergantung pada kebebasannya. Misalnya, keadilan sebagai nilai moral, tidak lagi merupakan nilai sungguh-sungguh, kalau tidak berasal dari keputusan bebas manusia. Tentu saja, dalam keadaan normal nilai-nilai lain juga mengandaikan peranan manusia sebagai pribadi yang bebas. Misalnya, nilai-nilai intelektual dan estetis. Tapi di sini kebebasan dan tanggung jawab tidak menjadi syarat mutlak. Nilai intelektual tidak hilang sebagai nilai, jika karena suatu alasan tidak berasal dari kebebasan. Kalau seorang pengarang umpamanya dipaksakan untuk menulis buku, maka bisa saja buku itu mempunyai nilai intelektual yang tinggi. Atau kalaia peleton prajurit memaksakan sebuah

orkes untuk memainkan salah satu simfoni Beethoven, maka bisa saja keindahannya sama bermutu seperti kalau dimainkan atas inisiatif bebas orkes itu sendiri. Nilai estetis tidak tergantung dari derajat kebebasan pada perbuatan yang menghasilkannya. Tapi lain halnya dengan nilai moral. Di situ kebebasan dan tanggung jawab merupakan syarat mutlak. b. Berkaitan dengan Hati Nurani Semua nilai minta untuk diakui dan diwujudkan. Nilai selalu mengandung semacam undangan atau imbauan. Nilai estetis, misalnya, seolah-olah “minta” supaya diwujudkan dalam bentuk lukisan, komposisi musik, atau cara lain. Dan kalau sudah jadi, lukisan “minta” untuk dipamerkan dan musik “minta” untuk diperdengarkan. Tapi pada nilai-nilai moral tuntutan ini lebih mendesak dan lebih serius. Mewujudkan nilai-nilai moral merupakan “imbauan” dari hati nurani. Salah satu ciri khas nilai moral adalah bahwa hanya nilai ini menimbulkan “suara” dari hati nurani yang menuduh kita bila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral dan memuji kita bila mewujudkan nilai-nilai moral. c. Mewajibkan Berhubungan erat dengan ciri tadi adalah ciri berikutnya bahwa nilai-nilai moral mewajibkan kita secara absolut dengan tidak bisa ditawartawar. Nilai-nilai lain sepatutnya diwujudkan atau seyogyanya diakui. Nilai estetis, umpamanya. Orang yang berpendidikan dan berbudaya akan mengakui serta menikmati nilai estetis yang terwujud dalam sebuah lukisan yang bermutu tinggi. Tapi orang yang bersikap acuh tak acuh terhadap lukisan itu tidak bisa dipersalahkan. Nilai estetis tidak dengan mutlak hams diterima. Pada kenyataannya kita lihat bahwa musik Bach atau Mozart bagi banyak orang membosankan saja, biarpun mengejawantahkan nilai estetis yang tinggi, sedangkan mereka senang sekali dengan musik pop yang nilai estetisnya tidak seberapa. Padahal, musik Bach dan Mozart mempunyai nilai abadi dan musik pop pada umumnya sesudah satu atau dua tahun dilupakan sama sekali, karena sudah diganti dengan musik pop versi mutakhir. Tapi moral harus diakui dan harus direalisasikan. Tidak bisa diterima, bila seseorang acuh tak acuh terhadap nilai-nilai ini.

Di sini kita bisa memanfaatkan pembedaan terkenal yang dikemukakan filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), antara imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Dalam nilai moral terkandung suatu imperatif (perintah) kategoris, sedangkan nilai-nilai lain hanya berkaitan dengan imperatif hipotetis. Artinya, kalau kita ingin merealisasikan nilai-nilai lain, kita harus menempuh jalan tertentu. Kalau pemain bulutangkis ingin menjadi juara, maka ia harus berlatih keras. Tapi keharusan ini hanya berlaku dengan syarat kalau ingin menjadi juara... Sebaliknya, nilai moral mengandung suatu imperatif kategoris. Artinya, nilai moral itu mewajibkan kita begitu saja, tanpa syarat. Kejujuran memerintahkan kita untuk mengembalikan barang yang dipinjam, suka tidak suka. Barang itu hams dikembalikan begitu saja. Keharusan itu berlaku mutlak, tanpa syarat. Bisa ditanyakan lagi mengapa nilai-nilai moral mewajibkan kita. Pertanyaan ini kiranya bisa dijawab sebagai berikut, Kewajiban absolut yang melekat pada nilai-nilai moral berasal dari kenyataan bahwa nilai-nifai ini berlaku manusia sebagai manusia. Karena itu nilai moral berlaku juga untuk setiap manusia. Lain halnya dengan nilai-nilai non-moral. Tidak bisa diharapkan bahwa setiap orang memiliki inteligensi tinggi, atau bakat artistik atau kesehatan yang baik. Orang yang tidak mempunyai nilai-nilai ini tetap merupakan manusia yang sungguh-sungguh dan lengkap. Tapi diharapkan dan malah dituntut bahwa setiap orang menjunjung tinggi dan mempraktekkan nilai-nilai moral. Orang yang tidak mengakui nilai moral mempunyai cacat sebagai manusia. Apalagi, setiap orang diharapkan menerima semua nilai moral. Tidak mungkin seseorang memilih beberapa nilai moral dan menolak nilai moral lainnya. Tidak mungkin, misalnya, seseorang mengatakan: “saya menerima kejujuran dan kesetiaan sebagai nilai dalam hidup saya, tapi keadilan saya tolak.” Nilai-nilai moral mewajibkan manusia dengan cara demikian rupa sehingga setiap orang harus menerima semuanya. Dengan cara lain dapat dikatakan juga bahwa kewajiban absolut yang melekat pada nilai-nilai moral berasal dari kenyataan .bahwa nilai-nilai ini menyangkut pribadi manusia sebagai keseluruhan, sebagai totalitas.

Nilai-nilai lain menyangkut manusia menurut salah satu aspek saja, tapi nilainilai moral menyangkut manusia sebagai manusia. Karena itu kewajiban moral tidak datang dari luar, tidak ditentukan oleh instansi lain, tapi berakar dalam kemanusiaan kita sendiri. Akibatnya, di sini tidak mungkin orang mendapat dispensasi, seperti bisa terjadi dengan kewajiban yang didasarkan pada hukum positif (lembaga sosial, misalnya, mendapat dispensasi membayar pajak). Sebab, orang tidak bisa dilepaskan dari kewajiban yang berkaitan dengan kemanusiaannya sendiri. Dan kegagalan dalam melaksanakan nilai-nilai moral merendahkan manusia sebagai manusia. Kegagalan dalam melaksanakan nilai-nilai lain bisa mengecewakan, bahkan bisa mengakibatkan kerugian besar, tapi tidak menjatuhkan martabat kita sebagai manusia. Mahasiswa yang gagal dalam ujian, setelah belajar dengan baik dan berusaha sungguh-sungguh, tentu akan merasa kecewa tapi kemanusiaannya tidak direndahkan. Ia telah melakukan kewajibannya! Lain halnya dengan mahasiswa yang mencuri uang untuk dapat membeli sepeda motor. Mungkin di antara teman-temannya gengsinya naik. Tapi perbuatan nekat itu telah melukai harkatnya sebagai manusia. Kegagalan di bidang moral berarti kegagalan total sebagai manusia, bukan merupakan suatu aspek saja. d. Bersifat Formal Di sini kami kembali pada awal uraian tentang nilai moral ini. Nilai moral tidak merupakan suatu jenis nilai yang bisa ditempatkan begitu saja di samping jenis-jenis nilai lainnya. Biarpun nilai-nilai moral merupakan nilainilai tertinggi yang harus dihayati di atas semua nilai lain, seperti yang sudah menjadi jelas dari analisis sebelumnya, namun itu tidak berarti bahwa nilainilai ini menduduki jenjang teratas dalam suatu hierarki nilai-nilai. Nilai-nilai moral tidak membentuk suatu kawasan khusus yang terpisah dari nilai-nilai lain. Jika kita mewujudkan nilai-nilai moral, kita tidak perbuat sesuatu yang lain dari biasa. Seorang pedagang berperilaku moral (mewujudkan nilai-nilai moral) sambil mengerjakan nilai-nilai ekonomis. Seorang seniman berperilaku moral pada saat is berkecimpung dalam nilai-nilai estetis. Kita merealisasikan nilai-nilai moral dengan mengikutsertakan nilai-nilai lain

dalam suatu “tingkah laku moral”. Nilai-nilai moral tidak memiliki “isi” tersendiri, terpisah dari nilai-nilai lain. Tidak ada nilai-nilai moral yang “murni”, terlepas dari nilai-nilai lain. Hal itulah yang kita maksudkan dengan mengatakan bahwa nilai moral bersifat formal. Max Scheler mengungkapkan hal yang sama juga dengan menegaskan bahwa nilai-nilai moral “membonceng” nilai-nilai lain. 2. Norma Moral Kata Indonesia “norma” kebetulan persis sama bentuknya seperti dalam bahasa asalnya, bahasa Latin. Konon, dalam bahasa Latin arti yang pertama adalah carpenter's square: siku-siku yang dipakai tukang kayu untuk mencek apakah benda yang dikerjakannya (meja, bangku, kursi, dan sebagainya) sungguh-sungguh lurus. Asal-usul ini membantu kita untuk mengerti maksudnya. Dengan norma kita maksudkan aturan atau kaidah yang kita pakai sebagai tolok ukur untuk menilai sesuatu. Ada banyak sekali macam norma. Misalnya, ada norma yang menyangkut benda dan norma lain yang menyangkut tingkah laku manusia. Contoh tentang norma yang menilai benda adalah norma-norma teknis yang dipakai untuk menentukan kelaikan udara sebuah pesawat terbang atau kelaikan laut sebuah kapal. Jika sesuai dengan norma-norma itu, pesawat boleh terbang dan kapal boleh berlayar. Jika tidak, pesawat atau kapal harus diperbaiki dulu, hingga akhirnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Norma yang menyangkut tingkah laku manusia ada juga banyak macam. Di sini kita bisa membedakan norma umum yang menyangkut tingkah laku manusia sebagai keseluruhan dan norma khusus yang hanya menyangkut aspek tertentu dari apa yang dilakukan manusia. Contoh tentang norma khusus adalah norma bahasa. Tata bahasa Indonesia adalah norma yang menentukan entah kita memakai bahasa dengan baik dan benar atau justru tidak. Kalau dalam berbicara atau menulis bahasa kita sesuai dengan tata bahasa itu, maka kita memakai bahasa Indonesia dengan semestinya. Kalau tidak sesuai, pemakaian bahasa Indonesia kita tidak betul, karena tidak memenuhi syarat. Ada tiga macam norma umum, yaitu norma kesopanan atau etiket, norma hukum, dan norma moral. Etiket, misalnya, betul-betul mengandung

norma yang mengatakan apa yang harus kita lakukan. Mungkin karena alasan itu etiket sering dicampuradukkan dengan etika (bandingkan Bab 1, §1, nr. 3). Tapi etiket hanya menjadi tolok ukur untuk menentukan apakah perilaku kita sopan atau tidak dan hal itu belum tentu sama dengan etis atau tidak. Norma hukum juga merupakan norma penting yang menjadi kenyataan dalam setiap masyarakat. Hampir setiap hari kita berjumpa dengan norma hukum ini. Namun demikian, sebagaimana etiket perlu dibedakan dari norma moral, begitu pula norma hukum tidak sama dengan norma moral (kin dingkan Bab I §5). Norma moral menentukan apakah perilaku kita baik atau buruk dari sudut etis. Karena itu norma moral adalah norma tertinggi, yang tidak bisa ditaklukkan pada norma lain. Sebaliknya, norma moral menilai norma-norma lain. Seandainya ada norma etiket yang tidak bersifat etis, karena misalnya didasarkan atas diskriminasi terhadap wanita, maka norma etiket itu harus kalah terhadap norma moral. Demikian halnya juga dengan norma hukum. Jika ada undang-undang yang dianggap tidak etis, maka undang-undang itu harus dihapus, atau diubah. Dan sepanjang sejarah hal seperti itu sudah sering terjadi. Apakah norma moral menilai juga norma-norma khusus? Ya, memang begitu. Walaupun tidak dalam arti bahwa norma khusus itu harus dihapus atau diubah, namun norma khusus pun harus tunduk pada norma moral. Bisa saja bahwa seseorang memakai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dari sudut norma bahasa, apa yang dikatakannya itu memang sempurna. Tapi dengan mengatakan hal itu pada kenyataannya ia memfitnah orang lain atau ia berbohong. Jadi, dari sudut etis apa yang dikatakannya itu sama sekali tidak baik dan benar! Tidak boleh ia mengatakan hal-hal seperti itu. Di sini norma bahasa pun harus tunduk pada norma moral. Seperti norma-norma lain juga, norma moral pun bisa dirumuskan dalam bentuk positif atau negatif. Dalam bentuk positif norma moral tampak sebagai perintah yang menyatakan apa yang harus dilakukan, misalnya kita harus menghormati kehidupan manusia, kita harus mengatakan yang benar. Dalam bentuk negatif norma moral tampak sebagai larangan yang menyatakan apa yang tidak boleh dilakukan, misalnya: jangan membunuh, jangan berbohong.

B. Pengertian Moralitas 1. Perumusan Masalah Sejauh kita telah melihat bahwasanya tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan sempurna dalam memiliki Tuhan. Selain itu, juga telah kita ketahui bahwa jalan ke arah tujuan tadi adalah perbuatan manusiawi, yakni perbuatan manusia yang sukarela. Sekarang pertanyaan yang kita hadapi adalah bagaimana menghubungkan jalan agar mencapai tujuan? Dapatlah setiap macam perbuatan membawa kita ke arah tujuan akhir kita? Bila kita menjawab: ya, berarti tidak terdapat perbedaan antara hal yang benar dan hal yang salah. Selanjutnya tidak terdapat ilmu filsafat moral dan tidak terdapat etika. Fakta ini menyatakan bahwa manusia memutuskan adanya macam perbuatan yang salah dan tidak akan membawa kita ke arah tujuan terakhir dan ada pula macam perbuatan benar yang sesunggunya akan membawa kita ke arah tujuan terakhir tersebut. Demikian jauh kita hanya memakai saja faktafakta tersebut. Apabila kita berkata bahwa membimbing dirinya sendiri ke arah tujuan akhirnya dengan memakai kehendak bebasnya, kita juga merangkum dalam pernyataan kita tadi bahwasanya terdapat kemungkinan memilih antara hal-hal yang akan membawa manusia ke arah tujuannya dan hal-hal yang tidak akan membawa manusia ke arah tujuannya. Sebab, apabila semua jalan akan membawa kita ke tujuan yang sama, agaknya jelas tidak diperlukan adanya pimpinan atau pemilihan. Pembicaraan kita yang terdahulu mengenai kesukarelaan dan kemerdekaan, terutama mengenai prinsip akibat rangkap adalah berdasarkan pengalaman kita sehari-hari bahwa konsekuensi atau akibat yang buruk atau jahat dapat terbit dari perbuatan manusiawi. Sering manusia bertanggung jawab atas perbuatan/hal-hal yang buruk tersebut. Sekarang saatnya kita membuktikan semuanya itu. Apakah keyakinan umum umat manusia yang berkata bahwa ada perbuatan yang benar dan salah itu adalah sesuatu yang benar? Mengapa terdapat perbuatan yang dianggap benar dan terdapat perbuatan yang dianggap

salah? Apakah gerangan nilai-nilai alasan-alasan yang diberikan? Inilah apa yang disebut problema moralitas. 2. Arti Moralitas Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup pengertian tentang baik-buruknya perbuatan manusia. Kata amoral, non moral berarti bahwa tidak mempunyai hubungan dengan moral atau tidak mempunyai arti moral. Istilah immoral artinya moral buruk, (buruk secara moral). Moralitas dapat objektif atau subjektif. Moralitas objektif memandang perbuatan semata sebagai suatu perbuatan yang telah dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh-pengaruh sukarela pihak pelaku. Lepas dari segala keadaan khusus si pelaku yang dapat mempengaruhi atau mengurangi penguasaan diri dan bertanya apakah orang yang sepenuhnya menguasai dirinya diizinkan dengan sukarela menghendaki perbuatan tersebut. Moralitas subjektif adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan si pelaku sebagai individu. Selain itu juga dipengaruhi, dikondisikan oleh latar belakangnya, pendidikannya kemantapan emosinya, dan sifat-sifat pribadi lainnya. Yang ditanyakan, apakah perbuatan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan hati nuraninya. (conscience) sendiri dari si pelaku. Di sini tidak kita perbincangkan apakah moralitas subjektif itu ada. Sebab ini adalah fakta pengalaman bahwa hati nurani kita menyetujui atau tidak menyetujui apa yang kita kerjakan. Marilah kita tunda seluruh persoalannya sampai saatnya kita membicarakan tentang hati nurani. Persoalan yang kita hadapi hanyalah tentang moralitas objektif. Apakah hakikat dari perbuatan-perbuatan itu sendiri? Adakah perbuatan-perbuatan tersebut telah memiliki kualitas moral, sifat benar/salah, yang hakiki sendiri? Ataukah perbuatan-perbuatan tersebut mempunyai arti moral karena sebab-sebab dari luar? Moralitas jga dapat intrinsik dan ekstrinsik. Pembagian ini hendaknya jangan dicampuradukkan dengan pembagian di atas tadi. Moralitas intrinsik memandang suatu perbuatan menurut hakikatnya bebas lepas dari setiap

bentuk hukum positif. Yang dipandang adalah apakah perbuatan baik atau buruk pada hakikatnya, bukan apakah seorang telah memerintahkannya atau telah melarangnya. Moralitas ekstrinsik adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai sesuatu yang diperintahkan atau dilarang oleh seseorang yang berkuasan atau oleh hukum positif, baik dari manusia asalnya maupun dari Tuhan. Bahwasanya terdapat moralitas ekstrinsik, semua orang bisa setuju karena tidak ada orang yang dapat menolak kenyataan bahwa hukum-hukum positif, bagaimanapun nilai sahnya, benar-benar ada, umpanya hukum negara, hukum yang tak tertulis, atau hukum adat. Jadi, di sini kita tidak mengadakan pemilihan antara moralitas intrinsik dan moralitas ekstrinsik. Di sini kita bertanya, di samping moralitas ekstrinsik adakah juga terdapat moralitas intrinsik? Atau juga pertanyaan dapat kita ajukan sebagai berikut: Apakah perbuatan itu diperintahkan atau dilarang karena perbuatan tersebut pada hakikatnya benar atau salah? Adakah moralitas kodrat? Ataukah semua perbuatan itu benar atau salah karena diperintahkan atau dilarang? Apakah semua moralitas sekadar sesuatu yang konvensional? Teori yang mengatakan bahwa semua bentuk moralitas itu ditentukan oleh konvensi dan bahwa semua bentuk moralitas itu adalah resultan dari kehendak seseorang yang dengan sekehendak hatinya memerintahkan atau melarang perbuatan-perbuatan tertentu tanpa mendasarkan atas sesuatu yang intrinsik dalam perbuatan manusia sendiri atau pada hakikat manusia dikenal sebagai aliran positivisme moral. Disebut begitu karena, menurut aliran tersebut, semua moralitas bertumpu pada hukum positif sebagai lawan hukum kodrat (natural law). Menurut teori tersebut, perbuatan dianggap benar atau salah berdasarkan: a. Kebiasaan Manusia b. Hukum-hukum negara c. Pemiliyhan bebas Tuhan

a. Teori yang mengatakan bahwa semua moralitas sekadar kebiasaan saja, sudah lama tersebar, yakni sejak zaman para sofis dan kaum spektik pada zaman Yunani Purba. Ada yang mengira bahwa moralitas itu dipaksakan oleh orang-orang pandai dan berpengaruh untuk menundukkan rakyat biasa. Terhadap tekanan, pendapat umum, dan

tradisi, orang biasa

menerima hukum moral dan mau memakai rantai belenggu yang telah dibuatkan untuknya. Dan hanya beberapa pemberani yang berani berjuang dan dapat merdeka. Inilah filsafat dan dunia pemberontakan dalam bidang moral. Mandeville dalam bukunya, Enquiry into the Origin of Moral Virtue, menonjolkan gagasan tersebut. Pikiran Freidrich Nietszche tidak jauh berbeda. Menurut dia, pada awalnya tidak ada hal yang baik dan hal yang buruk. Yang ada hanya yang kuat dan yang lemah. Yang kuat dengankejantannya, dengan kekuatannya, dengan kelicinannya dengan kenekatannya menghina yang lemah, yang seperti perempuan yang sabar, patuh, ramah-tamah, dan lembut. Yang lemah takut kepada yang kuat. Masing-masing golongan memuja sifatnya masing-masing dan menghukum golongan lain. Muncullah perbedaan antara moralitas bendoro dan moralitas budak. Karena jumlahnya besar dan mendapat pengaruh agama Katolik, moralitas budak menang. Ini merupakan bencana bagi rakyat yang sangat besar. Adalah tugas masyarakat untuk menimbulkan golongan aristokrat pada Uebeemensch yang akan mengembalikan sifat-sifat kehantanan dan mengembalikan moralitas bendoro. Uebermensch itu mengatasi segalanya, yang baik dan yang buruk. Ia merupakan suatu hukum tersendiri, hukum bagi dirinya sendiri. Para kaum evolusionis modern, seperti Herbert Spencer, umpamanya, mencari jejak permulaan gagasan-gagasan moral pada binarang. Sebagaimana manusia berkembang dari hewan, maka gagasangagasan moral tertentu mengalami perkembangan evolusi yang sama. Cara berbuat yang dianggap berguna, berkembang menjadi kebiasaan-kebiasaan suku-suku primitif. Bersama dengan majunya peradaban, semakin disaringlah, dan menjadi sistem moral yang kita miliki perabadan. Karena

proses evolusi belum berhenti, maka sistem tersebut masih bisa menjadi sistem yang lebih tinggi. Auguste Comte, pendiri aliran positivisme, memandang etika sebagai bagian sosiologi yang dianggap sebagai ilmu tertinggi. Kebiasaan moral itu muncul dari kebiasaan sosial dan terus berubah bersama perbuatan-perbuatan yang terdapat dalam masyarakat. Jadi, semacam relativisme etik. Friederich Paulsen, yang tidak dapat kita golongkan sebagai seorang positivis, menegaskan bahwa pada kongkretnya tidak terdapat moralitas yang universal sifatnya. Hukum moral (moral code) itu berbeda bagi setiap orang. Setiap filsafat moral tadi muncul. Karl Marx dan Engels beserta semua pengikutnya memegang konsepsi materialis tentang sejarah, menegaskan bahwa gagasan-gagasan moral, politik, seni, sosial dan filsafat ditentukan oleh keadaan ekonomi msayarakat. Setiap saat, setiap rakyat, dans etiap kelas membentuk gagasan-gagasannya sendiri untuk menyerasikannya dengan situasi ekonomi yang khusus. Menurut anggapan komunis. Dan pada saat ini akan dibutuhkan bentuk moralitas yang baru yang harus menggantikan moralitas borjuis. Itulah beberapa contoh dan teori yang menolak adanya moralitas intrinsik. Mereka tidak menerima bahwa perbedaan antara baik dan buruk yang dibuat manusia umumnya itu didasarkan atas hakikat kenyataan. Untuk lebih mendekati pandangan tersebut, marilah kita menyelidiki tentang apakah itu adat. Adat itu munculnya karena perbuatan yang sama yang diulang dengan cara yang sama. Mengapa perbuatan diulang? Karena pada permulaan kaki menjalankan perbuatan tersebut, mereka menemukan bahwa perbuatan tersebut menyenangkan atau berguna. Dan mereka menghendaki hal tersebut kembali. Pada mulanya manusia mengulang perbuatan-perbuatan tertentu tidaklah karena mereka telah mengerjakannya sekali dua kali, tetapi untuk keuntungan tertentu sampai adat tersebut terbentuk. Adat sendiri bukanlah sumber dari perbuatan. Nilai adat dan tradisi adalah sebagai sesuatu yang diwariskan turun temurun kepada generasi mendatang dalam bentuk yang sudah ready-made, yakni

suatu kumpulan pengalaman yang berguna dan profitable dari orang-orang tua. Sebagai hubungan sejarah dengan masa lalu, dan sebagai semen kelangsungan budaya, adat adalah tiang menyokong setiap bentuk peradaban. Adat juga bisa merupakan penghalang kemajuan. Setelah beberapa lama, keadaan mungkin telah berubah secara radikal. Dan perbuatan yang dulu menguntungkan, mungkin dalam keadaan baru menjadi tidak berguna dan merugikan. Namun, karena tekanan kebiasaan yang kuat, manusia terus menjalankan perbuatan tersebut tanpa memikirkan mengapa berbuat demikian. Umpamanya, manusia terus-menerus mengikuti dan menaati upacara-upacara tertentu meskipun telah lupa (tidak tahu) akan artinya, akan pesan budayanya. Tradisinya dapat demikian hebat pengaruhnya sehingga orang terus saja berkeras kepala menjalankan sesuatu dengan cara yang tidak menghemat dan menentang akal sehat. Meskipun ia telah tahu bahwa tidak masuk akal, ia tidak bisa lagi meninggalkan pola tingkah laku yang telah demikian biasa. Kita pernah mengadakan perbedaan antara tata cara, tata tertib, yang merupakan adat-istiadat semata, dan adat istiadat yang bukan tata krama, yang bukan etiquette semata-mata, tetapi yang mempunyai arti moral. Adat semata, yakni perbuatan-perbuatan yang diulang semata karena pernah dijalankan, menurut pengalaman dapat diulang meskipun sukar. Sejarah telah membuktikan bahwa adat semacam itu dapat diubah oleh lamanya waktu yang telah berjalan, suatu kekerasan yang kuat, propoganda yang terus menerus, dan dapat diubah dengan reduksi yang merata. Bahkan juga terhadap adat yang sudah berurat-akar. Ada adat kebiasaan yang tidak pernah dapat diubah. Makan dan bernapas adalah adat kebiasaan, tetapi tidak ada orang yang dapat dididik kembali untuk bisa hidup tanpa keduanya. Bercakap-cakap dan bertukar pikiran adalah adat kebiasaan, dan hanya orang sinting yang melarangnya. Musil dan ekspresi seni adalah adat kebiasaan. Hanya mental yang tidak bereslah yang mau menghancurkannya secara total. Sebabnya adalah semuanya itu bukan adat semata, melainkan berdasar atas tuntutantuntutan fisik, mental, dan emosionla manusia.

Contoh-contoh di atas kita ambil dari luar bidang moralitas, tetapi kesimpulan-kesimpulan yang sama dapat ditariknya. Adalah merupakan adat kebiasaan manusia menghormati hidup dan milik orang lain, mencintai anak-anaknya, menolong orang lain yang dalam kesusahan, dan lain-lain. Tetapi semuanya ini bukan sekedar adat semata. Memang manusia bisa menolak semuanya itu dan menerima adat kebiasaan yang mutlak berlawanan dengan semuanya itu. Tetapi jelas bahwa ini berarti akhirnya hidup manusia dan akhirnya kehidupan bermasyarakat. Tidak ada hak milik, tidak ada anka, tidak ada perdagangan, tidak ada kawan, tidak ada janji, dan tidak akan ada orang yang bisa hidup sampai menjadi dewasa, apalagi apa yang disebut generasi mendatang. Kesimpulan kami ialah: ada terdapat adat kebiasaan yang tidak dapat dihapuskan, dan kita dapat melipatgandakan contoh-contohnya. Adat-adat tersebut bukan sekadat sesuatu yang lagi diulang karena pernah dijalankan, melainkan menyatakan bagaimanakah seseorang hendaknya hidup kalau ia mau hidup sebagai manusia. Maka adat-adat tadi dianggap baik bukan karena telah menjadi kebiasaan, tetapi memang kodratnya juga sebelum menjadi adat. Selanjutnya, terdapat juga beberapa perbuatan yang tidak boleh dijadikan adat kebiasaan. Karena perbuatan-perbuatan tersebut pada hakikatnya secara intrinsik, menurut kodratnya adalah buruk dan jahat. Umpamanya prajurit lari dari kesatuannya dengan tidak sah (desersi), meracun tamu, atau sebagai saksi dusta di depan pengadilan. Perbuatan-perbuatan tersebut sifatnya destruktif tidak hanya bagi kemampuan-kemampuan dasar dan tuntutantuntutan manusia, tetapi juga destruktif bagi hakikat manusia sendiri. Memang ada manusia yang mengerjakan itu, tetapi ini bukan titik persoalannya. Persoalannya ialah bahwa perbuatan-perbuatan itu adalah buruk, dan kita mau mencari sebabnya mengapa buruk. Perbuatan semacam itu harus dianggap sebagai kekecualian, bukan hukum; sebagai modal pada umat manusia, bukan suatu ideal. Bila disebarkan secara luas, perbuatanperbuatan tersebut mengancam kehidupan masyarakat di mana perbuatanperbuatan itu dilakukan.

Agaknya membunuh dan menganianya telah menjadi adat kebiasaan kaum kontrarevolusioner Gestapu. Sesuai dengan moral dalangdalangnya baik adalah yang baik bagi partai, dan membunuh adalah baik asal maksud tujuan tercapai. Banyak orang yang telah terhasut dan menerima macam immoralitas ini. Tetapi manusia Indonesia sebagai keseluruhan tidak bida menerima, dan menganggap bahkan mengutuk, bahwa perbuatan semacam itu biadab. Membunuh, menganiaya, tidak bisa diterima, apalagi dikatakan baik meskipun bagi PKI telah menjadi adat. Maka membunuh dan menganiaya itu tidak dapat hanya kita dasarkan adat semata. Dasar semestinya lebih dalam dari adat. Adat semata tidak membuat moralitas.

b. Dia tas baru saja selesai kita perbincangkan mengenai teori yang berkata bahwa moralitas didasarkan atas dasar kebiasaan adalah tidak benar. Sekarang ada teori yang mengatakan bahwa moralitas bersumber pada negara atau masyarakat politik. Orang-orang yang mengajarkan teori tersebut adalah Thomas Hobbes dan Jean Jacques Rousseau. Meraka berkata bahawa, sebelum manusia mengorganisasi dirinya ke dalam masyarakat politik, tidak ada hal yang baik dan buruk. Negara sendiri bukanlah masyarakat kodrat, melainkan hasil dari social contract, persetujuan yang sama sekali konvensional, yang dengan itu manusia mengorbankan sebagia hak-hak kodratnya untuk menyelamatkan hak-hak kodrat lainnya. Pada saat masyarakat sipil terbentuk, masyarakat ini memerintahkan dan melarang

perbuatan-perbuatan tertentu guna

tercapainya common good. Dan inilah saat munculnya hal yang baik dan hla yang buruk. Jadi, tidak ada peruatan yang baik dan buruk menurut hakikatnya, tetapi hanya kerana diperintahkan atau dilarang oleh negara. Jadi, teori tersebut menyamakan moralitas dengan civil legality. Hobbes dan Rousseau sangat berbeda pandangannya tentang kedudukan alam, bentuk social contract, maka memindahkan hak-hak, dan kedudukan kedaulatan. Tetapi semuanya ini lebih bertalian dengan teori mereka tentang negara.

Di sini yang menjadi perhatian kita adalah kenyataan bahwa mereka menolak adanya moralitas intrinsik. Mungkin ada yang ragu-ragu apakah banyak berbeda mendasarkan moralitas atas negara atau atas adat. Bila keduanya sekadar konvensi, semuanya saja berasal dari manusia. Tetapi yang jelas Hobbes dan Rousseau menegaskan bahwa sahnya moralitas hanya sejak negara telah terbentuk. Beberapa baris tulisan Hobbes akan menjelaskan hal tersebut: “During the time men live without common power to keep them all in awe they are in that condition which is called war; and such a war as if of every man against every man … To this war of every man against every man, this is consequent; that nothing can be unjust. The notions of right and wring, justice and injustice, have there no place. Where there is no common power, there is no law; where no law, no injustice. Force and fraud are in war the two cardinal virtues. Justice and injustice are none of the faculties neither of the body nor mind. If they were, they might be in a man that were alone in the world, as well as his senses and passions. They are qualities that relate to men in society, not in solitude. It is consequent also to the same condition, that there be no propriety, no dominion, no mine and thine distinct; but only that to be every man's, that he can get; and for so long as he can keep it .... Where no covenant hath preceded, there hath no right been transferred, and every man has a right to everything; and consequently no action can be unjust.... Before the names of just and unjust can have place, there must be some coercive power, to compel men equally to the performance of their covenants, by the terror of some punishment greater than the benefit they expect by the breach of their covenant .. and such power there is none before the erection of a commonwealth...”

Rousseau dengan jelas menandaskan bahwa moralitas didasarkan atas konvensi:

“Man is born free, and everywhere he is in chains. Many one believes himself the master of others, and yet he is a greater slave than they. How has this change come about? I do not know. What can render it legitimate? I believe that I can settle this question.. . . The social order is a sacred right which serves as a foundation for all others. This right, however, does not come from nature. It is therefore based on conventions. The question is to know what those conventions are.... “Since no man has any natural authority over his fellow man, and since force is not the source of right, conventions remain as the basis of all lawful authority among men.... “The passage from the state of nature to the civil state produces in a man a very remarkable change, by substituting in his conduct justice for instinct, and by giving his actions the moral quality they previously lacked. Kita mau menyetujui bahwa negara dapat mengumumkan hukum tentang hal-hal yang indiferen dan membuatnya binding in conscience. Sebagai penjaga ketertiban umum dan keamanan, negara dapat menentukan kal au kita mengendarai sesuatu, hendaknya selalu jalan kiri, meskipun bisa memilih antara sisi kiri atau kanan. negara dapat memberikan moralitas ekstrinsik kepada suatu perbuatan yang intrinsik indiferen. Tetapi tidak semua macam perbuatan seperti ini. Ada beberapa perbuatan yang tidak dapat diperintalikan oleh negara dan ada beberapa yang tidak bisa dilarangnya. Tidak ada satu negara pun yang bisa survive yang memerintahkan pembunuhan, penggarongan, pengkhianatan, atau yang melarang keramahtamahan, kejujuran, loyalitas. perbuatan-perbuatan tersebut sudah baik atau buruk sebelum ada negara. Perbuatan-perbuatan tersebut tidaklah baik atau buruk karena hukum-hukum negara memerintahkan atau melarangnya, tetapi negara wajib memerintahkan atau melarangnya karena perbuatan-perbuatan tersebut baik atau buruk pada hakikatnya.

Argumen: Apabila negara membuat moralitas, negara dapat mengubah atau menghapuskan moralitas. Tetapi negara tidakdapat mengubah atau menghapus moralitas, maka negara tidak membuat moralitas. c. Bila moralitas itu bukan hasil konvensi manusia, sumbernya harus terdapat pada Tuhan. Tetapi pertanyaan asli kita tetap sama. Apakah perbuatan itu baik karena Tuhan memerintahkan dan buruk karena Tuhan melarangnya, ataukah Tuhan memerintahkan karena perbuatan-perbuatan tersebut baik menurut hakikatnya dan melarangnya karena perbuatan tersebut buruk menurut hakikatnya? Bila alternatif pertama dipilih, maka tidak terdapat moralitas kodrat atau intrinsik, dan bahwa semua moral itas datangnya dari hukum positif illahi. Jadi, di sini ada positivisme moral. Para penulis abad pertengahan yang memenangkan kehendak di atas akal budi cenderung ke arah ini (voluntarisme sebagai lawan intelektualisme). John Duns Scotus berpendapat bahwa semua keharusan (obligation) datangnya dari kehendak Tuhan yang mutlak merdeka, dan bahwa perbuatan serong atau perzinahan dan pembunuhan pada hakikatnya buruk bagi manusia sebagai sesuatu yang berlawanan dengan kodratnya. Tetapi perbuatan-perbuatan tersebut tidak akan buruk andaikata dulu Tuhan tidak melarangnya. Ia percaya akan adanya kebaikan atau keburukan intrinsik, tetapi tidak percaya kepada kebenaran atau kesalahan intrinsik (intrinsic rightness or wrongness). William dan Ockham menolak bahwa konsep universal itu mempunyai dasar pada realitas. Bahkan kehendak illahi juga ia bebaskan dari kebergantungannya kepada ide-ide illahi, dan membuat kebaikan atau keburukan perbuatan-perbuatan itu hanya bergantung kepada kehendak illahi. Dalam salah satu tulisan, ia berkata bahwa Tuhan bahkan bisa memerintahkan makhluk-makhluk-Nya untuk membenci Dia, dan kebenciannya ini akan menjadi baik (meritorious). Pada hakikatnya semua perbuatan itu indiferen, tetapi menjadi baik atau buruk karena diperintahkan atau dilarang oleh Tuhan.

Samuel Pufendorf, seorang juris berkebangsaan Jerman yang terkenal, menyatakan bahwa semua bentuk moralitas itu bergantung pada kehendak bebas Tuhan. Tetapi apa yang ia maksudkan agaknya bahwa Tuhan bisa menciptakan sembarang makhluk yang Dia hendaki. Tetapi Dia kemudian menuntut ciptaan-Nya menyesuaikan perbuatannya dengan hakikatnya. Tidak ada satupun dari penulis-penulis tersebut yang mengatakan bahwa Tuhan sesungguhnya semau-Nya dan seenak-Nya saja dalam menghendaki sesuatu. Rene Descartes bahkan secara gamblang menerangkan bahwa juga kebenaran-kebenaran matematis itu bergantung pada pemilihan bebas Tuhan. Bila benar demikian, kebenaran moral tidak lain hanya khayalan illahi yang semaunya saja. Descartes menu I s: “It is self contradictory that the will of God should not have been from eternity indifferent to all that has come to pass of that ever will occur, because we can form no conception of anything good or true, of anything to be believed or to be performed or to be ommited, the idea of which existed in the divine understanding before God's will determined Him so to act as to act as to bring it to pass. Nor do I speak here of priority of time; I mean that it was not even priorer in order, or in nature, or in reason relation, as they say, so that the idea of good impelled God to choose one thing rather than another... God did not will the three angles of a triangle to be equal to two right angles because He know that they could not be anotherwise. It is because He will that the three angles of a triangle to be neccessary equal to two right angels that this is true and cannot be otherwise... and so in other cases.” Benar bahwa moralitas itu bergantung kepada Tuhan dan bahwa; kehendak Tuhan adalah bebas, tetapi penjelasan di atas tidak kuat. Kita tidak boleh membayang-bayangkan seakan-akan Tuhan melihat daftar perbuatan-perbuatan manusiawi yang mungkin (possible human acts), dan kemudian mengambil semau-mau-Nya beberapa perbuatan, dan Dia

pastikan sebagai salah. Benar bahwa Tuhan memerintahkan perbuatan yang baik dan melarang perbuatan yang buruk. Tetapi kehendak-Nya ini tidak sembarangan dan tidak semau-maunya. Kehendak Tuhan bergantung pada intelek-Nya. Dan keduanya, kehendak dan intelek, bergantung pada hakikatNya. Tidak terdapat adanya kontradiksi dalam Tuhan. Tidak dapat Tuhan memerintahkan manusia menjalankan suatu perbuatan yang Tuhan sendiri tidak mungkin memerintahkannya, karena berlawanan dengan kekudusan Tuhan. Tuhan juga tidak dapat melarang manusia mengerjakan suatu perbuatan yang justru kekudusan Tuhan sendiri menuntutnya. Tuhan tidak dapat keji, tidak adil, menipu. Maka Tuhan tidak hanya tidak menghendaki hal-hal tersebut, Dia sendiri tidak dapat. Apa sebabnya?. Karena jika bertindak dem ikian berarti Dia akan menghancurkan diri-Nya sendiri. Dan Tuhan adalah ada yang berada menurut hakikat-Nya. Maka Tuhan tidak dapat memerintahkan perbuatan-perbuatan semacam itu kepada manusia. Perbuatan-perbuatan tersebut tidaklah buruk karena Tuhan telah melarangnya. Tetapi Tuhan wajib melarangnya karena perbuatan-perbuatan tersebut buruk pada hakikatnya. Apabila moralitas bergantung pada pemilihan Tuhan yang serba sembarangan dan semau-maunya, mungkin sekali Dia menentukan aturanaturan moralitas yang ada sekarang berakhir sampai saat tertentu, dan diganti dengan yang lainnya yang bertentangan. Bila benar demikian, berarti Tuhan sendiri akan membuat manipulasi-manipulasi, tipuan-tipuan tentang moralitas dan manipulasi-manipulasi atas diri-Nya sendiri sebagai sumber moralitas.

C. PENGERTIAN HUKUM

Pergaulan hidup masyarakat dapat menjadi tertib dan teratur karena adanya tatanan dalam masyarakat. Tatanan masyarakat itu pada hakikatnya merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seyogianya tidak dilakukan, yang dilarang dijalankan atau yang dianjurkan

untuk dijalankan. Dengan adanya tatanan masyarakat maka dapat dicegah gangguan-gangguan kepentingan manusia dan akan dapat dihindarkan bentrokan antarkepentingan sehingga diharapkan kepentingan-kepentingan manusia dapat dilindungi. Tatanan masyarakat itu ada yang berbentuk tertulis dan ada pula yang tidak tertulis yang hidup dan berkembang berdasarkan keyakinan dalam masyarakat yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Segala sesuatu yang dapat menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat yang berupa aturan tingkah laku dapat dikatakan sebagai salah satu ciri hukum. Merupakan kenyataan bahwa setiap saat hidup manusia dikuasai oleh aturan tingkah laku. Aturan tingkah laku berlaku sejak dalam kandungan sampai manusia lahir ke dunia dan sesudah meninggal dunia. Tatanan masyarakat yang memuat tingkah laku secara material dapat kita katakan sebagai hukum. Maka hubungan hukum yang terdapat dalam masyarakat tentulah tidak terhingga jumlahnya. Akibatnya hukum tidak terbatas pada suatu segi saja dan terdapat di mana-mana. Oleh karena itulah hukum banyak seginya dan demikian luasnya sehingga tidak mungkin orang dapat menyatukannya dalam suatu rumusan (definisi) secara memuaskan. Sesungguhnya apabila kita meneliti benar-benar tentang tatanan masyarakat dan sifat-sifatnya sebagai yang telah dikemukakan di depan maka sukarlah bagi kita untuk memberikan definisi tentang pengertian hukum yang dapat memuaskan semua pihak. Secara umum kita dapat melihat bahwa hukum merupakan seluruh aturan tingkah laku berupa norma/kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat mengatur dan menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum itu. Pengertian tersebut didasarkan pada penglihatan hukum dalam arti kata materiil, sedangkan dalam arti kata, formal hukum adalah kehendak ciptaan manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku,

tentang apa yang boleh dilakukan dan tentang apa yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dan dianjurkan untuk dilakukan. Oleh karena itu, hukum mengandung nilai-nilai keadilan, kegunaan, dan kepastian dalam masyarakat tempat hukum diciptakan. Untuk memperdalam pengertian hukum, bagi pembaca, dapat kami kemukakan beberapa pendapat para ahli hukum yang telah memberikan definisi yang antara lain sebagai berikut. 1. Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah atau larangan) yang mengatur tata tertib dal= suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah dari masyarakat itu. (E. Utrecht, 1961: 12). 2. Hukum adalah karya manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjukpetunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu pertamatama, hukum mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum diciptakan. Ide-ide tersebut berupa ide mengenai keadilan. (Satjipto Rahardjo, 1986: 20). 3. Hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badanbadan resmi yang berwajib, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan hukuman. (J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, 1959: 6). 4. Kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang seyogianya atau seharusnya dilakukan. Pada hakikatnya kaidah hukum merupakan perumusan pendapat atau pandangan tentang bagaimana seharusnya atau seyogianya seseorang bertingkah laku. Sebagai pedoman kaidah hukum bersifat umum dan pasif. (Sudikno Martokusumo, 1986: 16).

Dari beberapa definisi tentang hukum tersebut, tampaklah bahwa hukum meliputi kehidupan manusia dalam pergaulan masyarakat yang menyangkut hidup dan kehidupan manusia agar hidup teratur, serta merupakan pedoman atau patokan sikap tindakan atau perilaku yang pantas dalam pergaulan hidup antarmanusia.

Bertitik tolak dari beberapa definisi hukum tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa hukum terdiri atas beberapa unsur sebagai berikut: a.

Peraturan atau kaidah-kaidah tingkah laku manusia dalam pergaulan antarmanusia (masyarakat).

b.

Peraturan diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.

c.

Peraturan merupakan jalinan-jalinan nilai, merupakan konsepsi abstrak tentang adil dan tidak adil serta apa yang dianggap baik dan buruk.

d.

Peraturan bersifat memaksa.

e.

Peraturan mempunyai sanksi yang tegas dan nyata. Di samping itu, kita juga dapat melihat bahwa hukum ditandai oleh

ciri-ciri berikut: a. Adanya perintah dan/atau larangan. b. Perintah dan/atau larangan itu hares dapat ditaati oleh setiap orang. Setiap warga masyarakat wajib mematuhi peraturan/kaidah hukum tersebut agar tata tertib di dalam masyarakat tetap terpelihara dengan sebaikbaiknya. Untuk mempertahankan hukum perlu adanya sanksi yang tegas dan nyata, yang datang dari pihak pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan adanya sesuatu kekuasaan hukum untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. D. SANKSI ATAS PELANGGARAN NORMA/TATANAN SOSIAL

Pada hakikatnya tatanan keagamaan, kesopanan, kesusilaan, dan kebiasaan, sebelum diresepsi sebagai hukum, kekuasaannya tidak sama kuatnya dengan kekuasaan hukum (E. Utrecht, 1961: 18). Adapun yang menjadi sebab adanya perbedaan kekuasaan di antara bermacam-macam tatanan itu adalah perbedaan legitimasi sanksinya. Yang dapat memberi atau memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum adalah penguasa karena dalam penegakan hukum jika hal ada pelanggaran menjadi monopoli penguasa. Penguasa mempunyai kekuasaan untuk memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum. Hakikat kekuasaan tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan

kehendaknya kepada orang lain. Adapun yang dimaksud dengan sanksi adalah akibat sesuatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain (manusia atau organisasi sosial) atas sesuatu perbuatan. (E. Utrecht, 1961: 18). Umumnya yang dianggap merupakan perbedaan yang menonjol antara tatanan hukum dan tatanan masyarakat lainnya ialah sanksinya. Sanksi terhadap pelanggaran tatanan hukum dapat dipaksakan, dapat dilaksanakan di luar kemauan yang bersangkutan dan bersifat memaksa, yang datangnya dari pihak pemerintah (overheid) yang bertugas mempertahankan tata tertib dalam masyarakat. Misalnya dalam norma hukum: “Setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, wajib mengganti kerugian pada pihak yang dirugikan”. Hal itu dapat dipaksakan karena yang menderita kerugian dapat menggugat oraili;_, yang menimbulkan kerugian tersebut. Setelah dijatuhkan putusan dapat diminta pelaksanaan keputusan tersebut dengan mengadakan penyitaan terhadap harta kekayaan orang yang menimbulkan kerugian itu. Lalu harta sitaan itu dilelang/dijual sebagai pemenuhan tuntutan ganti kerugian tersebut. Penjualan dan penyitaan di luar kemauan yang bersangkutan, tetapi merupakan sanksi dari norma hukum. Begitu juga jika ada orang melakukan pencurian sehingga dijatuhi hukuman penjara maka is dapat dipaksakan (di luar kemauannya) untuk dimasukan ke dalam penjara. Dalam pelanggaran tatanan keagamaan, kebiasaan (yang belum diresepsi dalam hukum) reaksi dari pihak pemerintah jarang sekali ada, kecuali pelanggaran tersebut membahayakan kepentingan umum. Dalam hal pelanggaran tatanan kesusilaan, reaksi dari pemerintah pada umumnya tidak ada sama sekali, namun pelanggaran terhadap tatanan ini akan mendapat teguran, ataupun celaan dari masyarakat. Sanksi dari masyarakat tersebut, kadang kala dirasakan lebih berat daripada sanksi hukum yang dijatuhkan oleh pemerintah. Walaupun sanksi tatanan hukum bersifat memaksa tidak berarti bahwa sanksi atas pelanggaran terhadap tatanan masyarakat lainnya sama sekali tidak

memaksa. Karena sanksi masyarakat meskipun bersifat teguran, ataupun celaan dirasakan juga sebagai tekanan atau paksaan sehingga orang akan merasa tidak senang untuk melanggarnya. Kesadaran atau ketaatan orang kepada tatanan hukum bukanlah semata-mata hanya didasarkan pada sanksi yang bersifat memaksa, melainkan juga karena didorong alasan keagamaan dan kesusilaan. Tidak setiap kaidah hukum disertai dengan sanksi. Kaidah tanpa sanksi disebut leximperfecta. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 298 BW (Burgerlijk Wetboek: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) misalnya, seorang anak berapa pun umumya wajib menghormati dan menyegani orang tuanya, merupakan leximperfecta (undang-undang/ peraturan yang tidak ada sanksinya). Ketentuan itu tidak ada sanksinya. (Sudikno Martokusumo. 1986: 19). Di samping itu juga ada kaidah hukum yang tidak dapat dipaksakan sanksi hukumnya secara paksa, misalnya perikatan yang timbul karena perjudian, yang dalam pembayaran pertaruhan perjudian itu telah secara sukarela dipenuhi tidak dapat dilakukan penuntutan kembali. Perikatan yang sedemikian disebut natuur lijke verbintenis atau perikatan alamiah (vide Pasal 1359 BW). Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa pelaksanaan sanksi hukum adalah monopoli hak penguasa ataupun pemerintah (overheid) yang bertugas mempertahankan tata tertib masyarakat. Perorangan tidak diperkenankan melaksanakan sanksi untuk menegakkan hukum. Misalnya kita tidak boleh memukuli seorang pencuri yang tertangkap, menyita barangbarang orang yang terutang kepada kita ataupun menyandera orang untuk melunasi utangnya dan lain-lain. Tindakan seperti itu adalah tindakan menghakimi sendiri atau main hakim sendiri (eigenrichting). Tindakan main hakim sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak atau mempertahankan hak persetujuan pihak lain yang berkepentingan. Tindakan main hakim sendiri dilarang atau tidak dibenarkan oleh hukum yang pada umumnya merupakan tindakan pidana. Oleh karena itu,

setiap pelanggar norma atau tatanan hukum harus diselesaikan melalui perantara hakim dan berdasarkan hukum. Meskipun pada setiap pelanggaran norma hukum pada dasarnya dikenakan sanksi hukum tetapi juga ada dalam norma-norma hukum tertentu yang tidak dikenakan sanksi. Hal itu merupakan pengecualian hukum yakni dalam hal-hal tertentu seseorang dapat dikecualikan dari hukuman dengan alasan-alasan tertentu walaupun perbuatannya telah melanggar hukum. Misalnya orang yang sempurna akal atau sakit hembah akal, orang yang melakukan perbuatan dalam keadaan terpaksa (overniacht), dalam keadaan damrat (noodtoestand), pembelaan diri secara darurat (noodweer), membela diri melampaui batas (noodweer aces), melaksanakan perintah undang-undang (wettelijkvoorschrift) dan imelaksanakan perintah yang sah (bevoegdgezag). Perbuatan-perbuatan yang tersebut pada hakikatnya merupakan pelanggaran norma hukum, tetapi tidak dikenakan sanksi. Hal itu dimungkinkan karena adanya alasan pembenaran (rechtvaardigings grid) dan perbuatan-perbuatan tersebut pada hakikatnya merupakan iv:.ana-2aran norma hukum, tetapi tidak dikenakan sanksi atau tidak hi hukuman karena pelaku pelanggaran dibebaskan dari kesalahan (schulduitsluitings gronden). Secara terperinci tentang perbuatan-perbuatan yang melanggar EL.:177-.a hukum tertentu yang dikenakan sanksi atau yang dapat alikan dari hukuman sebagaimana tersebut di atas lebih lanjutan di bawah ini. E. ALASAN PENGECUALIAN HUKUMAN

Dari contoh-contoh perbuatan yang tidak dapat dikenakan sanksi atau yang dikecualikan dari hukuman, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas maka alasan-alasan tentang pengecualian hukuman dapat kita kategorikan dalam dua kelompok, yaitu sebagai berikut: 1.

Dikecualikan dari hukuman karena alasan-alasan pembenaran atau karena adanya alasan yang menghapuskan anasir-anasir melawan hukum (rechtvaardigings grand).

2.

Dikecualikan dari hukuman karena alasan-alasan pelaku pelanggaran

dibebaskan dari kesalahan atau alasan-alasan yang menghilangkan kesalahan (schttlduitsluitings granden). ad.1. Karena Alasan Pembenaran atau Menghapus Anasir Melawan Hukum a. Keadaan Darurat (Noodtoestand)

Keadaan darurat merupakan pertentangan antara kepentingan hukum (conflict van rechtsbelangen) atau suatu pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum (conflict van rechtsbelang en rechtsplicht) dan pertentangan antara kewajiban hukum (conflict van rechtsplichten). Suatu contoh dalam keadaan darurat, dalam hal pertentangan antara kepentingan hukum adalah suatu keadaan ketika dua orang yang terapung di tengah laut berpegangan sebilah papan kayu untuk mempertahankan hidup masing-masing dengan berusaha menyingkirkan. lawannya. Kalau kedua-duanya tetap berpegangan papan kayu tersebut maka kedua-duanya akan mati tenggelam. Yang berhasil hidup mencapai daratan meskipun menyebabkan matinya yang lain tidak akan dihukum. Di tengah laut itu tidak sempat minta pengadilan. la terdesak oleh keadaan. Keadaan tertentu itu membenarkan perbuatannya. Contoh mengenai keadaan darurat dalam hal pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum, misalnya seorang petugas pemadam kebakaran hendak menolong seseorang yang tersekap dalam rumah yang terbakar dengan merusakkan pintu dari rumah tersebut karena pintu rumah itu tidak dapat lagi dibuka secara normal. Perbuatan petugas kebakaran itu pada hakikatnya merupakan pengrusakan tapi keadaan memaksa petugas kebakaran itu berbuat demikian untuk menjamin kepentingan hukum atas orang tersekap dalam rumah yang sedang terbakar itu sehingga melanggar kewajiban hukum (kewajiban untuk tidak merusak pintu rumah yang sedang terbakar tersebut). Petugas kebakaran tersebut insaf akan

keadaan bahaya bagi diri orang yang sedang tersekap atau terkurung dalam rumah yang sedang terbakar itu, dengan memilih menjamin kepentingan hukum clari orang tersebut, dan oleh karena itu petugas kebakaran melanggar suatu peraturan hukum atau kewajiban hukumnya untuk tidak merusak rumah yang terbakar itu. Perbuatan petugas pemadam kebakaran itu dikecualikan dari hukum atau tidak dapat dihukum. Contoh dalam keadaan darurat dalam hal pertentangan antara kewajiban hukum, misalnya seseorang yang telah dipanggil untuk menjadi saksi dalam suatu perkara di Pengadilan Negeri Medan. Pada hari dan waktu yang sama ia juga dipanggil untuk memberikan keterangan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Binjai. Jika ia memilih panggilan Pengadilan Negeri Medan dan tidak memenuhi panggilan Pengadilan Negeri Binjai, ia tidak dapat dihukum karena tidak memenuhi panggilan Pengadilan Negeri Binjai tersebut. Perlu diingat bahwa dalam dua kewajiban hukum pada waktu yang sama seseorang dapat memilih salah satu dari kewajiban hukum tersebut. b. Penzbelaan Dini Secara Darurat (Noodweer)

Pembelaan secara darurat merupakan salah satu alasan untuk dikecualikan dari hukuman atau dibebaskan dari hukuman sebagaimana yang disebut dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP. “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.” Di sini orang terpaksa membela diri secara mati-matian karena dalam keadaan terdesak. Contoh pembelaan terpaksa ialah: seseorang yang tepergok seorang pencuri di pekarangannya pada tengah malam terpaksa berkelahi dan membela diri mati-matian

yang akhirnya mengakibatkan matinya pencuri. Si “pembunuh” pencuri tidak dapat dihukum. Ia dibenarkan membela dirinya matimatian, meskipun menyebabkan matinya pencuri. Unsur-unsur atas elemen yang harus dipenuhi dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, menurut E. Utrecht di dalam bukunya Hukum Pidana I ialah sebagai berikut. (1) Adanya suatu serangan. (2) Serangan diadakan sekonyong-konyong (ogenblikklijk), atau suatu ancaman yang kelak akan dilakukan (onmiddellijk dreigende aanranding). (3) Serangan itu melawan hukum (wederrechtelijk). (4) Serangan itu dilakukan terhadap diri sendiri, diri orang lain, hormat diri orang lain, harta benda sendiri, atau harta benda orang lain. (5) Pembelaan terhadap serangan itu perlu diadakan (noodzakelijk), yakni pembelaan itu bersifat darurat. (6) Alat yang dipakai untuk membela atau cara membela harus setimpal. (E. Utrecht, 1958: 364). c. Melaksanakan Perintah Undang-Undang (Wettelijk Voorschrift)

Dalam Pasal 50 KUHP ditentukan: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”. Melaksanakan ketentuan undang-undang tidak hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undangundang saja tetapi meliputi juga perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Perbuatan menjalankan peraturan perundang-undangan itu hams merupakan suatu perbuatan menjalankan peraturan perundang-undangan guna kepentingan pribadi tidak dapat dibenarkan. Di sini diletakkan suatu prinsip apa yang telah diharuskan atau diperintahkan oleh suatu undang-undang yang lain. Yang

dimaksud dengan undang-undang di sini ialah semua peraturan yang dibuat oleh suatu badan pemerintahan yang diberi kekuasaan untuk membuat undang-undang. Jadi termasuk pula misalnya peraturan pemerintah dan peraturan-peraturan pemerintah daerah seperti provinsi, kabupaten, dan kota praja. Menjalankan undang-undang artinya tidak hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang, tetapi lebih luas lagi, ialah meliputi pula perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh suatu undang-undang. Sebagai contoh: pada pengosongan suatu rumah, petugas juru sita dapat meletakkannya di jalan umum. Sekalipun ada larangan pemerintah daerah untuk meletakkan barang-barang di jalan umum, namun petugas juru sita tersebut tidak dapat dihukum. Contoh lain misalnya: seorang polisi mengawal seorang tahanan, yang sangat berbahaya karena telah berulang kali melakukan pembunuhan, dari penjara ke gedung Pengadilan Negeri. Dalam perjalanan tahanan tersebut melarikan diri. Polisi pengawal telah beberapa kali menembak ke atas sebagai peringatan dan penjahat tidak mau menyerah sampai akhirnya polisi menembak mati tahanan itu. Penembakan itu mengakibatkan matinya tahanan tersebut. Walaupun ketentuan hukum tidak membenarkan polisi untuk menembak mati seorang tahanan, namun dalam hal ini tindakan polisi tersebut dapat dibenarkan. d. Melaksanakan Perintah Jabatan yang Salt (Bevoegdgezag)

Dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) ditentukan: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melakukan perintah jabatan, perintah yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”. Syarat pertama yang disebutkan pada pasal itu ialah bahwa orang yang berwenang melakukan perbuatan adalah atas suatu

perintah jabatan. Antara pemberi perintah dengan orang yang diperintah harus ada perhubungan yang bersifat kepegawaian negeri, bukan pegawai partikulir. Tidak perlu bahwa yang diberi perintah itu harus orang bawahan dari yang memerintah. Mungkin lama pangkatnya, tetapi yang perlu ialah bahwa antara yang diperintah dan yang memberi perintah ada kewajiban untuk menaati perintah itu. Syarat kedua ialah bahwa perintah harus diberikan oleh kuasa yang berhak untuk memberikan perintah itu. Jika kuasa tidak berhak untuk itu maka orang yang menjalankan perintah tali tetap dapat dihukum atas perbuatan yang dilakukannya, kecuali orang itu dengan iktikad baik mengira bahwa perintah itu sah dan diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu. (R. Soesilo, 1976: 57). Menghilangkan nyawa orang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan hukuman. Akan tetapi kalau ada seorang prajurit dalam suatu operasi militer atas perintah komandannya untuk menembak mati seseorang maka prajurit tersebut wajib menaati perintah komandannya itu. Jika pada saat itu prajurit tersebut menembak mati seseorang maka ia tidak dapat dihukum, karena prajurit itu melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu.

ad.2. Karena Alasan Pelaku Pelanggaran Dibebaskan dari Kesalahan atau Menghilangkan Kesalahan a. Tidak Matnpu Bertanggung Jawab (Ontoerekeningsvat-baarheid)

Dengan adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum, belum cukup alasan untuk menjatuhkan hukuman terhadap orang yang telah melakukan perbuatan itu. Di samping perbuatani kelakuan yang melawan hukum itu, harus juga ada seorang pembuat tindak pidana (dadaer) yang mampu bertanggung jawab atas perbuatan/kelakuannya. Tidak adanya kemampuan untuk

bertanggung jawab pada diri seseorang yang telah melakukan perbuatan melawan hukum tersebut merupakan suatu alasan untuk menghapus hukuman. Tidak mampu bertanggung jawab (ontoerekeningsvatbaarheid) dapat dilihat dalam dua hal yaitu sebagai berikut: (1)

Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memilih antara perbuatan atau tidak berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang atau diperintah, dengan kata lain: dalam hal perbuatan yang dipaksa.

(2)

Dalam hal pembuat ada di dalam suatu keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat menginsafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan ia tidak mengerti akibat perbuatannya itu (nafsu patalogislpathologischedrift, gila, pikiran tersesat, dan sebagainya). Kedua hal tersebut yang diterima oleh Memorie van Toelichting dalam melihat tentang ada

tidaknya

alasan

bertanggung

jawab

ontoerekeningsvatbaarheid. (E. Utrecht, 1958: 291). Dalam Pasal 44 KUHP ditentukan bahwa: Ayat (1)

: Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya (gebrekkige ontuikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.

Ayat (2)

: Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

Ayat (3)

: Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Dalam Pasal 44 sebagai sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena alasan berikut. (a) Jiwanya cacat. Yang dimaksud dengan perkataan jiwa ialah pikiran, kekuatan pikiran, daya pikiran, kecerdasan pikiran. Teks

bahasa

Belandanya

mengatakan:

verstandelijke

vermogens. Kalau teks KUHP negeri Belanda memakai kata: geets vermogens yang berarti kekuatan atau daya jiwa. Siapakah yang dianggap sebagai kurang sempurna jiwanya misalnya idiot, imbicil, buta, tuli, dan bisu mulai lahir. Orang-orang semacam itu sebenarnya tidak sakit, akan tetapi hanya cacat mulai lahir. Dan karena cacatcacatnya mulai lahir, sehingga pikirannya tetap sebagai kanakkanak. (b) Sakit berubah akalnya. Ziekelijke storing der verstandelijke vermogens. Yang dapat masuk dalam pengertian ini misalnya: sakit gila, manie, histerie, epilepsi, melancholi, dan bermacammacam penyakit jiwa lainnya. Orang yang terganggu pikirannya karena mabuk minuman keras pada umumnya tidak dipandang masuk golongan orang tersebut, kecuali jika dapat dibuktikan, bahwa mabuknya itu demikian rupa, sehingga ingatannya hilang sama sekali. Dalam prakteknya jika polisi menjumpai peristi.wa semacam itu ia tetap diwajibkan memeriksa perkaranya dan membuat proses verbal. Hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu, meskipun ia dapat pula minta nasihat dari dokter penyakit jiwa (psychiater). Jika

hakim berpendapat bahwa orang itu tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya maka orang, itu tidak dijatuhi hukuman (dibebaskan dari segala tuntutan pidana). Akan tempi sebagai tindakan mencegah bahayanya sebagai akibat yang ditimbulkannya, baik orangnya sendiri, maupun untuk keselamatan masyarakat, hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan dalam rumah sakit jiwa selama masa percobaan, maksimum satu tahun untuk dilindungi dan diperiksa. (R. Soesilo, 1976: 52). Dalam menentukan ada tidaknya ontoerekeningsvatbaarheid atau tidak adanya kemampuan bertanggung jawab dari did pelaku kejahatan maka gangguan jiwa itu harus ada pada waktu pembuat melakukan perbuatannya. Hanya hakimlah yang dapat menentukan adanya keadaan demikian dengan terlebih dahulu mendengar keterangan para ahli atau dokter rumah sakit atau suatu lembaga yang, menyelidiki gangguan jiwa manusia. b. Berat Lawan atau Keadaan Terpaksa (Overmacht)

Suatu perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa atau berat lawan tidak dapat dikenakan sanksi. Sebaliknya pelaku kesalahan dibebaskan dad kesalahan (schuldcluit sluitingsgrond). Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 48 KUHP: “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.” Kata “daya paksa” harus diartikan, baik paksaan batin, maupun lahir, rohani, maupun jasmani. Daya paksa biasanya dimiliki oleh kekuasaan atau kekuatan. Kekuasaan sering disalahgunakan untuk berbagai kepentingan dengan memaksa seseorang melakukan berbagai macam perbuatan. Kekuasaan biasanya sulit untuk dilawan atau overheid. Mr. J.E. Jonkers membedakan kekuasaan menjadi tiga macam. (1) Kekuasaan bersifat absolut. Dalam hal ini orang tidak dapat berbuat

lain.

Ia

mengalami

suatu

yang

sama

sekali

tidak

dapat

mengelakkannya. Ia tidak mungkin memilih jalan lain. Si A dipegang tangannya oleh B yang lebih kuat dan dipaksa menulis tanda tangan palsu. Si X dihipnotis oleh Y untuk melakukan suatu peristiwa pidana dan sebagainya. Dalam peristiwa-peristiwa semacam itu dengan tidak ada ketentuan Pasal 48 mudah dimengerti pula bahwa orang yang kedua itu tidak dapat dihukum karena segala sesuatunya yang melakukan orang yang pertama. Orang pertama itulah yang berbuat dan dialah yang harus dihukum. (2) Kekuasaan bersifat relatif. Dalam hal ini kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak, tidak penuh. Orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan memilih untuk berbuat yang mana. Misalnya A yang ditodong oleh B dengan pistol, disuruh membakar rumah, jika A tidak lekas membakar rumah itu, pistol yang ditodongkan kepadanya akan ditembakkan. Dalam pikiran memang mungkin A menolak suruhan itu, sehingga ditembak mati. Tetapi jika ia menuruti perintah membakar rumah itu, meskipun ia berbuat sesuatu kejahatan toh tidak dihukum karena adanya paksaan tersebut. Bedanya kekuasaan bersifat absolut dan yang bersifat relatif itu ialah bahwa pada yang absolut dalam segala sesuatunya orang yang memaksa itu sendirilah yang berbuat semaunya, sedang pada yang relatif maka orang yang dipaksa itulah yang berbuat meskipun dalam paksaan kekuatan. Tidak semua kekuasaan yang memaksa dapat membebaskan orang dari hukuman. Yang dapat membebaskan itu hanya sesuatu kekuasaan, yang begitu besarnya sehingga oleh pendapat umum dapat dipandang sebagai tidak dapat dihindarkan, tidak dapat dilawan. Seorang yang disuruh orang lain untuk membakar rumah dengan ancaman dipukul tangan saja misalnya tidak dapat mengatakan dirinya dalam overmacht, karena ia bisa melawan atau menghindarkan pukulan itu. Jadi dalam hal ini apabila orang membakar rumah tersebut ia tetap dihukum. Jadi paksaan itu harus ditinjau dari banyak sudut, misalnya orang yang

dipaksa itu lebih lemah daripada orang yang memaksa, apakah tidak ada jalan lain, apakah paksaan itu betul-betul seimbang apabila dituruti dan sebagainya. Hakimlah yang harus menguji dan memutuskan hal ini. Polisi hanya mengumpulkan bahan-bahan raja untuk diajukan pada hakim. (3) Yang berupa suatu keadaan darurat. Bedanya dengan kekuasaan yang bersifat relatif ialah bahwa pada keadaan darurat orang yang dipaksa itu sendirilah memilih peristiwa pidana manakah yang is lakukan, sedangkan pada kekuasaannya yang bersifat relatif orang itu tidak memilih dalam hal ini yang mengambil inisiatif adalah orang yang memaksa. (R. Soesilo, 1976: 54). Mengenai contoh tentang keadaan darurat ini dapat dilihat pada uraian sebelumnya mengenai keadaan darurat (noodtoestand).

c. Pembelaan Diri dengan Melampaui Batas (Noodweerexces)

Pembelaan diri dengan melampaui batas dapat dibenarkan berdasarkan suatu alasan yang diberi nama noodweerexces alasan tersebut dicantumkan dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP, yang berbunyi: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak Oipidana”. Pembelaan diri dengan melampaui batas sama halnya dengan pembelaan diri secara darurat. Dalam hal ini harus ada serangan yang sekonyong-konyong dilakukan atau mengancam pada ketika itu juga serta batas-batas untuk keperluan pembelaan itu telah dilampaui. Anasir-anasir (unsur-unsur) noodweerexces sebagai berikut: (1) Melampaui batas pembelaan yang perlu. (2) Terbawa oleh suatu perasaan “sangat panas hati”. (3) Antara timbulnya perasaan “sangat panas hati” dan serangan yang dilakukan ada suatu hubungan kasual (E. Utrecht, 1958: 373).

Melampaui batas kemampuan yang perlu dapat disebabkan oleh kerasnya alat yang dipilih untuk membela diri. Misalnya yang menyerang menggunakan sepotong kayu kemudian dibalas kembali dengan mempergunakan sepotong besi. Yang diserang sebenarnya harus melarikan diri atau mengelakkan ancaman yang kelak akan dilakukan serangan tetapi juga is masih memilih membela diri. Pada diri yang diserang ditimbulkan suatu perasaan yang puas hati, naik darah, atau mata gelap disebabkan karena ketakutan, putus asa, dan rasa kebencian yang amat dalam. Misalnya seorang anggota polisi yang melihat istrinya diperkosa orang, dengan seketika mencabut pistolnya dan ditembakkan beberapa kali pada orang itu. Hal itu dapat dikatakan bahwa polisi tersebut telah melampaui pembelaan yang perlu karena biasanya dengan tidak perlu menembak beberapa kali, orang itu telah menghentikan perbuatannya dan melarikan diri. Andaikan hal itu dapat dibuktikan pembelaan melampaui batas yang perlu dilakukan oleh anggota polisi tersebut disebabkan oleh terguncang jiwanya ketika itu sehingga menimbulkan amarah yang amat sangat maka oleh sebab itu polisi tersebut tidak dapat dihukum atas perbuatannya atau dapat dikecualikan dari hukuman.

BAB VI NILAI, MORALITAS DAN HUKUM F. Pengertian Nilai Tidak mudah untuk menjelaskan apa itu suatu nilai. Setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya, sesuatu yang baik. Menurut perkataan bagus filsuf Jerman-Amerika, Hans Jonas, nilai adalah, the addressee of a yes, sesuatu yang ditujukan dengan “ya” kita.

Memang, nilai adalah sesuatu yang kita iakan atau kita aminkan. Nilai selalu mempunyai konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu yang kita jauhi, sesuatu yang membuat kita malarikan diri seperti penderitaan, penyakit, atau kematian adalah lawan dari nilai, adalah non-nilai atau beberapa filsuf yang menggunakan di sini istilah “nilai negatif”, sedangkan nilai dalam arti tadi mereka sebut “nilai positif. Dipandang dalam perspektif sejarah filsafat yang sudah panjang, “nilai” merupakan suatu tema filosofis yang berumur agak muda. Baru pada akhir abad ke19 tema ini mendapat kedudukan mantap dalam uraian-uraian filsafat akademis. Sekurang-kurangnya secara eksplisit. Tapi secara implisit nilai sudah lama memegang peranan dalam pembicaraan filsafat, sudah sejak Plato menempatkan ide “baik” paling atas dalam hierarki ide-ide. Dan sesudah Plato, kategori “baik” praktis tidak pernah lagi terlepas dari fokus perhatian filsafat, khususnya etika. Tapi baru kira-kira seabad yang lalu nilai mendapat tempat eksplisit dalam diskusi-diskusi filsafat dan malah timbul suatu cabang filsafat yang baru dengan nama “aksiologi” atau “teori nilai”. Salah satu cara yang sering digunakan untuk menjelaskan apa itu nilai adalah memperbandingkannya dengan fakta. Kita juga mencoba menempuh jalan ini. Jika kita berbicara tentang fakta, kita maksudkan sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja. Jika kita berbicara tentang nilai, kita maksudkan sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau mengimbau kita. Fakta ditemui dalam konteks deskripsi semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu dan uraian itu pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Nilai berperanan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai secara berbeda oleh pelbagai orang. Perbedaan antara fakta dan nilai ini kiranya dapat diilustrasikan dengan contoh berikut ini. Kita andaikan saja bahwa pada tahun sekian tanggal sekian di tempat tertentu ada gunung berapi meletus. Hal itu merupakan suatu fakta yang dapat dilukiskan secara obyektif. Kita bisa mengukur tingginya awan panas yang keluar dari kawah, kita bisa menentukan kekuatan gempa bumi yang menyertai letusan itu, kita bisa memastikan letusan-letusan sebelumnya beserta jangka waktu di antaranya, dan seterusnya. Tapi serentak juga letusan gunung itu bisa dilihat sebagai nilai atau justru disesalkan sebagai non-nilai, pokoknya, bisa menjadi obyek penilaian. Bagi wartawan foto yang hadir di tempat, letusan gunung itu merupakan

kesempatan emas (nilai) untuk mengabadikan kejadian langka yang jarang dapat disaksikan. Untuk petani di sekitarnya debu panas yang dimuntahkan gunung bisa mengancam hasil pertanian yang sudah hampir panen (non-nilai), tapi dalam jangka waktu panjang tanah bisa bertambah subur akibat kejadian itu (nilai). Tim pencinta alam yang datang dari jauh dengan maksud hari itu mendaki gunung sempat kecewa karena terpaksa harus membatalkan rencana mereka (non-nilai), sedangkan profesor geologi yang bersama rombongan mahasiswa kebetulan meninjau daerah itu senang sekali karena dengan mendadak memperoleh obyek penelitian yang tidak disangka-sangka sebelumnya (nilai). Contoh ini kiranya cukup jelas untuk memperlihatkan perbedaan antara fakta dan nilai. Nilai selalu berkaitan dengan penilaian seseorang, sedangkan fakta menyangkut ciri-ciri obyektif saja. Perlu dicatat lagi bahwa fakta selalu mendahului nilai. Terlebih dahulu ada fakta yang berlangsung, baru kemudian menjadi mungkin penilaian terhadap fakta itu. Berdasarkan analisis sederhana ini dapat kita simpulkan bahwa nilai sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri berikut ini. 1) Nilai berkaitan dengan subyek. Kalau tidak ada subyek yang menilai, maka tidak ada nilai juga. Entah manusia hadir atau tidak, gunung tetap meletus. Tapi untuk dapat dinilai sebagai “indah” atau “merugikan”, letusan gunung itu memerlukan kehadiran subyek yang menilai. 2) Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, di mana subyek ingin membuat se-suatu. Dalam pendekatan yang semata-mata teoretis, tidak akan ada nilai. (Hanya menjadi pertanyaan apakah suatu pendekatan yang secara murni teoretis bisa diwujudkan.) 3) Nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek. Nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya. Rupanya hal itu harus dikatakan karena obyek yang sama bagi pelbagai subyek dapat menimbulkan nilai yang berbeda-beda. Terdapat banyak macam nilai. Di sini boleh disebut beberapa contoh. Kita bisa mulai dengan nilai ekonomis. Dalam konteks ekonomi sering dibicarakan tentang nilai. Misalnya, kita ingat saja akan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebenarnya ekonomi merupakan bidang di mana nilai un tuk pertama kali dibahas dalam rangka ilmiah. Sudah sejak Adam Smith (1723-1790), yang biasanya disebut sebagai pelopor ilmu ekonomi. Lalu suatu kategori nilai lain adalah nilai estetis. Misalnya, memandang lukisan yang indah, mendengarkan musik yang bagus,

membaca cerita novel yang menarik, atau puisi yang bermutu, bisa membawa nilai estetis bagi si peminat. Masih ada nilai lain yang lebih umum sifatnya dan memainkan peranan dalam hidup banyak orang, seperti kesehatan yang baik, pendapatan yang layak, makanan yang enak serta bergizi, lingkungan permukiman yang tenang serta nyaman, dan lebih-lebih kehidupan itu sendiri. Yang terakhir merupakan suatu nilai dasar, karena merupakan syarat untuk mewujudkan semua nilai yang lain. Dengan demikian hanya disebut beberapa contoh nilai dan tidak diusahakan suatu klasifikasi yang kurang lebih lengkap. Suatu klasifikasi yang sungguh-sungguh memuaskan sampai sekarang belum ada dan barangkali tidak mungkin juga. 3. Nilai Moral Yang dibicarakan tentang nilai pada umumnya tentu berlaku juga untuk nilai moral. Tapi apakah kekhususan suatu nilai moral? Apakah yang mengakibatkan suatu nilai menjadi nilai moral? Mari kita mulai dengan menggarisbawahi bahwa dalam arti tertentu nilai moral tidak merupakan suatu kategori nilai tersendiri di samping kategori-kategori nilai yang lain. Nilai moral tidak terpisah dari nilai-nilai jeris lainnya. Setiap nilai dapat memperoleh suatu “bobot moral”, bila diikutsertakan dalam tingkah laku moral. Kejujuran, misalnya, merupakan suatu nilai moral, tapi kejujuran itu sendiri “kosong”, bila tidak diterapkan pad lain, seperti umpamanya nilai ekonomis. Kesetiaan m kan suatu nilai moral yang lain, tapi harus diterapkan nilai manusiawi lebih umum, misalnya, cinta antara istri. Jadi, nilai-nilai yang disebut sampai sekarang bersifat “pramoral”. Nilai-nilai itu mendahului tahap mora bisa mendapat bobot moral, karena diikutsertakan tingkah laku moral. Di bawah ini kita kembali lagi sifat khas nilai moral ini. Walaupun nilai moral biasanya menumpang path nilai lain, namun ia tampak sebagai suatu nilai ban kan sebagai nilai yang paling tinggi. Hal itu ingir perlihatkan dengan mempelajari ciri-ciri nilai moral moral mempunyai ciri-ciri berikut ini. e. Berkaitan dengan Tanggung Jawab Kita Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia. Tapi hal yang sama dapat dikatakan juga tentang nilai-nilai lain. Yang khusus menandai nilai

moral ialah bahwa n berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung Nilai-nilai moral mengakibatkan bahwa seseorang 1 atau tidak bersalah, karena ia bertanggung jawab nilai lain tidak begitu. Bahwa anak saya tidak meninteligensi tinggi atau tidak cantik, bisa saya sesalic atas keadaan itu saya dan anak itu sendiri tidak bertangung jawab. Bahwa seseorang mempunyai bakat pemain bulu tangkis atau mempunyai watak yang nyenangkan, tentu merupakan hal yang sangat menggembirakan, tapi keadaan itu sendiri tidak menjadi jasanya karena tidak termasuk tanggung jawabnya. Nilai contoh-contoh tadi bukan nilai moral. Suatu nila hanya bisa diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang bersan Itu berarti seperti kita lihat dalam Bab 3 bahwa buatan itu berasal dari inisiatif bebas orang itu. Karena harus kita katakan bahwa manusia sendiri menjadi nilai moralnya. Manusia sendiri membuat tingkah lakunya menjadi baik atau buruk dari sudut moral. Hal itu tergantung pada kebebasannya. Misalnya, keadilan sebagai nilai moral, tidak lagi merupakan nilai sungguh-sungguh, kalau tidak berasal dari keputusan bebas manusia. Tentu saja, dalam keadaan normal nilai-nilai lain juga mengandaikan peranan manusia sebagai pribadi yang bebas. Misalnya, nilai-nilai intelektual dan estetis. Tapi di sini kebebasan dan tanggung jawab tidak menjadi syarat mutlak. Nilai intelektual tidak hilang sebagai nilai, jika karena suatu alasan tidak berasal dari kebebasan. Kalau seorang pengarang umpamanya dipaksakan untuk menulis buku, maka bisa saja buku itu mempunyai nilai intelektual yang tinggi. Atau kalaia peleton prajurit memaksakan sebuah orkes untuk memainkan salah satu simfoni Beethoven, maka bisa saja keindahannya sama bermutu seperti kalau dimainkan atas inisiatif bebas orkes itu sendiri. Nilai estetis tidak tergantung dari derajat kebebasan pada perbuatan yang menghasilkannya. Tapi lain halnya dengan nilai moral. Di situ kebebasan dan tanggung jawab merupakan syarat mutlak. f.

Berkaitan dengan Hati Nurani Semua nilai minta untuk diakui dan diwujudkan. Nilai selalu mengandung semacam undangan atau imbauan. Nilai estetis, misalnya, seolah-olah “minta” supaya diwujudkan dalam bentuk lukisan, komposisi

musik, atau cara lain. Dan kalau sudah jadi, lukisan “minta” untuk dipamerkan dan musik “minta” untuk diperdengarkan. Tapi pada nilai-nilai moral tuntutan ini lebih mendesak dan lebih serius. Mewujudkan nilai-nilai moral merupakan “imbauan” dari hati nurani. Salah satu ciri khas nilai moral adalah bahwa hanya nilai ini menimbulkan “suara” dari hati nurani yang menuduh kita bila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral dan memuji kita bila mewujudkan nilai-nilai moral. g. Mewajibkan Berhubungan erat dengan ciri tadi adalah ciri berikutnya bahwa nilai-nilai moral mewajibkan kita secara absolut dengan tidak bisa ditawartawar. Nilai-nilai lain sepatutnya diwujudkan atau seyogyanya diakui. Nilai estetis, umpamanya. Orang yang berpendidikan dan berbudaya akan mengakui serta menikmati nilai estetis yang terwujud dalam sebuah lukisan yang bermutu tinggi. Tapi orang yang bersikap acuh tak acuh terhadap lukisan itu tidak bisa dipersalahkan. Nilai estetis tidak dengan mutlak hams diterima. Pada kenyataannya kita lihat bahwa musik Bach atau Mozart bagi banyak orang membosankan saja, biarpun mengejawantahkan nilai estetis yang tinggi, sedangkan mereka senang sekali dengan musik pop yang nilai estetisnya tidak seberapa. Padahal, musik Bach dan Mozart mempunyai nilai abadi dan musik pop pada umumnya sesudah satu atau dua tahun dilupakan sama sekali, karena sudah diganti dengan musik pop versi mutakhir. Tapi moral harus diakui dan harus direalisasikan. Tidak bisa diterima, bila seseorang acuh tak acuh terhadap nilai-nilai ini. Di sini kita bisa memanfaatkan pembedaan terkenal yang dikemukakan filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), antara imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Dalam nilai moral terkandung suatu imperatif (perintah) kategoris, sedangkan nilai-nilai lain hanya berkaitan dengan imperatif hipotetis. Artinya, kalau kita ingin merealisasikan nilai-nilai lain, kita harus menempuh jalan tertentu. Kalau pemain bulutangkis ingin menjadi juara, maka ia harus berlatih keras. Tapi keharusan ini hanya berlaku dengan syarat kalau ingin menjadi juara... Sebaliknya, nilai moral mengandung suatu imperatif kategoris. Artinya, nilai moral itu mewajibkan

kita begitu saja, tanpa syarat. Kejujuran memerintahkan kita untuk mengembalikan barang yang dipinjam, suka tidak suka. Barang itu hams dikembalikan begitu saja. Keharusan itu berlaku mutlak, tanpa syarat. Bisa ditanyakan lagi mengapa nilai-nilai moral mewajibkan kita. Pertanyaan ini kiranya bisa dijawab sebagai berikut, Kewajiban absolut yang melekat pada nilai-nilai moral berasal dari kenyataan bahwa nilai-nifai ini berlaku manusia sebagai manusia. Karena itu nilai moral berlaku juga untuk setiap manusia. Lain halnya dengan nilai-nilai non-moral. Tidak bisa diharapkan bahwa setiap orang memiliki inteligensi tinggi, atau bakat artistik atau kesehatan yang baik. Orang yang tidak mempunyai nilai-nilai ini tetap merupakan manusia yang sungguh-sungguh dan lengkap. Tapi diharapkan dan malah dituntut bahwa setiap orang menjunjung tinggi dan mempraktekkan nilai-nilai moral. Orang yang tidak mengakui nilai moral mempunyai cacat sebagai manusia. Apalagi, setiap orang diharapkan menerima semua nilai moral. Tidak mungkin seseorang memilih beberapa nilai moral dan menolak nilai moral lainnya. Tidak mungkin, misalnya, seseorang mengatakan: “saya menerima kejujuran dan kesetiaan sebagai nilai dalam hidup saya, tapi keadilan saya tolak.” Nilai-nilai moral mewajibkan manusia dengan cara demikian rupa sehingga setiap orang harus menerima semuanya. Dengan cara lain dapat dikatakan juga bahwa kewajiban absolut yang melekat pada nilai-nilai moral berasal dari kenyataan .bahwa nilai-nilai ini menyangkut pribadi manusia sebagai keseluruhan, sebagai totalitas. Nilai-nilai lain menyangkut manusia menurut salah satu aspek saja, tapi nilainilai moral menyangkut manusia sebagai manusia. Karena itu kewajiban moral tidak datang dari luar, tidak ditentukan oleh instansi lain, tapi berakar dalam kemanusiaan kita sendiri. Akibatnya, di sini tidak mungkin orang mendapat dispensasi, seperti bisa terjadi dengan kewajiban yang didasarkan pada hukum positif (lembaga sosial, misalnya, mendapat dispensasi membayar pajak). Sebab, orang tidak bisa dilepaskan dari kewajiban yang berkaitan dengan kemanusiaannya sendiri. Dan kegagalan dalam melaksanakan nilai-nilai moral merendahkan manusia sebagai manusia.

Kegagalan dalam melaksanakan nilai-nilai lain bisa mengecewakan, bahkan bisa mengakibatkan kerugian besar, tapi tidak menjatuhkan martabat kita sebagai manusia. Mahasiswa yang gagal dalam ujian, setelah belajar dengan baik dan berusaha sungguh-sungguh, tentu akan merasa kecewa tapi kemanusiaannya tidak direndahkan. Ia telah melakukan kewajibannya! Lain halnya dengan mahasiswa yang mencuri uang untuk dapat membeli sepeda motor. Mungkin di antara teman-temannya gengsinya naik. Tapi perbuatan nekat itu telah melukai harkatnya sebagai manusia. Kegagalan di bidang moral berarti kegagalan total sebagai manusia, bukan merupakan suatu aspek saja. h. Bersifat Formal Di sini kami kembali pada awal uraian tentang nilai moral ini. Nilai moral tidak merupakan suatu jenis nilai yang bisa ditempatkan begitu saja di samping jenis-jenis nilai lainnya. Biarpun nilai-nilai moral merupakan nilainilai tertinggi yang harus dihayati di atas semua nilai lain, seperti yang sudah menjadi jelas dari analisis sebelumnya, namun itu tidak berarti bahwa nilainilai ini menduduki jenjang teratas dalam suatu hierarki nilai-nilai. Nilai-nilai moral tidak membentuk suatu kawasan khusus yang terpisah dari nilai-nilai lain. Jika kita mewujudkan nilai-nilai moral, kita tidak perbuat sesuatu yang lain dari biasa. Seorang pedagang berperilaku moral (mewujudkan nilai-nilai moral) sambil mengerjakan nilai-nilai ekonomis. Seorang seniman berperilaku moral pada saat is berkecimpung dalam nilai-nilai estetis. Kita merealisasikan nilai-nilai moral dengan mengikutsertakan nilai-nilai lain dalam suatu “tingkah laku moral”. Nilai-nilai moral tidak memiliki “isi” tersendiri, terpisah dari nilai-nilai lain. Tidak ada nilai-nilai moral yang “murni”, terlepas dari nilai-nilai lain. Hal itulah yang kita maksudkan dengan mengatakan bahwa nilai moral bersifat formal. Max Scheler mengungkapkan hal yang sama juga dengan menegaskan bahwa nilai-nilai moral “membonceng” nilai-nilai lain. 4. Norma Moral Kata Indonesia “norma” kebetulan persis sama bentuknya seperti dalam bahasa asalnya, bahasa Latin. Konon, dalam bahasa Latin arti yang pertama

adalah carpenter's square: siku-siku yang dipakai tukang kayu untuk mencek apakah benda yang dikerjakannya (meja, bangku, kursi, dan sebagainya) sungguh-sungguh lurus. Asal-usul ini membantu kita untuk mengerti maksudnya. Dengan norma kita maksudkan aturan atau kaidah yang kita pakai sebagai tolok ukur untuk menilai sesuatu. Ada banyak sekali macam norma. Misalnya, ada norma yang menyangkut benda dan norma lain yang menyangkut tingkah laku manusia. Contoh tentang norma yang menilai benda adalah norma-norma teknis yang dipakai untuk menentukan kelaikan udara sebuah pesawat terbang atau kelaikan laut sebuah kapal. Jika sesuai dengan norma-norma itu, pesawat boleh terbang dan kapal boleh berlayar. Jika tidak, pesawat atau kapal harus diperbaiki dulu, hingga akhirnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Norma yang menyangkut tingkah laku manusia ada juga banyak macam. Di sini kita bisa membedakan norma umum yang menyangkut tingkah laku manusia sebagai keseluruhan dan norma khusus yang hanya menyangkut aspek tertentu dari apa yang dilakukan manusia. Contoh tentang norma khusus adalah norma bahasa. Tata bahasa Indonesia adalah norma yang menentukan entah kita memakai bahasa dengan baik dan benar atau justru tidak. Kalau dalam berbicara atau menulis bahasa kita sesuai dengan tata bahasa itu, maka kita memakai bahasa Indonesia dengan semestinya. Kalau tidak sesuai, pemakaian bahasa Indonesia kita tidak betul, karena tidak memenuhi syarat. Ada tiga macam norma umum, yaitu norma kesopanan atau etiket, norma hukum, dan norma moral. Etiket, misalnya, betul-betul mengandung norma yang mengatakan apa yang harus kita lakukan. Mungkin karena alasan itu etiket sering dicampuradukkan dengan etika (bandingkan Bab 1, §1, nr. 3). Tapi etiket hanya menjadi tolok ukur untuk menentukan apakah perilaku kita sopan atau tidak dan hal itu belum tentu sama dengan etis atau tidak. Norma hukum juga merupakan norma penting yang menjadi kenyataan dalam setiap masyarakat. Hampir setiap hari kita berjumpa dengan norma hukum ini. Namun demikian, sebagaimana etiket perlu dibedakan dari norma moral, begitu pula norma hukum tidak sama dengan norma moral (kin dingkan Bab I §5).

Norma moral menentukan apakah perilaku kita baik atau buruk dari sudut etis. Karena itu norma moral adalah norma tertinggi, yang tidak bisa ditaklukkan pada norma lain. Sebaliknya, norma moral menilai norma-norma lain. Seandainya ada norma etiket yang tidak bersifat etis, karena misalnya didasarkan atas diskriminasi terhadap wanita, maka norma etiket itu harus kalah terhadap norma moral. Demikian halnya juga dengan norma hukum. Jika ada undang-undang yang dianggap tidak etis, maka undang-undang itu harus dihapus, atau diubah. Dan sepanjang sejarah hal seperti itu sudah sering terjadi. Apakah norma moral menilai juga norma-norma khusus? Ya, memang begitu. Walaupun tidak dalam arti bahwa norma khusus itu harus dihapus atau diubah, namun norma khusus pun harus tunduk pada norma moral. Bisa saja bahwa seseorang memakai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dari sudut norma bahasa, apa yang dikatakannya itu memang sempurna. Tapi dengan mengatakan hal itu pada kenyataannya ia memfitnah orang lain atau ia berbohong. Jadi, dari sudut etis apa yang dikatakannya itu sama sekali tidak baik dan benar! Tidak boleh ia mengatakan hal-hal seperti itu. Di sini norma bahasa pun harus tunduk pada norma moral. Seperti norma-norma lain juga, norma moral pun bisa dirumuskan dalam bentuk positif atau negatif. Dalam bentuk positif norma moral tampak sebagai perintah yang menyatakan apa yang harus dilakukan, misalnya kita harus menghormati kehidupan manusia, kita harus mengatakan yang benar. Dalam bentuk negatif norma moral tampak sebagai larangan yang menyatakan apa yang tidak boleh dilakukan, misalnya: jangan membunuh, jangan berbohong.

G. Pengertian Moralitas 3. Perumusan Masalah Sejauh kita telah melihat bahwasanya tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan sempurna dalam memiliki Tuhan. Selain itu, juga telah kita ketahui bahwa jalan ke arah tujuan tadi adalah perbuatan manusiawi, yakni perbuatan manusia yang sukarela. Sekarang pertanyaan yang kita hadapi adalah bagaimana menghubungkan jalan agar mencapai tujuan? Dapatlah setiap macam perbuatan membawa kita ke arah tujuan akhir kita? Bila kita menjawab: ya, berarti tidak terdapat perbedaan antara hal yang benar dan hal yang salah. Selanjutnya tidak terdapat ilmu filsafat moral dan tidak terdapat etika. Fakta ini menyatakan bahwa manusia memutuskan adanya macam perbuatan yang salah dan tidak akan membawa kita ke arah tujuan terakhir dan ada pula macam perbuatan benar yang sesunggunya akan membawa kita ke arah tujuan terakhir tersebut. Demikian jauh kita hanya memakai saja faktafakta tersebut. Apabila kita berkata bahwa membimbing dirinya sendiri ke arah tujuan akhirnya dengan memakai kehendak bebasnya, kita juga merangkum dalam pernyataan kita tadi bahwasanya terdapat kemungkinan memilih antara hal-hal yang akan membawa manusia ke arah tujuannya dan hal-hal yang tidak akan membawa manusia ke arah tujuannya. Sebab, apabila semua jalan akan membawa kita ke tujuan yang sama, agaknya jelas tidak diperlukan adanya pimpinan atau pemilihan. Pembicaraan kita yang terdahulu mengenai kesukarelaan dan kemerdekaan, terutama mengenai prinsip akibat rangkap adalah berdasarkan pengalaman kita sehari-hari bahwa konsekuensi atau akibat yang buruk atau jahat dapat terbit dari perbuatan manusiawi. Sering manusia bertanggung jawab atas perbuatan/hal-hal yang buruk tersebut. Sekarang saatnya kita membuktikan semuanya itu. Apakah keyakinan umum umat manusia yang berkata bahwa ada perbuatan yang benar dan salah itu adalah sesuatu yang benar? Mengapa terdapat perbuatan yang dianggap benar dan terdapat perbuatan yang dianggap

salah? Apakah gerangan nilai-nilai alasan-alasan yang diberikan? Inilah apa yang disebut problema moralitas. 4. Arti Moralitas Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup pengertian tentang baik-buruknya perbuatan manusia. Kata amoral, non moral berarti bahwa tidak mempunyai hubungan dengan moral atau tidak mempunyai arti moral. Istilah immoral artinya moral buruk, (buruk secara moral). Moralitas dapat objektif atau subjektif. Moralitas objektif memandang perbuatan semata sebagai suatu perbuatan yang telah dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh-pengaruh sukarela pihak pelaku. Lepas dari segala keadaan khusus si pelaku yang dapat mempengaruhi atau mengurangi penguasaan diri dan bertanya apakah orang yang sepenuhnya menguasai dirinya diizinkan dengan sukarela menghendaki perbuatan tersebut. Moralitas subjektif adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan si pelaku sebagai individu. Selain itu juga dipengaruhi, dikondisikan oleh latar belakangnya, pendidikannya kemantapan emosinya, dan sifat-sifat pribadi lainnya. Yang ditanyakan, apakah perbuatan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan hati nuraninya. (conscience) sendiri dari si pelaku. Di sini tidak kita perbincangkan apakah moralitas subjektif itu ada. Sebab ini adalah fakta pengalaman bahwa hati nurani kita menyetujui atau tidak menyetujui apa yang kita kerjakan. Marilah kita tunda seluruh persoalannya sampai saatnya kita membicarakan tentang hati nurani. Persoalan yang kita hadapi hanyalah tentang moralitas objektif. Apakah hakikat dari perbuatan-perbuatan itu sendiri? Adakah perbuatan-perbuatan tersebut telah memiliki kualitas moral, sifat benar/salah, yang hakiki sendiri? Ataukah perbuatan-perbuatan tersebut mempunyai arti moral karena sebab-sebab dari luar? Moralitas jga dapat intrinsik dan ekstrinsik. Pembagian ini hendaknya jangan dicampuradukkan dengan pembagian di atas tadi. Moralitas intrinsik memandang suatu perbuatan menurut hakikatnya bebas lepas dari setiap

bentuk hukum positif. Yang dipandang adalah apakah perbuatan baik atau buruk pada hakikatnya, bukan apakah seorang telah memerintahkannya atau telah melarangnya. Moralitas ekstrinsik adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai sesuatu yang diperintahkan atau dilarang oleh seseorang yang berkuasan atau oleh hukum positif, baik dari manusia asalnya maupun dari Tuhan. Bahwasanya terdapat moralitas ekstrinsik, semua orang bisa setuju karena tidak ada orang yang dapat menolak kenyataan bahwa hukum-hukum positif, bagaimanapun nilai sahnya, benar-benar ada, umpanya hukum negara, hukum yang tak tertulis, atau hukum adat. Jadi, di sini kita tidak mengadakan pemilihan antara moralitas intrinsik dan moralitas ekstrinsik. Di sini kita bertanya, di samping moralitas ekstrinsik adakah juga terdapat moralitas intrinsik? Atau juga pertanyaan dapat kita ajukan sebagai berikut: Apakah perbuatan itu diperintahkan atau dilarang karena perbuatan tersebut pada hakikatnya benar atau salah? Adakah moralitas kodrat? Ataukah semua perbuatan itu benar atau salah karena diperintahkan atau dilarang? Apakah semua moralitas sekadar sesuatu yang konvensional? Teori yang mengatakan bahwa semua bentuk moralitas itu ditentukan oleh konvensi dan bahwa semua bentuk moralitas itu adalah resultan dari kehendak seseorang yang dengan sekehendak hatinya memerintahkan atau melarang perbuatan-perbuatan tertentu tanpa mendasarkan atas sesuatu yang intrinsik dalam perbuatan manusia sendiri atau pada hakikat manusia dikenal sebagai aliran positivisme moral. Disebut begitu karena, menurut aliran tersebut, semua moralitas bertumpu pada hukum positif sebagai lawan hukum kodrat (natural law). Menurut teori tersebut, perbuatan dianggap benar atau salah berdasarkan: d. Kebiasaan Manusia e. Hukum-hukum negara f.

Pemiliyhan bebas Tuhan

d. Teori yang mengatakan bahwa semua moralitas sekadar kebiasaan saja, sudah lama tersebar, yakni sejak zaman para sofis dan kaum spektik pada zaman Yunani Purba. Ada yang mengira bahwa moralitas itu dipaksakan oleh orang-orang pandai dan berpengaruh untuk menundukkan rakyat biasa. Terhadap tekanan, pendapat umum, dan

tradisi, orang biasa

menerima hukum moral dan mau memakai rantai belenggu yang telah dibuatkan untuknya. Dan hanya beberapa pemberani yang berani berjuang dan dapat merdeka. Inilah filsafat dan dunia pemberontakan dalam bidang moral. Mandeville dalam bukunya, Enquiry into the Origin of Moral Virtue, menonjolkan gagasan tersebut. Pikiran Freidrich Nietszche tidak jauh berbeda. Menurut dia, pada awalnya tidak ada hal yang baik dan hal yang buruk. Yang ada hanya yang kuat dan yang lemah. Yang kuat dengankejantannya, dengan kekuatannya, dengan kelicinannya dengan kenekatannya menghina yang lemah, yang seperti perempuan yang sabar, patuh, ramah-tamah, dan lembut. Yang lemah takut kepada yang kuat. Masing-masing golongan memuja sifatnya masing-masing dan menghukum golongan lain. Muncullah perbedaan antara moralitas bendoro dan moralitas budak. Karena jumlahnya besar dan mendapat pengaruh agama Katolik, moralitas budak menang. Ini merupakan bencana bagi rakyat yang sangat besar. Adalah tugas masyarakat untuk menimbulkan golongan aristokrat pada Uebeemensch yang akan mengembalikan sifat-sifat kehantanan dan mengembalikan moralitas bendoro. Uebermensch itu mengatasi segalanya, yang baik dan yang buruk. Ia merupakan suatu hukum tersendiri, hukum bagi dirinya sendiri. Para kaum evolusionis modern, seperti Herbert Spencer, umpamanya, mencari jejak permulaan gagasan-gagasan moral pada binarang. Sebagaimana manusia berkembang dari hewan, maka gagasangagasan moral tertentu mengalami perkembangan evolusi yang sama. Cara berbuat yang dianggap berguna, berkembang menjadi kebiasaan-kebiasaan suku-suku primitif. Bersama dengan majunya peradaban, semakin disaringlah, dan menjadi sistem moral yang kita miliki perabadan. Karena

proses evolusi belum berhenti, maka sistem tersebut masih bisa menjadi sistem yang lebih tinggi. Auguste Comte, pendiri aliran positivisme, memandang etika sebagai bagian sosiologi yang dianggap sebagai ilmu tertinggi. Kebiasaan moral itu muncul dari kebiasaan sosial dan terus berubah bersama perbuatan-perbuatan yang terdapat dalam masyarakat. Jadi, semacam relativisme etik. Friederich Paulsen, yang tidak dapat kita golongkan sebagai seorang positivis, menegaskan bahwa pada kongkretnya tidak terdapat moralitas yang universal sifatnya. Hukum moral (moral code) itu berbeda bagi setiap orang. Setiap filsafat moral tadi muncul. Karl Marx dan Engels beserta semua pengikutnya memegang konsepsi materialis tentang sejarah, menegaskan bahwa gagasan-gagasan moral, politik, seni, sosial dan filsafat ditentukan oleh keadaan ekonomi msayarakat. Setiap saat, setiap rakyat, dans etiap kelas membentuk gagasan-gagasannya sendiri untuk menyerasikannya dengan situasi ekonomi yang khusus. Menurut anggapan komunis. Dan pada saat ini akan dibutuhkan bentuk moralitas yang baru yang harus menggantikan moralitas borjuis. Itulah beberapa contoh dan teori yang menolak adanya moralitas intrinsik. Mereka tidak menerima bahwa perbedaan antara baik dan buruk yang dibuat manusia umumnya itu didasarkan atas hakikat kenyataan. Untuk lebih mendekati pandangan tersebut, marilah kita menyelidiki tentang apakah itu adat. Adat itu munculnya karena perbuatan yang sama yang diulang dengan cara yang sama. Mengapa perbuatan diulang? Karena pada permulaan kaki menjalankan perbuatan tersebut, mereka menemukan bahwa perbuatan tersebut menyenangkan atau berguna. Dan mereka menghendaki hal tersebut kembali. Pada mulanya manusia mengulang perbuatan-perbuatan tertentu tidaklah karena mereka telah mengerjakannya sekali dua kali, tetapi untuk keuntungan tertentu sampai adat tersebut terbentuk. Adat sendiri bukanlah sumber dari perbuatan. Nilai adat dan tradisi adalah sebagai sesuatu yang diwariskan turun temurun kepada generasi mendatang dalam bentuk yang sudah ready-made, yakni

suatu kumpulan pengalaman yang berguna dan profitable dari orang-orang tua. Sebagai hubungan sejarah dengan masa lalu, dan sebagai semen kelangsungan budaya, adat adalah tiang menyokong setiap bentuk peradaban. Adat juga bisa merupakan penghalang kemajuan. Setelah beberapa lama, keadaan mungkin telah berubah secara radikal. Dan perbuatan yang dulu menguntungkan, mungkin dalam keadaan baru menjadi tidak berguna dan merugikan. Namun, karena tekanan kebiasaan yang kuat, manusia terus menjalankan perbuatan tersebut tanpa memikirkan mengapa berbuat demikian. Umpamanya, manusia terus-menerus mengikuti dan menaati upacara-upacara tertentu meskipun telah lupa (tidak tahu) akan artinya, akan pesan budayanya. Tradisinya dapat demikian hebat pengaruhnya sehingga orang terus saja berkeras kepala menjalankan sesuatu dengan cara yang tidak menghemat dan menentang akal sehat. Meskipun ia telah tahu bahwa tidak masuk akal, ia tidak bisa lagi meninggalkan pola tingkah laku yang telah demikian biasa. Kita pernah mengadakan perbedaan antara tata cara, tata tertib, yang merupakan adat-istiadat semata, dan adat istiadat yang bukan tata krama, yang bukan etiquette semata-mata, tetapi yang mempunyai arti moral. Adat semata, yakni perbuatan-perbuatan yang diulang semata karena pernah dijalankan, menurut pengalaman dapat diulang meskipun sukar. Sejarah telah membuktikan bahwa adat semacam itu dapat diubah oleh lamanya waktu yang telah berjalan, suatu kekerasan yang kuat, propoganda yang terus menerus, dan dapat diubah dengan reduksi yang merata. Bahkan juga terhadap adat yang sudah berurat-akar. Ada adat kebiasaan yang tidak pernah dapat diubah. Makan dan bernapas adalah adat kebiasaan, tetapi tidak ada orang yang dapat dididik kembali untuk bisa hidup tanpa keduanya. Bercakap-cakap dan bertukar pikiran adalah adat kebiasaan, dan hanya orang sinting yang melarangnya. Musil dan ekspresi seni adalah adat kebiasaan. Hanya mental yang tidak bereslah yang mau menghancurkannya secara total. Sebabnya adalah semuanya itu bukan adat semata, melainkan berdasar atas tuntutantuntutan fisik, mental, dan emosionla manusia.

Contoh-contoh di atas kita ambil dari luar bidang moralitas, tetapi kesimpulan-kesimpulan yang sama dapat ditariknya. Adalah merupakan adat kebiasaan manusia menghormati hidup dan milik orang lain, mencintai anak-anaknya, menolong orang lain yang dalam kesusahan, dan lain-lain. Tetapi semuanya ini bukan sekedar adat semata. Memang manusia bisa menolak semuanya itu dan menerima adat kebiasaan yang mutlak berlawanan dengan semuanya itu. Tetapi jelas bahwa ini berarti akhirnya hidup manusia dan akhirnya kehidupan bermasyarakat. Tidak ada hak milik, tidak ada anka, tidak ada perdagangan, tidak ada kawan, tidak ada janji, dan tidak akan ada orang yang bisa hidup sampai menjadi dewasa, apalagi apa yang disebut generasi mendatang. Kesimpulan kami ialah: ada terdapat adat kebiasaan yang tidak dapat dihapuskan, dan kita dapat melipatgandakan contoh-contohnya. Adat-adat tersebut bukan sekadat sesuatu yang lagi diulang karena pernah dijalankan, melainkan menyatakan bagaimanakah seseorang hendaknya hidup kalau ia mau hidup sebagai manusia. Maka adat-adat tadi dianggap baik bukan karena telah menjadi kebiasaan, tetapi memang kodratnya juga sebelum menjadi adat. Selanjutnya, terdapat juga beberapa perbuatan yang tidak boleh dijadikan adat kebiasaan. Karena perbuatan-perbuatan tersebut pada hakikatnya secara intrinsik, menurut kodratnya adalah buruk dan jahat. Umpamanya prajurit lari dari kesatuannya dengan tidak sah (desersi), meracun tamu, atau sebagai saksi dusta di depan pengadilan. Perbuatan-perbuatan tersebut sifatnya destruktif tidak hanya bagi kemampuan-kemampuan dasar dan tuntutantuntutan manusia, tetapi juga destruktif bagi hakikat manusia sendiri. Memang ada manusia yang mengerjakan itu, tetapi ini bukan titik persoalannya. Persoalannya ialah bahwa perbuatan-perbuatan itu adalah buruk, dan kita mau mencari sebabnya mengapa buruk. Perbuatan semacam itu harus dianggap sebagai kekecualian, bukan hukum; sebagai modal pada umat manusia, bukan suatu ideal. Bila disebarkan secara luas, perbuatanperbuatan tersebut mengancam kehidupan masyarakat di mana perbuatanperbuatan itu dilakukan.

Agaknya membunuh dan menganianya telah menjadi adat kebiasaan kaum kontrarevolusioner Gestapu. Sesuai dengan moral dalangdalangnya baik adalah yang baik bagi partai, dan membunuh adalah baik asal maksud tujuan tercapai. Banyak orang yang telah terhasut dan menerima macam immoralitas ini. Tetapi manusia Indonesia sebagai keseluruhan tidak bida menerima, dan menganggap bahkan mengutuk, bahwa perbuatan semacam itu biadab. Membunuh, menganiaya, tidak bisa diterima, apalagi dikatakan baik meskipun bagi PKI telah menjadi adat. Maka membunuh dan menganiaya itu tidak dapat hanya kita dasarkan adat semata. Dasar semestinya lebih dalam dari adat. Adat semata tidak membuat moralitas.

e. Dia tas baru saja selesai kita perbincangkan mengenai teori yang berkata bahwa moralitas didasarkan atas dasar kebiasaan adalah tidak benar. Sekarang ada teori yang mengatakan bahwa moralitas bersumber pada negara atau masyarakat politik. Orang-orang yang mengajarkan teori tersebut adalah Thomas Hobbes dan Jean Jacques Rousseau. Meraka berkata bahawa, sebelum manusia mengorganisasi dirinya ke dalam masyarakat politik, tidak ada hal yang baik dan buruk. Negara sendiri bukanlah masyarakat kodrat, melainkan hasil dari social contract, persetujuan yang sama sekali konvensional, yang dengan itu manusia mengorbankan sebagia hak-hak kodratnya untuk menyelamatkan hak-hak kodrat lainnya. Pada saat masyarakat sipil terbentuk, masyarakat ini memerintahkan dan melarang

perbuatan-perbuatan tertentu guna

tercapainya common good. Dan inilah saat munculnya hal yang baik dan hla yang buruk. Jadi, tidak ada peruatan yang baik dan buruk menurut hakikatnya, tetapi hanya kerana diperintahkan atau dilarang oleh negara. Jadi, teori tersebut menyamakan moralitas dengan civil legality. Hobbes dan Rousseau sangat berbeda pandangannya tentang kedudukan alam, bentuk social contract, maka memindahkan hak-hak, dan kedudukan kedaulatan. Tetapi semuanya ini lebih bertalian dengan teori mereka tentang negara.

Di sini yang menjadi perhatian kita adalah kenyataan bahwa mereka menolak adanya moralitas intrinsik. Mungkin ada yang ragu-ragu apakah banyak berbeda mendasarkan moralitas atas negara atau atas adat. Bila keduanya sekadar konvensi, semuanya saja berasal dari manusia. Tetapi yang jelas Hobbes dan Rousseau menegaskan bahwa sahnya moralitas hanya sejak negara telah terbentuk. Beberapa baris tulisan Hobbes akan menjelaskan hal tersebut: “During the time men live without common power to keep them all in awe they are in that condition which is called war; and such a war as if of every man against every man … To this war of every man against every man, this is consequent; that nothing can be unjust. The notions of right and wring, justice and injustice, have there no place. Where there is no common power, there is no law; where no law, no injustice. Force and fraud are in war the two cardinal virtues. Justice and injustice are none of the faculties neither of the body nor mind. If they were, they might be in a man that were alone in the world, as well as his senses and passions. They are qualities that relate to men in society, not in solitude. It is consequent also to the same condition, that there be no propriety, no dominion, no mine and thine distinct; but only that to be every man's, that he can get; and for so long as he can keep it .... Where no covenant hath preceded, there hath no right been transferred, and every man has a right to everything; and consequently no action can be unjust.... Before the names of just and unjust can have place, there must be some coercive power, to compel men equally to the performance of their covenants, by the terror of some punishment greater than the benefit they expect by the breach of their covenant .. and such power there is none before the erection of a commonwealth...”

Rousseau dengan jelas menandaskan bahwa moralitas didasarkan atas konvensi:

“Man is born free, and everywhere he is in chains. Many one believes himself the master of others, and yet he is a greater slave than they. How has this change come about? I do not know. What can render it legitimate? I believe that I can settle this question.. . . The social order is a sacred right which serves as a foundation for all others. This right, however, does not come from nature. It is therefore based on conventions. The question is to know what those conventions are.... “Since no man has any natural authority over his fellow man, and since force is not the source of right, conventions remain as the basis of all lawful authority among men.... “The passage from the state of nature to the civil state produces in a man a very remarkable change, by substituting in his conduct justice for instinct, and by giving his actions the moral quality they previously lacked. Kita mau menyetujui bahwa negara dapat mengumumkan hukum tentang hal-hal yang indiferen dan membuatnya binding in conscience. Sebagai penjaga ketertiban umum dan keamanan, negara dapat menentukan kal au kita mengendarai sesuatu, hendaknya selalu jalan kiri, meskipun bisa memilih antara sisi kiri atau kanan. negara dapat memberikan moralitas ekstrinsik kepada suatu perbuatan yang intrinsik indiferen. Tetapi tidak semua macam perbuatan seperti ini. Ada beberapa perbuatan yang tidak dapat diperintalikan oleh negara dan ada beberapa yang tidak bisa dilarangnya. Tidak ada satu negara pun yang bisa survive yang memerintahkan pembunuhan, penggarongan, pengkhianatan, atau yang melarang keramahtamahan, kejujuran, loyalitas. perbuatan-perbuatan tersebut sudah baik atau buruk sebelum ada negara. Perbuatan-perbuatan tersebut tidaklah baik atau buruk karena hukum-hukum negara memerintahkan atau melarangnya, tetapi negara wajib memerintahkan atau melarangnya karena perbuatan-perbuatan tersebut baik atau buruk pada hakikatnya.

Argumen: Apabila negara membuat moralitas, negara dapat mengubah atau menghapuskan moralitas. Tetapi negara tidakdapat mengubah atau menghapus moralitas, maka negara tidak membuat moralitas. f.

Bila moralitas itu bukan hasil konvensi manusia, sumbernya harus terdapat pada Tuhan. Tetapi pertanyaan asli kita tetap sama. Apakah perbuatan itu baik karena Tuhan memerintahkan dan buruk karena Tuhan melarangnya, ataukah Tuhan memerintahkan karena perbuatan-perbuatan tersebut baik menurut hakikatnya dan melarangnya karena perbuatan tersebut buruk menurut hakikatnya? Bila alternatif pertama dipilih, maka tidak terdapat moralitas kodrat atau intrinsik, dan bahwa semua moral itas datangnya dari hukum positif illahi. Jadi, di sini ada positivisme moral. Para penulis abad pertengahan yang memenangkan kehendak di atas akal budi cenderung ke arah ini (voluntarisme sebagai lawan intelektualisme). John Duns Scotus berpendapat bahwa semua keharusan (obligation) datangnya dari kehendak Tuhan yang mutlak merdeka, dan bahwa perbuatan serong atau perzinahan dan pembunuhan pada hakikatnya buruk bagi manusia sebagai sesuatu yang berlawanan dengan kodratnya. Tetapi perbuatan-perbuatan tersebut tidak akan buruk andaikata dulu Tuhan tidak melarangnya. Ia percaya akan adanya kebaikan atau keburukan intrinsik, tetapi tidak percaya kepada kebenaran atau kesalahan intrinsik (intrinsic rightness or wrongness). William dan Ockham menolak bahwa konsep universal itu mempunyai dasar pada realitas. Bahkan kehendak illahi juga ia bebaskan dari kebergantungannya kepada ide-ide illahi, dan membuat kebaikan atau keburukan perbuatan-perbuatan itu hanya bergantung kepada kehendak illahi. Dalam salah satu tulisan, ia berkata bahwa Tuhan bahkan bisa memerintahkan makhluk-makhluk-Nya untuk membenci Dia, dan kebenciannya ini akan menjadi baik (meritorious). Pada hakikatnya semua perbuatan itu indiferen, tetapi menjadi baik atau buruk karena diperintahkan atau dilarang oleh Tuhan.

Samuel Pufendorf, seorang juris berkebangsaan Jerman yang terkenal, menyatakan bahwa semua bentuk moralitas itu bergantung pada kehendak bebas Tuhan. Tetapi apa yang ia maksudkan agaknya bahwa Tuhan bisa menciptakan sembarang makhluk yang Dia hendaki. Tetapi Dia kemudian menuntut ciptaan-Nya menyesuaikan perbuatannya dengan hakikatnya. Tidak ada satupun dari penulis-penulis tersebut yang mengatakan bahwa Tuhan sesungguhnya semau-Nya dan seenak-Nya saja dalam menghendaki sesuatu. Rene Descartes bahkan secara gamblang menerangkan bahwa juga kebenaran-kebenaran matematis itu bergantung pada pemilihan bebas Tuhan. Bila benar demikian, kebenaran moral tidak lain hanya khayalan illahi yang semaunya saja. Descartes menu I s: “It is self contradictory that the will of God should not have been from eternity indifferent to all that has come to pass of that ever will occur, because we can form no conception of anything good or true, of anything to be believed or to be performed or to be ommited, the idea of which existed in the divine understanding before God's will determined Him so to act as to act as to bring it to pass. Nor do I speak here of priority of time; I mean that it was not even priorer in order, or in nature, or in reason relation, as they say, so that the idea of good impelled God to choose one thing rather than another... God did not will the three angles of a triangle to be equal to two right angles because He know that they could not be anotherwise. It is because He will that the three angles of a triangle to be neccessary equal to two right angels that this is true and cannot be otherwise... and so in other cases.” Benar bahwa moralitas itu bergantung kepada Tuhan dan bahwa; kehendak Tuhan adalah bebas, tetapi penjelasan di atas tidak kuat. Kita tidak boleh membayang-bayangkan seakan-akan Tuhan melihat daftar perbuatan-perbuatan manusiawi yang mungkin (possible human acts), dan kemudian mengambil semau-mau-Nya beberapa perbuatan, dan Dia

pastikan sebagai salah. Benar bahwa Tuhan memerintahkan perbuatan yang baik dan melarang perbuatan yang buruk. Tetapi kehendak-Nya ini tidak sembarangan dan tidak semau-maunya. Kehendak Tuhan bergantung pada intelek-Nya. Dan keduanya, kehendak dan intelek, bergantung pada hakikatNya. Tidak terdapat adanya kontradiksi dalam Tuhan. Tidak dapat Tuhan memerintahkan manusia menjalankan suatu perbuatan yang Tuhan sendiri tidak mungkin memerintahkannya, karena berlawanan dengan kekudusan Tuhan. Tuhan juga tidak dapat melarang manusia mengerjakan suatu perbuatan yang justru kekudusan Tuhan sendiri menuntutnya. Tuhan tidak dapat keji, tidak adil, menipu. Maka Tuhan tidak hanya tidak menghendaki hal-hal tersebut, Dia sendiri tidak dapat. Apa sebabnya?. Karena jika bertindak dem ikian berarti Dia akan menghancurkan diri-Nya sendiri. Dan Tuhan adalah ada yang berada menurut hakikat-Nya. Maka Tuhan tidak dapat memerintahkan perbuatan-perbuatan semacam itu kepada manusia. Perbuatan-perbuatan tersebut tidaklah buruk karena Tuhan telah melarangnya. Tetapi Tuhan wajib melarangnya karena perbuatan-perbuatan tersebut buruk pada hakikatnya. Apabila moralitas bergantung pada pemilihan Tuhan yang serba sembarangan dan semau-maunya, mungkin sekali Dia menentukan aturanaturan moralitas yang ada sekarang berakhir sampai saat tertentu, dan diganti dengan yang lainnya yang bertentangan. Bila benar demikian, berarti Tuhan sendiri akan membuat manipulasi-manipulasi, tipuan-tipuan tentang moralitas dan manipulasi-manipulasi atas diri-Nya sendiri sebagai sumber moralitas.

H. PENGERTIAN HUKUM

Pergaulan hidup masyarakat dapat menjadi tertib dan teratur karena adanya tatanan dalam masyarakat. Tatanan masyarakat itu pada hakikatnya merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seyogianya tidak dilakukan, yang dilarang dijalankan atau yang dianjurkan

untuk dijalankan. Dengan adanya tatanan masyarakat maka dapat dicegah gangguan-gangguan kepentingan manusia dan akan dapat dihindarkan bentrokan antarkepentingan sehingga diharapkan kepentingan-kepentingan manusia dapat dilindungi. Tatanan masyarakat itu ada yang berbentuk tertulis dan ada pula yang tidak tertulis yang hidup dan berkembang berdasarkan keyakinan dalam masyarakat yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Segala sesuatu yang dapat menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat yang berupa aturan tingkah laku dapat dikatakan sebagai salah satu ciri hukum. Merupakan kenyataan bahwa setiap saat hidup manusia dikuasai oleh aturan tingkah laku. Aturan tingkah laku berlaku sejak dalam kandungan sampai manusia lahir ke dunia dan sesudah meninggal dunia. Tatanan masyarakat yang memuat tingkah laku secara material dapat kita katakan sebagai hukum. Maka hubungan hukum yang terdapat dalam masyarakat tentulah tidak terhingga jumlahnya. Akibatnya hukum tidak terbatas pada suatu segi saja dan terdapat di mana-mana. Oleh karena itulah hukum banyak seginya dan demikian luasnya sehingga tidak mungkin orang dapat menyatukannya dalam suatu rumusan (definisi) secara memuaskan. Sesungguhnya apabila kita meneliti benar-benar tentang tatanan masyarakat dan sifat-sifatnya sebagai yang telah dikemukakan di depan maka sukarlah bagi kita untuk memberikan definisi tentang pengertian hukum yang dapat memuaskan semua pihak. Secara umum kita dapat melihat bahwa hukum merupakan seluruh aturan tingkah laku berupa norma/kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat mengatur dan menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum itu. Pengertian tersebut didasarkan pada penglihatan hukum dalam arti kata materiil, sedangkan dalam arti kata, formal hukum adalah kehendak ciptaan manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku,

tentang apa yang boleh dilakukan dan tentang apa yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dan dianjurkan untuk dilakukan. Oleh karena itu, hukum mengandung nilai-nilai keadilan, kegunaan, dan kepastian dalam masyarakat tempat hukum diciptakan. Untuk memperdalam pengertian hukum, bagi pembaca, dapat kami kemukakan beberapa pendapat para ahli hukum yang telah memberikan definisi yang antara lain sebagai berikut. 5. Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah atau larangan) yang mengatur tata tertib dal= suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah dari masyarakat itu. (E. Utrecht, 1961: 12). 6. Hukum adalah karya manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjukpetunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu pertamatama, hukum mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum diciptakan. Ide-ide tersebut berupa ide mengenai keadilan. (Satjipto Rahardjo, 1986: 20). 7. Hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badanbadan resmi yang berwajib, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan hukuman. (J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, 1959: 6). 8. Kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang seyogianya atau seharusnya dilakukan. Pada hakikatnya kaidah hukum merupakan perumusan pendapat atau pandangan tentang bagaimana seharusnya atau seyogianya seseorang bertingkah laku. Sebagai pedoman kaidah hukum bersifat umum dan pasif. (Sudikno Martokusumo, 1986: 16).

Dari beberapa definisi tentang hukum tersebut, tampaklah bahwa hukum meliputi kehidupan manusia dalam pergaulan masyarakat yang menyangkut hidup dan kehidupan manusia agar hidup teratur, serta merupakan pedoman atau patokan sikap tindakan atau perilaku yang pantas dalam pergaulan hidup antarmanusia.

Bertitik tolak dari beberapa definisi hukum tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa hukum terdiri atas beberapa unsur sebagai berikut: f.

Peraturan atau kaidah-kaidah tingkah laku manusia dalam pergaulan antarmanusia (masyarakat).

g.

Peraturan diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.

h.

Peraturan merupakan jalinan-jalinan nilai, merupakan konsepsi abstrak tentang adil dan tidak adil serta apa yang dianggap baik dan buruk.

i.

Peraturan bersifat memaksa.

j.

Peraturan mempunyai sanksi yang tegas dan nyata. Di samping itu, kita juga dapat melihat bahwa hukum ditandai oleh

ciri-ciri berikut: c. Adanya perintah dan/atau larangan. d. Perintah dan/atau larangan itu hares dapat ditaati oleh setiap orang. Setiap warga masyarakat wajib mematuhi peraturan/kaidah hukum tersebut agar tata tertib di dalam masyarakat tetap terpelihara dengan sebaikbaiknya. Untuk mempertahankan hukum perlu adanya sanksi yang tegas dan nyata, yang datang dari pihak pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan adanya sesuatu kekuasaan hukum untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. I.

SANKSI ATAS PELANGGARAN NORMA/TATANAN SOSIAL

Pada hakikatnya tatanan keagamaan, kesopanan, kesusilaan, dan kebiasaan, sebelum diresepsi sebagai hukum, kekuasaannya tidak sama kuatnya dengan kekuasaan hukum (E. Utrecht, 1961: 18). Adapun yang menjadi sebab adanya perbedaan kekuasaan di antara bermacam-macam tatanan itu adalah perbedaan legitimasi sanksinya. Yang dapat memberi atau memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum adalah penguasa karena dalam penegakan hukum jika hal ada pelanggaran menjadi monopoli penguasa. Penguasa mempunyai kekuasaan untuk memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum. Hakikat kekuasaan tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan

kehendaknya kepada orang lain. Adapun yang dimaksud dengan sanksi adalah akibat sesuatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain (manusia atau organisasi sosial) atas sesuatu perbuatan. (E. Utrecht, 1961: 18). Umumnya yang dianggap merupakan perbedaan yang menonjol antara tatanan hukum dan tatanan masyarakat lainnya ialah sanksinya. Sanksi terhadap pelanggaran tatanan hukum dapat dipaksakan, dapat dilaksanakan di luar kemauan yang bersangkutan dan bersifat memaksa, yang datangnya dari pihak pemerintah (overheid) yang bertugas mempertahankan tata tertib dalam masyarakat. Misalnya dalam norma hukum: “Setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, wajib mengganti kerugian pada pihak yang dirugikan”. Hal itu dapat dipaksakan karena yang menderita kerugian dapat menggugat oraili;_, yang menimbulkan kerugian tersebut. Setelah dijatuhkan putusan dapat diminta pelaksanaan keputusan tersebut dengan mengadakan penyitaan terhadap harta kekayaan orang yang menimbulkan kerugian itu. Lalu harta sitaan itu dilelang/dijual sebagai pemenuhan tuntutan ganti kerugian tersebut. Penjualan dan penyitaan di luar kemauan yang bersangkutan, tetapi merupakan sanksi dari norma hukum. Begitu juga jika ada orang melakukan pencurian sehingga dijatuhi hukuman penjara maka is dapat dipaksakan (di luar kemauannya) untuk dimasukan ke dalam penjara. Dalam pelanggaran tatanan keagamaan, kebiasaan (yang belum diresepsi dalam hukum) reaksi dari pihak pemerintah jarang sekali ada, kecuali pelanggaran tersebut membahayakan kepentingan umum. Dalam hal pelanggaran tatanan kesusilaan, reaksi dari pemerintah pada umumnya tidak ada sama sekali, namun pelanggaran terhadap tatanan ini akan mendapat teguran, ataupun celaan dari masyarakat. Sanksi dari masyarakat tersebut, kadang kala dirasakan lebih berat daripada sanksi hukum yang dijatuhkan oleh pemerintah. Walaupun sanksi tatanan hukum bersifat memaksa tidak berarti bahwa sanksi atas pelanggaran terhadap tatanan masyarakat lainnya sama sekali tidak

memaksa. Karena sanksi masyarakat meskipun bersifat teguran, ataupun celaan dirasakan juga sebagai tekanan atau paksaan sehingga orang akan merasa tidak senang untuk melanggarnya. Kesadaran atau ketaatan orang kepada tatanan hukum bukanlah semata-mata hanya didasarkan pada sanksi yang bersifat memaksa, melainkan juga karena didorong alasan keagamaan dan kesusilaan. Tidak setiap kaidah hukum disertai dengan sanksi. Kaidah tanpa sanksi disebut leximperfecta. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 298 BW (Burgerlijk Wetboek: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) misalnya, seorang anak berapa pun umumya wajib menghormati dan menyegani orang tuanya, merupakan leximperfecta (undang-undang/ peraturan yang tidak ada sanksinya). Ketentuan itu tidak ada sanksinya. (Sudikno Martokusumo. 1986: 19). Di samping itu juga ada kaidah hukum yang tidak dapat dipaksakan sanksi hukumnya secara paksa, misalnya perikatan yang timbul karena perjudian, yang dalam pembayaran pertaruhan perjudian itu telah secara sukarela dipenuhi tidak dapat dilakukan penuntutan kembali. Perikatan yang sedemikian disebut natuur lijke verbintenis atau perikatan alamiah (vide Pasal 1359 BW). Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa pelaksanaan sanksi hukum adalah monopoli hak penguasa ataupun pemerintah (overheid) yang bertugas mempertahankan tata tertib masyarakat. Perorangan tidak diperkenankan melaksanakan sanksi untuk menegakkan hukum. Misalnya kita tidak boleh memukuli seorang pencuri yang tertangkap, menyita barangbarang orang yang terutang kepada kita ataupun menyandera orang untuk melunasi utangnya dan lain-lain. Tindakan seperti itu adalah tindakan menghakimi sendiri atau main hakim sendiri (eigenrichting). Tindakan main hakim sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak atau mempertahankan hak persetujuan pihak lain yang berkepentingan. Tindakan main hakim sendiri dilarang atau tidak dibenarkan oleh hukum yang pada umumnya merupakan tindakan pidana. Oleh karena itu,

setiap pelanggar norma atau tatanan hukum harus diselesaikan melalui perantara hakim dan berdasarkan hukum. Meskipun pada setiap pelanggaran norma hukum pada dasarnya dikenakan sanksi hukum tetapi juga ada dalam norma-norma hukum tertentu yang tidak dikenakan sanksi. Hal itu merupakan pengecualian hukum yakni dalam hal-hal tertentu seseorang dapat dikecualikan dari hukuman dengan alasan-alasan tertentu walaupun perbuatannya telah melanggar hukum. Misalnya orang yang sempurna akal atau sakit hembah akal, orang yang melakukan perbuatan dalam keadaan terpaksa (overniacht), dalam keadaan damrat (noodtoestand), pembelaan diri secara darurat (noodweer), membela diri melampaui batas (noodweer aces), melaksanakan perintah undang-undang (wettelijkvoorschrift) dan imelaksanakan perintah yang sah (bevoegdgezag). Perbuatan-perbuatan yang tersebut pada hakikatnya merupakan pelanggaran norma hukum, tetapi tidak dikenakan sanksi. Hal itu dimungkinkan karena adanya alasan pembenaran (rechtvaardigings grid) dan perbuatan-perbuatan tersebut pada hakikatnya merupakan iv:.ana-2aran norma hukum, tetapi tidak dikenakan sanksi atau tidak hi hukuman karena pelaku pelanggaran dibebaskan dari kesalahan (schulduitsluitings gronden). Secara terperinci tentang perbuatan-perbuatan yang melanggar EL.:177-.a hukum tertentu yang dikenakan sanksi atau yang dapat alikan dari hukuman sebagaimana tersebut di atas lebih lanjutan di bawah ini. J.

ALASAN PENGECUALIAN HUKUMAN

Dari contoh-contoh perbuatan yang tidak dapat dikenakan sanksi atau yang dikecualikan dari hukuman, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas maka alasan-alasan tentang pengecualian hukuman dapat kita kategorikan dalam dua kelompok, yaitu sebagai berikut: 3.

Dikecualikan dari hukuman karena alasan-alasan pembenaran atau karena adanya alasan yang menghapuskan anasir-anasir melawan hukum (rechtvaardigings grand).

4.

Dikecualikan dari hukuman karena alasan-alasan pelaku pelanggaran

dibebaskan dari kesalahan atau alasan-alasan yang menghilangkan kesalahan (schttlduitsluitings granden). ad.1. Karena Alasan Pembenaran atau Menghapus Anasir Melawan Hukum e. Keadaan Darurat (Noodtoestand)

Keadaan darurat merupakan pertentangan antara kepentingan hukum (conflict van rechtsbelangen) atau suatu pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum (conflict van rechtsbelang en rechtsplicht) dan pertentangan antara kewajiban hukum (conflict van rechtsplichten). Suatu contoh dalam keadaan darurat, dalam hal pertentangan antara kepentingan hukum adalah suatu keadaan ketika dua orang yang terapung di tengah laut berpegangan sebilah papan kayu untuk mempertahankan hidup masing-masing dengan berusaha menyingkirkan. lawannya. Kalau kedua-duanya tetap berpegangan papan kayu tersebut maka kedua-duanya akan mati tenggelam. Yang berhasil hidup mencapai daratan meskipun menyebabkan matinya yang lain tidak akan dihukum. Di tengah laut itu tidak sempat minta pengadilan. la terdesak oleh keadaan. Keadaan tertentu itu membenarkan perbuatannya. Contoh mengenai keadaan darurat dalam hal pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum, misalnya seorang petugas pemadam kebakaran hendak menolong seseorang yang tersekap dalam rumah yang terbakar dengan merusakkan pintu dari rumah tersebut karena pintu rumah itu tidak dapat lagi dibuka secara normal. Perbuatan petugas kebakaran itu pada hakikatnya merupakan pengrusakan tapi keadaan memaksa petugas kebakaran itu berbuat demikian untuk menjamin kepentingan hukum atas orang tersekap dalam rumah yang sedang terbakar itu sehingga melanggar kewajiban hukum (kewajiban untuk tidak merusak pintu rumah yang sedang terbakar tersebut). Petugas kebakaran tersebut insaf akan

keadaan bahaya bagi diri orang yang sedang tersekap atau terkurung dalam rumah yang sedang terbakar itu, dengan memilih menjamin kepentingan hukum clari orang tersebut, dan oleh karena itu petugas kebakaran melanggar suatu peraturan hukum atau kewajiban hukumnya untuk tidak merusak rumah yang terbakar itu. Perbuatan petugas pemadam kebakaran itu dikecualikan dari hukum atau tidak dapat dihukum. Contoh dalam keadaan darurat dalam hal pertentangan antara kewajiban hukum, misalnya seseorang yang telah dipanggil untuk menjadi saksi dalam suatu perkara di Pengadilan Negeri Medan. Pada hari dan waktu yang sama ia juga dipanggil untuk memberikan keterangan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Binjai. Jika ia memilih panggilan Pengadilan Negeri Medan dan tidak memenuhi panggilan Pengadilan Negeri Binjai, ia tidak dapat dihukum karena tidak memenuhi panggilan Pengadilan Negeri Binjai tersebut. Perlu diingat bahwa dalam dua kewajiban hukum pada waktu yang sama seseorang dapat memilih salah satu dari kewajiban hukum tersebut. f.

Penzbelaan Dini Secara Darurat (Noodweer)

Pembelaan secara darurat merupakan salah satu alasan untuk dikecualikan dari hukuman atau dibebaskan dari hukuman sebagaimana yang disebut dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP. “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.” Di sini orang terpaksa membela diri secara mati-matian karena dalam keadaan terdesak. Contoh pembelaan terpaksa ialah: seseorang yang tepergok seorang pencuri di pekarangannya pada tengah malam terpaksa berkelahi dan membela diri mati-matian

yang akhirnya mengakibatkan matinya pencuri. Si “pembunuh” pencuri tidak dapat dihukum. Ia dibenarkan membela dirinya matimatian, meskipun menyebabkan matinya pencuri. Unsur-unsur atas elemen yang harus dipenuhi dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, menurut E. Utrecht di dalam bukunya Hukum Pidana I ialah sebagai berikut. (7) Adanya suatu serangan. (8) Serangan diadakan sekonyong-konyong (ogenblikklijk), atau suatu ancaman yang kelak akan dilakukan (onmiddellijk dreigende aanranding). (9) Serangan itu melawan hukum (wederrechtelijk). (10) Serangan itu dilakukan terhadap diri sendiri, diri orang lain, hormat diri orang lain, harta benda sendiri, atau harta benda orang lain. (11) Pembelaan terhadap serangan itu perlu diadakan (noodzakelijk), yakni pembelaan itu bersifat darurat. (12) Alat yang dipakai untuk membela atau cara membela harus setimpal. (E. Utrecht, 1958: 364). g. Melaksanakan Perintah Undang-Undang (Wettelijk Voorschrift)

Dalam Pasal 50 KUHP ditentukan: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”. Melaksanakan ketentuan undang-undang tidak hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undangundang saja tetapi meliputi juga perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Perbuatan menjalankan peraturan perundang-undangan itu hams merupakan suatu perbuatan menjalankan peraturan perundang-undangan guna kepentingan pribadi tidak dapat dibenarkan. Di sini diletakkan suatu prinsip apa yang telah diharuskan atau diperintahkan oleh suatu undang-undang yang lain. Yang

dimaksud dengan undang-undang di sini ialah semua peraturan yang dibuat oleh suatu badan pemerintahan yang diberi kekuasaan untuk membuat undang-undang. Jadi termasuk pula misalnya peraturan pemerintah dan peraturan-peraturan pemerintah daerah seperti provinsi, kabupaten, dan kota praja. Menjalankan undang-undang artinya tidak hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang, tetapi lebih luas lagi, ialah meliputi pula perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh suatu undang-undang. Sebagai contoh: pada pengosongan suatu rumah, petugas juru sita dapat meletakkannya di jalan umum. Sekalipun ada larangan pemerintah daerah untuk meletakkan barang-barang di jalan umum, namun petugas juru sita tersebut tidak dapat dihukum. Contoh lain misalnya: seorang polisi mengawal seorang tahanan, yang sangat berbahaya karena telah berulang kali melakukan pembunuhan, dari penjara ke gedung Pengadilan Negeri. Dalam perjalanan tahanan tersebut melarikan diri. Polisi pengawal telah beberapa kali menembak ke atas sebagai peringatan dan penjahat tidak mau menyerah sampai akhirnya polisi menembak mati tahanan itu. Penembakan itu mengakibatkan matinya tahanan tersebut. Walaupun ketentuan hukum tidak membenarkan polisi untuk menembak mati seorang tahanan, namun dalam hal ini tindakan polisi tersebut dapat dibenarkan. h. Melaksanakan Perintah Jabatan yang Salt (Bevoegdgezag)

Dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) ditentukan: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melakukan perintah jabatan, perintah yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”. Syarat pertama yang disebutkan pada pasal itu ialah bahwa orang yang berwenang melakukan perbuatan adalah atas suatu

perintah jabatan. Antara pemberi perintah dengan orang yang diperintah harus ada perhubungan yang bersifat kepegawaian negeri, bukan pegawai partikulir. Tidak perlu bahwa yang diberi perintah itu harus orang bawahan dari yang memerintah. Mungkin lama pangkatnya, tetapi yang perlu ialah bahwa antara yang diperintah dan yang memberi perintah ada kewajiban untuk menaati perintah itu. Syarat kedua ialah bahwa perintah harus diberikan oleh kuasa yang berhak untuk memberikan perintah itu. Jika kuasa tidak berhak untuk itu maka orang yang menjalankan perintah tali tetap dapat dihukum atas perbuatan yang dilakukannya, kecuali orang itu dengan iktikad baik mengira bahwa perintah itu sah dan diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu. (R. Soesilo, 1976: 57). Menghilangkan nyawa orang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan hukuman. Akan tetapi kalau ada seorang prajurit dalam suatu operasi militer atas perintah komandannya untuk menembak mati seseorang maka prajurit tersebut wajib menaati perintah komandannya itu. Jika pada saat itu prajurit tersebut menembak mati seseorang maka ia tidak dapat dihukum, karena prajurit itu melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu.

ad.2. Karena Alasan Pelaku Pelanggaran Dibebaskan dari Kesalahan atau Menghilangkan Kesalahan d. Tidak Matnpu Bertanggung Jawab (Ontoerekeningsvat-baarheid)

Dengan adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum, belum cukup alasan untuk menjatuhkan hukuman terhadap orang yang telah melakukan perbuatan itu. Di samping perbuatani kelakuan yang melawan hukum itu, harus juga ada seorang pembuat tindak pidana (dadaer) yang mampu bertanggung jawab atas perbuatan/kelakuannya. Tidak adanya kemampuan untuk

bertanggung jawab pada diri seseorang yang telah melakukan perbuatan melawan hukum tersebut merupakan suatu alasan untuk menghapus hukuman. Tidak mampu bertanggung jawab (ontoerekeningsvatbaarheid) dapat dilihat dalam dua hal yaitu sebagai berikut: (3)

Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memilih antara perbuatan atau tidak berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang atau diperintah, dengan kata lain: dalam hal perbuatan yang dipaksa.

(4)

Dalam hal pembuat ada di dalam suatu keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat menginsafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan ia tidak mengerti akibat perbuatannya itu (nafsu patalogislpathologischedrift, gila, pikiran tersesat, dan sebagainya). Kedua hal tersebut yang diterima oleh Memorie van Toelichting dalam melihat tentang ada

tidaknya

alasan

bertanggung

jawab

ontoerekeningsvatbaarheid. (E. Utrecht, 1958: 291). Dalam Pasal 44 KUHP ditentukan bahwa: Ayat (1)

: Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya (gebrekkige ontuikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.

Ayat (2)

: Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

Ayat (3)

: Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Dalam Pasal 44 sebagai sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena alasan berikut. (c) Jiwanya cacat. Yang dimaksud dengan perkataan jiwa ialah pikiran, kekuatan pikiran, daya pikiran, kecerdasan pikiran. Teks

bahasa

Belandanya

mengatakan:

verstandelijke

vermogens. Kalau teks KUHP negeri Belanda memakai kata: geets vermogens yang berarti kekuatan atau daya jiwa. Siapakah yang dianggap sebagai kurang sempurna jiwanya misalnya idiot, imbicil, buta, tuli, dan bisu mulai lahir. Orang-orang semacam itu sebenarnya tidak sakit, akan tetapi hanya cacat mulai lahir. Dan karena cacatcacatnya mulai lahir, sehingga pikirannya tetap sebagai kanakkanak. (d) Sakit berubah akalnya. Ziekelijke storing der verstandelijke vermogens. Yang dapat masuk dalam pengertian ini misalnya: sakit gila, manie, histerie, epilepsi, melancholi, dan bermacammacam penyakit jiwa lainnya. Orang yang terganggu pikirannya karena mabuk minuman keras pada umumnya tidak dipandang masuk golongan orang tersebut, kecuali jika dapat dibuktikan, bahwa mabuknya itu demikian rupa, sehingga ingatannya hilang sama sekali. Dalam prakteknya jika polisi menjumpai peristi.wa semacam itu ia tetap diwajibkan memeriksa perkaranya dan membuat proses verbal. Hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu, meskipun ia dapat pula minta nasihat dari dokter penyakit jiwa (psychiater). Jika

hakim berpendapat bahwa orang itu tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya maka orang, itu tidak dijatuhi hukuman (dibebaskan dari segala tuntutan pidana). Akan tempi sebagai tindakan mencegah bahayanya sebagai akibat yang ditimbulkannya, baik orangnya sendiri, maupun untuk keselamatan masyarakat, hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan dalam rumah sakit jiwa selama masa percobaan, maksimum satu tahun untuk dilindungi dan diperiksa. (R. Soesilo, 1976: 52). Dalam menentukan ada tidaknya ontoerekeningsvatbaarheid atau tidak adanya kemampuan bertanggung jawab dari did pelaku kejahatan maka gangguan jiwa itu harus ada pada waktu pembuat melakukan perbuatannya. Hanya hakimlah yang dapat menentukan adanya keadaan demikian dengan terlebih dahulu mendengar keterangan para ahli atau dokter rumah sakit atau suatu lembaga yang, menyelidiki gangguan jiwa manusia. e. Berat Lawan atau Keadaan Terpaksa (Overmacht)

Suatu perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa atau berat lawan tidak dapat dikenakan sanksi. Sebaliknya pelaku kesalahan dibebaskan dad kesalahan (schuldcluit sluitingsgrond). Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 48 KUHP: “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.” Kata “daya paksa” harus diartikan, baik paksaan batin, maupun lahir, rohani, maupun jasmani. Daya paksa biasanya dimiliki oleh kekuasaan atau kekuatan. Kekuasaan sering disalahgunakan untuk berbagai kepentingan dengan memaksa seseorang melakukan berbagai macam perbuatan. Kekuasaan biasanya sulit untuk dilawan atau overheid. Mr. J.E. Jonkers membedakan kekuasaan menjadi tiga macam. (4) Kekuasaan bersifat absolut. Dalam hal ini orang tidak dapat berbuat

lain.

Ia

mengalami

suatu

yang

sama

sekali

tidak

dapat

mengelakkannya. Ia tidak mungkin memilih jalan lain. Si A dipegang tangannya oleh B yang lebih kuat dan dipaksa menulis tanda tangan palsu. Si X dihipnotis oleh Y untuk melakukan suatu peristiwa pidana dan sebagainya. Dalam peristiwa-peristiwa semacam itu dengan tidak ada ketentuan Pasal 48 mudah dimengerti pula bahwa orang yang kedua itu tidak dapat dihukum karena segala sesuatunya yang melakukan orang yang pertama. Orang pertama itulah yang berbuat dan dialah yang harus dihukum. (5) Kekuasaan bersifat relatif. Dalam hal ini kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak, tidak penuh. Orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan memilih untuk berbuat yang mana. Misalnya A yang ditodong oleh B dengan pistol, disuruh membakar rumah, jika A tidak lekas membakar rumah itu, pistol yang ditodongkan kepadanya akan ditembakkan. Dalam pikiran memang mungkin A menolak suruhan itu, sehingga ditembak mati. Tetapi jika ia menuruti perintah membakar rumah itu, meskipun ia berbuat sesuatu kejahatan toh tidak dihukum karena adanya paksaan tersebut. Bedanya kekuasaan bersifat absolut dan yang bersifat relatif itu ialah bahwa pada yang absolut dalam segala sesuatunya orang yang memaksa itu sendirilah yang berbuat semaunya, sedang pada yang relatif maka orang yang dipaksa itulah yang berbuat meskipun dalam paksaan kekuatan. Tidak semua kekuasaan yang memaksa dapat membebaskan orang dari hukuman. Yang dapat membebaskan itu hanya sesuatu kekuasaan, yang begitu besarnya sehingga oleh pendapat umum dapat dipandang sebagai tidak dapat dihindarkan, tidak dapat dilawan. Seorang yang disuruh orang lain untuk membakar rumah dengan ancaman dipukul tangan saja misalnya tidak dapat mengatakan dirinya dalam overmacht, karena ia bisa melawan atau menghindarkan pukulan itu. Jadi dalam hal ini apabila orang membakar rumah tersebut ia tetap dihukum. Jadi paksaan itu harus ditinjau dari banyak sudut, misalnya orang yang

dipaksa itu lebih lemah daripada orang yang memaksa, apakah tidak ada jalan lain, apakah paksaan itu betul-betul seimbang apabila dituruti dan sebagainya. Hakimlah yang harus menguji dan memutuskan hal ini. Polisi hanya mengumpulkan bahan-bahan raja untuk diajukan pada hakim. (6) Yang berupa suatu keadaan darurat. Bedanya dengan kekuasaan yang bersifat relatif ialah bahwa pada keadaan darurat orang yang dipaksa itu sendirilah memilih peristiwa pidana manakah yang is lakukan, sedangkan pada kekuasaannya yang bersifat relatif orang itu tidak memilih dalam hal ini yang mengambil inisiatif adalah orang yang memaksa. (R. Soesilo, 1976: 54). Mengenai contoh tentang keadaan darurat ini dapat dilihat pada uraian sebelumnya mengenai keadaan darurat (noodtoestand).

f.

Pembelaan Diri dengan Melampaui Batas (Noodweerexces)

Pembelaan diri dengan melampaui batas dapat dibenarkan berdasarkan suatu alasan yang diberi nama noodweerexces alasan tersebut dicantumkan dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP, yang berbunyi: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak Oipidana”. Pembelaan diri dengan melampaui batas sama halnya dengan pembelaan diri secara darurat. Dalam hal ini harus ada serangan yang sekonyong-konyong dilakukan atau mengancam pada ketika itu juga serta batas-batas untuk keperluan pembelaan itu telah dilampaui. Anasir-anasir (unsur-unsur) noodweerexces sebagai berikut: (4) Melampaui batas pembelaan yang perlu. (5) Terbawa oleh suatu perasaan “sangat panas hati”. (6) Antara timbulnya perasaan “sangat panas hati” dan serangan yang dilakukan ada suatu hubungan kasual (E. Utrecht, 1958: 373).

Melampaui batas kemampuan yang perlu dapat disebabkan oleh kerasnya alat yang dipilih untuk membela diri. Misalnya yang menyerang menggunakan sepotong kayu kemudian dibalas kembali dengan mempergunakan sepotong besi. Yang diserang sebenarnya harus melarikan diri atau mengelakkan ancaman yang kelak akan dilakukan serangan tetapi juga is masih memilih membela diri. Pada diri yang diserang ditimbulkan suatu perasaan yang puas hati, naik darah, atau mata gelap disebabkan karena ketakutan, putus asa, dan rasa kebencian yang amat dalam. Misalnya seorang anggota polisi yang melihat istrinya diperkosa orang, dengan seketika mencabut pistolnya dan ditembakkan beberapa kali pada orang itu. Hal itu dapat dikatakan bahwa polisi tersebut telah melampaui pembelaan yang perlu karena biasanya dengan tidak perlu menembak beberapa kali, orang itu telah menghentikan perbuatannya dan melarikan diri. Andaikan hal itu dapat dibuktikan pembelaan melampaui batas yang perlu dilakukan oleh anggota polisi tersebut disebabkan oleh terguncang jiwanya ketika itu sehingga menimbulkan amarah yang amat sangat maka oleh sebab itu polisi tersebut tidak dapat dihukum atas perbuatannya atau dapat dikecualikan dari hukuman.

BAB VII MANUSIA, SAINS, TEKNOLOGI DAN SENI

A MAKNA SAINS, TEKNOLOGI DAN SENI BAGI MANUSIA 1.

Makna Sains Bagi Kehidupan Manusia

Sains (science) dan pengetahuan (knowledge,) mempunyai pengertian yang berbeda. Sains adalah pengetahuan yang telah memiliki sistematika tertentu, atau memiliki cirri-ciri khas, serta merupakan species dari genus yang disebut pengetahuan. Jadi, semua sains pastilah terdiri atas pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan adalah sains (Dedi supriadi, 1994). Menurut Kaplan (1963) sebagaimana dikutip Dedi Supriadi (1994), sains mempunyai ciri-ciri dan standar-standar tertentu sebagai hasil konsensus para ilmuwan. Ada semacam criteria of demarcation antara pengetahuan yang telah berstatus sains dengan pengetahuan yang sematamata hanya akal sehat (common sense). Kriteria tersebut ialah: sains memiliki obyek formal dan materiil tertentu, sistematika isi dan wilayah studi yang disebut disiplin, terbuka, dan memiliki metode-metode tertentu. Disiplin manakah yang termasuk ke dalam pengertia sains? Menurut Goldstein & Goldstein (1980), ada beberapa pengertian tentang sains. pertama, sains diartikan secara sempit, terbatas pada sains-sains eksakta seperti fisika, kimia, biologi, astronomi, dan matematika sebagai alatnya (organon, menurut Aristoteles). Sains-sains ini ditandai oleh generalitas yang luas dan daya prediksi yang akurat. Akan tetapi apabila kriteria hokum generalitas (law of generality) dan kemampuan meramalkan sesuatu secara akurat (accurate predictive power) dijadikan

dasar pendefinisian sains, maka sains-sains sosial dan kemanusiaan akan sangat sulit memenuhinya, karena objek yang dihadapinya adalah manusia yang memiliki perasaan, pikiran, dan kehendak. Sains sosial mempunyai ciri-ciri yang relatif berbeda dengan sains-sains kealaman. Misalnya, objek sains sosial dan keperilakuan jauh lebih sulit diramalkan dan dikendalikan daripada objek sains-sains kealaman. Ramalan-ramalan yang sifatnya linier tidak selalu berlaku dalam sains sosial. Kedua, sains mengimplikasikan kemampuan untuk melakukan eksperimen terkendali (controlled experiment) dalam rangka menguji teori dan hipotesis. Eksperimen terkendali mengandalkan situasi yang dapat dikendalikan dan variabel-variabel yang dapat dimanipulasi menurut keinginan peneliti. Definisi ini pun mengandung cacat, bukan hanya untuk sains-sains sosial, melainkan juga untuk sains-sains kealaman. Eksperimen dalam sains-sains sosial tidak dapat dilakukan secara murni, melainkan secara semu (quasi). Ancaman terhadap validitas internal dan eksternal dalam penelitian sains-sains sosial sangat besar. Pada sains-sains kealaman sekalipun, definisi sains yang kedua di atas juga tidak selamanya berlaku. Misalnya, dalam astronomi dan geologi, dua disiplin sains yang termasuk sains eksakta, apa yang disebut controlled experiment to test theories tersebut tidak dapat dilakukan secara murni. Selain itu, dengan menerima definisi kedua, banyak penemuan besar dalam lapangan sains pengetahuan, tidak termasuk. Goldstein & Goldstein (1980: 5) menulis, "But accepting this definition of science would exclude from science many of what we are used to thinking as the greatest sciimtific achievements."Maksudnya, dengan menerima definisi ini, maka banyak penemuan besar dalam sains pengetahuan yang tidak termasuk ke dalam definisi sains. Ketiga, sains dipahami berdasarkan dimensi pasifnya, yang mengacu kepada akumulasi fakta dan informasi, sehingga membentuk suatu sistematika. Dalam pengertian ini, sains lebih dipandang dari segi isinya yang bertambah terus menerus. Dalam sains ada dalil-

dalil,

hokum-hukum,

teori-teori,

konsep-konsep,

paradigma-

paradigma, hipotesis-hipotesis, dan proposisi-proposisi yang menjadi pegangtan para ilmuwan dalam melakukan studi-studi keilmuan. Kuhn (1970) menamakan akumulasi yang sistematis dari hal-hal tersebut sebagai normal science. Keempat, sains dipandang dari dimensi aktifnya, yang lebih dari hanya akumulasi informasi, fakta, konsep, teori, atau paradigma, melainkan sistem berpikir (Liek Wilardjo, 1987). Sains merupakan cara kita memandang dunia, memahaminya dan mengubahnya (Goldstein&Goldstein.

1980).

Cara

pandang

terhadap

dunia

mengimplikasikan bahwa sains merupakan aktivitas kreatif dan imajinatif manusia (ilmuwan) dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran keilmuan. Pada gilirannya, aktivitas kreatif dan imajinatif ini diabdikan bagi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia melalui upaya memajukan kebudayaan dan peradaban. Berdasarkan beberapa pandangan di atas, agaknya bisa ditarik batasan bahwa yang disebut sains adalah sistem berpikir yang melibatkan serangkaian aktivitas kreatif dan imajinatif ilmuwan dalam upayanya mencari kebenaran. Menurut sifat objeknya, secara garis besar sains dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu sains-sains kealaman dan sains-sains sosial/kemanusiaan/keperilakuan. Sains berkembang berkat berbagai penemuan yang berakumulasi dari waktu ke waktu. Ilmuwan yang datang kemudian, belajar dari penemuan-penemuan terdahulu, sehingga lahir penemuan-penemuan baru. Akumulasi informasi keilmuan merupakan salah satu cara untuk melacak perkembangan Iptek, jauh sejak tradisi intelektual Yunani Klasik berkembang subur, disusul oleh Hellenisme yang memberikan inspirasi kepada tradisi intelektual Islam pada zaman keemasannya, diikuti oleh gerakan Renaissance, kemudian Revolusi Industri dan hingga sekarang. Jadi, hampir tiada henti-hentinya ikhtiar-ikhtiar keilmuan dilakukan manusia.

Tanpa

mengesampingkan

terjadinya,

pasang-surut

dalam

perkembangan ikhtiar-ikhtiar keilmuan, tradisi keilmuan dalam formatnya yang melembaga di tengah masyarakat telah berusia sekitar 25 abad, terhitung sejak zaman Yunani Klasik hingga sekarang. Sepanjang rentang waktu itu pula terjadi akumulasi penemuan-penemuan di bidang Iptek yang diabadikan dalam hukum-hukum, teori-teori, konsep-konsep, generalisasi-generalisasi, dan hipotesis-hipotesis. Selain cara di atas, ada cara lain untuk melukiskan perkembangan keilmuan. Berdasarkan studi historisnya, Kuhn (1970) dalam bukunya yang sangat populer, The Structure of Scientific Revolutions menyanggah pandangan bahwa perkembangan sains terjadi berkat akumulasi berbagai penemuan para ilmuwan. Meskipun akumulasi informasi itu penting, ia tidak mampu membuat terobosan besar bagi perkembangan sains. Perkembangan sains terjadi karena revolusi paradigma. Revolusi ini terjadi ketika paradigma lama yang sedang digunakan para ilmuwan dalam lingkup normal science, tidak mampu memecahkan masalah-masalah baru dan anomalis. Revolusi paradigma mengubah perspektif para ilmuwan tentang alam atas realitas fisik dan sosial yang dihadapinya. Sejalan dengan Kuhn, Popper (Kleden, 1983) berpendapat bahwa kemajuan sains bukan semata-mata hasil akumulasi pengetahuan dari waktu ke waktu, melainkan hasil dari proses eliminasi yang semakin ketat terhadap kemungkinan terjadinya kekhilafan dan kesalahan. Informasi pengetahuan yang banyak saja tidak begitu besar artinva bagi perkembangan sains apabila proses eliminasi kesalahan berjalan lamban. Akumulasi informasi hanya merupakan a by product dari usaha para saintis untuk menguji validitas teori-teori yang ada. Setiap sains senantiasa bersifat tentatif dan hipotetis; ia selalu terbuka bagi pengujian lebih lanjut, yang disebut verifikasi (mencakup konfirmasi dan falsifikasi). Melalui proses inilah para saintis akan semakin mendekati kebenaran objektif, meskipun kebenaran objektif tidak akan pernah tercapai. Jadi, kritik keilmuan merupakan kebutuhan mutlak bagi perkembangan sains.

Teori Akumulasi, Teori Revolusi Paradigma, dan Teori Verifikasi tentang perkembangan sains mempunyai tempat dalam masing-masing sejarah perkembangan sains. Akumulasi pengetahuan memungkinkan terbukanya horizon-horizon baru dalam studi-studi keilmuan. Dengan bekal ini, para saintis, dapat mengembangkan paradigma-paradigma baru dan melakukan verifikasi terhadap teori-teori keilmuan yang ada. Tidak mungkin revolusi paradigma dan verifikasi teori dapat terjadi dalam kevakuman. 1. Makna Teknologi Bagi Kehidupan Manusia

Teknologi, di pihak lain, adalah aplikasi dari prinsip-prinsip keilmuan, sehingga menghasilkan sesuatu yang berarti bagi kehidupan manusia. Aplikasi prinsip-prinsip ini dapat dalam lapangan teknik maupun sosial. Melalui aplikasi inilah, sains menemukan arti sosialnya, bukan hanya demi kepuasaan intelektual ilmuwan semata-mata. Dalam perkembangan kemudian, bukan hanya teknologi yang menggantungkan diri pada penemuan-penemuan sains, melainkan perkembangan sains mengikuti irama perkembangan teknologi. Hal ini sangat jelas kelihatan pada sains dalam pengertian "bard sciences." Dengan memanfaatkan hasilhasil inovasi teknologi, penelitian sains semakin berkembang cepat, dan berbagai

perspektif

baru

semakin

terbuka

lebar.

Interaksi

dan

interdependensi antara sains dengan teknologi membuat keduanya tidak bisa dipisahkan. Dalam kepustakaan, teknologi terdapat aneka ragam pendapat yang menyatakan bahwa teknologi adalah transformasi (perubahan bentuk) dari alam, teknologi adalah realitas/kenyataan yang diperoleh dari dunia ide, teknologi dalam makna subjektif adalah keseluruhan peralatan, prosedur yang disempurnakan, sampai pernyataan teknologi adalah segala hal, dan segala hal adalah teknologi (Elly M. Setiadi, 2010). Istilah teknologi berasal dari kata techne dan logic. Kata Yunani kuno techne berarti seni kerajinan. Dan kemudian lahirlah perkataan

technikos yang berarti seseorang yang memiliki keterampilan tertentu. Dengan perkembangannya ketrampilan seseorang yang menjadi semakin tetap karena menunjukkan suatu pola, langkah, dan metode yang pasti, keterampilan itu lalu menjadi teknik. Hingga permulaan abad XX ini, istilah teknologi dipakai secara umum dan merangkum suatu rangkaian sarana, proses, dan ide di samping alat-alat dan mesin-mesin. Perluasan arti itu berjalan terus sehingga sampai pertengahan abad ini muncul perumusan teknologi sebagai sarana aktivitas yang dengannya manusia berusaha mengubah atau menangani lingkungannya. Ini merupakan suatu pengertian yang sangat luas karena setiap sarana perlengkapan maupun kultural tergolong suatu teknologi. Teknologi sebagaimana ditulis pada paragraf bagian ini dianggap sebagai penerapan sains, pengertian bahwa penerapan itu menuju pada perbuatan atau perwujudan sesuatu. Kecenderungan ini pun mempunyai suatu akibat di mana kalau teknologi dianggap sebagai penerapan sains, dalam perwujudan tersebut maka dengan sendirinya setiap jenis teknologi/bagian sains dapat ada tanpa berpasangan dengan sains dan pengetahuan tentang teknologi perlu disertai oleh pengetahuan akan sains yang menjadi pasangannya.

Elly M. Setiadi, dkk. (2010) menulis, ada tiga macam teknologi yang sering dikemukakan oleh para ahli, yaitu: 1) Teknologi modern, jenis teknologi modern ini mempunyai ciri-ciri, padat modal, mekanis elektris, menggunakan bahan impor, berdasarkan penelitian mutakhir, dan lain-lain. 2) Teknologi madya, jenis teknologi madya ini mempunyai ciri-ciri, padat karya, dapat dikerjakan oleh keterampilan setempat, menggunakan alat setempat, berdasarkan alat penelitian. 3) Teknologi tradisional, teknologi ini mempunyai ciri-ciri, bersifat padat karya (banyak menyerap tenaga kerja), menggunakan keterampilan setempat, menggunakan alat setempat, menggunakan bahan setempat, berdasarkan kebiasaan atau pengamatan.

Berdasarkan uraian di muka dapat dikatakan bahwa teknologi merupakan segenap keterampilan manusia dalam menggunakan sumbersumber daya alam untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dalam kehidupan. Secara lebih umum dapat pula dikatakan bahwa teknologi merupakan suatu sistem penggunaan berbagai sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan praktis kehidupan. 2. Makna Seni Bagi Kehidupan Manusia

Janet Woll sebagaimana dikutip Elly M. Setadi (2010), mengatakan bahwa seni adalah produk sosial. Sedang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, seni adalah “keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dan sebagainya), seperti tari, lukis, ukir, dan lain-lain." Istilah seni (the art) dalam ilmu sosial menyatu bagai bagian tak terpisahkan dari apa yang oleh para ilmuwan sosial disebut sebagai sosiologi seni-seni (sociology of the arts) atau sosiologi seni dan literatur (sociology of the art and literature). Sebenarnya, sosiologi seni-seni visual relatif jarang dikembangkan ketimbang sosiologi literatur, drama atau bahkan film. Sifat generik dari pokok bahasan subdisiplin sosiologi ini

mau tidak mau menimbulkan kesukaran-kesukaran dalam analisis, lantaran kita tidak selalu bisa menarik garis sejajar antara, katakanlah, musik dan novel dengan konteks sosial atau politiknya. Seni benar-benar merupakan wilayah yang cair. Di dalamnya tidak ada satu model analisis atau teori yang dominan, yang menjelaskan hubungan seni dan masyarakat. Hal yang diminati adalah masalah hubungan-hubungan sosial di mana karya seni itu diproduksi. Ahli sosiologi melihat kepada peran para "penjaga gawang" (para penerbit, kritikus, pemilik galeri) dalam memperantarai seniman dan masyarakat; juga mengenai hubungan-hubungan sosial dan proses pengambilan keputusan di sebuah akademi seni atau perusahaan opera; atau mengenai hubungan antara produk-produk budaya tertentu (misalkan, fotografi) dan organisasi-organisasi sosial di mana karya itu dihasilkan (Alder 1979). Titik beratnya, kendati tidak mesti eksklusif, seringkali adalah pada seniseni pertunjukan (perforating arts), dimana kompleksitas hubunganhubungan sosial dianalisis. Di Inggris, seni-seni pertunjukan mendapat tempat kedua setelah literatur, yang menjadi fokus para sosiolog. Terkait dengan hakiki seni seperti itu, apa yang disebut pendekatan produksi-budaya itu acapkali mendapat kritik karena dianggap sering mengabaikan produk budaya itu sendiri. Karya seni dianggap sebagai objek yang sudah demikian adanya dan tidak perlu diperhatikan lagi isi, sifat simboliknya, atau konvensi-konvensi penyajiannya. Akan tetapi karya dalam tradisi Marxis ternyata mengakui pentingnya melihat novel, lukisan, atau film secara kritis dan analitis sebagaimana halnya kondisikondisi produksinya. Para ahli seni Marxis sudah bergerak dari metafora sederhana dan kurang mengena, yakni basis dan suprastruktur, yang mengandung bahaya sikap reduksionis ekonomi terhadap budaya, dan beranjak melihat literatur serta seni semata-mata sebagai "pencerminan" faktor-faktor kelas atau ekonomi. Karya pengarang kontinental Eropa (Gramsci, Adorno, Althusser) menjadi penting dalam penyernpurnaan model, dengan bertumpu pada level-level kelompok sosial antara

kesadaran individual dan pengalaman (pengarang), dan spesifikasi tekstual. Dalam hal yang terakhir tadi, dimasukkan pemikiran strukturalis, semiotik, dan psikoanalisis ke dalam perspektif yang lebih sosiologis, yang memungkinkan diperhatikannya hal-hal seperti narasi, imajinasi visual, teknik-teknik dan konvensi sinematik, dan kode-kode televise. Jadi, selain menunjukkan bahwa acara-acara baru di televisi, misalnya, diproduksi dalam konteks hubungan sosial kapitalis, pemerintah, atau pembiayaan keuangan tertentu, serta ideolagi profesional atau politik tertentu, tidak tertutup kemungkinan untuk melihat 'teks'-nya (dalam hal ini, acara televisi itu sendiri) dan menganalisis berbagai hal, sebagai cara untuk menentukan makna-makna (estetis, politis, ideologis) lewat bermacam saluran-lewat kode-kode visual dan aural, komentar naratif, pengambilan sudut kamera, dan seterusnya. Pendekatan sosiologis terhadap seni telah mampu menunjukkan kesinambungan, dan hubungan kelas, perkembangan dan perpisahan antara "seni tinggi" dan "budaya populer" dan dengan demikian mengungkap sisi problematik dari konsepsi-konsepsi seni yang dimiliki oleh mereka yang mendukung dan membiayai kesenian, serta masyarakat secara keseluruhan (termasuk juga para sosiolog-nya). Istilah cultural capital (Bourdieu 1984), menunjukkan bahwa kelompok-kelompok sosial dominan

menggunakan

bentuk-bentuk

budaya

tertentu

untuk

mengamankan identitas mereka dari serbuan kelompok lain. Istilah ini berguna untuk menunjukkan sejarah dan kesinambungan produksi batasbatas dan penilaian estetika dalam budaya. Pertanyaannya sekarang, apa sebenarnya makna keberadaan sains, teknologi, dan seni bagi manusia? Secara ekonomik, kehadiran dan perkembangan Ipteks dapat menghasilkan kesejahteraan lahir (material) maupun psikhis bagi yang menikmatinya. Kemajuan budaya dan peradaban manusia tidak dapat dilepaskan dari kehadiran Ipteks dalam

berbagai segmen kehidupan, mulai dari rumah tangga, organisasi, bisnis, pemerintahan, pertanian, budaya populer, dan sebagainya. Sebagaimana

dikatakan

Elly

M.

Setiadi

(2010),

dengan

menggunakan berbagai Ipteks, manusia dapat memperoleh hasil, misalnya: 1) Penggunaan teknik nuklir, orang dapat membuat reaktor nuklir yang dapat menghasilkan zat-zat radio aktif, di mana zat ini dapat dimanfaatkan untuk maksud damai. Misalnya, untuk keperluan bidang kesehatan (sinar rontgen), di bidang pertanian untuk memperbaiki bibit, untuk mendapatkan energi tinggi. 2) Penggunaan teknologi hutan, seperti kita ketahui, hutan mempunyai banyak fungsi kertas, industri kayu lapis/bahan bangunan, berfungsi untuk tempat penyimpanan air, objek pariwisata, dan lain-lain.

Sudah menjadi sifat dari kebanyakan manusia apabila telah terpenuhi satu keinginan maka akan timbul keinginan yang lain atau menambah apa yang telah tercapai. Sudah jamak terjadi bahwa setiap orang tidak ingin mengalami kesulitan, tetapi setiap orang akan berusaha dalam setiap langkah untuk mendapatkan kemudahan. Kemudahan itu didapatkan antara lain dengan penerapan perkembangan Ipteks. Misalnya antara lain: 1) Dengan teknik modern, dari teknik mengendalikan aliran air sungai, petani mendapatkan kemudahan dalam memperoleh air. Bendungan dapat dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik. Alat rumah tangga elektronik mempermudah ibu-ibu rumah tangga dalam melaksanakan tugasnya. 2) Dengan teknik modern dapat dibuat bermacam-macam media pendidikan, seperti OHP, slide, fiIm setrip, TV, CCTV, dan lain-lain yang dapat mempermudah para pendidik dalam melaksanakan tugasnya.

Sejauh ini, Ipteks memungkinkan terjadinya perkembangan keterampilan

dan

kecerdasan

manusia.

Hal

ini

karena

dengan

perkembangan Ipteks memungkinkan tersedianya sarana dan prasarana penunjang

kegiatan

ilmiah;

dan

kemakmuran, dan kesehatan masyarakat.

meningkatnya

kesejahteraan,

A. DAMPAK PENYALAHGUNAAN IPTEKS PADA KEHIDUPAN SOSIAL DAN BUDAYA

Meskipun di muka dikatakan bahwa kehadiran Ipteks mampu menelurkan kesejahteraan, kemakmuran, dan kesehatan umat manusia, namun hal itu tidak bersifat absolute. Sebab dalam kenyataannya tidak sepenuhnya Ipteks dimanfaatkan optimal sesuai fungsinya. Kalaupun dimanfaatkan, terkadang manusia melampaui batas kemampuan Ipteks itu sendiri. Sudah jamak terjadi penyalahgunaan Ipteks dalam kehidupan sehari-hari sehingga selain merugikan diri sendiri, juga merugikan orang lain dan lingkungan hidup. Penyalahgunaan sains tentang kloning misalnya, yang semula hanya terbatas pada flora dan fauna, apabila diterapkan kepada manusia akan sangat membahayakan kehidupan dunia. Penguasaan sains kloning oleh manusia jahat yang tidak bertanggung jawab akan berdampak serius. Misalnya apabila hal itu diterapkan untuk mengkloning para penjahat ulung, dampaknya akan sangat mengerikan. Itulah sebabnya mengapa sains kloning banyak mendapat tentangan dari berbagai elemen masyarakat dan tokoh-tokoh agama maupun budaya di seluruh dunia. Penggunaan teknologi yang berlebihan seperti teknologi nuklir misalnya juga berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Selain digunakan untuk persenjataan yang bersifat memusnahkan kehidupan, teknologi nuklir untuk kepentingan energi terbarukan juga membahayakan manusia. Bukti tentang itu sudah cukup banyak, misalnya tragedi Cernobyl di Rusia, serta meledaknya reaktor nuklir di Jepang akibat terkena gempa dan tsunami yang dahsyat sehingga memakan korban puluhan ribu manusia dan dampak lingkungan yang amat buruk. Penyalahgunaan teknologi permesinan yang berlebihan juga telah berdampak banyak hal, selain menghadirkan polusi, juga kerusakan lingkungan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.

Akan halnya dengan seni, apabila disalahgunakan. juga berdampak buruk bagi kehidupan. Penyalahgunaan seni yang paling menonjol adalah dihadirkannya pornografi di dunia anak-anak dan generasi muda. Meskipun secara sosial kehadiran seni pornografi di kalangan muda digolongkan sebagai kejahatan, bukan sebagai pelanggaran, namun sanksi yang diberikan secara hukum sering kali tidak mampu mencegahnya. Berdasarkan ketiga contoh di muka menjadi jelas bahwa dampak penyalahgunaan Ipteks tidak membawa kemaslahatan apa pun bagi kehidupan sosial budaya manusia. Bahkan cenderung merusaknya, padahal, apabila dicermati secara serius, sebetulnya Ipteks adalah produk unggul adiluhung budaya manusia. Oleh karena itu diperlukan kesadaran bersama agar Ipteks memberikan sebesar-besar manfaat kepada manusia, bukan sebaliknya. B. PROBLEMATIKA PEMANFAATAN IPTEKS DI INDONESIA

Secara melembaga, melalui Kementerian Ristek dan perguruan tinggi, pengembangan Ipteks dilaksanakan secara terorganisasi, rutin, dan dibiayai melalui APBN. Artinya secara tidak langsung rakyat telah membiayai kemaju Ipteks. Akan tetapi tidak semua hasil pengembangan Iptek di Indonesia dapat dinikmati oleh masyarakat. Dengan kalimat lain pernanfaatan Ipteks di Indonesia belum merata dan belum sepenuhnya memberikan manfaat optimal. Terdapat beberapa problematika pemanfaatan Ipteks di Indonesia. Problematika tersebut antara lain berikut ini. 1. Tingkat pendidikan yang tidak merata

Apresiasi terhadap Ipteks dan pemanfaatannya sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang. Makin tinggi pendidikan seseorang, makin baik apresiasi dan kemampuan untuk memanfaatkan Ipteks secara benar dan optimal. Akan tetapi diketahui, tingkat pendidikan masyarakat belum

sepenuhnya

merata.

Sementara

diketahui

pada

umumnya

masyarakat adalah pengguna (user), bukan orang yang paharn betul tentang Ipteks, maka hasilnya dapat dilihat, misalnya, teknologi mesin sepeda motor yang sudah terukur pemanfaatannya, yakni untuk muatan

orang tidak lebih dari dua orang, dimanfaatkan secara serampangan. Dalam keseharian kita bisa menonton bagaimana sepeda motor dipakai berboncengan lebih dari dua orang, juga digunakan untuk mengangkut barang secara berlebihan sehingga mengganggu pengguna jalan lainnya. Teknologi komunikasi handphone (telepon genggam) sebagai contoh, disalahgunakan untuk melakukan kejahatan pidana maupun sosial, misalnya penipuan dan perselingkuhan. Jadi, tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi pemanfaat Ipteks. 2. Kondisi ekonomi yang timpang

Tingkat pendapatan per kapita di Indonesia masih tergolong rendah. Di satu

sisi

ada orang

yang berpenghasilan

melebihi

kebutuhannya, di sisi lain terdapat banyak orang yang jangankan untuk mencukupi kebutuhan, untuk memenuhi sebagian kecil kebutuhannya saja sudah susah. Kondisi ekonomi yang timpang merupakan problem yang tak kalah serius dalam hal pemanfaatan Ipteks di Indonesia. Kehadiran

sains

dan

teknologi

pertanian

misalnya,

tidak

sepenuhnya dinikmati atau dapat dimanfaatkan oleh para petani. Selain penguasaan lahan pertanian yang sempit, harga teknologi itu dirasa mahal sehingga tidak terjangkau. Hanya petani dengan kapital besar yang dapat memanfaatkan secara optimal. Sementara petani gurem hanya menjadi penonton. Pada konteks seperti itu, bagaimana mungkin kita berharap kesejahteraan petani bisa meningkat? 3. Keterampilan sosial yang rendah

Keterampilan sosial juga menjadi prasyarat bagi pemanfaatan Ipteks yang optimal dan bermaslahat. Keterampilan sosial adalah suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk dapat hidup berdampingan secara harmonis. toleran, dan damai. Keterampilan sosial yang rendah mengakibatkan pemanfaatan Ipteks menjadi negatif. Sebagai suatu misal, teknologi digital dan tiga dimensi telah mampu menghasilkan sistem audio visual yang luar biasa, enak dilihat dan enak didengar. Namun di tangan orang yang memiliki keterampilan sosial yang rendah, teknologi itu

bukannya memberi manfaat, tapi justru akan mengganggu ketenangan orang lain. Misalnya menghidupkan dengan volume yang keras dan tanpa mengenal waktu. 4. Kehidupan politik yang tidak sehat

Kehidupan politik, selain dipengaruhi oleh birokrasi dan partai politik, juga sangat ditentukan oleh para elit yang berkuasa. Kehidupan politik yang sehat, dalam arti menempatkan sistem demokrasi secara benar, meletakkan sistem hukum secara adil, dan menempatkan hubungan penguasa dan rakyatnya secara harmonis sangat menentukan pemanfaatan Ipteks secara optimal sesuai jalur benar. Problem saat ini justru sebaliknya. Kehidupan politik tidak sehat yang ditandai oleh pertikaian antarelit. Hasilnya dapat dilihat, kehadiran teknologi televisi yang mestinya digunakan

untuk

mencerdaskan

rakyat

justeru

menjadi

wahana

propaganda negatif dengan menjereng saling serang, menebar fitnah, dan mohon maaf, baku hantam di depan publik. Padahal teknologi televisi sudah hadir ke setiap rumah sehingga apa yang mereka pertontonkan tidak dapat dijadikan sebagai tuntunan yang dilihat keseharian oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

(Bab.VII.Ilham S.)

Adler, J (1979). Artists in Office An Ethnography of an Academic Art Scen Brunswick, Nj: Pinguin Books. Bourdieu, P. (1984).Distinction : A Critique of the Judgement of Tast e. Cambridge, MA: Harvard university Press. Dedi Supriadi. (1994). Kreativitas, Kebudayaan & Perkembangan Iptek. Bandung : Alfabeta.

Elly M Setiadi, H Kama A. Hakam dan Ridwan Effendi. (2010) Ilmu S Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Goldstein, M. & Goldtein, I.F. (1980). How We Know: An Exploration Scientific Proces. New York: Plenum Press.

Popper, K. (1959) The Logic of Scientific Dicovery. New York. ( edn.Logic der Forschung, Viena).

BAB VIII MANUSIA DAN LINGKUNGAN Manusia hidup pasti mempunyai hubungan dengan lingkungan hidupnya, lebih dari itu, manusia telah berusaha pula mengubah lingkungan hidupnya demi kebutuhan dan kesejahteraan. Dari sinilah lahir peradapan – istilah Toynbee- sebagai akibat dari kemampuan manusia mengatasi lingkungan. Lingkungan hidup tidak bisa di pisahkan dari ekosistem atau system ekologi. Ekosistem adalah satuan kehidupan yang terdiri atas suatu komunitas makhluk hidup ( dari berbagai jenis ) dengan berbagai benda mati membentuk suatu system. Lingkungan hidup pada dasarnya adalah suatu system kehidupan dimana terdapat campur tangan manusia terhadap tatanan ekosistem. Manusia adalah bagian dari ekosistem. Lingkungan dapat pula berbentuk lingkungan fisik dan non fisik. Lingkungan alam dan buatan adalah Lingkungan fisik. Sedangkan lingkungan nonfisik adalah lingkungan social budaya dimana manusia itu berada. Lingkungan amat penting bagi kehidupan manusia. Segala yang ada pada lingkungan dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, karma lingkungan memiliki daya dukung, yaitu kemampuan lingkungan untuk mendukung perkehidupan manusia dan makhuk hidup lainya arti penting lingkungan bagi manusia karena lingungan merupakan tempat hidup manusia, Lingkungan memberi sumber-sumber penghidupan manusia, Lingkungan memengaruhi sifat, karakter, dan perilaku manusia yang mendiaminya. Membahas tentang manusia berarti membahas tentang kehidupan sosial

dan

budayanya,

tentang

tatanan

nilai-nilai,

peradaban,

kebudayaan, lingkungan, sumber alam, dan segala aspek yang

menyangkut manusia dan lingkungannya secara menyeluruh. Manusia adalah mahluk hidup ciptaan tuhan dengan segala fungsi dan potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, dan mati, dan seterusnya, serta terkait dan berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam sebuah hubungan timbal balik baik itu positif maupun negatif.Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya. Baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Kita bernapas memerlukan udara dari lingkungan sekitar. Kita makan, minum, menjaga kesehatan, semuanya memerlukan lingkungan. Seringkali lingkungan yang terdiri dari sesama manusia disebut juga sebagai lingkungan sosial. Lingkungan sosial inilah yang membentuk sistem pergaulan yang besar peranannya dalam membentuk kepribadian seseorang. 1. Pengertian Manusia Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan segala fungsi dan potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, mati dan seterusnya, serta terkait dan berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam sebuah hubungan timbal balik, baik positif atau negatif (Ghifari, 2011:1). Lebih lanjut Basya (2012: 1), mengatakan bahwa manusia adalah makhluk hidup ciptaan tuhan dengan segala fungsi dan potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, mati, dan seterusnya, serta terkait dan berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam sebuah hubungan timbal balik positif maupun negatif. Manusia adalah makhluk yang terbukti berteknologi tinggi. Ini karena manusia memiliki perbandingan massa otak dengan massa tubuh terbesar diantara semua makhluk yang ada di bumi. Walaupun

ini bukanlah pengukuran yang mutlak, namun perbandingan massa otak dengan tubuh manusia memang memberikan petunjuk dari segi intelektual relatif. Manusia adalah makhluk hidup ciptaan tuhan dengan segala fungsi dan potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, mati, dan seterusnya, serta terkait dan berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam sebuah hubungan timbal balik positif maupun negative (Setyawan, 2011: 2). Manusia adalah makhluk yang terbukti berteknologi tinggi. Ini karena manusia memiliki perbandingan massa otak dengan massa tubuh terbesar diantara semua makhluk yang ada di bumi. Walaupun ini bukanlah pengukuran yang mutlak, namun perbandingan massa otak dengan tubuh manusia memang memberikan petunjuk dari segi intelektual relatif. Manusia atau orang dapat diartikan dari sudut pandang yang berbeda-beda, baik itu

menurut biologis, rohani, dan istilah

kebudayaan, atau secara campuran. secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai homo sapiens (bahasa latin untuk manusia) yang merupakan sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Manusia juga sebagai mahkluk individu memiliki pemikiranpemikiran tentang apa yang menurutnya baik dan sesuai dengan tindakan-tindakan yang akan diambil. Manusia pun berlaku sebagai makhluk sosial yang saling berhubungan dan keterkaitannya dengan lingkungan dan tempat tinggalnya. Manusia atau orang dapat diartikan dari sudut pandang yang berbeda-beda, baik itu

menurut biologis, rohani, dan istilah

kebudayaan, atau secara campuran. secara biologis, manusia

diklasifikasikan sebagai homo sapiens (bahasa latin untuk manusia) yang merupakan sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Manusia juga sebagai mahkluk individu memiliki pemikiranpemikiran tentang apa yang menurutnya baik dan sesuai dengan tindakan-tindakan yang akan diambil. Manusia pun berlaku sebagai makhluk sosial yang saling berhubungan dan keterkaitannya dengan lingkungan dan tempat tinggalnya.

2. Pengertian Lingkungan Lingkungan adalah suatu media dimana makhluk hidup tinggal, mencari penghidupannya, dan memiliki karakter serta fungsi yang khas yang terkait secara timbal balik dengan keberadaan makhluk hidup yang menempatinya, terutama manusia yang memiliki peranan yang lebih kompleks dan riil (Ghifari, 2011:1). Lebih lanjut Baya (2012: 2), mengemukakan bahwa lingkungan adalah suatu media dimana makhuk hidup tinggal, mencari penghidupannya, dan memiliki karakter serta fungsi yang khas yang terkait secara timbal balik dengan keberadaan makhluk hidup yang menempatinya, terutama manusia yang memiliki peranan yang lebih kompleks. Lingkungan adalah suatu media dimana makhuk hidup tinggal, mencari penghidupannya, dan memiliki karakter serta fungsi yang khas yang terkait secara timbal balik dengan keberadaan makhluk hidup yang menempatinya, terutama manusia yang memiliki peranan yang lebih kompleks (Setyawan, 2011: 3). Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya. Baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Kita bernapas memerlukan udara dari lingkungan sekitar. Kita makan, minum,

menjaga kesehatan, semuanya memerlukan lingkungan. Pengertian lain dari lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Lingkungan bisa dibedakan menjadi lingkungan biotik dan abiotik. Jika kalian berada di sekolah, lingkungan biotiknya berupa teman-teman sekolah, bapak ibu guru serta karyawan, dan semua orang yang ada di sekolah, juga berbagai jenis tumbuhan yang ada di kebun sekolah serta hewan-hewan yang ada disekitarnya. Adapun lingkungan

abiotik

berupa udara,

meja

kursi,

papan

tulis,

gedung sekolah, dan berbagai macam benda mati yang ada disekitar. Sering lingkungan yang terdiri dari sesama manusia disebut juga sebagai lingkungan sosial. Lingkungan sosial inilah yang membentuk sistem pergaulan yang besar peranannya dalam membentuk kepribadian seseorang.

3. Hubungan antara Manusia dengan Lingkungan Sumber alam dapat digolongkan ke dalam dua bagian yakni: Sumber alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) atau disebut pula sumber-sumber alam biotik. Yang tergolong ke dalam sumber alam ini adalah semua makhluk hidup, hutan, hewan-hewan, dan tumbuhan-tumbuhan. Sumber

alam

yang

tidak

diperbaharui

(nonrenewable

resources) atau disebut pula sebagai golongan sumber alam biotik. Yang tergolong ke dalam sumber abiotik adalah tanah, air, bahanbahan galian, mineral, dan bahan-bahan tambang lainnya. Sumber alam biotik mempunyai kemampuan diri atau bertambah, misalkan tumbuhan dapat berkembang biak dengan biji atau spora, dan hewan-hewan menghasilkan keturunannya dengan

telur atau melahirkan. Oleh karena itu sumber daya alam tersebut dikatakan sebagai sumber daya alam yang masih dapat diperbaharui. Lain halnya dengan sumber daya alam abiotik yang tidak dapat memperbaharui dirinya. Bila sumber minyak, batu bara atau bahanbahan lainnya telah habis digunakan manusia, maka habislah bahanbahan tambang tersebut. Sumber alam biotik dapat terus digunakan atau dimanfaatkan oleh manusia, bila manusia menggunakannya secara bijaksana dalam penggunaan berarti memperhatikan siklus hidup sumber alam tersebut, dan diusahakan jangan sampai sumber alam itu musnah. Sebab, jika suatu jenis spesies di bumi musnah, maka jenis tersebut tidak dapat muncul kembali. Seharusnya manusia menggunakan dengan baik sumber daya biotik dan abiotik secara tepat dan bertanggung jawab. Manusia memandang alam lingkungannya dengan bermacammacam kebutuhan dan keinginan. Manusia bersaing dengan spesies lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini manusia memiliki kemampuan lebih besar dibandingkan organisme lainnya, terutama dalam penggunaan sumber-sumber alamnya. Berbagai cara telah dilakukan manusia dalam menggunakan sumber-sumber alam berupa tanah, air, fauna, flora, bahan-bahan galian, dan sebagainya. Namun sesuai dengan kondisi lingkungan saat ini manusia susah seharusnya melakukan perubahan. Perubahan yang dimaksud disini bukanlah transformasi yang diartikan sebagai perubahan seluruhnya (dari teknologi, sosial budaya dan ekonomi). Perubahan disini lebih kepada perubahan hidup berperilaku, kebiasaan dalam hidup yang menunjang pada penyelamatan lingkungan, perilaku hidup manusia.

Masih banyak masyarakat kita yang memiliki kebiasaan yang tidak ramah lingkungan, seperti pengrusakan lingkungan demi keuntungan

semata.

Seharusnya

manusia

berhati-hati

dalam

mengolah tanah, air, udara mahluk mahluk yang ada di dunia ini. Khususnya

pada

lingkungan,

manusia

telah

begitu

banyak

menimbulkan kerusakan pada bumi ini. Limbah, kotoran, sampah dibuang begitu saja tanpa mengindahkan lingkungandan mahluk lain.

Responnya

dari

lingkungan

dapat

kita

lihat

seperti

menyebabkan penyakit, bahkan menjadi bencana alam. Permasalahan ekologi terdiri atas dua suku kata Yunani yaitu Oikos (rumah tangga), dan Logos (firman atau ilmu). Jadi secara harfiah, ekologi berarti ilmu kerumahtanggaan. Definisi lain untuk ekologi: Ekologi adalah cabang biologi yang mempelajari hubungan timbal balik manusia dan lingkungannya; Ekologi adalah studi ilmiah tentang interaksi yang menentukan penyebaran dan kepadatan makhluk hidup; Ekologi adalah biologi lingkungan. Jadi, Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya. Manusia hidup, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan alam dan sosial budayanya, hidup dalam sebuah ekosistem, dimana terdapat komponen abiotik (tanah, udara, air, cahaya, suhu) dan komponen biotik (produsen, konsumen, pengurai). Selain itu di dalam lingkungan terdapat faktor-faktor seperti rantai makanan, habitat, populasi, komunitas dan biosfer. Jika kita menelusuri kembali sejarah peradaban manusia di bumi ini, tampaklah bahwa manusia sedikit demi sedikit mulai menyesuaikan diri pada alam lingkungan hidupnya. Bahkan, lebih daripada itu manusia telah mengubah semua komunitas biologis di tempat merek hidup. Perubahan alam lingkungan hidup manusia

akan berpengaruh baik secara positif maupun negatif. Berpengaruh positif karena manusia mendapatkan keuntungan dari perubahan tersebut dan berpengaruh negatif karena dapat mengurangi kemampuan

alam

lingkungan

hidupnya

untuk

menyokong

kehidupannya. Sumber alam digolongkan menjadi dua, yaitu: Sumber Alam yang dapat diperbaharui (sumber-sumber biotik) yaitu semua makhluk hidup, hutan, hewan, dan tumbuh-tumbuhan; dan sumber alam yang tidak dapat diperbaharui (golongan sumber alam abiotik) yaitu tanah, air, bahan-bahan galian, mineral dan bahan-bahan tambang lainnya. Manusia sedikit demi sedikit mulai menyesuaikan diri pada alam lingkungan hidupnya maupun komunitas biologis di tempat mereka hidup. Perubahan alam lingkungan hidup manusia tampak jelas di kota-kota, dibanding dengan pelosok dimana penduduknya masih sedikit dan primitif. Perubahan alam lingkungan hidup manusia akan berpengaruh baik secara positif ataupun negatif. Berpengaruh bagi manusia karena manusia mendapatkan keuntungan dari perubahan tersebut, dan berpengaruh tidak baik karena dapat dapat mengurangi kemampuan

alam

lingkungan

hidupnya

untuk

menyokong

kehidupannya. Manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang memiliki kemampuan berfikir dan penalaran yang tinggi. Disamping itu manusia memiliki budaya, pranata sosial dan pengetahuan serta teknologi yang makin berkembang. Peranan manusia dalam lingkungan ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Peranan manusia yang bersifat negatif adalah peranan yang merugikan lingkungan. Kerugian ini secara langsung atau pun tidak

langsung timbul akibat kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, peranan manusia yang bersifat positif adalah peranan yang berakibat menguntungkan lingkungan karena dapat menjaga dan melestarikan daya dukung lingkungan. Peranan Manusia yang bersifat negatif terhadap lingkungan antara lain sebagai berikut: a) Eksploitasi yang melampaui batas sehingga persediaan Sumber Daya Alam makin menciut (depletion); b) Punah atau merosotnya jumlah keanekaan jenis biota; c) Berubahnya ekosistem alami yang mantap dan seimbang menjadi ekosistem binaan yang tidak mantap karena terus menerus memerlukan subsidi energi; d) Berubahnya profil permukaan bumi yang dapat mengganggu kestabilan tanah hingga menimbulkan longsor; e) Masuknya energi bahan atau senyawa tertentu ke dalam lingkungan yang menimbulkan pencemaran air, udara, dan tanah. hal ini berakibat menurunnya kualitas lingkungan hidup. Pencemaran dapat menimbulkan dampak negatif pada lingkungan dan terhadap manusia itu sendiri. Peranan Manusia yang menguntungkan lingkungan antara lain: a) Melakukan eksploitasi Sumber Daya Alam secara tepat dan bijaksana terutama SDA yang tidak dapat diperbaharui; b) Mengadakan penghijauan dan reboisasi untuk menjaga kelestarian keaneka jenis flora serta untuk mencegah terjadinya erosi dan banjir; c) Melakukan proses daur ulang serta pengolahan limbah agar kadar bahan pencemar yang terbuang ke dalam lingkungan tidak melampaui nilai ambang batasnya; d) Melakukan sistem pertanian secara tumpang sari atau multi kultur untuk menjaga kesuburan tanah. Untuk tanah pertanian yang miring dibuat sengkedan guna mencegah derasnya erosi serta terhanyutnya lapisan tanah yang mengandung humus; e) Membuat peraturan, organisasi atau undang-

undang untuk melindungi lingkungan dan keanekaan jenis makhluk hidup. Permasalahan demografi menjadi perhatian kita bersama. Demografi adalah uraian tentang penduduk, terutama tenteng kelahiran, perkawinan, kematian dan migrasi. Demografi meliputi studi ilmiah tentang jumlah, persebaran geografis, komposisi penduduk, serta bagaimana factor ini berubah dari waktu ke waktu. Beberapa ahli demografi terutama tertarik kepada statistic fertilitas (kelahiran), moralitas (kematian), dan migrasi (perpindahan tempat) karena ketiga variable ini merupakan komponen-komponen yang berpengaruh terhadap perubahan penduduk. Ketiga komponen tersebut diukur dengan tingkat kelahiran, tingkat kematian, dan migrasi yang menentukan jumlah penduduk, komposisi umur dan laju pertambahan atau penurunan penduduk. Jumlah kelahiran di Indonesia dari tahun ke tahun bertambah besar. Akan tetapi pertumbuhan kelahiran dari tahun ketahun yang berkambang tidak seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jadi apabila kelahiran di Indonesia tidak di tekan maka akan menjadi salah satu faktor penghambat kesejahteraan karena pemerintah belum bisa menjamin tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat mengah ke bawah. Inilah salah satu alasan pemarintah menkampanyekan KB (keluarga berencana). Problematika yang terjadi di Indonesia yaitu banyaknya remaja yamg meninggal karena menjadi korban aborsi. Itu menyebabkan berkurangnya generasi penerus bangsa Migrasi atau perpindahan merupakan hal yang perlu diperhatikan pemerintah. Migrasi disebabkan oleh tidak meratanya pembangunan di Indonesia sehingga banyak masyarakat yang merantau ke daerah yang pembangunan daerahnya lebih baik hal ini

juga menyebabkan tidak meratanya kepadatan penduduk. Penduduk dikota lebih banyak dibandingkan penduduk di desa. Padahal banyak sekali sumber daya alam yang bisa didapatkan di desa. Ini juga karena kurangnya kesadaran masyarakat dan pemerintah. Age ing population problem merupakan permasalahan yang bisa dikategorikan permasalahan kependudukan yang mutahir. Tapi isu ini merupakan isu yang muncul di negara-negara maju (industrialisasi). Dimana permasalahan ledakan penduduk, angka kelahiran yang sangat tinggi, angka kematian yang tinggi, malnutrisi dan rendahnya angka harapan hidup sudah tidak menjadi problema kependudukan di negara maju dan isu-isu di atas untuk saat ini masih menjadi isu-isu kependudukan di negara-negara berkambang dan terbelakang salah satunya Indonesia yang termasuk negara berkembang.

Permasalahan

ageing

population

merupakan

permasalahan demografi atau kependudukan yang akan terjadi di negara-negara maju yang suda memasuki tahap industriliasasi. Ageing population problem ini adalah permasalahan demografi yang muncul akibat adanya perubahan struktur kependudukan (piramida penduduk), dimana penduduk usia non-poduktif (khususnya usia diatas usia produktif 65+ tahun) semakin bertambah dan semakin lebih banyak. Pertambahan ini mengakibatkan jarak kuantitas (jumlah) usia produktif dan non-produktifnya lambat laun semakin mendekat bahkan kecenderungannya mendekati proporsi yang sama bahkan memiliki kecenderungan untuk lebih besar. Perubahan piramida penduduk ini terjadi di negara-negara maju diakibatkan karena terjadi perubahan yang signifikan terhadap fertility rate, moratality rate dan life expectancy. Menurunnya fertility rate, menurunnya angka kematian dan semakin meningkatnya life expectancy merupakan ciri-ciri negara-negara maju. Penurunan

fertility rate diakibatkan karena semakin meningkatnya pendidikan masyarakat dan pengetahuan bahwa anak adalah investasi serta banyaknya pilihan tidak memiliki anak semakin meningkat. Penurunan mortality rate salah satu penyebabnya adalah semakin membaiknya fasilitas kesehatan dan tingkat kesejahteraan penduduk. Penurunan mortality rate ini, perbaikan kualitas kesehatan, peningkatan tingkat kesejahteraan juga menjadi faktor pendorrong angka harapan hidup yang semakin membaik. Prubahan-perubahan inilah yang menjadi faktor dominan yang mendorong terjadinya ageing population problem di negara-negara maju. Pertumbuhan penduduk adalah perubahan populasi sewaktuwaktu dan dapat dihitung sebagai perubahan dalam jumlah individu dalam sebuah populasi menggunakan “perwaktu unit” umtuk pengukuran. Sebutan pertumbuhan penduduk merujuk pada semua spesis, tapi selalu mengarah pada manusia dan sering digunakan secara informal untuk sebutan demografi nilai pertumbuhan penduduk dan digunakan untuk merujuk pada pertumbuhan penduduk dunia. Model pertumbuhan penduduk meliputi model pertumbuhan malthusian dan model logistik. Cara yang paling umum untuk menghitung pertumbuhan penduduk adalah rasio bukan nilai. Perubahan populasi pada priode waktu unit dihitung sebagai presentase populasi ketika dimulainya periode. Ketika pertumbuhan penduduk dapat melewat kapasitas muat suatu wilayah atau lingkungan hasilnya berakhir dengan kelebihan penduduk. Gangguan dalam populasi manusia dapat menyebabkan masalah seperti polusi dan kemacetan lalu lintas, meskipun dapat ditutupi perubahan teknologi dan ekonomi. Wilayah tersebut dapat di anggap “kurang penduduk” bila populasi tidak cukup besar untuk mengoolah suatu sistem ekonomi. Di Indonesia pada saat sekarang ini pertumbuhan

penduduknya belum bsa ditekan meskipun pemerintah telah mengeluarkan suatu kebijakan yakni program KB. Tapi itu belum bisa menekan pertumbuhan penduduk di Indonesia. Karena masih banyaknya masyarakat yang memegang semboyang”banyak anak banyak rejeki “. Dan masih banyak praktek perkawinan usia dini. Lingkungan hidup termasuk sumber daya alamnya baik secara global, regional maupun nasional dalam sejarah peradaban manusia telah memberikan dua makna bagi manusia. Disatu sisi, makna yang dirasakan adalah meningkatnya kesejahteraan dan kualitas hidup manusia, sedangkan di bagian lain menyebabkan bencana dan sekaligus penurunan kualitas hidup manusia.Jika seseorang ditanya akan memilih yang mana, tentu jawabannya : lingkungan hidup dan sumber daya alam yang bisa meningkatkan kesejahteraan dan sekaligus meningkatkan kualitas hidupnya. Tapi tanpa kesadaran mendalam tentang pemanfaatan lingkungan secara bijak, apakah mungkin pilihan itu dapat didapatkan?Dalam 2 dekade terakhir ini kesadaran global akan perlunya kebersamaan masyarakat dunia untuk bersatu padu menyelamatkan planet bumi dan mahluk hidup yang berada di dalamnya semakin menguat dan kongkrit dalam implementasinya. Karena disadari betul penyebab utama kerusakan bumi ternyata karena kecerobohan dan tidak bijaknya manusia di bumi dalam merencanakan dan mengendalikan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumber daya alamnya bagi kepentingan yang mengatasnamakan “pengembangan wilayah” dan “meningkatkan kesejahteraan rakyat”. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha

dan/atau kegiatan di Indonesia. AMDAL ini dibuat saat perencanaan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Yang dimaksud lingkungan hidup di sini adalah aspek abiotik, biotik, dankultural. Dasar hukum AMDAL adalah Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2009 tentang “Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup”. Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar hutan lindung, dapat berupa perkotaan atau perdesaan. Berfungsi untuk tempat

tinggal

atau

hunian

tempat

melaksanakan

kegiatan

perikehidupan dang penghidupan. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang dilengapi dengan prasarana lingkungan yaitu kelengkapan dasar lingkungan fisik dan sarana lingkungan

yaitu

penyelenggaraan

fasililitas dan

penunjang

pengembangan

yang

mendukung

kehidupan. Persyaratan

kesehatan lingkungan perumahan dan lingkungan pemukiman adalah ketentuan teknis yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni atau masayrakat yang bermukim dan /atau masyarakat sekitar dari bahaya dan ganguan kesehatan. ARL perumahan dan pemukiman dapat dialakukan berdasarkan Persyaratan kesehatan pemukimannya. Yang

umum

di

analisa

yaitu,

berdasarkan

Kepmenkes no 829/Menkes/SK/VII/1999 antara lain : Lokasi Kualitas Udara, Kebisingan dan Getaran, Kualitas tanah daerah pemukiman

dan

Perumahan,

Prasarana

dan

sarana

Lingkungan, Vektor Penyakit, Penghijauan Manusia dengan lingkunan sekitarnya berkaitan sangatlah erat, saking eratnya banyak muncul teori teori baru yang kemudian diklasifikasikan menjadi berbagai macam disiplin ilmu, dari ilmu social, politik, kesehatan, rancang bangun dan sebagainya. berarti

banyak disiplin ilmu yang berawal dari pemahaman manusia terhadap lingkungannya. kemudian kalau di kategorikan dalam sub besar

menjadi lingkungan mempengaruhi manusia dan manusia

mempengaruhi lingkungan. pada awalnya manusia berpendapat bahwa setiap kelakuan manusia pastilah dipengaruhi dengan lingkungannya kemudian karena perkembangan keilmuan manusia, manusia mencoba untuk mempengaruhi lingkungan dengan awal mula nya diawali oleh era bercocok tanam. Kemudian hal itu berkembang dari ribuan tahun yang lalu sampai akhirnya ditemukan rumusan yang agak mebulat dan berputar putar seperti ini lingkungan mempengaruhi manusia kemudian dampaknya

manusia

mempenganruhi

mempengaruhi

manusia

lingkungan

kemudian

lagi

kemudian

dan

lingkungannya juga terpengaruhi (Virgyansyah. 2010: 1) ilustrasi seperti diatas mungkin sedikit memberikan gambaran tentang salah satu dari berbagai macam disiplin ilmu yang akan dibahas, ilmu itu adalah ilmu perancangan atau dalam istilah keren nya disebut design. Perkembangan ilmu design di Indonesia. Ilmu design di Indonesia tergolong ilmu yang baru, mungkin yang dimaksud baru adalah masuknya ilmu design barat ke Indonesia, kalau diliat historynya ilmu design sendiri sudah berakar kuat di berbagai budaya yang berada di Indonesia. Pada dasarnya ilmu deisgn dibagi menjadi 3 kategori dasar yaitu grafis (segala gambar baik dua dimensi, tiga dimensi ataupun yang gerak kaya film dan animasi), interior(benarnya hampir sama kaya arsitek tapi kalau yang ini diharapkan bentuk bangunan tidak berubah akan tetapi tampilan dan suasana nya menjadi baru.), produk (disiplin ilmu yang merancang tentang argonomi dan segala

sesuatunya yang berkaitan dengan produk. Walau kalau dilihat benarnya jasa kadang dikategorikan juga sebuah produk ) Kemudian sesuai dengan judul tulisan diatas adalah “hubungan manusia dengan lingkungan” maka ketika terbersitlah sebuah pertanyaan kenapa koq terjadi banyak hal pada kondisi Negara kita sekarang? jelas banyak hal yang dipaksakan kepada kita dengan cara yang sangat halus dan secara terus menerus. Ketika akhir akhir ini banyak kalangan merasa tersadar oleh terdesaknya budaya bangsa oleh arus gombalisasi, maka kemudian banyak kalangan melakukan upaya upaya untuk melesetarikan budaya dan banyak saking ngototnya berusaha untuk melestarikan secara murni, sampai sampai berusaha mengunakan kembali bahan bahan yang sama seperti tempo dahulu. padahal budaya itu adalah sebuah pokok pokok pikiran yang tersampaikan lewat bentuk betuk dari produk produk barangnya nya, keseniannya, tingkah lakunya dan cara perilaku spiritualnya. Karena perkembangan jaman akhirnya melahirkan sebuah system persatuan yang kemudian menjadiNegara. kemudian Negara menciptakan sebua susunan pemerintahan atau pengatur yang menghasilkan sebuah system perkotaan, kemudian perkotaan tumbuh dan berkembang seiring dengan kemajuan jaman, trus di iringi dengan semakin menyempitnya lahan yang dipergunakan penduduk perkotaan yang kian hari laju pertumbuhannya bertambah pesat, karena bayak bangunan sudah berubah menjadi bentuk bentuk bangunan yang permanent maka tata kotanya kadang jadi super ribet dan

berantakan,

kesibukannya

kemudian

dalam

karena

beraktifitas

padatnya

maka

penduduk

memerlukan

dan

sebuah

keseimbangan dalam urusan hiburan atau refreshing yang berguna untuk

menjaga

kesetabilitasan

temperamen

emosional

dari

penduduknya. oleh sebab itu peranan dari disiplin ilmu perancangan dalam arti global sangatlah amat berperan ketika manusia mengakhiri siklus hidup nomanden nya, dan jelas kaitannya sangat erat dengan perkembangan sebuah kebudayaan pada daerah tersebut. Manusia dipengaruhi oleh lingkungannya. Sebagian besar dari jumlah

manusia

memang

sangatlah

di

pengaruhi

oleh

lingkungannya, akan tetapi sebagin kecil dari manusia dapat atau bisa mempengaruhi lingkungannya dalam skala tertentu. Mungkin contoh gampanganya seperti ini, orang tua mempunyai 9 anak. karakter orang tua mempengaruhi ke 9 anaknya, anak pertama mempengaruhi perilaku 8 adiknya begitu seterusnya bisa dikatakan semakin menurun peringkatnya maka semakin banyak memperoleh pengaruh. Kemudian ketika kita bertanya manusia model bagaimana yang terpengaruh oleh lingkungan? Jawabnya adalah manusia yang terkena sebagai objek penderita. kalau diperhalus adalah manusia yang terkena oleh dampak langsung dari sebuah media publikasi, ketika manusia berpendapat bahwa sebuah media adalah informasi, maka sebenarnya dia harus sudah bisa menimbang hal ini, informasi haruslah dipandang sebagai sebuah data, dan dalam perbuatannya haruslah menggunakan data yang dianggap valid dan diyakini oleh dirinya karena dia dapat mengakses buanyak data. Kemudian banyak kalangan atau banyak asumsi tentang tidak ada keterkaitan budaya masa lalu dengan sekarang atau hubungan history masa lalu dengan sekarang yang katanya poling atau jaja pendapat dan merupakan kenangan masa lalu yang sudah tidak relevan dengan jaman sekarang. sepintas memang terlihat seperti itu kalau dilihat budaya itu adalah produk barang, kesenian, dan perilaku kesehariannya, hal itu memang dipacu oleh perkembangan

era teknologi, contohnya kita sekarang tidak pake baju dari kulit pohon lagi sebab kita bisa bikin pakaian dari kain bahan kain dan benang sudah diolah oleh industri dan sebagainya. akan tetapi sebuah perilaku manusia nya tetap dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan nya, dan hal itu pula yang disadari oleh banyak kalangan ketika mereka berkeinginan mangarahkan sebuah perilaku manusia, dengan menciptakan betuk bentuk dan sumber sumber informasi yang

terkontrol

pada

mereka (mengasumsikan) dapat

sebuah

wilayah

mengkontrol

sebuah

tertentu, perilaku

manusia manusia yang berada dalam wilayah tersebut, akan tetapi mereka lupa bahwa sebuh perilaku spiritual tidak dapat diarah arah kan, sebab perilaku spiritual adalah kaitannya adalah hubungan manusia dengan penciptanya. walau banyak kalangan yang mulai masuk dalam kawasan ini sih benernya, dan itu berlaku sejak jaman dulu kala ratusan mungkin sampai ribuan taun yang lalu.

4. Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Kelestarian Lingkungan Hidup a. Paradigma baru terhadap lingkungan Masalah lingkungan hidup sebenarnya bukan persoalan baru. Kerusakan lingkungan oleh aktivitas manusia yang makin meningkat, antara lain tercemarnya lingkungan oleh pestisida serta limbah industri dan transportasi, rusaknya habitat tumbuhan dan hewan langka serta menurunnya nilai estetika alam, merupakan beberapa masalah lingkungan hidup. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, masalah lingkungan hidup semakin meluas, karena terkai dengan meningkatnya atmosfer bumi sebagai akibat tidak terkendalinya efek rumah kaca. Pemanasan global

pada

tiga

dekade

akhir

abad

keduapuluh

telah

menimbulkan: Peningkatan suhu, perubahan iklim terutama curah

hujan, peningkatan intensitas dan kualitas badai, kenaikan suhu serta permukaan air laut. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar wilayah di dunia sering mengalami bencana. Sementara itu, air hujan semakin asam sehingga merusak lahan pertanian, hutan dan biota lainnya. Pada saat yang sama, para ahli menemukan lubang pada lapisan ozon di sekitar antartika. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Pasal 1 Angka 1 mengartikan Lingkungan Hidup sebagai “kesatuan ruang dengan kesemua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya”. Lingkungan hidup tidak bisa di pisahkan dari ekosistem atau system ekologi. Ekosistem adalah satuan kehidupan yang terdiri atas suatu komunitas makhluk hidup ( dari berbagai jenis ) dengan

berbagai

benda

mati

membentuk

suatu

system.

Lingkungan hidup pada dasarnya adalah suatu system kehidupan dimana terdapat campur tangan manusia terhadap tatanan ekosistem. Manusia adalah bagian dari ekosistem. Lingkungan dapat pula berbentuk lingkungan fisik dan non fisik. Lingkungan alam dan buatan adalah Lingkungan fisik. Sedangkan lingkungan nonfisik adalah lingkungan social budaya dimana manusia itu berada. Lingkungan amat penting bagi kehidupan manusia. Segala yang ada pada lingkungan dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, karma lingkungan memiliki daya dukung, yaitu kemampuan

lingkungan

untuk

mendukung

perkehidupan

manusia dan makhuk hidup lainya arti penting lingkungan bagi manusia karena lingungan merupakan tempat hidup manusia,

Lingkungan memberi sumber-sumber penghidupan manusia, Lingkungan memengaruhi sifat, karakter, dan perilaku manusia yang mendiaminya. Sejak awal, manusia merupakan subjek sekaligus objek dalam perjalanan hidupnya guna mendapatkan kesejahteraan. Manusia membuat, menciptakan, mengerjakan, dan memperbaiki berbagai hal yang di tunjuk untuk kepentingan hidupnya. Di Negara

penduduk

merupakan

salah

satu

modal

dasar

pembangunan. Sebagai modal dasar atau asset pembangunan, penduduk tidak hanya sebagai sasaran pembangunan, tetapi juga merupakan pelaku pembangunan. Manusia mendapatkan unsur-unsur yang diperlukan dalam hidupnya dari lingkungan. Makin tinggi kebudayaan manusia, makin beraneka ragam kebutuhan hidupnya. Makin besar jumlah kebutuhan hidupnya berarti makin besar perhatian manusia terhadap lingkungannya. Lingkungan merupakan suatu media di mana makhuk hidup tinggal, mencari penghidupannya,dan memiliki karakter serta fungsi yang khas yang mana terkait secara timbal balik dengan keberadaan makhluk hidup yang menempatinya,terutama manusia yang memiliki peranan yang lebih kompleks dan riil. Manusia sedikit demi sedikit mulai menyesuaikan diri pada alam lingkungan hidupnya. Komunitas biologis di tempat mereka hidup perubahan alam lingkungan hidup manusia tampak jelas di kota-kota, di bandingkan dengan di hutan rimba di mana penduduknya masih sedikit dan primitif. Berdasarkan sifatnya, kebutuhan hidup manusia dapat dilihat dan dibagi menjadi 2, yaitu kebutuhan hidup materil antara lain adalah air, udara, sandang, pangan, papan, transportasi

serta perlengkapan fisik lainnya. Dan kebutuhan nonmateril adalah rasa aman, kasih sayang, pengakuan atas eksistensinya, pendidikan dan sistem nilai dalam masyarakat. Manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang memiliki daya fikir dan daya nalar tertinggi dibandingkan makluk lainnya. Di sini jelas terlihat bahwa manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang aktif. Hal ini disebabkan manusia dpaat secara aktif mengelola dan mengubah ekosistem sesuai dengan apa yang dikehendaki. Kegiatan manusia ini dapat menimbulkan bermacam-macam gejala.

b. Dampak Perkembangan dan Penerapan Iptek, serta Perubahan Sosial Ekonomi terhadap Masalah Lingkungan Hidup Manusia menciptakan teknologi dengan maksud agar hidupnya lebih mudah, praktis, efisien dan tidak banyak mengalami

kesulitan.

Namun

tidak

jarang,

iptek

justru

menimbulkan masalah serius bagi kehidupan umat manusia. Jadi, jelas bahwa perkembangan dan penerapan iptek tidak selalu membawa dampak positif, namun juga dampak negatif. Manusia bertindak sosial dengan cara memanfaatkan alam dan lingkungan untuk menyempurnakan serta meningkatkan kesejahteraan hidupnya, demi kelangsungan hidup sejenisnya. Pada saat manusia belum mengenal cara bercocok tanam, manusia hidup dengan cara mengembara dalam kelompokkelompok kecil dan tinggal di goa, manusia pada jaman ini hidup dari hasil perburuan, mencari buah-buahan serta umbi-umbian yang terdapat di dalam hutan. Bila binatang buruan mulai berkurang mereka berpindah ketempat yang masih banyak

terdapat binatang buruan yang dapat di jadikan bahan makanan mereka. Dengan makin pesatnya perkembangan populasi mereka maka cara hidup seperti ini tidaklah cocok lagi untuk di gunakan. Mereka mulai beralih dengan pola hidup bercocok tanam yang masih sangat sederhana, yaitu dengan cara membuka hutan untuk di buat ladang dan di tanami dengan umbi-umbian atau tanaman lain yang sudah mereka kenal sebagai bahan makanan. Pada pola inipun mereka sudah mulai membuat rumah-rumah sederhana yang terbuat dari kayu yang beratapkan daun-daunan. Apabila kesuburan ladang tanah mereka telah berkurang, mereka berpindah ke tempat baru yang lebih subur dan mereka kembali membuat tempat tinggal dan ladang di tempat baru itu. Dan dalam mencari tempat tinggal mereka selalu memerhatikan sumber air, seperti di tepi sungai atau danau. Dan selain bercocok tanam mereka juga sudah mulai memelihara binatang-binatang. Dengan pola seperti ini mereka sudah mulai menemukan pola hidup yang lebih baik, sehingga mereka siudah mulai hidup menetap dari hasil pengalamannya. Tampaklah di sini manusia sedikit demi sedikit sudah mulai membiasakan diri pada alam lingkungan hidupnya. Perubahan alam lingkungan hidup manusia memiliki dua dampak yaitu dampak negatif dan dampak positif bagi manusia dan lingkungan. mendapatkan

Berpengaruh keuntungan

bagi dari

manusia

karena

perubahan

manusia

tersebut,dan

berpengaruh tidak baik karena dapat mengurangi kemampuan alam lingkungan hidupnya untuk menyokong kehidupannya. Manusia bertindak sosial dengan cara memanfaatkan alam dan

lingkungan

untuk

menyempurnakan

serta

meningkatkan

kesejahteraan hidupnya demi kelangsungan hidup sejenisnya. Manusia

mempunyai

pengaruh

penting

dalam

kelangsungan ekosistem habitat manusia itu sendiri, tindakantindakan

yang

diambil

atau

kebijakan-kebijakan

tentang

hubungan dengan lingkungan akan berpengaruh bagi lingkungan dan manusia itu sendiri. Pelestarian lingkungan perlu dilakukan karena kemampuan daya dukung lingkungan hidup sangat terbatas baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Pengelolaan lingkungan hidup dilakukan secara sukarela baik oleh individu maupun kelompok masyarakat yang peduli. Perhatian dan pengaruh manusia terhadap ligkungan makin meningkat pada zaman teknologi maju. Masa ini manusia mengubah lingkungan hidup alami menjadi lingkungan hidup binaan. Eksplotasi sumber daya alam makin meningkat untuk memenuhi bahan dasar industri. Sebaliknya hasil industri berupa asap dan limbah mulai menurunkan kualitas lingkungan hidup. Lingkungan yang tercemar akibat kegiatan manusia maupun proses alam akan berdampak negative pada kesehatan, kenikmatan hidup, kemudahan, efisiensi, keindahan, serta keseimbangan ekosistem dan sumber daya alam. Oleh karena itu perlindungan lingkungan merupakan suatu keharusan apabila meninginkan lingkungan yang lestari sehingga kegiatan ekonomi dan kegiatan lain dapat berkesinambungan. Apabila demikian halnya maka pengelolaan lingkungan hidup merupakan suatu keharusan. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan,

pemeliharaan,

pengawasan,

pengendalian, pemulihan, dan pengembangan lingkungan hidup.

Aspek kuantitas penduduk yang mencangkup jumlah penduduk, pertumbuhan, persebaran, perataan, dan perimbangan penduduk di tiap wilayah Negara. Lingkungan alam seperti tanah, dirombak untuk menampung berbagai fasilitas kebutuhan manusia. Misalnya, perumahan dan fasilitas lain seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, hiburan, pasar, jalan, saluran, dan lain-lain. Air tidak hanya di manfaatkan untuk kebutuhan makan dan minum, tetapi juga sebagai sarana rekreasi seperti taman, kolam, dan air mancur air jaga untuk pembangkit listrik. Tidak jarang, perombakan lingkungan berakibatkan pada kerusakan lingkungan itu sendiri. Lingkungan telah kehilangan daya dukung lingkungan sebagai akibat tindakan manusia yang berlebihan. Contohnya, pembangunan perumahan dan vila-vila di lereng pegunungan telah mengakibatkan banjir besar pada daerah di

bawahnya.

Jadi,

jumlah

penduduk

semakin

besar

menyebabkan pemukiman yang terus berkembang dan akhirnya berpengaru

besar

pula

terhadap

lingkungan

Perubahan lingkungan sebagai akibat tindakan manusia tidak jarang memberikan dampak negative, yaitu kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup merupakan problema besar yang di alami umat manusia sekarang ini. Bahkan, isu tentang HAM, demokrasi, dan lingkungan.

Kesimpulan Manusia sangat berhubungan erat dengan lingkungan, manusia sangat membutuhkan lingkungan untuk kelangsungan hidup, sebaliknya lingkungan juga membutuhkan manusia untuk melestarikan lingkungan.

Manusia mempunyai pengaruh penting dalam kelangsungan ekosistem serta habitat manusia itu sendiri, tindakan-tindakan yang diambil atau kebijakankebijakan tentang hubungan dengan lingkungan akan berpengaruh bagi lingkungan dan manusia itu sendiri. Manusia perlu mengambil kebijakankebijakan terhadap lingkungan sebagai usaha untuk memperoleh efisiensi pemanfaatan sumber alam dan lingkungan. Kita sebagai manusia wajib menyadari bahwa kita saling terkait dengan lingkungan yang mengitari kita.

Sumber Rujukan Basya, Pahmi. 2012. “Pengertian Manusia dan Lingkungan”. http://13pbr. blogspot.com Ghifari, Al Uzanks. 2011. “Manusia dan Lingkungan”. http://jalannyauzanks. blogspot. Com. html. Setyawan, 2011. “Mnusia dan Lingkungan”. http://setyawanws.wordpress.com/ Virgyansyah. 2010. “Hubungan Manusia Dengan Lingkungan”. http://virgyansyah. blogspot.com