BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suspensi - USU-IR

Menurut joenoes (1990), beberapa faktor penting dalam formulasi sediaan obat bentuk suspensi adalah : - Derajat kehalusan partikel yang terdispersi,...

46 downloads 439 Views 473KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suspensi Suspensi adalah sediaan yang mengandung bahan obat dalam bentuk halus yang tidak larut tetapi terdispersi dalam cairan. Zat yang terdispersi harus halus dan tidak boleh cepat mengendap, jika dikocok perlahan-lahan endapan haris segera terdispersi kembali. Suspensi umumnya mengandung zat tambahan untuk menjamin stabilitasnya, sebagai stabilisator dapat dipergunakan bahan-bahan disebut sebagai emulgator (joenoes, 1990). Suspensi juga dapat didefenisikan sebagai preparat yang mengandung partikel obat yang terbagi sevara halus (dikenal sebagai suspensoid) disebarkan secara merata dalam pembawa dimana obat menunjukan kelarutan yang sangat minimum. Beberapa suspensi resmi diperdagangkan tersedi dalam bentuk siap pakai, telah disebarkan dalam cairan pembawa dengan atau tanpa penstabil dan bahan tambahan farmasetik lainnya (Ansel, 1989). Bahan obat yangdiberikan dalam bentuk suspensi yntuk obat minum, mempunyai keuntungan bahwa (oleh karena partikel sangat halus) penyarapan zat berkhasiatnya lebih cepat dari pada bila obat diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet, bioavailabilitasnya pun baik. Suspensi dapat dibagi dalam dua jenis yaitu: suspensiyang siap digunakan atau suspensi yang dikonstitusikan dengan jumlah air untuk injeksi atau pelarut lain yang sesuai sebelum digunakan. Suspensi tidak boleh diinjeksikan secara intevena. Pada bentuk sediaan suspensi harus diperhatikan bahawa obatnya betul diminum denagn sendok yang sesuai, sehingga obat diminum dengan dosis yang tepat (loenoes, 1990).

Universitas Sumatera Utara

Menurut joenoes (1990), beberapa faktor penting dalam formulasi sediaan obat bentuk suspensi adalah : - Derajat kehalusan partikel yang terdispersi, - Tidak tebentuk garam kompleks yang tidak dapat diabsorbsi dari saluran pencernaan. - Tidak terbentuk kristal/hablur, - Derajat viskositas cairan. Menurut Ansel (1989), sifat-sifat yang diinginkan dalam semua sediaan farmasi dan sifat-sifat lain yang lebih spesifik untuk suspensi untuk suspensi farmasi adalah : 1. Suatu suspensi farmasi yang dibuat dengan tepat mebgendap secara lambat dan harus rata bila dikocok. 2. Karakteristik suspensi harus sedenikian rupa sehingga partikel dari suspensoid tetap agak konstan untuk yang lama pada penyiapan. 3. Suspensi harus bisa dituang dari wadah dengan cepat dan homogen. 2.2. Sirup Sirup dalah bentuk sediaan cair yang mengandung Saccharosa atau gula. Konsistensi sirup kental kadar Saccharosa yang tinggi, yaitu 64,0-66,0%. Pada sirup dengan kadar gula yang rendah dapat terjadi fermentasi, kadar gula yang tinggi mempunyai tekanan osmotik yang cukup tinngi sehingga pertumbuhan bakteri dan fungi dapat terhambat. Bila sebagian dari Saccharosa berubah menjadi gula invert, maka sirup cepat menjadi rusak, kerusakan sirup dapat dihindarkan dengan menambahkan suatu bahan pengawet kedalam sirup, misalnya nipagi dan nipasol, atau natrium benzoat (joenoes, 1990).

Universitas Sumatera Utara

Sirup merupakan alat yang sangat menyenangkan untuk pemberian suatu bentuk cairan dari suatu obat yang rasanya tidak enak. Sirup-sirup terutama sfektif dalam pemberian obat untuk anak-anak untuk meminum obat. Kenyataan bahwa sirup-sirup mengandung sedikit alkohol atau tidak, menambah kesenangan siantara orang tua (Ansel,1989). 2.3. Antibiotik Antibiotik adalah metabolit mikroba yang dalam keadaan encer dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme, obat ini juga merupakan obat yang penting yang dapat digunakan untuk membrantas berbgai penyakit infeksi. Terdapat banyak zat anti mikroba, termasuk antiseptik yang disintesis secara kimia, tetapi karena secara kimia tidak bertalian dengan produk mikroba, dengan makna yang diterima saat sekarang ini, diperkenalkan pada tahun 1942 oleh Waksman. Waksman secara sistematik mencar zat anti mikroba dari suatugolongan Streptomyces yang berasal dari tanah. Streptomyces ternyata digunakan dalam pengobatan berbagai infeksi bekteri khususnya Tuberkulosis (Foye, 1996). Antibiotik umumnya dibuat secara mikrobiologi, yaitu fungi dibiakkan dalam tangki-tangki besar bersama zat-zat gizi khusus. Oksigen atau udara disalurkan kedalam cairan pembiakan guna mempercepat pertumbuhan fungi dan meningkatkan produksi antibiotiknya. Setelah diisolasi dari cairan kultur, antibiotik dimurnikan dan aktivitas ditentukan (Tjay dan Rahardja, 2002). Menurut Wattimena (1991), penggolongan antibiotik berdasarkan struktur dan kimianya dapat dibagi dalam sembilan kelompok yaitu: 1. Laktam (contoh : Penicillin G dan derivatnya, Sefalotin). 2. Aminoglikosida (contoh : Streptomisin sulfat, Kanamisin sulfat).

Universitas Sumatera Utara

3. Kloramfenikol (contoh : Kloramfenikol, Tiamfenikol). 4. Tetrasiklin (contoh : Tetrasiklin, Oksitetraksillin). 5. Maklorida dan antibiotik sejenis (contoh : Eritromisin,Linkomisin). 6. Rifamisin (contoh : Rifamisin, Rifampisin). 7. Polipeptida siklin (contoh : Polikmisin B, polimiksin E). 8. Antibiotik Polien (contoh : Nistatin, Amfoterisin B). 9. Antibiotik lain (contoh : Vankomisin, Ristosetin). 2.4. Kloramfenikol 2.4.1. Sifat fisikokimia Antibiotik ini bersifat unik diantara senyawa alam karena adanya gugus nitrobenzen dan merupakan turunan asam dikloroasetat. Bentuk yang aktif secara biologis adalah bentuk levonya. Zat ini larut sedikit dalam air (1:400) dan relatif stabil. Kloramfenikol diinaktivasi oleh enzim yang ada dalam filtrat bakteri tertentu. Disini terjadi reduksi gugus nitro dan hidrolisis ikatan amida, juga terjadi asetilasi (Wattimena, 1991). Menurut Ditjen POM (1995), kloramfenikol mengandung tidak kurang dari 90,0 % dan tidak lebih dari 120,0 % dengan berat molekul = 323,13. - Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang, putih hingga putih kekuningan, larutan praktis netral terhadap lakmus P, stabil dalam larutan netral atau agak asam. - Kelarutan : Sukar larut dalam air,mudah larut dalam Etanol, dalam propilen glikol, dalam aseton dan dalam etil asetat. - Wadah dan penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.

Universitas Sumatera Utara

2.4.2. Sejarah Kloramfenikol pertama kali dipisahkan pada tahun 1947 dari pembiakan streptomyces venezuelae. Senyawa ini disintesis pada tahun 1949, kemudian menjadi antibiotik penting pertama yang sepenuhnya disintesis dandiproduksi secarakomersial. Kepentingan ini mulai memudar seiring dengan tersedianya antibiotik yang lebih aman dan efektif, kloramfenikol jarang digunakan, kecuali di negara-negara berkembang. Senyawa ini larut dalam alkohol, namun sulit larut dalam air. Kloramfenikol suksinat yang digunakan untuk pemberian non-parenteral, sangat larut air. Kloramfenikol suksinat mengalami hidrolisis secara in vivo melepaskan kloramfenikol bebas (Katzung, 2004). 2.4.3. Farmakokinetika Dosis kloramfenikol yang umum adalah 50-100 mg/kg/hari. Setelah pemberian peroral, kristal kloramfenikol diabsorbsi dengan cepat dan tuntas. Dosis oral 1 gr menghasilkan kadar darah antara 10-15 µg/ml. Kloramfenikol zenichlor merupakan suatu obat yang hidrolisis dalam usus untuk menghasilkan kloramfenikol bebas melalui hidrolisis, menyebabkan kadar darah sedikit lebih rendah dibandingkan kadar yang dicapai dengan obat yang diberikan secara oral. Setelah absorbsi, kloramfenikol didistribusikan secara luas keseluruh jaringan dan cairan tubuh. Hal ini meliputi juga sistem saraf pusat dan cairan serebrospinal, sehingga konsentrasi dalam serum (Katzung, 2004). Obat ii memliki penetrasi membran sel secara cepat. Sebagian besar obat di nonaktifkan melalui konjugasi oleh asam glukuronil (terutama di hati) atau (sekitar 10% dari dosis total yang keseluruhan) dan produk-produk degradasi yang aktif (sekitar 90% dari keseluruhan) terjadi melalui urine. Hanya sejumlah kecil obat

Universitas Sumatera Utara

aktif yang diekskresi dalam empedu atau fases. Dosis sistemik kloramfenikol tidak perlu diubah pada saat kerja ginjal menurun, namun harus dikurangi dalam jumlah besar pada kegagalan hati. Bayi –bayi berusia kurang dari seminggu dan bayi-bayi prematur memiliki efek kloramfenikol yang kurang baik, sehingga dosis harus dikurangi manjadi 25 mg/kg/hari (Katzung, 2004). Kloramfenikol kadang-kadang juga digunakan secara topikal untuk pengobatan infeksi mata spektrum anti bakterinya yang luas dan kemampuannya mempenetrasi jaringan okuler dan cairan bola mata. Obat ini tidak efektif untuk infeksi-infeksi klamedia (Katzung, 2004). 2.4.4. efek samping Efek samping yang ditimbulkan koramfenikol antara lain adalahdepresi sumsum tulang belakang, yang menimbulkan kelainan darah yang serius, seperti anemia aplastik, anemis hiploplastik, granulositopenis. Selain itu, obat juga menyebabkan gangguan saluran cerna, neurotoksik, suprainfeksi dan reaksi hipersensitivitas. Oleh karena itu kloramfenikol tidak boleh digunakan untuk pengobatan infeksi yang bukan indikasinya, seperti influenza, infeksi kerongkongan atau untuk pencegahan infeksi (Soekardjo, dkk, 1995). Menurut Tjay dan Rahardja (2002), efek samping yang berupa depresi sumsum tulang dapat tampak dalam dua bentuk anel\mia, yakni sebagai berikut: a. Penghambat

pembentukan

sel-sel

darah

(eritrisis,

trombosis,

dan

granulosit)yang timbul dalam waktu lima hari sesudah dimulainya terapi. Gangguan ini tergantung I dan bersifat reversible. b. Anemia aplastis, yang dapat timbul sesudah beberapa minggu sampai beberapa bulan pada penggunaan oral, parenteral dan okuler, maka tetes

Universitas Sumatera Utara

mata tidak boleh digunakan lebih lama dari 10 hari. Menurut dugaan, kerusakan sumsum tulang ini disebabkan oleh metabolit kloramfenikol tokdid yang dibentuk oleh kuman usus. Telah dipastikan bahwa obat diuraikan oleh sinat UV menjadi senyawa nitro (so) yang toksis bagi sel-sel sumsum. Kloramfenikol menghambat enzim pada membran mitokondris bagian dalam, kemungkinan dengan menghambat peptidil transferasi ribosom. Ensim lain yang dipengaruhi adalah sitokrom axidase, ATP-ase dan ferrokhelatase (yang berperan pada biosintesis hem). Toksisitas yang diamati pada obat ini dapat dikorelasikan dengan efek-efek tadi (Wattimena, 1991). 2.4.5. Interaksi Kloramfenikol Obat ini dapat menghambat enxim mokrosomal hari sehigga dapat memperpanjang waktu paro obat-obat yang dimetabolisme dengan cra ini, obatobat tersebut adalah; dikumarol, fenitoin, klorpropamid dan tolbutamid. Keuntungan penghambatan enzim ini oleh kloramfenikol ini menyebabkan produkproduk yang toksik. Resiko aplastik anemia bukan merupakan kontraindikasi penggunaan kloramfenikol bila penggunaannya memang diperlukan.walaupun demikian ditekankan obat ini jaringan diberikan pada penyakit-penyakit yang dapat ditanggulangi oleh obat-obat antibiotik lain yang lebih aman, atau pada keadaan yang belum didiagnosa, efek iritasinya dapat berupa : mual, rasa tidak enak, muntah, diare dapat menyertai penggunaan kloramfenikol. Dapat pula terjadi penglihatan kabur, dan jari- jari rasa kesemuta. Penggunaan kloramfenikol pada

Universitas Sumatera Utara

penyakit hepar sering menyebabkan gangguan eritropoesis, lebih-lebih pada penderita yang telah mengalami asites dan ikterus (Munaf, 1994). 2.5. kromatografi Cair Kinerja Tinggi Kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC, High performance Liquid Chromatography) merupakan suatu teknis analisis obat yang paling cepat berkembang. Cara ini ideal untuk analisis beragam obat dalam sediaan dan cairan biologi, karena sederhana, kemenjenisan dan kepekaannya tinggi. Pertumbuhan yang sangat pesat ini dapat dibuktikan dengan meninjau journal of pharmaceutical sciences atau journal of chromatography. Dengan mudah akan ditemukan 5-10 karya analisis obat secara KCKT setiap bulan penertiban ditahun 1983. teknik ini menjadi sangat terkenal sehingga temu ilmiah nasional di Amerika dan temu internasional, diadakan tiap tahun. KCKT dan GC (kromatografi gas) mempunyai kesamaan dan perbedaan. Kedua metode ini komponen dipisahkan di suatu jalur aliran. Mekanisme tambatan banyak berbeda, tetapi dalam beberapa hal dapat disejajarkan, dengan kesamaan yaitu: komponen yang lebih suka berinteraksi dengan fase dian atau gas pembawa terhadap pemisahan kecil. Sehingga pemisahan dicapai dengan mengubah-ubah fae diam atau terokan (misalnya dengan derivatisasi untuk meningkatkan keterapan). Sejumlah jenis fase diam telah dikembangkan dan dipasarkan (Munson, 1991). Menurut Sardjoko (1992), ciri-coro KCKT sangat cocok untuk menetapkan koefesian partisi. Keuntungan metode KCKT untuk menetapkan nilai lipofilisitas terutama bagi senyawa lopofilik tinggi, mempunyai farak pengukuran yang sangat luas, dan tidak memerlukan proses pemurnian. Kerugian hanya dapat dipakai bago seri senyawa homolog, senyawa yang bersifat bsa memerlukan penambahab

Universitas Sumatera Utara

senyawa anima pada eluen untuk menekan interaksi antara sampel dengan sisa gugus silanol fase diam supaya menghasilkan log k’ yahng tinggi, dan juga jarak Ph yang terbatas yaitu (2,0-8,0)

Universitas Sumatera Utara