BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENYESUAIAN DIRI 1. DEFINISI

Download tuntutan diri dan lingkungan agar tercapai keadaan atau tujuan yang diharapkan oleh diri sendiri dan lingkungannya. 2. Faktor-Faktor yang M...

0 downloads 625 Views 176KB Size
14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyesuaian Diri 1. Definisi Penyesuaian Diri Manusia dalam perkembangannya, sebagai makhluk sosial tidak lepas dari berinteraksi dengan orang lain maupun lingkungannya. Berbicara tentang interaksi individu dengan lingkungannya, penyesuaian diri adalah salah satu konsep yang ada di dalamnya. Penyesuaian diri merupakan kemampuan individu dalam berperilaku karena tuntutan untuk pemenuhan kebutuhan agar mendapat ketentraman dalam hubungan dengan lingkungan sekitar (Parman, 2013). Menurut Callhoun dan Acocella (dalam Sobur, 2003), penyesuaian dapat didefenisikan sebagai interaksi individu yang kontinu dengan diri individu sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia individu. Penyesuaian diri adalah proses yang melibatkan respon mental dan tingkah laku dimana individu berusaha menanggulangi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, mengatasi ketegangan, frustasi dan konflik untuk meningkatkan keseimbangan antara kebutuhan dari dalam diri individu dan lingkungan (Schneiders, 1964). Ali dan Asrori (2005) mengartikan penyesuaian diri adalah dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment atau personal adjustment”. Hal ini selaras dengan pendapat Schneiders (dalam Ali, dkk, 2005) bahwa penyesuaian diri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang yaitu: a) penyesuaian diri sebagai adaptasi (adaption); b) penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (conformity); dan c) penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery)”.

15

Dari berbagai pendapat para ahli di atas, peneliti melakukan analisis untuk membuat kesimpulan. Penyesuaian diri tidak hanya memperhatikan bagaimana seorang individu dapat menyesuiakan diri dengan kondisi atau keadaan dirinya saat ini, namun juga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan maupun situasi tempat individu berada dan beraktifitas. Peneliti menyimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah kemampuan individu dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam hidupnya, untuk mempertemukan tuntutan diri dan lingkungan agar tercapai keadaan atau tujuan yang diharapkan oleh diri sendiri dan lingkungannya.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Penyesuaian diri adalah kemampuan individu menghadapi perubahan yang terjadi dalam hidupnya, untuk mempertemukan tuntutan diri dan lingkungan agar tercapai keadaan atau tujuan yang diharapkan oleh diri sendiri dan lingkungannya (Parman, 2013). Dalam melakukan penyesuaian diri, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi dalam kemampuan seorang individu dalam melakukan penyesuaian diri di kehidupannya. Menurut Schneiders (1964) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah : a. Kondisi fisik Aspek-aspek berkaitan dengan kondisi fisik yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri adalah : 1) Hereditas dan Konstitusi fisik Temperamen merupakan komponen utama karena temperamen itu muncul karakteristik yang paling dasar dari kepribadian, khususnya dalam memandang hubungan emosi dengan penyesuaian diri. 2) Sistem utama tubuh

16

Sistem syaraf, kelenjar dan otot termasuk ke dalam sistem utama tubuh yang memiliki pengaruh terhadap penyesuaian diri. 3) Kesehatan fisik Penyesuaian diri individu akan lebih mudah dilakukan dan dipelihara dalam kondisi fisik yang sehat daripada yang tidak sehat. Kondisi fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri, harga diri, dan sejenisnya yang akan menjadi kondisi yang sangat menguntungkan bagi proses penyesuaian diri. b. Perkembangan dan kematangan Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap perkembangan. Sejalan dengan perkembangannya, individu meninggalkan tingkah laku infantil dalam merespon lingkungan. Hal tersebut bukan karena proses pembelajaran semata, melainkan karena individu menjadi lebih matang. Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri. c. Keadaan psikologis Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustrasi, kecemasan dan cacat mental akan dapat melatarbelakangi adanya hambatan dalam penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Variabel yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah pengalaman, pendidikan, konsep diri, dan keyakinan diri. d. Keadaan lingkungan Keadaan lingkungan yang baik, damai, tenteram, aman, penuh penerimaan dan pengertian,

serta

mampu

memberikan

perlindungan

kepada

anggota-anggotanya

merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri. Sebaliknya

17

apabila individu tinggal dilingkungan yang tidak tenteram, tidak damai, dan tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam melakukan proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang dimaksud meliputi sekolah, rumah, dan keluarga. Sekolah bukan hanya memberikan pendidikan bagi individu dalam segi intelektual, tetapi juga dalam aspek sosial dan moral yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah juga berpengaruh dalam pembentukan minat, keyakinan, sikap dan nilai-nilai yang menjadi dasar penyesuaian diri yang baik (Schneiders, 1964). e. Tingkat religiusitas dan kebudayaan Religiusitas merupakan faktor yang memberikan suasana psikologis yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik, frustrasi dan ketegangan psikis lain. Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti, tujuan, dan stabilitas hidup yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam hidupnya (Schneiders, 1964). Kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan tingkah laku individu untuk menyesuaikan diri dengan baik atau justru membentuk individu yang sulit menyesuaikan diri.

3. Dimensi dari Penyesuaian Diri Penyesuaian diri yang normal merupakan cara bereaksi dan bertingkahlaku yang wajar. Penyesuaian diri yang normal memiliki beberapa karakteristik. Karakteristik penyesuaian diri menurut Schneiders (dalam Indarwati, 2012) adalah: a. Ketiadaan Emosi Yang Berlebihan Penyesuaian yang normal dapat diidentifikasi dengan tidak ditemukannya emosi yang berlebihan. Individu yang merespon masalah dengan ketenangan dan kontrol emosi memungkinkan individu untuk memecahkan kesulitan secara inteligen. Adanya kontrol emosi membuat individu mampu berpikir jernih terhadap masalah yang dihadapinya dan

18

memecahan masalah dengan cara yang sesuai. Ketiadaan emosi tidak berarti mengindikasikan abnormalitas tapi merupakan kontrol dari emosi. b. Ketiadaan Mekanisme Psikologis Penyesuaian normal dikarakteristikkan dengan tidak ditemukannya mekanisme psikologis. Ketika usaha yang dilakukan gagal, individu mengakui kegagalannya dan berusaha mendapatkannya lagi merupakan penyesuaian diri yang baik dibandingkan melakukan mekanisme seperti rasionalisasi, proyeksi, kompensasi. Individu dengan penyesuaian diri yang buruk berusaha melakukan rasionalisasi dengan menimpakan kesalahan pada orang lain. c. Ketiadaan Perasaan Frustrasi Pribadi Penyesuaian yang baik terbebas dari perasaan frustrasi pribadi. Perasaan frustrasi membuat sulit bereaksi normal terhadap masalah. Misalnya, seorang siswa yang merasa frustrasi dengan hasil akademiknya

yang terus merosot menjadi sulit untuk

mengorganisasikan pikiran, perasaan, tingkah laku efisien pada situasi dimana individu merasa frustrasi. Individu yang merasa frustrasi akan mengganti reaksi normal dengan mekanisme psikologis atau reaksi lain yang sulit dalam menyesuaikan diri seperti sering marah tanpa sebab ketika bergaul dengan orang lain. d. Pertimbangan Rasional Dan Kemampuan Mengarahkan Diri (Self-direction) Karakteristik menonjol dari penyesuaian normal adalah pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri. Karakteristik ini dipakai dalam tingkahlaku sehari-hari untuk mengatasi masalah ekonomi, hubungan sosial, kesulitan perkawinan. Kemampuan individu menghadapi masalah, konflik, frustrasi menggunakan kemampuan berpikir secara rasional dan mampu mengarahkan diri dalam tingkah laku yang sesuai mengakibatkan penyesuaian normal.

19

e. Kemampuan Untuk Belajar Penyesuaian normal dikarakteristikkan dengan belajar terus-menerus dalam memecahkan masalah yang penuh dengan konflik, frustrasi atau stres. Misalnya orang yang belajar menghindari sikap egois agar terjadi keharmonisan dalam keluarga. f. Kemampuan Menggunakan Pengalaman Masa Lalu Kemampuan menggunakan pengalaman masa lalu merupakan usaha individu untuk belajar dalam menghadapi masalah. Penyesuaian normal membutuhkan penggunaan pengalaman masa lalu. Pengalaman masa lampau yang menguntungkan seperti belajar berkebun diperlukan agar individu dapat menggunakannya untuk pengalaman sekarang ketika menghadapi kesulitan keuangan dengan membuka usaha menjual tanaman. g. Sikap Realistik Dan Objektif Penyesuaian yang normal berkaitan dengan sikap yang realistik dan objektif. Sikap realistik dan objektif berkenaan dengan orientasi individu terhadap kenyataaan, mampu menerima kenyataan yang dialami tanpa konflik dan melihatnya secara objektif. Sikap realistik dan objektif berdasarkan pada belajar, pengalaman masa lalu, pertimbangan rasional, dapat menghargai situasi dan masalah. Sikap realistik dan objektif digunakan untuk menghadapi peristiwa penting seperti orang yang kehilangan pekerjaan tetap memiliki motivasi sehingga dapat menerima situasi dan berhubungan secara baik dengan orang lain. Beberapa hal yang telah dijelaskan diatas, menjadi pertimbangan-pertimbangan oleh peneliti untuk mendukung penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Berdasarkan uraian di atas maka aspek-aspek penyesuaian diri yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori Schneiders, (dalam Indarwati, 2012) antara lain ketiadaan emosi yang berlebihan, ketiadaan mekanisme psikologis, ketiadaan perasaan frustrasi pribadi, pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri, kemampuan untuk belajar,

20

kemampuan menggunakan pengalaman masa lalu, sikap realistik dan objektif. Peneliti menggunakan dimensi ini karena, dimensi tersebut dapat mewakili aspek-aspek penyesuaian diri pada anggota TNI AD.

B. Agresivitas 1. Definisi Agresivitas Agresivitas adalah suatu kecenderungan habitual (yang dibiasakan) untuk memamerkan permusuhan dan merupakan pernyataan diri secara tegas, penonjolan diri, penuntutan atau pemaksaan diri dan merupakan suatu dominasi sosial, kekuasaan sosial, khususnya yang diterapkan secara ekstrim (Krahe, 2005). Banyak tokoh yang berusaha memberikan definisi tentang agresivitas. Berkowitz (2003) mengatakan bahwa agresivitas mengacu pada keinginan yang relatif merekat untuk menjadi agresif dalam berbagai situasi yang berbeda atau agresivitas dianggap sebagai kecenderungan untuk menjadi agresif. Baron dan Richarson (dalam Krahe, 2005) mengatakan bahwa agresif adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan itu. Murray (dalam Krahe, 2005) mengatakan bahwa agresif adalah kebutuhan untuk menyerang, memperkosa atau melukai orang lain untuk meremehkan, merugikan, mengganggu, membahayakan, merusak, menjahati, mengejek, mencemoohkan atau menuduh secara sehat, menghukum berat atau melakukan tindakan sadis lainnya. Dalam arti tertentu Tedeschi dan Felson (dalam Krahe, 2005) menjelaskan agresi sebagai perilaku yang ditujukan atau dilakukan dengan niat untuk menimbulkan akibat negatif pada sasarannya, atau sebaliknya akan menimbulkan harapan bahwa tindakan itu menghasilkan sesuatu.

21

Berkowitz (dalam Koeswara 1988) membedakan agresi ke dalam dua macam agresi, yakni agresi instrumental (instrumental agression) dan agresi benci (hostile agression) atau disebut juga agresi impulsif (impulsive agression) Berkowitz (dalam Koeswara, 1988) mengemukakan bahwa agresi instrumental adalah agresi yang dilakukan oleh organisme atau individu sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan tertentu. Dari berbagai definisi yang diungkapkan oleh beberapa tokoh ahli di atas, peneliti melakukan analisis untuk membuat kesimpulan. Agresivitas seorang individu ditunjukkan dengan perilaku agresif yang dimunculkan. Peneliti menyimpulkan bahwa agresivitas adalah kecenderungan dari segala bentuk perilaku yang dilakukan baik verbal, fisik ataupun keduanya yang dilakukan secara sadar dan memiliki tujuan untuk menyerang atau menyakiti orang lain ataupun makhluk hidup lain, agresi dibagi menjadi dua yaitu agresi instrumental dan agresi impulsif.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Agresivitas Menurut Berkowitz (2003), terdapat sembilan faktor penyebab atau stimulus munculnya perilaku agresif, adalah sebagai berikut: a. Frustrasi Frustrasi bisa mempengaruhi kemungkinan untuk melakukan serangan terbuka, mereka bisa menjadi agresif meskipun hanya menemui rintangan yang sifatnya legal atau tak sengaja. Dorongan agresif mungkin tidak selalu tampak mata, akan tetapi bisa juga rintangan yang tidak bertentangan dengan kaidah sosial menyebabkan kecenderungan agresi. b. Perasaan Negatif Perasaan negatif merupakan akar dari agresi emosional. Salah satu bentuk dari perasaan negatif adalah inferiority feeling. Inferiority feeling adalah suatu bentuk perasaan

22

negatif terhadap dirinya sendiri (Jalaludin, 1977). Berkowitz (1995) yang mengatakan bahwa individu mengamuk baik secara verbal maupun secara fisik karena merasa terhina atau merasa harga dirinya tersinggung. c. Pikiran Atau Kognitif Penilaian mungkin tidak begitu penting, tetapi jelas bisa mempunyai pengaruh besar. Paling tidak, interpretasi bisa menentukan apakah kejadian emosional menyenangkan atau tidak menyenangkan, seberapa kuat perasaan yang ditimbulkan dan apakah faktor penahan memainkan peranan. Dengan demikian, pikiran dapat mempengaruhi agresivitas seseorang dengan menentukan kejadian emosionalnya terlebih dahulu. Berkowitz (1995) menyatakan bahwa kita menjadi marah hanya ketika kita berkeyakinan bahwa ada yang berbuat salah pada kita atau sengaja mengancam kita, dan kemudian kita ingin menyakiti orang itu karena kemarahan kita. d. Pengalaman Masa Kecil Pengalaman pada waktu masih kecil memiliki kemungkinan untuk menjadikan anak bertindak agresi emosional, sehingga waktu dewasa menjadi agresif dan anti sosial. e. Pengaruh Teman Teman merupakan salah satu agen sosialisasi yang dijumpai anak-anak dalam kehidupan, dari waktu kecil hingga dewasa. Teman ini mengajari cara bertindak dalam situasi tertentu, dengan berperan sebagai model dan dengan memberi suatu penerimaan atau dukungan apabila mereka bertindak dengan cara yang dianggap pas. f. Pengaruh Kelompok Dalam kelompok atau geng, anak-anak merasa dapat penerimaan dan status, mereka merasa penting dalam geng, sementara di tempat lain tidak berharga. Mereka juga mendapatkan dukungan bahwa pandangan dan sikap mereka bersama itu benar, bahkan bahaya yang mereka takuti dapat diatasi. Dukungan ini memainkan peran penting pada

23

perilaku agresif anak. Seorang anak yang mengalami penyimpangan sosial mungkin tidak berani melanggar hukum, tetapi jika bersama teman-teman anggota geng, ia merasa berani dan aman. g. Kondisi tidak menyenangkan yang diciptakan orang tua Kondisi tidak menyenangkan ini dapat berupa memberikan sikap dingin, acuh, tidak konsisten terhadap apa yang diinginkan dari si anak, serta memberikan hukuman yang brutal jika si anak tidak mematuhi perintah. Dari kondisi tak menyenangkan tersebut, dapat dipastikan bahwa anak akan menjadi relatif agresif apabila berada di luar lingkungan keluarga. h. Konflik Keluarga Banyak yang beranggapan bahwa banyak anak nakal merupakan korban penyimpangan sosial dari kondisi keluarga abnormal. Hal tersebut dikarenakan mereka tidak hanya tumbuh dalam kemiskinan tetapi juga hanya mempunyai satu orang tua dan bukan dua sehingga mereka belajar untuk tidak menerima norma dan nilai-nilai tradisional masyarakat. i. Pengaruh Model Pengaruh model terhadap anak juga bisa mempengaruhi kecenderungan agresif anak, tidak perduli apakah orang lain itu ingin ditiru atau tidak. Dalam psikologi, fenomena ini disebut dengan modeling dan mendefinisikannya sebagai pengaruh yang timbul ketika orang lain melihat orang lain (model) bertindak dengan cara tertentu dan kemudian meniru perilaku model. Berdasarkan dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa perilaku agresif memiliki banyak faktor penyebab, yaitu faktor yang berasal dari diri individu sendiri maupun dari luar diri individu. Adapun faktor yang berasal dari diri individu, yaitu faktor perasaan frustrasi, perasaan negatif, pikiran atau kognisi, dan pengalaman masa kecil. Sedangkan

24

faktor yang berasal dari luar individu yaitu serangan, pengaruh teman, pengaruh kelompok, kondisi tidak menyenangkan yang diciptakan orang tua, konflik keluarga, dan pengaruh model. 3. Dimensi dari Agresivitas Dalam usahanya mengkonsepsikan berbagai bentuk agresi pada manusia Buss dan Perry (dalam Lutfi, 2009) telah mengklasifikasikan agresi menjadi empat bentuk, yaitu: a. Agresi Fisik Merupakan agresi yang dilakukan untuk melukai orang lain secara fisik. Hal ini termasuk memukul, menendang, menusuk dan membakar. Merupakan komponen dari perilaku motorik. b. Agresi Verbal Merupakan agresi yang dilakukan untuk melukai orang lain secara verbal. Tindakan untuk menyakiti dan melukai orang lain, hanya saja melalui verbalisasi. Misalnya, bila seseorang membentak, mengumpat, mengejek dan berdebat maka orang itu dapat dikatakan sedang melakukan agresi verbal. c. Rasa Marah Merupakan emosi atau afektif seperti keterbangkitan dan kesiapan psikologis untuk bersikap agresif, hanya berupa perasaan dan tidak mempunyai tujuan apapun. Misalnya, mudah kesal, hilang kesabaran, dan tidak mampu mengontrol rasa marah. d. Sikap Permusuhan Merupakan perwakilan dari komponen perilaku kognitif seperti perasaan benci dan curiga pada orang lain, merasa kehidupan yang dialami tidak adil dan iri hati. Hal inilah yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini, karena aspek-aspek yang telah tersusun diatas dapat dijadikan sebagai landasan kriteria seorang anggota TNI AD

25

KODAM IX/UDAYANA, di Bali yang melakukan tindakan agresivitas, dalam berinteraksi dilingkungannya.

C. Dinamika Hubungan Penyesuaian Diri dengan Agresivitas Pada Anggota TNI AD KODAM IX/UDAYANA, di Bali Anggota TNI AD KODAM IX/UDAYANA, di Bali, merupakan individu-individu terpilih yang memenuhi persyaratan, dan telah menjalani berbagai seleksi untuk dapat menjadi seorang anggota TNI AD dan berdinas di KODAM IX/UDAYANA, di Bali. Dalam menjalankan pendidikannya serta dalam menjalankan tugasnya sebagai anggota TNI AD, para anggota TNI AD ditanamkan untuk memiliki semangat pantang menyerah, rela berkorban, disiplin tinggi, keras, hormat, serta berwibawa dan tegas. Setelah menyelesaikan pendidikannya, seorang anggota TNI AD akan melaksanakan seleksi penempatan, baik itu akan ditempatkan sebagai staf maupun sebagai pasukan. Seorang anggota TNI AD harus siap ditempatkan dimana saja dan kapan saja, sesuai dengan surat perintah yang anggota TNI AD tersebut terima. Terlepas dari perasaan puas atau tidak puas terhadap penempatan yang diterima oleh anggota TNI AD tersebut. Setelah menerima surat perintah terkait penempatan tersebut, anggota TNI AD dihadapkan kembali kepada lingkungan baru, baik dalam lingkungan dinas, yaitu saling berinteraksi dengan sesama anggota TNI AD dalam kesatuan yang diterima, serta di dalam lingkungan sosial masyarakat, yaitu saling berinteraksi dengan masyarakat sipil atau umum. Tentunya para anggota TNI AD, harus selalu siap dalam menghadapi lingkungan dan situasi baru yang ditemuinya, baik itu di lingkungan dinas, maupun di lingkungan sosial masyarakat. Hal ini menyebabkan seorang anggota TNI AD dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan baik dilingkungan barunya, tempat para anggota TNI AD tersebut berdinas.

26

Penyesuaian diri yang baik dibutuhkan untuk dapat bersikap dan berperilaku sesuai dengan lingkungannya. Hal ini dilakukan untuk dapat meminimalisir munculnya konflik yang dapat disebabkan oleh agresivitas yang dimiliki oleh anggota TNI AD KODAM IX/UDAYANA, di Bali. Anggota TNI AD KODAM IX/UDAYANA di Bali yang kurang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri serta menempatkan diri yang baik di dalam mengahadapi situasi dan lingkungan barunya baik dinas maupun sosial masyarakat akan memunculkan konflik-konflik yang akan diakibatkan oleh agresivitas yang dimiliki oleh anggota TNI AD KODAM IX/UDAYANA tersebut. Oleh karena itu para Anggota TNI AD KODAM IX/UDAYANA di Bali, dituntut harus mampu untuk menempatkan dirinya, bagaimana seharusnya anggota TNI AD bersikap dalam menghadapi lingkungan dinas dengan sesama anggota TNI AD, maupun bagaimana harus bersikap dalam menghadapi lingkungan sosial dengan masyarakat sipil atau umum lainnya. Berdasarkan penjelasan diatas, hal inilah yang menjadi perhatian bagi peneliti, dan membuat peneliti ingin mencari tahu dan tertarik untuk meneliti apakah ada hubungan antara penyesuaian diri dengan agresivitas anggota TNI AD KODAM IX/UDAYANA, di Bali.

27

D. Bagan Dinamika Hubungan Antarvariabel Penyesuaian Diri dengan Agresivitas Pada Anggota TNI AD KODAM IX/UDAYANA, di Bali

Pendidikan Sebagai Prajurit atau Anggota TNI AD

Anggota TNI-AD KODAM IX UDY

Penempatan di Staf Maupun Pasukan

Puas Maupun Tidak Puas (Pemindahtugasan)

Lingkungan Dinas

Lingkungan Sosial Masyarakat

Penyesuaian Diri

Agresivitas

Konflik

Keterangan Bagan : : Garis hubungan faktor-faktor pengantar yang akan diteliti : Garis hubungan variabel yang akan menjadi fokus penelitian : Faktor-faktor pengantar variabel yang akan diteliti : Variabel yang menjadi fokus penelitian

28

E. Hipotesis Penelitian Berdasarkan dinamika hubungan antara dua variabel diatas, serta kerangka berpikir yang telah dijelaskan sebelumnya oleh peneliti, maka peneliti ingin mengajukan hipotesis dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : Hipotesis a. Hipotesis Nol (Ho)

: tidak ada hubungan penyesuaian diri dengan agresivitas pada anggota TNI AD KODAM IX/UDAYANA, di Bali.

b. Hipotesis Alternatif (Ha)

: ada hubungan penyesuaian diri dengan agresivitas pada anggota TNI AD KODAM IX/UDAYANA, di Bali.