BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KUALITAS AIR KUALITAS HIDUP

Download 4.1.1 Amonia. Menurut Floyd dan Watson (2005) bahwa amonia adalah produk sisa metabolisme yang utama dari ikan, dikeluarkan melalui insang ...

0 downloads 408 Views 217KB Size
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup ikan (Effendie 1997). Hasil pengamatan terhadap parameter kualitas air pada setiap perlakuan memperlihatkan adanya perbedaan nilai parameter kualitas air pada setiap perlakuan (Tabel 2). Tabel. 2 Kisaran Parameter Kualitas Air Selama Penelitian Perlakuan

Suhu (oC)

pH

A (Kontrol) B (106 cfu/ml) C (107 cfu/ml) D (108 cfu/ml) E (109 cfu/ml)

28 28 28 28 28

Baku Mutu

20-30oC Khairuman, dkk (2008)

6,8-7,6 6,9-7,6 6,7-7,5 6,8-7,3 6,8-7,6

DO (mg/L) 4,4-6 4,4-6,1 4,3-6 4,3-6,1 4,2-6,1

Ammonia (mg/L) 0-0,5 0-0,1 0-0,1 0-0,1 0-0,75

6,5-8 Khairuman, dkk (2008)

>3 mg/L Khairuman, dkk (2008)

<0,2 mg/L Effendi (2003)

4.1.1 Amonia Menurut Floyd dan Watson (2005) bahwa amonia adalah produk sisa metabolisme yang utama dari ikan, dikeluarkan melalui insang dan urine. Sumber utama amonia sebenarnya berasal dari protein pada pakan ikan yang dimakan oleh ikan untuk kebutuhan energi dan nutrien, deaminasi asam amino menjadi energi menghasilkan amonia yang dikeluarkan sebagai sisa metabolisme. Di dalam air, amonia terdapat dalam dua bentuk, yakni; NH4 (amonia terionisasi) dan NH3 (tak terionisasi),

yang

mana

secara

keseluruhan

disebut

Total

Ammonia

Nitrogen (TAN). Kandungan Amonia pada tiap perlakuan menunjukan kadar amonia yang berbeda (Tabel 2). Berdasarkan pada hasil pengukuran kualitas amonia selama penelitian menunjukan perlakuan A (kontrol) dan perlakuan E (109 cfu/mL)

21

22

memiliki kadar amonia yang tinggi yaitu diatas baku mutu yang diperbolehkan >0,2 mg/L pada akhir penelitian, pada setiap perlakuan memperlihatkan kadar amonia meningkat seiring dengan bertambahnya waktu pemeliharaan (Lampiran 7). Menurut Effendi (2003) konsentrasi amonia total diperairan yang dapat diterima oleh ikan berada dibawah 0,2 mg/L. Tingginya konsentrasi amonia diakibatkan sisa pakan dan sisa metabolisme semakin menumpuk di dasar media pemeliharaan. Boyd (2007) mengatakan bahwa dampak pencemaran amoniak, nitrit, dan nitrat dapat menyebabkan penyakit darah coklat atau Brown Blood Disease, penyakit ini terjadi pada ikan ketika air mengandung konsentrasi nitrit yang tinggi. Jenie dan Rahayu (1993), juga menyatakan bahwa konsentrasi amonia yang tinggi pada permukaan air akan mengakibatkan kematian ikan dan tingginya amonia akan meningkatkan konsumsi oksigen pada jaringan, kerusakan insang dan menurunnya kemampuan darah dalam mentransportasikan oksigen dalam tubuh sehingga menyebabkan kematian pada ikan. 4.1.2 Suhu Hasil pengukuran kualitas air yang diperoleh selama penelitian memperlihatkan bahwa suhu berada pada nilai optimal yaitu 28oC. Menurut Khairuman (2008) ikan Lele dapat hidup dengan baik pada perairan dengan suhu berkisar 20-30oC. . 4.1.3 pH (Derajat keasaman) Derajat keasaman (pH) selama penelitian berada pada kisaran pH optimal yakni 6,5-7,6. Menurut Khairuman (2008), pH optimal untuk ikan lele adalah 6,58. Derajat keasaman (pH) diluar kisaran optimal dapat menyebabkan ikan stress, mudah terserang penyakit dan pertumbuhan rendah. 4.1.4 Oksigen Terlarut Oksigen merupakan salah satu parameter yang sangat penting bagi seluruh organisme dalam kehidupannya. Kadar oksigen terlarut selama penelitian berkisar antara 4,3 mg/L - 6,8 mg/L menunjukan kadar yang optimal bagi pertumbuhan

23

ikan lele dumbo. menurut Khairuman (2008) kandungan oksigen terlarut dalam air yang ideal untuk kehidupan dan pertumbuhan ikan lele dumbo adalah >3 mg/L.

4.2 Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup merupakan perbandingan antara jumlah organisme yang hidup pada akhir periode dengan jumlah organisme yang hidup pada awal periode. Kelangsungan hidup dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk mengetahui toleransi dan kemampuan ikan untuk hidup. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan selama 14 hari, didapatkan jumlah rata-rata kelangsungan hidup larva ikan lele dumbo yang berbeda pada setiap perlakuan (Tabel 3). Tabel 3. Rata-rata Kelangsungan Hidup Larva Lele Dumbo Perlakuan Kelangsungan Hidup (%) A (Kontrol) 16,00 a B (106) 50,67 bc 7 C (10 ) 52,44 c D (108) 55,56 c 9 E (10 ) 31,56 ab Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5% Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa kelangsungan hidup larva ikan lele dumbo yang diberi bakteri Lactobacillus sp. lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian bakteri Lactobacillus sp. pada media pemeliharaan dapat meningkatkan kelangsungan hidup larva lele dumbo yang dipelihara. Kelangsungan hidup terendah berada pada perlakuan A (kontrol), sedangkan pada perlakuan yang diberi bakteri Lactobacillus sp. menghasilkan kelangsungan hidup yang meningkat seiring dengan meningkatnya kepadatan bakteri sampai pada perlakuan D (108 cfu/ml), Pada perlakuan E dengan kepadatan bakteri tertinggi yaitu 109 cfu/ml terjadi penurunan tingkat kelangsungan hidup. Hal ini diduga karena bakteri Lactobacillus sp. yang ditambahkan pada media pemeliharaan jumlahnya terlalu banyak sehingga

24

mengakibatkan terjadinya kompetisi ruang dan oksigen yang lebih ketat selain itu rendahnya kelangsungan hidup pada perlakuan A dan E disebabkan karena tingginya konsentrasi amonia pada perlakuan tersebut. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pemberian bakteri probiotik memberikan pengaruh terhadap kelangsungan hidup larva ikan lele dumbo (Lampiran 5). Uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan 95%, menunjukkan pemberian bakteri dengan dosis 108 cfu/ml (D) memberikan kelangsungan hidup tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (A) dan 109 cfu/ml (E) akan tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan B dan C (107 cfu/ml) sedangkan perlakuan 109 cfu/ml (E) tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (A). (Lampiran 5 dan Tabel 3).

25

Jumlah Ikan Mati

20 15

kontrol Series2

10

Series3 Series4

5

Series5 0 1

2

3

4

5

6

7

8

9 10 11 12 13 14

Lama Pengamatan (Hari)

Gambar 5. Jumlah Kematian Ikan Perhari

Berdasarkan Gambar 5 tingginya kematian larva ikan lele yang tidak diberi bakteri Lacobacillus sp. (perlakuan A) diduga karena tidak adanya peranan bakteri probiotik yang dapat mengurai bahan organik sisa pakan dan sisa metabolisme sehingga menyebabkan kualitas air menurun ditandai dengan konsentrasi amonia meningkat pada setiap waktu sampling, pada akhir sampling mencapai 0,5 mg/L (Lampiran 7). Menurut Effendi (2003) konsentrasi amonia total diperairan yang dapat diterima oleh ikan berada dibawah 0,2 mg/L. Amonia

25

merupakan senyawa yang toksik terhadap larva ikan lele pada konsentrasi tertentu. Boyd (2007) menyatakan bahwa dampak pencemaran amoniak, nitrit dan nitrat dapat menyebabkan penyakit darah coklat (Brown Blood Disesae), Penyakit ini terjadi pada ikan ketika air mengandung konsentrasi nitrit yang tinggi. Nitrit masuk kedalam aliran darah melalui insang dan mengubah darah menjadi berwarna coklat. Hemoglobin yang membawa oksigen dalam darah bereaksi dengan nitrit membentuk methomoglobin yang tidak mampu membawa oksigen. Brown blood tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah yang cukup dan ikan dapat mati meskipun konsentrasi oksigen cukup di air. Selain tingginya konsentrasi amonia

tingginya kematian pada perlakuan A disebabkan karena tidak adanya peranan bakteri probiotik sebagai penghambat bakteri-bakteri patogen yang dapat merugikan ikan dan dapat menyebabkan kematian pada ikan. Menurut Susanto (2005), bakteri probiotik apabila masuk kedalam tubuh ikan akan berfungsi sebagai immunostimulan yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap bakteri patogen. Perlakuan B dengan penambahan bakteri Lactobacillus sp. sebanyak 106 cfu/ml pada media pemeliharaan menunjukkan adanya peningkatan kelangsungan hidup yang cukup signifikan dibandingkan dengan tanpa penambahan bakteri Lactobacillus sp. (Perlakuan A) yaitu sebesar 50,67 % , hal ini menunjukkan bahwa bakteri Lactobacillus sp. yang diberikan pada media pemeliharaan dapat berfungsi sebagai pengurai amonia, terbukti dari lebih rendahnya amonia dibandingkan dengan perlakuan A, yaitu berkisar antara 0,05-0,1 mg/L hingga akhir penelitian (Lampiran 7). Selain itu, bakteri Lactobacillus sp. yang dimasukkan ke dalam media pemeliharaan juga dapat tertelan oleh ikan sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh ikan terhadap serangan bakteri patogen. Pada perlakuan C dengan penambahan bakteri Lactobacillus sp. sebanyak 107 cfu/ml terjadi peningkatan kelangsungan hidup, namun tidak terlalu signifikan dengan perlakuan B yaitu sebesar 52,44%. Hal ini diduga karena kepadatan bakteri yang dimasukkan kedalam media pemeliharaan tidak mempengaruhi kelangsungan hidup secara signifikan, sehingga bakteri-bakteri patogen lebih mendominasi dan bakteri yang ditambahkan kemungkinan tidak dapat

26

menguraikan amonia secara keseluruhan dikarenakan tingginya kandungan amonia yang semakin bertambah seiring bertambahnya waktu. Rata-rata konsentrasi amonia yang terukur pada perlakuan C selama penelitian berkisar antara 0,03-0,083 mg/L. Perlakuan D dengan pemberian bakteri Lactobacillus sp. sebanyak 108 cfu/ml, memiliki tingkat kelangsungan hidup yang paling tinggi. Hal ini diduga karena pada perlakuan D rata-rata konsentrasi amonia selama penelitian masih berada dibawah nilai standar amonia yang diperbolehkan dalam budidaya ikan yaitu <0,2 mg/L. Menurut Ali (2000), penggunaan bakteri probiotik ke dalam media pemeliharaan dapat memperbaiki beberapa parameter kualitas air dan meningkatkan kelangsungan hidup. Perlakuan E dengan penambahan bakteri Lactobacillus sp. sebanyak 109 cfu/ml menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan B, C dan D yaitu sebesar 31,56 %, hal ini diduga karena bakteri yang diberikan ke dalam media pemeliharaan jumlahnya terlalu banyak sehingga adanya persaingan baik antara bakteri maupun ikan dalam kebutuhannya terhadap oksigen, sejalan dengan pernyataan Nikosklainen dkk. (2001) bahwa penggunaan probiotik dalam jumlah tinggi tidak menjamin perlindungan yang lebih baik terhadap hewan inang karena jumlah bakteri yang masuk lebih banyak mengakibatkan terjadinya kompetisi yang lebih ketat. Selain itu rendahnya kelangsungan hidup pada perlakuan ini disebabkan oleh konsentrasi amonia yang tinggi berkisar antara 0-0,75 mg/L. Kondisi ini tentu sangat tidak layak karena berada lebih dari batas yang diperbolehkan untuk ikan sehingga menyebabkan kematian.

4.3 Laju Pertumbuhan Menurut Huet (1971), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan meliputi faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain keturunan, umur,

jenis

kelamin,

ketahanan

terhadap

penyakit,

dan

kemampuan

memanfaatkan makanan. Faktor eksternal atau faktor lingkungan terdiri dari makanan, padat penebaran, dan kualitas air. Effendie (1997) juga menyatakan

27

bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan diantaranya adalah makanan. Fungsi makanan atau pakan bagi ikan adalah sebagai sumber energi yang diperlukan dalam proses fisiologis dalam tubuh. Hasil penelitian selama 14 hari menunjukkan bahwa pemberian bakteri Lactobacillus sp. dengan kepadatan yang berbeda ke dalam media pemeliharaan menghasilkan laju pertumbuhan dengan rata-rata panjang yang berbeda (Tabel 4). Tabel 4. Rata-rata Laju Pertumbuhan Larva Lele Dumbo Perlakuan A (Kontrol) B (106) C (107) D (108) E (109)

Laju Pertumbuhan (%) 7,48a 8,16c 8,34d 8,67e 7,92b

Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa penambahan bakteri Lactobacillus sp. pada media pemeliharaan menghasilkan rata-rata laju pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol atau tanpa penambahan bakteri Lactobacillus sp., hal ini membuktikan bahwa Lactobacillus sp. yang dimasukkan ke dalam media pemeliharaan dapat tertelan oleh larva ikan lele dumbo dan berperan aktif dalam saluran pencernaan ikan tersebut sehingga mampu mengsekresi enzim amilase dan protease yang dapat mengubah senyawa kompleks menjadi lebih sederhana. Pada stadia larva, larva ikan lele tidak dapat memproduksi enzim tersebut secara sempurna sehingga peranan Lactobacillus sp. ini sangatlah penting. Gatesoupe (1999) menyatakan bahwa aktifitas bakteri dalam pencernaan akan berubah dengan cepat ketika ada mikroba yang masuk melalui pakan dan air. Keseimbangan mikroflora didalam saluran pencernaan akan sangat berpengaruh terhadap peran bakteri sebagai probiotik yang akan menekan bakteri patogen lainnya sehingga saluran pencernaan akan lebih baik dalam mencerna makan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan bakteri Lactobacillus sp. pada media pemeliharaan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap laju pertumbuhan panjang larva ikan lele dumbo (Lampiran 6).

28

Hasil uji lanjutan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5% mempelihatkan bahwa perlakuan A (kontrol) menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Rendahnya nilai rata-rata laju pertumbuhan pada perlakuan A (kontrol) dibandingkan dengan perlakuan lainnya, diduga karena tidak adanya bakteri Lactobacillus sp. sebagai bakteri probiotik yang memiliki peranan untuk mengsekresi enzim amilase dan protease yang berfungsi untuk mengubah senyawa kompleks menjadi sederhana.

Penyebab rendahnya nilai laju

pertumbuhan pada perlakuan ini juga disebabkan karena kualitas air menurun yang ditunjukkan oleh tingginya konsentrasi amonia pada perlakuan ini yaitu 0,5 mg/L sampai pada akhir penelitian sehingga menyebabkan ikan stress. Menurut Effendi (2003) salah satu penyebab terjadinya stress pada ikan adalah adanya perubahan lingkungan (Environmental Changes) contohnya pada amonia, suhu, kepadatan, pH, DO dan ketersediaan pakan. Dalam keadaan stress biasanya ikan akan

mengalami

penurunan

nafsu

makan

sehingga

menghambat

laju

pertumbuhan. Pada perlakuan B dan C memberikan rata-rata laju pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kontrol hal ini diduga karena adanya bakteri Lactobacillus sp. pada media pemeliharaan sehingga dapat tertelan oleh ikan dan masuk kedalam saluran pencernaan ikan, namun laju pertumbuhan pada perlakuan ini tidak terlalu tinggi diduga jumlah bakteri yang diberikan kurang tepat. Pada perlakuan D (108 cfu/ml) memberikan hasil paling tinggi dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 8,67 %, hal ini diduga karena kepadatan bakteri yang diberikan dalam media pemeliharaan dapat bekerja secara optimal dalam membantu sistem pencernaan sehingga dapat menghasilkan pertumbuhan yang baik. Gatesoupe (1999) menyatakan bahwa adanya bakteri Lactobacillus Sp. yang berperan untuk mensekresikan enzim amilase dan protease, kemudian bakteri masuk ke dalam saluran pencernaan ikan dan hidup di dalamnya meningkat sejalan dengan dosis probiotik yang diberikan. Selanjutnya bakteri

29

tersebut di dalam saluran pencernaan ikan mensekresikan enzim-enzim pencernaan. Pada perlakuan E (109 cfu/ml) terjadi penurunan rata-rata laju pertumbuhan yakni sebesar 7,92 %. Hal ini diduga karena terlalu banyak jumlah bakteri Lactobacillus sp. yang ada di media pemeliharaan sehingga adanya persaingan dalam pengambilan nutrisi yang tinggi sehingga aktifitas bakteri menjadi terhambat. seiring dengan pernyataan Tanuwijaya (1975) dalam Amsyah (2011) yakni jumlah bakteri yang terlalu banyak dapat menyebabkan sporulasi yang terlalu cepat sehingga sebagian energi tidak digunakan untuk memperbanyak sel, sebaliknya jika jumlah koloni terlalu sedikit akan menyebabkan pertumbuhan tidak maksimal. Tingginya kadar amonia pada perlakuan ini juga diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan laju pertumbuhannya menurun, pada perlakuan ini amonia yang terukur selama penelitian sangat tinggi yakni berkisar antara 0-0,75 mg/L. Menurut Effendi (2003) tingginya amonia dalam suatu perairan dapat menghambat laju pertumbuhan pada ikan.