BEBERAPA MASALAH TENTANG PEMBERHENTIAN PRESIDEN DALAM

antara sistem presidensial dan parlementer dan garis tanggung jawab serta ... Perbedaan pandangan terhadap perilaku Presiden dan lembaga kepresidenan...

51 downloads 536 Views 61KB Size
BEBERAPA MASALAH TENTANG PEMBERHENTIAN PRESIDEN DALAM SISTEM PEMERINTAHAN KUASI PRESIDENSIAL DI INDONESIA MIRZA NASUTION, SH,M.Hum. Fakultas Hukum Bagian Ilmu Tatanegara Universitas Sumatera Utara SISTEM PEMILU Penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) merupakan unsur yang harus ada dalam pemerintahan demokrasi. Pemilihan umum di negara demokrasi dapat dipandang sebagai awal dari paradigma demokrasi. Di samping unsure pemilihan umum, di negara demokrasi juga harus ada unsur pertanggungjawaban kekuasaan. Oleh karena itu jika pemilihan dapat dipandang sebagai awal maka pertanggungjawaban kekuasaan harus dapat dipandang sebagai akhir paradigma di setiap negara yang demokrasi.1 Pada akhir perjalanan demokrasi pemerintahannya berbentuk republik, Presiden wajib memberikan pertanggungjawaban kekuasaan. Hubungan antara rakyat dengan Presiden pada saat pelantikan Presiden oleh MPR dapat dipandang sebagai penerimaan perjanjian oleh Presiden untuk melaksanakan pemerintahan demi kepentingan rakyat.2 Salah satu prinsip yang ada dalam pemerintahan modern adalah adanya pertanggungjawaban. Kekuasaan pemerintahan harus dilaksanakan secara bertanggung jawab karena kekuasaan itu lahir dari suatu kepercayaan rakyat. Kekuasaan yang diperoleh dari suatu lembaga yang dibentuk secara demokratis adalah logis harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Dengan demikian pertanggungjawaban merupkan merupakan syarat mutlak yang harus ada pada pemerintahan demokrasi. Di negara demokrasi tidak satupun kekuasaan yang tidak perlu pertanggungjawaban. Doktrin ini hanya berlaku untuk kekuasaan dalam arti real power yang dilaksanakan oleh Presiden selaku kepala eksekutif. Kekuasaan Kepala Negara yang not a real power tidak perlu dipertanggungjawabkan. Presiden yang bertanggung jawab dalam negara republik secara politis mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada pemilik kedaulatan.3 Menurut penjelasan UUD 1945 Presiden di Indonesia tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Dengan demikian , secara formal MPR setiap saat dapat 1

2

3

Dikutip dari Soewoto, Kekuasaan dan Tanggung jawab Presiden Republik Indonesia (Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridik Pertanggungjawaban Kekuasaan), (Disertasi: Universitas Airlangga), Surabaya, 1990, halaman.148 M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Alumni, Bandung, 1981, halaman 42-43. Menurut Rousseau pada waktu kelahirannya tiap manusia sungguh-sungguh merdeka (tout homme est libre). Tetapi agar kepentingan dan hak-haknya terjamin, tiap-tiap orang dengan sukarela menyerahkan hak dan kekuasannya kepada suatu organisasi yang diadakannya bersamasama dngan orang lain yang disebut dengan “Negara”. Terhadap organisasi tersebut diserahkan kemerdekaan/alamiahnya dan di bawah organisasi itu manusia mendapat kembali kemerdekaan sipil, yaitu kemerdekaan berbuat segala sesuatu asal dalam batas lingkungan undang-undang (status civilis). Pada hakikatnya yang berdaulat ialah rakyat sedangkan pemerintah hanya menjadi wakilnya saja. Apabila pemerintah tidak menjalankan urusannya sesuai dengan kehendak rakyat maka pemerintah itu harus diganti, kedaulatan rakyat berdasarkan kehendak umum (volonte generale), dari hal tersebut Jean Jacques Rousseau terkenal dengan nama teori kedaulatan rakyat. Lihat Bonny dan Novan, penolakan pertanggungjawaban Presiden Sebagai Mandataris MPR, Majalah Hukum dan kemasyarakatan, Vonis, Jakarta, 1991, hal.1

© 2003 Digitized by USU digital library

1

bersidang meminta pertanggungjawaban Presiden. Bila konsep ini dijalankan, setiap saat Presiden dapat diberhentikan tetapi hal ini tidak menjamin kestabilan pemerintahan. Dalam asas-asas umum perundang-undangan yang baik, dipersyaratkan bahwa setiap produk perundang-undangan harus didasarkan atas alasan yang sah. Putusan penghentian Presiden oleh MPR harus pula didasarkan atas alas an yang sah, t8idak mengurangi kekuatan berlaku TAP MPR, sepanjang TAP MPR tersebut belum dicabut. Pada system perundang-undangn tidak dikenal putusan batal demi hokum (nietig van rechtwege) tanpa melalui proses pencabutan. Dalam TAP. MPR No.VIII/MPR/2000 Tentang Laporan Tahunan Lembaga Tinggi Negara pada sidang tahunan MPR 2000, Presiden mendapatkan penugasan, antara lain: di bidang politik dan keamanan Presiden diminta perhatian yang sungguh-sungguh dan bersikap tegas terhadap gerakan separatisme yang mengancam keutuhan Indonesia. Di bidang ekonomi, Presiden diharapkan segera mempercepat penyehatan perbankan, membantu Bank Indonesia dalam menstabilkan nilai tukar rupiah, mempercepat program penyelesaian utang dalam valuta asing perusahaan swasta nasional dan BUMN. Di bidang investasi, Presiden ditugaskan menciptakan stabilitas politik dan keamanan, menjamin kepastian hukum dan memperbaharui Undang-Undang Penanaman Modal. Di bidang ekonomi kerakyatan, Presiden diminta menyediakan kredit program dalam jumlah yang memadai untuk pengusaha kecil, menengah dan koperasi. Di bidang hukum dan HAM Presiden diminta sungguh-sungguh melaksnakan TAP MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Di bidang manajemen pemerintahan, Presiden diminta memberikan tugas kepada Wakil Presiden melalui Keputusan Presiden sesuai dengan pernyataan presiden yang disampaikan pada pidato jawaban terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi MPR di hadapan Sidang Tahunan MPR tanggal 9 Agustus 2000. Penugasan MPR sebagai tindak lanjut dari hasil pembahasan laporan tahunan Presiden, merupakan haluan negara yang ditetapkan oleh MPR dan harus dilaksanakan oleh Presiden. Oleh sebab itu, haluan negara yang ditetapkan oleh MPR ini menjadi sebagian tolok ukur kebrhasilan Presiden. Ukuran menggunakan pelanggaran terhadap pelaksanaan haluan negara sebenarnya sangat mudah didakwakan kepada Presiden atas permintaan DPR. Melalui memorandum pertama, Presiden telah dipersalahkan tidak melaksanakan TAP.MPR No.XI/MPR/1998. Oleh karena itu Sidang Umum (SI) yang diselenggarakan sebagai tindak lanjut dari memorandum kedua, dapat dibenarkan sebatas materi pertanggungjawaban atas pelaksanaan TAP. MPR No. XI/MPR/1998. Penyelenggaraan Sidang Umum (SI) dengan agenda pertanggungjawaban Presiden melalui mekanisme yang diatur dalam TAP. MPR No.III/MPR/1978 tidak dapat dipercepat. Sidang Istimewa MPR yang dipercepat hanya dapat dilaksanakan di luar jalur TAP MPR No.III/MPR/1978 sehingga pelaksanaan harus langsung didasarkan UUD 1945. Di samping itu, materi pertanggungjawaban harus di luar materi pelaksanaan TAP. MPR No.XI/MPR/1998. Dalam hal terjadi Sidang Umum (SI) yang dipercepat, Presiden sangat beralasan meminta MPR agar diberikan kesempatan untuk melaksanakan penugasan tersebut sampai habis masa jabatannya.4 Apabila direnungkan secara mendalam, ukuran pelanggaran haluan negara dipahami sebagai “ Tidak dilaksanakannya atau belum dilaksanakannya “ haluan negara yang ditugaskan oleh MPR dan otoritas menentukan pelanggaran itu pada MPR atas prakarsa DPR maka dengan mudah tanpa alas an hokum yang sah kekuatan suara mayoritas dapat menjatuhkan Presiden dalam masa jabatannya. Apalagi dari sudut kelembagaan MPR adalah sebuah lembaga kolektif dan komposit 4

Harian Kompas, 14 Oktober 1999

© 2003 Digitized by USU digital library

2

sedangkan lembaga kepresidenan adalah sebuah lembaga yang dipimpin dan ditanggungjawabi satu orang yang dibantu oleh Wakil Presiden dan pembantupembantu Presiden (cabinet), yang apabila dibahas secara logika manusia lebih mudah untuk menjatuhkan kekuasaan Presiden karena sangat memungkinkan dalam memberikan suatu dukungan atau tidak terhadap kebijaksanaan yang dijalankan oleh Presiden apalagi jika tidak didasarkan kepada suatu alasan yang sah. Di Indonesia peranan eksekutif dan legislatif dapat dilihat melalui apa yang sesungguhnya menjadi kekuasaan, otoritas, tanggung jawab dan pertanggungjawaban masing-masing lembaga tersebut. Di Indonesia, Presiden adalah Kepala Pemerintahan selain juga Kepala Negara. Namun Presiden berada di bawah MPR. Dengan perkataan lain Presiden adalah administrator negara tertinggi setelah MPR. Dengan demikian Presiden mempunyai dua pertanggungjawaban baik kepada MPR maupun kepada konstitusi. Saat ini sedang berlangsung perdebatan aktif apakah pemilihan langsung harus diterapkan untuk menentukan Presiden dan Wakil Presiden. Diskusi semacam itu akan memiliki implikasi yang sangat besar terhadap hubungan Presiden dengan MPR. Jika langkah-langkah seperti ini diterapkan, fokusnya tidak hanya pada proses pemilihan tetapi juga pada revisi kekuasaan dan status konstitusi dari kepresidenan tersebut. Dalam konteks saat ini MPR yang menentukan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Oleh karena itu ptresiden tidak mempunyai peranan dalam membuat kerangka GBHN ini, maka ia mendapat tugas untuk menerapkan kebijakan tersebut sesuai dengan GBHN tersebut. Hal ini berbeda dari system presidensial yang melakukan impeachment hanya bila terjadi pelanggaran terhadap konstitusi, sumpah jabatan atau melakukan tindak kejahatan, MPR dapat memberhentikan Presiden di tengah masa baktinya kalau terbukti melanggar kebijakan nasional. Kedudukan konstitusional Presiden akan sangat terganggu walaupun prosesnya dipertimbangkan secara lebih matang dan lebih berhati-hati daripada mosi tak percaya yang bias menurunkan seorang Perdana Menteri.5 Dalam hal tersebut MPR adalah lembaga tertinggi yang menjalankan kedaulatan rakyat. Kejadian akhir-akhir ini yang ditandai dengan jatuhnya Presiden Abdurrahman Wahid telah menegaskan hal ini dan memunculkan pertanyaan yang patut direnungkan apakah Presiden-Presiden berikutnya akan dijatuhkan dengan cara serupa? Dalam proses peninjauan konstitusi, Indonesia yang harus merevisi apakah MPR sebagaimana yang ditetapkan sebagai lembaga yang melaksanakan tugas-tugas badan tertinggi menetapkan GBHN yang selama ini ditetapkan sebagai lembaga tertinggi negara yang menunjukkan adanya superioritas lembaga negara di negeri ini. Sehingga dalam menjalankan sistem pemerintahannya Indonesia berada di antara sistem presidensial dan parlementer dan garis tanggung jawab serta pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas. Dalam hal ini dapat muncul problem dalam kerangka sistem pemilu yaitu: 1. Mengapa masalah peranggungjawaban Presiden cenderung untuk dijadikan sarana menjatuhkan Presiden dari jabatannya yang berakhir dengan pemberhentian Presiden? 2. Apakah layak secara hukum tindakan pemberhentian Presiden sebelum berakhir masa jabatan berdasarkan nilai keadilan? 5

National Democratic Institute, On Presidential Constitution, Provisions Regarding The Presidency and The Roles Of Heads Of State and Head Of Government (May 2001). Dikutip dari laporan hasil konferensi yang berjudul “Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi di Indonesia” yang diadakan di Jakarta, pada bulan Oktober 2001, International Idea, hal.103-104

© 2003 Digitized by USU digital library

3

3. Faktor-faktor apa yang menjadi parameter Presiden dalam menjalankan kekuasaannya?

penilaian

pertanggungjawaban

Pentingnya system petanggungjawaban Presiden dalam sebuah negara yang berbentuk republik didasarkan kepada beberapa teori yang saling berkaitan. Teori kedaulatan rakyat timbul sebagai reaksi dari kedaulatannya yang diprakarsai oleh Jean Jacques Rousseau yang mengajarkan bahwa dengan perjanjian masyarakat (Du Contract Social) maka orang menyerahkan kebebasan hak-hak serta wewenangnya pada rakyat seluruhnya, yaitu natural liberty dalam suasana bernegara kembali sebagai “Civil Liberty”.6 Sehingga kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat yang diselenggarakan dengan melalui perwakilan yang berdasarkan suara terbanyak (volonte generale). Di Indonesia kedaulatan ini tecermin dari pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang mengatakan “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Sesuai dengan ketentuan di atas dapat dijelaskan bahwa negara Republik Indonesia melalui Undang-Undang Dasarnya menganut faham kedaulatan rakyat. Istilah kedaulatan dalam rangkaian kata kedaulatan rakyat adalah padanan kata istilah Inggris “Souvereignty”. Sri Soemantri membagi aspekaspek kedaulatan itu menjadi dua macam aspek, yaitu: pertama, kedaulatan ke dalam dan kedaulatan ke luar (The Legal and The Political Souvereignty).7 Jika kedaulatan dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dihubungkan dengan berbagai macam aspek seperti dikemukakan di atas sehingga sampai kepada kesimpulan yaitu masalah yaitu masalah di atas menyangkut ke dalam. Dengan demikian hal itu berarti kekuasaan MPR sebagai “Body of person in the state over individuals or associations of individuals with in the area of its jurisdiction”.8 Berdasarkan ajaran teori kedaulatan rakyat yang mendasarkan diri kepada kemauan rakyat dapat dihubungkan dengan ajaran demokrasi yang menggambarkan sebagai “The government from the people, by the people, for the people”. Ajaran ini secara essensial mengandung arti bahwa pemerintahan dimiliki dan dijalankan sendiri oleh rakyat (Rakyat memerintah dari mereka sendiri). Menurut Bagir Manan pemerintahan demokrasi merupakan pemerintahan yang paling mendekati fitrah manusia sebagai makhluk yang lahir dalam kebebasan dan persamaan. Dalam lembaga rakyat mengatur dan mengurus diri mereka sendiri. Pemerintahahn semacam ini akan menjamin berlangsungnya kehidupan secara tenteram dan damai, karena rakyat yang diperintah tidak mungkin mengganggu, memberontak atau merebut kekuasaan terhadap aturan yang ditentukan dan dilaksanakan sesuai dengan keamanan yang bertanggung jawab kepada rakyat tanpa melihat apakah itu kerajaan atau republik.9 Teori yang berhubungan dengan ajaran kedaulatan rakyat tersebut sehubungan dengan perkembangan kehidupan kenegaraan adalah ajaran pemisahan kekuasaan (saparation of powers). Ajaran pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan bertujuan untuk membatasi kekuasaan badan-badan atau pejabat penyelenggara negara dalam batas-batas cabang kekuasaan masing-masing. Dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan tersebut dapat dicegah penumpukan 6 7

8 9

Padmo Wahyono, Ilmu Negara (Kumpulan Kuliah), Jakarta, 1996, hal.161. Dihimpun oleh T. Amir Hamzah, S.H. dkk. Bandingkan dengan tulisan James Bryce dalam bukunya “Studies in History and Jurisprudence”, two volumes, vol.1, 1901, hal 51-73, membedakan antara “Legal Souvereignty” (De Jure) dan “Practical Souvereignty” (De Facto). Lihat rumusan C.F. Strong, Modern Political Constitution, 1960, hal.146 Bandingkan dengan Moh. Hatta, Kedaulatan Rakyat, Usaha Nasional, Surabaya, 1976

© 2003 Digitized by USU digital library

4

kekuasaan di satu tangan yang akan menimbulkan penyelenggaraan pemerintahan sewenang-wenang.10 Hal senada juga dapat dilihat dari pendapat Prof. Soepomo yang menyatakan kekuasaan dan tanggung jawab terpusat kepada Presiden dan Presidenlah penjelmaan dari kedaulatan rakyat. Perbedaan pandangan terhadap perilaku Presiden dan lembaga kepresidenan dapatlah dipandang sebagai hal yang menentang kedaulatan rakyat. Di sinilah tampaknya jelas dalam struktur ketatanegaraan yang berlaku, lembaga kepresidenan menjadi kekuasaan yang absolut. Oleh karena belum bakunya sistem pertanggungjawaban Presiden secara konstitusional di Indonesia menganut system pemerintahan parlementerkah atau presidnsialkah? Hal ini mungkin disebabkan belum diaturnya ketentuan tersebut secara konstitusional sebagaimana dinyatakan Prof. Harun Alrasid, nyatalah bahwa mengenai persoalan apakah dasar konstitusional dari pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, jawabnya adalah tidak ada. Yang ada adalah dasar ekstra konstitusional.11 Jika dasar hukum konstitusional akan dicari-cari dan hal ini biasanya merupakan kegemaran para yuris (ahli hukum), tentu saja bias, yaitu dengan menyandarkan diri pada ketentuan pasal 1 ayat (2) dan pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Perbandingan hukum dipakai karena akan membandingkan latar belakang dan fungsi lembaga eksekutif yang berlaku di Indonesia dalam hal pertanggungjawaban Presiden dengan fungsi lembaga eksekutif dalam melaksanakan pertanggungjawaban di Amerika Serikat. Oleh karena menurut pasal 4 UUD 1945 memegang kekuasaan pemerintahan maka hal ini mengandung arti bahwa pejabat tersebut adalah pemerintah. Terlebih lagi apabila hal itu dihubungkan dengan ketentuan pasal 17 UUD 1945, yang mengatakan bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Seperti telah diutarakan di muka dengan mengadakan tinjauan perbandingan dengan Hukum Tata Negara Amerika Serikat, dapat dikatakan bahwa menteri-menteri itu bukanlah merupakan subjek terhadap kehendak dari DPR dan MPR. Dengan kata lain, kekuasaan eksekutif di Indonesia seperti halnya yang berlaku di Amerika Serikat dipegang oleh seorang pejabat saja yang menjalankan tugasnya untuk waktu yang telah ditentukan12 yakni lima tahun. Dengan mempergunakan ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer dan system pemerintahan presidensial C.F. Strong, maka dapat dikatakan bahwa sistem yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Indonesia itu mengandung segi-segi parlementer berdasarkan pola Inggris dan segi-segi presidensial berdasarkan pola Amerika Serikat.13 Pertanggungjawaban Presiden kepada MPR menimbulkan 10

Bagir Manan, Op.Cit, hal.9 Harun Alrasid, Hubungan Antara Presiden dan MPR, Pelita Ilmu, Jakarta, 1968, hal.10 12 Bandingkan dengan makalah T.A. Legowo yang berjudul “Paradigma Checks and Balances Dalam Hubungan Eksekutif-Legislatif” pada laporan hasil konfernsi yang diadakan di Jakarta, Oktober, 2001 oleh International Idea. Dalam sistem presidensial, sejalan dengan gagasan pemisahan kekuasaan, presiden dan anggota-anggota badan legislative dipilih secara terpisah untuk masa jabatan tertentu. Presiden tidak mempunyai wewenang untuk memecat anggota legislatif. Pemecatan dini baik anggota legislative maupun Presiden hanya dapat dilakukan melalui pemungutan suara di Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam kondisi khusus. Dalam kondisi normal, bahkan jika partai politik Presiden merpakan minoritas di badan legislatif, Presiden tetap akan berada dalam posisinya hingga akhir masa jabatan yang telah ditentukan dalam pemilihan umum. Tetapi pada umumnya sistem presidensial, masa jabatan presiden dibatasi untuk beberapa kali saja, karena faktor historis maupun untuk mencegah kelanggengan kekuasaan seorang Presiden yang terlalu kuat. 13 Sri Soemantri M, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Rajawali, Jakarta, 1984, hal.94-95 11

© 2003 Digitized by USU digital library

5

pendapat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menjalankan sistem pemerintahan campuran antara sistem parlementer dan presidensial. Pertanggungjawaban presiden kepada MPR dipandang sebagai aspek parlementer karena dianggap serupa dengan pertanggungjawaban kabinet kepada parlemen (Badan Perwakilan Rakyat).Tidak dapat disangkal, MPR adalah badan Perwakilan Rakyat. Tetapi, tidak dapat langsung disimpulkan bahwa karena bertanggung jawab kepada MPR sebagai Badan Perwakilan Rakyat, maka dianggap terdapat segi parlementer. Dalam sistem parlementer Pemerintah mempertanggungjawabkan segala tindakan penyelenggaraan pemerintahan. Pertanggungjawaban ini tidak berkaitan dengan suatu pelanggaran tetapi brkaitan dengan kebijakan (beleid). Berbeda dengan pertanggungjawaban Presiden kepada MPR yang terbatas kepada pelanggaran yaitu pelanggaran terhadap haluan negara dan atau Undang-Undang dasar seangkan mengenai kebijakan (beleid) tidak dapat menjadi dasar meminta pertanggungjawaban. Dari sifat pertanggungjawaban ini, pertanggungjawaban Presiden kepada MPR lebih mendekati pranata impeachment daripada pertanggungjawaban parlementer. Apa dasar pembatasannya UUD 1945 tidak memuat pembatasan pertanggungjawaban? Pada bagian lain telah diuraikan bahwa sistem UUD 1945 menghendaki suatu penyelenggaraan pemerintahan yang stabil. Karena itu dipilih suatu sistem pemerintahan (Presiden menjalankan kekuasaan eksekutif riil) dan tidak betanggung jawab kepada DPR tetapi kepada MPR. Untuk menjamin stabilitas pemerintahan ini harus ada mekanisme pembatasan sistem pertanggungjawaban Presiden. Apabila pertanggungjawaban presiden kepada MPR serupa dengan pertanggungjawabn kabinet parlementer ini dikhawatirkan akan mengganggu tujuan membentuk pemerintahan yang stabil. Karena itu, sangat wajar apabila pertanggungjawaban Presiden kepada MPR dibatasi, yaitu mengenai pelanggaran tertentu, dalam hal ini pelanggaran haluan negara dan atau UUD 1945.14 Reformasi Pemilihan Umum di Indonesia Pemilihan Umum Indonesia dalam tahun 1999 dilaksanakan menurut sistem pemilihan yang benar-benar unik di dunia. Pemilihan anggota-anggota legislatif dilaksanakan menurut bentuk representasi proporsional menurut daftar kepartaian yang menjamin bahwa partai-partai diwakili dalam proporsi yang cukup memadai denganperolehan suara mereka. Walaupun demikian, cara pengalokasian calon-calon individual untuk mewakili distrik-disrik tertentu merupakan sumber kebingungan yang sangat besar dan tidak dapat dikatakan telah berjalan dengan efektif. Tentu saja tidak ada pemilihan umum untuk posisi yang paling berkuasa di Indonesia, yaitu posisi Presiden. Keuntungan dan Kerugian Sistem Distrik Sistem distrik digunakan secara luas dinegara-negara seperti Indonesia, yakni negara-negara yang luas dan mempunyai banyak daerah (propinsi dan kabupaten/kota). Sistem ini digunakan oleh hampir sepuluh negara demokrasi yang telah mapan dan yang terbesdar di dunia dalam hal ukuran geografis maupun jumlah penduduk sebagai contoh: Perancis, Amerika Serikat, India, Kanada, Australia, dll. Alasannya cukup sederhana, di negara-negara yang luas dengan daerah-daerah geografi yang berbeda-beda. Perbedaan dan keragaman harus diwakili di legislatif dengan menggunakan unit-unit wilayah sebagai dasar untuk memilih anggota-anggota dewan.

14

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat Studi Hukum Universitas Iskam Indonesia dengan Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal.1

© 2003 Digitized by USU digital library

6

Salah satu akibat diberikannya perwakilan distrik yang lebih besar biasanya adalah untuk meningkatkan akuntabilitas pemilihan yaitu: akuntabilitas anggotaanggota individual dewan terhadap daerah pemilihan mereka. Secara global dan internasional, sejumlah negara yang luas dengan wilayah yang beragam dan yang menggunakan representasi proporsional sedang juga mempertimbangkan perubahan ke sistem yang berdasarkan distrik dengan maksud untuk mencapai akuntabilitas geografi yang lebih besar antara politisi dan daerah pemilihan dan juga untuk membuat politisi lebih responsif terhadap pemilih mereka. Menurut penelitian, politisi yang dipilih dari distrik-distrik yang secara geografis kecil ukurannya lebih responsive dan lebih bertanggung jawab terhadap daerah pemilihan daripada mereka yang dipilih berdasarkan daftar kepartaian yang luas. Mereka cenderung untuk bekerja lebih keras karena mereka yang berasal dari kursi yang paling marjinal. Mereka inilah yang sadar benar bahwa setiap suara akan sangat berarti dalam pemilihan umum berikutnya dan oleh karena itu mereka sangat menekankan usaha melayani keperluan distrik. Keuntungan lain dari pelaksanaan sistem distrik adalah layanan terhadap konstituen, dalam hal ini anggota-anggota lokal berada dalam dewan terutama untuk mewakili distrik yang memilih mereka dan membawa keuntungan untuk serta melayani distrik tersebut. Mayoritas negara-negara berkembang, misalnya layanan lokal sangat diperlukan untuk jalan raya, pemeliharaan kesehatan dan sebagainya. Oleh sebab itu muncul argumentasi yang mengatakan bahwa seorang anggota dewan yang mewakili kepentingan suatu distrik lebih penting daripada seseorang yang kesetiaan utamanya diberikan kepada partainya sendiri, suatu hal yang sering terjadi dalam sistem representatif proporsional. Problem yang akan muncul ketika sistem distrik diperkenalkan kepada masyarakat adalah: system apa yang akan digunakan untu menghitung suara bagi kursi daerah? Ada beberapa alternatif, alternatif yang paling mudah tetapi juga paling buruk adalah pluralitas atau kompetisi untuk bisa memenangkan suara terbanyak dalam suatu distrik. Mereka yang memenangkan suara terbanyaklah yang akan terpilih. Pilihan Ini ialah pilihan terburuk sebab dengan demikian seoramg calon akan dapat dengan mudah terpilih walaupun ia mengumpulkan suara lebih sedikit dari mayoritas. Sebagai contoh terdapat sepuluh orang calon yang mengumpulkan jumlah suara yang kurang lebih sama. Dalam hal ini pemenangnya adalah calon yang memenangkan sedikit lebih dari 10 persen suara. Kemungkinan orang ini orang yang tidak populer. Oleh karena itu, sejumlah negara yang menggunakan sistem distrik membuat peraturan yang menjamin bahwa calon-calon yang menang harus menerima suara mayoritas absolut, lebih dari 50 persen dari suara agar dapat terpilih. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara tetapi kesemuanya agak merumitkan proses pemberian suara. Pertama-tama, harus dilaksanakan pemilihan aduan seminggu atau lebih sesudah pemilihan pertama. Dalam pemilihan ini biasanya dua calon utama yang berasal dari pemilihan pertama beradu satu sama lain secara langsung dan pemenangnya akan dipilih. Teapi hal ini menimbulkan kesulitan besar dalam hal administrasi dan biaya karena pada dasarnya dalam banyak kasus yang terjadi diperlukan pemilihan umum yang kedua. Di sebagian negara-negara di dunia dilaksanakan system “aduan segera”. Dalam hal ini kepada pemilih akan ditanyakan siapa pilihan calon mereka yang kedua atau ketiga seandainya pilihan pertama mereka gagal untuk terpilih. Suara preferensi ini menjadi urgen jika tidak terdapat calon yang memenangkan suara mayoritas karena dengan demikian calon yang paling popular secara keseluruhan dapat diputuskan. Variabel penting lainnya dalam system distrik adalah keputusan mengenai bagaimana distrik akan dialokasikan dan bagaimana batas-batas distrik ditentukan. Sebuah distrik terdiri dari sejumlah unit pemerintahan seperti kabupaten. Sebagian

© 2003 Digitized by USU digital library

7

dari unit ini mungkin memiliki lebih banyak penduduk dari yang lainnya. Oleh sebab itu ada kebanyakan negara terdapat peraturan bahwa bats-batas distrik-distrik ini harus secara teratur disesuaikan sehingga akan selalu terdapat bagian penduduk yang kurang lebih setara di setiap distrik. Dengan cara seperti ini jelaslah bahwa sejumlah distrik dengan jumlah penduduk sedikit tidak mempunyai otoritas yang sama dengan distrik-distrik yang mempunyai jumlah penduduk yang lebih besar. Sebaliknya pula seluruh distrik mempunyai jumlah orang yang sama dalam batas yang telah didefinisikan secara hukum, biasanya lebih kurang 10 %. Dengan demikian, hal ini berarti bahwa batasan-batasan harus selalu dibuat lagi dan disesuaikan. Proses ini rumit dan diperkirakan menelan banyak biaya. Oleh sebab itu dalam beberapa hal, dapat disetujui adanya disparitas dalam ukuran distrik yang berbeda-beda. Dengan cara ini sejumlah negara secara sadar mengijinkan perwakilan yang berlebihan terhadap daerah-daerah yang penduduknya kurang, terletak jauh atau berada di daerah perbatasan. Semua variable ini mengacu kepada asumsi bahwa memecah-memecah pemilihan dan perwakilan menjadi ratusan daerah pemilihan yang kecil-kecil merupakan hal yang baik untuk sebuah demokrasi. Walaupun demikian, system distrik ini juga menimbulkan masalah (problem). Oleh karena pemilihan umum secara nasional dipecah-pecah menjadi ratusan lokal yang kecil-kecil, kecendrungannya mereka dapat menghukum partai-partai yang mendapatkan dukungan nasional untuk gerakan yang berbasis daerah. Dampaknya adalah, akan terdapat hasil keseluruhan yang tidak adil oleh karena sejumlah partai mungkin bias memenangkan sejumlah kursi dalam pemilihan nasional namum mereka hampir tidak mungkin menang dalam tingkat-tingkat daerah. Lazimnya, pemilihan seperti itu lebih memberikan kesempatan kepada partai-partai dengan kekuatan local yang paling kuat dan memberikan hukuman kepada partai-partai yang lebih kecil. Oleh karena itu banyak pakar dan sarjana yang menganalisis pelaksanaan pemilu merekomendasikan bahwa sistem yang berdasarkan distrik harus dimodifikasi supaya dalam sistem itu termasuk pula sejumlah kursi yang diperoleh secara perwakilan proporsional pada tingkat nasional. Pada akhirnya partai-partai yang tidak memenangkan banyak kursi menurut distrik akan dapat memperoleh perwakilan di dewan. Salah satu argumentasi yang menerima pendekatan ini adalah bahwa system campuran ini mengkombinasikan sistem distrik dan proporsional. Oleh sebab itu, sejumlah negara tetangga Indonesia seperti Filipina dan Thailand telah memilih sistem ini dalam akhir-akhir ini. Dalam sistem pemilihan gabungan pilihan-pilihan apa saja yang tersedia? Sistem gabungan ini mempergunakan baik daftar partai untuk perwakilan proporsional maupun distrik-distrik “yang menang penuh” untuk menjamin bahwa masalah-masalah perwakilan geografi dan perwakilan proporsional minoritas dapat ditanggulangi. Dalam kenyataannya system gabungan ini memberikan kepada si pemilik pilihan distrik dan pilihan partai pada tingkat nasional oleh karena system ini memberikan dua kertas suara yang berbeda. Hal ini berarti partai-partai minoritas yang kecil dan yang gagal dalam pemilihan distrik masih juga dapat memenangkan kursi menurut alokasi proporsional bagi mereka hal tersebut merupakan hadiah dari suara yang dikumpulkan. Tetapi ada satu kelemahan dari jumlah pilihan yang lebih besar adalah hal ini bias menciptakan dua kelompok anggota dewan. Satu kelompok akan berterima kasih pada daerah pemilihan mereka dan karena itu siap melakukan sesuatu untuk distrik mereka. Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang dipilih dari daftar kepartaian. Kelompok ini akan berterima kasih kepada pemimpin-pemimpin partai mereka dan tidak mempunyai ikatan formal dengan pemilih mereka. Sehubungan dengan kelemahan ini kegagalan system gabungan untuk menjamin adanya proporsionalitas yang menyeluruh berarti bahwa sejumlah partai mungkin masih

© 2003 Digitized by USU digital library

8

tidak bisa terwakili walaupun bias memenangkan kursi dalam jumlah yang cukup besar. Sistem gabungan ini dapat juga secara relatif bersifat kompleks, terutama jika diperlukan dua suara dan dapat juga membingungkan para pemilih mengenai sifat dan operasi sistem pemilihan. Sistem gabungan telah diperkenalkan di beberapa negara demokrasi baru dalam sepuluh tahun terakhir. Sistem ini menunjukkan ciri khusus rancangan sistem pemilihan di Asia. Hal-hal penting yang harus diputuskan ketika sistem gabungan15 diperkenalkan adalah : 1. Bagaimanakah keseimbangan antara kursi-kursi yang berasal dari pemilihan di distrik-distrik beranggota tunggal dan kursi-kursi yang berasal dari pemilihan berdasarkan daftar kepartaian? Pada beberapa negara, ada yang jumlah anggota-anggota legislatif yang berasal dari pemilihan distrik yang lebih besar daripada mereka yang berasal dari partai sedangkan dalam sejumlah negara lainnya hampir terdapat keseimbangan yang sempurna. Dalam sejumlah kecil negara lainnya sebaliknya terdapat jumlah anggota legislative dari partai yang lebih besar daripada mereka yang berasal dari pemilihan distrik. Pada kenyataanya, negara-negara yang terdapat di kawasan Asia dan Pasifik yang menggunakan system gabungan misalnya Jepang, Taiwan, Filipina dan Thailand jumlah anggota legislatif dari distrik lebih banyak daripada yang berasal dari partai. Misalnya di Filipina 80 persen dari kursi yang tersedia diperebutkan dalam pemilihan berdasarkan pluralitas di distrik-distrik. Sisanya, 20 persen berasal dari pemilihan berdasarkan perwakilan proporsional dari partai-partai. Masalah yang sangat penting untuk menentukan hasil pemilihan secara keseluruhan adalah: 2. Apakah suara yang berdasarkan kepartaian digunakan untuk menciptakan keseimbangan bagi hasil yang tidak proporsional yang berasal dari pemilihan distrik? Masalah ini sangat penting untuk menentukan hasil pemilihan secara keseluruhan. Dalam sejumlah negara misalnya Selandia Baru dan Jerman, kursikursi yang berasal dari partai dialokasikan sedemikian rupa untuk menjamin adanya hasil menyeluruh pemilihan yang sepenuhnya proporsional.Dengan kata lain, jika sebuah partai memenangkan 40 persen suara tetapi hanya 30 persen dari kursi di distrik yang beranggota tunggal, maka kursi yang berdasarkan daftar kepartaian akan dialokasikan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan partai itu memenangkan 40 persen dari semua kursi. Namun demikian, dalam beberapa negara, tidak terdapat keseimbangan antara keduanya dan kursi-kursi yang berasal dari daftar kepartaian hanyalah menjamin diperolehnya pemilihan oleh partai-partai minoritas bukan berdasarkan geografi. 3. Akankah pemilih mempunyai dua suara, satu untuk calon distrik mereka dan yang lainnya untuk partai atau hanya satu suara, yaitu hanya untuk calon distrik mereka? Pilihan ini mempunyai dampak praktis yang besar. Bila digunakan hanya satu suara maka pilihan si pemilih secara efektif dapat dihitung dua kali, sekali untuk menentukan pemenang dalam suatu konstituensi dan satu kali lagi untuk menentukan alokasi daftar partai. Yang lebih umum dalam system gabungan adalah bahwa seorang pemilih mempunyai dua suara, satu untuk distrik pemilihan individu tempat mereka mendaftar dan yang satu lagi untuk daftar nasional. Namun demukian, selama pem,ilihan untuk dua jenis anggota tidak sepenuhnya terpisah seperti di Jepang dan Rusia, mungkin saja dijalankan system dengan satu suara saja.] 4. Jenis sistem pemilihan apa yang akan digunakan untuk kursi-kursi distrik? Pada kenyataannya, kebanyakan contoh dari system gabungan menggambarkan kombinasi antara perwakilan proporsional daftar partai dan pluralitas langsung 15

International Idea, Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi di Indonesia, Laporan Hasil Konferensi yang diadakan di Jakarta, Indonesia, Oktober, 2001, hal. 253-258

© 2003 Digitized by USU digital library

9

yaitu pertarungan mengenai siapa yang lebih dulu sampai. Dalam beberapa negara kontes dua ronde (second round election) digunakan jika tidak ada yang memenangkan suara dalam mayoritas mutlak di distrik-distrik. Oleh karena itu hal ini mengatasi masalah umum yang biasa terdapat dalam sistem perwakilan proporsional, dimana seorang calon dalam proporsi kecil suara menang atas lawan-lawannya yang bersal dari dawerah yang terpecah dan mengumpulkan sedikit kurang dari mayoritas. Sistem aduan awal menghilangkan kemungkinan terjadinya hal ini, tetapi sistem inipun mempunyai masalah sendiri karena ronde kedua dari pemilihan harus dilangsungkan seminggu atau dua minggu setelah pemilihan pertama untuk memperebutkan sejumlah kursi. Salah satu cara untuk menghindarkan masalah ini adalah dengan menggunakan “aduan langsung”.

DAFTAR BACAAN Bagir

Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat studi Hukum Universitas Islam Indonesia dengan Gama Media, Yogyakarta, 1999 Bonny dan Novan, penolakan pertanggungjawaban Presiden Sebagai Mandataris MPR, Majalah Hukum dan Kemasyarakatan, Vonis, Jakarta, 1991 C.F. Strong, Modern Political Constitution, 1960 Harun Alrasid, Hubungan antara Presiden dan MPR, Pelita Ilmu, Jakarta, 1968 Harian Kompas, 14 Oktober 1999 Internasional Idea, Melanjutkan Dialog menuju Reformasi Konstitusi di Indonesia, Laporan Hasil Konfrensi yang diadakan di Jakarta, Indonesia, Oktober, 2001 James Bryce “Studies in History and Jurisprudence”, two volumes, vol.1, 1901, hal 51-73. M.Solly Lubis, Ilmu Negara, Alumni, Bandung, 1981 Moh.Hatta, Kedaulatan Rakyat, Usaha Nasional, Surabaya, 1976 National Democratic Institute, On presidential Constitution, Provisions regarding The Presidency and the Roles Of Heads Of State and Head Of Government, International Idea, Jakarta, 2001 Padmo Wahyono, Ilmu Negara (Kumpulan Kuliah), Jakarta, 1996, hal.161. Dihimpun oleh T.Amir Hamzah, SH. dkk Soewoto, Kekuasaan dan Tanggung Jawab presiden Republik Indonesia (Suatu Penelitian Segi-segi Teoritik dan Yuridik Pertanggungjawaban kekuasaan),(Disertasi: Universitas Airlangga), Surabaya, 1990

© 2003 Digitized by USU digital library

10