Citra Julita Tarigan,dr - Universitas Sumatera Utara

apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung, kholelithiasis, yang bisa ditemukan secara mudah. Dan dikat...

19 downloads 645 Views 134KB Size
PERBEDAAN DEPRESI PADA PASIEN DISPEPSIA FUNGSIONAL DAN DISPEPSIA ORGANIK CITRA JULITA TARIGAN Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN A.

LATAR BELAKANG PENELITIAN Kejadian dispepsia cukup sering ditemui dokter dalam menjalankan profesinya sehari- hari (1,2,3) . Kejadian dispepsia juga bervariasi dari berbagai tulisan, hal ini disebabkan karena ketidaksamaan terminologi dari berbagai sentra (2). Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasa penuh saat makan, cepat kenyang, kembung, sendawa, anoreksia, mual, muntah, nyeri belakang sternum (heart burn), regurgitasi (1,4). Berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok gejala maka dispepsia dibagi atas dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dikatakan dispepsia organik apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung, kholelithiasis, yang bisa ditemukan secara mudah. Dan dikatakan dispepsia fungsional apabila penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional, atau tidak ditemukan adanya kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik (1,2,4). Heyse (1994) memperkirakan di United Kingdom, dispepsia yang ditemui dokter umum sampai 25 % sementara oleh gastroenterohepatologist sampai 70 %. Kejadian dispepsia fungsional 6 – 10 kali kejadian tukak peptik dan ini merupakan beban bagi gastroenterohepatologist (2). Penelitian yang dilakukan Mudjadid dan Manan mendapatkan 40 % kasus dispepsia disertai dengan gangguan kejiwaan dalam bentuk anxietas, depresi atau kombinasi keduanya (4). Dispepsia mungkin merupakan gejala awal dari penyakit gawat, misalnya tukak peptik, kholelitiasis atau karsinoma lambung, tetapi sering juga pada penderita tidak ditemukan kerusakan organ (5). Akibat gangguan pikiran, kelelahan karena terlalu banyak bekerja dan problem keuangan juga bisa menimbulkan keluhan dispepsia (5). Sudah sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi, para ahli Socrates dan Hypocrates, yang menyebutkannya melancholi dan mengakui bahwa faktor psikis berperan penting pada kejadian dan perjalanan penyakit seseorang (6,10,11) . Walaupun kemudian mengalami perkembangan (sesuai alam fikiran pada zamannya), namun akhirnya para ahli yakin bahwa patologi suatu penyakit tidak hanya terletak pada sel atau jaringan saja, tetapi terletak pada organisme yang hidup dan kehidupan, tidak ditentukan oleh faktor biologis semata, tetapi erat sekali hubungannya dengan faktor- faktor lingkungan yaitu lingkungan bio- sosio- kultural dan agama (6). Faktor faktor biologis (somatis), psikis dan lingkungan masing- masing mempunyai interrelasi dan interaksi yang dinamis dan terus menerus, yang dalam keadaan normal atau sehat keduanya dalam keadaan seimbang. Jika ada gangguan dalam satu segi, maka akan mempengaruhi pada segi atau lingkungan yang lainnya dan sebaliknya (6) . Jadi jelaslah bahwa setiap penyakit memiliki aspek somatis,

©2003 Digitized by USU digital library

1

psikis dan lingkungan bio-sosio- kulturil dan bahkan agama. Dengan demikian konsep monokausal dari suatu penyakit sudah tidak dianut lagi (6) . Pengetahuan tentang hubungan antara jiwa dan badan terus berkembang sampai akhir abad ke dua puluh ini, baik melalui pendekatan psikoanalisa maupun bukti- bukti yang didapat dengan hasil penelitian modern (6). Inilah sebabnya keadaan depresi walaupun hal tersebut merupakan gangguan emosi, akan tetapi terdapat pula gangguan somatik (7) . Pasien- pasien ini sering datang menghubungi dokter- dokter non psychiatrist dengan keluhan somatiknya, yang paling sering mempengaruhi saraf pusat, saluran pencernaan, kardiovaskuler, atau sistem muskuloskeletal (8) . Wright mengatakan bahwa lebih dari 40 % pasien depresi, pada awalnya muncul dengan ke luhan somatik dari pada simtom psikologi dan selalu tidak bertingkah laku seperti pasien depresi (9). Pasien- pasien depresi yang tidak diketahui ini, dikatakan kurang mengeluhkan keadaan depresinya, tetapi dengan keluhan penyakit- penyakit fisik akan memperberat depresinya (9). Whilist mengatakan mereka menutupi depresinya dengan banyaknya keluhan- keluhan somatiknya (9). Yang harus kita pikirkan pada pasien-pasien dengan keluhan tersebut adalah : a. Masalah mungkin murni psikis yang diekspresikannya. a. Mungkin ada sedikit kelainan organik yang bertumpang tindih dengan faktor psikis. a. Beberapa pasien yang jelas ada kelainan organik, mungkin memiliki sedikit masalah psikis (15). Diagnosis depresi dibuat dengan menegakkan tidak dijumpainya gangguan organik yang menjelaskan keluhan fisik dan didapatinya tanda- tanda vegetatif yang selalu dijumpai pada pasien depresi (8). B. IDENTIFIKASI MASALAH Pada praktek kedokteran umum sering ditemukan kasus depresi dengan berbagai manisfestasi (3). Tidak jarang mereka datang denga n berbagai keluhan fisik (somatis), seperti sakit kepala, nafsu makan hilang, letih, lesu, tidak bersemangat, konstipasi, nausea, jantung berdebar- debar, kurang konsentrasi, sukar tidur dan sebagainya (10,12,14). Bila diadakan pemeriksaan lebih lanjut, biasanya keluhan tersebut jarang sekali disertai penemuan kelainan organik (3,12 ). Pada penelitian yang dilakukan oleh Johnsen R, dan kawan-kawan terhadap pasien dispepsia non ulkus dan ulkus peptik melaporkan bahwa ulkus peptik dan dispepsia non ulkus sangat berbeda hubungannya dengan psikologi, sosial, kebiasaan hidup dan diet. Ulkus peptik berhubungan dengan usia, riwayat keluarga menderita ulkus dan merokok (16,18). Kebalikannya pada dispepsia non ulkus menunjukkan hubungan dengan faktor psikologi dan kondisi- kondisi sosial. Perbedaan diantara dispepsia ulkus dan dispepsia non ulkus, mungkin pada etiologi, oleh karena itu secara klinis yang bermakna, disebutkan pengobatan pada pasien dispepsia nonulkus berbeda dari pengobatan dispepsia dengan ulkus yang tradisional (16) . Demikian juga Haug TT, dan kawan-kawannya yang membandingkan peristiwa- peristiwa dalam kehidupan dan stress pada pasien dispepsia fungsional dan pasien ulkus yang diteliti dimana sebelumnya pasien- pasien tersebut mengalamiperistiwa- peristiwa ketegangan (stress) dalam kehidupan selama 6 bulan sebelumnya. Ditemukan pasien- pasien dengan dispepsia fungsional mempunyai tingkat yang lebih tinggi keadaan kecemasannya, psikopathologi, depresi dan keluhan somatik yang berbeda- beda ( lebih somatisas i) daripada pasien dispepsia dengan ulkus (16,17,18). Dan mereka juga merasa kurang puas terhadap pelayanan

©2003 Digitized by USU digital library

2

kesehatan, dan gangguan ini sangat mempengaruhinya secara negatif terhadap kualitas hidup dan pada pengukuran kesehatannya secara global adalah buruk (19). Dari uraian diatas dapat dilakukan identifikasi masalah sebagai berikut : 1. Apakah dispepsia fungsional dan dispepsia ulkus dalam perjalanan penyakit maupun terjadinya mempunyai perbedaan depresi ? 2. Berapa besar keparahan depresi yang terjadi ? C. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui jumlah pasien yang depresi, baik pada penderita dispepsia fungsional maupun dispepsia organik. 2. Untuk mengetahui perbedaan depresi pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik 3. Untuk mengetahui efek pengobatan konvensional dengan antasida dan antagonis reseptor H2 pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik. D. MANFAAT PENELITIAN Adapun manfaat yang diperoleh bila penelitian memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan, untuk masyarakat dapat memberikan pemahaman bahwa pasien-pasien penderita dispepsia fungsional maupun dispepsia organik, mempunyai hubungan dengan depresi. Namun pada dispepsia fungsional lebih dari pada pasien dispepsia organik. Sehingga penatalaksanaan pasien dispepsia fungsional selain pemberian terapi konvensional diperlukan memperhatikan faktor psikologi dan kondisi-kondisi sosial interrelasi dan interaksi terhadap lingkungan. Penanganan secara multi dimensi dan dengan memperhatikan multifaktorial tersebut melibatkan kerjasama unsur pelaksana kesehatan terutama sub bagian gastroenterohepatologi dan bagian psikiatri, yang memungkinkan berperannya liaison psikiatri di rumah- rumah sakit. Agar penanganan pasien-pasien terutama dispepsia fungsional dilakukan secara menyeluruh baik fisik dan psikologi. E. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Dispepsia merupakan perasaan tidak enak diperut bagian atas yang bersifat persisten atau berulang, dapat berhubungan atau tanpa berhubungan dengan makanan dan bersifat kronik bila berlangsung lebih dari tiga bulan (1-3). Kejadian dispepsia cukup sering dijumpai dokter dalam menjalankan profesinya sehari- hari (1-3). Dispepsia mungkin merupakan gejala dari penyakit gawat, misalnya tukak peptik, kholelitiasis atau karsinoma lambung, juga sering pada penderia tidak ditemukan kerusakan organ (5). Akibat dari gangguan pikiran, kelelahan karena terlalu banyak bekerja dan problem keuangan juga bisa menimbulkan keluhan dispepsia (5). Dahulu banyak pengertian dispepsia yang sangat bervariasi, tetapi dewasa ini ada dua macam pengertian dispepsia yang sudah diterima secara luas adalah : (13,21) . A. Dispepsia organik, yang disebabkan kelainan organik yang jelas misalnya ulkus peptikum, karsinoma lambung, serta gastritis, pankreatitis, beberapa penyakit metabolik misalnya diabetes mellitus, dan beberapa macam obat obatan. B. Dispepsia non organik (dispepsia fungsional) ialah dispepsia yang tidak jelas penyebabnya.

©2003 Digitized by USU digital library

3

Kejadian dispepsia fungsional 6- 10 x kejadian tukak peptik, yang merupakan beban bagi gastroenterohepatologist (2). Penelitian yang dilakukan Mudjadid dan Manan mendapatkan 40 % kasus dispepsia disertai dengan gangguan kejiwaan seperti anxietas, depresi atau kombinasi (6). Seperti diketahui manusia bereaksi antara badan, jiwa dan lingkungan. Dengan sendiri setiap gangguan, tekanan pada jiwa seseorang mendapat reaksi juga dari badan dan lingkungan orang tersebut. Begitu juga adanya gangguan pada lingkungan, badan dan jiwa orang tersebut akan bereaksi . Inilah sebabnya keadaan depresi walaupun itu adalah ganggua n emosi akan terdapat pula gangguan somatik (6) . Pasien- pasien ini sering datang menghubungi dokter- dokter non psychiatrist dengan keluhan somatiknya, yang paling sering mempengaruhi susunan saraf pusat, saluran pencernaan, kardiovaskuler, dan sistim muskuloskeletal (8). Dasar patofisiologi dispepsia fungsional adalah sangat kompleks dan belum dapat dipastikan. Beberapa hal yang dianggap menyebabkan antara lain : dismotilitas lambung, asam lambung, helikobakter pylori, psikis, dan penggunaan obat - obatan (2,3,20,21). Gangguan psikis, dan faktor lingkungan dapat menimbulkan dispepsia fungsional (3,20,21). Stress dapat mengubah sekresi asam lambung, motilitas dan vaskularisasi saluran pencernaan (20). Pada dispepsia organik (ulkus) peranan stress dan tipe personal masih kontroversial, meskipun beberapa penelitian dapat menghubungkan pepsinogen serum yang tinggi dan ulkus peptikum (22). Pada pandangan klasik dari patogenesis ulkus, dimana terdapat faktor-faktor yang meningkatkan pengeluaran asam, hal- hal yang menurunkan pertahanan mukosa, stress psikologi dan helikobakter pylori yang memperlemah pertahanan mukosa (23). Dan pada beberapa peneliti menunjukkan bahwa pasien- pasien dispepsia fungsional lebih cemas atau depresi (19,20). Demikian juga Haug T.T. dan kawankawan meneliti hubungan stress, peritiwa- peristiwa kehidupan pada pasien dispepsia fungsional dan ulkus, mendapatkan bahwa pasien- pasien dispepsia fungsional mempunyai tingkat kecemasan, depresi dan psikopatologi yang lebih tinggi dari pada ulkus (17). Oleh karenanya penelitian ini ingin melihat perbandingan gambaran depresi pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Penulis menurunkan hipotesis nul dan hipotesis alternatif. Dikatakan hipotesis nul diterima apabila tidak ada perbedaan depresi pada pasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Dan dikatakan hipotesis alternatif diterima bila ada perbedaan depresi pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik.

©2003 Digitized by USU digital library

4

F. KERANGKA KERJA Poliklinik Sub Bagian Gastroenterologi RSU H.Adam Malik Medan Dispepsia Endoskopi

Dispepsia Fungsional (DF)

Dispepsia Organik (Ulkus) /DU

Penderita DF yang datang Berobat jalan I sekali

Penderita DU yang datang Berobat jalan I sekali

Lama gangguan > 1 bulan

Lama gangguan > 1 bulan

Memenuhi kriteria penelitain

Memenuhi kriteria penelitain

Diambil sebagai sampel

Diambil sebagai sampel

PPDGJ III

Depresi (- )

PPDGJ III

Depresi (+)

Depresi (- )

Skala HDRS Hasil Score / penilaian HSDRS 1 Terapi konvensional 2 minggu

Skala HDRS

Hasil Score / penilaian HSDRS 2

Depresi (+)

Skala HDRS Hasil Score/penilaian HSDRS 1 Terapi konvensional 2 minggu

Skala HDRS

Hasil Score / penilaian HSDRS 2

Catatan : Terapi konvensional ialah terapi dengan obat antasida dan antagonis resptor H2 (ARH 2)

©2003 Digitized by USU digital library

5

G. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Metode deskriptif bertujuan membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenal fakta- fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (24) . Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran depresi pada pasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik. H. LOKASI DAN JADWAL PENELITIAN Penelitian dilakukan dipoliklinik Penyakit Dalam sub. bagian Gastroenterologhepatologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dimulai 1 Pebruari sampai dengan 30 Juni 2001.

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN Secara historis kata dispepsia berasal dari kata dus (=bad) dan peption (=to digest). Gabungan kedua kata tersebut ialah dispepsia (= indigestion; berarti gangguan pencernaan) (1,2,4). Defenisi yang sampai saat ini disepakati para pakar di bidang gastroenterohepatologi ialah sebagai berikut : Dispepsia merupakan kumpulan keluhan / gejala klinis (sindrom) yang terdiri ; rasa tidak enak / sakit perut di bagian atas yang disertai dengan keluhan lain, perasaan panas di dada, daerah jantung (heart burn), regurgitasi, kembung, perut terasa penuh, cepat kenyang, sendawa, anoreksia, mual, muntah, dan beberapa ke luhan lain (1,2,,24). Dispepsia berdasarkan atas ada tidaknya penyebab dibagi menjadi : dispepsia organik dan dispepsia fungsional (1,2,4,5). Suatu penyakit tidak hanya terletak pada sel atau jaringan saja tetapi terletak pada organisme yang hidup dan kehidupan tidak ditentukan oleh faktor biologis semata tetapi erat sekali hubungannya dengan faktor-faktor lingkungan yaitu lingkungan bio- sosio-kulturil dan agama (6,7). Faktor- faktor biologis (somatis), psikis dan lingkungan masing- masing mempunyai interrelasi dan interaksi yang dinamis dan terus menerus, yang dalam keadaan normal atau sehat ketiganya dalam keadaan seimbang. Jika ada gangguan dalam satu segi saja akan mempengaruhi pada segi yang lain demikian pula sebaliknya (6,7). Inilah sebabnya depresi walaupun sebagai gangguan emosi, terdapat pula gangguan somatik (6,7). A. DISPEPSIA 1. Definisi Dispepsia fungsional adalah dispepsia yang tidak jelas penyebabnya atau dispepsia yang tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan gastroenterohepatologi konvensional. (1,2,4,5). Ulkus peptikum adalah merupakan diskontinuitas permukaan dari mukosa gastrointestinal yang terbatas, yang disebabkan ketidak seimbangan tekanan asam lambung dan pepsin. (23) 2. Epidemiologi Pada dispepsia fungsional, umur penderita dijadikan pertimbangan, oleh karena 45 tahun ke atas sering ditemukan kasus keganasan, sedangkan dispepsia fungsional diatas 20 tahun (3,5). Begitu pula wanita lebih sering dari pada laki- laki (5).

©2003 Digitized by USU digital library

6

Pada ulkus peptik perbandingan laki- laki dan wanita 2 : 1. Insiden ulkus meningkat pada usia pertengahan (22). Penyakit ulkus memperlihatkan interaksi kompleks dari berbagai faktor lingkungan dan genetik yang menghasilkan penyakit ; a. Genetik dan faktor yang berhubungan dengan penyakit. Insiden akan meningkat pada keadaan : Ø Sanak keluarga tingkat pertama dari penderita, peningkatannya 3 kali lebih besar. Ø Penderita ulkus yang kembar meningkat 3 kali lebih besar. Ø Golongan darah O, meningkat 30 % b. Perokok : Merokok berkaitan dengan peninggian frekuensi ulkus 33- 110 % dibandingkan dengan yang tidak merokok. c . Aspirin : Penggunaan yang kronis meningkatkan insiden ulkus d. Obat anti peradangan non steroid : Obat - obat seperti indometasin, ibuprofen dan lain-lain, menyebabkan perubahan mekanisme pertahanan lambung. e. Kopi dan alkohol Kafein yang terkandung dalam kopi merupakan stimulan kuat dari sekresi asam, seperti susu, bir dan minuman ringan. f. Kortikosteroid : Sifat ulserogenik dari kortikosteroid secara umum masih kontroversial G. Stress Peran stress dan tipe personal masih kontroversial, meskipun beberapa penelitian menghubungkan pepsinogen serum yang tinggi. Dasar patofisiologi dispepsia fungsional adalah sangat kompleks dan belum dapat dipastikan. Beberapa hal yang dianggap menyebabkan antara lain : a. Dismotilitas lambung : perlambatan dari masa pengosongan lambung dan gangguan motilitas lain, seperti abnormalitas kontraksi, abnormalitas mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal. (1,2,3,21,22) b. Asam lambung : dapat dijumpai kadarnya meninggi, normal atau hyposekresi. (1,2,21)

c.

Helikobakter pylori : peran helikobakter pylori dalam menimbulkan berbagai patologis saluran cerna bagian atas sudah banyak diteliti. Akan tetapi dari beberapa penelitian yang dilakukan, bahwa keberadaan helikobakter pylori pada pasien non dispepsia dengan dispepsia fungsional tidak berbeda. (2,3) d. Psikis : gangguan psikis, stress, dan faktor lingkungan dapat menimbulkan dispepsia fungsional. Stress mengubah sekresi asam lambung, motilitas, dan vaskularisasi saluran pencernaan.(21) Pada beberapa penelitian me nunjukkan bahwa pasien-pasien dispepsia fungsional lebih cemas atau depresi dibandingkan dengan kontrol. (2,21,22) e. Penggunaan obat - obatan secara menetap seperti : aspirin, steroid, obat anti inflamasi, makanan tertentu, kopi dan merokok dikatakan berhubungan dengan dispepsia fungsional. Akan tetapi bukti secara ilmiah masih kurang. (2,3,21) Patofisiologi ulkus peptik diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan defensif yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus lambung, sekresi HCO3 ) (23) A. Diagnosis Dispepsia melalui simtom simtomnya saaja tidak dapat membedakan antara dispepsia fungsional dan dispepsia organik (3,5,21,22). Diagnosis dispepsia fungsional adalah diagnosis yang telah ditetapkan, dimana pertama sekali penyebab kelainan organik atau struktural harus disingkirkan melalui pemeriksaan. Pemeriksaan yang

©2003 Digitized by USU digital library

7

pertama dan banyak membantu adalah pemeriksaan endoskopi. Oleh karena dengan pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan di oesophagus, lambung dan duodenum. (2,5,22) Diikuti dengan USG (Ultra Sono Graphy) dapat mengungkapkan kelainan pada saluran bilier, hepar, pankreas, dan penyebab lain yang dapat memberikan perubahan anatomis (2,5,22) Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan dapat mengungkapkan penyebab dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid dan gangguan saluran bilier. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor (2,22). B. DEPRESI Depresi telah lama dikenal, sejak zaman Hippocrates, yang menyebutkannya melancholi (10,11). Gejala- gejala depresi yang dikemukakan sejak zaman Hippocrates sampai sekarang tidak atau sedikit sekali perubahan dari gambaran klinisnya (10). Sering sekali yang menonjol adalah gejala somatiknya, misalnya sakit kepala. Keluhan somatik lainnya pada penderita depresi dapat mempengaruhi seluruh tubuh, misalnya pada saluran pencernaan, mulut kering, perut tersa kembung, dan nyeri ulu hati, perut terasa kejang. (9,10,13,15) 1. Definisi. Depresi adalah suatu perasaan kesedihan yang psikopatologis. Yang disertai perasaan yang sedih, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata sesudah bekerja sedikit saja, dan berkurangnya aktivitas (10,12,26). Depresi dapat merupakan suatu gejala, atau kumpulan gejala (sindroma), dan dapat pula suatu kesatuan penyakit nosologik. (10,12) 2. Epidemiologi. Depresi adalah satu dari penyakit yang sering dijumpai tidak hanya oleh psikiater, tetapi juga oleh dokter- dokter umum (11). Diperkirakan prevalensi seumur hidup kira- kira 15 %, dan kemungkinan wanita sekitar 25 %. (12) 3. Etiologi. Dasar penyebab yang pasti tidak diketahui, banyak usaha untuk mengetahui penyebab dari gangguan ini (12) . Faktor-faktor yang dihubungkan dengan penyebab dapat dibagi atas : faktor biologi, faktor genetik dan faktor psiko sosial. Dimana ketiga faktor tersebut juga dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (12). a. Faktor biologi : 1). Faktor neurotransmitter : Dari biogenik amin, norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmitter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood. (12,25).

a). Norepinefrin : hubungan yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara turunnya regulasi reseptor β- adrenergik dan respon antidepresan secara klinis memungkinkan indikasi peran sistem noradrenergik dalam depresi (12,25). Bukti- bukti lainnya yang juga melibatkan presinaptik reseptor adrenergik α2 dalam depresi, sejak reseptor reseptor tersebut diaktifkan mengakibatkan penurunan jumlah norepinefrin yang dilepaskan. Presipnatik reseptor adrenergik α2 juga berlokasi di neuron serotonergik dan mengatur jumlah serotin yang dilepaskan. (11,12,25) b). Serotonin : dengan diketahui banyaknya efek spesifik serotin re uptake inhibator (SSRI), contoh; fluoxetin dalam pengobatan depresi, menjadikan serotonin neurotransmitter biogenik amin yang paling sering dihubungkan dengan depresi. (11,12,25) C). Dopamine : walaupun norepinefrin dan serotonin adalah biogenik amin. Dopami ne juga sering berhubungan dengan patofisiologi depresi. (11,12,25)

©2003 Digitized by USU digital library

8

d). Faktor neurokimia lainnya : GABA dan neuroaktif peptida (terutama vasopressin dan opiate endogen) telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood . (11,25). 2). Faktor neuroendokrin : Hipothalamus adalah pusat regulasi neuroendokrin dan menerima rangsangan neuronal yang menggunakan neurotransmitter biogenik amin. Bermacam- macam disregulasi endokrin dijumpai pada pasien gangguan mood. (11,12,25) 3). Faktor Neuroanatomi : Beberapa peneliti menyatakan hipotesisnya, bahwa gangguan mood melibatkan patologik dan sistem limbik, ganglia basalis dan hypothalamus. (12) b. Faktor Genetik : Data genetik menyatakan bahwa faktor yang signifikan dalam perkembangan gangguan mood adalah genetik. Pada penelitian anak kembar terhadap gangguan depresi berat, pada anak kembar monozigot adalah 50 %, sedangkan dizigot 10 – 25 %. (12,14) c. Faktor Psikososial. 1). Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan : suatu pengamatan klinik menyatakan bahwa peristiwa atau kejadian dalam kehidupan yang penuh ketegangan sering mendahului episode gangguan mood. Satu teori menjelaskan bahwa stress yang menyertai episode pertama akan menyebabkan perubahan fungsional neurotransmitter dan sistem pemberi tanda intra neuronal yang akhirnya perubahan tersebut menyebabkan seseorang mempunyai resiko yang tinggi untuk menderita gangguan mood selanjutnya. (12) 2). Faktor kepribadian Premorbid : Tidak ada satu kepribadian atau bentuk kepribadian yang khusus sebagai predisposisi terhadap depresi. Semua orang dengan ciri kepribadian manapun dapat mengalami depresi, walaupun tipetipe kepribadian seperti oral dependen, obsesi kompulsif, histerik mempunyai risiko yang besar mengalami depresi dibandingkan dengan lainnya. (12) 3). Faktor Psikoanalitik dan Psikodinamik : Freud (1917) menyatakan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankoli. Ia menyatakan bahwa kemarahan pasien depresi diarahkan kepada diri sendiri karena mengidentifikasikan terhadap objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi merupakan suatu cara ego untuk melepaskan diri terhadap objek yang hilang. E.Bibring menekankan pada kehilangan harga diri . Bibring mengatakan depresi sebagai suatu efek yang dapat melakukan sesuatu terhadap agresi yang diarahkan kedalam dirinya. (12) Apabila pasien depresi menyadari bahwa mereka tidak hidup sesuai dengan yang dicita-citakannya, akan mengakibatkan mereka putus asa. (12) 4). Ketidakberdayaan yang dipelajari : Didalam percobaan, dimana binatang secara berulang- ulang dihadapkan dengan kejutan listrik yang tidak dapat dihindarinya, binatang tersebut akhirnya menyerah dan tidak mencoba sama sekali untuk menghindari kejutan selanjutnya. Mereka belajar bahwa mereka tidak berdaya. Pada penderita depresi, kita dapat menemukan hal yang sama dari keadaan ketidak berdayaan tersebut. (12,14) 5). Teori Kognitif : Beck menunjukkan perhatian gangguan kognitif pada depresi (14). Dia mengidentifikasikan 3 pola kognitif utama pada depresi yang disebut sebagai triad kognitif, yaitu (14) : a). Pandangan negatif terhadap masa depan. b). Pandangan negatif terhadap diri sendiri, individu menganggap dirinya tak mampu, bodoh, pemalas, tidak berharga. c). Pandangan negatif terhadap pengalaman hidup. Meyer berpendapat bahwa depresi adalah reaksi seseorang terhadap pengalaman hidup

©2003 Digitized by USU digital library

9

yang menyedihkan misalnya, kehilangan orang yang dicintai, kemunduran finansial, kehilangan pekerjaan, atau penyakit fisik yang serius. Meyer mengatakan pada depresi, harus dicari hubungan antara pengalaman hidup pasien dengan peristiwa yang menjadi penyebab. (12,14) 4. Gambaran Klinis. Gejala utama dari depresi adalah mood yang depresi dan kehilangan minat untuk kesenangan. Pasien pasien mungkin mengatakan bahwa mereka merasa murung (blue), putus asa, dalam kesedihan, dan merasa tidak berguna. (14) Kira- kira dua pertiga dari pasien pasien depresi mempunyai pikiran bunuh diri, dan 10 – 15 % melakukannya. Hampir semua pasien pasien depresi (97 %) mengeluh berkurangnya energi yang menyebabkan kesulitan menyelesaikan tugas sekolah dan pekerjaan, dan penurunan motivasi untuk melakukan rencana yang baru. (12) Kira kira 80 % pasien depresi mengeluh ganguan tidur, terutama bangun terlalu dini, dan sering terbangun malam hari. Kebanyakan pasien depresi nafsu makannya berkurang dan kehilangan berat badan. Pada beberapa pasien, nafsu makan dapat bertambah, peningkatan berat badan, dan tidur yang bertambah. Keadaan depresi yang atipikal ini disebut disforia histeroid. (12) Keluhan somatik lainnya dapat menyangkut seluruh sistem organ tubuh. Pasien pasien depresi dengan keluhan somatik, dikatakan kurang menderita depresi, karena me reka menutupinya dengan keluhan keluhan somatik tersebut. Pasien yang datang dengan keluhan keluhan somatik sering dilebih- lebihkan, namun sukar untuk digambarkan sebagai ssuatu penyakit tertentu. (10) Gangguan psikomotor, dapat dijumpai berupa kelambatan dalam pembicaraan, daya pikir dan konsentrasi yang lambat. 5. Diagnosis Kriteria diagnosis episode depresi berdasarkan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III) tahun 1993 (F 32), dapat dilihat pada lampiran 2. (26) C. HUBUNGAN DEPRESI PADA DISPEPSIA Morrel (1991) menyimpulkan keluhan dispepsia, merupakan keluhan yang berarti dari pasien- pasien dengan adanya gangguan psikiatri, terutama anxietas, depresi atau ciri kepribadian. (28) Walaupun patofisiologi timbulnya keluhan fisik yang berhubungan dengan gangguan psikis/emosi belum seluruhnya dapat diterangkan, namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan pegangan. (28) Talley dan kawan-kawan melakukan “case control study” terhadap pasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik, menyimpulkan dijumpainya pasien pasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang lebih neurotik, depresi dari pada kelompok kontrolnya. Gangguan psikis atau konflik emosi yang menimbulkan gangguan psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan perubahan fisiologis dan biokemis seseorang. (12) Perubahan fisiologis ini berkaitan erat dengan adanya gangguan pada sistem saraf otonom vegetatif, sistem endokrin dan sistem imun. (6) 1. Interaksi otak dan saluran pencernaan Dengan memperhatikan secara keseluruhan dan lebih menekankan gabungan pengertian kombinasi dari motorik, sensorik dan aktifitas axis sistem saraf pusat – otak – saluran pencernaan dalam menimbulkan penyakit. Faktor – faktor dari luar / “extrinsic” (contoh penglihatan, pengecapan) atau enteroceptive (emosi, pikiran)

©2003 Digitized by USU digital library

10

memiliki informasi dengan hubungan “neural” dari pusat yang lebih tinggi, dalam mempengaruhi sensasi gastrointestinal, pergerakan, sekresi dan peradangan. Sebaliknya efek viscerotropik ( contoh noieception) mempengaruhi balik persepsi rasa sakit pusat, mood, dan tingkah laku. (28) Gangguan yang timbul sebagai akibat pengaruh luar (infeksi, intoksikasi, trauma, konflik psikis) akan mempengaruhi sistem saraf vegetatif otonomik dalam mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap perubahan perubahan yang disebabkan oleh gangguan tersebut. (29) Anatomi sistem saraf otonomi vegetative terdiri dari : sentra vegetatif di cortex → Mesensefalon dan diensefalon → inti vegetative di Medula oblongata → Medula spinalis → ganglion → simpatis dan parasimpatis → organ ferifer di seluruh badan. (31) Cortex Cerebri

Farmatio Retikularis

Limbik

Extrinsic emosi pikiran

Hipofise / Hypothalamus Simpatik

Pituitary

S.S. Otonom

Adrenal

Organ perifer

Parasimpatik

Organ Perifer

(30)

Organ viscera menerima dua macam suplai otonom. Pada sebahagian kasus, dimana terdapat dua macam suplai saraf, kerja kedua bagian (simpatetik dan parasimpatetik) mungkin tidak bersifat antagonist. Klasifikasi neuron-neuron postganglionik otonom sebagai adrenergik atau cholinergik lebih berguna secara klinik dan fungsional daripada klasifikasi sebagai simpatetik atau parasimpatetik. Kebanyakan (namun tidak semuanya) elemen postganglionik simpatetik ialah

©2003 Digitized by USU digital library

11

adrenergik. Kebanyakan (tetapi mungkin tidak seluruhnya) elemen postganglionik parasimpatetik merupakan cholinergik. (31) Acetylcholin dan norepinephrin merupakan agen- agen transmitter utama yang terlibat di dalam transmisi pada hubungan sinaptik antara neuron neuron pre dan postganglionik serta antara neuron neuron postganglionik dan efektor-efektor otonom. (31) Norepinephrin (levarterenol) merupakan transmitter kimiawi pada sebagian besar ujung postganglionik simpatetik. Kendati banyak viscera mengandung norepinephrin dan epinephrin, kandungan epinephrin dapat dihubungkan dengan jumlah ujung saraf simpetetik. (31) Schildkraud (1965) pertama sekali menghipotese hubungan katekolamine dengan gangguan mood. Pada sebagian besar kasus depresi berhubungan dengan penurunan katekolamine, terutama norepinephrin. Sesuai dengan hipotesis ini dilakukan pengamatan pada 3 kelompok obat ; reserpin, trisiklik dan monoamine inhibitors. Reserpin selalu mengakibatkan depresi, jika digunakan pada pasien hipertensi. Reserpin menyebabkan penurunan katekolamine. Trisiklik anti depresan dan “mono amine oxidase inhibitor“ digunakan dalam pengobatan depresi, kedua obat ini meningkatkan aktifitas katekolamine. Pada hipotesa yang kedua yang memperhatikan biokimia depresi dengan hipotesa indolamine ; dimana penurunan aktifitas indolamine terutama serotonin dapat menyebabkan depresi. (11) Sama halnya dengan hipotesa katekolamine, pada hipotesa indolamine dibuktikan juga reserpine menurunkan serotonin otak. (11) Mekanisme kolinergik juga terlibat pada gangguan mood. Berdasarkan hipotesa kolinergik, peningkatan acethylcholin otak berhubungan dengan depresi. Hal ini dilihat dari kerja trisiklik anti depressan terhadap efeknya sebagai anti cholinergik. (11) Hipersimpatotonik sistem gastrointestinal akan menimbulkan pengurangan peristaltik yang menyebabkan obstipasi dan berkurangnya sekresi asam lambung/hipoasiditas. (31) Pada pasien depresi terjadi peningkatan acetylcholine mengakibatkan hipersimpatotonik sistem gastrointestinal yang akan menimbulkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas lambung, kolik, vomitus, dan sebagian besar gejala gastritis dan ulkus peptik. (11,30,31) Hal ini menolong kita untuk mengetahui peran sistem saraf pusat dalam mengatur nyeri visceral dan pergerakannya. Stress yang terus menerus mungkin memudahkan CNS terhadap pandangan melalui gangguan “ Hipothalamic - pituitariadrenal- cytokine stress pathway “ (29) . Sistem saraf otonom vegetative biasanya berfungsi untuk penyesuaian terhadap perubahan perubahan dalam jangka waktu pendek, sedangkan dalam jangka waktu panjang yang berperan sistem hipofisis kelenjar endokrin yang mensekresi hormon hormon. (30) Peningkatan peradangan pada mukosa enterik atau plexus neural menimbulkan simtom dispepsia, hal ini dapat terjadi oleh karena peningkatan sensitisasi periferal dan aktifitas hipermotilitas oleh inflamasi cytokinine. (29) Penelitian ini dapat membantu untuk mengerti peran CNS dalam mengatur nyeri visceral dan pergerakan saluran pencernaan. Juga sebagai penilaian dalam penelitian respon pengobatan psikologi dan psikofarmakologi dalam penelitian gangguan gangguan psikiatri. (29) Hal ini dilaporkan bahwa pasien depresi dengan aktifitas gyrus anterior pada imaging PET mempunyai respon terhadap antidepresan. (29)

2. Konseptualisasi Biopsikososial dari patogenesis dan gambaran klinis dari gangguan fungsi saluran pencernaan. Konsep ini menjelaskan keterikatan psikososial dan faktor psikologi yang merupakan sifat mekanisme dasar dari gangguan fungsi gastrointestinal. (29)

©2003 Digitized by USU digital library

12

Kehidupan awal, yang dipengaruhi genetik dan lingkungan (contoh : perlakuan “toilet training” terhadap si anak, penyakit, riwayat kehilangan dan penyalah gunaan / “abuse” atau pemaparan terhadap infeksi) akan mempengaruhi perkembangan psikososial (yakni kerentanan terhadap stress kehidupan, status psikologi, kemampuan mengatasi masalah / “coping skill”, perkembangan dalam dukungan sosial) yang akan mempengaruhi perkembangan disfungsi saluran pencernaan (gangguan pergerakan dan hipersensitifitas visceral). (29) Dengan perkataan lain interaksi faktor psikososial akan mengubah fisiologi saluran pencernaan (melalui axis otak dan saluran pencernaan (“barain- gut axis”). (29)

3. Hypersensitifitas visceral. Nyeri abnomen pada penelitian akhir- akhir ini dijelaskan berhubungan dengan sensasi visceral yang abnormal (= hypersensitifitas visceral). (29) Pasien mungkin mempunyai ambang nyeri yang rendah, yang dibuktikan dengan percobaan peregangan balon pada saluran pencernaan (hyperalgesia visceral) (29) . Peningkatan gangguan somatik yang menyebab kan nyeri visceral pada gangguan fungsional berhubungan dengan : a. Perubahan sensitifitas pada viscus b. Peningkatan perangsangan spinal cord dorsal neuron. c . Perubahan modulasi sensasi sentra Namun masih belum jelas hubungan hipersensitifitas gangguan fungsional gastrointestinal (29)

visceral

dengan

4. Nyeri abnormal. Nyeri abdominal sering dijumpai bergabung dengan gangguan pencernaan. Pasien tersebut sering melaporkan sedang menghadapi ketegangan-ketegangan dalam kehidupan terlebih dahulu sebelum timbul simt o m- simtomnya, dan sering mendapatkan prevalensi yang tinggi dan berulang- ulangnya penyakit psikiatri terutama depresi dan cemas (28,29,32). Kejadian-kejadian ketegangan dalam kehidupan dan simptom psikiatrik, terutama depresi, akan mempengaruhi pasienpasien nyeri abdomen untuk mendapatkan pengobatan (28,32) . Depresi akan mengubah pergerakan usus yang akan menimbulkan perasaan nyeri yang berlebihan, lagi pula depresi memperkuat perasaan nyeri dan meningkatkan usaha untuk mencari pengobatan mengurangi rasa nyeri (32). Pada pertengahan abad 20, penelitian oleh Stewart Wolf dan Harold Wolf, Sidey Margolin dan Gerge engel yang meneliti mukosa lambung, dengan memperhatikan pada fungsi lambung terhadap emosional dan prilaku dalam periode yang lama. Dengan mudah dijumpai penurunan sekresi lambung dan motilitas (pergerakan) lambung mukosa menjadi pucat yang berhubungan dengan rasa takut, cemas serta depresi. (37) D. PENATALAKSANAAN. 1. Penatalaksanaan Secara Umum Secara umum, aspek yang terpenting dalam pengobatan adalah hubungan yang baik antara dokter dan pasien (“patient - physician - relationship). (3). Simtomsimtom cendrung menjadi kronis dan ditandai dengan periode yang berulang- ulang dan remisi. (3) Dengan menenangkan pasien (“re assurance”) dan memberikan penjelasan adalah sangat penting (3), dimana patogenesis dispepsia fungsional maupun dispepsia organik harus diterangkan pada pasien (3,21) .

©2003 Digitized by USU digital library

13

2. Merubah Kebiasaan Hidup Diet dan obat - obatan harus ditinjau menimbulkan kemb ali simtom dispepsia. (3)

untuk

faktor- faktor

yang

akan

3. Obat-obatan Obat-obatan yang sering dipakai antara lain : a. Antasida : Golongan ini banyak jenisnya dan mudah didapat, pemakaian obat ini cendrung ke arah simptomatik. Pemakaian obat ini jangan terus menerus dan harus diperhatikan efek sampingnya serta penyakit lain yang diderita oleh pasien. (3-5,21,22) b. Anti Kolinergik : Pemakaian obat ini harus diperhatikan sebab kerja obat ini tidak begitu selektif. (4,22) c. Antagonis reseptor H2 : Golongan obat ini antara lain : simetidin, ranitidine; famotidin, roksatidin, nizatidin, dan lain- lain. Pemakaiannya lebih banyak ke arah kausal disamping bersifat simtomatik. Sebaiknya diberikan pada organik dan ulkus. (3-5,22) d. Penghambat pompa asam : Obat ini sangat bermanfaat pada kasus kelainan saluran cerna bagian atas yang berhubungan dengan asam lambung. Dengan berkembangnya penemuan etiologi ulkus peptikum khususnya ulkus duodeni yaitu didapatkan helikobakter pylori, penggunaan obat penghambat pompa ini dengan kombinasi antibiotik dan metronidazol memberikan hasil yang cukup memuaskan. (4,22) e. Prokinetik : Golongan obat ini sangat baik dalam mengobati pasien dispepsia yang disertai disebabkan gangguan motilitas. Jenis obat ini antara lain metoklopamid, dompreridon, dan cisapride. ( 4,21,22) f. Golongan lain : Yaitu obat- obat seperti sukraflat, bismuth subsitrat. Golongan ini mempunyai efek melenyapkan helikobakter pylori . (4,5,21,22) g. Psikofarmakoterapi : Terapi ini khususnya pada pasien dengan sindrom dispepsia fungsional, memberi hasil yang cukup memuaskan terutama untuk mengurangi atau menghilangkan gejala / keluhan. Pada kasus ini terapi dengan anti depresan atau anti anxietas dapat membantu mengurangi gejala klinis . (4,21) Preparat dan dosis antidepresan : a. Siklik antidepresan : Antidepresan trisiklik yang pertama ditemukan adalah impramine dan memiliki sedikit kegunaan sejak tahun 1950. Trisiklik seperti : amitriptiline, imipramine, trimipramine dan dispramine, dengan dosis 150 –300 mg/hari (8,35). Amoxapine dan trazodone dosis efektif secara klinis : 150 – 600 mg/hari (32). Efek amping yang sering dijumpai : sedasi, mulut kering, konstipasi dan hipotensi postural. (8,35) b. Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs) MAOI memiliki kekurangan, dimana pasien harus melakukan diet bebas tiramine, untuk menghindari krisis hipertensi, yang disebut reaksi keju (“chese – rection”). (8,35) Moclobemide (Reversible MAOI =RIMA) dapat menghindari beberapa masalah yang dimiliki MAOI yang lainnya (8,35). C. Selective Serotonin re - uptake inhibitors (SSRI) Y ang termasuk SSRI adalah : fluoxetin, fluvoxamine, sentraline, citalopram dan paraxetine. (13,34) Dosis fluoxetin 20- 80 mg/hari, sentraline 50- 200mg/hari. (35)

©2003 Digitized by USU digital library

14

4. Psikoterapi Tiga jenis psikoterapi jangka pendek : terapi kognitif, terapi interpersonal, dan terapi perilaku yang telah diteliti manfaatnya dalam pengobatan gangguan depresi mayor. (12) Harold G.K, dan kawan-kawan dalam penelitiannya memperoleh kesimpulan, bahwa psikoterapi psikoreligius dapat mempersingkat masa remisi pada pasien pasien depres i dengan penyakit- penyakit medis yang dirawat di rumah sakit (36). E. LIAISON PSIKIATRI Liaison psikiatri merupakan bidang keahlian khusus, yang bekerja sebagai bagian dari team multidisipliner di rumah sakit, termasuk staff perawat, pekerja pekerja sosial, terapis dalam pekerjaan, dan psikolog. (37) Walaupun rumah sakit umum tertuju pada penyakit-penyakit fisik, namun hampir semua penyakit pada umumnya mempunyai aspek psikologi dan sosial. Diatas 40 % pasien memiliki kecemasan atau gangguan depresi, yang mengganggu kualitas hidup, memperlambat penyembuhan, dan peningkatan perubahan problema perilaku sakit. (37,38) Konsultasi Psikiatri adalah mengajukan opini diagnosis dan saran penanganan sehubungan dengan keadaan mental pasien dan tingkah lakunya untuk memenuhi permintaan dari profesi kesehatan lain. (37,38) Liaison merujuk kepada membantu perkembangan suatu hubungan antar kelompok untuk tujuan kerjasama yang efektif. Untuk psikiatri, konsultasi liaison ini berarti menjadi media antara pasien dengan team klinisi, antara kesehatan jiwa dengan psofesi kesehatan lain, menjelaskan sikap dari pasien, mempersiapkan tenaga kesehatan dalam usaha menjaga komunikasi dan kerjasama untuk menghilangkan konflik. (37) Alat bantu yang dimiliki konsultasi Liaison untuk membuat diagnosis adalah wawancara dan observasi klinik secara serial. (37,38) Tujuan diagnosis adalah mengenal gangguan mental dan respon psikologis terhadap penyakit fisik, mengenal gambaran kepribadian pasien dan mengetahui tehnik mengatasi masalah yang khas dari pasien dalam membuat rekomendasi intervensi pengobatan yang paling sesuai dengan keinginan pasien. (37,38) Prinsip konsultasi Liaison psikiatri dalam pengobatan medical adalah analisa secara lengkap dari respon pasien terhadap penyakit psikiatri jika ada. Tantangan bagi dokter dan Liaison psikiatri adalah menemukan jalan yang lebih efektif untuk menyingkirkan penyebab organik dengan sedikit pemeriksaan dan penanganannya. (37) Dengan perkataan lain, keuntungan liaison psikiatri dalam penganganan pasien-pasien secara menyeluruh baik fisik dan psikologi adalah : 1. memerlukan waktu yang sedikit untuk pemeriksaan 2. memperpendek lamanya pasien dirawat 3. memperbaiki kualitas hidup 4. mengurangi ketegangan, termasuk anxietas dan depresi 5. mengurangi hal-hal yang merugikan diri sendiri. (37) F. KESIMPULAN Dispepsia merupakan perasaan tidak enak diperut bagian atas yang bersifat menetap atau berulang, dapat berhubungan atau tanpa berhubungan dengan makanan, dan bersifat kronik bila berlangsung lebih dari tiga bulan. Dispepsia merupakan kumpulan gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang disertai keluhan lain, perasaan panas didada daerah jantung (heart burn), regurgitasi, kembung, perut terasa penuh, cepat kenyang, sendawa, anoreksia, mual, muntah dan beberapa keluhan lainnya.

©2003 Digitized by USU digital library

15

Dispepsia berdasarkan ada tidaknya penyebab, dibagi menjadi dispepsia organik bila dijumpai kelainan organik, baik dari saluran cerna itu sendiri maupun dari luar saluran cerna, dan dispepsia fungsional bila penyebabnya tidak diketahui dan tidak dijumpai kelainan organik, pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional. Dispepsia ini merupakan kondisi yang paling sering dijumpai baik oleh dokter umum maupun gastroenterohepatologist. Dan dispepsia fungsional diperkirakan 6 – 10 kali lebih sering dari tukak peptik. Suatu pengamatan klinik, menyatakan peristiwa ataupun kejadian- kejadian dalam kehidupan yang penuh ketegangan sering mendahului episode gangguan mood. Pasien- pasien gangguan mood (depresi) pada awalnya dapat muncul dengan keluhan somatik yang mempengaruhi seluruh organ tubuh. Oleh karenanya kita harus memikirkan kemungkinan- kemungkinan, antara lain : 1. Apakah keluhan-keluhan itu murni suatu proses psikis 2. Atau suatu kelainan organik yang sedikit dan bertumpang tindih dengan psikis 3. Atau jelas ada suatu kelainan organik dan kelainan psikis Nyerin abdomen fungsional yang diteliti oleh Stewart Wolf dan kawan-kawan menjumpai adanya penurunan sekresi asam lambung, gangguan pergerakannya (dismotility) dan mukosa yang pucat yang berhubungan dengan rasa sakit dan mood yang depresi. Seperti diketahui manusi bereaksi antara badan, jiwa dan lingkungan. Setiap gangguan / tekanan jiwa seseorang akan menimbulkan reaksi pada badan dan lingkungan orang tersebut. Begitu juga sebaliknya, apabila gangguan pada lingkungan akan menimbulkan reaksi pada badan atau jiwa orang tersebut. Inilah sebabnya keadaan depresi walaupun merupakan gangguan emosi akan terdapat pula gangguan somatik. Penatalaksanaan pasien- pasien depresi pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik meliputi penatalaksanaan secara umum dengan memperhatikan hubungan pasien dan dokter, merubah kebiasaan hidup seperti diet, kopi, obat obatan, pemberian farmakoterapi baik untuk dispepsia maupun psikofarmakoterapi anti depresan terutama pasien- pasien dispepsia fungsional serta psikoterapi antara lain; terapi kognitif, interpersonal, perilaku dan psikoreligius psikoterapi. Peranan liaison psikiatri di rumah sakit sangat diperlukan dalam penanganan pasien-pasien secara menyeluruh baik fisik serta psikis, sehingga dapat memperpendek lamanya pasien dirawat, lebih efektif dan mengurangi waktu bermacam- macam pemeriksaan yang akan merugikan diri sendiri, mengurangi ketegangan, termasuk anxietas dan depresi, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup kembali.

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif untuk melihat perbedaan depresi pada pasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik dalam hal ini ulkus. Selanjutnya, penelitian ini juga ingin mengetahui seberapa besar derajat keparahan depresi yang terjadi. Cara pelaksanaannya yakni : Subjek yang diambil secara random dan dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok dispepsia fungsional dan dispepsia organik.

©2003 Digitized by USU digital library

16

Pasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik tersebut ditegakkan depresinya dengan menggunakan PPDGJ III, dan digambarkan perbedaan depresinya masingmasing. 1. Pemilihan Lokasi. Tempat penelitian adalah poliklinik penyakit dalam sub bagian gastroenterohepatologi R.S.U.P.H. Adam Malik Medan. 2. Pengambilan Sampel. 2.1. Populasi : Semua pasien dispepsia yang berobat jalan di poliklinik penyakit dalam sub bagian gastroenterohepatologi R.S.U.P.H. Adam Malik Medan. 2.2. Sampel : Pengambilan sampel dilakukan dengan cara random, dimana pasien yang telah diagnosa menderita dispepsia, dilakukan pemeriksaan endoscopy oleh gastroenterohepatologist, ditetapkan dispepsia fungsional dan dispepsia organik merupakan sampel dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, yang diteliti adalah setiap sampel penderita dispepsia, yang datang berobat jalan ke poliklinik penyakit dalam sub bagian gastroenterohepatologi setiap hari selasa dan jum’at antara pukul 09.00 sampai 12.00 WIB. Kelompok penderita dispepsia fungsional dan penderita dispepsia organik (ulkus) yang memenuhi persyaratan diambil sejak 1 Pebruari sampai 30 Juni 2001. 3. Alat ukur yang digunakan. Semua pasien yang ikut dalam penelitian yang telah didiagnosis menderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik (ulkus) yang memenuhi persyaratan, dilakukan wawancara dengan mengunakan status psikiatri, untuk mendapatkan data demografi pasien dan mengetahui ada tidaknya gangguan jiwa sebelumnya. Kriteria diagnosis berdasarkan PPDGJ III, digunakan untuk mengetahui depresinya. Dan untuk tingkat keparahan depresi digunakan Hamilton Depression Rating Scale = HDRS. 4. Penjelasan alat ukur. 4.1. Status psikiatri : telah lama dipakai di bagian psikiatri FK USU / RSUP H.Adam Malik Medan dan keabsahan nya tidak diragukan lagi. 4.2. PPDGJ III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III) dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI dan telah diakui dan sering digunakan di Indonesia. 4.3. Skala Hamilton untuk depresi (Hamilton Depresion Rating Scale) untuk mengukur derajat depresi telah diadaptasi di Indonesia dan telah diuji validasinya. 5. Pengumpulan data. 5.1. Persiapan. Menyediakan Status dan PPDGJ III serta skala pengukuran derajat depresi menurut Hamilton (HDRS). 5.2. Pelaksanaan. Pelaksanaan dimulai untuk setiap penderita yang datang berobat ke poliklinik penyakit dalam sub bagian gastroenterohepatologi oleh dokter gastroenterohepatologist yang memenuhi persyaratan diambil dan yang tidak memenuhi persyaratan tidak diambil. Penelitian dilakukan dengan wawancara dan penelitian dilakukan antara pukul 09.00 sampai 12.00 WIB. 6. Variabel Penelitian. 6.1. Variabel tergantung : depresi 6.2. Variabel bebas : Dispepsia fungsional dan dispepsia organik. 7. Pengolahan data.

©2003 Digitized by USU digital library

17

7.1. Data dasar yang didapat dalam formulir tiap penderita dikelompokkan dan ditabulasi kedalam tabel-tabel menurut jenisnya. 7.2. Dari sampel yang ada yakni penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik ditegakkan depresinya berdasarkan PPDGJ III, dan dihitung ting katan depresinya dengan menggunakan HDRS, dan dilakukan perhitungan perbedaan depresi pada pasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik dengan menggunakan uji statistik Chi- square. Hipotesa nul yaitu tidak ada perbedaan depresi pada kelompok penderit a dispepsia fungsional dan dispepsia organik (ulkus). Hipotesa alternatif yaitu ada perbedaan depresi pada kelompok penderita dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia organik (ulkus). 7.3. Pada setiap penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang depresi diberikan pengobatan yakni pemberian antasida dan antagonis reseptor H2 selama 2 minggu. 7.4. Pasien depresi yang diberikan pengobatan selama dua minggu, dihitung kembali HDRS nya. 7.5. Analisa Data. a. Untuk melihat perbedaan depresi pada pende rita dispepsia digunakan uji chi-square dengan rumus (40) N (ad – cb) 2 2 X = (a+b) (c+d)(a+c)(b+d) b. Pada uji chi-square jika didapat sel dalam tabel ada nilai yang lebih kecil dari 5 harus digunakan “Yates correction” (40) 2

X =

{[(ad-cb)-N/2}]2 N (a+b) (c+d)(a+c)(b+d)

BAB IV HASIL PENELITAIN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN Data-data dari hasil penelitian yang didapat ini, kemudian dideskripsikan. Dan beberapa dari data- data itu dikumpulkan menurut jenisnya yang kemudian ditabulasikan menurut karakteristiknya dan disesuaikan dengan batasan masalah yang telah dikemukakan. Berikut ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian. Kelompok penderita dispepsia fungsional yang diteliti selama 1 Februari sampai 30 Juni 2001, yang memenuhi persyaratan didalam penelitian sebanyak 22 orang, terdiri dari laki- laki 9 orang dan perempuan 13 orang. Pada kelompok penderita dispepsia organik (ulkus) 22 orang terdiri dari laki- laki 15 orang dan perempuan 7 orang.

©2003 Digitized by USU digital library

18

Tabel 1. Distribusi jenis kelamin pada kelompok dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia organik (ulkus). Jenis

Dispepsia Fungsional

Dispepsia Organik

Kelamin

N

%

N

%

Laki- laki

9

40.9

15

68,2

Perempuan

13

59,1

7

31,8

Total

22

100

22

100

Pada tabel 1, distribusi jenis kelamin penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik (ulkus). Didapatkan penderita dispepsia fungsional laki- laki sebanyak : 9 orang (40,9 %), wanita sebanyak : 13 orang (59,1 %). Sedangkan penderita dispepsia organik (ulkus), laki- laki sebanyak 15 orang (68,2%), perempuan sebanyak 7 orang (31,8%). Tabel 2. Karakteristik umur pada kelompok dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia organik (ulkus). NO

Umur

Dispepsia Fungsional

Dispepsia Organik

(tahun)

N

%

N

%

1

- 25

2

9,2

1

4,1

2

26 – 35

11

50,0

8

36,4

3

36 – 45

9

40,9

8

36,4

4

µ 46

-

-

5

22,7

22

100

22

100

Total

Pada tabel 2 diatas dapat dilihat pada kelompok dispepsia fiungsional pada umur 25 tahun 2 orang (9,1 %), 26 – 35 tahun 11 orang (50 %), 36 – 45 tahun 9 orang (40,9 %) diatas 46 tahun tidak dujumpai. Pada kelompok dispepsia organik, pada umur 25 tahun 1 orang (4,1 %), 26 – 35 tahun 8 orang (36,4 %), 36 – 45 tahun 8 orang (36,4 %), diatas 45 tahun 5 orang (22,7 %). Tebel 3. Karakteristik Status Perkawinan pada kelompok dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia organik (ulkus) NO

Dispepsia Fungsional Status

Dispepsia Organik

N

%

N

%

1

Belum Kawin

1

4,5

2

9,1

2

Kawin

21

95,5

20

90,9

22

100

22

100

Total

Pada tabel 3, karakteristik status perkawinan pada kelompok dispepsia fungsional, penderita yang belum kawin 1 orang (4,5 %) yang kawin 21 orang (95,5 %). Pada kelompok dispepsia organik, penderita belum kawin 2 orang (9,1 %) yang kawin 20 orang (90,9 %).

©2003 Digitized by USU digital library

19

Tabel 4.

Karakteristik distribusi agama pada kelompok dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia organik (Ulkus) Dispepsia Fungsional

NO Agama

Dispepsia Organik

N

%

N

%

1

Islam

10

45,5

3

13,6

2

Kristen

12

54,5

18

81,8

3

Budha

0

0

1

4,5

22

100

22

100

Total

Pada tabel 4 dapat dilihat karakteristik distribusi agama. Pada kelompok dispepsia fungsional Islam 10 orang (45,5 %) dan Kristen 12 orang (54,5 %). Pada kelompok dispepsia organik, Islam 3 orang (13,6 %), Kristen 18 orang (81,8 %) dan Budha 1 orang (4,5 %). Tabel 5. Karakteristik distribusi suku bangsa pada kelompok dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia organik (Ulkus) Dispepsia Fungsional

NO Suku

Dispepsia Organik

N

%

N

%

1

Batak

10

45,5

16

72,7

2

Karo

6

27,3

3

13,6

3

Nias

-

-

1

4,5

4

Jawa

4

18,2

1

4,5

5

Mandailing

1

4,5

-

-

6

Melayu

1

4,5

-

-

7

Cina

-

-

1

4,5

22

100

22

100

Total

Pada tabel 5, dapat dilihat karakteristik distribusi suku bangsa pada kelompok dispepsia fungsional suku Batak 10 orang (45.5 %) dan suku Karo 6 orang (27,3 %) suku Jawa 4 orang (18,2 %) suku Mandailing 1 orang (4,5 %) dan Melayu 1 orang (4,5 %). Pada kelompok dispepsia organik, suku Batak 16 orang (72,7 %) dan suku Karo 3 orang ( 13,6 %) suku Nias 1 orang (4,5 %) suku Jawa 1 orang (4,5 %) dan Cina 1 orang (4,5 %).

©2003 Digitized by USU digital library

20

Tabel 6. Karakteristik distrib usi jenis pekerjaan pada kelompok dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia organik (Ulkus) Dispepsia Fungsional

NO Pekerjaan

Dispepsia Organik

N

%

N

%

1

Ibu rumah tangga

9

40,9

4

18,2

2

PNS

6

27,3

10

45,5

3

Wiraswasta

6

27,3

7

31,8,

4

Bertani

-

-

1

4,5

5

Mahasiswa

1

4,5

-

-

22

100

22

100

Total

Pada tabel 6, dapat dilihat karakteristik distribusi jenis pekerjaan pada kelompok dispepsia fungsional, ibu rumah tangga 9 orang (40,9 %) dan PNS 6 orang (27,3 %), Wiraswasta 6 orang (27,3 %), mahasiswa 1 orang (4,5 %). Pada kelompok dispepsia organik, ibu rumah tangga 4 orang (18,2 %) dan PNS 10 orang (45,5 %), Wiraswastawa 7 orang (31,8 %), bertani 1 orang (4,5 %). Tabel 7. Karakteristik tingkat pendidikan pada kelompok dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia organik (Ulkus) Dispepsia Fungsional

NO Pendidikan

Dispepsia Organik

N

%

N

%

1

SD

2

9,1

2

9,1

2

SLTP

6

27,3

5

22,7

3

SLTA

5

27,7

10

45,5

4

Akademi

1

4,5

-

-

5

Sarjana

8

36,4

5

22,7

22

100

22

100

Total

Pada tabel 7, dapat karakteristik distribusi tingkat pendidikan pada kelompok dispepsia fungsional, SD 2 orang (9,1 %), SLTP 6 orang (27,3 %), SLTA 6 orang (27.7 %), akademi 1 orang (4,5 %) dan sarjana 8 orang (36,4 %). Pada kelompok dispepsia organik SD 2 orang (9,1 %), SLTP 5 orang (22,7 %), SLTA 10 orang (45.5 %), dan sarjana 5 orang (22,7 %).

©2003 Digitized by USU digital library

21

Tabel 8. Karakteristik depresi pada kelompok dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia organik (Ulkus) sebelum dan sesudah pengobatan. Dispepsia Fungsional NO

Depesi

1

Depresi

2

Tidak Total

Dispeps ia Organik

Sebelum

Sesudah

Sebelum

Sesudah

N

%

N

%

N

%

N

%

14

63,6

14

63,6

8

36,4

1

4,6

8

36,4

8

36,4

14

63,6

21

95,4

22

100

22

100

22

100

22

100

Pada tabel 8, dapat dilihat karakteristik distribusi penderita depresi dispepsia fungsional sebelum dan sesudah pengobatan sama 14 orang (63,6 %), dan yang tidak depresi sebelum dan sesudah pengobatan sama 8 orang (36,4 %). Pada kelompok dispepsia organik yang mengalami depresi sebelum pengobatan 8 orang (36,4%). Dan sesudah pengobatan 1 orang (4,6 %), dan yang tidak depresi sebelum pengobatan 14 orang (63,6 %), dan sesudah pengobatan 21 orang (95,4 %). Tabel 9. Perubahan depresi pada pada penderita dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia organik (Ulkus) sebelum dan sesudah pengobatan. Tingkatan Depresi NO

1

Depesi Dispepsia Fungsional

Sebelum Pengobatan Ringan Sedang Berat

2

Dispepsia Organik

Sesudah Pengobatan

Ringan Sedang Berat

Tidak

Ringan

Sedang

Berat

5

-

5

-

-

4

-

2

2

-

5

-

-

3

2

3

3

-

-

-

4

4

-

-

-

1

-

-

1

-

Pada tabel 9, dapat dilihat perubahan depresi sebelum dan sesudah pengobatan pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Pada dispepsia fungsional, perubahan depresi sebelum dan sesudah pengobatan adalah sebagai berikut : 1. Depresi berat 5 orang, menjadi sedang 3 orang dan tetap berat 2 orang. 2. Depresi sedang 4 orang, menjadi ringan 2 orang dan tetap sedang 2 orang. 3. Depresi ringan 5 orang, tetap ringan 5 orang. Pada dispepsia organik adalah : 1. Depresi berat 1 orang menjadi sedang. 2. Depresi sedang 4 orang menjadi tidak depresi.

©2003 Digitized by USU digital library

22

3. Depresi ringan 3 orang menjadi tidak depresi. Tabel 10. Karakteristik depresi pada kelompok dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia organik (Ulkus) . No

Depresi

Dispepsis

Dispepsia

fungsional

organik

Total

1.

Depresi

14

8

22

2.

Tidak Depresi Total

8 22

14 22

22 44

Keterangan : df = 1 X2 tabel = 3,841 Tingkat kemaknaan p [ 0,05 X2 hitungan = 0,025 X2 tabel ν X2 Hitungan Maka H0 diterima; tidak ada perubahan depresi pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Tabel 11. Perbedaan pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik setelah pengobatan No

Depresi

Dispepsis

Dispepsia

fungsional

organik

Total

1.

Depresi

14

1

15

2.

Tidak Depresi Total

8 22

21 22

29 44

Keterangan df = 1 X2 tabel = 3,841 Tingkat Kemaknaan p [ 0,05 Dengan uji statistik “Yates correction”. Dijumpai X2 Hitungan = 14,56 Berarti X2 tabel ∴ X2 Hitungan Ho ditolak, sehingga Ha diterima. Bilamana Ha diterima, maka dijumpai adanya perbedaan bermakna depresi pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik setelah pengobatan, yaitu terutama pada dispepsia organik.

B. PEMBAHASAN Tujuan penelitian ini seperti disebutkan dalam bab pendahuluan adalah untuk melihat jumlah pasien depresi pada penderita dispepsia fungsional dan organik (ulkus), dan melihat perbedaan depresi pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Juga melihat pengaruh pengobatan konvensional pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik,dimana pada dispepsia fungsional sedikit atau tidak mempengaruhi tingkat depresi, sehingga pada penderita dispepsia fungsional memerlukan pendekatan psikopatologinya. Pada tabel 1 dapat dilihat dari 22 orang pasien dispepsia fungsional yang ikut dalam penelitian ini, ternyata sebahagian besar adalah perempuan 13 orang (59,1

©2003 Digitized by USU digital library

23

%) dan laki-laki 9 orang (40,9 %). Hal ini sesuai dengan literatur, perempuan lebih sering menderita dispepsia fungsional dari pada laki- laki. (5) Dan dari 22 orang dispepsia organik (ulkus) didapati 15 orang (68,2 %)laki- laki dan 7 orang (31,8 %) perempuan. Dan berdasarkan literatur dinyatakan perbandingan laki- laki dan perempuan pada ulkus 2 : 1. (22) Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa pada pasien dispepsia fungsional, kelompok umur 26 – 35 tahun lebih banyak (50,0 %). Dan pada pasien dispepsia organik (ulkus) kelompok umur 26 – 35 dan 36 – 45 tahun rata rata sebanyak 36,4 %. Pada tabel 3 dapat dilihat pada pasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik sering diderita pada kelompok yang sudah kawin yaitu pada dispepsia fungsional 95,5 % dan pada dispepsia organik (ulkus) 90,9 %. Pada tabel 4 dapat dilihat distribusi agama pada pasien dispepsia fungsional, Islam 45,5 %, Kristen 54,5 %. Dan pada pasien dispepsia organik (ulkus) Islam 13,6 %, Kristen 81,8 %, dan Budha 4,5 %. Pada tabel 5 dapat dilihat berdasarkan suku, pasien dispepsia fungsional terdapat pada kelompok suku Batak (45,5 %), suku Karo 27,3 %, suku Jawa 18,2 %, suku Mandailing dan suku Melayu masing- masing 4,5 %. Pada pasien dispepsia organik (ulkus) suku Batak (72,8 %), suku Karo 13,7 %, suku Nias 18,2 %, suku Jawa dan Cina masing- masing 4,5 %. Pada tabel 6 dapat dilihat berdasarkan jenis pekerjaan pada dispepsia fungsional dijumpai ibu rumah tangga sebanyak 40,9 %, dan Pegawai Negeri, Wiraswasta sebanyak 27,3 %, dan mahasiswa sebanyak 4,5 %. Dan pada dispepsia organik (ulkus) dijumpai Pegawai Negeri sebanyak 45,5 %, Wiraswasta sebanyak 31,8%, ibu rumah tangga sebanyak 18,2% dan petani sebanyak 4,5%. Pada tabel 7 dapat dilihat berdasarkan tingkat pendidikan pada penderita dispepsia fungsional, tingkat pendidikan sarjana terbanyak yakni 36,4 %, setelah itu SLTP 27,3 %, dan SD 9,1 %, dan Akademi sebanyak 4,5 %. Pada penderita dispepsia organik (ulkus) tingkat pendidikan SLTA terbanyak yakni 45,5 %, setelah itu SLTP dan sarjana masing- masing 22,7 %, dan SD 9,1 %. Pada tabel 8 dapat dilihat penderita dispepsia fungsional yang depresi sebelum pengobatan dan sesudah pengobatan 63,3 %, dan yang tidak depresi sebelum dan sesudah pengobatan 36,4 %. Pada penderita dispepsia organik (ulkus) sebelum pengobatan yang depresi sebanyak 36,4 %, yang tidak depresi sebanyak 63,6 %. Dan setelah pengobatan sebanyak 95,4 %. Dari tabel ini dapat disimpulkan bahwa jumlah pasien dispepsia fungsional yang depresi sebelum dan sesudah pengobatan lebih banyak dari pasien dispepsia organik (ulkus). Dan jumlah penderita dispepsia organik yang depresi sesudah pengobatan mengalami penurunan jumlah dari 36,4 % menjadi 4,6 %. Dari tabel ini dapat kita lihat bahwa dispepsia fungsional jumlahnya lebih banyak dari dispepsia organik (ulkus). Hal ini sesuai dengan literatur dispepsia fungsional lebih depresi (2,20,21). Dan juga dapat dilihat pengobatan pada pasien dispepsia fungsional tidak mempengaruhi jumlah penderita depresi, sedangkan pada pasien dispepsia organik (ulkus) terdapat penurunan jumlah yang depresi setelah pengobatan. Pada tabel 9 dapat dilihat perubahan tingkat depresi pada pasien dispepsia fungsional sebelum dan setelah pengobatan, dari tingkat berat (5 orang). Setelah pengobatan menjadi sedang (3 orang) dan tetap pada tingkatan berat (2 orang). Dari tingkat sedang (4 orang) berubah menjadi tingkat ringan (2 orang) dan tetap pada tingkat sedang (2 orang). Dari tingkat depresi berat (5 orang) setelah pengobatan tetap pada tingkat berat. Sedangkan dispepsia organik (ulkus), pada tingkatan depresi ringan (3 orang) tingkat sedang (4 orang) setelah mendapat pengobatan menjadi tidak depresi. Dan dari tingkat berat (1 orang) setelah pengobatan berubah menjadi tingkat sedang.

©2003 Digitized by USU digital library

24

Pada tabel 9 dapat dilihat perbedaan depresi sebelum pengobatan pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik dimana dengan uji statistik chisquare, didapati X2 Hitungan < X2 Tabel dengan tingkat kemaknaan p < 0,05. Bila mana Ho diterima, dikatakan tidak dijumpai adanya perbedaan depresi pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa depresi dapat dijumpai pada dispepsia fungsional maupun dispepsia organik. Serta tingkat keparahannya dapat dijumpai pada dispepsia fungsional lebih depresi dari pada dispepsia organik, hal ini dapat kita lihat seperti yang digambarkan pada tabel 9. Pada tabel 11 dapat dilihat perbedaan depresi pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik setelah pengobatan, yang diuji dengan uji statistik “Yates correction”, dijumpai X2 Hitungan > X2 Tabel, dengan tingkat kemaknaan p < 0,05, df = 1, X2 Tabel 3,841. Maka dikatakan Ho ditolak sehingga Ha diterima. Bilamana Ha diterima, dikatakan dijumpai perbedaan depresi pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik setelah pengobatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan oleh Haug TT dan kawan- kawan dijumpainya perbedaan depresi pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik, dimana dispepsia fungsional lebih depresi dari pada dispepsia organik. (17,18) Dan bila dilihat dari tabel 8 dan 9 gambaran depresi pada dispepsia fungsional lebih banyak jumlahnya dan lebih tinggi tingkat depresinya dari dispepsia organik. Berdasarkan penelitian JOHNSEN R, yang menyimpulkan perbedaan diantara dispepsia ulkus dan dispepsia non ulkus, mungkin pada etiologi, oleh karena itu secara klinis yang bermakna, disebutkan pengobatan pada pasien dispepsia non ulkus berbeda dari pengobatan dispepsia ulkus yang tradisional. (16) Hal ini juga memerlukan penelitian yang lebih lanjut untuk melihat dan menggambarkan sejauh mana faktor lingkungan yaitu bio-sosio kulturil dan agama yang mempengaruhi patologinya suatu penyakit dalam hal ini dispepsia fungsional dan dispepsia organik.

BAB V PENGUJIAN HIPOTESIS A. HIPOTESIS 1. Hipotesis Nul a. Tidak ada perbedaan depresi pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik. b. Ada perbedaan depresi pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik. 2. Hipotesis alternatif Ada perbedaan depresi pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik. B. PENUNJANG Jumlah penderita dispepsia fungsional yang ikut dalam penelitian : 22 orang. Dan penderita dispepsia organik : 22 orang. Penderita dispepsia fungsional yang depresi: 14 orang (63,6 %) dan yang tidak depresi 8 orang (36,4 %). Penderita dispepsia organik yang depresi 8 orang (36,4 %) dan yang tidak depresi 14 orang (63,6 %). Penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang depresi diberi pengobatan. Dan dengan perhit ungan statistik test uji chi-square ditemukan adanya perbedaan depresi setelah pengobatan pada dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Data-data dari hasil penelitian yang didapat ini, kemudian dideskripsikan. Dan beberapa dari data- data itu dikumpulkan menurut jenisnya yang kemudian ditabulasi

©2003 Digitized by USU digital library

25

menurut karakteristiknya dan disesuaikan dengan batasan masalah yang telah dikemukakan. Berikut ini diuraikan mengenai hasil penelitian. C. KESIMPULAN Hipotesa nul ditolak sehingga hipotesa alternatif diterima.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Dari pembahasan masing- masing penelitian dan pengkajian lebih lanjut dan kaitan keseluruhan dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. A. KESIMPULAN UMUM 1. Pada kelompok penderita dispepsia fungsional yang mengalami depresi : 14 orang (63,6 %), dan pada kelompok dispepsia organik : 8 orang (36,4 %). 2. Dari hasil penelitian pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik mengalami perubahan depresi setelah pengobatan. B. KESIMPULAN KHUSUS 1. Pada kelompok penderita dispepsia fungsional yang mengalami depresi sebanyak 14 orang, terdapat 5 orang yang mengalami depresi ringan, 4 orang mengalami depresi sedang dan 5 orang depresi berat sebelum pengobatan. Pada dispepsia organik yang mengalami depresi sebanyak 8 orang, 3 orang mengalami depresi ringan, 4 orang depresi sedang dan 1 orang depresi berat sebelum pengobatan. 2. Penurunan tingkat depresi pada penderita dispepsia fungsional (sebelum pengobatan dan sesudah pengobatan) dijumpai sebagai berikut . a. Dari tingkat depresi ringan = 5 orang . Tetap b. Dari tingkat depresi sedang = 4 orang menjadi depresi ringan 2 orang dan tetap 2 orang c . Dari tingkat depresi berat = 5 orang menjadi depresi sedang = 3 orang dan tetap = 2 orang Pada penderita dispepsia organik . a. Dari tingkat depresi ringan (3 orang ) menjadi tidak depresi. b. Dari tingkat depresi sedang (4 orang ) menjadi tidak depresi. c . Dari tingkat depresi berat (1 orang ) menjadi depresi sedang. C. SARAN Pada penelitian ini dapat dilihat baik pada penderita dispepsia fungsional maupun dispepsia organik ada yang mengalami depresi dengan tingkatan yang bervariasi ringan, sedang dan berat. Penderita dispepsia fungsional yang mengalami depresi lebih banyak dari pada dispepsia organik. Hal ini menjadi perhatian yang khusus bagi gastroenterohepatologis untuk lebih memperhatikan adanya hubungan gangguan somatik, psikis dan lingkungan bio- sosio - kulturil dan agama. Sehingga perlu kerja sama dengan disiplin ilmu yang terkait dalam penanganan kasus- kasus dispepsia baik organik maupun fungsional. Pengobatan konvensional yang diberi pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang mengalami depresi dapat merubah tingkatan depresinya. Namun pada dispepsia fungsional perubahan tingkat depresi ma sih belum maksimal.

©2003 Digitized by USU digital library

26

Penelitian yang lebih lanjut diperlukan untuk mencari keterkaitan faktor lingkungan baik bio- sosio-kulturil dan agama sebagai salah satu faktor patofisiologi dispepsia fungsional perlu mendapatkan perhatian dalam penanganan dispepsia untuk menghasilkan nilai pengobatan yang lebih baik yaitu dengan meningkatkan peran konsultasi Liaison psikiatri dalam penanganan dispepsia terutama dispepsia fungsional secara menyeluruh.

BAB VII RINGKASAN Telah dilakukan penelitian melalui pendekatan ilmu jiwa dan penyakit dalam sub bagian gastroenterologi, yang dilakukan terhadap 22 orang penderita dispepsia fungsional dan 22 orang penderita dispepsia organik yang berobat jalan di poliklinik sub bagian gastroenterologi RS H. Adam Malik Medan. Penderita dispepsia fungsional yang mengalami depresi sebanyak 14 orang (depresi ringan 5 orang, depresi sedang 4 orang, depresi berat 5 orang) dan dispepsia organik mengalami depresi sebanyak 8 orang (depresi ringan 3 orang, depresi sedang 4 orang, dan depresi berat 1 orang) dilakukan pengobatan. Dan setelah pengobatan di lihat kembali gambaran depresinya. Metode penelitian yang dipakai adalah metode deskriptif. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang mengalami depresi serta perubahan depresi pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik setelah pengobatan. Alat ukur yang digunakan adalah status psikiatri, kriteria diagnosis dispepsia baik fungsional maupun organik, dan PPDGJ III untuk mendiagnosis depresi dan Hamilton Depression Rating Scale untuk mengukur skor depresi. Manfaat kegunaan penelitian ini adalah melihat seberapa besar penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang mengalami depresi. Dan melihat perubahan depresi pada pasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik setelah pengobatan. Didalam penelitian ini didapatkan hasil sebagai berikut : A. KESIMPULAN UMUM 1. Pada kelompok penderita dispepsia fungsional yang mengalami depresi : 14 orang (63,6 %) sebelum pengobatan dan setelah pengobatan dan pada kelompok penderita dispepsia organik : 8 orang (36,4 %), sebelum pengobatan dan 1 orang (36,4 %) setelah pengobatan. 2. Pengobatan yang diberikan baik pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik memberikan manfaat, terutama pada dispepsia organik. B. KESIMPULAN KHUSUS 1. Pada kelompok penderita dispepsia fungsional yang mengalami depresi sebanyak 14 orang, terdapat 5 orang yang mengalami depresi ringan, 4 orang mengalami depresi sedang, dan 5 orang depresi berat. 2. Pada dispepsia organik yang mengalami depresi sebanyak 8 orang, 3 orang mengalami depresi ringan dan 1 orang depresi berat. 3. Perubahan tingkat depresi : Pada penderita dispepsia fungsional (sebelum pengobatan dan setelah pengobatan) dijumpai sebagai berikut. a. Dari tingkat depresi ringan = 5 orang b. Dari tingkat depresi sedang = 4 orang menjadi depresi ringan 2 orang dan tetap 2 orang.

©2003 Digitized by USU digital library

27

c . Dari tingkat depresi berat = 5 orang menjadi depresi sedang = 3 orang dan tetap 2 orang. Pada penderita dispepsia organik a. Dari tingkat depresi ringan (3 orang) menjadi tidak depresi. b. Dari tingkat depresi sedang (4 orang) menjadi tidak depresi. c . Dari tingkat depresi berat (1 orang) menjadi depresi sedang. C. SARAN Pada penelitian ini dapat dilihat baik penderita dispepsia fungsional mupun dispepsia organik pernah ada yang mengalami depresi dengan tingkatan yang bervariasi ringan, sedang dan berat. Penderita dispepsia fungsional yang mengalami depresi lebih banyak dari pada dispepsia organik. Pengobatan yang diberi pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang mengalami depresi dapat merubah tingkatan depresinya. Namun pada dispepsia fungsional perubahan tingkat depresi masih belum maksimal. Keterkaitan faktor lingkungan bio- sosio- kulturil dan agama sebagai salah satu faktor patofisiologi dispepsia fungsional memerlukan penelitian lebih lanjut dan perlu diperhatikan dalam penanganan dispepsia , terutama dispepsia fungsional dan untuk menghasilkan nilai pengobatan yang lebih baik. Dengan meningkatkan peran konsultasi Liaison psikiatri dalam penanganan dispepsia, baik dispepsia organik dan terutama dispepsia fungsional untuk mendapatkan hasil pengobatan yang sempurna.

BAB VIII EXTENSIVE SUMMARY A. THE SCOPE OF THE RESEARCH The world dispepsia is a medical term that refers to a vague constellation of upper abdominal symptoms. Patients more commonly refer to this symptom, as indigestion, which is used synonymously. Dispepsia is an extremely common condition. Dispepsia is the fourth most common medical diagnosis. Defined dispepsia as episodic or persistent abdominal discomfort that is located in upper abdomen or epigastria. Other symptoms, such as bloating, early satiety, distention, and nausea, are commonly present. Dyspepsia may be divided into two main groups : organic and functional. Organic dyspepsia denotes dyspepsia for which a responsible disease process has been identified. Common causes of Organic dyspepsia include peptic ulcer, gastric cancer, and gallbladder disease. In many patients which dyspepsia, clinical assessment and investigation fail to identify any abnormality to account for symptoms, and a diagnosis of functional dyspepsia is made. In making this distinction, the clinician is confronted with a number of potential diagnostic tests. The patho physiological basis of symptoms is complex and unresolved. Over one- half of patients with dyspepsia have either normal exams or nonspecific findings. The majority of these are labeled as having no ulcer dyspepsia or functional dyspepsia. Thus, the primary use of endoscopies in patients with dyspepsia is to diagnose peptic ulcer disease or atypical reflux esophagitis and to exclude malignancy. Upper endoscopies have become the study of first choice in the evaluation of most patients with dyspepsia.

©2003 Digitized by USU digital library

28

The coexistence of treatable psychiatric disorder is commonly missed by primary physicians treating gastrointestinal problems. Unrecognized co morbid psychiatric disorder such as depression, and anxiety typically are associated with alteration in functioning of autonomic system. Also, most of those psychiatric disorder leave the patient with considerable distress, possibly amplifying the discomfort and disability cause by the gastrointestinal symptoms. B. THE FRAME OF THOUGHT AND HYPOTESIS. A number of information and opinions from researches have been gathered through theoretical and empirical approaches. We can see the depression that happens for functional dyspepsia and organic dyspepsia. Functional dyspepsia is more depressed than organic dyspepsia. From some discussion above, we make postulate an hypothesis that: There was differentiated degree of depression with functional dyspepsia and organic dyspepsia. C. THE METHODOLOGY OF RESEARCH The type of research is medical research, specially psychiatry and gastroenterology. The research method that use is descriptive research method. The research has been performed on 22 dyspepsia patients and 22 organic dyspepsia (peptic ulcer) patients who came to clinic of gastroenterohepatology departme nt in Haji Adam Malik General Hospital in Medan from February 1s t 2001 up to June 30th, 2001. Among the 22 functional dyspepsia patients Research is called the Medical Research, especially in psychiatry and participated in the research, the research found 18 patients were experienced depression, and 4 patients did not experienced depression. Before and after the treatment the depressed patients were 18 and non- depression patients were 4. In the organic dyspepsia (ulcer) criteria. Before treatment fund 4 depression patients, and 18 non-depression patients, and after the treatment 1 depression patient, 21 did not experience depression. Grouping the samples was made based on the questionnaire on the Hamilton Rating Scale. The data tested by Chi- square statistical analysized. D. THE ESSENCE OF THE RESEARCH. The aim of research is to verify the different of depression at the time before and after the treatment taken to the functional dyspepsia patient and organic dyspepsia patients. E. TESTING OF THE HYPOTESIS. The statistic verification, the data of this research prove the alternative hypothesis as accepted. The detail of hypothesis described on Chapter V Testing of the Hypothesis. CONCLUSION AND RECOMMENDATION 1. General a. The functional dyspepsia group influenced depression is 14 patients (63,6 %) counted before and after the treatment. At the organic dyspepsia group influenced depression is 8 persons (36,4 %), and depression before and after the treatment is 1 patient (4,6 %). b. The result of the research of functional dyspepsia and organic dyspepsia had discriminated degree depression before and after the treatment. The treatment to the functional dyspepsia group and organic dyspepsia group are accepted. 2. Special.

©2003 Digitized by USU digital library

29

a. The functional dyspepsia group influenced depression is 14 patients, consisted by 5 patients experienced mild depression, 4 patients 14 patients severe depression that counted before the treatment. At the organic dyspepsia patients group influenced depression is 8 persons, consisted 3 patients experience mild depression, 4 patients influenced moderate depression, and 1 patient influenced severe depression. b. The discriminated degree of depression assessment for functional dyspepsia before and after treatment: 1. The treatment to 5 patients of mild depression, presented that all the 5 patients is still in the same mild depression. 2. The treatment to 4 patients of moderate depression, presented 2 patients of mild depression, and the rest 2 persons were still in mild depression. 3. The treatment to 5 patients of severe depression, presented 3 patients of moderate depression, and 2 patients were still in the same severe depression. In Organic dyspepsia it is describe as the following. 1. Treatment to 3 patients of mild depression, presented that they were found not depression anymore. 2. Treatment to 4 patients of moderate depression presented was found not depression anymore. 3. Treatment to 1 patient of severe depression resulted that the patient became to moderate depression. 3. Recommendation. The date of this research shows the patients with functional and organic dyspepsia had depression with mild, moderate, and severe degree of depression. Functional dyspepsia had significant different degree of depression than organic dyspepsia. The treatment that should give to functional dyspepsia and organic dyspepsia changed degree of depression. Compared to the patients with functional dyspepsia, with organic dyspepsia (ulcer) patient with functional dyspepsia had more depression. The study suggest that psychosocial factor would associated with functional dyspepsia, this may be causally related to the higher levels of depression degree due to the difference between organic dyspepsia and functional dyspepsia. In this situation, clinical improvement might require referral for consultation and treatment, in order to gastroenterohepatologist refer a patient to a mental health professional. In girding the gap between physical and psychosocial medicine, Liaison psychiatrist have an important diplomatic role. This includes a ability to communicate effectively with non psychiatric. In comprehensive physical and psychological care benefits of Liaison psychiatry include less disturb (example : anxiety and depression decreased rate deliberate self - harm and better quality of life).

©2003 Digitized by USU digital library

30

DAFTAR KEPUSTAKAAN 1.

2.

3. 4. 5.

6.

7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

15.

16. 17.

18. 19. 20. 21.

Tandean N, Wenas. : Defenisi dan Patofisiologi Dispepsia, Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Nasional VII PPHI dan Kongres Nasional VII PGI, PEGI, Ujung Pandang : Yayasan Masa Depan, 1995 : 135 – 140 Zain L.H. : Klassifikasi dan Diagnosis Dispepsia, Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Nasional VII PPHI dan Kongres Nasional VII PGI, PEGI, Ujung Pandang : Yayasan Masa Depan, 1995 : 141 – 150. Mc. Quarid K.R.< : Dispepsia, Non Dispepsia in Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology, USA, Appleton and Lange, 1996 : 308 - 318. Ali H.I. : Dispepsia dan Penatalaksanaannya, Bunga Rampai Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, Gaya Baru, 1996 : 26 – 30. Adenan H. : Penatalaksanaan Dispepsia, Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Nasional VII PPHI dan Kongres Nasional VII PGI, PEGI, Ujung Pandang : Yayasan Masa Depan, 1995: 151 – 164. Mudjadid E. : Permasalahan Gangguan psikomatik Dalam Ruang Lingkup Penyakit Dalam, Simposium Gangguan Psikomatik di Bidang Penyakit dalam, Medan, Juni 2001, : 1 – 8. Kumen I., Soemaryanto M, : Depresi Terselubung, Simposium depresi, Surabaya, 1984 : 23 – 31. Gaviria M., Flaherty J.A. : Diagnostic Assessment of Depression in Psychiatry Diagnosis and Therapy, 2nd Edition, USA, Appleton and Lange, 1992 : 46 – 73. West R. : Depression in Office of Health Economics, London, 1992 : 3 – 20. Kusumanto R. Iskandar Y. : Depresi, Suatu problema Diagnosa dan Terapi pada praktek umum, Jakarta: Yayasan Dharma Graha, 1981: 9 – 16. Taska R.J. : Depression in Signs and Symptom in Psychiatry, Philadelphia, J.B.Lippincott, 1983: 201 – 2112. Kaplan H.I., Sadock B.J., Grebb J.A. : Mood disorder in synopsis of Psychiatry, VIIth Edition, Baltimore, Williams and Wilkins, 1995 : 516 – 55 Stahl M.S. : Depression in Essential Psychopharmacology, Australia, Cambridge University Press, 1996: 99 – 108. Asikal H.S. : Clinical Feature in Comprehensive Text Book of Psychiatry, Vith edition, Vol I, Baltimore, Williams and Wilkins, 1995 : 1123–1137, 1149 – 1151. Syarif N. : Gambaran Klinik Depresi Terselubung, majalah Jiwa, Jakarta, yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa, Maret No.1 Tahun XIX, 1986: 9 – 16. R.Johnsen, B.Straceme, O.H.Forde,: peptik Ulcer and Non- ulcer Dispepsia a disease and a disorder, Scandinavia Journal Primary Health Care, No.6(4), Nov 1998: 239 – 243. T.T. Haug, et all.: Live events and stress in patient with Functional Dispepsia compare with patients with Duodenal Ulcer and Healthy Control, Scand. Journal Gastroenterology no.30(6), 1995: 524 – 430. ……………….……..: Discriminate Analysis of Faktor Distinguishing Patient with Functional Dispepsia from Patients with Duodenal Ulcer Significance of Somatisation, Digestive Disorder Science No. 40 (5), May, 1995 : 1105 – 111. Talley et all : Impact of functional dispepsia on quality of life, Medicine, National Library of Medicine, Mar; 40 (3), 1995 : 584 – 589. …………………….: Functional Dispepsia in GUT, BMJ Journals,Com,Suppl 2, 2001 : 2 – 6. …………………….: Seong Ng. H. : Functional Dispepsia in Management of Common Gastroenterologi Problems, Australia, Medimedia Asia, 1995: 38 – 46.

©2003 Digitized by USU digital library

31

22. 23.

24. 25.

26. 27. 28.

29. 30. 31. 32. 33.

34. 35. 36. 37. 38.

39. 40.

Hadi S.: Sindroma Dispepsia, Gastroenterologi,Jakarta : Alumni 1995: 153 – 173. Chapman M.L. : Dispepsia dan Penyakit Ulkus Peptikum (terjemahan) Buku Saku Gastroenterologi, Cetakan , Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997: 6–73. Lavenstein S. : Stress and Peptik Ulcer: Life Beyond Helicobacter in British Medical Journal, Volume 316, 538 – 541. Talley N.J. : Defenition and Clinical Presentation of Patients with Dispepsia, Functional Dispepsia and Related Functional Gastrointestinal Co mplain in Clinicians Manual on managing Dispepsia, Life Science Communication, Italy, 2002: 1 – 6 Departemen Kesehatan R.I. : Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, Jakarta, 1993 : 140 – 153. Talley NJ, Piper P.W. : Major Life event stress and dispepsia of unknow cause : a case control study, GUT, BMJ Publishing Group, Vol 27, 1986; 127 – 134. Llyod G.G. : Depression and Gastrointestinal and Liver Disorders in Depression and physical Illness, Vol.6, John Wiley & Sons, England, 1997 : 293 – 302. Drossman : The Functional Gastrointestinal Disorder and The Rome II Process, GUT, Suplement II, 45, USA, 1999 : 111 – 115. Budihalim S., Sukatman D., : Ketidaakseimbangan Vegetatif, Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : Balai Penerbit UI, 1990 : 595 – 598. Chusid J.G., : Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional, BagianSatu : Gadjah Mada Universiti Press, 1983: 262 – 2269. Drossman. : Psycosocial Asspect of the Functional Gastrointestinal Disorder GUT, Suplement II, 45, USA, 1999 : 1125 – 1129. Gelenberg A.J., Schoonover S.C., : Depression in Practitioners Guide to psychoactive Drugs, Thirt Edition, Plenum Publishing Corp, USA, 191 : 23 – 72. Thomson C. : Mood Disorders in Medicine Intyernational, No.33, Vol. 10,U.K., Medicine Groups, 1996: 1 – 5. Flaherty J.A., Davis J.M., Janicak P.G. : Psychiatry Diagnosis and Therapy, Second edition, Prentice Hall International Inc., 1993 : 39 – 41. Halold G.K., George L.K., Peterson B.L. : Religiosity and remission of depression in medically III older patients in American Journal of Psychiatry 155, American Psychiatric Association, April 1998 : 536 – 542. Bolton J. : Liaison psychiatry in British Medical Journal February 2001, 322 : S2- 7282. Kaplan H.I. Sadock B.J., Grebb J.A. : Consultation Liaison psychiatry in Synopsis of Psychiatry, VIIth Ed, Williams and Wilkins, Baltimore, 1994 : 771 – 778. Nazir M. : Metode Penelitian : Beberapa tehnik smping, Ghalla Indonesia, Jakarta : 325 – 345. Universitas Indonesia : Uji statistik, Biostatistik untuk ilmu- ilmu kesehatan, Jakarta, juli, 1984 : 140 – 150.

©2003 Digitized by USU digital library

32