BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 INDUSTRI PERTAMBANGAN AIR ASAM

Download Permasalahan air asam tambang adalah salah satu dampak potensial yang dihadapi ... Air asam tambang juga mengandung logam berat seperti ...

0 downloads 485 Views 533KB Size
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Industri Pertambangan Air asam tambang adalah salah satu permasalahan lingkungan yang

dihasilkan oleh industri pertambangan. Air asam tambang merupakan hasil dari oksidasi batuan yang mengandung pirit (FeS 2 ) dan mineral sulfida dari sisa batuan yang terpapar oleh oksigen yang berada dalam air (Elberling.et.al, 2008). Permasalahan air asam tambang adalah salah satu dampak potensial yang dihadapi industri pertambangan. Air asam tambang juga mengandung logam berat seperti besi (Fe), alumunium (Al), mangan (Mn). Kesalahan dalam pemantauan, pengumpulan dan pengolahan air asam tambang dapat menyebabkan kontaminasi terhadap air tanah dan air permukaan yang berdampak kepada ekosistem, manusia dan struktur bangunan (MEND Program, 1997). Seperti diketahui beberapa komponen atau kegiatan pertambangan menghasilkan dampak yang serius terhadap lingkungan. Kolam tailing (tailing impoundment) dan penempatan batuan sisa (waste rock piles) merupakan bagian yang harus benar-benar diperhatikan karena menghasilkan dampak negatif terhadap saluran air, tanah dan air permukaan (Bussiere, 2009). Langkah pertama yang digunakan untuk mengelola air asam tambang adalah dengan mengetahui sumber produksi pembentuk potensial asam. Produksi potensial asam umumnya berasal dari penilaian melalui sisa batuan (waste rock) yang dianalisis, dimana dapat dibagi atas 2 kategori analisis, yaitu analisis statis atau analisis dinamis atau kinetik. Dalam tes statis, seluruh analisis batuan digunakan untuk memprediksi kualitas air asam tambang, dengan asumsi bahwa

Universitas Sumatera Utara

mineral – mineral spesifik yang terdiri dari batuan sisa akan bereaksi dengan air akan menghasilkan tingkat asam atau basa yang bervariasi. Alternatif lain adalah test dinamis yang secara empiris menentukan kualitas lindi berdasarkan subjek batuan sampel yang disimulasikan dengan proses pelapukan dan pemantauan kualitas efluen yang dihasilkan. Masing – masing teknik mempunyai kelebihan dan kekurangan satu dengan yang lainnya (Bradham dan Carrucio, 1990).

2.2

Air Asam Tambang (AAT) Air asam tambang (AAT) dihasilkan di atau dalam sisa batuan, tailing,

dinding pit tambang terbuka dan tambang bawah tanah. Mineral sulfida seperti pirit teroksidasi dan hadir di air dan udara melalui oksigen yang menghasilkan air asam tambang melalui proses kimia dan biokimia. Oksidasi mineral sulfida dapat dideskripsikan dengan persamaan (Morin and Hutt, 1997 dalam Bussiere, 2009) dengan langkah pertama terjadinya oksidasi langsung dari pirit (FeS 2 ) oleh oksigen yang menghasilkan sulfat (SO 4 2-), ferrous iron (Fe2+) dan keasaman (H+) : 2FeS 2 + 7O 2 + 2H 2 O = 2Fe2+ + 4SO 4 2- + 4H+

(1)

Reaksi selanjutnya ferrous iron teroksidasi menjadi ferric iron (Fe3+). 2Fe2+ + 1/2O 2 + 2H+ = 2Fe3+ + H 2 O

(2)

Ferrous iron juga dapat teroksidasi menghasilkan iron hidroksida (FeOOH) dan keasaman. Fe2+ + 1/4O 2 + 3/2H 2 O = FeOOH + 2H+

(3)

Pada saat pH > 4, Fe3+ akan terendapkan sebagai ferric hidroksida (Fe(OH) 3 ), lepas ke lingkungan dengan sangat asam. Fe3+ + 3H 2 O = Fe(OH) 3 + 3H+

(4)

Universitas Sumatera Utara

Pada saat pH < 4, Ferric iron akan larut dan mengoksidasi pirit secara langsung dan melepas asam kesekelilingnya dengan bebas. FeS 2 + 14Fe3+ + 8H 2 O = 15Fe2+ + 2SO 4 2- + 16H+

(5)

Secara keseluruhan reaksi oksidasi pirit dapat diperlihatkan sebagai berikut : FeS 2 + 15/4O 2 + 7/2H 2 O = Fe(OH) 3 + 2H 2 SO 4

(6)

Oksidasi 1 mol pirit akan menghasilkan 2 mol asam sulfur. Secara umum pertimbangan literatur (Aubertin et al, 2002 dalam Bussiere 2009) bahwa oksidasi oleh oksigen (persamaan 1) berlangsung pada pH netral (5 < pH > 7), sementara itu oksidasi tidak langsung (Persamaan 5) lebih dominan pada pH rendah (pH < 3).

Persamaan

diatas

berdasarkan

pada

persamaan

stoikiometri

tanpa

mempertimbangkan kondisi kinetik setiap reaksi. Seperti nilai rata-rata oksidasi sebagai fungsi faktor penambah (Jerz dan Rimstidt, 2004 dalam Bussiere, 2009), supply oksigen, temperatur, pH, aktivitas bakteri, luas paparan. Pertimbangan secara umum rata-rata reaksi dikontrol oleh (persamaan 2). Rata-rata reaksi berjalan lambat pada pH rendah, tetapi meningkat dengan cepat dan menurunkan pH karena adanya bakteri. Contohnya Acidithiobaccilus ferrooxidans sebagai katalisator reaksi oksidasi ferrous iron menjadi ferric iron. Kualitas kimia dari drainase juga tergantung dari mineral lain yang ada di batuan sisa. Asam dapat bereaksi dengan penetral oleh karbonat dan mineral sillicate, yang dapat dipertimbangkan sebagai penetral utama adalah calcite (CaCO 3 ) dan dolomite (CaMg(CO 3 ) 2 ) (Lapakko,1992). 2CaCO 3 + H 2 SO 4 = 2Ca2+ + 2HCO3- + SO 4 2(7)

Universitas Sumatera Utara

CaMgCO 3 2- + H 2 SO 4 = Ca2+ + Mg2+ + 2HCO3- + SO 4 2-

(8)

Persamaan diatas memperlihatkan bahwa 2 mol calcite dan 1 mol dolomit dibutuhkan untuk menetralkan 1 mol asam sulfur. Kapasitas mineral penetral untuk membatasi pembentukan air asam tambang juga tergantung kepada faktor yang berbeda beda untuk mempengaruhi proses reaksi seperti : temperatur, pH, tekanan, permukaan mineral. Ketika potensi penetral kurang dari potensial pembentukan asam, air asam tambang akan terjadi dan diperlukan pengukuran yang akurat dan tindakan mitigasi. Beberapa tahun terakhir, beberapa teknik telah diajukan untuk membatasi dampak air asam tambang terhadap lingkungan. Salah satu pendekatan yang dikembangkan untuk mengontrol produksi air asam tambang dari tailing dan batuan sisa adalah dengan mengeliminasi atau menghilangkan satu atau lebih dari 3 komponen utama reaksi oksidasi yaitu : oksigen, air dan mineral sulfida. Beberapa metode yang dikembangkan adalah : a. Ekstraksi sulfida Kehadiran mineral sulfida adalah esensi utama pembentukan air asam tambang. Air asam tambang dapat dikontrol dengan melakukan ekstraksi mineral sulfida sehingga membatasi pembentukan air asam tambang di lingkungan. Recovery atau penyimpanan mineral sulfida yang diperlukan tergantung kepada jumlah mineral penetral. Teknik yang berbeda dapat digunakan seperti flotasi dan pemisahan dengan gravimetri dapat digunakan untuk memisahkan sulfida dari tailing (Bussiere, 1998). Metode kontrol seperti ini secara umum sangat aplikatif untuk pertambangan yang sedang beroperasi.

Universitas Sumatera Utara

b. Hambatan oksigen / oxygen barriers Oksigen merupakan salah satu komponen kunci terhadap pembentukan air asam tambang. Membatasi kemampuan oksigen bereaksi pada batuan sisa adalah salah satu teknik yang paling sering digunakan untuk mengontrol air asam tambang, terutama pada daerah lembab (MEND, 2008). Pendekatan yang berbeda dapat digunakan untuk menghambat oksigen dengan cara menempatkan pelindung air dan megatur elevasi air tanah.

2.3

Pengolahan Air Asam Tambang Pemilihan pengolahan air asam tambang dikategorikan atas 2 yaitu

pengolahan pasif dan pengolahan aktif. Pengolahan yang paling umum digunakan adalah dengan metode mengolah debit air asam tambang dengan pengolahan aktif dimana pengolahan menggunakan kimia penetral yang ditambahkan terus menerus ke air asam tambang. (Johnson and Hallberg, 2005 dalam Newcombe, 2009). Proses penetralan air asam tambang ini akan mengendapkan logam-logam terlarut dan akan membentuk selimut lumpur (sludge blanket). Kelemahan dari pengolahan aktif ini adalah memerlukan biaya yang besar dan memindahkan atau membuang selimut lumpur yang mengandung logam. Pemilihan metode pasif dalam pengolahan air asam tambang dibandingkan dengan pengolahan secara aktif mempunyai kelebihan terutama dari segi perawatan dan biaya yang lebih rendah. Sistem pengolahan pasif hanya memerlukan perawatan dan penggantian secara periodik.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 dibawah ini memperlihatkan beberapa alternatif pemilihan pengolahan air asam tambang.

AA

Pengolahan aktif

Abiotik

Penetral kimia

Biologis

Bioreaktor

Pengolahan pasif

Abiotik

Biologis

Saluran batu kapur

Kolam aerobik

Saluran batu kapur b k

Kolam Anaerobik

Hambatan aktif

Hambatan aktif

Gambar 2.1 Pemilihan pengolahan air asam tambang (amd), Johnson and Hallberg, 2005a Dalam Newcombe (2009)

2.4

Metoda Successive Alkalinity Producing System (SAPS) Successive Alkalinity Producing System (SAPS) merupakan salah satu

metode pengolahan pasif air asam tambang yang terdiri atas lapisan bahan organik dan batu kapur. Keduanya disusun secara vertikal dengan ketebalan tertentu. Air asam tambang yang diolah akan mengalir secara vertilal ke dalam sistem berdasarkan tekanan gravitasi hidrolik. Pada sistem SAPS terdapat dua proses utama yang menyebabkan terjadinya Peningkatan pH dan reduksi logam, yakni larutnya batu kapur dan

Universitas Sumatera Utara

reduksi sulfat secara biologis. Kedua proses ini menghasilkan alkalinitas dalam bentuk bikarbonat sebagai senyawa penetral. Lapisan bahan organik yang umum digunakan adalah komposisi produk organik sisa yang biasanya dari industri perkembangbiakan jamur yang disebut dengan Spent Mushroom Substrat (SMS). SMS merupakan material organik yang bersifat heterogen yang mengandung serbuk gergaji, kotoran hewan, dedak dan gypsum. SMS ini mengandung nutrient dan penyedia sumber Karbon (Newcombe, 2009). Media SMS ini sangat kaya jenis mikrobiologi di dalamnya, tinggi kandungan organiknya tetapi rendah konsentrasi material esensi nutrient untuk tumbuhan. Serbuk gergaji yang terdapat dalam komposisi SMS berfungsi sebagai penyedia nutrisi bagi jamur. Sebelum digunakan sebagai media, biasanya serbuk kayu harus dikompos terlebih dahulu agar bisa terurai menjadi senyawa yang lebih sederhana agar mudah dicerna oleh jamur. Proses pengomposan berlangsung 1 – 2 hari menggunakan plastik atau terpal. Alternatif bahan yang digunakan untuk mengganti serbuk kayu adalah berbagai macam ampas, misalnya ampas kopi, ampas kertas, ampas tebu dan ampas teh. Dedak atau bekatul berfungsi sebagai substrat dan penghasil kalori untuk pertumbuhan jamur (Chazali dan Pratiwi, 2010). Aspek desain SAPS yang harus diperhatikan adalah temperatur antara 40o C dan terendah 1o C, dengan reduksi sulfat sebesar 20% (Gusek et al, 2002 dalam Bhattacharya et al 2008), tipikal reduksi sulfat antara 200 – 600 mmol/m3/hari, rekomendasi adalah 300 mmol/m3/hari untuk desain SAPS (Wildeman et al, 1994 dalam Bhattacharya et al, 2008). Studi yang dilakukan oleh Thomas et al, 2006

Universitas Sumatera Utara

dalam Bhattacharya et al, 2008 menyatakan bahwa logam terlarut seperti Fe, Al, Cu, Zn dan Ni dapat terakumulasi dalam substrat sepanjang waktu, walaupun fase akumulasi berubah terhadap loading rate dan waktu. Dengan ketebalan batu kapur 1 m dan diameter 1,3 – 1,9 cm dapat menghasilkan paling sedikit 100 mg/L alkalinitas untuk periode 10 tahun. Menurut Neculita (2009), efisiensi pengolahan secara pasif air asam tambang dengan bioreaktor, dalam hal ini SMS dan batu kapur dapat menaikkan pH dari 2,9-5,7 menjadi pH 6 dan mereduksi logam 60-82% untuk logam Fe, dan 99,9% untuk logam Cd, Ni dan Zn dengan hidraulic retention times (HRTs) atau waktu kontak 7,3 dan 10 hari.

2.5

Adsorpsi dan Jenis Adsorpsi Adsorpsi adalah proses dimana satu atau lebih unsur-unsur pokok dari

suatu larutan fluida akan lebih terkonsentrasi pada permukaan suatu padatan tertentu (adsorben). Dengan cara ini, komponen-komponen dari suatu larutan, baik dari larutan gas ataupun cairan, bisa dipisahkan satu sama lain (Treybal, 1980). Adsorpsi melibatkan proses perpindahan massa dan menghasilkan kesetimbangan distribusi dari satu atau lebih larutan antara fasa cair dan partikel. Pemisahan dari suatu larutan tunggal antara cairan dan fasa yang diserap membuat pemisahan larutan dari fasa curah cair dapat dilangsungkan. Berdasarkan interaksi molekular antara permukaan adsorben dengan adsorbat, adsorpsi dibagi menjadi 2 (dua) jenis : 1. Adsorpsi fisik adalah adsorpsi yang terjadi akibat gaya interaksi tarik-menarik antara molekul adsorben dengan molekul adsorbat. Adsorpsi ini melibatkan

Universitas Sumatera Utara

gaya-gayaVan der Wals (sebagai kondensasi uap). Jenis ini cocok untuk proses adsorpsi yang membutuhkan proses regenerasi karena zat yang teradsorpsi tidak larut dalam adsorben tapi hanya sampai permukaan saja. Pada adsorpsi fisik, adosrbat tidak terikat kuat pada permukaan adsorben sehingga adsorbat dapat bergerak dari satu bagian permukaan ke bagian permukaan lainnya. Permukaan yang ditinggalkan oleh adsorbat dapat digantikan oleh adsorbat lainnya (multilayer). 2. Adsorpsi Kimia Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang terjadi akibat interaksi kimia antara molekul adsorben dengan molekul adsorbat. Proses ini pada umumnya menurunkan kapasitas dari adsorben karena gaya adhesinya yang kuat sehingga proses ini tidak reversibel. Ikatan yang terbentuk merupakan ikatan yang kuat sehingga lapisan yang terbentuk adalah lapisan monolayer.

2.6

Jenis Adsorben Adsorben merupakan material berpori dan proses adsorpsi berlangsung di

dinding pori. Adsorben dapat digolongkan menjadi 2 (dua) jenis yaitu adsorben tidak berpori (non-porous sorbents) dan adsorben berpori (porous sorbents). 1.

Adsorben tidak berpori (non-porous sorbents)

Adsorben tidak berpori dapat diperoleh dengan cara presipitasi deposit kristalin seperti BaSO 4 atau penghalusan padatan kristal. Luas permukaan spesifiknya kecil, tidak lebih dari 10 m2/g dan umumnya antara 0,1 – 1 m2/g. adsorben tidak berpori seperti filter karet (rubber filters) dan karbon bergrafit (graphitized carbon blacks) adalah jenis adsorben tidak berpori yang telah

Universitas Sumatera Utara

mengalami perlakuan khusus sehingga luas permukaannya dapat mencapai ratusan m2/g.

2.

Adsorben berpori

Luas permukaan spesifik adsorben berpori berkisar antara 100 – 1000 m2/g. Beberapa jenis adsorben berpori yang telah digunakan secara komersial antara lain adalah karbon aktif, zeolit, silica gel, activated alumina.

2.7

Kulit Bagian Dalam Ubi Kayu Sebagai Adsorben Karbon Aktif Karbon aktif merupakan arang yang telah diproses sedemikian rupa

dengan cara diaktifasi oleh suatu zat sehingga mempunyai daya serap yang tinggi. Karbon atau arang merupakan padatan berpori yang mengandung 85-95% karbon, dihasilkan dari pemanasan pada suhu tinggi. Luas permukaan karbon aktif 300 – 3500 m2/g yang berhubungan dengan struktur pori internal yang berhubungan dengan struktur pori internal yang menyebabkan karbon aktif mempunyai sifat sebagai adsorber (Darmawan, 2010). Kulit ubi kayu termasuk jenis sampah organik. Kulit ubi kayu mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi. Kulit ubi kayu dapat dimanfaatkan sebagai bahan karbon aktif. (Darmawan, 2011). Karakteristik ubi kayu (manihot esculenta crantz) yang efektif dalam menyerap logam berat (Obiri et al, 2006). Dalam pemanfaatan ubi kayu sebagai bahan makanan dalam pengolahannya, ubi kayu harus dikupas terlebih dahulu. Dengan kata lain kulit ubi kayu merupakan limbah dari pengolahan ubi kayu yang cukup besar. Pemanfaatan kulit ubi kayu secara komersil masih sedikit. Hal ini disebabkan karena kulit ubi kayu mengandung 3-5

Universitas Sumatera Utara

kali lebih banyak kadar asam sianida (HCN) dari ubinya yang sangat berbahaya jika dikonsumsi oleh manusia (Darmawan, 2010). Menurut Darmawan (2010), salah satu cara untuk mengatasi limbah kulit ubi kayu adalah dengan membuatnya menjadi lebih berguna dan mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi, yaitu sebagai bahan baku pembuatan karbon aktif. Dalam penelitian Koeswardhani (1995) yang melakukan analisis adsorpsi logam Fe dan Zn pada limbah cair industri tekstil dengan karbon aktif bubuk menyatakan bahwa efektivitas adsorpsi karbon aktif dipengaruhi waktu kontak. Waktu kontak terbaik adalah 10 menit/liter dan kadar terendah yaitu 7,5% (75 gram karbon aktif/liter limbah cair). Dari penelitian ini juga disebutkan bahwa karbon aktif masih efektif digunakan sebanyak 20 kali tanpa regenerasi. Menurut Wasay, et.al, 1997 menyatakan bahwa karbon aktif berbentuk granular mempunyai efektivitas mengadsorpsi logam (Cd, Cu, Cr, Hg, Mn, Pb dan Zn) dari air lindi remediasi tanah yang terkontaminasi logam berat dengan efektivitas 96 – 97% dengan pH antara 5,4-6,9 dan waktu kontak 5 – 7 jam. Remediasi harian tanah 20 ton atau 10 m3 yang terkontaminasi logam berat yang menghasilkan volume 62,5 m3 lindi dengan kadar 148 mg/L logam berat memerlukan 575 kg granular karbon aktif. Regenerasi karbon aktif dilakukan dengan cairan HCl. Faktor – faktor yang mempengaruhi performa karbon aktif sebagai adsorber adalah (Desilva, 2010) : 1.

Berat molekul

Universitas Sumatera Utara

Dengan meningkatnya berat molekul maka daya serap akan semakin meningkat karena molekul terlarut di dalam air. Struktur pori dari karbon harus cukup besar untuk dapat dilewati oleh molekul terlarut.

2.

pH

Penyerapan biasanya dipengaruhi oleh konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Untuk asam – asam organik adsorpsi akan meningkat bila pH diturunkan atau pH rendah. Bila pH asam dinaikkan dengan penambahan alkali, adsorpsi akan berkurang sebagai akibat terbentuknya garam. 3.

Ukuran partikel

Ukuran partikel karbon aktif berpengaruh terhadap penyerapan logam. Ukuran partikel yang tersedia 8-50 mesh. Ukuran yang terbaik 20-50 mesh. 4.

Laju Aliran

Secara umum, laju aliran yang rendah mengakibatkan waktu kontak yang lebih lama. Ukuran partikel 20 – 50 mesh mengalirkan dua kali lebih cepat dari 12 – 40 mesh, dan 12 – 40 mesh mengalirkan dua kali lebih cepat dari ukuran 8 - 30 mesh. Kapasitas adsorpsi dapat dihitung dengan menggunakan rumus : q t = (Co – Ct).V m

(9)

dimana : qt : kapasitas adsorpsi dalam waktu t (mg adsorbate/g adsorbent) Co : konsentrasi logam (mg/L) Ct : konsentrasi residual setelah adsorpsi (mg/L) V : volume sampel (l) m : massa adsorbent (g)

Universitas Sumatera Utara

Untuk menghitung persentase (%) penyisihan logam dapat dihitung dengan menggunakan rumus : (10) 2.8

Percobaan Batch Sistem batch merupakan pengoperasian yang sederhana. Tujuan dari

sistem ini adalah untuk mengetahui karakteristik adsorbat dan adsorbant yang dinyatakan dalam hubungan antara penurunan adsorbate dan berat adsorbent dalam suatu koefisien dari persamaan yang ada (Reynold,1982). Partikel adsorben ditempatkan di dalam sebuah larutan adsorbat dan diaduk untuk mendapatkan kontak yang merata sehingga terjadi proses adsorpsi. Konsentrasi larutan awal (Co) akan berkurang dan bergerak ke konsentrasi kesetimbangan (Ce) setelah waktu tertentu. Makin lama waktu kontak maka makin setimbang larutan tersebut (Eckenfelder, 2000). Kuantitas adsorbat yang dapat diadsorpsi oleh adsorben merupakan fungsi dari dua hal yaitu karakteristik dan konsentrasi adsorbat. Umumnya jumlah adsorbat ditentukan dari fungsi konsentrasi pada suhu konstan, dan menghasilkan fungsi yang disebut isoterm adsorpsi. Pendekatan dengan model isoterm dapat membantu menganalisis karakteristik isoterm berupa kapasitas, afinitas, selektifitas serta mekanisme interaksi adsorpsi. Persamaan yang sering digunakan untuk menggambarkan data isoterm adsorpsi secara eksperimental dilakukan oleh Freundlich, Langmuir, Brunauer Emmet Teller (BET isoterm).

2.9

Isoterm Freundlich

Universitas Sumatera Utara

Menurut Metcalf and Eddy (2003), secara empiris penurunan rumus isoterm Freundlich adalah sebagai berikut : f

C e 1/n

(11)

Dimana : x/m : jumlah adsorbat yang terserap per unit berat adsorben Ce : konsentrasi kesetimbangan adsorbat dalam larutan setelah proses adsorpsi Kf,n : konstanta empiris Model isoterm Freundlich menggunakan asumsi bahwa adsorpsi berjalan secara fisika. Konstanta dalam isoterm Freundlich dapat ditentukan dengan membuat grafik antara q (x/m) versus C, dan menggunakan kembali persamaan di atas yang sudah dilogkan menjadi : (12) Dari persamaan linier dapat dibuat kurva linear adsorpsi isoterm Freundlich yang dapat diketahui nilai konstanta Freundlich dengan pendekatan dan plot nilai log q dengan nilai log C sehingga akan didapatkan slope (m) = 1/n dan intercept (b) = log k. Jika konsentrasi zat terlarut relatif tinggi, penggunaan persamaan diatas menjadi tidak sesuai karena akan menyebabkan terjadinya penyimpangan. Selain itu isoterm Freundlich juga digunakan untuk identitas zat terlarut tidak diketahui misalnya adsorpsi mineral, minyak nabati dan warna (Sawyer, 2003).

2.10

Isoterm Langmuir

Universitas Sumatera Utara

Menurut Metcalf and Eddy (2003), isoterm adsorpsi Langmuir didefinisikan sebagai berikut : (13)

Dimana : x/m : jumlah adsorbat yang terserap per unit massa adsorban a,b : konstanta empiris Ce : konsentrasi kesetimbangan adsorbat dalam larutan setelah adsorpsi Isoterm adsorpsi Langmuir dikembangkan dengan mengasumsikan bahwa (1) sejumlah bagian adsorbat tetap tersedia pada permukaan adsorban, dimana bagian permukaan tersebut memiliki energi yang sama, (2) adsorpsi yang terjadi reversible (dua arah). Kesetimbangan terjadi apabila kecepatan adsorpsi molekul ke dalam permukaan sama dengan kecepatan desorpsi dari permukaan. Konstanta isoterm Langmuir dapat ditentukan dengan membuat grafik antara C/(x/m) versus C dan mengubah persamaan diatas menjadi : (14) Dari persamaan linear diatas dapat dibuat kurva linear adsorpsi isoterm Langmuir dan dapat diketahui nilai konstanta Langmuir dengan pendekatan plot nilai Ce/(x/m) dan nilai Ce sehingga akan didapatkan slope (m) = 1/ab dan intercept (b) = 1/a.

2.11

Isoterm Brunauer – Emmet – Teller (BET)

Universitas Sumatera Utara

Selain dua persamaan isoterm diatas, pada adsorpsi juga berlaku persamaan isoterm Brunauer – Emmet – Teller (BET). Persamaan ini digunakan dengan asumsi untuk mendiskripsikan adsorpsi multilayer (Metcalf, 2003). Selain itu asumsi pada model persamaan BET adalah : 1. Molekul terserap tidak berpindah ke permukaan 2. Entalpi adsorpsi konstan pada setiap molekul di setiap lapisan 3. Semua molekul di luar lapisan pertama memiliki energi yang sama untuk adsorpsi 4. Untuk memulai pada lapisan yang lain lapisan sebelumnya tidak harus penuh Berdasarkan atas asumsi di atas, bentuk persamaan BET adalah : (15) Dimana : q

: x/m : jumlah adsorbat yang terserap per unit massa adsorban

qm

: maksimum adsorbat teradsorpsi

Cs

: konstanta awal larutan

Kb

: konstanta (tergantung pada energi adsorpsi)

Persamaan tersebut dapat diubah menjaadi persamaan linear menjadi persamaan seperti dibawah ini (Metcalf, 2003) (16)

2.12

Analisis Regresi

Universitas Sumatera Utara

Analisis regresi merupakan salah satu alat statistika yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antara dua variabel, sehingga suatu variabel dapat diprediksi dari variabel yang lain. Analisis regresi juga dapat dilakukan untuk mengetahui linearitas variabel terikat dengan variabel bebasnya. Analisis regresi sebagai kajian terhadap hubungan satu variabel sebagai variabel yang diterangkan (the explained variable) dengan satu atau dua variabel yang menerangkan (the explanatory). Variabel pertama disebut juga variabel tergantung dan variabel kedua disebut juga variabel bebas. Jika variabel bebas lebih dari satu maka analisis regresi disebut regresi linear berganda. Regresi sederhana adalah bentuk regresi dengan model yang bertujuan untuk mempelajari hubungan antara dua variabel yakni variabel independen (bebas) dan variabel dependen (terikat). Jika ditulis dalam bentuk persamaan model regresi sederhana adalah : y = a + bx

(17)

Dimana : y = variabel dependen (terikat) x = variabel independen (bebas) a = penduga bagi intercept (α) b = penduga bagi koefisien regresi (β)

2.13

Analisis Korelasi Dalam ilmu statistika ada dua macam hubungan antara dua variabel yang

relatif sering digunakan yaitu bentuk hubungan dan keeratan hubungan. Bentuk hubungan bisa diketahui melalui analisis regresi, sedangkan keeratan hubungan dapat diketahui melalui analisis korelasi.

Universitas Sumatera Utara

Koefisien determinasi (R2) adalah satu ukuran yang digunakan untuk mengukur pengaruh variabel independen terhadap variasi variabel

dependen

dengan nilai 0 < R2 < 1. Bagian dari keragaman total variabel dependen (terikat) yang dapat diterangkan atau diperhitungkan oleh keragaman variabel independen (bebas). Koefisien determinasi pada regresi linear sering diartikan sebagai seberapa besar kemampuan semua variabel bebas dalam menjelaskan varians dari variabel terikatnya. Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui derajat linear antara dua variabel atau lebih. Hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain dapat merupakan hubungan yang terjadi dengan ketidaksengajaan, tetapi dapat juga merupakan hubungan sebab akibat. Besarnya hubungan antara variabel yang satu dengan yang lain dinyatakan dengan koefisien korelasi yang disimbolkan dengan huruf “r”. Besarnya koefisien korelasi akan berkisar antara -1 (negatif 1) sampai dengan +1 (positif satu). -1 < r < +1 Keterangan

: + menunjukkan korelasi positif - menunjukkan korelasi negatif 0 menunjukkan tidak adanya korelasi

a.

Korelasi positif

Terjadi korelasi positif apabila perubahan pada variabel yang satu diikuti dengan perubahan variabel yang lain dengan arah yang sama (berbanding lurus). Artinya apabila variabel yang satu meningkat maka akan diikuti dengan peningkatan

Universitas Sumatera Utara

variabel yang lain. Apabila variabel yang satu turun, maka akan diikuti dengan penurunan variabel yang lain. b.

Korelasi negatif

Korelasi negatif terjadi apabila perubahan pada variabel yang satu diikuti dengan perubahan pada variabel yang lain dengan arah yang berlawanan (berbanding terbalik). Artinya apabila variabel yang satu meningkat maka akan diikuti dengan penurunan variabel yang lain. Apabila yang satu turun maka akan diikuti dengan peningkatan variabel yang lain. c.

Korelasi nihil

Korelasi nihil terjadi apabila perubahan pada variabel yang satu diikuti dengan perubahan pada variabel yang lain dengan arah yang tidak teratur (acak). Artinya apabila variabel yang satu meningkat diikuti dengan peningkatan variabel yang lain atau sebaliknya.

Universitas Sumatera Utara