CASE REPORT A. IDENTITAS PASIEN

utama ekstremitas inferior sinistra lebih pendek daripada dextra yang dialami sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu. ... Vaskularisasi pada articulatio...

198 downloads 834 Views 1MB Size
CASE REPORT

A. IDENTITAS PASIEN Nama

: Nn. F

Jenis Kelamin : Perempuan Usia

: 18 tahun

Alamat

: Salubone

RM

: 725877

Masuk RS

: 21 September 2015

B. ANAMNESIS Keluhan Utama

: Tungkai bawah kiri lebih pendek

Anamnesis terpimpin

:

Dirasakan sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu, setelah mengalami kecelakaan lalulintas. Saat itu pasien menumpang sebuah motor kemudian terjatuh dengan panggul kiri terlebih dahulu menyentuh aspal. Pasien kemudian merasakan nyeri pada panggul kirinya sehingga tidak dapat berjalan dan sejak saat itu pasien merasa tungkai kirinya menjadi lebih pendek dari tungkai kanan. Pasien kemudian masuk ke rumah sakit daerah Pinrang selama 2 hari dan telah dilakukan penarikan pada tungkai kirinya namun tidak dapat kembali seperti semula. Setelah itu pasien keluar dari RS dan diurut dirumahnya. Sejak saat itu pasien tidak dapat berjalan sebab jika tungkai kiri digunakan untuk berjalan akan terasa sakit. BAK dan BAB kesan normal. Pasien lalu mengunjungi Poliklinik Ortopedi dan Traumatologi RSWS. Riwayat diurut ada. Riwayat minum jamu-jamuan tidak ada. Riwayat trauma sebelumnya tidak ada.

C. PEMERIKSAAN FISIS 1. Status Generalis KU

: Gizi cukup, Compos mentis

TD

: 120/70 mmHg

1

Nadi

: 84 x/menit

Pernapasan

: 20 x/menit

Suhu

: 36,6 0C

2. Status Lokalis

Gambar 1. Extremitas inferior ventral.

Gambar 2. Extremitas inferior tampak lateral.

Gambar 3. Tes Galleazi

2

Regio Hip joint a. Look

: Tampak deformitas berupa shortening, tidak ada edema, tidak ada hematom

b. Feel

: Tidak ada nyeri tekan

c. Move

: Tidak ada nyeri saat digerakkan Gerak aktif tidak dapat dilakukan. Gerak pasif :

d. NVD

kanan

kiri

Fleksi

1200

1200

Abduksi

600

300

Adduksi

300

300

Rotasi Eksterna

500

500

Rotasi Interna

300

300

: Sensibilitas baik, pulsasi arteri dorsalis pedis teraba, CRT <2 detik.

Right

left

ALL

85

79

TLL

91

85 6

LLD

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Laboratorium WBC

6,75

RBC

4,04

PLT

200

HGB

12,8

HCT

38,9

CT/BT

8’00/2’00

3

2. Radiologi

Foto Hip Joint AP (tanggal 18 Agustus 2015) : E. RESUME Perempuan usia 18 tahun masuk RS Wahidin Sudirohusodo dengan keluhan utama ekstremitas inferior sinistra lebih pendek daripada dextra yang dialami sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu. Nyeri (+) saat berjalan pada panggul kiri. Riwayat jatuh dari motor dengan pelvis sinistra yang terlebih dahulu menyentuh aspal sehingga terjadi shortening pada extremitas sinistra dan tidak extremitas sisnistra tidak dapat digunakan berjalan. Riwayat dirawat di RSUD Pinrang dan dilakukan reduksi tertutup namun tidak berhasil dan pasien meminta keluar dari RS. Riwayat diurut (+). Pada pemeriksaan fisis didapatkan pasien dengan keadaan umum baik. Status vitalis dalam batas normal. Status lokalis hip joint sinistra, look: deformitas (+)berupa shortening, edema (-), hematoma (-), feel: nyeri tekan (-), move: nyeri saat digerakkan (-), gerak aktif tidak dapat dilakukan dan gerakan pasif ROM: penurunan pada gerakan abduksi yaitu sebesar 30o. Pada pemeriksaan penunjang foto polos pelvis AP tampak hip joint dextra kesan normal dan pada hip joint sinistra tampak dislokasi head femur ke arah

4

superolateral yang memberikan gambaran dislokasi hip joint sinistra posterior. Tidak tampak fraktur pada head femur, acetabulum, maupun posterior wall.

F. DIAGNOSIS Neglected Dislocation Left Hip Joint

G. RENCANA TERAPI Analgetik Rencana open reduction

5

HIP JOINT DISLOCATION

I. PENDAHULUAN Dislokasi adalah pindahnya permukaan sentuh tulang yang menyusun sendi. Cedera ini dihasilkan oleh gaya yang menyebabkan sendi melampaui batas normal anatomisnya.9 Articulatio coxae merupakan sendi “ball and socket” yang terbentuk dari caput femoris dan acetabulum. Articulatio ini memiliki banyak penonjolan yang dapat dipalpasi. Spina iliaca anterior superior dan trochanter major merupakan struktur yang dengan mudah dapat dipalpasi pada daerah lateral, dan symphysis pubic serta tuberculumnya (sekitar 1 inci lateral dari symphysis) dapat dipalpasi dari sisi medial. Articulatio coxae ini merupakan sendi dengan pergerakan yang sangat luas.1 Dislokasi dari articulation coxae biasanya merupakan hasil dari trauma sedang hingga berat. Trauma tersering (42%-84%) merupakan akibat kecelakan kendaraan bermotor. Selain itu dapat pula terjadi pada traupa akibat jatuh dari ketinggian, trauma saat berolahraga, dan kecelakaan daerah industry. Dislokasi posterior merupakan kelainan terbanyak dibandingkan dislokasi anterior yaitu sekitar 89%-92%. Sekitar 30% pasien dengan dislokasi articulation coxae tidak disertai dengan fraktur acetabulum, dan dislokasi tersering tanda disertai fraktur adalah dislokasi posterior yaitu sekitar 80%.2 Dislokasi articulation coxae pada anak-anak merupakan kejadian yang relative jarang. Pada anak <5 tahun, trauma minor seperti tergelincir atau trauma berenergi rendah dapat menyebabkan dislokasi articulation coxae, dimana pada remaja dislokasi ini disebabkan oleh trauma mayor seperti kecelakaan kendaraan bermotor. Dislokasi posterior sedikitnya 8-9 kali lebih sering terjadi daripada dislokasi anterior, dan terapinya secara umum dengan reduksi tertutup dengan tersedasi atau anestesi general yang diikuti dengan imobilisasi dan tidak mengangkat beban dalam waktu singkat. 3

II. ANATOMI Articulasio ini berada didalam kapsul yang melekat pada pinggiran acetabulum dan collum os femur.

6

Gambar 1. Anatomi os pelvic tampak anterior4

Terdapat 5 ligamentum yang berhubungan dengan articulation ini yaitu: a. Ligamentum iliofemoral yang merupakan ligamentum terkuat, yang melekan membentuk huruf “Y” dan terletak dibagian anterior dari sendi. Dasarnya berada pada bagian atas spina iliaca anterior inferior; dan kedua kaki dari “Y” melekat pada bagian atas dan bawah linea intertrochanterica os femur. Ligamentum ini mencegah hiperekstensi selama berdiri dan membatasi gerakan rotasi externa dari articulation coxae dan merupakan penghalang utama dalam reduksi pada dislokasi posterior. 3,5,9 b. Ligamentum pubofemoral yang berbentuk triangular (segitiga) dan terletak dibagian inferior. Bagian dasar ligamentum melekat pada ramus superior os pubic, dan apexnya melekan di bawah bagian linea intertrochanterica distalis. Ligamentum ini berfungsi membatasi gerakan ekstensi dan abduksi.5,9 c. Ligamentum ischiofemoral berbentuk spiral yang melekat pada corpus os ischium dekat dengan margin acetabulum. Serabut ligamentum ini melewati bagian superior dan lateral dan melekat pada trochanter major. Ligamentum ini berfungsi mengurangi gerakan rotasi interna, rotasi eksterna, dan ekstensi. 4,5,9 7

d. Ligamentum transversalis acetabular yang terbentuk dari labrum acetabulum yang mengelilingi acetabulum. Ligamentum ini merupaka lapisan kartilago yang tebal yang meluas kea rah luar dari acetabulum yang memperdalam cavitas acetabulum. 1,5,9 e. Ligamentum pada caput femoris benbentuk pipih dan triangular (segitiga). Ligamentum ini disebut ligamentum teres yang berfungsi menghubungkan caput femoris ke bagian sentral acetabulum dan melindungi pembuluh darah yang memperdarahi caput femoris. 1,4,5,9

Gambar 2. Struktur ligament pada articulation coxae6

Musculus yang terdapat disekitar articulation coxae merupakan musculus yang berukuran besar dan kuat dan berkontribusi secara signifikan dalam aktifitas dari caput femoris. Musculus ini dapat dikelompokkan menjadi 3 kompartemen utama yaitu: a. Kompartemen anterior yang terdiri dari M. iliopsoas, tensor fascia latae, M. Sartorius, dan M. quadriceps femoris. b. Kompartemen medial yang terdiri dari M.pectineus, M.gracilis, M.obturator externus, M.adductor magnus, brevis, dan longus. Mekanisme kerja dari musculus medial ini adalah dalam gerakan adduksi dari femur.

8

c. Kompartemen

posterior

yang

terdiri

dari

M.hamstring

yaitu

M.semitendinosus, M.semimembranosus, dan M.biceps femoris. Musculus ini berfungsi dalam gerakan ekstensi articulation coxae. 1

Gambar 3. Musculus pada daerah articulation coxae6

Tabel 1. Musculus pada region femoris6

9

Gambar 4. Vaskularisasi pada articulation coxae4

Articulatio coxae merupakan sendi dengan bentuk yang kompleks yaitu ball-and-socket yang memungkinkan pergerakan 3 dimensi. Namun ruang gerak (range if metion) pada articulation ini masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan articulation humeri (yang juga merupakan sendi ball-and-socket) karena cavitas acetabulum lebih dalam daripada cavitas glenoidalis. 3

Gambar 5. ROM dari articulation coxae7

10

Tabel 2. ROM dari articulation coxae7

III. MEKANISME TRAUMA Terdapat 2 mekanisme utama trauma pada dislokasi articulation coxae. Pada kelompok umur muda (<5 tahun), trauma berupa jatuh ringan dan tergelincir dapat mengakibatkan dislokasi articulation ini karena kelemahan sendi secara menyeluruh dan kartilago acetabulum yang masih lunak pada kelompok umur ini. Pada kelompok umur yang lebih tua (11-15 tahun), dislokasi art.coxae lebih sering dikarenakan trauma berenergi besar (trauma pada atlet atau kecelakaan kendaraan bermotor). Hal ini penting diketahui sebab dengan mengetahui mekanisme trauma yang terjadi dapat memberikan gambaran prognosisnya dimana pada trauma dengan energi besar akan memberikan prognosis yang kurang baik. 3 Dislokasi pada panggul terbagi menjadi 3 jenis dislokasi, yaitu: a. Dislokasi panggul posterior terjadi sebagai akibat dari trauma pada distal femur yang diarahkan secara langsung ke posterior. Hal ini sering terjadi pada trauma akibat kecelakaan kendaraan bermotor dimana pasien duduk dikursi depan selama tabrakan terjadi kemudian lutut akan bertubrukan dengan dashboard dan mendorong caput femoris ke belakang keluar dari acetabulum. Mekanisme trauma ini sering menyebabkan trauma lain seperti fraktur corpus femur, distal femur, patella, atau tibia proximal. 3 Dislokasi panggul posterior terjadi setelah adanya tubrukan pada lutut dimana coxae dalam posisi fleksi. 1 Pada dislokasi panggul posterior, ligamentum teres akan terjadi avulsi, kapsul posterior articulation coxae ruptur, biasanya terjadi fraktur pada fragmen posterior acetabular rim, dan akan terjadi rupture atau avulsi dari labrum. Robekan kapsul tersebut mungkin akan terdapat pada perlekatannya di labrum posterior atau pada struktur yang ada

11

ditengahnya. midsubstance. Otot-otot rotator lateral seperti M. obturatorius internus, M.piriformis, M.obturatorius externus, dan M.quadratus femoris akan rupture disepanjang kapsul baik secara parsial ataupun total. M.Gluteus maximus, medius, dan minimus, akan teregang dan mengalami translasi ke posterior dari caput femoris. Struktur dan kondisi yang dapat mencegah terjadinya reduksi yaitu diantaranya M.piriformis yang berpindah melewati acetabulum, adanya fragmen osteocartilabenous, adanya lipatan pada labrum dan kapsul, dan adanya buttonholing di caput femoris karena adanya robekan kecil di kapsul posterior. 3

Gambar 6. Mekanisme trauma pada dislokasi panggul posterior 1

b.

Dislokasi panggul anterior diakibatkan dari trauma langsung dari anterior yang terjadi pada femur dalam posisi abduksi dan rotasi eksterna. Caput femur berpindah ke anterior. Caput femoris akan berpindah ke depan dan biasanya akan terletak di atas dari foramen obturatorius.

3

Dislokasi ini

terjadi sebagai akibat dari adanya trauma pada posisi adduksi yang menyebabkan terjadinya pergeseran dari collum femoris atau trochanter terhadap puncak lengukang acetabulum dan mengangkat caput femoris melewati robekan pada kapsul anterior.

1

Tipe dislokasi obturator dapat

terjadi ketika coxae dalam posisi flexi saat terjadinya trauma. Tipe dislokasi anterior ini mengakibatkan tungkai inferior akan menetap pada keadaan abduksi 60, rostasi eksternal, dan beberapa akan terjadi fleksi. Inferior anterior dislokasi berhubungan dengan abduksi paksa, external rotasi, dan

12

fleksi pada pinggul. Pada kasus ini, caput femoral keluar melalui kapsul anterior dibawah ligamentum pubofemoralis. Inferior dislokasi mudah dikenali dari gambaran radiografi oleh posisi caput femoris diatas foramen obturator dan posisi femur abduksi dan external fiksasi.4,7,8 Trauma paka coxae dalam kondisi ekstensi akan menyebabkan terjadinya dislokasi anterior tipe pubic atau iliac. Pada dislokasi tipe pubic, tungkai inferior akan dalam posisi rotasi eksternal, ekstensi maksimal, dan beberapa kan abduksi. Dislokasi tipe pubic juga dapat terjadi akibat hiperekstensi berat dengan rotasi eksternal, yang mana trauma mengenai femur bagian anterior. 1 Pada dislokasi anterior ini juga dapat terjadi robekan pada ligamentum teres dan kapsul sendi bagian anterior. Otot yang berada pada sendi bagian anterior akan teregang atau rupture secara parsial. Pada kondisi yang jarang ditemui trauma pada nervus dan arteri femoralis jika terjadi trauma dengan energy yang besar. 3 Superior anterior dislokasi jarang terjadi, dengan prevalensi kurang dari 10%. Kasus ini berhubungan dengan abduksi paksa, rotasi external dan ekstensi femur. Ruptur dari caput femoralis melalui kapsul anterior diantara ligamentum ileofemoral dan pubofemoral dengan menarik SIAI. Dislokasi superior biasanya menjalar hingga dislokasi pubik.4,7,8

c. Dislokasi sentral yang disertai dengan fraktur acetabulum dikaitkan dengan trauma yang diarahkan pada medial dari trochanter major. Mekanisme tersering yang terjadi adalah akibat terjatuh dari ketinggian mengikuti kecelakaan kendaraan bermotor

dimana lutut membentur langsung

dashboard ketika coxae dalam posisi ekstensi dan abduksi. 3

IV. KLASIFIKASI Dislokasi panggul diklasifikasikan berdasarkan perpindahan daro caput femoris menjadi dislokasi posterior, anterior, dan sentral (suatu fraktur kominutif atau displacement dari acetabulum). 5 Terdapat banyak klasifikasi yang digunakan pada dislokasi panggul. Dislokasi panggul posterior dapat diklasifikasikan kembali berdasarkan posisi akhir dari caput femoris yaitu tipe iliac, jika caput femoris berpindah ke superoposterior

13

sepanjang aspek lateral dari os ilium dan tipe ischial, jika caput femoris berpindah ke daerah yang berdekatan dengan greater sciatic notch. Untuk dislokasi anterior dapat diklasofokasikan menjadi 2 kelompok yaitu dislokasi pubic dan obturator. Untuk dislokasi sentral jarang ditemukan pada anak dan biasanya berhubungan dengan fraktur acetabulum. 3

Gambar 7. Dislokasi panggul posterior : iliac (A) dan ischiac (B). Dislokasi panggul anterior: Obturator (C) dan Pubic (D) 3

Sistem klasifikasi seharusnya dapat membantu dalam alur penatalaksanaan dan dapat memberikan gambaran prognosis. Terdapat 2 sistem klasifikasi terbaru (Comprehensive system dan Brumback et al. system) membantu dalam alur pengobatan dari pada memberikan gambaran prognosis. Kedua sistem klasifikasi lama (Thompson and Epstein system dan Stewart and Milford system) telah diperkenalkan terlebih dahulu. 2 Tabel 3. Sistem klasifikasi Thompson and Epstein’s untuk dislokasi panggul posterior 2 Thompson-Eipstein Classification of Poesterior Hip Dislocation Type I

Simple dislocation with or without an insignificant posterior wall fragment

Type II

Dislocation associated with fracture of the posterior acetabular rim

Type III

Dislocation with a comminuted acetabular rim

Type IV

Dislocation with fracture of the acetabular floor

Type V

Dislocation with fracture of the femoral head (Pipkin Cass)

14

Tabel 4. Sistem klasifikasi Stewart and Milford’s untuk dislokasi panggul posterior2 Stewart-Milford System Type I

Simple dislocation without fracture

Type II

Dislocation with one or more rim fragments but with sufficient socket to ensure stability after reduction

Type III

Dislocation with fracture of the rim producing gross instability

Type IV

Dislocation with fracture of the head or neck of the femur

Tabel 5. Sistem klasifikasi Pipkin untuk dislokasi panggul posterior2 Pipkin Classification of Posterior Hip Dislocation Type I

Dislocation with femoral fracture caudal to fovea centralis

Type II

Dislocation with femoral fracture cephalad to fovea centralis

Type III

Type I or II + fracture of femoral head

Type IV

Type I or II + fracture of acetabulum

Tabel 6. Sistem klasifikasi Eipstein untuk dislokasi panggul anterior2 Eipstein Classification of Anterior Hip Dislocation Type I Superior dislocations, including pubic & subspinous Type IA

No associated features

Type IB

Associated fracture or impaction of the femoral head

Type IC

Associated fracture of the acetabulum Type II Inferior dislocations, including obturator & perineal

Type IIA

No associated features

Type IIB

Associated fracture or impaction of the femoral head

Type IIC

Associated fracture of the acetabulum

Klasifikasi diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Klasifikasi Thompson and Epstein (1951) ini berdasarkan tingkat keparahan dari fraktur acetabulum dana atau fraktur caputfemoris. b. Klasifikasi Stewart and Milford (1954) ini berdasarkan stabilitas dari coxae setelah dilakukan reduksi dan kondisi dari caput femoris.

15

V. DIAGNOSIS a. Anamnesis Pada awal terjadinya trauma pasien akan dating dengan keluhan nyeri pada panggul dan terjadi pemendekan dari ekstremitas inferior jika dibandingkan dengan sisi kontralateral. b. Pemeriksaan Fisis Inspeksi dimana trauma pada jaringan lunak pada daerah dekat os femur dapat terlihat daerah trauma yang terlokalisir. Ketika trauma dashboard dapat menyebabkan dislokasi panggul, pemeriksa harus mencari adanya hematoma pada lutut. Posisi dari kaki merupakan indikasi tersering untuk menentukan jenis dislokasinya. Pada dislokasi panggul posterior, kaki akan mengalami pemendekan (shortening) dalam posisi fleksi, adduksi, dan rotasi interna. Namun pada dislokasi posterior yang tidak dapat direduksi, posisi kaki bisa pada posisi netral. Pada dislokasi anterior posisi kaki dalam keadaan rotasi eksterna, abduksi, dan fleksi ringan atau ekstensi. Klasifikasi fleksi ringan atau ekstensi berdasarkan letaknya yaitu di superior (pubic) atau inferior (obturator). 2

Gambar 8. Dislokasi pada panggul: (A) dislokasi posterior, (B) dislokasi anterior3

Palpasi, dimana akan teraba jaringan lunak jika terjadi displacement dari caput femoris. 2 Pemeriksaan neurovascular. Trauma nervus ischiadicus pada 8%-19% kasus dislokasi panggul posterior seharusnya mencantumkan hasil pemeriksaan

16

fungsi sarah. Trauma nervus peroneal akan lebih sering terjadi dan biasanya lebih berat dari pada nervus tibialis. 2 Spesial tes

Gambar 9. Special tes pada pemeriksaan extremitas inferior6

Tabel 7. Dislokasi articulation coxae7

17

c. Pemeriksaan Penunjang Foto konvensional (X-ray)

Gambar 10. Gambaran radiologi normal foto pelvic posisi AP dan Lateral8

Foto radiologi posisi AP merupakan jenis posisi yang paling sering digunakan karena diangkap merupakan posisi yang adekuat dalam menampakkan jenis dislokasi yang terjadi. Pada pemeriksaan radiologi AP pada dislokasi anterior maka caput femoris akan tampak lebih besar dari sisi kontralateral yang normal. Sedangkan pada dislokasi posterior akan tampak lebih kecil dari sisi kontraleteral yang sehat. Shenton’line juga harus dievaluasi ketika mencuriagai trauma pada coxae. 1,2

18

Gambar 11.Foto radiologi posisi AP pada dislokasi panggul posterior. 1

Gambar 12. Dislokasi panggul anterior5

Trauma pada daerah lateral atau tumbukan pada trochanter major, dapat menyebabkan caput femoris secara medial melewati dasar dari acetabulum dan dislokasi ini disebut sebagai dislokasi panggul sentral dan biasanya terdapat fraktur dari acetabulum. 5

19

Gambar 13. Dislokasi panggul sentral5

VII. PENATALAKSANAAN Dislokasi panggul harus diterapi secara cepat dan tepat dengan reduksi segera setelah dilakukan pemeriksaan fisis dan evaluasi radiologi. Reduksi tertutup harus dilakukan dibawah pembiusan total di kamar operasi atau pada ruang rawat darurat dibawah pengarug anestesi (tersedasi). Metode dan durasi dari imobilisasi setelah reduksi yang digunakan sampai saat ini belum di sepakati namun beberapa imobilisasi tetap harus dilakukan. 3

20

Pada pasien dengan trauma pada articulation coxae dapat dilakukan penatalaksanaan sesuaidengan alur dibawah ini :

Gambar 14. Alur penatalaksanaan pada trauma articulation coxae10

a. Reduksi tertutup Dislokasi posterior Reduksi tertutup pada dislokasi posterior dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti Bigelow, Allis, atau Stimson, dan semua metode ini bergantung pada posisi fleksi dari articulation coxae untuk merelaksasi ligamentum iliofemoral. 3

Metode termudah, tersering, dan terefektif yang digunakan adalah metode allis. Pasien dalam posisi supinasi, dan asisten menstabilisasi pelvis dengan cara menekan langsung pada spina iliaca anterior superior. Kemudian sendi panggul dan sendi lutut difleksikan 90 derajat, dengan posisi paha sedikit adduksi dan rotasi medial. Dokter ahli kemudian meletakkan lengan bawahnya dibelakang lutut pasien 21

dan mealakukan dorongan langsung dari anterior untuk melepaskan caput femoris dari bagian belakang acetabulum. Jika terasa tahanan dari jaringan lunak, rotasi interna dan adduksi di tingkatkan sehingga terjadi relaksasi dari kapsul sendi panggul, dan reduksi tertutup dapat dilakukan kembali. Asisten dapat melakukan dorongan langsung dari anterior untuk membantu reduksi dari caput femoris. 3

Gambar 15. Metode Allis (A) dan Bogelow (B) pada dislokasi posterior 3

22

Gamabr 16. Metode stimson pada dislokasi posterior3

Dislokasi anterior Dislokasi anterior lebih sulit untuk direduksi dari pada dislokasi posterior. Jika telah dilakukan reduksi hingga 2 kali dengan sedasi yang optimal dan tidak berhasil, maka pasien harus dibawa ke ruang operasi. Pada posisi tungkai rotasi eksterna, abduksi dan fleksi, maka dilakukan traksi dalam posisi satu garis. 2

Gambar 17. Metode Allis untuk reduksi pada dislokasi panggul anterior. (A) Traksi secara longitudinal. (B), Femur dalam posisi abduksi, rotasi interna dan kembali ke posisi netral3

23

Dislokasi Sentral Pada dislokasi sentral membutuhkan traksi skeletal melewati bagian distal femur untuk mengembalikan caput femoris ke posisi anatomisnya. Dikarenakan dislokasi sentral dihubungkan dengan fraktur acetabulum, yang biasanya bersifat kominutif, perpindahan caput femoris ke medial harus dikembalikan ke posisi anatomisnya. Metode ini akan sangat baik jika digunakan bersama traksi jepitan skeletal (Schanz pin ditempatkan mengarah lateromedial atau skeletal traction pin ditempatkan pada arah anteroposterior) pada trochanter major. Traksi lateral dapat digunakan pada reduksi dislokasi sentral dan kemudian dapat dilepaskan ketika reduksi sudah stabil atau hingga 2-3 minggu. Traksi skeletal distal dipertahankan hingga 3-4 minggu, dengan melakukan gerakan aktif pada sendi panggul untuk membentuk kembali acetabulum. Pada fraktur acetabulum dengan penonjolan caput femur ke dalam panggul, maka dilakukan terapi konservatif dengan traksi tulang selama 4-6 minggu. Pada fraktur dimana caput femur tembus ke dalam acetabulum, sebaiknya dilakukan traksi pada dua komponen yaitu komponen longitudinal dan lateral selama 6 minggu dan setelah 8 minggu diperbolehkan berjalan dengan menggunakan penopang berat badan. 3 Stabilisasi setelah reduksi Pada penangan terdahulu telah mengajarkan stabilisasi dari hip joint segera setelah dilakukannya reduksi. Stabilitas pada dislokasi posterior adalah memposisikan hip joint fleksi 90°dan sementara sendi ditahan ke posisi rotasi netral dan abduksi netral, maka dorongan dari posterior dapat dilakukan. 2 b. Reduksi Terbuka Ketidakmampuan reduksi tertutup biasanya merupakan hasil dari tidak adekuatnya relaksasi, adanya penutupan dari kapsul sendi, dan atau adanya fraktur femur menyebabkan hip joint sulit untuk dikontrol. Kegagalan dalam melakukan reduksi tertutup

merupakan indikasi dilakukannya reduksi terbuka. Selama

prosedur ini dilakukan, hal yang terpenting adalah melindungi vaskularisasinya. Sendi yang tidak dapat direduksi tertutup, dislokasi yang disertai dengan fraktur yang tidak stabil setelah reduksi, dan sendi yang tidak sesuai bentuknya dengan semula setelah reduksi merupakan indikasi untuk dilakukan reduksi terbuka. Ketika

24

terjadi dislokasi atau fragmennya berada diposterior, maka pendekatan posterior yang seharusnya dipilih dan sebaliknya. 2 Indikasi lain untuk dilakukannya reduksi terbuka adalah jika gagal dalam melakukan reduksi tertutup dan dislokasi yang disertai perpindahan caput atau collum femoris atau fraktur acetabulum. Pendekatan operasi yang digunakan bergantung pada arah dari dislokasi yang terjadi dimana pendekatan posterior dilakukan pada dislokasi posterior dan pendekatan anterior dilakukan pada dislokasi anterior. Tujuan intervensi pembedahan yang dilakukan adalah untuk menghilangkan penghambat yang mencegah terjadinya reduksi hip joint (tendon piriformis, kapsul sendi), mengidentifikasi struktur yang mencegah reduksi (inverted limbus, osteocartilaginous loose bodies), memperbaiki kelainan anatomi pada fraktur caput femoris atau acetabulum, dan memperbaiki jaringan lunak. 3 Posterior Approach Pendekatan posterior standar yang sering digunakan adalah Southern atau Moore. 3

Gambar 18. Pendekatan posterior pada dislokasi posterior. (A) insisi pada kulit dibuat dari spina iliaca posterior superior melewati trochanter major dan turun sampai ke aspek lateral dari femur. (B) nervus ischiadicus diidentifikasi dan ditarik. Otot rotator diinsisi pada insersinya dan ditarik. (C) kapsul posterior, yang rupture parsial, harus diinsisi untuk membuka pandangan ke acetabulum. (D) Pin Schanz ditempatkan pada trochanter major agar dokter ahli dapat mengalihkan caput femoris agar dapat mengobservasi acetabulum lebih baik. (E) Kemudian dilakukan perbaikan robekan pada kapsul dan labrum. 3

25

Anterior Approach. Suatu pendekatan anterior dilakukan untuk dislokasi anterior dan langsung pada anterior (Smith-Peterson) atau dari anterolateral (Watson-Jones). Literatur untuk intervensi bedah pada doslokasi anterior jarang ditemui karena kebanyakan dikonsentrasikan untuk dilakukan reduksi tertutup. 3 c. Perawatan Pasca Reduksi Paisen tirah baring dan diimobilisasi dengan traksi kulit selama 2 minggu, kemudian mobilisasi non-weight bearing selama 3 bulan atau tirah baring hingga nyeri sendi panggul menghilang, kemudian segera mobilisasi partial weight bearing.11 d. Follow-up Pengawasan posisi ekstremitas bawah dalam posisi neutral bila diimobilasisi dengan traksi kulit, latih isometric segera dilakukan dan latihan isotonic setelah 2 minggu. Atau dengan pemantauan hilangnya nyeri sendi panggul dan segera mobilisasi partial weight bearing.6 e. Penatalaksanaan pada neglected dislocation of hip joint Definisi dari neglected dislocation dari beberapa literature sampai saat ini masih belum jelas. Berdasarkan Garret dkk (1979) bahwa pasien dengan dislokasi panggul >72 jam disebut sebagai unreduced dislocation. 13 Pada kasus yang akut reduksi tertutup merupakan tindakan emergency yang harus segera dilakukan.

12

Namun pada pasien dengan kasus neglected dislocation lebih disarankan untuk reduksi terbuka sebab pada pasien neglected dislocation acetabulum akan dipenuhi dengan jaringan fibrosis sehingga reduksi tertutup akan sulit untuk dilakukan. Reduksi segera (<6 jam) pada dislokasi panggul dapat menurunkan angka kejadian avascular nekrosis dari 50% ketika direduksi >6 jam menjadi 0-5%. 12

VIII. KOMPLIKASI Prognosis dari dislokasi hip joint berdasarkan insiden ternjadinya AVN dan cedera tulang rawan, dan keduanya. 2 Berdasarkan waktunya makan komplikasi yang terjadi dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu komplikasi dini dan lanjutan.

26

a. Komplikasi dini Trauma nervus ischiadicus yang dapat terjadi sekitar 10-20% pada kasus dislokasi namun biasanya dapat dihindari. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada kasus dislokasi yang disertai fraktur daripada dislokasi murni. 2 Fungsi saraf harus dievaluasi dan didokumentasikan sebelum reduksi dilakukan. Jika setelah reduksi dislokasi dilakukan, lesi nervus ischiadicus didiagnosis, maka nervus ini harus diselidiki bahwa trauma pada nervus ini bukan kerena proses reduksi yang dilakukan. Penyembuhan biasanya setelah beberapa bulan dan dalam waktu tersebut tungkai tersebut terlindungi dari trauma. Trauma vascular paling sering terjadi pada arteri gluteus superior sehingga dapat terjadi perdarahan. 5 b. Komplikasi lanjut 1) Avaskular nekrosis dari caput femoris dilaporkan terjadi pada sekitar 10% kasus dari dislokasi akibat trauma. Jika reduksi tertunda >12 jam, maka bentuknya akan berubah >40%. Perubahannya dapat terlihat pertama kali pada pemeriksaan MRI atau bone scan. 5 Angka kejadian AVN meningkat jika dislokasi dibiarkan lebih dari 6-12 jam. Hal ini dimungkinkan terjadi akibat kompresi pembuluh darah kinks, spasme, atau kombinasinya. Suatu penelitian melaporkan bahwa angka kejadian AVN meningkat dari 4,8% jika direduksi dalam 6 jam pertama dan dibandingkan dengan menjadi 52,9% setelah 6 jam. 2) Myositis ossificans merupakan komplikasi lanjut yang jarang dijumpai dan sangat berhubungan dengan tingkat keparahan trauma. Selama masa penyembuhan pergerakan tidak boleh dipaksakan dan pada trauma yang berat, periode istirahat dan tidak mengangkat beban seharusnya diperpanjang. Dislokasi yang tidak direduksi setelah beberapa minggu akan kembali dengan beberapa manipulasi dan reduksi terbuka merupakan indikasi untuk dilakukan. 3) Osteoarthritis sekunder merupaka komplikasi yang juga jarang ditemukan dan berhubungan dengan adanya kerusakan kartilago saat terjadi dislokasi, adanya fragmen tulang dalam sendi, atau adanya iskemik dan nekrosis pada caput femoris. 5

27

Komplikasi yang terjadi dapat pula bersifat sistemik ataupun local. Komplikasi sistemik lebih sering didapatkan pada keadaan trauma berat daripada dislokasi. Pada komplikasi local yang dapat terjadi yaitu trauma nervus ischiadicus, AVN, Artrhitis, dan dislokasi rekuren. 2

IX. PROGNOSIS Prognosis daro dislokasi bergantung akan adanyaperkembangan AVN, arthritis, dan heterotopic ossification. Dilaporkan bahwa prognosis yang baik sekitar 48% sampai 95%. Adapun prognosis dislokasi yang disertai fraktur berdasarkan perkembangan dari fraktur yang terjadi. Faktor penting yang mepengaruhi prognosis dari dislokasi adalah waktu dilakukannya reduksi (<6-12 jam) untuk menghindari terjadinya kerusakan suplai darah ke caput femoris. Suatu penelitian mengemukakan bahwa prognosis baik sekitar 88% jika reduksi dilakukan dalam 6 jam pertama. Jika >6 jam hanya sekitar 42% yang berhasil kembali ke bentuk semula. Faktor terpenting yang kedua adalah memastikan bahwa adanya kecocokan dari sendi yang direduksi untuk menghindari kerusakan kartilago. 2

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Simon Robert,Sherman Scott,Steven J.emergency orthopedic Axtremities. 5th Edition.McGraw-Hill.2007 2. Brinker Mark R. Review of Orthopaedic Trauma. 2nd Edition. USA: Lippincott Wittiams & Witkins. 2010. 3. Herring,JA. Tachdjian's PEDIATRIC ORTHOPAEDICS. 4th Edition. USA: Elsevier Saunders. 2008. 4. Thompson, Jon C. Netter’s Concise Atlas of Orthopaedic Anatomy. 2nd Edition. USA: Icon Learning System LLC. 2010. 5. Miller Mark D, Thompson Stephen R, Hart Jennifer H. Review of Orthopaedics. 6th Edition. USA: Elsevier Saunders. 2012. 6. McRae,R.Clinical Orthopaedic Examination. 6th Edition.London.2010. 7. Cleland Joshua, Koppenhaver Shane. Netter’s Orthopaedic Clinical Examination. 2nd Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2011. 8. Snell,RS.Cinical Antomy. 9th Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2011. 9. Solomon Louis, Warwick David, Nayagam Selvadurai. Apley’s Consise System of Orthopaedics and Trauma. 4th Edition. London: Hodder Arnold. 2014. 10. Foulk

DM

and

Mullis,BH.

Hip

Dislocation:

Evaluation

and

Management.2010. 11. Robert, W Bucholz. Rockwood and Green’sfracture in Adult. 7

th

2010.

Philadelphia: Elseiver Saunders 2010. 12. Patil KS.et.al.Neglected Antero-Inferior Dislocation of Hip Treated With Primary Reverse Hybrid THR-A Rare Case Report.World Journal of Medical and Surgical Case Report.2014. 13. Pal CP et.al.Neglected Posterior Dislocation of Hip in Children-A Case Report.Journal of Orthepaedic Case Report.2014.

29

Posterior dislocations present with limb shortening, hip adduction, and internal rotation of the involved extremity (Fig. 13–25). The femoral head may be palpable within the muscle of the buttock. The patient should be carefully evaluated for sciatic nerve injury that may manifest as sensory and motor deficits.81 Distal pulses must also be assessed; however, vascular injury is uncommon following a posterior hip dislocation.2 Anterior obturator dislocations usually present with abduction, external rotation, and flexion of the involved extremity. Anterior iliac or pubic dislocations present with the hip in the position of extension, slight abduction, and external rotation. The femoral head is palpable near the anterosuperior iliac spine with iliac dislocations and near the pubis after a pubic dislocation.2

Keterangan gambar dislokasi sentral Central dislocation (a) The plain x-ray gives a good picture of the displacement, but (b) a CT scan shows the pelvic injury more clearly. (c) Skeletal traction, which often needs both longitudinal and lateral vectors, is an effective method of reduction.10

Pemeriksaan CT scan dan MRI CT—A CT scan of the hip should be obtained after reduction to assess the congruency of the hip joint. This assessment is best done by looking for lateral subluxation in the more proximal cuts that show the hip joint and by comparing the joint space in the more distal cuts of the affected hip to that of the uninjured hip. The postreduction CT scan is also the best means for checking for free osteochondral fragments within the joint (Fig. 17-3). Small foveal fragments may be left, but interposed fragments need to be addressed. If a hip cannot be closed

30

reduced, and if time permits, an emergent preoperative CT scan is recommended to determine whether there are fragments within the joint that will necessitate an open reduction. After open reduction, even if a prereduction CT scan was obtained, a postreduction CT scan is advisable if there is any question regarding the concentricity of the reduction.6 Magnetic resonance imaging (MRI)—MRI can be useful for assessing the hip that has been reduced and has been found to be incongruent but without interposed tissue on CT scan. The MR image is better at evaluating the labrum, the muscles, and the capsule that may be incarcerated within the joint. The role of MRI in the assessment of early AVN, bone bruises, and chondral injuries after hip dislocations has yet to be established. MRI may also show damage to the obturator externus muscle, which may represent injury to the medial circumflex femoral artery and possibly an increased risk of avascular necrosis.6

Penangan setelah reduksi open Postreduction treatment after concentric reduction depends on the age of the patient and whether associated fractures are present. Children younger than 6 to 7 years should be placed in a hip spica cast with the affected hip in neutral extension and some abduction. An alternative treatment in a young child is a period of skin traction. In an older child, bed rest followed by gradual mobilization on crutches can be used. The period of immobilization or protected motion should be 4 weeks to allow capsular and soft tissue healing. In fracture-dislocations, 6 to 8 weeks of immobilization may be considered to allow fracture healing. After the period of immobilization, partial weight bearing is allowed until there is pain-free full range of motion of the hip, at which time full weight bearing is permitted.[23] Most children will resume full activities and full weight bearing as soon as the immobilization period has ended.[34] Although these guidelines are generally accepted, there is no consensus on the exact duration of immobilization and time to full weight bearing. In addition, there is no correlation between the final result and the period of non–weight bearing after a traumatic hip dislocation

Komplikasi

31

3.

Arthritis—Arthritis is the common final pathway for all injuries to the

articular surface. Damage to the cartilage can occur via many means. The progression to arthritis depends on the extent of the injury to the mechanical and biochemical properties of the articular cartilage. Likewise, fracture malunions and nonunions may be major contributors to longrange disability in patients with fracture-dislocations. Anterior dislocations are typically more prone to developing arthritis secondary to higher rates of impaction injuries.

• Third-

body wear—Interposed bone (from the femoral head or the acetabulum), cartilage (labrum or articular surface), or soft tissue (muscle, tendon, or capsule) generates third-body wear within the hip and leads to early arthritis.

• Direct

pressure—If the instantaneous load on the cartilage exceeds a certain threshold, direct chondral death can occur. This can occur at the time of impact or as the dislocated femoral head presses against the ilium.

• Shearing—As

the hip dislocates, it is scraped along the acetabular rim and can shear off a portion of the articular cartilage.

• Nutritional deficiencies—The articular

cartilage receives its nutrition from the synovial fluid, and it is not bathed in synovial fluid when in a dislocated position.

4.

Recurrent dislocations—

Recurrent dislocations are very rare. Most are posterior. Causes may include a combination of femoral version, acetabular version, soft-tissue impingement, labral avulsion, and capsular laxity. Treatment is directed toward the structures found responsible.6

32

33

34