BAB II LANDASAN TEORI A. Sikap 1. Definisi sikap

25 BAB II LANDASAN TEORI A. Sikap 1. Definisi sikap Mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan dan akan ikut menentuka...

2 downloads 584 Views 301KB Size
25

BAB II LANDASAN TEORI

A. Sikap 1. Definisi sikap Mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku individu terhadap manusia lainnya atau sesuatu yang sedang dihadapi oleh individu, bahkan terhadap diri individu itu sendiri disebut fenomena sikap. Fenomena sikap yang timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang sedang dihadapi tetapi juga dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi di saat sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang. Sikap manusia, atau untuk singkatnya disebut sikap, telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli (Azwar, 2007). Thurstone mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis (dalam Azwar, 2007). Sikap atau Attitude senantiasa diarahkan pada suatu hal, suatu objek. Tidak ada sikap tanpa adanya objek (Gerungan, 2004). LaPierre mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi, atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri

Universitas Sumatera Utara

26

dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Definisi Petty & Cacioppo secara lengkap mengatakan sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu (dalam Azwar, 2007). Menurut Fishben & Ajzen, sikap sebagai predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dalam cara tertentu berkenaan dengan objek tertentu. Sherif & Sherif menyatakan bahwa sikap menentukan keajegan dan kekhasan perilaku seseorang dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadiankejadian tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003). Azwar (2007), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran. Pertama, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood. Menurut mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Kedua, kerangka pemikiran ini diwakili oleh ahli seperti Chave, Bogardus, LaPierre, Mead dan Gordon Allport. Menurut kelompok pemikiran ini sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan caracara tertentu. Kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan yang potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon .

Universitas Sumatera Utara

27

Ketiga, kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadik (triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek. Jadi berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku terhadap suatu objek yang merupakan hasil dari interaksi komponen kognitif, afektif dan konatif. 2. Komponen sikap Azwar (2007) menyatakan bahwa sikap memiliki 3 komponen yaitu: a. Komponen kognitif Komponen kognitif merupakan komponen yang berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. b. Komponen afektif Komponen afektif merupakan komponen yang menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. c. Komponen perilaku Komponen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. 3. Karakteristik sikap

Universitas Sumatera Utara

28

Menurut Brigham (dalam Dayakisni dan Hudiah, 2003) ada

beberapa ciri

atau karakteristik dasar dari sikap, yaitu : a. Sikap disimpulkan dari cara-cara individu bertingkah laku. b. Sikap ditujukan mengarah kepada objek psikologis atau kategori, dalam hal ini skema yang dimiliki individu menentukan bagaimana individu mengkategorisasikan objek target dimana sikap diarahkan. c. Sikap dipelajari. d. Sikap mempengaruhi perilaku. Memegang teguh suatu sikap yang mengarah pada suatu objek memberikan satu alasan untuk berperilaku mengarah pada objek itu dengan suatu cara tertentu. 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap Azwar (2007) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu. a. Pengalaman pribadi Middlebrook (dalam Azwar, 2007) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman yang dimiliki oleh seseorang dengan suatu objek psikologis, cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. Sikap akan lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Situasi yang melibatkan emosi

akan

menghasilkan pengalaman yang lebih mendalam dan lebih lama membekas. b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Universitas Sumatera Utara

29

Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. c. Pengaruh Kebudayaan Burrhus Frederic Skinner, seperti yang dikutip Azwar sangat menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi seseorang. Kepribadian merupakan pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah penguat (reinforcement) yang kita alami (Hergenhan dalam Azwar, 2007). Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi individu dalam suatu masyarakat. Kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap individu terhadap berbagai masalah. d. Media Massa Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan individu. Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Jika cukup kuat, pesan-pesan sugestif akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Universitas Sumatera Utara

30

Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai sesuatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Konsep moral dan ajaran agama sangat menetukan sistem kepercayaan sehingga tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperanan dalam menentukan sikap individu terhadap sesuatu hal. Apabila terdapat sesuatu hal yang bersifat kontroversial, pada umumnya orang akan mencari informasi lain untuk memperkuat posisi sikapnya atau mungkin juga orang tersebut tidak mengambil sikap memihak. Dalam hal seperti itu, ajaran moral yang diperoleh dari lembaga pendidikan atau lembaga agama sering kali menjadi determinan tunggal yang menentukan sikap. f. Faktor Emosional Suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustrasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama. Menurut Bimo Walgito (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003), pembentukan dan perubahan sikap akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

31

a. Faktor internal (individu itu sendiri) yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luar dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak. b. Faktor eksternal yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap. Sementara itu Mednick, Higgins dan Kirschenbaum (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) menyebutkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu : a. Pengaruh sosial, seperti norma dan kebudayaan. b. Karakter kepribadian individu c. Informasi yang selama ini diterima individu Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik yang berasal dari luar individu dan faktor intrinsik yang berasal dari dalam individu. 5. Perwujudan sikap dalam perilaku Werner dan Defleur (Azwar, 2007) mengemukakan 3 postulat guna mengidentifikasikan tiga pandangan mengenai hubungan sikap dan perilaku, yaitu postulat of consistency, postulat of independent variation, dan postulate of contigent consistency. Berikut ini penjelasan tentang ketiga postulat tersebut: a. Postulat Konsistensi Postulat konsistensi mengatakan bahwa sikap verbal memberi petunjuk yang cukup akurat untuk memprediksikan apa yang akan dilakukan seseorang

Universitas Sumatera Utara

32

bila dihadapkan pada suatu objek sikap. Jadi postulat ini mengasumikan adanya hubungan langsung antara sikap dan perilaku.

b. Postulat Variasi Independen Postulat ini mengatakan bahwa mengetahui sikap tidak berarti dapat memprediksi perilaku karena sikap dan perilaku merupakan dua dimensi dalam diri individu yang berdiri sendiri, terpisah dan berbeda. c. Postulat Konsistensi Kontigensi Postulat konsistensi kontigensi menyatakan bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat ditentukan oleh faktor-faktor situasional tertentu. Normanorma, peranan, keanggotaan kelompok dan lain sebagainya, merupakan kondisi ketergantungan yang dapat mengubah hubungan sikap dan perilaku. Oleh karena itu, sejauh mana prediksi perilaku dapat disandarkan pada sikap akan berbeda dari waktu ke waktu dan dari satu situasi ke situasi lainnya. Postulat yang terakhir ini lebih masuk akal dalam menjelaskan hubungan sikap dan perilaku. Apabila individu berada dalam situasi yang betul-betul bebas dari berbagai bentuk tekanan atau hambatan yang dapat mengganggu ekspresi sikapnya maka dapat diharapkan bahwa bentuk-bentuk perilaku yang ditampakkannya merupakan ekspresi sikap yang sebenarnya. Artinya, potensi reaksi sikap yang sudah terbentuk dalam diri individu itu akan muncul berupa perilaku aktual sebagai cerminan sikap yang sesungguhnya terhadap sesuatu. Sebaliknya jika individu

Universitas Sumatera Utara

33

mengalami atau merasakan hambatan yang dapat mengganggu kebebasannya dalam mengatakan sikap yang sesungguhnya atau bila individu merasakan ancaman fisik maupun ancaman mental yang dapat terjadi pada dirinya sebagai akibat pernyataan sikap yang hendak dikemukakan maka apa yang diekspresikan oleh individu sebagai perilaku lisan atau perbuatan itu sangat mungkin tidak sejalan dengan sikap hati nuraninya, bahkan dapat sangat bertentangan dengan apa yang dipegangnya sebagai suatu keyakinan. Semakin kompleks situasinya dan semakin banyak faktor yang menjadi pertimbangan dalam bertindak maka semakin sulitlah mempediksikan perilaku dan semakin sulit pula menafsirkannya sebagai indikator (Azwar, 2007).

B. Sikap terhadap kematian 1. Definisi sikap terhadap kematian Secara umum, kematian didefinisikan sebagai kehilangan permanen dari fungsi integratif manusia secara keseluruhan. Namun, terdapat banyak definisi kematian (Hasan, 2006). Kematian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perihal mati. Mati itu sendiri dalam KBBI adalah sudah kehilangan nyawanya, tidak hidup lagi dan tidak bernyawa (Depdiknas, 2005). Kematian merupakan fakta biologis, tapi juga memiliki aspek sosial, budaya, sejarah, agama, hukum, psikologis, perkembangan, medis dan etikal yang saling terkait dekat satu sama lain (Papalia, 2004). Salah satu jenis kematian adalah kematian fisiologis (Physiological death) yang terjadi saat semua proses fisik yang mendukung kehidupan telah hilang, kematian otak (brain death) yaitu

Universitas Sumatera Utara

34

ketiadaan secara total aktivitas otak selama paling tidak 10 menit serta kematian serebral (cerebral death) yaitu hilangnya aktivitas di cerebral cortex. Kematian dapat disimpulkan sebagai proses biologis yang terjadi pada individu saat fungsi-fungsi organ tubuh individu secara fisiologis tidak berfungsi lagi atau tidak bernyawa lagi dan kondisi ini tidak dapat pulih kembali. Berdasarkan berbagai uraian tentang sikap dan tentang kematian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap terhadap kematian adalah kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku terhadap proses biologis yang terjadi saat fungsi-fungsi organ tubuh individu secara fisiologis tidak berfungsi lagi atau tidak bernyawa lagi dan kondisi ini tidak dapat pulih kembali. Hal ini merupakan hasil interaksi dari komponen kognitif, afektif dan perilaku. 2. Aspek-aspek sikap terhadap kematian Sikap yang berkaitan dengan kematian dapat berfokus pada hal-hal berikut (Corr, Nabe & Corr, 2003) : a. Sikap tentang diri individu pada saat sekarat yaitu merefleksikan ketakutan dan kecemasan tentang kemungkinan mengalami proses kematian yang panjang, sulit atau sakit. b. Sikap tentang kematian diri yaitu berfokus kepada apa makna kematian bagi diri individu. c. Sikap tentang apa yang akan terjadi pada diri setelah kematian yaitu berfokus pada apa yang akan terjadi pada diri individu sesudah kematian.

Universitas Sumatera Utara

35

d. Sikap yang berkaitan dengan kematian atau rasa kehilangan orang lain yang dicintai yaitu berfokus pada bagaimana individu memandang kematian orang lain yan dicintai.

3. Faktor yang mempengaruhi Sikap terhadap Kematian Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sikap individu terhadap kematian adalah : a. Usia Ketakutan terhadap kematian berhubungan dengan variabel usia (Nelson & Nelson dalam Lahey, 2003). Lansia secara umum distreotipekan sebagai individu yang menunggu kematian tanpa rasa takut (Barrow, 1996). Lansia memiliki sedikit rasa takut terhadap kematian daripada individu pada usia dewasa awal (Lefrancois, 1993). b. Agama Sikap agama terhadap kematian mempengaruhi bagaimana individu dari usia tertentu memandang kematian (Papalia, 2004). Sikap agama yang dianut individu dapat menjadi prediktor penting untuk menentukan sikap individu terhadap kematian. Christopher, Drummond, Jones, Marek dan Therriault menemukan bahwa religiusitas secara positif berhubungan dengan sikap positif terhadap kematian (misalnya memandang kematian sebagai akhir hidup yang alami) dan secara negatif berkaitan dengan sikap negatif terhadap kematian (misalnya memandang kematian sebagai kegagalan) (Dezutter et all, 2007).

Universitas Sumatera Utara

36

C.Religiusitas 1.Defenisi religiusitas Menurut Drikarya (dalam Widiyanta, 2005) kata “religi” berasal dari bahasa latin ’religio’ yang akar katanya ’religare’ yang berarti mengikat. Maksudnya adalah suatu kewajiban-kewajiban atau atauran-aturan yang harus dilaksanakan, yang kesemuanya itu berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia, serta alam sekitarnya. Mangunwijaya membedakan antara istilah religi atau agama dengan istilah religiusitas. Agama menunjuk pada aspek formal, yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban, sedangkan religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu di dalam hati. Glock & Stark memahami religiusitas sebagai kepercayaan individu tentang ajaran-ajaran agama tertentu yang dianut dan dampak dari ajaran agama, dalam kehidupan sehari-hari (dalam Pujiono, 2006). Religiusitas adalah istilah yang mengacu pada individu yang mencurahkan perhatian yang lebih besar pada agama yang dianutnya (Corsini, 2002). Adisubroto (dalam Widiyanta, 2005) menjelaskan bahwa manusia religius adalah manusia yang struktur mental keseluruhannya secara tetap diarahkan kepada pencipta nilai mutlak, memuaskan dan tertinggi yaitu Tuhan.

Universitas Sumatera Utara

37

Religius adalah suatu keadaan dimana individu merasakan dan mengajui adanya kekuatan tertinggi yang menaungi kehidupan manusia, dan hanya kepadaNya manusia merasa bergantung serta berserah diri. Semakin seseorang mengakui adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya, maka akan semakin tinggi tingkat religiusitasnya (Dister dalam Rahayu, 1997). Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah penghayatan manusia akan ajaran, kewajiban dan aturan agama yang dianutnya yang diamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. 2. Dimensi religiusitas Menurut Glock dan Stark (dalam Rahmat, 2003), dimensi religiusitas antara lain : a. Dimensi Ideologis Dimensi ideologis merupakan bagian dari keberagamaan yang berisi kepercayaan atau doktrin agama yang harus dipercayai. Misalnya kepercayaan umat Kristen terhadap Ketuhanan Kristus dan kepercayaan umat Islam kepada Nabi Muhammad SAW. b. Dimensi Ritualistik Dimensi ritualistik berkaitan dengan perilaku, maksudnya perilaku yang mengacu pada perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan agama. Seperti tata cara ibadah, berpuasa dan pengakuan dosa. c. Dimensi Eksperensial Dimensi eksprensial berkaitan dengan perasaan keagamaan yang dimiliki seseorang. Psikologi menamainya religious experiences (pengalaman

Universitas Sumatera Utara

38

religius). Pengalaman keagamaan ini misalnya kekhusukan dalam sholat dan ketenangan batin saat berdoa.

d. Dimensi Intelektual Dimensi intelektual yaitu informasi khusus tentang suatu agama yang harus diketahui oleh penganutnya. Dimensi ini berhubungan erat dengan pengetahuan tentang agama yang dianut oleh seseorang. e. Dimensi Konsekuensial Dimensi konsekuensial menunjukkan akibat ajaran agama dalam perilaku umum. Dimensi ini merupakan efek ajaran agama pada perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari. D. Lansia 1. Definisi lansia Masa dewasa akhir atau lanjut usia adalah periode perkembangan yang bermula pada usia 60 tahun yang berakhir dengan kematian. Masa ini adalah masa pemyesuaian diri atas berkurangnya kekuatan dan kesehatan, menatap kembali kehidupan, masa pensiun dan penyesuaian diri dengan peran-peran sosial (Santrock, 2006). Lansia merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di dunia. Usia tahap ini dimulai pada usia 60 tahun sampai akhir kehidupan (Hasan, 2006). Masa lansia dibagi dalam tiga kategori yaitu: orang tua muda (young old) (65-74 tahun) , orang tua tua (old-old) (75-84 tahun) dan orang tua yang sangat tua oldest old (85 tahun ke atas) (Papalia, 2005). Barbara Newman & Philip

Universitas Sumatera Utara

39

Newman membagi masa lansia ke dalam 2 periode , yaitu masa dewasa akhir (later adulthood) (usia 60 sampai 75 tahun) dan usia yang sangat tua (very old age) (usia 75 tahun sampai meninggal dunia) (Newman & Newman , 2006). Secara legal atau menurut peraturan pemerintah Indonesia, permulaan usia lanjut telah ditetapkan, yaitu usia untuk pensiun (Suling & Pelenkahu, 1996) : a. Anggota Tentara Nasional Indonesia pensiun pada usia 55 tahun b. Pegawai Negeri Sipil pensiun pada usia 56-58 tahun c. Profesor di perguruan tinggi pensiun pada usia 65 tahun Tahap usia lanjut adalah tahap dimana terjadi penuaan dan penurunan. Penurunan lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan pada usia lanjut daripada pada usia tengah baya. Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel yang mengalami kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, syaraf dan jaringan tubuh lainnya (Hasan, 2006). Penuaan terbagi atas penuaan primer (primary aging) dan penuaan sekunder (secondary aging). Pada penuaan primer tubuh melemah dan mengalami penurunan karena proses normal yang alamiah. Pada penurunan sekunder terjadi proses penuaan karena faktor-faktor ekstrinsik seperti lingkungan atau perilaku (Hasan, 2006). Usia lanjut merupakan periode terakhir dalam hidup manusia yaitu umur 60 tahun ke atas. Masa ini adalah saat untuk mensyukuri segala sesuatu yang sudah ia

Universitas Sumatera Utara

40

capai di masa lalu. Pada saat ini keadaan fisiknya sudah jauh menurun (Irwanto dkk, 1994). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masa dewasa akhir atau masa lanjut usia merupakan periode terakhir dalam rentang hidup manusia, dimulai pada usia 60 tahun dan akan berakhir dengan kematian. Individu pada usia ini diharapkan telah mencapai kematangan dan kebijaksanaan. Periode ini juga ditandai oleh penurunan fisik. 2. Ciri-ciri lansia Sama seperti periode sebelumnya dalam rentang kehidupan seseorang, usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan, sampai sejauh tertentu, apakah pria atau wanita usia lanjut akan melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk (Hurlock, 1999). a. Lanjut usia merupakan periode kemunduran Kemunduran yang dialami individu lanjut usia berupa kemunduran fisik dan mental. Kemunduran itu sebagian datang dari faktor fisik dan sebagian lagi dari faktor psikologis. Penyebab kemunduran fisik ini merupakan suatu kemunduran pada sel-sel tubuh, bukan karena penyakit khusus tapi karena proses menua. Kemunduran dapat juga mempunyai penyebab psikologis, sikap tidak senang terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan dan kehidupan. b. Perbedaan individual pada efek menua Individu menjadi tua secara berbeda karena mereka mempunyai sifat bawaan yang berbeda, sosial ekonomi dan latar pendidikan yang berbeda, dan pola hidup yang berbeda. Perbedaan terlihat diantara individu-individu yang mempunyai

Universitas Sumatera Utara

41

jenis kelamin yang sama, dan semakin nyata bila pria dibandingkan dengan wanita karena menua terjadi dengan laju yang berbeda pada masing-masing jenis kelamin. Bila perbedaan-perbedaan tersebut bertambah sesuai dengan usia, perbedaan-perbedaan tersebut akan membuat individu bereaksi secara berbeda terhadap situasi yang sama. c. Usia tua dinilai dengan kriteria yang berbeda Arti usia tua itu sendiri kabur dan tidak jelas dan tidak dapat dibatasi pada anak muda, maka individu cenderung menilai tua itu dalam hal penampilan dan kegiatan fisik. Bagi usia tua, anak-anak adalah lebih kecil dibandingkan dengan orang dewasa dan harus dirawat, sedang orang dewasa adalah sudah besar dan dapat merawat diri sendiri. Orangtua mempunyai rambut putih dan tidak lama lagi berhenti dari pekerjaan sehari-hari. Banyak individu berusia lanjut melakukan segala apa yang dapat disembunyikan atau disamarkan yang menyangkut tandatanda penuaan fisik dengan memakai pakaian yang biasa dipakai orang muda dan berpura-pura mempunyai tenaga muda. Inilah cara lansia untuk menutupi diri dan membuat ilusi bahwa lansia belum berusia lanjut. d. Berbagai stereotipe orang lanjut usia Banyak stereotipe orang lanjut usia dan banyak kepercayaan tradisional tentang kemampuan fisik dan mental. Stereotipe dan kepercayaan tradisional ini timbul dari berbagai sumber, ada yang melukiskan bahwa usia lanjut sebagai usia yang tidak menyenangkan, diberi tanda sebagai orang secara tidak menyenangkan oleh berbagai media masa. Pendapat klise yang telah dikenal masyarakat tentang usia lanjut adalah pria dan wanita yang keadaan fisik dan mentalnya loyo, usang

Universitas Sumatera Utara

42

sering pikun, jalan membungkuk, dan sulit hidup bersama dengan siapa pun, karena hari-harinya yang penuh dengan manfaat sudah lewat, sehingga perlu dijauhkan dari orang-orang yang lebih muda. e. Sikap sosial terhadap lanjut usia Pendapat klise tentang usia lanjut mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap sosial baik terhadap usia lanjut maupun terhadap individu berusia lanjut. Kebanyakan pendapat klise tersebut tidak menyenangkan, sehingga sikap sosial tampaknya cenderung menjadi tidak menyenangkan. f. Orang lanjut usia mempunyai status kelompok-minoritas Terdapat fakta bahwa jumlah orang usia lanjut dewasa ini bertambah banyak, tetapi status mereka dalam kelompok-minoritas, yaitu suatu status yang dalam beberapa hal mengecualikan lansia untuk tidak berinteraksi dengan kelompok lainnya, dan memberi sedikit kekuasaan atau bahkan tidak memperoleh kekuasaan apapun. Status kelompok-minioritas ini terutama terjadi sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap individu usia lanjut dan diperkuat oleh pendapat klise yang tidak menyenangkan tentang mereka. g. Menua membutuhkan perubahan peran Sama seperti individu berusia madya harus belajar untuk memainkan peranan baru demikian juga bagi yang berusia lanjut. Pengaruh kebudayaan dewasa ini, dimana efisiensi, kekuatan, kecepatan dan kemenarikan bentuk fisik sangat dihargai, mengakibatkan orang berusia lanjut sering dianggap tidak ada gunanya lagi. Lansia tidak dapat bersaing dengan orang-orang yang lebih muda dalam berbagai bidang tertentu, dan sikap sosial terhadap lansia tidak menyenangkan.

Universitas Sumatera Utara

43

h. Penyesuaian yang buruk merupakan ciri-ciri lanjut usia Sikap sosial yang tidak menyenangkan bagi individu usia lanjut, nampak dalam cara orang memperlakukan lansia, maka tidak heran lagi kalau banyak individu usia lanjut mengembangkan konsep diri yang tidak menyenangkan. Hal ini cenderung diwujudkan dalam bentuk perilaku yang buruk. Lansia yang pada masa lalunya sulit dalam menyesuaikan diri cenderung untuk semakin jahat ketimbang mereka yang dalam menyesuaikan diri pada masa lalunya mudah dan menyenangkan. i. Keinginan menjadi muda kembali sangat kuat pada lanjut usia Status kelompok-minioritas yang dikenakan pada individu berusia lanjut secara alami telah membangkitkan keinginan untuk tetap muda selama mungkin dan ingin dipermuda apabila tanda-tanda menua tampak. Berbagai cara-cara kuno, obat yang termanjur untuk segala penyakit, zat kimia, tukang sihir dan ilmu gaib digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Kemudian timbul orang-orang yang bisa membuat orang tetap awet muda, yang dipercaya mempunyai kekuatan magis untuk mengubah usia lanjut menjadi muda lagi. Individu yang memasuki masa lanjut usia mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut (Hutapea, 2005) : a. Perubahan fisik Perubahan fisik yang terjadi sewaktu memasuki usia tua antara lain : 1) Perubahan pada sistem kekebalan atau immunologi, dimana tubuh menjadi rentan terhadap penyakit dan alergi.

Universitas Sumatera Utara

44

2) Konsumsi energik turun secara nyata diikuti dengan menurunnya jumlah energi yang dikeluarkan tubuh atau energy expenditure. 3) Air dalam tubuh turun secara signifikan karena bertambahnya sel-sel mati yang diganti oleh lemak maupun jaringan konektif. 4) Sistem pencernaan mulai terganggu, gigi mulai tanggal, kemampuan mencerna makanan serta penyerapannya menjadi lamban dan kurang efisien, gerakan peristaltik usus menurun sehingga sering konstipasi (susah ke belakang). 5) Perubahan pada sistem metabolik, yang menyebabkan gangguan metabolisme glukosa karena sekresi insulin yang menurun. Sekresi insulin juga menurun karena timbulnya lemak. 6) Sistem saraf menurun yang menyebabkan munculnya rabun dekat, kepekaan bau dan rasa berkurang, kepekaan sentuhan berkurang, pendengaran berkurang, reaksi menjadi lambat, fungsi mental menurun dan ingatan visual berkurang. 7) Perubahan pada sistem pernafasan ditandai dengan menurunnya elastisitas paru-paru yang mempersulit pernafasan sehingga dapat mengakibatkan munculnya rasa sesak dan tekanan darah meningkat. 8) Kehilangan elastisitas dan fleksibilitas persendian, tulang mulai keropos. b. Perubahan psikososial Perubahan psikososial menyebabkan rasa tidak aman, takut, merasa penyakit selalu mengancam, sering bingung, panik dan depresif. Hal itu disebabkan antara lain karena ketergantungan fisik dan sosioekonomi. Ketergantungan sosial

Universitas Sumatera Utara

45

finansial pada waktu pensiun membawa serta kehilangan rasa bangga, hubungan sosial, kewibawaan dan sebagainya. Rasa kesepian bisa muncul karena semua anak telah meninggalkan rumah dan makin sedikitnya teman akrab yang sebaya. Kecemasan dan mudah marah merupakan gejala yang umum yang dapat menyebabkan keluhan susah tidur atau tidur tidak tenang. c. Perubahan emosi dan kepribadian Setiap ada kesempatan, lansia selalu mengadakan introspeksi diri. Terjadi proses pematangan dan bahkan tidak jarang terjadi pemeranan gender yang terbalik. Para wanita lansia bisa menjadi lebih tegar dibandingkan lansia pria, apalagi dalam memperjuangkan hak mereka. Sebaliknya, pada saat lansia, banyak pria tidak segan-segan memerankan peran yang sering distreotipekan sebagai pekerjaan wanita, seperti mengasuh cucu, menyiapkan sarapan, membersihkan rumah dan sebagainya. Persepsi tentang kondisi kesehatan berpengaruh pada kehidupan psikososial, dalam hal memilih bidang kegiatan yang sesuai dan cara menghadapi persoalan hidup. Menurut Mubin dan Cahyadi (2006), fase lanjut usia ditandai dengan perubahan-perubahan sebagai berikut : a. Perubahan yang bersifat fisik : 1) Kekuatan fisik & motorik yang sangat kurang, terkadang ada sebagian fungsi organ tubuhnya tidak dapat dipertahankan lagi. 2) Kesehatan sangat menurun sehingga sering sakit-sakitan. b. Perubahan yang bersifat psikis :

Universitas Sumatera Utara

46

1) Munculnya rasa kesepian, yang mungkin disebabkan karena putra atau putrinya sudah besar dan berkeluarga, sehingga tidak tinggal serumah lagi. Lansia biasanya suka memelihara cucu-cucu untuk mengatasi rasa kesepian tersebut. 2) Berkurangnya kontak sosial dan tugas-tugas sosial akibat kondisi fisik yang menurun. 3) Lekas merasa jenuh dan kadang-kadang menjadi cerewet. 4) Mengalami penurunan dalam hal ingatan, penglihatan atau pendengaran dan kadang-kadang dapat menjadi pikun. 5) Suka bercerita atau bernostalgia tentang kehebatannya di masa lampau. 6) Kehidupan keagamaan sangat baik, terutama dalam hal beribadah dan beramal, karena dari segi usia rata-rata lansia sudah mendekati kematian yang pasti datang menjemputnya. Lansia atau Masa dewasa akhir juga ditandai dengan berbagai tantangan. Tantangan ini termasuk penyesuaian pada masa pensiun, menyesuaikan diri dengan perubahan dalam jaringan dukungan sosial, mengatasi masalah kesehatan dan menghadapi kematian (Wayne & Llyod, 2006). Selain menghadapi kematian diri sendiri, lansia juga kemungkinan menghadapi kematian pasangan, saudara kandung, teman dan individu lain yang penting dalam hidupnya (Corr, Nabe & Corr, 2003). Menurut Erikson, tantangan dalam tahap akhir perkembangan manusia adalah mencapai integritas ego. Individu yang mencapai integritas (integrity) mampu untuk melihat masa lalu dengan perasaan puas, menemukan makna dan tujuan

Universitas Sumatera Utara

47

hidup, sebaliknya keputusasaan (despair) adalah kecenderungan untuk tinggal dalam kesalahan masa lalu, meratapi pilihan yang tidak diambil dan merenung tentang kematian yang semakin dekat dengan kepahitan. Erikson menekankan bahwa lebih baik menghadapi masa depan dengan penerimaan daripada tenggelam dalam penyesalan dan kesedihan. Hasil yang diharapkan pada usia ini adalah pemenuhan dan kepuasan hidup dan kesediaan untuk menghadapi kematian (Wayne & Llyod, 2006). Tujuan tugas perkembangan lansia adalah menyelesaikan konflik pada masa lalu & meraih makna hidup yang baru, baik sebagai penerimaan akan masa lalu lansia maupun sebagai persiapan untuk menghadapi kematian. Jika proses ini berhasil, hasilnya adalah integritas (Integrity) dan kebijaksanaan (Wisdom) (Erickson & Erickson dalam Corr, Nabe & Corr, 2003). Jika tidak berhasil, maka lansia akan merasa tidak puas dengan hal yang telah dilakukan dalam hidupnya (Corr, Nabe & Corr, 2003). Erickson memandang bahwa lansia mencoba untuk menemukan makna dalam hidup yang akan membantu lansia untuk menghadapi kematian yang tidak dapat dielakkan. Ahli gerontologi Robert Butler mengatakan bahwa lansia terlibat dalam proses yang disebut meninjau kehidupan atau life review dimana lansia merefleksikan konflik yang tidak dapat diselesaikan pada masa lalu untuk mendapatkan makna bagi diri sendiri, menemukan makna hidup yang baru dan sesuai serta mempersiapkan diri untuk kematian (Sigelman & Rider, 2003). Integritas mengarah pada kemampuan untuk melihat kembali kehidupan seseorang dan melihatnya sebagai hal yang memuaskan dan bermakna.

Universitas Sumatera Utara

48

Kemampuan melihat hidup sebagai sesuatu yang memuaskan dan bermakna mengarah pada penerimaan kematian. Individu yang putus asa (despair) memandang hidup sebagai hal yang tidak memuaskan, mengalami penyesalan yang besar, menghindari perubahan serta mengalami ketakutan akan kematian (Lemme, 1995). Integritas sebagaimana yang digunkan dalam teori Erickson merupakan kemampuan untuk menerima kenyataan hidup dan menghadapi kematian tanpa rasa takut (Newman & Newman, 2006). 3. Tugas perkembangan lansia Menurut Robert Peck, tahap akhir dari perkembangan Erickson yaitu integritas versus keputusasaan dapat digambarkan dengan tiga tugas-tugas perkembangan atau isu-isu yang dihadapi pria dan wanita saat mereka tua, yaitu : a. Diferensiasi versus kesibukan dengan peran (Differentiation versus preoccupation) Merupakan tugas perkembangan dari Peck dimana individu dewasa lanjut harus mendefinisikan nilai diri dalam istilah yang berbeda dari peran-peran kerja. Peck percaya individu dewasa lanjut perlu mengejar serangkaian aktivitas yang bernilai sehingga dapat mengisi waktu yang sebelumnya diisi dengan pekerjaan dan mengasuh anak. b. Kekuatiran pada tubuh versus kesibukan pada tubuh (Body transcendence versus body preoccupation) Merupakan tugas perkembangan dari Peck dimana individu dewasa lanjut harus mengatasi penurunan kesehatan fisik. Seiring dengan proses menua, individu dewasa lanjut mungkin menderita penyakit kronis dan tentu saja

Universitas Sumatera Utara

49

penurunan kapasitas fisik. Bagi pria dan wanita yang identitasnya berkisar di sekitar kesehatan fisik, penurunan kesehatan dan kerusakan kapasitas fisik akan menghadirkan beberapa ancaman

bagi identitas diri dan

perasaan akan kepuasan hidup. Namun, beberapa individu lansia menikmati hidup melalui hubungan-hubungan antar manusia yang memberi kesempatan untuk keluar dari kesibukan dengan tubuhnya. c. Melampaui ego versus kesibukan dengan ego (Ego transcendence versus ego preoccupation) Merupakan tugas perkembangan dari Peck dimana individu lanjut usia harus menyadari bahwa saat kematian tidak dapat dihindari dan mungkin waktunya tidak terlalu lama, merasa tentram dengan dirinya dengan menyadari individu lansia telah memberikan sumbangan untuk masa depan melalui pengasuhan yang kompeten terhadap anak-anak atau melalui pekerjaan dan ide-ide yang dimiliki oleh lansia.

E. Religiusitas pada Masa Lansia Mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa biasanya merupakan gejala menjadi tua yang amat wajar. Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan benteng pertahanan mental yang amat ampuh dalam melindungi diri dari berbagai ancaman masa tua (Munandar, 2001). Bagi lansia, peribadatan di rumah ibadah merupakan sumber dukungan yang dapat diterima, tersedia dan tidak mengeluarkan banyak biaya. Sosialisasi yang disediakan oleh organisasi religius dapat membantu mencegah isolasi dan

Universitas Sumatera Utara

50

kesepian (Koenig & Larson dalam Santrock, 2004). Pada banyak komunitas di dunia, individu yang berusia lanjut merupakan pemimpin spiritual dalam gereja dan komunitas. Agama merupakan hal yang penting dalam kehidupan para lansia. Lansia sering berdoa, membaca materi-materi keagamaan dan mendengarkan program-program keagamaan (Levin, Taylor & Chatten dalam Santrock, 2004). Lansia wanita memiliki ketertarikan terhadap agama yang lebih besar dibandingkan lansia pria (Santrock, 2004). Bukti dalam sebuah literatur juga menunjukkan bahwa wanita memiliki tingkat yang lebih tinggi dalam hal kehadiran di gereja, lebih patuh pada perintah agama dan lebih sering berbicara kepada pendeta dibandingkan pria (Chatters & Taylor, Cornwall, Greeley, Levin, dalam Smith, Fabricatori & Peyrot, 1999). Suatu penelitian yang berhubungan dengan sikap terhadap kegiatan keagamaan dan agama pada usia tua membuktikan bahwa ada fakta-fakta tentang meningkatnya minat terhadap agama sejalan dengan bertambahnya usia (Hurlock, 1999). Banyak individu yang percaya bahwa agama memainkan peran sentral yang semakin meningkat dalam kehidupan seseorang yang mulai bertambah tua (Sigelman & Rider, 2003).

F. Pengaruh Religiusitas Terhadap Sikap terhadap Kematian pada Lansia Kematian sering kali dianggap merupakan hal yang menakutkan (Hasan, 2006). Perasaan takut untuk mati merupakan hal yang normal bagi kebanyakan orang (Cavanaugh & Kail, 2000). Individu yang akan menghadapi kematian biasanya terlihat menghadapi penderitaan. Bila kematian terjadi, kehidupan

Universitas Sumatera Utara

51

individu di atas dunia ini terputus karena individu yang meninggal tidak dapat kembali lagi ke dunia, bersama-sama dengan keluarga, kerabat dan teman yang dicintai (Hasan, 2006). Walaupun kematian dipandang sebagai hal yang paling buruk, namun menurut Erickson kematian merupakan peristiwa alamiah dan dapat diterima setelah memiliki kehidupan yang utuh. Kematian merupakan saat untuk bertemu Tuhan, untuk bersatu kembali dengan orang-orang yang dikasihi yang telah pergi sebelumnya (Ross & Pollio, dalam Belsky, 1997). Pemikiran akan kematian meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini dapat dipahami sebab lansia lebih cenderung mengalami kematian temanteman dan individu yang dicintai serta cenderung lebih dekat dengan kematian diri sendiri (Lemme, 1995). Lansia secara umum distereotipekan sebagai individu yang menunggu kematian tanpa rasa takut (Barrow, 1996). Lansia memiliki sedikit rasa takut terhadap kematian daripada individu pada usia dewasa awal (Lefrancois, 1993). Alasan lansia lebih tidak takut terhadap kematian daripada individu dewasa awal sebagaimana yang dinyatakan oleh Kalish (dalam Barrow, 1996) adalah karena lansia merasa bahwa tugas-tugas penting di dunia ini telah selesai, lansia cenderung telah mengalami penyakit kronis atau merasakan sakit pada tubuh dan lansia telah banyak kehilangan teman-teman dan kerabat. Kehilangan ini membuat lansia lebih mampu merasakan realitas kematian. Lansia lebih banyak berpikir tentang kematian dan lebih banyak membicarakan kematian dibandingkan dengan individu pada usia dewasa madya atau dewasa muda. Lansia juga mengalami kematian secara lebih langsung seiring

Universitas Sumatera Utara

52

dengan sakit atau meninggalnya teman-teman dan keluarga yang dimiliki. Lansia didorong untuk lebih sering menguji arti kehidupan dan kematian dibandingkan dengan individu dewasa muda (Santrock, 2006). Ketakutan seseorang akan kematian berhubungan dengan variabel lain selain variabel usia. Salah satu faktor yang signifikan adalah keyakinan agama. Individu yang tingkat religiusitasnya tinggi cenderung mengalami sedikit rasa takut akan kematian. Individu yang tidak religius mengalami tingkat kecemasan akan kematian

pada

level

sedang,

sedangkan

individu

religius

yang

tidak

mempraktikkan kepercayaan mereka secara konsisten mengalami ketakutan akan kematian dengan tingkat yang paling besar (Nelson & Nelson dalam Lahey, 2003). Ketakutan akan kematian berhubungan dengan rendahnya tingkat religiusitas, kurangnya dukungan sosial dan pusat kendali eksternal (external locus of control) (Newman & Newman, 2006). Agama dapat menambah kebutuhan psikologis yang penting pada individu lansia, membantu mereka menghadapi kematian, menemukan dan menjaga rasa kebermaknaan dalam hidup, serta menerima kehilangan yang tak terelakkan di masa tua (Koenig & Larson, dalam Santrock 1999). Banyak studi menunjukkan bahwa individu yang religius memiliki tingkat ketakutan yang sedikit atas kematian diri sendiri dan orang yang dikasihi. Individu yang religius lebih cenderung mendeskripsikan kematian dengan cara yang positif (Belsky, 1997). G.Hipotesa Penelitian Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada pengaruh positif religiusitas terhadap sikap terhadap kematian pada lansia

Universitas Sumatera Utara