BAB II KAJIAN PUSTAKA A. KAJIAN TEORI 1. TINJAUAN TENTANG MEDIA

Download A. Kajian Teori. 1. Tinjauan tentang Media Sosial Instagram. Media sosial merupakan salah satu produk hasil dari perkembangan- perkembangan...

0 downloads 746 Views 188KB Size
BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori 1. Tinjauan tentang Media Sosial Instagram Media sosial merupakan salah satu produk hasil dari perkembanganperkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini. Dalam penciptaannya, media sosial bertujuan untuk memudahkan semua orang dalam berkomunikasi, berpartisipasi, dan menyebarkan informasi. Zarella berpendapat, “Situs yang menjadi tempat orang – orang berkomunikasi dengan teman – teman mereka, yang mereka kenal di dunia nyata dan dunia maya” (2010: 51). Kemudian media sosial dan perangkat lunak sosial merupakan “Alat untuk meningkatkan kemampuan pengguna untuk berbagi (to share), bekerja sama (to co-operate) di antara pengguna dan melakukan tindakan secara kolektif yang semuanya berada diluar kerangka institusional maupun organisasi” (Shirky, 2008: 42). Saat ini terdapat banyak sekali media sosial yang mulai berkembang dan dikenal oleh masyarakat diantaranya ada facebook, twitter, path, instagram, dan masih banyak lagi. Media sosial diciptakan untuk menunjang kehidupan masyarakat agar lebih mudah dalam berkomunikasi serta menyebarkan segala informasi yang mereka temui. Danah M. Boyd dan Nicole B. Ellison (2007: 3) menyatakan: Media sosial ini merupakan suatu hal yang unik, karena media sosial memungkinkan pengguna untuk mengartikulasikan dan membuat orang lain melihat jaringan sosial mereka. Hal ini dapat mengakibatkan hubungan antara individu-individu yang tidak dinyatakan dibuat-buat, dan membuat hubungan yang laten bagi para pengguna yang saling kenal di dunia offline. Pada banyak pengguna media sosial besar, peserta tidak selalu ''bernetworking'' atau mencari untuk bertemu orang- orang baru; sebagai gantinya, mereka terutama berkomunikasi dengan orang- orang yang sudah menjadi bagian dari jaringan sosial mereka. Keunggulan dari media sosial adalah dimana seseorang dapat berinteraksi dengan sangat cepat dan luas dengan orang lain diberbagai belahan dunia lainnya. 1

2

Siapapun yang terhubungan dengan jaringan internet dapat saling mengirim komentar terhadap posting milik temannya atau langsung chatting serta mengirim pesan seperti email atau direct message. Keunggulan media sosial yang seperti ini dipandang oleh kapitalisme sebagai peluang dalam menciptakan kebutuhan di masyarakat. Contoh mudah adalah keberadaan smartphone yang kini sangat menjamur dimana-mana. Jika dahulu telepon genggam hanya memiliki fungsi untuk menelepon dan mengirim teks, kini dengan telepon genggam tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, namun juga mendukung segala aktivitas manusia untuk narsis di dunia maya mula dari fitur kamera yang canggih hingga aplikasi-aplikasi masa kini yang beragam. Akibatnya, kini smartphone berkembang dengan cepat selama beberapa tahun terakhir. Dampaknya bagi masyarakat ialah kini masyarakat menjadi sangat bergantung pada teknologi smartphone, masyarakat seolah tidak dapat berada jauh dari perangkat smartphone mereka dan selalu membawanya kemanapun mereka pergi. Sehingga keberadaan smartphone menciptakan ruang maya yang makin luas dimana kini setiap orang makin mudah mengakses dunia maya melalui perangkat modern tersebut. Kebutuhan masyarakat luas terhadap teknologi yang mampu berkoneksi dengan internet inilah yang menjadi komoditas utama dari para kapitalis di media komunikasi khususnya telepon genggam. Oleh karenanya internet kini “tercipta” sebagai sebuah kebutuhan yang tidak bisa dihindari oleh masyarakat. Suyanto (2013: 52) menyatakan, “Ketika masyarakat memasuki era seperti ini, yang disebut juga era post- modernisme, dimana era ini yang namanya keinginan dan kebutuhan telah menjadi sesuatu yang baur, tidak cair, tidak jelas dan makin sulit dibedakan.” Saat ini, adalah hal yang biasa ketika masyarakat membeli barang atau jasa bukan karena nilai manfaatnya tetapi karena kebutuhannya akan gaya hidup. Hal tersebut tentunya merupakan sebuah perubahan yang cukup ekstrem, hal ini dikarenakan dahulu masyarakat cenderng mengedepankan pemenuhan kebutuhan utama manusia akan sandang, pangan dan papan. Namun saat ini, masyarakat sedang ada dalam kondisi yang dibentuk kebutuhannya oleh para kapitalis. Masyarakat mengonsumsi sesuatu lebih didorong faktor-faktor seperti gengsi dan

3

harga diri bukan karena kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya. Perubahan ini menciptakan bukan hanya kebutuhan-kebutuhan baru secara fisik tetapi juga kebutuhan- kebutuhan psikis seperti rasa ingin dihargai, keinginan untuk terlihat eksis dan sebagainya. Dari situasi macam, ini, kini status sosial pun mengalami perubahan dari sudut pandangnya. Salah satu media sosial yang saat ini sedang sangat diminati adalah Instagram. Alasan mengapa Instagram berhasil meraih kepopulerannya tak lain karena kebiasaan masyarakat sekarang yang cenderung “narsis”. Dimanapun dan kapanpun kita dapat berfoto lalu menguploadnya di Instagram. Bukan hanya foto pribadi, foto makanan, serta tempat-tempat umum yang biasanya memiliki daya tarik juga tidak pernah lepas untuk menjadi sasaran pengguna Instagram untuk difoto. Instagram adalah sebuah media sosial baru yang sengaja diciptakan untuk berbagi foto ataupun video dengan berbaga keunggulan yang menunjang keberadaannya. Kemudian seorang ahli mengungkapkan bahwa: Satu fitur yang unik di Instagram adalah memotong foto menjadi bentuk persegi, sehingga terlihat seperti hasil kamera Kodak Instamatic dan Polaroid. Hal ini berbeda dengan rasio aspek 4:3 yang umum digunakan oleh kamera pada peralatan bergerak. Instagram dapat digunakan di iPhone, iPad atau iPod Touch versi apapun dengan sistem operasi iOS 3.1.2 atau yang terbaru dan telepon kamera Android apapun dengan sistem operasi 2.2 (Froyo) atau yang terbaru. Aplikasi ini tersebar melalui Apple App Store dan Google Play (Frommer, 2010: 30). Sistem sosial di dalam instagram adalah dengan menjadi following (mengikuti) akun pengguna lainnya, atau memiliki followers (pengikut) instagram. Sehingga dengan demikian komunikasi antara sesama pengguna instagram sendiri dapat terjalin dengan memberikan tanda suka dan juga mengomentari foto-foto yang telah diunggah oleh pengguna lainnya. Akan tetapi, tidak selamanya pengguna instagram yang following suatu akun juga akan mendapatkan follback (mengikuti balik), karena itu tergantung orang masingmasing. Seperti misalnya jika kita following akun milik artis, maka sang artis belum tentu akan memberikan follback kepada kita. Akan tetapi interaksi antar pengguna instagram tetap dapat terjalin manakala artis mengunggah suatu foto

4

atau video kemudian kita memberikan tanda like atau mengomentari postingan artis itu dan sang artis membalas komentar di postingannya. Begitu pula sebaliknya, orang yang saling follow, belum tentu saling memberikan tanda like. Seorang peneliti yang juga membuat sebuah buku tentang media sosial mengatakan: Followers menjadi salah satu unsur yang penting, dimana jumlah like dari para pengikut sangat mempengaruhi apakah foto tersebut dapat menjadi sebuah foto yang populer atau tidak. Biasanya foto atau video yang memiliki banyak like akan muncul pada laman explore yang terdapat di instagram sehingga memiliki peluang untuk bisa dilihat oleh lebih banyak orang. Hal ini biasa terjadi pada artis-artis yang memiliki banyak followers sehingga setiap postingannya selalu mendapatkan banyak like dari fansnya sehingga tak jarang postingan artis selalu menghiasi laman explore pada instagram (Nasrullah, 2015: 26). Instagram memiliki sebuah fitur tanda like yang dimana fungsinya sama seperti apa yang ada di dalam Facebook, yaitu sebagai penanda bahwa pengguna yang lain menyukai foto yang telah diunggah oleh pengguna yang lain. Berdasarkan dengan durasi waktu dan jumlah suka pada sebuah foto di dalam Instagram, menjadi faktor khusus yang mempengaruhi apakah foto tersebut populer atau tidak. Bila sebuah foto tersebut menjadi populer, maka secara langsung foto tersebut akan masuk ke dalam halaman populer tersendiri. Kemudian hal ini lah yang dimaksud dengan “angka” dapat menentukan eksistensi seseorang. 2. Tinjauan tentang Hiperrealitas Media sosial merupakan wadah baru dimana berlangsungnya masyarakat (society) di dunia virtual. Media sosial memiliki ruang lingkup dan pola yang unik dimana dalam banyak hal bisa berbeda dan tidak dijumpai dalam tatanan masyarakat yang real. Terkait dengan bagaimana realitas sosial itu terjadi di media sosial, maka sangat erat kaitannya dengan simulasi sosial. Baudillard mengungkapkan tentang suatu gagasan bahwa, “Simulasi adalah kesadaran akan yang real di benak khalayak semakin berkurang dan tergantikan dengan realitas semu. Kondisi ini disebabkan oleh imaji yang disajikan media secara terus-

5

menerus. Khalayak seolah-olah berada di antara realitas dan ilusi sebab tanda yang ada di media sepertinya telah terputus dari realitas” (1994: 33). Media tidak lagi menampilkan realitas, tetapi sudah menjadi realitas tersendiri, bahkan apa yang ada di media sosial lebih nyata (real) dari realitas itu sendiri. Realitas media merupakan hasil proses simulasi, di mana representasi yang ada di media telah diproduksi dan direproduksi oleh media menjadi realitas tersendiri yang terkadang apa yang di representasikan berbeda atau malah bertolak belakang. Sedangkan simulacra diartikan dengan realitas tiruan yang tidak lagi mengacu pada realitas sesungguhnya. Artinya realitas sesungguhnya sudah dibelokkan yang kemudian benar-benar ditutup dari acuannya. Akan tetapi, realitas ini belum sepenuhnya sempurna dikatakan sebagai sebuah realitas yang benar-benar real karena hubungan timbal balik interaktif belum terjadi atau disebut sebagai semi-realitas. Hal ini didukung oleh pendapat Nasrullah (2015: 77) yang mengatakan bahwa, “Dalam media sosial identitas menjadi cair dan berubah-ubah. Perangkat di media sosial memungkinkan siapapun untuk menjadi siapa saja, bahkan bisa menjadi pengguna yang berbeda sekali dengan realitasnya, seperti pertukaran identitas jenis kelamin, hubungan perkawinan, sampai pada foto profil.” Term ini terjadi melalui empat tahap proses: pertama, tanda (sign) merupakan presentasi realitas; kedua, tanda mendistorsi realitas; ketiga, realitas semakin kabur, bahkan hilang, malah tanda merupakan representasi dari representasi itu sendiri; dan keempat, tanda bukan lagi berhubungan dengan realitas-imaji telah menjadi pengganti dari realitas itu sendiri. Inilah yang menurut Bell (2001: 114), “Cyberspace dimana proses simulasi itu terjadi dan perkembangan teknologi komunikasi serta kemunculan media baru menyebabkan individu semakin menjauhkan realitas, menciptakan sebuah dunia baru, yaitu dunia virtual.” Kemudian tahap selanjutnya setelah simulasi dan simulacra adalah hiperrealitas yang disebut sebagai realitas yang benar-benar real, bahkan di atas yang real, yang nantinya akan menggantikan realitas yang real sebelumnya. Artinya, hiperrealitas adalah sebuah dekonstruksi dari realitas real sebelumnya,

6

karena realitas ini akan sangat benar-benar berbeda dari sebelumnya. Hal ini didukung dengan pemikiran Pilliang (2011) yang mengatakan: Hiperrealitas adalah keadaan runtuhnya realitas, karena telah diambil alih oleh rekayasa virtual yang dianggap lebih nyata dari realitas itu sendiri, sehingga perbedaan keduanya menjadi kabur. Sedangkan perbedaan antara fase simulacra dengan fase hiperrealitas, terletak pada cirinya yang interaktivis. Yaitu hal-hal yang tadinya hanya dapat dilakukan dalam realitas real, kini telah tergantikan dalam realitas virtual, seperti berinteraksi, transaksi ekonomi, rapat, belajar dan sebagainya. Bahkan, lebih efektif dan efisien cara-cara yang baru ini. Sedangkan dalam fase simulasi maupun fase simulacra belum terjadi hal-hal seperti ini. Hampir sebagian besar manusia di dunia ini banyak menghabiskan waktunya menjelajah ruang maya (cyberspace), bahkan ada yang merasa hidupnya akan terasa hampa ketika tidak bersentuhan dengan internet dalam sehari walaupun hanya sekedar membuka facebook, twitter, e-mail, path, instagram, atau situs lainnya. Cyberspace telah menjelma menjadi suatu budaya tersendiri. Semua yang terdapat di dalamnya dipenuhi dengan tanda, warna, citra, gaya, nuansa, namun tanpa makna, fungsi, tujuan yang semakin membuat ruang maya menjadi satu arena simulasi dan kita pun menjadi simulacrum di dalamnya. Baudillard memperkenalkan komsep simulacrum dan mendefinisikannya sebagai: “suatu keadaan dimana sudah tidak ada lagi batas antara yang nyata dengan yang semu” (Baudillard, 1994). Dalam konsep hiperrealitas kepalsuan berbaur dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Keadaan dari hiperrealitas ini membuat masyarakat modern menjadi berlebihan dalam pola mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya. Masyarakat kini mengkonsumsi segala sesuatu bukan karena kebutuhannya, melainkan karena pengaruh dari simulasi yang menyebabkan gaya hidup masyarakat menjadi berbeda.

7

B. Kerangka Berpikir Instagram merupakan salah satu produk media sosial yang sedang banyak digemari saat ini, bahkan menduduki tempat pertama dengan pengguna terbanyak di Indonesia hingga akhir tahun 2014 lalu. Dalam instagram terdapat followers dan like yang kemudian disebut sebagai “angka”, dimana “angka” yang diperoleh oleh peserta didik dapat menunjukan eksistensi mereka. Kemudian selain itu, “angka” akan mempengaruhi pola perilaku peserta didik sehingga dalam hal ini terjadi hiperrealitas angka dalam media sosial instagram. Hal ini dkarenakan instagram menjadi suatu wadah bagi peserta didik untuk memamerkan segala sesuatu yang ia lakukan atau miliki kepada publik. Kemudian setelah memposting sesuatu dalam instagram, maka kemudian adalah upaya untuk memperoleh followers dan like sebanyak-banyaknya. Dalam hal ini “angka” dimaknai sebaga tolak ukur tingkat eksistensi peserta didik, sehingga semakin banyak “angka” yang diperoleh peserta didik maka ia semakin populer. Kemudian tidak hanya itu, “angka” juga mempengaruhi pola perilaku peserta didik dalam aktivitas sehari-hari mereka. Peserta didik akan melakukan segala cara demi memperoleh “angka” sebanyak-banyaknya demi eksistensi dirinya di media sosial, seolah eksistensi mereka dalam media sosial akan dipandang sama ketika mereka berada di dunia nyata. Hal ini lah yang disebut dengan hiperrealitas “angka” dalam instagram. Secara tidak langsung apa yang disebut “pencitraan” merupakan salah satu wujud dari hiperrealitas itu sendiri. Peserta didik disibukkan dengan urusan membangun image “wah” dihadapan teman-temannya dengan cara meningkatkan eksistensinya di dunia maya. Untuk memahami logika berpikirnya dapat dilihat pada Gambar 2.1

8

Gambar 2.1 Skema Berpikir

Instagram

Followers

Like

Disebut “Angka”

“Pencitraan” Menunjukan

Mempengaruhi

Salah satu wujud dari

Eksistensi

Pola Perilaku

Hiperrealitas

Terjadilah Hiperrealitas “Angka” Dalam Instagram

Sumber: Peneliti, 2016

9